PROSES TERMAL PANGAN
Kemasan untuk Pengawetan Pangan dengan Proses Termal
Proses termal merupakan teknologi yang termasuk dalam proses pangawetan dengan menggunakan energi panas. Proses termal merupakan proses penting dalam pengawetan pangan terutama untuk memperpanjang umur simpannya. Proses termal bertujuan untuk mematikan mikroorganisme merugikan yang menyebabkan penyakit dan dapat merusak atau menyebabkan kebusukan pada produk yang dikemas. Biasanya produk yang dikenai proses termal dikemas menggunakan kemasan hermetis seperti kaleng, retort pouch atau gelas jar, botol, dan kemasan lentur. Namun yang paling banyak digunakan adalah kaleng dan botol. Kemasan hermetis (tahan uap dan gas) yaitu kemasan yang secara sempurna tidak dapat dilalui oleh gas, udara atau uap air sehingga selama masih hermetis wadah ini tidak dapat dilalui oleh bakteri, kapang, ragi dan debu. Kemasan hermetis dapat juga memberikan bau dari wadah itu sendiri, misalnya kaleng yang tidak berenamel. Berikut ini merupakan contoh-contoh kemasan hermetis :
a. Kaleng (tin-plate)
Kaleng (tin-plate) adalah lembaran besi yang dilapisi dengan timah putih. Pada kebanyakan kaleng timah putihnya tidak kurang dari 0,25 %. Kaleng merupakan wadah yang tepat untuk sebagian besar bahan pangan. Bagian dalam dari kaleng kadang-kadang diberi lagi suatu lapisan yang dikenal sebagai enamel untuk jenis-jenis makanan tertentu. Fungsi utamanya adalah agar makanan dan kalengnya mempunyai kenampakan (appearance) yang menarik. Enamel harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
Tidak beracun, bebas dari bau-bauan dan flavor lain.
Tahan terhadap suhu pengolahan
Tidak bereaksi dngan makanannya, tahan terhadap keasaman dan tidak bereaksi dengan pigmen
Sifat korosif bahan terhadap kaleng biasa dipengaruhi oleh adanya oksigen. Korosi dipercepat jika pada kaleng terjadi penceratan atau lubang kecil dari lapisan timah putihnya. Oleh karena itu penting sekali mengeluarkan udara dari dalam produk yang dikalengkan dan menggantikannya dengan gas nitrogen (N2) atau divakumkan. Keuntungan penggunaan
tin-plate yaitu :
Dapat dibentuk dengan kecepatan tinggi menjadi kaleng dengan berbagai macam ukuran
Memiliki ketahanan terhadap karat, asal disimpan dalam kondisi penyimpanan normal
Memiliki kenampakan yang menarik
Tahan terhadap tekanasn dan suhu pengolahan yang tinggi
Mudah diberi dekorasi
b. Botol
Botol merupakan kemasan yang terbuat dari gelas, umumnya digunakan untuk bahan makanan yang bersifat asam, yang hanya memerlukan perlakuan panas ringan atau untuk bahan pangan yang bersifat sangat korosif seperti saus tomat dan acar. Ditinjau dari sudut pengolahan, penggunaan botol memerlukan kondisi sebagai berikut :
Otoklaf yang digunakan harus tipe statis
Medium pindah panas yang digunakan harus berupa air yang “super heated” dengan uap, sehingga suhu mencapai 115 – 1260C dan tekanan 20 – 30 psi agar tutup botol
tidak lepas
Menaikkan suhu harus lebih lambat
Proses termal harus menggunakan suhu yang lebih rendah dan waktu pemanasan yang lebih lama
Kecepatan pendinginan harus lebih lambat dan dikerjakan dalam otoklaf, dengan cara menurunkan suhu dan tekanan secara berangsur-angsursampai mencapai suhu 65 oC, baru dipindahkan ke ruang pendingin.
Jenis-Jenis dan Aplikasi Proses Termal Pangan
Terdapat beberapa jenis proses pemanasan yang umum diterapkan dalam proses pengalengan pangan, seperti blansir, pasteurisasi, sterilisasi dan hot-filling. Dari keempat proses pemanasan tersebut, blansir biasanya bagian dari proses pengalengan sebelum dilakukan proses termal dan bertujuan bukan untuk proses pengawetan.
1. Blansir
pengawetan. Tujuan perlakuan blansir terutama adalah untuk menginaktifasi enzim, mengurangi jumlah mikroba awal (terutama mikroba pada permukaan bahan pangan, buah dan sayuran), melunakkan tekstur buah dan sayuran sehingga mempermudah proses lipoksigenase, polifenolase, poligalakturonase dan klorofilase, akan menurunkan mutu sensori dan gizi produk. Dengan adanya proses blansir yang dilanjutkan dengan proses pasteurisasi/sterilisasi makanan kaleng, maka enzim pun akan inaktif dan tidak mempengaruhi perubahan mutu produk selama penyimpanan.
Di dalam proses blansir buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas, yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim lain yang tersebut di atas. Baik enzim katalase maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran. Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, enzim katalase dan peroksidase sering digunakan sebagai enzim indikator bagi kecukupan proses blansir. Artinya, apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik.
2. Pasteurisasi
Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100oC) dengan tujuan untuk mengurangi
populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi).
Proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (terutama khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak membentuk spora), tetapi hanya sedikit menyebabkan perubahan/penurunan mutu gizi dan organoleptik. Keampuhan proses pemanasan dan peningkatan daya awet yang dihasilkan dari proses pasteurisasi ini dipengaruhi oleh karakteristik bahan pangan, terutama nilai pH. Kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa produk pangan dapat berbeda-beda, tergantung dari pH produk.
Sterilisasi komersial yaitu suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi terdapat mikroorganisme hidup.Pengertian sterilisasi komersial ini menunjukkan bahwa bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin masih mengandung spora bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan tersebut spora bakteri non-patogen tersebut bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan kalau produk tersebut disimpan pada kondisi normal. Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami sterilisasi komersial akan mempunyai daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sterilitas komersial (menurut FDA) atau stabilitas penyimpanan (menurut USDA) adalah kondisi bebas dari mikroba yang dapat berkembang biak dalam makanan pada kondisi penyimpanan atau distribusi yang normal tanpa bantuan pendingin.
Pada produk steril komersial yang berasam rendah, terdapat resiko keamanan pangan yang cukup tinggi. Pada kondisi penyimpanan normal tanpa pendinginan, pangan berasam rendah yang belum mencapai kecukupan proses steril komersial akan beresiko ditumbuhi mikroba. Selain itu spora yang tertinggal di dalam makanan tersebut dapat bergerminasi kembali dan menyebabkan kebusukan atau kerusakan makanan. Di lain pihak penggunaan suhu yang tinggi pada proses sterilisasi produk pangan secara berlebihan, memungkinkan terjadinya kerusakan nilai gizi maupun organoleptik produk pangan tersebut, sehingga proses sterilisasi komersial perlu dikontrol dengan baik.
Produk pangan yang telah mengalami sterilisasi seharusnya dikemas dengan kemasan yang kedap udara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan kedap udara ini menyebabkan terbatasnya jumlah udara (oksigen) yang rendah, sehingga mikroorganisme yang bersifat obligat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah mikroorganisme (terutama spora) yang bersifat fakultatif atau obligat anaerob yang jika tidak diperhatikan dengan seksama akan mampu menyebabkan terjadinya kebusukan. Dengan demikian, suatu produk pangan dikatakan sudah steril komersial apabila produk telah mengalami proses pemanasan lebih dari 100oC; bebas dari mikroba patogen dan pembentuk racun; bebas mikroba yang dalam kondisi
penyimpanan dan penanganan normal dapat menyebabkan kebusukan; dan awet (dapat disimpan pada kondisi normal tanpa refrigerasi).
Proses pengalengan konvensional, dimana produk dimasukkan dalam kaleng, lalu ditutup secara hermetis, dan setelah itu produk dalam kaleng dipanaskan/disterilisasikan dengan menggunakan retort. Setelah kecukupan panas yang diperlukan tercapai, produk dalam kaleng tersebut didinginkan.
Proses aseptis, yaitu suatu proses dimana produk dan kemasan disterilisasi secara terpisah, kemudian produk steril tersebut diisikan ke dalam wadah steril pada suatu ruangan yang steril.
4. Hot-filling
Hot-filling adalah teknik proses termal yang banyak diterapkan untuk produk pangan berbentuk cair, seperti saus, jam, dan sambal. Dari segi tujuan proses, hot-filling banyak dilakukan untuk produk pangan yang memiliki pH rendah (pangan asam/diasamkan) untuk tujuan pasteurisasi. Pengertian hot-filling adalah melakukan pengemasan bahan dalam kondisi panas setelah proses pasteurisasi ke dalam kemasan steril (misalnya botol atau gelas jar), lalu ditutup rapat (hermetis) dan didinginkan. Biasanya proses hot-filling dikombinasikan dengan teknik pengawetan lain, misalnya penambahan gula, garam, bahan pengawet atau pendinginan. Di antara produk pangan yang dapat diproses dengan hot-filling adalah saus, sambal, jem, dsb.
Kerusakan Produk Pangan Akibat Proses Termal Pangan 1. Perubahan Warna
Kombinasi suhu dan waktu yang digunakan dalam pengalengan mempengaruhi pigmen dalam produk pangan. Sebagai contoh pigmen oksimioglobin yang berwarna coklat, dan mioglobin yang berwarna keunguan di ubah menjadi miohemigromogen yang berwarna merah-cokelat. Reaksi pencoklatan maillard dan karamelisasi berperan terhadap warna produk yang disterilisasi. Perubahan tersebut pada daging dikehendaki. Garam nitrit atau nitrat di tambahkan pada produk olahan daging untuk mengurangi resiko pertumbuhan C.botulinum, juga untuk mendapatkan warna daging yang cerah dari nitrit oksidamioglobin dan metmioglobin nitrit.
leukoantisianin yang tidak berwarna bereaksi dengan logam tersebut berbentuk kompleks antosianim yang berwarna merah muda. Pada produk susu, perubahan warna yang terjadi diakibatkan oleh sedikit karamelisasi dan reaksi Maillard.
2. Perubahan Bau dan Cita Rasa
Daging kaleng mengalami perubahan yang kompleks seperti pirolisissilkan, diaminasi, dan dekarboksilasi asam amino, degradasi, reaksi maillard dan karamelisasi karbohidrat berbentuk furfural dan hidroksimetilfurfural, serta oksidasi dan dekarboksilasi lipid. Interaksi antar komponen tersebut menghasilkan lebih dari 600 senyawa cita rasa dan bauh.
Pada sayuran dan buah-buahan, perubahan terjadi akibat reaksi kompleks yang menjakup dekradasi, rekominasi dan folatilisasi aldehid, keton, gula,lakton, asam amino, dan asam-asam organic. Pada susu, pembentukan cita rasa matang (cooked flavor) disebabkan oleh denaturasi protein whey membentuk hydrogen sulfida dan pembentukan lakton dan metilketon akibat oksidasi lipid. Pada proses UHT, perubahan tersebut lebih sedikit terjadi dan cita rasa serta bauh alami produk dan bahan pangan dapat dipertahankan.
3. Perubahan Tekstur Dan Viskositas
Pada daging kaleng, perubahan tekstur disebabkan koagulasi dan penurunan daya ikat air dari protein. Akibatnya, terjadi pengerutan dan daging menjadi kaku. Pelunakan terjadi akibat hidrolisikolagen, pelarutan gelatin yang berbentuk dari hasil hidrolisis kolagen, dan pelelehan fraksi lemak yang terdispersi dalam jaringan daging. Poli fosfat biasa ditambahkan pada daging untuk meningkatkan daya ikat air. Polifosfatase dapat mengurangi pengerutan dan meningkatkan keempukan daging. Pada buah dan sayur-sayuran, pelunakan disebabkan oleh hidrolisis senyawa-senyawa pectin, gelatinisasi pati, pelarutan persial hemiselulosa, yang dikombonasikan dengan penurunan turgor (tekanan sel). Garam kalsium dapat ditambahkan pada proses blansing seperti telah dijelaskan untuk meningkatkan kekerasan buah dan sayuran kaleng garam kalsium yang digunakan dapat beragam bergantung pada jenis bahan. Misalanya, kalsium hidroksida digunakan untuk ceri, kalsium klorida untuk tomat, dan kalsium laktat untuk apel. Penggunaan jenis garam kalsium yang berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi peptin yang didemitilasi. Pada proses pengalengan daging, waktu relative lama di butuhkan untuk hidrolisis kolagen dan suhu relative rendah dibutuhkan untuk mencegah daging menjadi kaku.
Faktor penting yang harus di perhatikan pada proses pengolahan adalah perubahan nilai gizi. Pengalengan menyebabkan hidrolisis karbohidrat dan lipid, tetapi kedua komponen tersebut tetap mempunyai ketersediaan hayati yang baik dan nilai gizinya tidak berubah. Protein terkoagulasi dan biasannya penurunan asam amino terjadi sebesar 10-20%. Keturunan kadar lisin setara dengan suhu yang digunakan. Penurunan kadar triptofan kadar lisin setara dengan suhu yang digunakan. Penurunan triptofan dan metionin menurunkan nilai biologi protein sebesar 6-9%.
Penurunan kadar vitamin terjadi terutama pada tiamin (50-75%), dan asam pantotenat (20-35%). Pada buah-buahan dan sayuran kaleng penurunan vitamin terjadi pada hampir semua vitamin larut air terutama asam askorbat. Penurunan tersebut beragam bergantuk pada jenis produk pangan, kadar residu oksigen dalam kemasan, dan metode pesparasi sebelum pengalengan (missal pengupasan dan pengirisan atau bansing). Pada sejumlah produk, sejumlah vitamin larut dalam sirup atau medium lain ynag juga dikomsumsi, sehingga terjadi penurunan pada proses sterilisasi metode UHT, penurunan vitamin hanya sedikit terjadi
Sterilisasi pada daging tiruan yang dibuat dari kedelai dapat meningkatkan nilai gizinya berkaitan dengan inerfiktasi komponen antitrypsin. Antitrypsin merupakan protein yang dapat berikatan dengan enzim tripsin dalam pencernaan sehingga menurunkan ketersediaan hayati protein. Dan setelah sterilisasi dilakukan secara baik, dipaparkan Purwiyatno lebih lanjut, ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kesegaran produk, yakni perlakuan pemanasan yang cukup, pengemasan dan pengkeliman (penyegelan) kemasan secara hermetis (kedap), dan penanganan kemasan dengan baik dengan memastikan integritas sambungan dan penutupan tetap terjaga sebelum, selama, dan setelah pemanasan.
Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi
a. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Protein
menyebabkan penurunan daya cerna protein karena kurang mampu dicerna oleh tubuh), hidrolosis, desulfurasi dan deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel dan beberapa reaksi dapat menghasilkan senyawa toksik.
b. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi “Karbohidrat”
Pemasakan karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan dinding sel sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-granula pati membangkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna daripada pati mentah.
c. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin intens. Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik. d. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Vitamin
Stabilitas vitamin pada pengolahan panas relative bervariasi. Vitamin A akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika di panaskan dengan adanya oksigen terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya apabila dioksidasi dan dihedrogenasi.
Tahapan-Tahapan Proses Pengalengan Bahan Pangan Nabati
Meliputi sortasi, pencucian, pengupasan, pemotongan, blanching, pengisian, exhausting, penutupan, processing (sterilisasi), pendinginan dan penyimpanan.
1. Proses sortasi dan pencucian
2. Proses pengupasan kulit, pembuangan biji dan pemotongan
Bagian yang akan dikalengkan adalah bagian buah yang lazim dimakan/ dikonsumsi, yang biasanya berupa daging buah. Oleh karena itu, bagian-bagian yang tidak berguna, seperti kulit, biji, bongkol, dsb dilakukan pembuangan. Bagian daging buah yang akan dimakan kemudian dilakukan proses pemotongan, sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan ukuran kaleng. Pemotongan atau pengecilan ukuran dilakukan dengan untuk mempermudah pengisian bahan ke dalam kaleng dan menyeragamkan ukuran bahan yang akan dimasukan. Selain itu, pengecilan ukuran juga bertujuan untuk mempermudah penetrasi panas. Jika pemotongan dilakukan dengan sembarangan, maka akan mengakibatkan diskolorisasi, yaitu timbulnya warna yang gelap atau hilangnya warna asli maupun pemucatan warna.
3. Proses blansir
Pemblansiran merupakan cara lain yang dapat digunakan untuk membunuh mikroba patogen. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam bahan, ukuran, dan derajat kematangan. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Proses blansir ini berguna untuk:
a. membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal b. meningkatkan suhu produksi produk atau jaringan
c. membuang udara yang masih ada di dalam jaringan d. menginaktivasi enzim
e. menghilangkan rasa mentah
f. mempermudah proses pemotongan (cutting, slicing, dan lain-lain) g. mempermudah pengupasan
h. memberikan warna yang dikehendaki
i. mempermudah pengaturan produk dalam kaleng.
terdapat dua jenis enzim yang tahan panas yaitu enzim katalase dan peroksidase, kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim lain. Apabila tidak ada lagi aktivitas enzim-enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik. Lamanya proses blansir dipengaruhi beberapa faktor seperti ukuran bahan, suhu, serta medium blansir.
Pencegahan kontaminasi mikroba juga dapat dilakukan dengan penyimpanan bahan pangan dengan baik. Bahan baku segar seperti sayuran, daging, susu sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.
Proses blansir dapat dilakukan dengan cara mencelup potongan-potongan buah dalam air mendidih selama 5–10 menit. Lama pencelupan tergantung jenis dan banyak sedikitnya buah yang akan diolah. Secara umum, proses blansir perlu memperhatikan hal-hal berikut :
4. Proses pengisian
a. Pembuatan medium
Medium yang dipergunakan untuk pengalengan ini ada 2 macam, yaitu medium larutan gula yang dipergunakan untuk pengalengan buah dan cincau. Medium yang dipergunakan untuk untuk sop sayur adalah kuah sop yang telah dimasak dengan rempah-rempah.
Medium digunakan dapat berupa sirop, larutan garam, kaldu atau saus tergantung produk yang akan dikalengkan. Penambahan medium ini dilakukan untuk mempercepat penetrasi panas dan mengurangi terjadinya korosi kaleng dengan berkurangnya akumulasi udara.
b. Proses memasukkan potongan buah ke dalam kaleng
Potongan buah yang telah diblansir kemudian dimasukkan ke dalam kaleng. Penyusunan buah dalam wadah diatur serapi mungkin dan tidak terlalu penuh. Pada saat pengisian perlu disisakan suatu ruangan yang disebut dengan head space.
c. Proses pengisian medium
Kemudian dituangkan larutan sirup, larutan garam, kaldu atau saus. Sama halnya dengan pada saat pengisian buah, pengisian sirop juga tidak dilakukan sampai penuh, melainkan hanya diisikan hingga setinggi sekitar 1-2 cm dari permukaan kaleng. Perlu diusahakan bahwa pada saat pengisian larutan tersebut, semua buah dalam kondisi terendam.
Kaleng yang telah diisi dengan buah (dan sirop) kemudian dilakukan proses exhausting. Tujuan exhausting adalah untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting penting dilakukan untuk memberikan kondisi vakum pada kaleng setelah penutupan, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran kaleng karena tekanan dalam kaleng yang terlalu tinggi (terutama pada saat pemanasan dalam retort) sebagai akibat pengembangan produk dan mengurangi kemungkinan terjadinya proses pengkaratan kaleng dan reaksi-reaksi oksidasi lainnya yang akan menurunkan mutu.
Tingkat kevakuman kaleng setelah ditutup juga dipengaruhi oleh perlakuan blansir, karena blansir membantu mengeluarkan udara/gas dari dalam jaringan. Exhausting dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan cara:
(i) melakukan pengisian produk ke dalam kaleng pada saat produk masih dalam kondisi panas,
(ii) memanaskan kaleng beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka, atau secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum.
6. Proses penutupan kaleng
Setelah proses exhausting kaleng segera ditutup dengan rapat dan her-metis pada suhu yang relatif masih tinggi. Semakin tinggi suhu penutupan kaleng, maka semakin tinggi pula tingkat kevakumannya (semakin rendah tekanannya). Proses penutupan kaleng juga merupakan hal yang sangat penting karena daya awet produk dalam kaleng sangat tergantung pada kemampuan kaleng (terutama bagian-bagian sambungan dan penutupan) untuk mengisolasikan produk di dalamnya dengan udara luar. Penutupan yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran yang dapat mengakibatkan kebusukan. Penutupan kaleng yang dilakukan sedemikian rupa, diharapkan baik udara, air maupun mikroba dari luar tidak dapat masuk (menembus) ke dalam, sehingga keawetannya dapat dipertahankan.
7. Proses sterilisasi
Setelah proses penutupan kaleng selesai, maka kaleng dimasukkan ke dalam keranjang yang dipersiapkan untuk proses sterilisasi. Proses sterilisasi dilakukan dalam autoclave, untuk koktail buah dan cincau digunakan suhu 100°C dengan tekanan 0,8 bar selama 30 menit sedangkan untuk sayuran digunakan suhu 115-121°C dengan tekanan 1,05 bar selama 45-60 menit.
8. Proses pendinginan
besar yang dapat menyebabkan rekontaminasi dari air pendingin ke dalam produk. Untuk itu perlu dipastikan bahwa air pendingin yang digunakan memenuhi persyaratan mikrobiologis. Untuk industri besar, proses pendinginan biasanya dilakukan secara otomatis di dalam retort, yaitu sesaat setelah katup uap dimatikan maka segera dibuka katup air dingin. Untuk ukuran kaleng yang besar, maka tekanan udara dalam retort perlu dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kaleng-kaleng yang menggelembung dan rusak. Pendinginan dilakukan secepatnya setelah proses sterilisasi selesai untuk mencegah pertumbuhan kembali bakteri, terutama bakteri termofilik. Pendinginan dimulai dengan membuka saluran air pendingin dan menutup keran - keran lainnya.
Air pendingin dapat dialirkan melalui dua saluran, yaitu bagian bawah dan bagian atas retort. Pemasukan air mula-mula dilakukan secara perlahanlahan agar tidak terjadi peningkatan tekanan secara drastis. Peningkatan tekanan secara drastis tersebut harus dicegah karena dapat menyebabkan kaleng menjadi penyok atau rusak pada bagian pinggirnya disebabkan kaleng tidak mampu menahan kenaikan tekanan tersebut. Air dialirkan dari bagian bawah dahulu agar secara bertahap dapat meng-kondensasikan sisa uap yang ada dan baru bagian atas dibuka. Pada saat retort telah penuh dengan air, aliran dapat lebih deras dialirkan. Selama proses pendinginan berlangsung, perlu dilakukan pengontrolan tekanan secara terus menerus untuk mencegah terjadinya koleps pada kaleng, yaitu terjadinya penyok pada kaleng disebabkan tekanan yang terlalu tinggi. Proses pendinginan dinyatakan selesai bila suhu air dalam retort telah men-capai 38-42°C. Aliran air pendingin kemudian dihentikan dan air dikeluarkan. Tutup retort dibuka dan keranjang diangkat dari retort.
9. · Pengeringan
Setelah kaleng dikeluarkan dari retort, maka kaleng dikeringkan dan dibersihkan, untuk mencegah korosi atau pengkaratan pada sambungan kaleng. Pengeringan dan pembersihan kaleng ini perlu dilakukan untuk mencegah rekontaminasi (debu atau mikroba) yang lebih mudah menempel pada kaleng yang basah.
10. · Penyimpanan
KESIMPULAN
• Proses termal merupakan teknologi yang termasuk dalam proses pangawetan dengan menggunakan energi panas yang bertujuan untuk mematikan mikroorganisme merugikan yang menyebabkan penyakit dan dapat merusak atau menyebabkan kebusukan pada produk yang dikemas.
• Kemasan hermetis (tahan uap dan gas) yaitu kemasan yang secara sempurna tidak dapat dilalui oleh gas, udara atau uap air sehingga selama masih hermetis wadah ini tidak dapat dilalui oleh bakteri, kapang, ragi dan debu. Contoh yang paling banyak digunakan adalah kaleng (tin-plate) dan botol.
• Jenis-jenis proses pemanasan yang umum diterapkan dalam proses pengalengan pangan, adalah blansir, pasteurisasi, sterilisasi dan hot-filling.
• Kerusakan Produk Pangan Akibat Proses Termal Pangan meliputi perubahan warna, perubahan bau dan cita rasa, perubahan tekstur dan viskositas serta perubahan nilai gizi
• Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi yang meliputi protein, karbohidrat, lemak dan vitamin berbeda-beda
DAFTAR PUSTAKA
http://seafast.ipb.ac.id/index.php/articles/37-kesehatan/86-sterilisasi-uht-a-pengolahan aseptik-jaga-mutu-susu-segar
http://www.scribd.com/doc/31247969/sterilisasi-komercial
http://www.scribd.com/doc/38741915/Sterilisasi