• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL

PRODUKSI TEH DI PTPN IV SIDAMANIK KAB.SIMALUNGUN

SUMATERA UTARA

SKRIPSI Diajukan Oleh: DINA MARIANA SINAGA

060501101 Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

(2)

ABSTRAK

Judul dari penelitian ini adalah Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun

Sumatera Utara. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik. Dengan

menggunakan variabel-variabel bebas seperti tenaga kerja, luas lahan, dan pupuk,

penelitian ini mencoba menerangkan bagaimana pengaruh masing-masing variable

tersebut terhadap peningkatan hasil produksi teh di instansi perkebunan yang

bersangkutan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode Ordinary

Least Square (OLS) dalam menganalisis data dan Eviews 5.1 sebagai software

pembantu dalam megolah data. Adapun data yang digunakan adalah data yang

berbentuk time series dengan kurun waktu 20 tahun dari tahun

1990-2009.Berdasarkan hasil analisis, variable tenaga kerja, luas lahan dan pupuk, secara

bersama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap hasil produksi teh di PTPN IV

Sidamanik.

Kata kunci: produksi teh, tenaga kerja, luas lahan, pupuk, Ordinary Least

Square(OLS)

(3)

ABSTRACT

The title of this research is Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. The

purpose of this research is to analyse the influence of input in increasing tea

production. By using independen variables,such as employee, area and fertilizer, this

research attempts to explain how those variables influence tea production in relevant

plantation company.

This research use econometric approach with Ordinary Least Square(OLS)

methode in analyzing data and Eviews 5.1 in processing data. The data is in time

series type with 20 years periode time from 1990 until 2009.

Base on analysis result, employee, area, and fertilizer are simultaneously

influential significant to tea production in PTPN IV Sidamanik.

Keywords: tea production, employee, area, fertilizer, Ordinary Least Square(OLS).

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas

kasih setia dan berkat-Nya setiap waktu yang tak berkesudahan, yang selalu

menyertai penulis dalam melakukan segala aktivitas penulisan hingga sampai pada

penyelesaian skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV

Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara” . Dalam penulisan skripsi ini,

penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan

semangat, materil, maupun sumbangan pemikiran. Oleh sebab itu pada kesempatan

ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya

kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan yang mendukung penyelesaian

skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi

Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, sebagai sekretaris Departemen

Ekonomi Pembangunan FE USU.

(5)

5. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, MSi, selaku Dosen pembimbing penulis

yang telah memberikan bantuan bimbingan, saran, masukan, kritikan dan

petunjuk kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

6. Bapak Drs. Arifin Siregar, M.SP, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak

memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.

7. Bapak Drs. H.B Tarmizi, SU selaku Dosen Penguji II yang telah banyak

memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.

8. Serta seluruh Staff Pengajar dan Staff Administrasi Fakultas Ekonomi USU yang selama ini telah mendidik dan membimbing penulis dengan baik.

9. Bapak Ir.B.W.Wibowo selaku Manager PTPN IV Unit Kebun Sidamanik, juga kepada Bapak Okper Sinaga, Bapak B. Sitorus, Bapak Riduan Manik, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian, serta membantu dan membimbing penulis selama masa penelitian.

10.Untuk kedua Orangtua tercinta, dengan penghargaan dan kasih sayang yang

sedalam-dalamnya, terimakasih buat semua dukungan yang telah diberikan

kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat dan doa yang tak

ternilai harganya.I Love You So Much Mom and Dad. You are the Amazing

Grace in My Life.

11.Terimakasih juga buat My Big Brother (Jhon Parulian Sinaga) atas dukungan

moril maupun materil selama dalam masa perkuliahan maupun dalam

penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk kasih

(6)

12.Untuk adik-adik ku tersayang (Rosmey Hendrawati Sinaga dan Jhon

Newanda Sinaga), kalian adalah penyemangat terbesarku. I Love Both of

You..

13.Untuk orang-orang dekatku, K’Ida, K’Revina, K’Rita, terimakasih buat

semangat dan nasehat serta kebaikan yang telah kakak-kakak berikan. Untuk

teman-teman baikku, Merin, Nove, Asniari, The Tolol Bingung Grup (Seven

n Juni), Yusnar Ali, Guntur. Thank You so much buat bantuan doa, semangat

dan kebersamaannya. Aku bersyukur memiliki kalian. Heheheh....

14.Untuk teman-teman kost M’5 ( July, K’sella, Nerly) dan M’27 (Mandolin

Ceria Toon), makasih ya buat semuanya...

15.Buat teman-teman di Departemen Ekonomi Pembangunan, khususnya

angkatan ’06 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberikan warna dan kebersamaan pada setiap hari yang kita lewati.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan

ataupun kelemahan dan keterbatasan dalam penyusunannya oleh sebab itu penulis

menerima segala masukan yang konstruktif dari para pembaca guna penyempurnaan

isi maupun teknik penulisan yang benar. Akhir kata, semoga penelitian ini

bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih.

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Hipotesis ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Pengertian Perkebunan ... 9

2.1.1. Manajemen Perkebunan ... 12

2.2. Sejarah Tanaman The ... 14

2.3. Definisi dan Jenis The ... 15

2.4. Komoditi Teh Indonesia... 19

2.4.1. Sejarah Teh Indonesia ... 19

2.4.2. Perkembangan Komoditi Teh Indonesia ... 21

2.5. Perusahaan dan Produksi ... 28

2.5.1. Definisi Perusahaan ... 28

(8)

2.6. Definisi Produksi... 30

2.7. Faktor-Faktor Produksi ... 30

2.8. Teori Produksi ... 33

2.8.1. Teori Produksi Dengan 1 (satu) input ... 36

2.8.2. Teori Produksi Dengan 2 (dua) input atau lebih ... 39

2.9. Fungsi Produksi Cobb Douglas... 44

2.10. Biaya Produksi ... 47

2.10.1. Macam-Macam Biaya Produksi ... 48

2.10.2. Economies dan diseconomies scale ... 52

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 53

3.6.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square) ... 56

3.6.2. Uji t-Statistik ... 56

3.6.3. Uji F-Statistik ... 58

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 59

3.7.1. Multikolinearity ... 59

3.7.2. Autokorelasi ... 60

(9)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.2.2. Pembagian Tugas dan Wewenang ... 69

4.3. Tenaga Kerja PTPN IV Sidamanik ... 75

4.7.1. Koefisien Determinasi(R-Square) ... 91

4.7.2. Uji F-Statistik ... 91

4.7.3. Uji t-Statistik ... 92

4.7.4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 98

5.2. Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Luas Perkebunan Teh Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan

(1990-2009) ... 21

Tabel 2.2. Produksi Teh Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan (1990-2009) ... 22

Tabel 2.3. Volume Ekspor Impor Teh Indonesia (1980-2009) ... 23

Tabel 2.4. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Dalam Negeri (1997-2003) ... 27

Tabel 4.1. Jumlah Tenaga Kerja PTPN IV Sidamanik (1990-2009) ... 76

Tabel 4.2. Lama Pengeringan dan Tingkat Fermentasi Untuk Setiap Bubuk ... 81

Tabel 4.3. Lama Pengeringan di Mesin FBD dan TSD ... 82

Tabel 4.4. Luas Areal PTPN IV Sidamanik ... 84

Tabel 4.5. Jumlah Penggunaan Pupuk PTPN IV Sidamanik (1990-2009) ... 85

Tabel 4.6. Kapasitas Produksi ... 88

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Volume Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia

(1969-2007) ... 24

Gambar 2.2. Nilai Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia (1969-2009) ... 25

Gambar 2.3. Harga Komoditi Teh Indonesia (2000-2010) ... 26

Gambar 2.4. Kurva Production Possibility Curve ... 35

Gambar 2.5. Kurva Tahapan Produksi ... 38

Gambar 2.6. Kurva Isoquant ... 39

Gambar 2.7. Kurva Isocost ... 41

Gambar 2.8. Kurva Least Cost Combination ... 42

Gambar 2.9. Kurva Expantion Path ... 43

Gambar 2.10. Kurva Isoquan Fungsi Produksi Cobb Douglas ... 47

Gambar 2.11. Kurva TC, TFC, TVC ... 51

Gambar 3.1. Kurva Uji t-Statistik ... 57

Gambar 3.2. Kurva Uji F-Statistik ... 59

Gambar 3.3. Kurva Durbin-Watson ... 61

Gambar 4.1. Struktur Organisasi PTPN IV Sidamanik ... 68

(12)

ABSTRAK

Judul dari penelitian ini adalah Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun

Sumatera Utara. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik. Dengan

menggunakan variabel-variabel bebas seperti tenaga kerja, luas lahan, dan pupuk,

penelitian ini mencoba menerangkan bagaimana pengaruh masing-masing variable

tersebut terhadap peningkatan hasil produksi teh di instansi perkebunan yang

bersangkutan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode Ordinary

Least Square (OLS) dalam menganalisis data dan Eviews 5.1 sebagai software

pembantu dalam megolah data. Adapun data yang digunakan adalah data yang

berbentuk time series dengan kurun waktu 20 tahun dari tahun

1990-2009.Berdasarkan hasil analisis, variable tenaga kerja, luas lahan dan pupuk, secara

bersama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap hasil produksi teh di PTPN IV

Sidamanik.

Kata kunci: produksi teh, tenaga kerja, luas lahan, pupuk, Ordinary Least

Square(OLS)

(13)

ABSTRACT

The title of this research is Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. The

purpose of this research is to analyse the influence of input in increasing tea

production. By using independen variables,such as employee, area and fertilizer, this

research attempts to explain how those variables influence tea production in relevant

plantation company.

This research use econometric approach with Ordinary Least Square(OLS)

methode in analyzing data and Eviews 5.1 in processing data. The data is in time

series type with 20 years periode time from 1990 until 2009.

Base on analysis result, employee, area, and fertilizer are simultaneously

influential significant to tea production in PTPN IV Sidamanik.

Keywords: tea production, employee, area, fertilizer, Ordinary Least Square(OLS).

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan

adalah subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting dalam sektor

pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap

perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan

pekerjaan merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai

peranan yang cukup signifikan. Sampai dengan tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang

terserap oleh subsektor perkebunan diperkirakan mencapai sekitar 17 juta jiwa.

Subsektor perkebunan juga mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai

tambah yang tercermin kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB

perkebunan terus meningkat dari sekitar Rp 33,7 triliun pada tahun 2000 menjadi

sekitar Rp 47,0 triliun pada tahun 2003, atau meningkat dengan laju sekitar 11,7

persen pertahun. Dengan peningkatan tersebut kontribusi PDB subsektor perkebunan

terhadap PDB sektor pertanian adalah sekitar 16 persen. Terhadap PDB secara

nasional tanpa migas, kontribusi subsektor perkebunan adalah sebesar 2,9 persen atau

sekitar 2,6 persen terhadap PDB total, dengan berdasarkan atas harga berlaku. Jika

menggunakan PDB dengan harga konstan tahun 1993, pangsa subsektor perkebunan

(15)

migas dan PDB nasional masing-masing adalah 3,0 persen dan 2,8 persen(Badan

Pusat Statistik, 2004).

Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia, teh adalah

merupakan salah satunya. Teh sebagai salah satu komoditas yang bertahan hingga

saat ini mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia

melalui devisa yang dihasilkan, selain untuk menjaga fungsi hidrolis dan

pengembangan agroindustri. Perkebunan teh juga menjadi sektor usaha unggulan

yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1999,

industri ini mampu menyerap 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa.

Secara nasional industri teh menyumbang PDB sekitar Rp 1,2 triliun atau 0,3 % dari

total PDB non migas dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dollar AS setiap

tahunnya. ( ATI, 2000)

Dalam hal produksi, Jawa Barat merupakan penghasil teh terbesar di

Indonesia. Provinsi ini menghasilkan teh sebesar 70 % dari total produksi nasional.

Provinsi lain yang juga merupakan penghasil teh terbesar adalah Sumatera Utara dan

Jawa Tengah. Produksi teh Indonesia berfluktuasi dan cenderung menurun. Pada

tahun 1993, produksi teh Indonesia tercatat 164.994 ton. Kemudian menurun pada

tahun 1994 menjadi 139.222 ton dan mengalami kenaikan pada tahun berikutnya

yaitu menjadi 154.013 ton. Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menurun pada

tahun 1998, produksi teh justru mengalami kenaikan menjadi 166.825 ton. Akan

tetapi produksi kembali menurun menjadi 161.003 ton pada tahun 1999 dan 162.587

(16)

dari tahun sebelumnya menjadi 166.867 ton dan turun lagi menjadi 165.194 ton pada

tahun 2002. Untuk tahun 2003, produksi teh nasional tercatat mencapai 169.821 ton,

pada tahun 2004 menjadi 165.951 ton, tahun 2005 sebanyak 166.091 ton. Dan terus

menurun pada tahun 2006 menjadi 146.859 ton, tahun 2007 menjadi 150.623 ton.

Untuk tahun 2008 dan 2009 produksi teh nasional masing-masing 153.971 ton dan

148.916 ton (www.ditjenbun.go.id).

Produksi teh Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan produksi teh

dari negara-negara penghasil teh lainnya. India misalnya, pada tahun 1993 saja

sudah memproduksi 768.826 ton dan mencapai 853.710 ton pada tahun 2001. Begitu

juga dengan China, yang memproduksi sebanyak 599.941 ton pada tahun 1993 dan

kemudian pada tahun 2002 berkisar lebih dari 700.000 ton. Srilanka memproduksi

233.276 ton the pada tahun 1993 dan pada tahun 2002 menjadi 310.032 ton.

Sedangkan Kenya, pada tahun 2001 lalu memproduksi 294.044 ton teh. Padahal

pada tahun 1970 produksi teh negara tersebut masih di bawah produksi teh Indonesia

yaitu 41.077 ton produksi Kenya dan Indonesia 44.048 ton. Untuk keseluruhan

produksi teh dunia, yang mencapai 3.021.632 ton teh pada tahun 2002, produksi teh

Indonesia hanya sekitar lima persen dari total produksi tersebut.

Pangsa pasar teh Indonesia juga mengalami penurunan. Bahkan beberapa

pasar utama yang dikuasai Indonesia telah diambil alih oleh negara produsen teh

lainnya. Pasar-pasar yang kurang dapat dipertahankan Indonesia adalah Pakistan,

Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika serikat, Singapura, Malaysia,

(17)

ekspor teh pada tahun 2001, Indonesia merupakan negara pengekspor teh terbesar

pada urutan ketujuh di dunia setelah India (18,9 %), Cina (17,1%), Sri Lanka

(15,2%), Kenya (7,9%), Inggris (7,9%), dan Uni Emirat Arab (4%). ). Dalam

beberapa tahun berikutnya pangsa pasar ekspor teh Indonesia hanya menguasai 6,3

% (2003), 6,4 % (2004), 6,6 % (2005), 6,5 % (2006), yang menurun drastis jika

dibandingkan dengan pangsa pasar yang dapat dicapai pada tahun 1993 sebesar 10,8

%.(Suprihatini Rohayati, Daya Saing Ekspor Teh Indonesia)

Terpuruknya produksi teh Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti

kurang konsistennya mutu produk sehingga menyebabkan rendahnya harga teh

Indonesia, penurunan luas areal, serta masih rendahnya tingkat konsumsi teh

penduduk Indonesia. Faktor-faktor tersebut meyebabkan Indonesia kalah saing

dengan dengan negara produsen teh lainnya.

Kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi produsen teh Indonesia untuk

meningkatkan kualitas maupun kuantitas produknya agar mampu bersaing dengan

industri teh global dunia. Kemampuan untuk menciptakan produk dengan kualitas,

kuantitas dan kontinuitas yang tepat sesuai dengan permintaan konsumen menjadi

suatu keharusan dalam bisnis teh global.

Demikian halnya dengan PTPN IV Sidamanik yang juga merupakan salah

satu produsen teh, tidak terlepas dari kebenaran pernyataan di atas. Perkebunan teh

yang mempunyai luas lahan seluas 2.496,71 Ha ini, juga mengalami jumlah produksi

(18)

produksi tertinggi diperoleh pada tahun 2005 yaitu sebanyak 5.244.305 Kg dan

jumlah produksi terendah pada tahun 1991 dengan total produksi 2.875.000 Kg.

Sementara produksi untuk tahun terakhir (2009) hanya mencapai 3.591.545 Kg.

Hampir seluruh hasil produksinya ditujukan ke pasar ekspor dengan negara-negara

tujuan seperti Amerika, New Zealand, Australia, Malaysia, Singapura, Irak, Iran,

Saudi Arabia Pakistan dan lain-lain.

Dalam melakukan produksi, tentunya perusahaan dihadapkan dengan berbagai

masalah produksi. Masalah utama yakni berkaitan dengan faktor-faktor produksinya.

Dalam proses produksi yang bertujuan untuk menghasilkan output harus

menggunakan dari berbagai faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, tanah,

teknologi dan sebagainya.

Namun pada dasarnya faktor produksi dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:

1. Fixed Input yaitu faktor-faktor yang tidak dapat dirubah dengan segera

untuk memenuhi faktor-faktor produksi yang diminta oleh pasar. Misalnya

: tanah, gedung mesin dan sebagainya.

2. Variable Input yaitu faktor-faktor produksi yang dapat dirubah dengan

segera sesuai dengan perubahn produksi yang diminta oleh pasar.

Misalnya: bahan mentah, tenaga kerja, dan lain-lain. (Simbolon, 2007, hal

90)

Dalam prakteknya, faktor-faktor produksi yang mempunyai peranan besar

(19)

produksi tenaga kerja memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelaksana

kegiatan produksi. Peranannya sangat ditentukan terutama oleh kualitas (mutu)

disamping kuantitas (jumlah) yang tersedia. Semakin besar sebuah perusahaan,

biasanya akan mempergunakan tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak bila

dibandingkan dengan perusahaan dengan skala kecil.

Sementara untuk masalah lahan (tanah) terutama ditinjau dari sudut luas lahan

dan tingkat kesuburannya. Namun yang paling utama dianalisa adalah mengenai

luasnya yang sangat berpengaruh terhadap produksi yang akan dihasilkan. Semakin

luas lahan yang dimiliki akan memberikan hasil yang semakin tinggi pula.

Selanjutnya faktor produksi pupuk juga tidak kalah pentingnya dibanding

kedua faktor produksi yang telah disebutkan terlebih dahulu. Pemupukan pada

dasarnya ditujukan untuk meningkatkan produksi, karena pupuk dianggap sebagai

vitamin bagi tanah sehingga akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Penggunaan

pupuk secara tepat dan teratur akan dapat mempertinggi hasil produksi baik secara

kualitas maupun kuantitasnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menulis

skripsi dengan judul “ Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil

(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang, maka

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh tenaga kerja terhadap hasil produksi teh di

PTPN IV Sidamanik?

2. Bagaimanakah pengaruh luas lahan terhadap hasil produksi teh di

PTPN IV Sidamanik?

3. Bagaimanakah pengaruh penggunaan pupuk terhadap hasil produksi

teh di PTPN IV Sidamanik?

1.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas permasalahan yang menjadi

objek penelitian dan kebenarannya masih perlu diuji. Adapun yang menjadi hipotesis

dalam penelitian ini adalah :

1. Tenaga kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan

hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

2. Luas lahan mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan

hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

3. Penggunaan pupuk mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan

(21)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah tenaga kerja berpengaruh terhadap

peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

2. Untuk mengetahui apakah luas lahan berpengaruh terhadap

peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

3. Untuk mengetahui apakah penggunaan pupuk berpengaruh terhadap

peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel tenaga

kerja,luas lahan, dan penggunaan pupuk terhadap hasil produksi teh di

PTPN IV Sidamanik.

2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa

Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang

ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi perusahaan yang

bersangkutan.

4. Sebagai penambah, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil

(22)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Pengertian Perkebunan

Istilah perkebunan sudah lama dikenal, sejak pemerintahan kolonial

Belanda. Pada tahun 1938 di Indonesia terdapat 243 perkebunan besar. Pada tahun

1870 dengan keluarnya undang-undang agraria pengaturan perkebunan-perkebunan

swasta di Indonesia lebih tegas dan jelas. Keluarnya undang-undang agraria

mempunyai tujuan utama mengundang penanaman modal swasta ke Indonesia

untuk berusaha mengembangkan produk-produk pertanian yang diperlukan pasaran

dunia, terutama Eropa. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih

perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh Belanda, tepatnya sejak tahun 1957

(Syamsulbahri, 1996; 1).

Perkembangan perkebunan setelah orde baru dengan program

pembagunan lima tahunan (Pelita) tahap demi tahap telah memfokuskan program

pembangunannya terutama dalam sektor tanaman pangan, sedangkan sektor

perkebunan memberikan kerangka landasan peningkatan produksi dan diversifikasi

tanaman ekspor. Pada tahun 1992 telah berhasil membuat Undang-Undang Nomor

12 tentang budidaya tanaman. Dengan adanya undang-undang tersebut pemerintah

telah memberikan kebebasan kepada petani untuk menentukan pilihan jenis

tanaman dan pembudidayaannya, serta kewajiban pemerintah dalam menjamin

(23)

Sejarah perkebunan sebelum penjajahan Belanda di Indonesia, perkebunan

belum terorganisir secara struktural. Selama dekade penjajahan Belanda, Inggris,

dan Jepang pengelolaan perkebunan beralih kepenguasa, dalam hal ini penjajah.

Pada zaman Belanda dikenal ”sistem tanam paksa”. Setelah merdeka pengelolaan

perkebunan masih seperti zaman Belanda, barulah tahun 1957 terjadi perubahan

pengelolaan perkebunan. Pada tahun tersebut terjadi pengambil-alihan perkebunan

dari orang-orang asing oleh pemerintah Republik Indonesia. Dambaan petani untuk

menjadi tuan di tanahnya sendiri sangat diharapkan, karena menajer-manajer

perkebunan telah diisi oleh putra-putra Indonesia. Pada kenyataannya kenyataan

tersebut tidak bisa terwujud, karena didalam negeri sudah terlalu lama mengalami

peperangan untuk merebut kemerdekaan.

Pada tahap dicanangkannya program-program Pelita, pada subsektor

perkebunan mulai dilakukan pembenahan-pembenahan oleh pemerintah. Pada Pelita

I dan II telah dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan dan memulihkan

perkebunan-perkebunan yang terlantar. Pada Pelita III hingga V dilaksanakan

serangkaian usaha-usaha intensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi perkebunan.

Pada Pelita III perkembangan sektor perkebunan amat mencolok, terutama ditinjau

dari perluasan areal perkebunan baik di Jawa maupun diluar Jawa (Syamsulbahri,

1996; 3).

Sebelum mempelajari lebih jauh tentang perkebunan perlu kesatuan

pengertian dari perkebunan itu sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan

(24)

dapat diartikan berdasarkan fungsi, pengelolaan, jenis tanaman, dan produk yang

dihasilkan.

1. Perkebunan berdasarkan fungsinya dapat diartikan sebagai usaha untuk

menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan devisa negara, dan

pemeliharaan kelestarian sumber daya alam

2. Berdasarkan pengelolaannya, perkebunan dapat dibagi menjadi :

1) perkebunan rakyat; 2) perkebunan besar; 3) perkebunan perusahaan inti rakyat;

4) perkebunan unit pelaksana proyek

3. Perkebunan berdasarkan jenis tanamannya dapat diartikan sebagai usaha bididaya

tanaman yang filakukan oleh rakyat, pemerintah, maupun swasta selain tanaman

pangan dan holtikultura

4. Perkebunan berdasarkan produknya dapat diartikan sebagai usaha budidaya

tanaman yang ditujukan untuk menghasilkan bahan industri (misalnya karet,

tembakau, cengkeh, kapas), bahan industri makanan (misalnya kelapa, kelapa

sawit, dan kakao), dan makanan (misalnya tebu, teh, kopi, dan kayu manis).

Dari pengertian-pengertian tersebut perkebunan dapat diartikan sebagai:

”usaha bididaya tanaman baik oleh pemerintah, swasta, rakyat, maupun secara

bersama-sama dalam skala luas maupun sempit areal lahan yang digunakan namun

bertujuan untuk mendapatkan peningkatan pendapatan dan devisa negara, tanpa

mengabaikan penyerapan tenaga kerja dan pelestarian sumber daya alam”

(25)

2.1.1 Manajemen Perkebunan

Manajemen dapat diartikan sebagai usaha pengelolaan sumber-sumber daya

untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, dimana sifatnya universal yang

berarti dapat berlaku secara umum untuk berbagai organisasi. Dalam

perkembangannya, perkebunan dijadikan sebagai satu sub-sektor dari sektor

pertanian. Dimana sub-sektor perkebunan dijadikan andalan dalam memasukkan

devisa negara dari sektor non-migas. Pengelolaannya ada yang dilakukan oleh

pemerintah, swasta, maupun oleh rakyat. Sistem pengelolaan perkebunan di

Indonesia ada keterpaduan antara unsur-unsur yang membentuk sub-sektor

perkebunan yang meliputi pemerintah, swasta dan masyarakat (Syamsulbahri, 1996;

16).

1. Perkebunan Rakyat

Perkebunan rakyat yang sering disebut juga pola swadaya menduduki hampir

80% dari total areal perkebunan yang ada di Indonesia. Pengelolaannya masih

terbatas, dalam artian belum ada pembagian pengelolaan untuk masing-masing

sistem. Untuk itu seorang petani tanaman perkebunan dapat berfungsi dan bertindak

sebagai pelaksana setiap kegiatan usahanya.

2. Perkebunan Besar

Perkebunan besar swasta dan perkebunan besar milik negara sering disebut

sebagai satu plantation atau estate dimana pengelolaannya jelas untuk masing-masing

(26)

yang meliputi manajemen tanaman, manajemen pengolahan hasil dan manajemen

pemasaran komoditi perkebunan.

Beberapa ciri dari perkebunan besar, antara lain : hamparan lahan reatif

luas, tanaman dan tata tanam yang seragam, pemakaian bibit unggul dan teknologi

relatif maju, perencanaan terinci dan pegawasan yang ketat, standarisasi (prosedur,

prestasi, hasil, mutu dan biaya), penggunaan tenaga kerja terampil atau terlatih,

disiplin dalam berbagai bidang, akomodasi pekerja di sekitar unit kerja, wadah

organisasi dan mekanisme koordinasi. Pola organisasi perusahaan perkebunan

umumnya dapat digambarkan sebagai organisasi intern yang mengatur hubungan

antara kantor Direksi dengan kebun atau Pabrik. Atas dasar laporan-laporan harian,

bulanan serta tugas-tugas pengawasan dilakukan oleh aparat direksi. Seluruh kegiatan

administrasi kebun/pabrik dikoordinir oleh Kantor Direksi.

3. Perusahaan Perkebunan Inti Rakyat

Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) Direktorat Jenderal

Perkebunan mengartikan sebagai usaha pengembangan perkebunan dengan

menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing

perkebunan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang

saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan. Perusahaan inti merupakan

perusahaan perkebunan besar baik milik swasta maupun milik negara, sedangkan

kebun plasma merupakan areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti

(27)

4. Perkebunan Unit Pelaksana Proyek

Unit pelaksana proyek merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan

dalam pembinaan dan pelaksanaan proyek perkebunan, setiap unit pelaksanaan

proyek perkebunan ditentukan oleh luas areal perkebunan rakyat yang dibina, dimana

pembinannya dilaksanakan mulai dari pembibitan, penanaman sampai dengan

pengolahan dan pemasaran hasil. Pembinaan dilakukan secara menyeluruh termasuk

juga peningkatan keterampilan para petani dengan mengadakan kursus-kursus

latihan-latihan, dan bimbingan didalam inti proyek.

2.2 Sejarah Tanaman Teh

Umum menduga bahwa tanah asal tanaman teh terletak dipegunungan antara

Tibet dan Republik Rakyat Cina (RRC) sebelah selatan, yaitu didaerah antara 25-35

derajat lintang utara, dan antara garis meridian 95-105 derajat. Kebun –kebun teh

yang pertama diselenggarakan orang ada ditanah pegunungan sebelah barat RRC

Selatan. Hingga sekarang propinsi Szechwan merupakan salah satu daerah teh yang

terpenting di Asia Tenggara. Sejak zaman dahulu kala hasil tanaman teh di daerah

tersebut dipergunakan orang dalam ilmu pengobatan (Spillane, J., 1992; 15).

Di negeri Jepang tanaman teh untuk pertama kali ditanam dalam tahun 800.

Biji-bijinya didatangkan dari negeri Tiongkok. Meskipun tumbuh tanaman teh di

Jepang baik, lama perhatian penduduk kepada tanaman itu sedikit. Dalam abad XV

(28)

sejak itu timbul kebiasaan untuk menyelenggarakan upacara minum teh tiap-tiap

tahun, yang sampai sekarang masih berlangsung.

Perhatian terhadap hasil teh tidak terbatas di Jepang dan RRC saja. Abad VI

pedagang-pedagang Turki yang sudah mengadakan hubungan dengan Tiongkok,

membawa hasil teh ke negerinya untuk diperdagangkan. Abad XVI hasil teh mulai

dikenal orang dibenua Eropa, yaitu setelah pendeta-pendeta Kristiani yang datang

kembali dari Tiongkok dan membawanya sebagai oleh-oleh.

Tahun 1610 oleh pedagang bangsa Belanda hasil teh dari Tiongkok mulai

diperdagangkan di negeri Belanda dan lain-lain negeri di Eropa. Dalam abad XVIII

lebih banyak lagi orang-orang di benua Eropa suka minum teh. Juga di Rusia dalam

abad tersebut sudah banyak orang yang mengenal teh, sementara itu hasil teh juga

diperkenalkan kepada penduduk Amerika Utara, yang beda dengan penduduk benua

lainnya umumnya memberi sambutan baik sekali (Spillane, J., 1992; 16). Dengan

demikian maka dalam abad XVIII hasil teh sudah dikenal dan diharapkan orang

diseluruh dunia, sehingga di pasar dunia hasil teh itu merupakan barang dagangan

yang penting dan yang memberikan banyak keuntungan.

2.3. Definisi dan Jenis Teh

Tanaman teh aslinya ditulis oleh Linnaeus didalam sistem binominalnya

pada tahun 1753 sebagai Teh sinensis, sekarang teh diletakkan di Camellia sebagai C,

(29)

digambarkan oleh John Hill, yaitu , T.viridis dan T.bohea. secara keliru dianggap

bahwa T.bohea adalah sumber teh hitam, sedangkan T.viridis menghasilkan teh hijau.

Pada tahun 1843 Robert Fortune menemukan bahwa teh hitam dan teh hijau

dihasilkan dari daun tanaman yang sama dengan proses produksi yang berbeda

(Spillane, J., 1992; 19).

Pada umumnya teh-teh dapat dikelompokkan dalam tiga golongan

(Spillane, J., 1992; 22):

1. Teh yang difermentasikan atau teh hitam (fermented)

2. Teh yang tidak difermentasikan atau teh hijau

3. Teh yang setengah difermentasikan atau oolong (semi fermented)

Teh datang dari tanaman yang hampir sama di semua negara. Perbedaan

antara jenis teh tersebut dikarenakan perbedaan cara produksi dan iklim lokal, tanah

dan kondisi pengolahan. Ada kira-kira 1.500 tanaman teh yang berbeda dan kira-kira

2.000 campuran yang mungkin.

Dalam perdagangan teh internasional dikenal 3 golongan teh, yang

pengolahannya berbeda-beda dan demikian juga bentuk serta cita rasanya, yakni

(Spillane, J., 1992; 22):

a. Black Tea (teh hitam)

b. Green Tea (teh hijau atau teh wangi)

(30)

Perbedaan pokok antara teh hitam dan teh hijau adalah bahwa teh hitam

mengalami proses fermentasi (proses pemeraman) yang merupakan ciri khasnya,

sedangkan teh hijau tidak mengenal fermentasi dalam proses pengolahannya.

Disamping itu teh hitam tidak mangandung unsur-unsur lain diluar pucuk teh,

sedangkan teh hijau karena bau daunnya tidak hilang (karena tidak mangalami proses

fermentasi itu) harus dikompensasi dengan wangi-wangian dari bahan non teh. Di

Indonesia biasanya bunga melati digunakan dalam proses ini. Teh Oolong khas teh

Cina/Taiwan, merupakan semacam perkawinan antara teh hitam dan teh hijau, yakni

mengalami “setengah fermentasi”.

Jenis-jenis mutu teh hitam dapat dibagi dalam tiga golongan dengan

perincian sortasi mutu-mutunya sebagai berikut:

1. Teh daun atau Leaf Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Orange Pekoe, Pekoe,

Pekoe Souchon

2. Teh Remuk atau Broken Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Broken Orange

Pekoe, Broken Pekoe, Broken Tea.

3. Teh Bubuk atau Powdered Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Fanning, Dust.

Teh daun mempunyai karakteristik mutu-mutunya sebagai berikut:

a. Orange Pekoe (singkatan dalam perdagangan OP), terdiri untuk sebagian besarnya

(31)

Bentuk teh ini panjang dan halus. Warna teh ini hitam mengkilap dan pada ujung

kuncup daun itu terdapat titik kuning emas (tips).

b. Pekoe (P), terdiri dari daun-daun kuncup. Warnanya hitam mengkilap bercampur

warna kecoklat-coklatan. Bentuknya lebih pendek dan lebih lebar dibanding OP.

c. Pekoe Souchon (PS), terdiri dari daun pucuk. Warnanya hitam mengkilap.

Rasanya lebih pahit dan kurang harum dibanding OP dan P.

Teh remuk mempunyai karakteristik mutu-mutunya sebagai berikut:

a. Broken Orange Pekoe (BOP), bentuknya keriting ukuran kecil daun teh remuk

yang tidak utuh. Teh ini mengandung tips (kuncup yang belum mekar). Warnanya

hitam mengkilap tanpa warna coklat.

b. Broken Pekoe (BP), rupanya hampir sama dengan BOP, tetapi tidak mengandung

tips.

c. Broken Tea (BT), terdiri dari daun-daun yang tidak tergulung sewaktu masuk

mesin penggulung (roller) dan mempunyai bentuk kecil-kecil serta tipis.

Sebelum pihak konsumen teh membeli teh hasil perkebunan tertentu, mutu

teh itu dinilai terlebih dahulu dari contoh-contoh representatif yang diambil dari suatu

chop produksi. Penilaian teh atau tea testing dilakukan dalam dua tingkat, yakni

(Spillane, J., 1992; 23):

a. Penilaian kualitas luarnya dari teh (Appearance of teh tea)

b. Penilaian kualitas dalamnya (Inner quality).

(32)

a. Pemeriksaan contoh teh kering dengan menilai kenampakannya secara visual

(visual appearance) dalam bentuk teh, warnanya,keratannya.

b. Pemeriksaan contoh air seduhan (liquor) teh dengan menilai warna, aroma, dan

rasa.

c. Pemeriksaan contoh ampas seduhan (infusion) dengan menilai warna serta

aromanya. Diambil kadar air dari teh kering (teh terkenal higroskopis/menghisap

lembab udara).

2.4. Komoditi Teh di Indonesia

2.4.1. Sejarah Teh Indonesia

Tanaman teh mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1686. Pembawa

tanaman tersebut adalah seorang Belanda yang bernama Andreas Cleyer di

perkebunan Batavia (Jakarta). Usaha ini bukan dalam skala besar tetapi minat untuk

menanam teh bertambah makin luas. Sesudah tahun 1728 pengolahan teh didukung

oleh pemerintah. Lalu percobaan-percobaan di kebun Botani di Bogor berhasil pada

tahun 1826. Perkebunan teh yang pertama di Indonesia dimulai oleh J.I.L.L. Jacobson

pada tahun 1828. Sesudah ini, perkembangan industry teh di Indonesia

sungguh-sungguh terjadi. Lebih banyak lagi perkebunan didirikan dan pada tahun 1870 ada 15

perkebunan yang berjalan. Sampai saat ini pohon teh diimpor dari Cina dan Jepang.

Namun, pada tahun 1872, bibit dari jenis teh Assam diimpor dari India karena jenis

ini lebih tahan lama. Sejak saat itu, berangsur-angsur teh Assam menggantikan teh

(33)

Pada tahun 1900-an pengembangan perkebunan teh diserahkan kepada

swasta karena biayanya cukup besar. Dengan menanam bibit teh yang berasal dari

Assam (India), hasilnya ternyata lebih baik dibanding kedua bibit yang ditanam

sebelumnya. Sejak saat itu perkebunan teh di Jawa tumbuh di beberapa daerah seperti

Bogor, Priangan, Cirebon dan Malang. Sesudah itu perkebunan teh meluas ke

Sumatera Utara dan Selatan (Bank Bumi Daya, 1980; 6).

Pada tahun 1930 produksi teh semakin meningkat, hal ini berkaitan dengan

baiknya harga teh di pasar luar negeri. Tahun 1933 harga teh turun cepat yang

disebabkan gejala kelebihan penyediaan oleh negara-negara penghasil teh. Karena itu

produsen teh seperti India, Srilangka dan Indonesia mengadakan pembatasan

produksi agar dicapai tingkat harga yang lebih baik.

Perkebunan teh Indonesia pada masa pendudukan Jepang (1942-1945)

banyak yang rusak. Sesudah kemerdekaan hingga tahun 1950 usaha perkebunan teh

mulai dihidupkan kembali akan tetapi perkembangannya sangat lambat mengingat

kurangnya dana disamping karena belum stabilnya keamanan terutama di Jawa Barat.

Pada tahun 1960-an produksi teh Indonesia terus menurun karena umur

rata-rata tanaman yakni diatas 40 tahun, kemudian meningkat kembali sejak

dilaksanakannnya Repelita pertama. Produksi teh Perkebunan Pemerintah (PNP/PTP)

semakin meningkat sedangkan perkebunan swasta nasional dan perkebunan rakyat

lambat pertumbuhannya. Disamping dilaksanakan program intensifikasi dan

(34)

pabrik teh, rehabilitasi tanaman dan pendirian beberapa pabrik baru (Spillane, J.,

1992; 7).

2.4.2. Perkembangan Komoditi Teh Indonesia

Indonesia memiliki banyak perusahaan teh baik milik pemerintah maupun

swasta yang mengelola komoditi teh dari hulu hingga hilir. Lahan yang luas dan

produkstivitas tanaman teh yang tinggi mampu membawa Indonesia menduduki

peringkat ke tujuh sebagai negara produsen dan eksportir terbesar di dunia.

(35)

. Penurunan luas areal teh di Indonesia tentu saja akan mempengaruhi jumlah

total produksi nasional. Namun, terkadang penurunan luas areal tidak berpengaruh

pada produksi,bahkan produksi mengalami peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan

meningkatnya produkstivitas tanaman secara biologisnya. Adapun perkembangan

produksi teh nasional dapat dilihat pada tabel berikut.

Table 2.2. Produksi Teh Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan (1990-2009)

TAHUN

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan

Hasil yang dicapai selain untuk dikonsumsi di dalam negeri,juga diekspor ke

(36)

sangat sulit karena posisi Indinesia hasnya sebagai pengikut pasar dengan pangsa

pasar hanya sekitar 6 persen. Untuk melihat perkembangan hasil ekspor dan import

teh Indonesia dapat disajikan pada tabel di 2.3

Tabel 2.3. Volume Ekspor dan Impor Teh Indonesia (1980-2007)

TAHUN

(37)

Berikut dapat kita lihat perkembangannya melalui gambar 2.1.

Gambar 2.1. Volume Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007

Sementara untuk nilai ekspor dan impor,dapat pula digambarkan melalui

gambar 2.2.

Dari gambar 2.2 terlihat bahwa nilai ekspor tertinggi dicapai pada tahun 1990

yaitu sebesar US $ 181.017.000 dengan total volume ekspornya sebesar 110.963 ton.

Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi Indonesia khususnya bagi produsen teh di

Indonesia. Namun pada tahun-tahun berikutnya, volume dan nilai ekspornya

(38)

Gambar 2.2. Nilai Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007

Untuk harga komoditi teh Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah

permintaan dan ketersediaan komoditi teh di tingkat dunia. Apabila pasokan dunia

berlimpah maka harga teh Indonesia akan menurun. Mutu dan kualitas teh tentunya

juga menjadi faktor penentu tingkat harga komoditi teh Indonesia. Berikut adalah

perkembangan harga komoditi teh menurut beberapa pusat pelelangan teh seperti

Colombo Tea Auction (CTA), Jakarta Tea Auction (JTA), dan Mombasa Tea

(39)

Gambar 2.3. Harga Komoditi Teh Indonesia Tahun 2000-2010

Sumber: Departemen Pertanian

Komoditi teh banyak diperdagangkan di Colombo dan Mombasa. Dari ketiga

tempat pelelangan tersebut, jika dibandingkan dengan harga komoditi teh di pasar

dunia, harga komoditi teh Indonesia masih lebih rendah, yang ditunjukkan dari

pergerakan grafik JTA( Jakarta Tea Auction). Dari gambar 2.3 dapat dilihat bahwa

ternd harga komoditi teh di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Namun meskipun demikian, harga komoditi teh Indonesia masih jauh bila

dibandingkan dengan harga komoditi teh di pusat pelelangan teh lainnya seperti di

Colombo Tea Auction (Sri Langka) dan Mombasa Tea Auction.

Pada tahun 2006, harga teh Indonesia berpotensi mengalami kenaikan.

(40)

kemarau yang melanda negara tersebut. Hal ini memberikan dampak positif pada

harga teh Indonesia. Kenaikan ini merupakan kenaikan tertingggi sejak 6 tahun

sebelumnya.

Tingkat konsumsi teh penduduk Indonesia juga masih lebih rendah

dibandingkan dengan tingkat konsumsi teh di negara produsen teh lainnya. Tabel 2.4

menunjukkan tingkat konsumsi teh Indonesia yang relatif tetap dan tergolong rendah,

jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki tingkat konsumsi teh per kapita

cukup tingggi, seperti India mencapai di atas 660 gram, Sri Lanka 1,380 gram,

Hongkong 1.370 gram, inggris 2.240 gram, Irlandia 2.960 gram, Polandia 820 gram,

Bahrain 1.310 gram, Arab diatas 2000 gram, Pakistan 750 gram, Jepang 1.040 gram

dan New Zealand 950 gram (ITC, 2004)

Tabel 2.4. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Dalam Negeri (1997-2003)

Sumber : International Tea Committee(ITC), 2004

Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya konsumsi per kapita nasional tersebut

antara lain: faktor internal konsumen seperti budaya, kelas sosial, karakteristik

(41)

individu dan faktor psikologis. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kinerja bauran

pemasaran produk, harga , promosi serta produk sustitusi (air minerl, susu, kopi, dan

coklat).

2.5. Perusahaan dan Produksi

2.5.1. Definisi Perusahaan

Perusahaan didefinisikan sebagai suatu unit organisasi yang menggunakan

berbagai faktor produksi dan menghasilkan barang dan jasa untuk dijual kepada

rumah tangga, perusahaan lain atau pemerintah dengan berorientasi pada keuntungan

(profit oriented). (Pracoyo, T. K., 2005; 143)

2.5.2. Jenis Perusahaan

Bentuk-bentuk perusahaan dalam organisasi bisnis dapat dibedakan menjadi tiga

kelompok, yakni: ( Pracoyo, T. K., 2006; 144)

1. Perusahaan Perseorangan

Perusahaan perseorangan dimiliki oleh pemilik tunggal, dimana ia sebagai

pengambil keputusan dan harus bertanggung jawab penuh atas segala

kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Karena ia adalah

pemilik tunggal maka pemiliknya mempunyai kekuatan penuh untuk

mengendalikan seluruh aktivitas perusahaan. Oleh sebab itu, pemilik

(42)

bentuk perusahaan ini adlah modal yang cenderung terbatas, karena hanya

bersumber dari satu orang saja. Kelemahan yang lain adalah pemiliknya

secara pribadi harus bertanggung jawab penuh secara hukum atas

kewajiban/utang perusahaan. Kewajiban ini dikenal dengan istilah

kwajiban tanpa batas(unlimited liability).

2. Perusahaan Perkongsian (Partnership)

Pada perusahaan perkongsian biasanya terdapat dua orang atau lebih

secara besama-sama melakukan kegiatan usaha. Kerana usaha ini

bersama-sama maka setiap keputusan yang diambil oleh seseorang

maupun bersama-sama, menjadi tanggungjawab semua anggota atas

segala aktivitas yang dilakukan perusahaan. Kesulitan dana/modal yang

dihadapai oleh perusahaan perseorangan, cukup teratasi dengan

membentuk perkongsian ini.

3. Perseroan Terbatas (Corporation)

Pada bentuk ini, perusahaan merupakan badan hukum tersendiri. Secara

hukum perseroan terbatas dianggap sebagai suatu badan yang terpisah

dengan orang-orang yang yang memiliki perusahaan. Pemilik akan

memilih dewan direksi, pada tahap selanjutnya akan memilih para manajer

untuk menjalankan segala aktivitas perusahaan di bawah kendali direksi.

Perusahaan memperoleh dana dengan cara menjual saham. Oleh sebab itu

pemilik perseroan terbatas adalah para pemegang saham. Pemili saham

tidak memiliki kewajiban atas segala tindakan yang dilakuakn perusahaan

(43)

ini bangkrut maka kewajiban pribadi dari setiap pemegang saham

hanyalah pada jumlah uang yang ditanmakan pada perusahaan tersebut.

2.6. Definisi Produksi

Yang dimaksud dengan produksi atau memproduksi adalah suatu usaha atau

kegiatan untuk menambah kegunaan (nilai) suatu barang (Putong, I., 2005; 203).

Kegunaan suatu barang akan bertambah apabila memberikan manfaat baru atau lebih

dari bentuk semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi yaitu alat

atau sarana untuk melakukan proses produksi. Adapun faktor-faktor produksi tersebut

yaitu; Manusia(tenaga kerja), Modal(uang atau alat modal seperti mesin), SDA

tanah), dan Skill(manajemen).

2.7. Faktor-Faktor Produksi

1. Tanah

Tanah sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil

pertanian yaitu tempat dimana produksi berjalan dan dari mana hasil produksi keluar.

Dalam pertanian, terutama di Negara kita, faktor produksi tanah mempunyai

kedudukan paling penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima

(44)

Tanah adalah faktor produksi yang tahan lama sehingga biasanya tidak

diadakan depresiasi atau penyusutan. Bahkan dengan perkembangan penduduk nilai

tanah selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tetapi dalam pertanian tanah

yang dikerjakan terus menerus akan berkurang pula kesuburannya. Untuk

mempertahankan kesuburan tanah petani harus mengadakan rotasi tanaman dan

usaha-usaha konservasi tanah lainnya (Mubyarto, 1984; 88).

Unsur-unsur sosial ekonomi yang melekat pada tanah dan memiliki peranan

dalam pengelolaan usaha tani cukup beragam, diantaranya adalah:

1. Kekuatan atau kemampuan potensil dan aktuil dari tanah

2. Kapasitas ekonomis, efisiensi ekonomis dan keunggulan bersaing dari tanah

3. Produktivitas tanah, yang dimaksud dengan produktivitas tanah adalah jumlah

hasil total yang diperoleh dari satu kesatuan bidang tanah (satu hektar) selama

satu tahun dihitung dengan uang.

4. Nilai sosial ekonomis dari tanah

Bagi sebuah perusahaan lahan (tanah) memiliki peranan penting terutama

sebagai tempat pendirian perusahaan dan pabrik-pabrik yang dibutuhkan dalam

proses produksi. Selain itu bagi perusahaaan tertentu tanah ini dapat dijadikan sebagai

sumber bahan baku, misalnya melalui pemberdayaan lahan yang dapat mendukung

(45)

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja sering disebut tenaga manusia mutlak dibutuhkan jika ingin

menghasilkan sebuah produk. Tenaga kerja yang tersedia biasanya digunakan untuk

mengoperasikan serta mengendalikan mesin/peralatan yang dimiliki oleh perusahaan.

Untuk kasus tenaga kerja ini terutama tidak dipandang dari kuantitas (jumlah), tetapi

juga mutu (kualitas) yang sangat mempengaruhi kinerja perusahaan yang

bersangkutan.

Dengan adanya tenaga kerja yang terdidik dan terlatih maka dipastikan

kesalahan-kesalahan fatal yang merugikan dan membahayakan akan dapat dicegah.

Dalam hal ini sebuah perusahaan sangat mengharapkan tenaga kerja yang

benar-benar berpengalaman serta memilki keahlian yang tinggi sehingga dapat memberikan

kontribusi yang besar terutama terhadap peningkatan produksi perusahaan. Selain

keahlian, dan kejujuran, kedisplinan juga hal yang sangat dibutuhkan dari seorang

tenaga kerja.

Tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan kedalam persoalan

tenaga kerja dalam usaha tani kecil-kecilan (usaha tani pertanian rakyat) dan

persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besaran yaitu

perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya. Petani yang memiliki lahan tidak

luas tidak membutuhkan tenaga kerja dari luar. Tetapi bagi petani yang memilki

(46)

3. Modal

Pengertian modal adalah barang dan jasa yang bersama-sama dengan faktor

produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru.Barang-barang

pertanian yang termasuk barang modal dapat berupa uang, ternak, pupuk, bibit,

cangkul, investasi dalam mesin dan lain-lain. Biasanya semakin besar dan semakin

baik kualitas modal yang dimiliki maka akan sangat mendukung terhadap

peningkatan produksi yang dihasilkan (Mubyarto, 1984; 91).

4. Manajemen (Skill)

Manajemen berarti proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan

pengawasan usaha-usaha para anggota serta penggunaan sumber daya dalam rangka

pencapian tujuan yang telah ditetapkan. Dari uraian di atas maka faktor produksi ini

tidaklah kalah penting dibanding faktor produksi lain. Perlu diketahui ada 3 alasan

manajemen ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan, yakni (Handoko, T. H.) :

1. Untuk mencapai tujuan perusahaan.

2. Untuk menjaga keseimbangan diantara tujuan-tujuan yang saling bertentangan

3. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas

2.8. Teori Produksi

Konsep dasar teori produksi sangat diperlukan bagi berbagai pihak, terutama

pihak produsen untuk menentukan bilamana output dapat memberikan maksimum

(47)

maupun informasi ketersediaan berbagai input guna mendukung proses output.

Demikian pula alternative penggunaan input dan bahkan pengorbanan terhadap

sesuatu output guna kepentingan output lainnya. Keterangan ini perlu mendapat

perhatian para pelaku kegiatan produksi sebagai suatu kebijaksanaan sekaligus

keputusan.

Production Possibility Curve

Proses penciptaan output selalu dihadapkan kepada berbagai alternative,

apakah alternative dimaksud berkaitan dengan penggunaan input atau penciptaan

output. Beberapa proporsi maupun jenis input yang digunakan guna menghasilkan

berbagai output dan bagaimana kombinasi penggunaan input sehingga proses

produksi terkendali. Informasi pasar output dan kesediaan input sangat berperan

sehingga proses produksi memberikan laba maksimum bagi perusahaan. Konsep

production possibility curve atau disebut production frontier dapat mengungkapkan

keterangan diatas.

Dalam penerapannya pengertian ini mendukung makna berupa penggunaan

berbagai sumber daya yang tersedia dalam kegiatan produksi secara keseluruhan

dengan alternative output. Apabila sumber daya yang tersedia tidak digunakan secara

keseluruhan berarti proses produksi tidak efisien. Tepatnya pengertian production

possibility curve sendiri merupakan alternative pengorbanan yang diberikan sesuatu

output guna peningkatan output lain seperti ditunjukkan pada gambar 2.2

(48)

Gambar 2.4. Kurva Production Possibility Curve

Berdasarkan uraian diatas, produksi pada dasarnya merupakan proses

penggunaan input (masukan) untuk menghasilkan output (keluaran). Secara umum

fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Output = f(input)

Hubungan di antara penggunaan input dalam rangka penciptaan output dalam

terjemahan fungsi disajikan sebagai:

(49)

Pengertian output tentunya berkaitan dengan produk yang dihasilkan dengan

berbagai criteria dan input meliputi antara lain penggunaan tenaga kerja,

barang-barang modal, bahan baku,teknologi dan berbagai input lainnya dengan berbagai

satuan (Sumanjaya,R., 2008; 80)

2.8.1 Teori Produksi dengan 1 (satu) Input

Fungsi produksi dengan penggunaan 1 (satu) input disajikan sebagai:

q = f(x1)

Input X1 dapat berupa penggunaan input tenaga kerja, lahan, bahan

baku,barang-barang modal, pupuk dan lainnya sehingga memberikan makna

keberadaan masing-masing input tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan

sejumlah produksi. Apabila input tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi

berarti pembahasan bertumpu pada kemampuan tenaga kerja dalam menciptakan

jumlah produksi (total physical productivity of labor/TPPL atau acapkali disingkat

(TP), produksi margin (marginal physical productivity of labor atau MP), rata-rata

produksi (avarage physical productiviy of labor atau AP) dan sampai kepada laba

maksimum( profit maximation). Adapun faktor produksi lainnya dianggap tetap.

Pengertian total physical productivity of labor pada dasarnya merupakan

kemampuan input tenaga kerja untuk menghasilkan produksi. Kemampuan dimaksud

terungkap dari perkembangan jumlah produksi yang dihasilkan dari perubahan

(50)

Definisi avarage product (rata-rata produksi) dari penggunaan input tenaga

kerja adalah jumlah produksi dibagi dengan jumlah input tenaga kerja yang

digunakan. Keterangan ini juga dapat digunakan untuk mengulur tingkat

produkstivitas tenaga kerja dalam bentuk suatu ukuran sebagai perbandingan diantara

output dan input.

AP = TP/x1

Sedangkan definisi marginal product (produk margin) dari input yang sama

adalah perubahan total output yang diakibatkan oleh perubahan satuan input tenaga

kerja dalam proses produksi:

MP = ∆TP/ ∆x1

Penambahan tenaga kerja masing-masing satu orang maka formulasi dapat

disajikan dengan rumus:

MP = ∆ TP

Tahapan produksi

Berdasarkan data dan grafik pada gambar 2.5 dapat ditemukan tahapan

(stage) produksi, apakah sebagai tahap I, tahap II, dan tahap III. Tahap I ditunjukkan

dari penggunaan 1 input tenaga kerja sampai pada perpotongan marginal product

dengan average product. Tahap II dimulai dari MP = AP sampai pada maksimum

total product dengan MP = 0. Tahap III dimulai total product mengalami penurunan

(51)

Gambar 2.5. Kurva Tahapan Produksi

Tahap I penggunaan tenaga kerja relative kecil sehingga total produksi

masih memungkinkan untuk ditingkatkan, tahapan ini merupakan irrational stage

sebagaimana tahap III dimana penambahan jumlah input tenaga kerja justru

menurunkan jumlah produksi. Tahap II merupakan rational stage dimana

penambahan input tenaga kerja dapat meningkatkan jumlah produksi. Dengan

demikian berdasarkan ketiga tahapan produksi diatas, terbaik terdapat pada tahap

produksi II (Sumanjaya,Rakhmat.,2008;83).

TPL

APL

MPL

I II III

(52)

2.8.2 Teori Produksi dengan 2 (dua) Input atau Lebih

Apabila dua input yang digunakan dalam proses produksi menjadi variabel

semua, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan isoquan dan isocost.

a. Isoquant

Isoquant adalah kurva yang menunjukkan kombinasi input yang dipakai

dalam proses produksi, yang menghasilkan output tertentu dalam jumlah yang sama

(Suharti, T., 2003; 83).

Gambar 2.6. Kurva Isoquan

Isoquant mempunyai ciri-ciri yang sama dengan indifference curve dalam

analisis perilaku konsumen, yaitu (Suharti, T., 2003; 83):

1. Turun dari kiri atas kekanan bawah

K

K1

K2

L2

L1 L

(53)

2. Cembung ke arah titik origin

3. Tidak saling berpotongan

4. Kurva pada gambar 2.6 menunjukkan jumlah output yang lebih banyak, artinya

perubahan produksi digambarkan dengan pergeseran isoquan.

Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS)

Adalah suatu pernyataan yang mengungkapkan penurunan/berkurangnya

penggunaan sesuatu input (kapital) di satu sisi pada sumbu vertikal dan diganti

dengan penambahan input lain (tanaga kerja) dengan tingkat produksi yang sama

(Sumanjaya, R.,2008; 87). Secara matematis dapat dituangkan sebagai berikut:

MRTS = K L MP MP

b. Isocost

Isocost adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi antara dua

input yang berbeda yang dapat dibeli oleh produsen pada tingkat biaya yang sama

(54)

Gambar 2.7. Kurva Isocost

Berdasarkan gambar 2.7 dapat dijelaskan bahwa semakin dekat dengan titik

origin, berarti semakin kecil pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh produsen, dan

sebaliknya, semakin jauh dari titik origin maka semakin besar pengeluaran produsen.

Optimal production with least cost combination

Adalah mengungkapkan produksi optimal yang dihasilkan dari proses

kombinasi penggunaan input sebagai total biaya produksi (last least combination).

Kondisi ini disebut juga sebagai optimasi produsen. Terungkap melalui grafik berikut

pada saat isocost line dan isocost curve saling bersinggungan hanya pada satu titik

tertentu saja(Sumanjaya, R., 2008; 91)

L2 L L1

K

K1

(55)

Gambar 2.8. Kurva Least Cost Combination

Expantion Path

Untuk melihat apakah penggunaan input produksi sudah secara riil sudah

optimal atau belum, maka dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek teknis (technical

aspect)dan aspek financial(financial aspect)(Salvatore, 1994:172). Aspek teknis

merupakan tempat kedudukan kombinasi input terbaik yang diinginkan untuk

menghasilkan output produksi maksimum yang ditunjukkan oleh kurva isoquant,

sedangkan aspek financial merupak tenpat kedudukan kombinasi input produksi yang

dapat dilakukan perusahaan seperti yang ditentukan oleh ketersediaan anggaran yang

dimiliki yang ditunjukkan oleh kurva isocost.

Kombinasi input yang memenuhi aspek teknis dan aspek financial tersebut

juga dapat ditelusuri melalui kurva Expantion Path. Kurva ini menggambarkan

LEAST COST COMBINATION

ISOQUAN K

(56)

kombinasi input yang menghasilkan output maksimal dengan biaya tertentu, atau

output tertentu, atau output tertebtu dengan biaya yang rendah apabila perusahaan

melakukan perluasan yang menunjukkan keseimbangan (equilibrium of firm). Pada

sepanjang garis jalur ekspansi ini akan diketemukan slope garis anggaran sama

dengan slope isoquant (Suhartati, T., 2003; 89)

Gambar 2.9. Kurva Expantion Path

Return To Scale

Return to scale merupakan suatu fungsi produksi dimana menggambarkan

hubungan antara perbandingan perubahan semua input-input yang berdampak

terhadap perubahan outputnya (Pracoyo, T.K., 2006; 158)

Return to scale menyatakan proporsi perubahan penggunaan input yang

menghasilkan perubahan output.(Sumanjaya, R., 2008; 94).

K GARIS

EKSPANS

(57)

Ada tiga konsep dalam return to scale ini,yaitu: (Pracoyo, T.K., 2006; 158)

a. Constant Return To Scale

Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan sema dengan

tambahan inputnya.

b. Increasing Return To Scale

Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan lebih besar

dibandingkan tambahan inputnya.

c. Decreasing Return To Scale

Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan lebih kecil

dibandingkan tambahan inputnya.

2.9. Fungsi Produksi Cobb Douglas

Fungsi produksi ini menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Coob, C.W.

dan Douglas, P. H. pada tahun 1928 melalui artikelnya yang berjudul “A Tehory of

Production” (Suhartati, T., 2003; 104).

Secara matematis fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditulis dengan

persamaan:

Q = AKα Lβ

Keterangan: Q = output

(58)

L = input tenaga kerja

A = parameter efisiensi/koefisien teknologi

a = elastisitas input modal

b = elastisitas input tenaga kerja

Fungsi produksi Cobb Douglas dapat diperoleh dengan membuat dengan

membuat linear persamaan sehingga menjadi:

LnQ = LnA + αLn + βLnL + ε

Dengan meregres persamaan diatas maka secara mudah akan diperoleh

parameter efisiensi (A) dan elastisitas inputnya. Salah satu kemudahan fungsi

produksi Cobb Douglas adalah secara mudah dapat dibuat linear sehingga

memudahkan untuk mendapatkannya

Dalam fungsi produksi Cobb Douglas ini, penjumlahan elastisitas substitusi

menggambarkan return to scale. Artinya apabila α + β = 1 berarti constan return to

scale, bila α + β < 1 berarti decresing return to scale, dan apabila α + β > 1 berarti

proses produksi berada dalam keadaan increasing return to scale. Hal ini dapat

dibuktikan sebagai berikut:

Fungsi produksi Cobb Douglas:

Q = AKα Lβ

(59)

Q2 = A (2K1)α. (2L1) β

= A2αK1α .2βL1β

= 2 α+ βAK1α. L 1β

= 2 α+β Q1

Jadi, bila α+β = 1, maka Q2 = 2 Q1, berlaku constan return to scale

bila α+β > 1, maka Q2 > 2 Q1, berlaku increasing return to scale

bila α+β < 1, maka Q2 < 2 Q1, berlaku decreasing return to scale

Dalam fungsi produksi Cobb Douglas asli berlaku constant return to scale

(Nicholson, 1995 : 332), sehingga dapat mengilustrasikan secara mudah perubahan

output sebagai akibat perubahan input. Apabila input (baik K maupun L) naik sebesar

2 (dua) kali maka output akan naik sebesar 2 (dua) kali pula.

Karena dalam fungsi Cobb Douglas berlaku constant return to scale maka

akan membawa konsekuensi bahwa substitusi antar factor-faktor produksinya adalah

substitusi sempurna, artinya satu input L (tenaga kerja) dapat digantikan dengan satu

unit input K (modal). Dengan demikian, fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai

(60)

Gambar 2.10. Kurva Isoquan Fungsi Produksi Cobb-Douglas

2.10. Biaya Produksi

Keputusan manajemen dalam kaitannya dengan penggunaan input (masukan)

untuk menciptakan output (keluaran) sangat penting dan perlu menjadi perhatian

serius. Untuk menciptakan suatu output tentunya dengan berbagai input yang

digunakan seperti : tenaga kerja, bahan baku,barang-barang modal, dan lainnya.

Keseluruhan input ini pada hakikatnya berupa biaya yang dikeluarkan oleh

perusahaan dalam proses produksi yang disebut opportunity cost.

Opportunity Cost

Konsep opportunity cost pada hakikatnya merupakan pengorbanan yang

diberikan sebagai alternative terbaik untuk memperoleh sesuatu hasil atau manfaat.

Atau dapat pula menyatakan sejumlah harga yang harus dibayar unutk

(61)

mendapatkannya. Dalam penggunaannya dapat berupa pembayaran/ harga terhadap

sesuatu barang yang akan dikomsumsi dan dapat pula berupa produksi maupun

terhadap penggunaan jasa. Dengan demikian opportunity cost is the value of the best

alternative that must be given up to produce goods or service (Sumanjaya, R., 2008;

107).

2.10.1. Macam-Macam Biaya

Yang dimaksud dengan biaya dalam pengertian ekonomi adalah seluruh

beban yang harus ditanggung produsen untuk menyediakan produk baik barang

maupun jasa agar siap dikonsumsi oleh konsumen (Pracoyo,T.K.,2006; 170).

Berdasarkan realitas, biaya dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Suhartati, T.,

2003; 123):

1. Biaya eksplisit ialah pengeluaran yang nyata dari suatu perusuhaan untuk

membeli atau menyewa input atau faktor produksi yang diperlukan di dalam

proses produksi.

2. Biaya implisit ialah nilai dari suatu input milik sendiri atau keluarga yang

digunakan oleh perusahaan itu sendiri di dalam proses produksi.

Berdasarkan pertanggungjawabannya, biaya digolongkan menjadi dua macam

yaitu biaya internal dan biaya eksternal. Biaya internal adalah biaya yang

dikeluarkan dalam rangka operasional perusahaan( biaya eksplisit dan implisit).

Biaya eksternal adalah biaya yang harus ditanggung perusahaan sehubungan

(62)

pencemaran dan kerusakan lingkungan sekitar perusahaan biaya program

peningkatan peran serta perusahaan terhadap lingkungan dan sebagainya (Putong,

I., 2005; 252)

Berdasarkan sifatnya,yaitu mengkaitkan antara pengeluaran yang harus

dibayar dengan produk atau output yang dihasilkan, biaya dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu:

1. Biaya tetap

Merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan per satuan waktu

tertentu, untuk keperluan pembayaran semua input tetap, dan bsarnya tidak

tergantung dari jumlah produk yang dihasilkan.

2. Biaya variabel

Merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan pada waktu

tertentu, untuk pembayaran semua input variabel yang digunakan dalam proses

produksi.

Penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel dalam proses produksi disebut

sebagai biaya total. Hubungan antara biaya dan output dalam bentuk persamaan

merupakan fungsi biaya. Fungsi biaya total diformulasikan sebagai berikut:

TC = f(q)

Terdapat dua fungsi biaya yang dapat diurunkan dari fungsi biaya total,

Gambar

Table 2.2. Produksi Teh Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan (1990-2009)
Tabel 2.3. Volume Ekspor dan Impor Teh Indonesia (1980-2007)
Gambar 2.1. Volume Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007
Gambar 2.2. Nilai Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diperoleh: luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea, dan pupuk posca berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu.. Kata Kunci: ubi

Dari hasil regresi, luas lahan dan tenaga kerja berpengaruh positif dan secara statistik signifikan terhadap hasil produksi kelapa sawit, variabel pupuk berpengaruh positif

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pengaruh luas lahan, tenaga kerja dan pupuk terhadap hasil produksi kelapa sawit di PTPN IV Kebun Pasir Mandoge. Data yang

Luas lahan, Jumlah jumlah pohon, pupuk kandang, pupuk NPK dan penggunaan tenaga kerja secara serempak berpengaruh nyata terhadap produksi kopi robusta dan

Input luas lahan, penggunaan pupuk NPK, umur tanaman kelapa sawit, penggunaan tenaga kerja luar keluarga, frekuensi sanitasi kebun dan jarak kebun ke sungai mempengaruhi produksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara serempak variabel luas lahan, benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Desa Purba

luas lahan, jumlah populasi, umur tanaman, jumlah penggunaan pupuk, jumlah pestisida, curahan tenaga kerja, dan jenis lahan mempengaruhi produksi kelapa sawit

Penggunaan faktor produksi luas lahan, tenaga kerja, pupuk organik, pupuk NPK dan zat perangsang tumbuh (ZPT) pada usahatani cabe di Kelurahan Marawas sudah efisien