• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008

TESIS

Oleh:

Dr. AGUS MULTAZAR

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher

Oleh:

Dr. AGUS MULTAZAR

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Medan, 14 Maret 2011

Tesis dengan judul

KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL

NIP: 19651030 199903 2 001

Anggota

dr. Andrina YM. Rambe, Sp.THT-KL dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL NIP: 19710622 199703 2 001 NIP: 19790620 200212 2 003

Diketahui oleh Ketua Program Studi

dr. T.Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Bismillahirrahmannirrahim, saya panjatkan puji syukur kehadirat Illahi Rabbi karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dalam bentuk tesis yang saya beri judul KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008.

Tulisan ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Saya sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin masih jauh dari sempurna baik isi maupun bahasannya, dengan semua keterbatasan tersebut, saya berharap mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua.

Dengan berakhirnya masa pendidikan Magister saya, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

(5)

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini.

Yang terhormat Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp THT-KL (K), Sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik yang telah banyak memberi petunjuk, pengarahan serta nasehat baik sebagai Kepala Departemen dan sebagai guru selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.

(6)

Yang terhormat Guru Saya dijajaran THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan Sp. THT-KL (K), dr. Yuritna Haryono, Sp. THT-KL (K), dr. Muzakkir Zamzam, Sp. THT-KL (K), dr. Mangain Hasibuan Sp. THT-KL, dr T. Sofia Hanum, Sp. THT-KL (K), dr. Ida Sjailendrawati Harahap, Sp. THT-KL, dr. Linda I Adenin, Sp. THT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. THT-KL (K), dr. Hafni, Sp. THT-KL (K), dr. Rizalina A. Asnir, Sp. THT-KL (K), dr. Adlin Adnan, Sp. THT-KL, dr. Harry A. Asroel, Sp. THT-KL, dr. Farhat, Sp. THT-KL, dr. Aliandri, Sp. THT-KL, dr. Ashri Yudhistira, Sp. THT-KL, dr. Devira Zahara, Sp. THT-KL, dr. H. R. Yusa Herwanto, Sp. THT-KL, dr. Ferryan Sofyan, Sp. THT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan dibidang THT-KL, baik secara teori maupun keterampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.

Yang terhormat Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH, yang yang telah banyak memberikan petunjuk perhatian serta bimbingan di bidang Metodologi Penelitian, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis Magister ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

(7)

Yang terhormat kedua mertua saya Drs. H. Said Nasrun dan Hj. Syarifah Salmiati serta adik ipar saya Syarifah Merisa Dewi yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.

Kepada istriku tercinta dr. Syarifah Netti Eka Puteri serta anak-anak kami tersayang Raihan Syahputra dan Muhammad Fikri, tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya saya sampai pada saat yang berbahagia ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama, baik dalam suka maupun dalam duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberkahi kita semua.

Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amiin, Amiin Ya Robbal’alamin.

Medan, 9 Maret 2011

(8)

ABSTRAK

Pendahuluan: Rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai dihampir semua negara dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama.

Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008.

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, popuilasi penelitian adalah semua data penderita rinosinusitis kronis sebanyak 296 dan besar sample adalah seluruh dari kasus.

Hasil Penelitian: Proporsi penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 20,61%, umur diatas 18 tahun 88,18%, dengan proporsi laki-laki 42,91% dan perempuan 57,09%, pekerjaan IRT 28,7%, keluhan hidung tersumbat 75,3%, single rinosinusitis pada pemeriksaan foto polos SPN 87,8%, multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4%, jumlah sinus yang terlibat pada penderita yang sama-sama dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan SPN dimana single rinosinusitis pada pemeriksaan foto polos SPN 79,4% dan multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 73,7%, penetalaksanaan medikamentosa 77,36%, operasi BSEF 80,6%, tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat dengan pemeriksaan CT Scan SPN (p=0,155), tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat dengan pemeriksaan CT Scan SPN (p=0,122), ada perbedaan yang bermakna antara jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis yang dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan SPN (p = 0,000).

Kesimpulan: Bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar perlu dilakukan penyuluhan dan pemahaman terhadap pasien tentang rinosinusitis kronis dan perlu disosialisasikan indikasi BSEF berdasarkan bukti ilmiah kedokteran yang mutakhir dan sahih (evidence based medicine).

Kata Kunci: Rinosinusitis kronis, Karakteristik Penderita, RSUP H. Adam Malik Medan

(9)

ABSTRACT

Introduction: Rhinosinusitis is one of the diseases that are common in almost all countries and a problem that causes high morbidity and high health costs. The prevalence of rhinosinusitis in Indonesia is quite high, as an evidence in data from the RI Health Department in 2003 stated that the disease falls on the 25th ranking out of 50 major diseases.

Aim: To investigate the characteristics of chronic rhinosinusitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2008.

Methods: This is a deskriptive study with a case series design, population of this research is the data of 296 patients with chronic rhinosinusitis and a large sample is all from the cases.

Results: The proportion of patients with chronic rhinosinusitis is highest at group ages 28–35 years old 20,61%, ages above 18 years old 88.18%, with the proportion of male 42.91% and female 57.09%, housewives 28.7%, complaints of nasal congestion 75.3%,single rhinosinusitis on paranasal sinus X-ray 87.8%, multisinusitis on paranasal sinus CT scan imaging 44.4%, total sinus involved in patients who are equally taken X-ray and paranasal sinus CT Scan imaging where single rhinosinusitis in paranasal sinus X-ray 79.4% and multisinusitis on paranasal sinus CT scan imaging 73.7%, oral medication 77,36%, FESS 80,6%, there was no significant differences between the sexes based on the number of sinus CT scan imaging involved with paranasal sinus CT scan imaging (p = 0.155), there was no significant difference between the types of work based on the number of sinus which are involved with the paranasal sinus CT scan imaging (p = 0.122), there was significant difference between total sinus involved in chronic rhinosinusitis patients who are equally taken X-ray and paranasal sinus CT Scan imaging (p = 0.000).

Conclusion: For the benefits of H. Adam Malik General Hospital Medan, it’s necessary to have counseling and understanding towards patients with chronic rhinosinusitis and the need to socialize on the indications of FESS based on medical evidence and is valid.

Keywords: Chronic rhinosinusitis, Patients Characteristics, H. Adam Malik General Hospital

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

ABSTRACK ... vi

DAFTAR ISI ...………...…… vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ………....…... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 3

1.3. Tujuan Penelitian ………... 3

1.3.1 Tujuan Umum …... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ………... 3

1.4. Manfaat Penelitian …………...………... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………...…... 6

2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis ...……... 6

2.2 Anatomi Sinus Paranasal ... 7

2.2.1 Sinus Maksila ... 7

2.2.2 Sinus Frontal ... 9

2.2.3 Sinus Etmoid ... 10

2.2.4 Sinus Sfenoid ... 11

2.3 Fisiologi Sinus Paranasal ………... 13

(11)

2.5 Patologi Rinosinusitis Kronis ... 19

2.6 Epidemiologi Rinosinusitis Kronis ... 22

2.6.1 Etiologi ... 22

2.6.2 Kekerapan ... 22

2.7 Gejala dan tanda klinis ... 26

2.7.1 Gejala subjektif ... 26

2.7.2 Gejala objektif ... 28

2.8 Pemeriksaan ... 29

2.8.1 Pemeriksaan Fisik ... 29

2.8.2 Transiluminasi ... 29

2.8.3 Pemeriksaan radiologi ... 29

2.8.4 Nasoendoskopi ... 31

2.9 Diagnosis ... 31

2.10 Penatalaksanaan ... 32

A. Medikamentosa ... 32

B. Penatalaksanaan Operatif... 35

2.11 Komplikasi ... 36

2.12 Kerangka Teori ... 38

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Rancangan Penelitian ……….……...….. 39

3.2 Lokasi Penelitian ………...….…... 39

(12)

3.3.1 Populasi ………...… 39

3.3.2 Sampel Penelitian ………...39

3.3.3 Kerangka Konsep Penelitian …... 40

3.4 Variabel Penelitian ………..…...……... 40

3.4.1 Definisi Operasional Variabel …………...…... 40

3.5 Kerangka Kerja ………..…...… 42

3.6 Cara Analisis Data ………...……... 43

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 44

BAB 5 PEMBAHASAN ... 55

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

6.1 Kesimpulan ……...………... 85

6.2 Saran …...…………....………...……... 87

KEPUSTAKAAN ………... 88

PERSONALIA PENELITIAN ... 97

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1 Proporsi penderita rinosinusitis kronis menurut kelompok umur tercatat

yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ... 44 Tabel 4.1.2 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan kelompok umur ... 44 Tabel 4.1.3 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin tercatat

yang berobat ke ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ………... 45 Tabel 4.1.4 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan yang tercatat

yang berobat ke ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ... 45 Tabel 4.1.5 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama tarcatat

yang tercatat yang berobat ke ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ... 46 Tabel 4.1.6 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan foto polos SPN pada

penderita rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ... 46 Tabel 4.1.7 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan CT Scan SPN pada

penderita rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ... 47 Tabel 4.1.8 Proporsi penatalaksanaan pada penderita rinosinusitis kronis yang berobat

ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ... 47 Tabel 4.1.9 Proporsi operasi pada penderita rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP

H Adam Malik tahun 2008 ... 48 Tabel 4.2.1 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur dan jenis

kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 ……... 48 Tabel 4.2.2 Proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui

(14)

pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis ... 50 Tabel 4.2.4 Proporsi jenis kelamin berdasarkan jumah sinus yang terlibat melalui

pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis ... 50 Tabel 4.2.5 Proporsi jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui

pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis ... 51 Tabel 4.2.6 Proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui

pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis ... 51 Tabel 4.2.7 Proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui

pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis ... 52 Tabel 4.2.8 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan keluhan utama melalui

pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis ... 53 Tabel 4.2.9 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan keluhan utama melalui

pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis ………….. 53 Tabel 4.2.10 Proporsi jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis

yang sama-sama dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Master Data

Lampiran 2. Output Master Data

Lampiran 3. Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

Lampiran 4. Surat izin pengambilan data dari rekam medik SMF THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan

(16)

ABSTRAK

Pendahuluan: Rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai dihampir semua negara dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama.

Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008.

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, popuilasi penelitian adalah semua data penderita rinosinusitis kronis sebanyak 296 dan besar sample adalah seluruh dari kasus.

Hasil Penelitian: Proporsi penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 20,61%, umur diatas 18 tahun 88,18%, dengan proporsi laki-laki 42,91% dan perempuan 57,09%, pekerjaan IRT 28,7%, keluhan hidung tersumbat 75,3%, single rinosinusitis pada pemeriksaan foto polos SPN 87,8%, multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4%, jumlah sinus yang terlibat pada penderita yang sama-sama dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan SPN dimana single rinosinusitis pada pemeriksaan foto polos SPN 79,4% dan multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 73,7%, penetalaksanaan medikamentosa 77,36%, operasi BSEF 80,6%, tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat dengan pemeriksaan CT Scan SPN (p=0,155), tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat dengan pemeriksaan CT Scan SPN (p=0,122), ada perbedaan yang bermakna antara jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis yang dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan SPN (p = 0,000).

Kesimpulan: Bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar perlu dilakukan penyuluhan dan pemahaman terhadap pasien tentang rinosinusitis kronis dan perlu disosialisasikan indikasi BSEF berdasarkan bukti ilmiah kedokteran yang mutakhir dan sahih (evidence based medicine).

Kata Kunci: Rinosinusitis kronis, Karakteristik Penderita, RSUP H. Adam Malik Medan

(17)

ABSTRACT

Introduction: Rhinosinusitis is one of the diseases that are common in almost all countries and a problem that causes high morbidity and high health costs. The prevalence of rhinosinusitis in Indonesia is quite high, as an evidence in data from the RI Health Department in 2003 stated that the disease falls on the 25th ranking out of 50 major diseases.

Aim: To investigate the characteristics of chronic rhinosinusitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2008.

Methods: This is a deskriptive study with a case series design, population of this research is the data of 296 patients with chronic rhinosinusitis and a large sample is all from the cases.

Results: The proportion of patients with chronic rhinosinusitis is highest at group ages 28–35 years old 20,61%, ages above 18 years old 88.18%, with the proportion of male 42.91% and female 57.09%, housewives 28.7%, complaints of nasal congestion 75.3%,single rhinosinusitis on paranasal sinus X-ray 87.8%, multisinusitis on paranasal sinus CT scan imaging 44.4%, total sinus involved in patients who are equally taken X-ray and paranasal sinus CT Scan imaging where single rhinosinusitis in paranasal sinus X-ray 79.4% and multisinusitis on paranasal sinus CT scan imaging 73.7%, oral medication 77,36%, FESS 80,6%, there was no significant differences between the sexes based on the number of sinus CT scan imaging involved with paranasal sinus CT scan imaging (p = 0.155), there was no significant difference between the types of work based on the number of sinus which are involved with the paranasal sinus CT scan imaging (p = 0.122), there was significant difference between total sinus involved in chronic rhinosinusitis patients who are equally taken X-ray and paranasal sinus CT Scan imaging (p = 0.000).

Conclusion: For the benefits of H. Adam Malik General Hospital Medan, it’s necessary to have counseling and understanding towards patients with chronic rhinosinusitis and the need to socialize on the indications of FESS based on medical evidence and is valid.

Keywords: Chronic rhinosinusitis, Patients Characteristics, H. Adam Malik General Hospital

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup yang cukup besar, produktifitas menurun demikian juga daya konsentrasi bekerja, gangguan drainase sinus (Becker 2003; Soetjipto, 2006).

Rinosinusitis telah menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi dihampir semua negara, penduduk Amerika Serikat kehilangan sekitar 25 juta hari kerja pertahun dan membelanjakan sekitar 200 juta US$ demi obat resep untuk rinosinusitis (Becker, 2003; Rudack dan Sachse, 2004; Metson dan Mardon, 2006).

Rinosinusitis dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri kepala, gangguan penghidu serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi yang dapat berbahaya sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini (Becker 2003; Soetjipto, 2006).

(19)

Prevalensi rinosinusitis di Indonesia juga cukup tinggi, terbukti data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama (Soetjipto, 2006).

Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari–Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya (300 pasien) adalah rinosinusitis kronis (Soetjipto, 2006).

Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 pasien (64,29%) dari seluruh pasien rinologi (Bagja dan Lasminingrum, 2008).

Dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 didapatkan 118 penderita rinosinusitis kronis (42%) dari seluruh pasien rinologi (Dewanti, 2008).

Dari survey pendahuluan didapati penderita rinosinusitis kronis yang datang ke RSUP H. Adam Malik tahun 2008 sebesar 296 penderita dari 783 pasien yang datang ke Divisi Rinologi Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu belum diketahuinya karakteristik penderita rinosinusitis kronis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik-Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis kronis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik-Medan pada periode 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur.

b. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin.

c. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan. d. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan

utama.

e. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui foto polos sinus paranasal.

(21)

g. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan penatalaksanaan di RSUP H. Adam Malik-Medan.

h. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan tindakan operasi di RSUP H. Adam Malik-Medan.

i. Mengetahui proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis.

j. Mengetahui proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis.

k. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis. l. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat

melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis.

m. Mengetahui proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis. n. Mengetahui proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat

melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis. o. Mengetahui proporsi keluhan utama berdasarkan jumlah sinus yang terlibat

melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis. p. Mengetahui proporsi keluhan utama berdasarkan jumlah sinus yang terlibat

melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis. q. Mengetahui proporsi jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis

(22)

1.4 Manfaat Penelitian

A. Memberikan informasi tentang gambaran tatalaksana penderita rinosinusitis kronis yang paling sering dilakukan di RSUP H. Adam Malik, Medan.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis

Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009).

Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip, gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri telinga, batuk, demam, halitosis. (Judith, 1996; Becker 2003; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009).

Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

(24)

2.2 Anatomi Sinus Paranasal

2.2.1 Sinus Maksila

Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi (Ballenger, 1994).

Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut Moris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7–8 x 4–6 mm dan untuk usia 15 tahun 31–32 x 18–20 x 19–20 mm. Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6–8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 1994; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

(25)

Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris (V2) yang mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior nasal dan cabang superior alveolar dari nervus infraorbita (Amedee, 1993).

Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:

a. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksila merupakan dinding lateral hidung dimana terdapat ostium sinus yang menghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostium ini terletak pada bagian superior dari dinding medial, biasanya pada pertengahan posterior dari infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posterior duktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke lamina papyracea dari tulang etmoid (Miller dan Amedee, 1998).

b. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang yang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis (Ballenger, 1994).

c. Dinding posterior–inferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum durum. Dinding posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporal dan fossa pterigomaksila (Ballenger, 1994).

(26)

e. Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan pada dewasa letaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum nasi (Miller dan Amedee, 1998).

Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis (Ballenger, 1994). Anomali fasial atau sinus yang besar dapat juga menyebabkan sinusitis kronis (Medina, 1999).

2.2.2 Sinus Frontal

Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses (Amedee, 1993).

Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja (Amedee, 1993).

Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus ini. Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6 sampai 7 ml. (Amedee, 1993).

(27)

Sensasi mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangan supratroklear nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (V1) (Amedee, 1993; Marks, 2000).

Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital dan akar hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midline dengan ukuran masing-masing yang bervariasi. Sinus frontal sangat berhubungan erat dengan tulang etmoid anterior (Amedee, 1993).

Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior obliq dan posterior dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita. Ostium alami dari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar sinus. Sel-sel infraorbita bisa terobstruksi dan membentuk mukokel yang terisolasi dari ostium dan sinus etmoid (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).

2.2.3 Sinus Etmoid

Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak (Amedee, 1993; Marks, 2000).

Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal. Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground lamella), konka superior dan konka suprema (Amedee, 1993; Marks, 2000).

(28)

20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya mengandung 10–15 sel persisi dengan total volume 14–15 ml (Amedee, 1993; Marks, 2000).

Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yang mengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993).

Inervasi persarafan dari sinus etmoid ini berasal dari cabang posterolateral hidung dari nervus maksilaris (V2) dan cabang nervus etmoidalis dari nervus optalmikus (V1) (Amedee, 1993).

Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi dan merupakan subjek penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yang tipis dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasan dengan dinding medial orbita (lamina papyracea) dan bagian medial dari kavum nasi (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).

Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan midline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila. Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatus media, sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus superior (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).

2.2.4 Sinus Sfenoid

(29)

Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak dan mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini mengalami pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15 tahun (Amedee, 1993).

Sinus sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septum intersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan 14 x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml (Amedee, 1993).

Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan pleksus pterigoid (Amedee, 1993).

Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari cabang nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal dan sfenopalatina dari nervus maksilaris (Amedee, 1993).

Sinus sfenoid ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri karotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus. Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris dari nervus kranialis kelima dan keenam (Murray, 1989; Maran, 1990).

(30)

2.3 Fisiologi Sinus Paranasal

Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka (Ramalinggam dan Sreeramamoorthy, 1990; Soetjipto dan mangunkusumo, 2000).

Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan, melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000; Karen dan Edmund, 2010).

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:

2.3.1 Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)

Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

(31)

2.3.2 Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.3.3 Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.3.4 Membantu resonansi suara

(32)

2.3.5 Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.3.6 Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.4 Patofisiologi Rinosinusitis Kronis

Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997).

Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung (Mangunkusumo, 2000).

(33)

seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis (Mangunkusumo, 2000).

Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya (Mangunkusumo, 2000).

Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).

Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006; Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007).

(34)

Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).

Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).

Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).

Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus (Massudi, 1996).

Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa (Massudi, 1996).

(35)

Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka, rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar (Massudi, 1996).

Faktor yang lebih penting untuk diketahui dan merupakan dasar patofisiologi terjadinya infeksi sinus adalah: adanya gangguan dari mukosa sinus, mukosa osteum sinus dan sekitarnya (komplek ostiomeatal) (Massudi, 1996).

Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium (Massudi, 1996).

Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses transudasi (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).

(36)

fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).

Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan kuman (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).

Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai aspek. Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya. (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan seterusnya (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

2.5 Patologi Rinosinusitis Kronis

(37)

Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadi polipoid, dan pada kasus yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisi oleh membran mukosa yang edema, rongga sinus menjadi menghilang (Ronald, 1995).

Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasi epitel akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecil yang multipel terjadi dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari strauma submukosa yang melapisinya. Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisa irreversibel, dan bila penyebab infeksi telah diobati, mukosa tidak dapat kembali normal (Ronald, 1995).

Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung dan sinus; kongesti akut, purulen akut, purulen kronis dan hiperplastik kronis (Ballenger, 1997).

Penyakit sinus supuratif kronis dapat diklasifikasikan secara mikroskopik sebagai (1) adematous; (2) granular dan infiltrasi; (3) fibrous; atau (4) campuran dari beberapa atau semua bentuk ini. Sering terjadi perubahan jaringan penunjang, dengan penebalan dilapisan sub epitel. Penebalan ini didalam struktur seluler terdiri dari timbunan sel-sel spiral, bulat, bentuk bintang, plasmosit, eosinofil, dan pigmen (Ballenger, 1997).

Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:

(38)

b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.

c. Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar melalui epitel yang melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan bakteri, debris epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahan kapiler, dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.

d. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan berhentinya pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari. e. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti

ke tipe purulen, lekosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin, meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berheti, perubahan jaringan akan terjadi permanen, maka akan terjadi keadaan kronis. Tulang dibawahnya dapat terlihat tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang (Ballenger, 1997).

(39)

2.6 Epidemiologi Rinosinusitis Kronis

2.6.1 Etiologi

Rinosinusitis dapat disebabkan oleh Alergi (musiman, perenial atau karena pekerjaan tertentu), Infeksi seperti beberapa bakteri patogen yang sering ditemukan pada kasus kronis adalah Stafilokokus 28%, Pseudomonas aerugenosa 17% dan S. aureus 30%. Ketiganya ini mempunyai resistensi yang tinggi terhadap antibiotik, misalnya Pseudomonas aerugenosa resisten terhadap jenis kuinolon. Jenis kuman gram negatif juga meningkat pada sinusitis kronis demikian juga bakteri aerobik termasuk pada sinusitis dentogenik. Bakteri rinosinusitis kronis paling sering adalah Peptococci, Peptostreptococci, Bacteriodes dan Fusobacteria (Weir dan Wood, 1997; Soetjipto, 2000; Kahmis, 2009).

Rinosinusitis kronis juga dapat disebabkan oleh kelainan (Struktur anatomi, seperti variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau Penyebab lain (idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi) (Weir dan Wood, 1997).

2.6.2 Kekerapan

(40)

Jumlah orang Amerika penderita penyakit kronis

Penyakit Dalam Juta

Lower Back Pain (LBP) 63.2

Hipertensi 41.8

Artritis 41.2

Rinosinusitis 35.5

Cervical pain 34.0

Migrain 33.9

Penyakit jantung 23.5

Asma 22.2

Hay fever 20.4

Gastritis 18.9

[image:40.595.122.508.97.352.2]

Diabetes 13.0

Gambar 2.1 Posisi sinusitis diantara penyakit lain

Prevalensi rinosinusitis di indonesia cukup tinggi, terbukti pada data penelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi Departemen THT-KL FK-UI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati 50% nya dengan rinosinusitis kronis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Soetjipto, 2006).

Iriani dkk (1996) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis yang dilakukan tindakan BSEF di Departemen THT-KL FK UNHAS Ujung Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur 16-30 tahun atau sebesar 55,1%.

(41)

sebesar 26,9% sedangkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 29 penderita (55,8%) dan perempuan sebanyak 23 penderita (44,2%).

Kurnia (2002) pada penelitiannya terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita terbanyak pada kelompok umur (25 -34 tahun) sebanyak 14 penderita (40%), perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dimana perempuan 21 penderita (52,5%) dan laki-laki 19 penderita (47,5%). Keluhan utama rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah hidung tersumbat 38 penderita (95%).

Triolit Z (2004) pada penelitiaanya terhadap 30 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah (38-47 tahun) sebanyak 36,6%, sedangkan jumlah penderita perempuan sebanyak 16 penderita (53,3%) dan laki-laki sebanyak 14 penderita (46,67%). Keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 18 penderita (60%) diikuti sakit kepala sebanyak 12 penderita (40%).

Andika (2007) dalam penelitiannya terhadap 30 penderita rinosinusitis maksila kronis di RSUP H. Adam malik, Medan mendapatkan 12 penderita laki-laki (40%) dan 18 penderita perempuan (60%). Keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 19 penderita atau sebesar (63,4%).

(42)

(46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%), pada kelompok umur 30 – 39 tahun (23,3%) (Sujuthi dan Punagi, 2008).

Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) dan perempuan 50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalah maksilaris 68 kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13 kasus (11%) etmoidalis, rinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasi dektra; dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinorea sebanyak 34 kasus (28,8%).

Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderita rinosinusitis kronis atau sebesar 64,29% dari seluruh pasien yang datang ke poliklinik THT-KL. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 82 penderita (49,08%) dan perempuan 86 penderita (50,92%) (Bagja dan Lasminingrum, 2008).

Pada penelitian lainnya seperti Elfahmi (2001) pada penelitiannya terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur terbanyak adalah (35-44 tahun) sebanyak 30%. Jenis kelamin perempuan sebanyak 19 penderita (47,5%) dan laki-laki sebanyak 21 penderita (52,5%).

(43)

sebanyak 67 penderita (44,7%). Yuhisdiarman (2004) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah (35-44 tahun) sebesar 34,3%, jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebesar 20 penderita (57,2%) dan laki-laki 15 penderita (42,8%). Pujiwati (2006) pada penelitiannya terhadap 80 orang, yang menderita rinosinusitis kronis akibat kerja sebanyak 35 orang ( 43,8%.)

2.7 Gejala dan Tanda Klinis

2.7.1 Gejala Subjektif

a. Nyeri

Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini (Ballenger, 1997).

b. Sakit kepala

Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya (Ballenger, 1997).

(44)

makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya (Ballenger, 1997).

Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap (Ballenger, 1997).

Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

c. Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah (Ballenger, 1997).

d. Gangguan penghindu

(45)

Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang (Ballenger, 1997).

2.7.2 Gejala Objektif

a. Pembengkakan dan udem

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Ballenger, 1997).

b. Sekret nasal

Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini (Ballenger, 1997).

(46)

2.8 Pemeriksaan

2.8.1 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior (Ballenger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.8.2 Transiluminasi

Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.8.3 Pemeriksaan radiologi

a. Foto rontgen sinus paranasal

Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain:Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus

(Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

(47)

Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak (Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal

Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah (Ballenger, 1997).

CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas (Ballenger, 1997).

(48)

2.8.4 Nasoendoskopi

Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis (Ballenger, 1997).

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor (Ballenger, 1997).

2.9 Diagnosis

Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).

(49)

sedang-berat (skor ≥8), dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik: skala nominal (Setiadi M, 2009).

2.10 Penatalaksanaan

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Waguespack, 1994; Soetjipto, 2000; Ulusoy, 2007).

Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto, 2000).

A. Medikamentosa

A.1 Antibiotika

(50)

Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol (Soetjipto, 2000).

Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan (Soetjipto, 2000).

A.2 Terapi Medik Tambahan

Dekongestan,Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α -adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi (Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C, 2007).

Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati (Soetjipto, 2000).

Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa (Soetjipto, 2000).

(51)

dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi (Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C, 2007; Yuan LJ dan Fang SY, 2008).

Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine (Soetjipto, 2000).

Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis (Soetjipto, 2000).

Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang (Soetjipto, 2000; Yuan LJ dan Fang SY, 2008).

(52)

B. Penatalaksanaan Operatif

Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

(53)

Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).

Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006).

Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

2.11 Komplikasi

Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:

A. Osteomielitis dan abses subperiostal

(54)

B. Kelainan Orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila (Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus (Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

C. Kelainan Intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo dan Rifki, 2000; Dhingra, 2007).

D. Kelainan Paru

(55)

2.12 Kerangka Teori

Infeksi

Perubahan 

Mukosa Sinus 

Gejala Klinis

Rinosinusitis 

(Lebih dari 12 Minggu)

Umur,       

Jenis Kelamin, 

Pekerjaan 

Rinosinusitis

Kronis 

Gangguan Silia

Gangguan 

(56)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan desain case series dimana pengambilan data dari data klinis.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Rekam Medik Departemen THT-KL FK-USU/ RSUP H. Adam Malik-Medan sejak 1 Juli 2009 sampai dengan 31 Desember 2009.

3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

Seluruh data penderita dengan diagnosa rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik-Medan sejak 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008.

3.3.2 Sampel Penelitian

(57)

3.3.3 Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis

• Umur

• Jenis Kelamin • Pekerjaan • Keluhan Utama • Penatalaksanaan

• Jumlah Sinus yang Terlibat • Single Rinosinusitis

• Multisinusitis • Pansinusitis

3.4 Variabel Penelitian

Rinosinusitis kronis, umur, jenis kelamin, pekerjaan, keluhan utama,sinus yang terlibat, penatalaksanaan.

3.4.1 Definisi Operasional Variabel

a. Rinosinusitis kronis adalah penyakit yang diderita pasien berdasarkan diagnosa dokter yang tercatat sesuai status rekam medik pasien.

b. Sinus yang terlibat adalah sinus paranasal yang mengalami inflamasi sesuai anatomi sinus yang terkena berdasarkan pemeriksaan foto polos SPN atau CT Scan SPN, yang dikatagorikan atas:

(58)

2. Multisinusitis jika ditemukan keterlibatan dua atau lebih sinus paranasal, dimana data yang diambil sesuai dengan hasil pemeriksaan radiologi pasien yang terlampir pada rekam medik pasien.

3. Pansinusitis jika ditemukan keterlibatan seluruh sinus paranasal, dimana data yang diambil sesuai dengan hasil pemeriksaan radiologi pasien yang terlampir pada rekam medik pasien.

c. Umur adalah usia penderita rinosinusitis kronis yang tercatat pada status rekam medik pasien yang dikatagorikan atas :

1. ≤ 18 tahun. 2. > 18 tahun.

d. Jenis Kelamin yaitu jenis kelamin penderita rinosinusitis kronis yang tercatat di status rekam medik pasien yang dikatagorikan atas:

1. Laki-laki. 2. Perempuan.

e. Pekerjaan adalah aktifitas utama yang dilakukan oleh penderita rinosinusitis kronis sesuai dengan yang tercatat pada status rekam medik pasien yang dikatagorikan atas:

1. IRT (IbuRumah Tangga). 2. PNS/ Pensiunan PNS. 3. Wiraswasta.

4. Pelajar. 5. Mahasiswa/i. 6. Petani.

(59)

f. Keluhan utama adalah keluhan yang paling utama dirasakan yang membuat pasien datang berobat sesuai dengan keluhan utama yang tercatat pada status rekam medik pasien.

g. Penatalaksanaan adalah sesuatu tindakan yang dilakukan oleh dokter dalam usaha penyembuhan suatu penyakit berdasarkan penatalaksanaan dokter yang tercatat sesuai status rekam medik pasien.

3.5 Kerangka Kerja

Rekam Medis

Keluhan Utama

Umur

Jenis Kelamin Foto Polos SPN dan

CT-Scan SPN

1. Sinus Maksila

2. Sinus Frontal

3. Sinus Sfenoid

4. Sinus Etmoid

Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

2. Operasi

a. Antrostomi Meatus Inferior /Kak Spooling

b. CWL Rinosinusitis

(60)

3.6 Cara Analisis Data

(61)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain case series dimana pengambilan data dari data klinis di Bagian Rekam Medik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Data penelitiannya adalah seluruh kasus Rinosinusitis Kronis yang berobat di RSUP H. Adam Malik sejak Januari 2008 sampai dengan Desember 2008.

4.1 Analisis Data Univariat

4.1.1 Proporsi penderita rinosinusitis kronis menurut kelompok umur tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008

Kelompok Umur (Tahun) f (%)

12 – 19 34 (14,86)

20 – 27 48 (12,84)

28 – 35 61 (20,61)

36 – 43 45 (15,20)

44 – 51 49 (16,55)

52 – 59 40 (13,51)

60 – 67 12 (4,05)

68 – 75 7 (2,36)

Total 296 (100)

Proporsi tertinggi penderita rinosinusitis kronis terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebanyak 61 penderita (20,61%) dan kelompok umur 44 – 51 tahun sebanyak 49 penderita (16,55%).

4.1.2 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur tercatat

Umur f (%)

≤ 18 tahun 35 (11,82)

(62)

Proporsi tertinggi penderita rinosinusitis kronis terdapat pada umur > 18 tahun sebanyak 261 penderita (88,18%) dan terendah pada kelompok umur < 18 tahun sebanyak 35 penderita (11,82).

4.1.3 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008

Jenis Kelamin f (%)

Laki-laki 127 (42,91)

Perempuan 169 (57,09)

Jumlah (%) 296 (100)

Jenis kelamin terbanyak menderita rinosinusitis kronis adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki sebanyak 127 penderita (42,91%).

4.1.4 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan yang tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008

Pekerjaan f (%)

IRT 85 (28,7)

PNS/Pensiunan PNS 63 (21,3)

Wiraswasta 41 (13,9)

Pelajar 37 (12,5)

Mahasiswa/i 32 (10,8)

Petani 25 (8,4)

Peg. Swasta 13 (4,4)

Jumlah (%) 296 (100)

(63)

4.1.5 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama tarcatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008

Keluhan Utama f (%)

Hidung Tersumbat 223 (75,3)

Sakit Kepala 54 (18,2)

Hidung Berbau 13 (4,4)

Nyeri Pipi/Wajah 6 (2)

Jumlah (%) 296 (100)

Proporsi keluhan utama terbanyak pada penderita rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat sebanyak 223 penderita (75,3% ), diikuti sakit kepala sebanyak 54 penderita (18,2%).

4.1.6 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008

Jumlah Sinus yang Terlibat

Berdasarkan Foto Polos SPN f (%) Single Rinosinusitis 252 (87,8)

Multisinusitis 34 (11,8)

Pansinusitis 1 (0,4)

Jumlah (%) 287 (100)

(64)

4.1.7 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008

Jumlah Sinus yang Terlibat

Berdasarkan CT Scan SPN f (%) Single Rinosinusitis 17 (23,6)

Multisinusitis 32 (44,4)

Pansinusitis 23 (32)

Jumlah (%) 72 (100)

Pemeriksaan CT Scan SPN dijumpai jumlah sinus yang paling banyak terlibat adalah multisinusitis sebesar 32 penderita (44,4%) dan paling rendah adalah single rinosinusitis sebesar 17 penderita (23,6%).

4.1.8 Proporsi penatalaksanaan pada penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2008

Penatalaksanaan f (%)

Medikamentosa 229 (77,36)

Operasi 67 (22,64)

Jumlah (%) 296 (100)

(65)

4.1.9 Proporsi operasi pada penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2008

Operasi f (%)

Antrostomi Meatus Inferior (Kak Spooling) 8 (11,94)

CWL (Caldwel-Luc) 4 (5,97)

Trepanasi Sinus Frontal 1 (1,49)

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) 54 (80,60)

Jumlah (%) 67 (100)

Tindakan operasi yang paling sering dilakukan untuk penatalaksanaan rinosinusitis kronis adalah BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional) sebanyak 54 penderita (80,6%) dan terendah adalah trepanasi sinus frontal sebanyak 1 penderita (1,49%).

4.2 Analisis Data Bivariat

4.2.1 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur dan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Kelompok Umur

f (%) f (%)

Total

12-19 21 (7,09) 23 (7,77) 44 (14,86)

20-27 13 (4,39) 25 (8,45) 38 (12,84)

28-35 23 (7,77) 38 (12,84) 61 (20,61)

36-43 21 (7,09) 24 (8,11) 45 (15,20)

44-51 21 (7,09) 28 (9,46) 49 (16,55)

52-59 22 (7,43) 18 (6,08) 40 (13,51)

60-67 4 (1,35) 8 (2,70) 12 (4,05)

68-75 2 (0,68) 5 (1,69) 7 (2,36)

Total 127 (42,91) 169 (57,09) 296 (100)

(66)

perempuan 1,69%) proporsi jenis kelamin adalah perempuan 57,09% dan laki-laki 42,91%.

4.2.2 Proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis

Umur (Tahun) ≤ 18 > 18 Jumlah Sinus yang Terlibat

Berdasarkan Foto Polos SPN

f (%) f (%)

Jumlah (%) Single Rinosinusitis 30 (11,9) 222(88,1) 252 (100)

Multisinusitis 3 (8,8) 31 (91,2) 34 (100)

Pansinusitis 0 (0) 1 (100) 1 (100)

Dari tabel 4.2.2 dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada umur diatas 18 tahun 88,1% daripada umur ≤ 18 tahun 11,9%. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun 91,2% daripada umur ≤ 18 tahun 8,8% dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun yaitu 100%.

Pada umur >18 tahun didapati penderita terbanyak adalah single rinosinusitis sebesar 222 penderita (77,4%) dan terendah adalah pansinusitis sebanyak 1 penderita (0,3%).

(67)

4.2.3 Proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis

Umur (Tahun) ≤ 18 > 18 Jumlah Sinus yang Terlibat

Berdasarkan CT Scan SPN

f (%) f (%)

Jumlah (%) Single Rinosinusitis 2 (11,8) 15 (88,2) 17 (100)

Multisinusitis 2 (6,3) 30 (93,7) 32 (100)

Pansinusitis 2 (8,7) 21 (91,3) 23 (100)

Dari gambar diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada umur diatas 18 tahun 88,2% daripada umur ≤ 18 tahun 11,8%. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun 93,7% daripada umur ≤ 18 tahun 6,3% dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun yaitu 91,3% daripada umur ≤ 18 tahun 8,7%.

Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (50%) expected count yang b

Gambar

Gambar 2.1 Posisi sinusitis diantara penyakit lain
Gambar 5.1.1 Penderita rinosinusitis kronis berdasarkan kelompok umur
Gambar 5.1.4 Penderita rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan
Gambar 5.1.6 Jumlah sinus yang terlibat berdasarkan foto polos SPN
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tabel 5.3, keluhan utama yang paling sering didapati pada penderita rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 adalah hidung tersumbat dengan persentase

Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Datang Penderita Meningitis Rawat Inap Berdasarkan Asal Rujukan di RSUP H.Adam Malik.. Medan Tahun

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronis yang

Adam Malik- Medan, mengetahui distribusi kelompok umur penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh infeksi jamur,mengetahui distribusi keluhan utama penderita

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak

Pendahuluan: Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) telah menjadi standar tindakan bedah dalam penatalaksanaan rinosinusitis kronis (RSK), khususnya bagi penderita yang

• Mengetahui distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis gigi yang terkena di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2009-2012. • Mengetahui distribusi