• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumenep PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sumenep PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURU"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM

Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya,

kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style”

merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.

Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah

kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”

Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.

Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan).

Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam

menunjukkan persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu kerja.”

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:

bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”

Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan

suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.

Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :

(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;

(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;

(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;

(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;

(2)

bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul; (8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.

Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.

Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah

kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan

kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.

Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”

Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.

al-Ahzab [33]: 21).

Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut : “Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai

pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang

kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban

tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).

Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):

(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;

(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi; (3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;

(3)

mengimplementasikannya.

Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.

Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :

Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;

Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;

Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.

Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;

Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin

melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.

Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :

“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip

dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir. Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah

kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws

meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”

Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”

(4)

PETUNJUK AL-QURAN DALAM MEMILIH PEMIMPIN

Oleh: Agus Saputera

Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.

Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat,

saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.

Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.

Hakikat kepemimpinan

Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan

menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

(5)

ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu". Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kriteria pemimpin

Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu

penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya

(akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

(6)

dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu

mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Memilih pemimpin

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.

Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan

permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cerminâ" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".

Sikap rakyat terhadap pemimpin

(7)

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.

Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)

Penulis adalah:

Staf Hukmas dan KUB

Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Prov. Riau

(8)

FIGUR DAN KRITERIA PEMIMPIN IDEAL DALAM PERSPEKTIF

ALQURAN

Tidak ada nikmat yang wajib senantiasa kita syukuri melainkan karena kita tetap dijadikan Allah Ta’ala sebagai ummatul quran. Dan ketika kita membanggakan diri sebagai ummatulquran, maka wujud syukur kita adalah dengan berusaha secara maksimal untuk menjadikan alquran sebagai pijakan hidup ini dalam semua aspeknya. Termasuk diantaranya adalah menjadikan alquran sebagai pijakan dan rujukan dalam memilih pemimpin. Sebab, alquran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Karena itu, kita senantiasa berusaha menjadikan alquran sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan ini. sehingga hidup kita senantiasa berada dalam naungan alquran. Dan mudah-mudahan karena semangat interaksi kita dengan alquran, dan keselarasan hidup dengan alquran, kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafa’at alquran.

Sesuai dengan tema pada kesempatan ini tentang “Figur dan Kriteria Pemimpin Ideal Dalam Perspektif Alquran”. Maka diantara panduan alquran dalam memimpin adalah tertera dalam surah Al Anbiya’ ayat 73.

:ءايبنلا ننيددبداعن اننلن اونناكنون ةداكنززنلا ءاتنيإدون ةدالنصزنلا مناقنإدون تدارنييخنليا لنعيفد ميهدييلنإد اننييحنويأنون اننردميأنبد ننودنهيين ةةمزنئدأن ميهناننليعنجنون) 73

(

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah”.

(Al Anbiya’: 73)

Ayat ini menyinggung sosok pemimpin ideal seperti yang ada pada diri para nabi manusia pilihan Allah. Karena secara korelatif, sebelum dan setelah ayat ini berbicara tentang para nabi dan rasul. Mereka adalah orang-orang pilihan Allah Ta’ala sekaligus pemimpin umat yang telah berhasil membawa kepada kebaikan kehidupan masyarakat pada masa itu. Kita-pun berharap mendapatkan para pemimpin yang mampu membawa kebaikan dan keberkahan di dunia dan dapat membawa kebahagiaan kelak di akhirat.

Yang sangat menarik untuk dicermati secara redaksional adalah pilihan kata ‘aimmah’ dalam ayat di atas. Kepemimpinan umumnya menggunakan terminologi khalifah atau Amir. Tentu pilihan kata tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa Al-Qur’an sebagai bagian dari kemu’jizatan al-qur’an, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah isyarat tentang sosok pemimpin yang sesungguhnya diharapkan, yaitu sosok pemimpin ideal dalam sebuah negara atau masyarakat adalah juga layak menjadi pemimpin dalam kehidupan beragama bagi mereka. Mereka bukan hanya tampil di depan dalam urusan dunia, tetapi juga tampil di barisan terdepan dalam urusan agama. Inilah yang sering diistilahkan dengan agamawan yang negarawan atau negarawan yang agamawan.

(9)

beragama umat. Karena urusan duniawi dan ukhrawi sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang sinergis dalam totalitas ajaran Islam. Perhatian pemimpin yang parsial pada salah satu aspek tertentu menunjukkan minimnya atau ke-tidak mampuannya menjadi ‘imam’ seperti yang diisyaratkan oleh ayat di atas.

Kemudian ayat yang berbicara tentang kriteria pemimpin ideal yang senada dengan ayat di atas adalah surah As-Sajdah ayat 24.

:ةدجسلا ننوننقدوين اننتداينآبد اونناكنون اورنبنصن امزنلن اننردميأنبد ننودنهيين ةةمزنئدأن ميهننيمد اننليعنجنون) 24

(

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (As Sajdah: 24)

Kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini yang menjadi pembeda dengan ayat pada surah Al-Anbiya’ adalah kesabaran dalam menegakkan kebenaran dengan tetap komitmen menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Selain itu sebelumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki kwalitas keyakinan yang sangat tinggi

Tentu bagi seorang pemimpin, tetap komitmen dengan kebenaran memerlukan mujaahadah (kesungguhan), keberanian dan kesabaran yang jauh lebih besar karena bisa dipastikan dirinya akan berhadapan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di tengah-tengah umat.

1. 1. Memberi Petunjuk Dengan Perintah Allah

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ciri utama yang disebutkan di awal kedua ayat yang berbicara tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu. Mereka mencontohkan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada Allah Ta’ala dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.

Tentunya, melahirkan pemimpin yang senantiasa “Memberi Petunjuk dengan Perintah Allah” tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak cukup dengan popularitas, pencitraan, kedekatan maupun faktor keturunan dan seterusnya. Tapi memerlukan episode pembinaan kehidupan yang panjang untuk mendapatkan kriteria pemimpin ideal.

1. 2. Mereka Mengerjakan Kebajikan

(10)

bimbingan Allah adalah beramal dengan seluruh syariat Allah secara integral dan paripurna dalam seluruh segmen kehidupan.

Pemimpin sejati harusnya senantiasa berpikir secara serius bahwa semua kebijakan dan keputusannya dipastikan mampu membawa kebaikan dalam kehidupan agama umatnya, keluarga, ekonomi, sosial masyarakatnya dan lain sebagainya. Ia tidak berpikir secara parsial, tetapi berpikir bagaimana kebaikan tersebut ada dalam semua lini kehidupan masyarakatnya.

1. 3. Mendirikan Shalat

Kenapa ketika menyinggung kriteria seorang pemimpin menyinggung hal shalat? Karena mengukur kebaikan seseorang yang utama dalam perspektif islam mau tidak mau haruslah melihat sejauh mana ia melaksanakan shalat.

Ini penting, karena yang menyampaikan tentang pentingnya shalat ini adalah Allah Ta’ala sendiri yang mengulang-ulang dalam banyak ayat alquran ketika menyampaikan kriteria orang mukmin yang beruntung dan berbahagia. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya…,” (Al Mu’minun: 1-5)

Begitu juga ketika Allah Ta’ala menyampaikan tentang kriteria calon penghuni neraka adalah mereka yang meninggalkan shalat.

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin”. (Al Mudattsir: 42-44)

Kalau kita melihat pemimpin sudah tidak pernah terlihat shalat, maka bagaimana kita berharap ia mampu menunaikan amanahnya sebagai pemimpin. Padahal shalat adalah amalan pertama kali yang akan diuadit oleh Allah Ta’ala kelak di akhirat. Hal yang sangat penting ini saja diabaikan, bagaimana mungkin dirinya dijadikan pemimpin untuk keluarga dan masyarakat kita?!

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu dia berkata: Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

(11)

“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui-, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’)

Oleh karena itu Umar bin Khatthab Radhiallahu Anhu begitu sangat selektif dalam memilih atau mengangkat pejabat yang akan membantunya dalam mensukseskan kepemimpinanya secara kolektif. Beliau hanya akan mengangkat pejabat yang dikenal kebaikannya secara umum. Bahkan Umar pernah marah kepada sahabat yang mengangkat pejabat dari orang yang tidak dikenalnya. Umar bertanya memastikan pengenalannya terhadap seseorang yang diangkatnya: “Sudahkah kamu pergi bersamanya? Sudahkah kamu bersilaturahmi ke rumahnya? Sudahkah kamu berbisnis dengannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang membuka sosok pemimpin yang akan dilantiknya tersebut”.

1. 4. Menunaikan Zakat

Zakat adalah representasi simbol pengorbanan seseorang apalagi bagi seorang pemimpin. Zakat itu diambil dari orang-orang yang mampu kemudian dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maknanya, seorang pemimpin harus berpikir bagaimana cara mendistribusikan kekayaan kepada mereka yang membutuhkan. Ia berpikir agar kekayaan tidak dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, tetapi ia berpikir untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, salahsatu sumbernya adalah pendistribusian zakat dan sumber-sumber lainnya.

معيلدعن ععيمدسن هنلزلاون ميهنلزن نعكنسن كنتنلنصن نزنإد ميهدييلنعن لزدصنون اهنبد مهديكزدزنتنون ميهنرنهزدطنتن ةةقندنصن ميهدلداونميأن نيمد ذيخن “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (At Taubah: 103)

…… ةناكنززنلا ايوتنآون ةنلنصزنلا ايومنيقدأنون ..… “Dan dirikanlah shalat, dan bayarlah zakat hartamu”. (An Nisa’: 77)

1. 5. Dan Hanya Kepada Allah Mereka Selalu Menyembah

(12)

Oleh karena itu, para pemimpin adalah harus dari hamba-hamba Allah, bukan mereka yang menghamba dunia, jabatan, menghamba kepentingan asing yang merugikan kaum muslimin dan sebagainya. Ini penting untuk senantiasa kita perhatikan, karena hidup ini adalah amanah dan pilihan kita pun adalah amanah. Dan seluruh aktivitas yang kita lakukan di dunia ini, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dua Fungsi Utama Kepemimpinan

Kriteria-kriteria ini lah yang dapat menjadikan pemimpin melaksanakan fungsi kepemimpinananya dengan baik. Karena ada 2 hal utama fungsi kepemimpinan dalam islam yaitu merealisasikan hirasut din (memelihara dan mempertahankan ajaran agama) dan siyasatud dunya bid din (mengatur dunia dengan agama).

Maka membangun kebaikan sebuah masyarakat atau bangsa harus diawali dengan menciptakan para pemimpin dalam seluruh levelnya yang shalih yang akan menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat mereka.

Abul Hasan Al-Mawardi dalam buku ‘Al-Ahkam As-Sulthaniyah’ menegaskan bahwa mengangkat dan menegakkan kepemimpinan merupakan kewajiban agama yang bersifat kifa’i yang menuntut keterlibatan semua pihak untuk merealisasikan kepemimpian yang benar sesuai dengan panduan Islam dan memberi kemaslahatan serta kesejahteraan bagi seluruh komponen umat. Kewajiban menegakkan kepemimpinan sama dengan kewajiban jihad dan menuntut ilmu. Jika sudah ada yang memegang tampuk kepemimpinan dari mereka yang layak untuk itu maka gugurlah kewajiban atas semua umat. Namun jika belum ada, maka kewajiban tetap berlaku atas semua imam sampai terbentuknya kepemimpinan. Beliau menukil sebuah hadits dari Abu Hurairah tentang kemungkinan terjadinya kepemimpinan pasca Rasulullah dan sikap yang harus ditunjukkan oleh umat terhadap model kepemimpinan tersebut:

:

ميكنيلدينفن ةعالنون يددعيبن ميكنيلدينسن لناقن منلزنسنون هدييلنعن هنلزنلا ىلزنصن هدلزنلا لنوسنرن نزنأن ةنرنييرنهن يبدأن نيعن حعلداصن يبدأن نيعن ةنونريعن ننبي مناشنهد ىونرنون

ميكنلنفن اوءناسنأن نيإدون ، ميهنلنون ميكنلنفن اوننسنحيأن نيإدفن ، قزنحنليا قنفناون امن لزدكن يفد اوعنيطدأنون ميهنلن اوعنمنسيافن ، هدردوجنفنبد رنجدافنليا ميكنيلدينون ، هدرزدبدبد رزنبنليا ميهدييلنعنون Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Akan datang sepeninggalku beberapa pemimpin untuk kalian. Ada seorang yang baik yang memimpin kalian dengan kebaikan, namun ada juga pemimpin yang buruk yang memimpin dengan kemaksiatan. Maka hendaklah kalian tetap mendengar dan taat pada setiap yang menepati kebenaran. Karena jika mereka baik, maka kebaikan itu untuk kalian dan untuk mereka. Namun jika mereka buruk, maka keburukan itu hanya untuk mereka”. (HR. Daruquthni)

(13)

membutuhkan waktu. Ini merupakan masalah terpenting sehingga terlambat dalam menguburkannya pada waktu itu.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari Selasa/Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin?

Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai pemimpin yang pertama telah meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti']

Az-Zarqani Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang menjadikan diakhirkannya pemakaman Rasulullah adalah karena perbedaan para sahabat terkait dengan kematiannya atau tempat penguburannya atau karena kesibukan dalam masalah baiat dengan khilafah hingga akhirnya suasana terkendali dengan terpilihnya Abu Bakar As-Shiddiq. Karena kepanikan musibah besar yang menimpa mereka, dimana hal itu belum pernah terjadi sebelum dan sesudahnya semacam itu. Sehingga sebagian di antara mereka seakan-akan jasad tanpa ruh, sebagian lainnya tidak mampu berkata-kata, sebagian lain tidak mampu berjalan atau karena ketakutan serangan musuh atau karena shalat (mayat) kepada beliau dengan jumlah yang cukup besar.” (Syarh Al-Muwatha’)

Referensi

Dokumen terkait

Adapun dari sfc ekonomi uji laborato- rium dan lapang seperti yang ditampilkan Gambar 5 a dan b menunjukkan konsumsi biaya bahan bakar LPG memiliki nilai yang

8 PPID Provinsi Jawa Timur memperoleh penghargaan dari Komisi Informasi Pusat masuk 10 besar sebagai Badan Publik dalam rangka implementasi UU Keterbukaan Informasi

pada PT. 4) Berdasarkan hasil penelitian dan data yang telah diolah, maka dapat disimpulkan bahwa budaya kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan pada

Dalam rangka perumusan strategi kebijakan penggunaan stimulan ramah lingkungan dalam produksi getah pinus maka studi tentang inovasi pemanfaatan stimulan adalah suatu

Ketika kegiatan belajar mengajar, penulis sangat memperhatikan metode yang digunakan hal tersebut dilakukan karena dengan adanya metode proses pembelajaran bisa

Saat ini menjalani isolasi mandiri dalam pengawasan RSUD Provinsi Nusa Tenggara

Rituximab (RTX) dapat menimbulkan remisi total pada sebagian besar pasien sindrom nefrotik dependen steroid (SNDS) berat dan dependen siklosporin.. Pemberian terbaik adalah

Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur yang superficial pada kanalis auditorius eksternus.Infeksi telinga ini dapat bersifat akut,