• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pasien Epistaksis di RSUP H.Adam Malik Medan pada Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Pasien Epistaksis di RSUP H.Adam Malik Medan pada Tahun 2014"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap :Yenty Oktavia Sutanto Jenis Kelamin :Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir :Tanjung Morawa/20 Oktober 1994 Warga Negara :Indonesia

Status :Belum Menikah Agama : Buddha

Alamat :Jln. Sutomo No. 25-27 LubukPakam Nomor Handphone :0812 2850 2424

Email :yentyoktavia@gmail.com RiwayatPendidikan :

1. SD Swasta PKMI Lubuk Pakam(2000-2006) 2. SMP Swasta PKMI Lubuk Pakam(2006-2009) 3. SMA SwastaSutomo 1 Medan(2009-2012)

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan (2012-Sekarang) Riwayat Pelatihan :

1. Peserta PMB FK USU 2012 2. Peserta MMB FK USU 2012

(2)
(3)
(4)
(5)

Data Induk

Nama KelompokUsia JenisKelamin Etiologi LokasiPerdarahan MHZ Anak-anak Laki-laki Lokal Anterior TTM Dewasamuda Laki-laki Sistemik Posterior

PLS Dewasamuda Laki-laki Sistemik Posterior EYH Dewasamuda Perempuan Sistemik Posterior ARF Dewasatua Laki-laki Sistemik Posterior RSK Dewasatua Perempuan Sistemik Posterior FDH Remaja Laki-laki Lokal Anterior

LRS Dewasamuda Laki-laki Lokal Anterior RNM Dewasamuda Perempuan Sistemik Posterior

INP Remaja Perempuan Lokal Anterior PHP Dewasatua Laki-laki Sistemik Posterior MRS Dewasatua Perempuan Sistemik Posterior HNG Dewasatua Perempuan Sistemik Posterior YSH Remaja Perempuan Lokal Anterior

EPB Remaja Laki-laki Lokal Anterior SHA Anak-anak Perempuan Lokal Anterior BHN Dewasatua Laki-laki Lokal Anterior DAS Dewasatua Laki-laki Lokal Anterior MLS Dewasamuda Laki-laki Sistemik Posterior MLT Dewasamuda Laki-laki Sistemik Posterior SVR Anak-anak Perempuan Lokal Anterior PLM Dewasamuda Laki-laki Sistemik Posterior TMT Dewasatua Laki-laki Sistemik Posterior LMD Dewasatua Perempuan Sistemik Posterior AMT Anak-anak Perempuan Lokal Anterior

(6)

NTH Anak-anak Laki-laki Lokal Anterior JCN Anak-anak Laki-laki Lokal Anterior AJH Remaja Laki-laki Lokal Anterior MES Dewasamuda Perempuan Sistemik Posterior

JBH Dewasamuda Laki-laki Sistemik Posterior RES Dewasamuda Perempuan Sistemik Posterior AML Dewasamuda Laki-laki Sistemik Posterior

Output SPSS Frequencies Statistics KelompokUmur jeniskelaminrespon den penyebabperdarah

an lokasiperdarahan

N Valid 45 45 45 45

Missing 0 0 0 0

Frequency Table

KelompokUmur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid anak-anak 7 15.6 15.6 15.6

Remaja 12 26.7 26.7 42.2

dewasamuda 15 33.3 33.3 75.6

dewasatua 11 24.4 24.4 100.0

Total 45 100.0 100.0

jeniskelaminresponden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid laki-laki 27 60.0 60.0 60.0

perempuan 18 40.0 40.0 100.0

(7)

penyebabperdarahan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid lokal 20 44.4 44.4 44.4

sistemik 25 55.6 55.6 100.0

Total 45 100.0 100.0

lokasiperdarahan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid anterior 20 44.4 44.4 44.4

posterior 25 55.6 55.6 100.0

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Abelkader, M.,Leong, S.C. & White, P.S., 2007. Endoscopic Ligation of the

Sphenopalatine Artery for Epistaxis: Long-term Results. J Laryngol Otol, 121

(8): 759-62.

Adam, G.L., Boeis, L.R. & Higler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung

Tenggorokan. Edisi VI. Jakarta: EGC,224-37.

Badran, K., Malik, T.H., Bellosos, A. & Timms, M.S., 2005. Randomized Controlled

Trial Comparing Merocel and RapidRhino Packing in the Management of

Anterior Epistaxis. Clin Otolaryngol, 30 (4): 333-7.

Bull, P.D., 2002. Lecture Note on Disease of the Ear, Nose, and Throat. Oxford:

Blackwell Science,77-80.

Chiu, T.W. & McGarry, G.W., 2007. Prospective Clinical Study of Bleeding Sites in

Idiopathic Adult Posterior Epistaxis. Otolaryngol Head Neck Surg, 137 (3):

390-3.

Douglas, R. & Wormald, P.J., 2007. Update on Epistaxis. Curr Opin Otolaryngology

Head and Neck Surgery, 15 (3): 180-3.

Durr, D.G., 2004. Endoscopic Electrosurgical Management of Posterior Epistaxis:

Shifting Paradigm. J Otolaryngol, 33 (4): 211-6.

Eziyi, J.A.E., Akinpelu, O.V., Amusa, Y.B. & Eziyi, E.K., 2009. Epistaxis. East and

Central American Journal, 93-94.

Frazee, T.A. & Hauser, M.S., 2000. Non-Surgical Management of Epistaxis. J Oral

(9)

Gifford, T.O. & Orlandi, R.R., 2008. Epistaxis. Otolaryngol Clin North Am, 41 (3):

525-36.

Hall & Colman, 2000. In: Burton, M., ed. Hall and Colman’s Disease of Ear,Nose,

and Throat. London: Churchill Livingstone, 119-22.

Herkner, H., Havel, C. & Mullner, M., 2002. Active Epistaxis Associated with

Arterial Hypertension. Am J Emerg Med, 20 (2): 92-5.

Hopf, J.U.G., Hopf, M. & Scherer, H., 2002. Laser Managemenr of Recurrent

Epistaxis. In: Oswal, V. & Remacle, M., Principle and Practice of Lasers in

Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery. Hague: Kugler, 274-6.

Iskandar, H.N., 2006. Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: FK UI,

127-131.

Jarjour, I.T. & Jarjour, L.K., 2005. Migraine and Recurrent Epistaxis in Children.

Pediatric Neurology, 33 (2): 94-7.

Kucik, C.J. & Clenney, T., 2005. Management of Epistaxis. American Family

Physician, 305-311.

Leong, S.C., Roe, R.J. & Karkanevatos, A., 2005. No frills Management of Epistaxis.

Emerg Med J, 22 (7): 470-2.

Mangunkusumo, E. & Wardani, R., 2007. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N. &

Restuti, R.D. Epistaksis. Jakarta: FK UI, 155.

Munir, D.Y., Haryono, A., Rambe, A.Y.M., 2006. Epistaksis. Vol. 39 (3), 274-277.

Nash, C.M. & Simon, F., 2008. Epidemiology of Epistaxis in a Canadian Emergency

(10)

Nguyen, Q.A., 2011. Epistaxis. Available from:

http://www.emedicine.medscape.com [Accesed 10th August 2011].

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Pope, L.E. & Hobbs, C.G., 2005. Epistaxis: An Update on Current Management.

Postgard Med J, 81 (955): 309-14.

Probst, R., Grevers, G. & Iro, H., 2004. Basic Otolaryngology: A Step by Step

Learning Guide. New York: Thieme, 32-5.

Qureishi, A., & Burton, M.J., 2012. Interventions for Recurrent Idiopathic Epistaxis

in Children. Cochrane Database Syst Rev, 9-12.

Rabelo, F.A.W., et al, 2009. Surgical Treatment of Nasal Packing Refractory

Epistaxis. Brazillian Journal of Otorhinolaryngology, 75 (3): 18-20.

Reichman, E., et al, 2004. Emergency Medicine Prosedurs. USA: McGraw Hill,

180-200.

Santos, P.M. & Lepore, M.L., 2001. In: Balley’s Head and Neck Surgery –

Otolaryngology. Volume I. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Willkins,

415-28.

Sandoval, C., Dong, S., Visintainer, P., Fevzi, O., Somansundaram, J., 2002. Clinical

and laboratory features of 178 children with epistaxis. J Pediatric

Hematooncology, 24: 47-9

Shah, A.G., Stachler, R.J. & Krouse, J.H., 2005. Endoscopic Ligation of the

Sphenopalatine Artery as a Primary Management of Severe Posterior Epistaxis

in Patient with Coagulopathy. Ear Nose Throat J, 84 (5): 296-7.

Singer, A.J., et al, 2005. Comparison of Nasal Tampons for the Treatment of

(11)

Teymoortash, A., et al, 2003. Efficacy of Ice Packs in the Management of Epistaxis.

Clin Otolaryngol Allied Sci, 28 (6): 545-7.

Thornton, M.A., Mahest, B.N. & Lang, J., 2005. Posterior Epistaxis: Identification of

Common Bleeding Sites. Laryngoscope, 115 (4): 588-90.

Vaghela, H.M., 2005. Folley Catheter Posterios Nasal Packing. Clin Otolaryngol, 30

(2): 209-10.

Van Den Broek, P. & Feenstra, L., 2009. Hidung dan Sinus Paranasal. Jakarta: EGC,

124 & 178.

Van Wyk, F.C., Massey, S., Worley, G. & Brady, S., 2007. Do All Epistaxis Patients

with a Nasal Pack Need Admission?. J Laryngol Otol, 121 (3): 222-7.

Vieghweg, T.L., Roberson, J.B. & Hudson, J.W., 2006. Epistaxis: Diagnosis and

Treatment. J Oral Maxillofac Surg, 64 (3): 511-8.

Willms, P.W.A., Farb, F.L. & Agid, R., 2009. Endovascular Treatment of Epistaxis.

American Journal of Neuroradiology, 1637.

Wormald, P.J., Wee, D.T. & Van Hasselt, C.A., 2000. Endoscopic Ligation of the

Sphenopalatine Artery for Refractory Posterior Epistaxis. Am J Rhinol, 14 (4):

261-264.

Yang, D.Z., Cheng, J.N., Han, J., Shu, P. & Zhang, H., 2005. Management of

Intactable Epistaxis and Bleeding Points Localization. Zhonghua Er Bi, 40 (5):

360-2.

Yilmaz, M., et al, 2013. Acute Ischemia of the Parotid Gland and Auricle Following

(12)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1.Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian

ini adalah:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2.Definisi Operasional 3.2.1. Epistaksis

Definisi operasional : epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari

hidung

Etiologi Jenis Kelamin

Lokasi Perdarahan Usia

(13)

3.2.2. Usia

Definisi operasional : usia adalah lamanya pasien hidup di dunia sejak

dilahirkan dan dinyatakan dalam tahun

Alat Ukur : rekam medis

Cara pengukuran : menganalisis data dari rekam medis

Hasil Ukur : (Menurut Depkes RI,2009)  Pasien anak-anak 0-11 tahun  Pasien remaja 12-25 tahun  Pasien dewasa muda 26-45 tahun  Pasien dewasa tua ≥ 45 tahun Skala Ukur : Ordinal

3.2.3.Jenis Kelamin

Definisi operasional : Jenis kelamin adalah perbedaan biologis dan fisiologis

yang dapat membedakan laki-laki dengan perempuan

Alat Ukur : rekam medis

Cara Pengukuran : Menganalisis data dari rekam medis

Hasil Pengukuran :

 Pasien berjenis kelamin laki-laki  Pasien berjenis kelamin perempuan Skala Ukur : Nominal

3.2.4.Etiologi

Definisi operasional : Etiologi merupakan kumpulan penyebab dari suatu

penyakit. Etiologi epistaksis terbagi dua,yaitu :

(14)

 Kelainan sistemik : infeksi sistemik, kelainan darah, gangguan hormonal, kelainan kongenital, penyakit kardiovaskular

Alat Ukur : rekam medis

Cara pengukuran : menganalisa data dari rekam medis

Hasil pengukuran :

 Pasien epstaksis dengan kelainan lokal  Pasien epistaksis dengan kelainan sistemik Skala Ukur : Nominal

3.2.5.Lokasi Perdarahan

Definisi operasional : Lokasi perdarahan adalah tempat asal terjadinya

perdarahan. Berdasarkan lokasinya, epistaksis terbagi menjadi dua, yaitu : Epistaksis anterior : perdarahan dari pleksus Kiesselbach

 Epistaksis posterior : perdarahan dari arteri sphenopalatina atau arteri etmoidal posterior

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Pengukuran : menganalisa data dari rekam medis

Hasil Pengukuran :

(15)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1.Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Pendekatan yang

digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional study (studi potong

lintang).

4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada RSUP Haji Adam Malik Medan. Lokasi

dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa RSUP Haji Adam Malik merupakan rumah

sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan tipe A yang

meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau.

4.2.2.Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus 2015 hingga Desember 2015.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien dengan epistaksis di

Departemen THT-KL FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan yang ada pada tahun

2014.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien

(16)

yang ada pada tahun 2014. Sampel penelitian ini menggunakan teknik total sampling,

dimana seluruh populasi penelitian diikutsertakan menjadi sampel penelitian. Selain

itu, sampel yang akan diambil harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama

penelitian berlangsung.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam pemilihan sampel penelitian ini

adalah :

1. Kriteria Inklusi

Rekam medis pasien memiliki data yang dibutuhkan peneliti

2. Kriteria Eksklusi

Rekam medis pasien hilang

4.4.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data

sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui rekam medis seluruh pasien epistaksis di

Departemen THT-KL FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan yang ada pada tahun

2014. Data-data dari rekam medis tersebut dicatat kemudian ditabulasikan sesuai

dengan variabel penelitian.

4.5. Pengolahan Data dan Analisa data 4.5.1. Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

1. editing, dilakukan untuk pengecekan dan perbaikan dari data-data yang

dikumpulkan

2. coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka

atau bilangan

(17)

4. cleaning, yaitu pengecekkan kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan

sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi (Notoatmojo, 2012).

4.5.2. Analisa Data

Data yang dikumpulkan kemudian diolah menggunakan program

(18)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik yang

beralamat di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan

Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit

tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No.

335/Menkes/SK/VII/1990.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/Menkes/IX/1991

tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah

sakit pendidikan. Berdasarkan SK Menkes RI No. HK.02.02/MENKES/390/2014

RSUP H.Adam Malik ditetapkan sebagai rumah sakit pusat rujukan wilayah

Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan

Riau. Penelitian ini dilakukan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik.

5.1.2. Hasil Analisa Penelitian a. Deskripsi Karakteristik Sampel

Penelitian dilakukan pada 45 rekam medis pasien yang mengalami epistaksis

yang dirawat di unit rawat jalan dan rawat inap di Departement THT-KL RSUP

H.Adam Malik Medan pada tahun 2014. Karakteristik yang diamati terhadap sampel

adalah usia, jenis kelamin, etiologi dan lokasi perdarahan..

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia

Kelompok Usia (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)

0-11 tahun 7 15.6

(19)

26-45 tahun >45 tahun 15 11 33.3 24.4

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 5.1. didapati bahwa pasien epistaksis terbanyak berada pada

kelompok usia 26-45 tahun, yaitu sebanyak 15 orang (33,3%), diikuti kelompok usia

12-25 tahun sebanyak 12 orang (26,7%), lalu kelompok usia >45 tahun sebanyak 11

[image:19.612.109.518.115.161.2]

orang (24,4%), dan kelompok usia 0-11 tahun sebanyak 7 orang (15,6%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 27 60

Perempuan 18 40

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 5.2. didapati bahwa pasien epistaksis terbanyak adalah

berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 27 orang (60%). Sisanya berjenis kelamin

[image:19.612.110.516.281.366.2]

perempuan yaitu sebanyak 18 orang (40%).

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Etiologi

Etiologi Frekuensi (n) Persentase (%)

Lokal 20 55,6

Sistemik 25 44,4

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 5.3. didapati bahwa 25 kasus (55,6%) pasien mengalami

perdarahan yang disebabkan oleh kelainan sistemik, sisanya 20 kasus (44,4%)

mengalami perdarahan yang disebabkan oleh kelainan lokal.

[image:19.612.103.518.493.577.2]
(20)

Lokasi Perdarahan Frekuensi (n) Persentase (%)

Anterior 20 44,4

Posterior 25 55,6

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 5.4. didapati bahwa kebanyakan pasien epistaksis

mengalami perdarahan dari posterior, yaitu sebanyak 25 kasus (55,6%), diikuti

dengan perdarahan dari anterior sebanyak 20 kasus (44,4%).

5.2. Pembahasan 5.2.1. Usia

Berdasarkan tabel 5.1. didapati hasil penelitian pasien epistaksis berdasarkan

kelompok usia terbanyak berada pada kelompok usia 26 – 45 tahun sebanyak 15

orang (33,3%) dan tersedikit berada pada kelompok usia 0-11 tahun sebanyak 7 orang

(15,6%).

Dalam Nash & Simon (2008) dituliskan bahwa pasien epistaksis pada

kelompok usia <20 tahun umumnya spontan dan dapat berhenti sendiri sehingga

pasien dengan kelompok umur tersebut jarang dibawa ke rumah sakit, sedangkan

pada pasien epistaksis dengan kelompok umur dewasa umumnya lebih berat dan

jarang berhenti sendiri sehingga pasien akan mencari bantuan medis.

5.2.2. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.2. didapati bahwa persentase pasien epistaksis terbanyak

berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 27 orang (60%). Menurut Nash & Simon

(2008) dikatakan bahwa hal ini dapat dikaitkan dengan salah satu penyebab epistaksis

yaitu hipertensi.

Menurut Eziyi et al. (2009), hal ini juga dapat dikaitkan dengan pola hidup,

dimana dikatakan bahwa pasien yang mengonsumsi alkohol tinggi secara teratur

meningkatkan resiko terjadinya epistaksis, dan kebanyakan kebiasaan mengonsumsi

(21)

5.2.3. Etiologi

Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 5.3. etiologi epistaksis yang paling

banyak dijumpai adalah kelainan sistemik, yaitu sebanyak 25 kasus(55.6%).

Menurut Nash & Simon (2008), epistaksis dengan kelainan sistemik sering

ditemukan pada pasien dengan hipertensi,perdarahan biasanya hebat dan jarang

berhenti sendiri. Mereka juga menemukan bahwa hal ini bisa dihubungkan dengan

golongan kelompok usia terbanyak yang didapat, dimana kelompok usia >25 tahun

lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan kelompok usia <25 tahun. Kelainan

sistemik yang paling sering ditemukan pada pasien yaitu hipertensi lebih banyak

ditemukan pada pasien dengan kelompok usia >25 tahun.

Menurut Sandoval et al. (2002) yang meneliti 178 anak dengan epistaksis

berulang, sepertiga diantaranya didiagnosis kelainan koagulopati dan 33 pasien

didiagnosis Von Willerbrand Disease.

5.2.4. Lokasi Perdarahan

Berdasarkan tabel 5.4, didapati bahwa lokasi perdarahan terbanyak ditemukan

pada bagian posterior, yaitu sebanyak 25 kasus (55,6%).

Hal ini sesuai dengan kategori kelompok usia terbanyak yang didapatkan,yaitu

kelompok usia 26-45 tahun dan etiologi penyebab yang terbanyak yaitu kelainan

sistemik.

Hal ini bertentangan dengan teori dimana disebutkan bahwa lokasi epistaksis

terbanyak adalah pada bagian anterior, yaitu pleksus Kiesselbach dimana daerah ini

memiliki mukosa yang tipis sehingga rentan terhadap trauma. (Mangunkusumo &

Wardhani, 2007)

Perbedaan hasil penelitian dengan teori dapat disebabkan oleh karena

epistaksis anterior biasanya ringan dan dapat berhenti sendiri sehingga jarang ada

(22)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data penelititan yang berasal dari

rekam medis pasien di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2014 didapatkan

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasien terbanyak berada pada kelompok usia 26-45 tahun yaitu sebanyak 15

orang (33,3%).

2. Mayoritas pasien epistaksis adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 27

orang (60%).

3. Untuk etiologi epistaksis tersering adalah kelainan sistemik yaitu sebanyak 25

kasus (55,6%).

4. Lokasi perdarahan yang paling sering ditemukan adalah epistaksis posterior

yaitu sebanyak 25 kasus (55,6%).

6.2. Saran

Dari seluruh proses dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat

diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:

1. Disarankan kepada pihak RSUP H.Adam Malik Medan, khususnya yang

bertanggung jawab dalam kelengkapan data rekam medis, seperti dokter dan

paramedis untuk melengkapi data rekam medis serta menulis dengan rapi dan

jelas sehingga pembaca dapat memahami dengan benar dan tepat.

2. Bagi penelitian selanjutnya disarankan agar lebih memperluas cakupan

penelitiannya, khususnya dalam jumlah sampel dan lokasi penelitian sehingga

dapat lebih bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Epistaksis

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau

nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis yang berat

merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera

ditangani(Mangunkusumo & Wardhani, 2007).

2.2. Anatomi Hidung 2.2.1. Hidung Luar

Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah antara pipi dan bibir atas.

Struktur hidung luar terbagi atas 3 bagian, yaitu (Mangunkusumo & Wardhani,

2007) :

a. Atas : Kubah tulang yang tidak bisa digerakkan

b. Tengah : Kubah tulang kartilago yang bisa sedikit digerakkan

c. Bawah : Lobulus hidung yang mudah digerakkan

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung(Mangunkusumo & Wardani,2007).

Kerangka tulang terdiri atas :

a. Tulang hidung

b. Prosesus frontalis os maksila

(24)

Kerangka tulang rawan terdiri atas :

a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior(kartilago ala mayor)

c. Tepi anterior kartilago septum

2.2.2. Hidung Dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas bagian yang terdapat antara os internum di

sebelah anterior hingga ke koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung

dengan nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum. Tiap kavum nasi mempunyai 4

dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah adalah konka inferior, yang lebih kecil ialah konka medial, lebih kecil lagi

konka superior, dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema ini

biasanya rudimenter.

Diantara konka inferior dan dasar hidung terdapat meatus inferior, diantara

konka media dan konka inferior terdapat meatus medial, dan disebelah atas konka

(25)
(26)
(27)
(28)

Gambar 2.4. Anatomi Hidung (Netter, 2011)

2.3. Anatomi Pembuluh Darah Hidung

Hidung diperdarahi oleh arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna.

Bagian atas rongga hidung diperdarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Bagian bawah

rongga hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya yaitu

ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina. Bagian depan hidung

diperdarahi oleh cabang dari arteri fasialis.

Pleksus Kiesselbach merupakan anastomosis dari arteri etmoidalis anterior,

arteri palatina mayor, arteri sphenopalatina, dan arteri labialis superior yang terletak

(29)

terlindungi sehingga mudah cedera karena trauma. Lebih dari 90% kasus epistaksis

terjadi akibat perdarahan di pleksus Kiesselbach atau sering disebut Little’s area di

septum nasal.

Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di rongga

hidung bagian belakang atas atau konka media yang merupakan anastomosis dari

arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior(Gifford & Orlandi, 2008).

(30)

Gambar 2.6. Plexus Kiesselbach dan Plexus Woodruff (Santos & Lepore,

2001)

2.4. Penyebab Epistaksis

Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya. Epistaksis

dapat disebabkan oleh (Mangunkusumo & Wardhani, 2007) :

Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek

hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras,

atau sebagai akibat dari trauma yang lebih hebat seperti pukulan, jatuh

atau kecelakaan lalu lintas.

Kelainan pembuluh darah

Sering merupakan masalah kongenital. Pembuluh darah lebih tipis,

[image:30.612.131.504.135.370.2]
(31)

Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti

rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis

jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.

Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Pada

angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada

arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus

dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit

hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.

Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia,

trombositopenia, anemia dan hemophilia.

Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah

teleangiektasis hemoragik herediter(Osler-Rendu-Weber disease). Juga

dapat di temukan pada Von Willerband disease.

Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah(dengue

hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat

disertai dengan epistaksis.

Perubahan udara

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang

cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan

adanya zat-zat kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya

(32)

Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena

pengaruh perubahan hormonal.

Obat-obatan

Obat topikal hidung seperti antihistamin dan kortikosteroid dapat

menyebabkan iritasi mukosa, terutama bila diaplikasikan langsung

pada septum nasal.

2.5. Tipe-tipe Epistaksis

Berdasarkan lokasinya, epistaksis dapat dibagi atas (Mangunkusumo &

Wardhani, 2007) :

Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai, terutama pada

anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan ini

bersumber dari pleksus Kiesselbach (Little’s area). Dapat juga berasal

dari arteri etmoidalis anterior. Daerah ini rentan terhadap kelembapan

udara yang di inspirasi dan trauma. Akibatnya dapat terjadi ulkus,

ruptur, atau kondisi patologik lainnya yang selanjutnya akan

(33)
[image:33.612.115.486.126.395.2]

Gambar 2.7. Epistaksis Anterior (Santos & Lepore, 2001)

Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri

etmoidalis posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti

dengan sendirinya sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit.

Sering ditemukan pada pasien lebih tua dengan hipertensi,

(34)
[image:34.612.116.496.124.425.2]

Gambar 2.8. Epistaksis Posterior (Santos & Lepore, 2001)

2.6. Patofisiologi Epistaksis

Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan

sedang terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi

jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai

perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan

gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga

mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.

Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah

terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding

(35)

2.7. Diagnosis Epistaksis

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan

penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya akibat

mengorek hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi.

Sedangkan dari bagian posterior atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis,

fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan

darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto

tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.

Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain(Adam et al., 1997) :

Riwayat perdarahan sebelumnya

Lokasi perdarahan

Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari

hidung bila pasien duduk tegak?

Lama perdarahan dan frekuensinya

Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

Hipertensi

Diabetes mellitus

Penyakit hati

Penggunaan antikoagulan

Trauma hidung yang belum lama

2.8. Penatalaksanaan Epistaksis

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari

sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah

berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai terapi pendukung pada pasien

epistaksis. Bila pasien datang dengan epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi,

pernafasan, serta tekanan darah. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya

(36)

Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba dihentikan

dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini seringkali berhasil.

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat dikauterisasi dengan larutan Nitrat

Argenti (AgNO3) 25-30%.

Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon

anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep

antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi agar tampon mudah dimasukkan dan

tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon

dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal

perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk

mencegah infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dipasang tampon baru.

Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi akibat

[image:36.612.147.484.382.614.2]

pemasangan tampon(Iskandar, 2006).

Gambar 2.9. Tampon Anterior (Frazee & Hauser, 2000)

Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan

(37)

pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocg. Tampon ini terbuat

dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini

terikat 3 buah benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon

[image:37.612.153.495.204.416.2]

Bellocg, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.

Gambar 2.10. Tampon Posterior (Durr, 2004)

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan

meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan

dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan

yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi

arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung :

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior untuk

melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis

eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anastesi lokal. Dibuat

insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang

pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma

(38)

diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan

identifikasi bifurkasio karotis kemudian arteri karotis eksterna dipisahkan.

Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah arteri faringeal asendens,

terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau

nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasidengan benang 3/0 silk atau linen.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan

transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum,

lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina.

Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus

posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari

bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah

terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium

posterior. Dengan operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi

untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak

dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan

hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolarelectrocauter dan

nervehook. Setelah arteri maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi

dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.

Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi

antibiotik selama 24 jam.

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik

diterapi dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau

keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen

etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.

Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista

lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7

(39)

mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi

periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah

posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.Dua klem

arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung

dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior

jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila

perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.

2.9.Komplikasi Epistaksis

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau sebagai

akibat dari upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan yang hebat

dapat menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat

menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara

mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri, insufisiensi koroner sampai

infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian(Iskandar, 2006).

Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis, bloodytears

(akibat darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis), dan

septikemia atau toxic shock syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat

menyebabkan otitis media, hemotimpanum (akibat darah mengalir melalui tuba

Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar dari

mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh di

pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan

setelah 2-3 hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang

(40)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Epistaksis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang umum ditemukan di

bagian Telinga Hidung Tenggorokan. Epistaksis merupakan kondisi klinis yang dapat

terjadi pada semua umur dengan berbagai penyebab.

Epistaksis bisa disebabkan karena kelainan lokal maupun sistemik. Kelainan

lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, benda asing, tumor, dan pengaruh udara

lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah,

infeksi sistemik, kelainan hormonal, kelainan kongenital, dan perubahan tekanan

atmosfir (Mangunkusumo & Wardhani, 2007).

Epistaksis merupakan masalah medis umum, dimana sekitar 60% penduduk

akan mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis seumur hidup dan hanya

sekitar 6% dari penderita epistaksis yang mencari bantuan medis. Epistaksis bukanlah

suatu penyakit, melainkan suatu tanda atau gejala. Kebanyakan ringan dan dapat

berhenti sendiri tanpa bantuan medis. Epistaksis biasanya terjadi spontan dengan

perdarahan yang sedikit, mungkin juga banyak, sehingga pederita ketakutan dan

merasa perlu menemui dokter untuk mendapatkan bantuan medis.

Prevalensi epistaksis tidak banyak diketahui oleh karena episode epistaksis

dapat berhenti sendiri sehingga tidak banyak orang yang melaporkan kejadian ini ke

rumah sakit ataupun pelayanan kesehatan yang lainnya.

Menurut Nash & Simon (2008), prevalensi epistaksis pada pria dan wanita

(41)

<20 tahun dan >40 tahun. Menurut Nguyen (2011), epistaksis kebanyakan terjadi

pada laki-laki (58%) dibandingkan dengan perempuan (42%).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals,

Faculty of Medicine in Brazil, tercatat 40 pasien yang di diagnosis epistaksis, 23

pasien perempuan (67,5%) dan 13 pasien laki-laki (32,5%). Usia berkisar 4-78 tahun,

tetapi rata-rata terjadi pada usia 20-40 tahun dan usia anak SD.

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan dari hidung, yaitu dari bagian

anterior dan bagian posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan terjadi pada

pleksus Kiesselbach, biasanya perdarahan dapat berhenti spontan dan mudah diatasi.

Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri

etmoidalis posterior, perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti sendiri.

Epistaksis anterior lebih sering dijumpai pada anak-anak, sedangkan

epistaksis posterior lebih sering dijumpai pada orang tua dengan riwayat penyakit

hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskular lainnya.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

Bagaimana karakteristik pasien epistaksis di RSUP Haji Adam Malik Medan

pada tahun 2014?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik pasien epistaksis di RSUP Haji Adam Malik

Medan pada tahun 2014.

(42)

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien epistaksis berdasarkan

usia.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien epistaksis berdasarkan

jenis kelamin.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien epistaksis berdasarkan

etiologinya.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien epistaksis berdasarkan

lokasi perdarahan.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi peneliti.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

peneliti dalam melakukan penelitian secara baik dan benar.

2. Bagi keilmuan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam

bidang pendidikan khususnya di bidangkedokteran.

3. Bagi masyarakat.

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan

(43)

ABSTRAK

Pendahuluan : Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa kelainan lokal maupun kelainan sistemik. Kelainan lokal dapat diakibatkan oleh trauma, iritan, tumor dan infeksi. Kelainan sistemik dapat disebabkan oleh hipertensi, kelainan darah, kelainan kongenital dan penyakit kardiovaskular. Sumber perdarahan pada epistaksis ada dua yaitu anterior dari pleksus Kiesselbach dan posterior dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian potong lintang. Data penelitian diperoleh dari data sekunder rekam medis rumah sakit yang mencakup 45 pasien pada tahun 2014.

Hasil : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien epistaksis berada pada kelompok usia 26-45 tahun yaitu sebanyak 33,3%, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 60%, dengan etiologi kelainan sistemik yaitu sebanyak 55,6%, dan lokasi perdarahan di posterior yaitu sebanyak 55,6%.

Kesimpulan : Mayoritas pasien epistaksis berada pada kelompok usia 26-45 tahun yaitu sebanyak 33,3%, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 60%, dengan etiologi kelainan sistemik yaitu sebanyak 55,6%, dan lokasi perdarahan di posterior yaitu sebanyak 55,6%.

(44)

ABSTRACT

Introduction : Epistaxis is bleeding from nose. Epistaxis may be caused by local or systemic disorders. Local disorders can be caused by trauma, irritants, tumor and infections. Systemic disorders can be caused by hypertension, blood disorder, congenital disorder and cardiovascular disease. There are two sources of bleeding in epistaxis, anterior part from Kiesselbach plexus and posterior part from sphenopalatine artery and posterior etmoidalis artery.

Method : This research is a descriptive study with cross sectional research design.

Data was obtained from hospital’s medical records which is 45 patient in 2014.

Result : The results show that the majority of the epistaxis patients were in the 26-45 year-old group which was 33,3%, the gender was male which was 60%, mostly caused by systemic disorders that was 60%, and located in the anterior part which was 55,6%.

Conclusion : The majority of the epistaxis patients were in the 26-45 year-old group which was 33,3%, the gender was male which was 60%, mostly caused by systemic disorders that was 60%, and located in the anterior part which was 55,6%.

(45)

KARAKTERISTIK PASIEN EPISTAKSIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2014

Oleh :

YENTY OKTAVIA SUTANTO 120100207

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(46)

KARAKTERISTIK PASIEN EPISTAKSIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2014

KARYA TULIS ILMIAH

“ Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

kelulusan Sarjana Kedokteran ”

Oleh:

NAMA : YENTY OKTAVIA SUTANTO NIM : 120100207

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(47)
(48)

ABSTRAK

Pendahuluan : Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa kelainan lokal maupun kelainan sistemik. Kelainan lokal dapat diakibatkan oleh trauma, iritan, tumor dan infeksi. Kelainan sistemik dapat disebabkan oleh hipertensi, kelainan darah, kelainan kongenital dan penyakit kardiovaskular. Sumber perdarahan pada epistaksis ada dua yaitu anterior dari pleksus Kiesselbach dan posterior dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian potong lintang. Data penelitian diperoleh dari data sekunder rekam medis rumah sakit yang mencakup 45 pasien pada tahun 2014.

Hasil : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien epistaksis berada pada kelompok usia 26-45 tahun yaitu sebanyak 33,3%, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 60%, dengan etiologi kelainan sistemik yaitu sebanyak 55,6%, dan lokasi perdarahan di posterior yaitu sebanyak 55,6%.

Kesimpulan : Mayoritas pasien epistaksis berada pada kelompok usia 26-45 tahun yaitu sebanyak 33,3%, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 60%, dengan etiologi kelainan sistemik yaitu sebanyak 55,6%, dan lokasi perdarahan di posterior yaitu sebanyak 55,6%.

(49)

ABSTRACT

Introduction : Epistaxis is bleeding from nose. Epistaxis may be caused by local or systemic disorders. Local disorders can be caused by trauma, irritants, tumor and infections. Systemic disorders can be caused by hypertension, blood disorder, congenital disorder and cardiovascular disease. There are two sources of bleeding in epistaxis, anterior part from Kiesselbach plexus and posterior part from sphenopalatine artery and posterior etmoidalis artery.

Method : This research is a descriptive study with cross sectional research design. Data was obtained from hospital’s medical records which is 45 patient in 2014.

Result : The results show that the majority of the epistaxis patients were in the 26-45 year-old group which was 33,3%, the gender was male which was 60%, mostly caused by systemic disorders that was 60%, and located in the anterior part which was 55,6%.

Conclusion : The majority of the epistaxis patients were in the 26-45 year-old group which was 33,3%, the gender was male which was 60%, mostly caused by systemic disorders that was 60%, and located in the anterior part which was 55,6%.

(50)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang

senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya tulis ilmiah tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah ini berjudul

“Karakteristik Pasien Epistaksis Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2014”,

yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran

program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan, dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala rasa hormat penyusun

ingin menyampaikan terima kasih sebesar – besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof.dr.Gontar Alamsyah

Siregar, Sp.PD-KGEH.

2. Dosen Pembimbing, dr.Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT yang telah bersedia

meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk memberikan bimbingan dalam

penyusunan karya tulis ilmiah ini.

3. Dosen Penguji I, Prof.dr.Guslihan Dasa Tjipta, Sp.A(K) dan Dosen Penguji II,

dr.Tri Widyawati, Msi untuk setiap kritik dan saran yang membangun.

4. Dosen pembimbing Akademik, dr.Fereza Amelia,Sp.A yang telah membimbing

selama menempuh pendidikan.

5. Semua staf pengajar Ilmu Kesehatan Kedokteran (IKK) Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberi petunjuk dan bimbingan

dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini

6. Semua pihak RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu kelancaran dan

terlaksananya penelitian ini.

6. Keluarga penulis yang telah banyak memberikan dukungan sehingga karya tulis

ilmiah ini dapat selesai.

8. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil dalam proses

(51)

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun

dari pembaca agar penulis dapat menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan. Semoga karya tulis ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, 7 Desember 2015

(52)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan.……… i

Abstrak ……….. ii

Abstract ………. iii

Kata Pengantar ………. iv

Daftar Isi ……… vi

Daftar Gambar ……….. ix

Daftar Singkatan ……….……….. x

Daftar Tabel ………... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ………..……….……….. 1

1.1.Latar Belakang ……….. 1

1.2.Rumusan Masalah ………. 2

1.3.Tujuan Penelitian ……….………. 2

1.4.Manfaat Penelitian ……….…….……….. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………..………...…….. 4

2.1. Definisi Epistaksis ……….……….. 4

2.2. Anatomi Hidung ……….……….. 4

2.2.1. Anatomi Hidung Luar ………..…………. 4

2.2.2. Anatomi Hidung Dalam ……..……….. 5

2.3. Anatomi Pembuluh Darah Hidung …………...……….. 9

2.4. Penyebab Epistaksis ………. 12

2.5. Tipe-tipe Epistaksis ……….………. 13

2.6. Patofisiologi Epistaksis ………..………….. 15

2.7. Diagnosis Epistaksis ……… 16

(53)

2.9. Komplikasi Epistaksis ……….…………... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ……….…………. 21

3.2. Definisi Operasional ………..……… 21

3.2.1. Epistaksis …...………..………….. 21

3.2.2. Usia ...………. 22

3.2.3. Jenis Kelamin ….……… 22

3.2.4. Etiologi ……….………. 23

3.2.5. Lokasi Perdarahan ………..…………... 23

BAB 4 METODE PENELITIAN ….…...………. 24

4.1. Rancangan Penelitian ………..…………. 24

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………..…………. 24

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ……….………….. 24

4.3.1. Populasi ……..……….…….. 24

4.3.2. Sampel ………..………. 24

4.4. Metode Pengumpulan Data ….………. 25

4.5. Metode Analisa Data …………...………. 26

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .………. 27

5.1. Hasil Penelitian ………...………. 27

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 27

5.1.2. Hasil Analisa Penelitian ……… 27

5.2. Pembahasan ………. 29

5.2.1. Usia ……….. 29

5.2.2. Jenis Kelamin ……….. 29

(54)

5.2.4. Lokasi Perdarahan ……….. 30

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 31

6.1. Kesimpulan ……… 31

6.2. Saran ……….. 31

(55)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Anatomi Hidung ……….. 6

2.2. Anatomi Hidung ……….. 7

2.3. Anatomi Hidung ……….. 8

2.4. Anatomi Hidung ……….. 9

2.5. Anatomi Perdarahan Hidung ……… 11

2.6. Pleksus Kiesselbach dan Pleksus Woodruff ………..….. 11

2.7. Epistaksis Anterior ………... 14

2.8. Epistaksis Posterior ………. 15

2.9. Tampon Anterior ………. 17

(56)

DAFTAR SINGKATAN

THT-KL Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher

SD Sekolah Dasar

CT-Scan Computerized Tomography Scan AgNO3 Perak Nitrat ( Nitrat Argenti )

RSUP Rumah Sakit Pendidikan

FK Fakultas Kedokteran

USU Universitas Sumatera Utara

(57)

DAFTAR TABEL

Gambar

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Gambar 2.1. Anatomi Hidung (Netter, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini juga menunjukkan bahawa pasien DM laki-laki adalah lebih prevalen untuk mendapat dibanding dengan pasien DM perempuan, kelompok umur yang paling banyak menderita

Menurut hasil penelitian pada tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 48 kasus pasangan infertilitas yang ditemukan paling banyak pasien berjenis kelamin. perempuan yaitu sebanyak

Obesitas atau kegemukan dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi terjadinya kanker kolorektal pada laki-laki dan kanker usus pada perempuan (American Cancer Society,

56 623357 61 &gt; 60 tahun Perempuan Protestan STEMI Tidak ada Tidak merokok Hipertensi Tidak hiperlipidemia Diabetes Melitus 57 625658 46 40 - 60 tahun Laki-laki Islam STEMI Ada

Kesimpulan : Mayoritas pasien epistaksis berada pada kelompok usia 26-45 tahun yaitu sebanyak 33,3%, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 60%, dengan etiologi

umumnya sama, dan distribusi umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia.. Universitas

Penelitian ini juga menunjukkan bahawa pasien DM laki-laki adalah lebih prevalen untuk mendapat dibanding dengan pasien DM perempuan, kelompok umur yang paling banyak menderita

KARAKTERISTIK INFERTILITAS PADA PASIEN Di RSUP H.. Berdasarkan jenis kelamin perempuan