UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL
PRODUKSI TEH DI PTPN IV SIDAMANIK KAB.SIMALUNGUN
SUMATERA UTARA
SKRIPSI Diajukan Oleh: DINA MARIANA SINAGA
060501101 Ekonomi Pembangunan
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
ABSTRAK
Judul dari penelitian ini adalah Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun
Sumatera Utara. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik. Dengan
menggunakan variabel-variabel bebas seperti tenaga kerja, luas lahan, dan pupuk,
penelitian ini mencoba menerangkan bagaimana pengaruh masing-masing variable
tersebut terhadap peningkatan hasil produksi teh di instansi perkebunan yang
bersangkutan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode Ordinary
Least Square (OLS) dalam menganalisis data dan Eviews 5.1 sebagai software
pembantu dalam megolah data. Adapun data yang digunakan adalah data yang
berbentuk time series dengan kurun waktu 20 tahun dari tahun
1990-2009.Berdasarkan hasil analisis, variable tenaga kerja, luas lahan dan pupuk, secara
bersama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap hasil produksi teh di PTPN IV
Sidamanik.
Kata kunci: produksi teh, tenaga kerja, luas lahan, pupuk, Ordinary Least
Square(OLS)
ABSTRACT
The title of this research is Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. The
purpose of this research is to analyse the influence of input in increasing tea
production. By using independen variables,such as employee, area and fertilizer, this
research attempts to explain how those variables influence tea production in relevant
plantation company.
This research use econometric approach with Ordinary Least Square(OLS)
methode in analyzing data and Eviews 5.1 in processing data. The data is in time
series type with 20 years periode time from 1990 until 2009.
Base on analysis result, employee, area, and fertilizer are simultaneously
influential significant to tea production in PTPN IV Sidamanik.
Keywords: tea production, employee, area, fertilizer, Ordinary Least Square(OLS).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas
kasih setia dan berkat-Nya setiap waktu yang tak berkesudahan, yang selalu
menyertai penulis dalam melakukan segala aktivitas penulisan hingga sampai pada
penyelesaian skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul
“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV
Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara” . Dalam penulisan skripsi ini,
penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan
semangat, materil, maupun sumbangan pemikiran. Oleh sebab itu pada kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan yang mendukung penyelesaian
skripsi ini terutama kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, sebagai sekretaris Departemen
Ekonomi Pembangunan FE USU.
5. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, MSi, selaku Dosen pembimbing penulis
yang telah memberikan bantuan bimbingan, saran, masukan, kritikan dan
petunjuk kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.
6. Bapak Drs. Arifin Siregar, M.SP, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak
memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.
7. Bapak Drs. H.B Tarmizi, SU selaku Dosen Penguji II yang telah banyak
memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.
8. Serta seluruh Staff Pengajar dan Staff Administrasi Fakultas Ekonomi USU yang selama ini telah mendidik dan membimbing penulis dengan baik.
9. Bapak Ir.B.W.Wibowo selaku Manager PTPN IV Unit Kebun Sidamanik, juga kepada Bapak Okper Sinaga, Bapak B. Sitorus, Bapak Riduan Manik, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian, serta membantu dan membimbing penulis selama masa penelitian.
10.Untuk kedua Orangtua tercinta, dengan penghargaan dan kasih sayang yang
sedalam-dalamnya, terimakasih buat semua dukungan yang telah diberikan
kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat dan doa yang tak
ternilai harganya.I Love You So Much Mom and Dad. You are the Amazing
Grace in My Life.
11.Terimakasih juga buat My Big Brother (Jhon Parulian Sinaga) atas dukungan
moril maupun materil selama dalam masa perkuliahan maupun dalam
penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk kasih
12.Untuk adik-adik ku tersayang (Rosmey Hendrawati Sinaga dan Jhon
Newanda Sinaga), kalian adalah penyemangat terbesarku. I Love Both of
You..
13.Untuk orang-orang dekatku, K’Ida, K’Revina, K’Rita, terimakasih buat
semangat dan nasehat serta kebaikan yang telah kakak-kakak berikan. Untuk
teman-teman baikku, Merin, Nove, Asniari, The Tolol Bingung Grup (Seven
n Juni), Yusnar Ali, Guntur. Thank You so much buat bantuan doa, semangat
dan kebersamaannya. Aku bersyukur memiliki kalian. Heheheh....
14.Untuk teman-teman kost M’5 ( July, K’sella, Nerly) dan M’27 (Mandolin
Ceria Toon), makasih ya buat semuanya...
15.Buat teman-teman di Departemen Ekonomi Pembangunan, khususnya
angkatan ’06 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan warna dan kebersamaan pada setiap hari yang kita lewati.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan
ataupun kelemahan dan keterbatasan dalam penyusunannya oleh sebab itu penulis
menerima segala masukan yang konstruktif dari para pembaca guna penyempurnaan
isi maupun teknik penulisan yang benar. Akhir kata, semoga penelitian ini
bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih.
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Hipotesis ... 7
1.4. Tujuan Penelitian ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Pengertian Perkebunan ... 9
2.1.1. Manajemen Perkebunan ... 12
2.2. Sejarah Tanaman The ... 14
2.3. Definisi dan Jenis The ... 15
2.4. Komoditi Teh Indonesia... 19
2.4.1. Sejarah Teh Indonesia ... 19
2.4.2. Perkembangan Komoditi Teh Indonesia ... 21
2.5. Perusahaan dan Produksi ... 28
2.5.1. Definisi Perusahaan ... 28
2.6. Definisi Produksi... 30
2.7. Faktor-Faktor Produksi ... 30
2.8. Teori Produksi ... 33
2.8.1. Teori Produksi Dengan 1 (satu) input ... 36
2.8.2. Teori Produksi Dengan 2 (dua) input atau lebih ... 39
2.9. Fungsi Produksi Cobb Douglas... 44
2.10. Biaya Produksi ... 47
2.10.1. Macam-Macam Biaya Produksi ... 48
2.10.2. Economies dan diseconomies scale ... 52
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 53
3.6.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square) ... 56
3.6.2. Uji t-Statistik ... 56
3.6.3. Uji F-Statistik ... 58
3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 59
3.7.1. Multikolinearity ... 59
3.7.2. Autokorelasi ... 60
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.2.2. Pembagian Tugas dan Wewenang ... 69
4.3. Tenaga Kerja PTPN IV Sidamanik ... 75
4.7.1. Koefisien Determinasi(R-Square) ... 91
4.7.2. Uji F-Statistik ... 91
4.7.3. Uji t-Statistik ... 92
4.7.4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 98
5.2. Saran... 99
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Luas Perkebunan Teh Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan
(1990-2009) ... 21
Tabel 2.2. Produksi Teh Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan (1990-2009) ... 22
Tabel 2.3. Volume Ekspor Impor Teh Indonesia (1980-2009) ... 23
Tabel 2.4. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Dalam Negeri (1997-2003) ... 27
Tabel 4.1. Jumlah Tenaga Kerja PTPN IV Sidamanik (1990-2009) ... 76
Tabel 4.2. Lama Pengeringan dan Tingkat Fermentasi Untuk Setiap Bubuk ... 81
Tabel 4.3. Lama Pengeringan di Mesin FBD dan TSD ... 82
Tabel 4.4. Luas Areal PTPN IV Sidamanik ... 84
Tabel 4.5. Jumlah Penggunaan Pupuk PTPN IV Sidamanik (1990-2009) ... 85
Tabel 4.6. Kapasitas Produksi ... 88
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1. Volume Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia
(1969-2007) ... 24
Gambar 2.2. Nilai Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia (1969-2009) ... 25
Gambar 2.3. Harga Komoditi Teh Indonesia (2000-2010) ... 26
Gambar 2.4. Kurva Production Possibility Curve ... 35
Gambar 2.5. Kurva Tahapan Produksi ... 38
Gambar 2.6. Kurva Isoquant ... 39
Gambar 2.7. Kurva Isocost ... 41
Gambar 2.8. Kurva Least Cost Combination ... 42
Gambar 2.9. Kurva Expantion Path ... 43
Gambar 2.10. Kurva Isoquan Fungsi Produksi Cobb Douglas ... 47
Gambar 2.11. Kurva TC, TFC, TVC ... 51
Gambar 3.1. Kurva Uji t-Statistik ... 57
Gambar 3.2. Kurva Uji F-Statistik ... 59
Gambar 3.3. Kurva Durbin-Watson ... 61
Gambar 4.1. Struktur Organisasi PTPN IV Sidamanik ... 68
ABSTRAK
Judul dari penelitian ini adalah Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun
Sumatera Utara. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik. Dengan
menggunakan variabel-variabel bebas seperti tenaga kerja, luas lahan, dan pupuk,
penelitian ini mencoba menerangkan bagaimana pengaruh masing-masing variable
tersebut terhadap peningkatan hasil produksi teh di instansi perkebunan yang
bersangkutan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode Ordinary
Least Square (OLS) dalam menganalisis data dan Eviews 5.1 sebagai software
pembantu dalam megolah data. Adapun data yang digunakan adalah data yang
berbentuk time series dengan kurun waktu 20 tahun dari tahun
1990-2009.Berdasarkan hasil analisis, variable tenaga kerja, luas lahan dan pupuk, secara
bersama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap hasil produksi teh di PTPN IV
Sidamanik.
Kata kunci: produksi teh, tenaga kerja, luas lahan, pupuk, Ordinary Least
Square(OLS)
ABSTRACT
The title of this research is Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. The
purpose of this research is to analyse the influence of input in increasing tea
production. By using independen variables,such as employee, area and fertilizer, this
research attempts to explain how those variables influence tea production in relevant
plantation company.
This research use econometric approach with Ordinary Least Square(OLS)
methode in analyzing data and Eviews 5.1 in processing data. The data is in time
series type with 20 years periode time from 1990 until 2009.
Base on analysis result, employee, area, and fertilizer are simultaneously
influential significant to tea production in PTPN IV Sidamanik.
Keywords: tea production, employee, area, fertilizer, Ordinary Least Square(OLS).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan
adalah subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting dalam sektor
pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap
perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan
pekerjaan merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai
peranan yang cukup signifikan. Sampai dengan tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang
terserap oleh subsektor perkebunan diperkirakan mencapai sekitar 17 juta jiwa.
Subsektor perkebunan juga mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai
tambah yang tercermin kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB
perkebunan terus meningkat dari sekitar Rp 33,7 triliun pada tahun 2000 menjadi
sekitar Rp 47,0 triliun pada tahun 2003, atau meningkat dengan laju sekitar 11,7
persen pertahun. Dengan peningkatan tersebut kontribusi PDB subsektor perkebunan
terhadap PDB sektor pertanian adalah sekitar 16 persen. Terhadap PDB secara
nasional tanpa migas, kontribusi subsektor perkebunan adalah sebesar 2,9 persen atau
sekitar 2,6 persen terhadap PDB total, dengan berdasarkan atas harga berlaku. Jika
menggunakan PDB dengan harga konstan tahun 1993, pangsa subsektor perkebunan
migas dan PDB nasional masing-masing adalah 3,0 persen dan 2,8 persen(Badan
Pusat Statistik, 2004).
Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia, teh adalah
merupakan salah satunya. Teh sebagai salah satu komoditas yang bertahan hingga
saat ini mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia
melalui devisa yang dihasilkan, selain untuk menjaga fungsi hidrolis dan
pengembangan agroindustri. Perkebunan teh juga menjadi sektor usaha unggulan
yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1999,
industri ini mampu menyerap 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa.
Secara nasional industri teh menyumbang PDB sekitar Rp 1,2 triliun atau 0,3 % dari
total PDB non migas dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dollar AS setiap
tahunnya. ( ATI, 2000)
Dalam hal produksi, Jawa Barat merupakan penghasil teh terbesar di
Indonesia. Provinsi ini menghasilkan teh sebesar 70 % dari total produksi nasional.
Provinsi lain yang juga merupakan penghasil teh terbesar adalah Sumatera Utara dan
Jawa Tengah. Produksi teh Indonesia berfluktuasi dan cenderung menurun. Pada
tahun 1993, produksi teh Indonesia tercatat 164.994 ton. Kemudian menurun pada
tahun 1994 menjadi 139.222 ton dan mengalami kenaikan pada tahun berikutnya
yaitu menjadi 154.013 ton. Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menurun pada
tahun 1998, produksi teh justru mengalami kenaikan menjadi 166.825 ton. Akan
tetapi produksi kembali menurun menjadi 161.003 ton pada tahun 1999 dan 162.587
dari tahun sebelumnya menjadi 166.867 ton dan turun lagi menjadi 165.194 ton pada
tahun 2002. Untuk tahun 2003, produksi teh nasional tercatat mencapai 169.821 ton,
pada tahun 2004 menjadi 165.951 ton, tahun 2005 sebanyak 166.091 ton. Dan terus
menurun pada tahun 2006 menjadi 146.859 ton, tahun 2007 menjadi 150.623 ton.
Untuk tahun 2008 dan 2009 produksi teh nasional masing-masing 153.971 ton dan
148.916 ton (www.ditjenbun.go.id).
Produksi teh Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan produksi teh
dari negara-negara penghasil teh lainnya. India misalnya, pada tahun 1993 saja
sudah memproduksi 768.826 ton dan mencapai 853.710 ton pada tahun 2001. Begitu
juga dengan China, yang memproduksi sebanyak 599.941 ton pada tahun 1993 dan
kemudian pada tahun 2002 berkisar lebih dari 700.000 ton. Srilanka memproduksi
233.276 ton the pada tahun 1993 dan pada tahun 2002 menjadi 310.032 ton.
Sedangkan Kenya, pada tahun 2001 lalu memproduksi 294.044 ton teh. Padahal
pada tahun 1970 produksi teh negara tersebut masih di bawah produksi teh Indonesia
yaitu 41.077 ton produksi Kenya dan Indonesia 44.048 ton. Untuk keseluruhan
produksi teh dunia, yang mencapai 3.021.632 ton teh pada tahun 2002, produksi teh
Indonesia hanya sekitar lima persen dari total produksi tersebut.
Pangsa pasar teh Indonesia juga mengalami penurunan. Bahkan beberapa
pasar utama yang dikuasai Indonesia telah diambil alih oleh negara produsen teh
lainnya. Pasar-pasar yang kurang dapat dipertahankan Indonesia adalah Pakistan,
Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika serikat, Singapura, Malaysia,
ekspor teh pada tahun 2001, Indonesia merupakan negara pengekspor teh terbesar
pada urutan ketujuh di dunia setelah India (18,9 %), Cina (17,1%), Sri Lanka
(15,2%), Kenya (7,9%), Inggris (7,9%), dan Uni Emirat Arab (4%). ). Dalam
beberapa tahun berikutnya pangsa pasar ekspor teh Indonesia hanya menguasai 6,3
% (2003), 6,4 % (2004), 6,6 % (2005), 6,5 % (2006), yang menurun drastis jika
dibandingkan dengan pangsa pasar yang dapat dicapai pada tahun 1993 sebesar 10,8
%.(Suprihatini Rohayati, Daya Saing Ekspor Teh Indonesia)
Terpuruknya produksi teh Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti
kurang konsistennya mutu produk sehingga menyebabkan rendahnya harga teh
Indonesia, penurunan luas areal, serta masih rendahnya tingkat konsumsi teh
penduduk Indonesia. Faktor-faktor tersebut meyebabkan Indonesia kalah saing
dengan dengan negara produsen teh lainnya.
Kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi produsen teh Indonesia untuk
meningkatkan kualitas maupun kuantitas produknya agar mampu bersaing dengan
industri teh global dunia. Kemampuan untuk menciptakan produk dengan kualitas,
kuantitas dan kontinuitas yang tepat sesuai dengan permintaan konsumen menjadi
suatu keharusan dalam bisnis teh global.
Demikian halnya dengan PTPN IV Sidamanik yang juga merupakan salah
satu produsen teh, tidak terlepas dari kebenaran pernyataan di atas. Perkebunan teh
yang mempunyai luas lahan seluas 2.496,71 Ha ini, juga mengalami jumlah produksi
produksi tertinggi diperoleh pada tahun 2005 yaitu sebanyak 5.244.305 Kg dan
jumlah produksi terendah pada tahun 1991 dengan total produksi 2.875.000 Kg.
Sementara produksi untuk tahun terakhir (2009) hanya mencapai 3.591.545 Kg.
Hampir seluruh hasil produksinya ditujukan ke pasar ekspor dengan negara-negara
tujuan seperti Amerika, New Zealand, Australia, Malaysia, Singapura, Irak, Iran,
Saudi Arabia Pakistan dan lain-lain.
Dalam melakukan produksi, tentunya perusahaan dihadapkan dengan berbagai
masalah produksi. Masalah utama yakni berkaitan dengan faktor-faktor produksinya.
Dalam proses produksi yang bertujuan untuk menghasilkan output harus
menggunakan dari berbagai faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, tanah,
teknologi dan sebagainya.
Namun pada dasarnya faktor produksi dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:
1. Fixed Input yaitu faktor-faktor yang tidak dapat dirubah dengan segera
untuk memenuhi faktor-faktor produksi yang diminta oleh pasar. Misalnya
: tanah, gedung mesin dan sebagainya.
2. Variable Input yaitu faktor-faktor produksi yang dapat dirubah dengan
segera sesuai dengan perubahn produksi yang diminta oleh pasar.
Misalnya: bahan mentah, tenaga kerja, dan lain-lain. (Simbolon, 2007, hal
90)
Dalam prakteknya, faktor-faktor produksi yang mempunyai peranan besar
produksi tenaga kerja memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelaksana
kegiatan produksi. Peranannya sangat ditentukan terutama oleh kualitas (mutu)
disamping kuantitas (jumlah) yang tersedia. Semakin besar sebuah perusahaan,
biasanya akan mempergunakan tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak bila
dibandingkan dengan perusahaan dengan skala kecil.
Sementara untuk masalah lahan (tanah) terutama ditinjau dari sudut luas lahan
dan tingkat kesuburannya. Namun yang paling utama dianalisa adalah mengenai
luasnya yang sangat berpengaruh terhadap produksi yang akan dihasilkan. Semakin
luas lahan yang dimiliki akan memberikan hasil yang semakin tinggi pula.
Selanjutnya faktor produksi pupuk juga tidak kalah pentingnya dibanding
kedua faktor produksi yang telah disebutkan terlebih dahulu. Pemupukan pada
dasarnya ditujukan untuk meningkatkan produksi, karena pupuk dianggap sebagai
vitamin bagi tanah sehingga akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Penggunaan
pupuk secara tepat dan teratur akan dapat mempertinggi hasil produksi baik secara
kualitas maupun kuantitasnya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menulis
skripsi dengan judul “ Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh tenaga kerja terhadap hasil produksi teh di
PTPN IV Sidamanik?
2. Bagaimanakah pengaruh luas lahan terhadap hasil produksi teh di
PTPN IV Sidamanik?
3. Bagaimanakah pengaruh penggunaan pupuk terhadap hasil produksi
teh di PTPN IV Sidamanik?
1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas permasalahan yang menjadi
objek penelitian dan kebenarannya masih perlu diuji. Adapun yang menjadi hipotesis
dalam penelitian ini adalah :
1. Tenaga kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan
hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik
2. Luas lahan mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan
hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik
3. Penggunaan pupuk mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah tenaga kerja berpengaruh terhadap
peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik
2. Untuk mengetahui apakah luas lahan berpengaruh terhadap
peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik
3. Untuk mengetahui apakah penggunaan pupuk berpengaruh terhadap
peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel tenaga
kerja,luas lahan, dan penggunaan pupuk terhadap hasil produksi teh di
PTPN IV Sidamanik.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa
Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang
ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi perusahaan yang
bersangkutan.
4. Sebagai penambah, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1 Pengertian Perkebunan
Istilah perkebunan sudah lama dikenal, sejak pemerintahan kolonial
Belanda. Pada tahun 1938 di Indonesia terdapat 243 perkebunan besar. Pada tahun
1870 dengan keluarnya undang-undang agraria pengaturan perkebunan-perkebunan
swasta di Indonesia lebih tegas dan jelas. Keluarnya undang-undang agraria
mempunyai tujuan utama mengundang penanaman modal swasta ke Indonesia
untuk berusaha mengembangkan produk-produk pertanian yang diperlukan pasaran
dunia, terutama Eropa. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih
perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh Belanda, tepatnya sejak tahun 1957
(Syamsulbahri, 1996; 1).
Perkembangan perkebunan setelah orde baru dengan program
pembagunan lima tahunan (Pelita) tahap demi tahap telah memfokuskan program
pembangunannya terutama dalam sektor tanaman pangan, sedangkan sektor
perkebunan memberikan kerangka landasan peningkatan produksi dan diversifikasi
tanaman ekspor. Pada tahun 1992 telah berhasil membuat Undang-Undang Nomor
12 tentang budidaya tanaman. Dengan adanya undang-undang tersebut pemerintah
telah memberikan kebebasan kepada petani untuk menentukan pilihan jenis
tanaman dan pembudidayaannya, serta kewajiban pemerintah dalam menjamin
Sejarah perkebunan sebelum penjajahan Belanda di Indonesia, perkebunan
belum terorganisir secara struktural. Selama dekade penjajahan Belanda, Inggris,
dan Jepang pengelolaan perkebunan beralih kepenguasa, dalam hal ini penjajah.
Pada zaman Belanda dikenal ”sistem tanam paksa”. Setelah merdeka pengelolaan
perkebunan masih seperti zaman Belanda, barulah tahun 1957 terjadi perubahan
pengelolaan perkebunan. Pada tahun tersebut terjadi pengambil-alihan perkebunan
dari orang-orang asing oleh pemerintah Republik Indonesia. Dambaan petani untuk
menjadi tuan di tanahnya sendiri sangat diharapkan, karena menajer-manajer
perkebunan telah diisi oleh putra-putra Indonesia. Pada kenyataannya kenyataan
tersebut tidak bisa terwujud, karena didalam negeri sudah terlalu lama mengalami
peperangan untuk merebut kemerdekaan.
Pada tahap dicanangkannya program-program Pelita, pada subsektor
perkebunan mulai dilakukan pembenahan-pembenahan oleh pemerintah. Pada Pelita
I dan II telah dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan dan memulihkan
perkebunan-perkebunan yang terlantar. Pada Pelita III hingga V dilaksanakan
serangkaian usaha-usaha intensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi perkebunan.
Pada Pelita III perkembangan sektor perkebunan amat mencolok, terutama ditinjau
dari perluasan areal perkebunan baik di Jawa maupun diluar Jawa (Syamsulbahri,
1996; 3).
Sebelum mempelajari lebih jauh tentang perkebunan perlu kesatuan
pengertian dari perkebunan itu sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan
dapat diartikan berdasarkan fungsi, pengelolaan, jenis tanaman, dan produk yang
dihasilkan.
1. Perkebunan berdasarkan fungsinya dapat diartikan sebagai usaha untuk
menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan devisa negara, dan
pemeliharaan kelestarian sumber daya alam
2. Berdasarkan pengelolaannya, perkebunan dapat dibagi menjadi :
1) perkebunan rakyat; 2) perkebunan besar; 3) perkebunan perusahaan inti rakyat;
4) perkebunan unit pelaksana proyek
3. Perkebunan berdasarkan jenis tanamannya dapat diartikan sebagai usaha bididaya
tanaman yang filakukan oleh rakyat, pemerintah, maupun swasta selain tanaman
pangan dan holtikultura
4. Perkebunan berdasarkan produknya dapat diartikan sebagai usaha budidaya
tanaman yang ditujukan untuk menghasilkan bahan industri (misalnya karet,
tembakau, cengkeh, kapas), bahan industri makanan (misalnya kelapa, kelapa
sawit, dan kakao), dan makanan (misalnya tebu, teh, kopi, dan kayu manis).
Dari pengertian-pengertian tersebut perkebunan dapat diartikan sebagai:
”usaha bididaya tanaman baik oleh pemerintah, swasta, rakyat, maupun secara
bersama-sama dalam skala luas maupun sempit areal lahan yang digunakan namun
bertujuan untuk mendapatkan peningkatan pendapatan dan devisa negara, tanpa
mengabaikan penyerapan tenaga kerja dan pelestarian sumber daya alam”
2.1.1 Manajemen Perkebunan
Manajemen dapat diartikan sebagai usaha pengelolaan sumber-sumber daya
untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, dimana sifatnya universal yang
berarti dapat berlaku secara umum untuk berbagai organisasi. Dalam
perkembangannya, perkebunan dijadikan sebagai satu sub-sektor dari sektor
pertanian. Dimana sub-sektor perkebunan dijadikan andalan dalam memasukkan
devisa negara dari sektor non-migas. Pengelolaannya ada yang dilakukan oleh
pemerintah, swasta, maupun oleh rakyat. Sistem pengelolaan perkebunan di
Indonesia ada keterpaduan antara unsur-unsur yang membentuk sub-sektor
perkebunan yang meliputi pemerintah, swasta dan masyarakat (Syamsulbahri, 1996;
16).
1. Perkebunan Rakyat
Perkebunan rakyat yang sering disebut juga pola swadaya menduduki hampir
80% dari total areal perkebunan yang ada di Indonesia. Pengelolaannya masih
terbatas, dalam artian belum ada pembagian pengelolaan untuk masing-masing
sistem. Untuk itu seorang petani tanaman perkebunan dapat berfungsi dan bertindak
sebagai pelaksana setiap kegiatan usahanya.
2. Perkebunan Besar
Perkebunan besar swasta dan perkebunan besar milik negara sering disebut
sebagai satu plantation atau estate dimana pengelolaannya jelas untuk masing-masing
yang meliputi manajemen tanaman, manajemen pengolahan hasil dan manajemen
pemasaran komoditi perkebunan.
Beberapa ciri dari perkebunan besar, antara lain : hamparan lahan reatif
luas, tanaman dan tata tanam yang seragam, pemakaian bibit unggul dan teknologi
relatif maju, perencanaan terinci dan pegawasan yang ketat, standarisasi (prosedur,
prestasi, hasil, mutu dan biaya), penggunaan tenaga kerja terampil atau terlatih,
disiplin dalam berbagai bidang, akomodasi pekerja di sekitar unit kerja, wadah
organisasi dan mekanisme koordinasi. Pola organisasi perusahaan perkebunan
umumnya dapat digambarkan sebagai organisasi intern yang mengatur hubungan
antara kantor Direksi dengan kebun atau Pabrik. Atas dasar laporan-laporan harian,
bulanan serta tugas-tugas pengawasan dilakukan oleh aparat direksi. Seluruh kegiatan
administrasi kebun/pabrik dikoordinir oleh Kantor Direksi.
3. Perusahaan Perkebunan Inti Rakyat
Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) Direktorat Jenderal
Perkebunan mengartikan sebagai usaha pengembangan perkebunan dengan
menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing
perkebunan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang
saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan. Perusahaan inti merupakan
perusahaan perkebunan besar baik milik swasta maupun milik negara, sedangkan
kebun plasma merupakan areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti
4. Perkebunan Unit Pelaksana Proyek
Unit pelaksana proyek merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan
dalam pembinaan dan pelaksanaan proyek perkebunan, setiap unit pelaksanaan
proyek perkebunan ditentukan oleh luas areal perkebunan rakyat yang dibina, dimana
pembinannya dilaksanakan mulai dari pembibitan, penanaman sampai dengan
pengolahan dan pemasaran hasil. Pembinaan dilakukan secara menyeluruh termasuk
juga peningkatan keterampilan para petani dengan mengadakan kursus-kursus
latihan-latihan, dan bimbingan didalam inti proyek.
2.2 Sejarah Tanaman Teh
Umum menduga bahwa tanah asal tanaman teh terletak dipegunungan antara
Tibet dan Republik Rakyat Cina (RRC) sebelah selatan, yaitu didaerah antara 25-35
derajat lintang utara, dan antara garis meridian 95-105 derajat. Kebun –kebun teh
yang pertama diselenggarakan orang ada ditanah pegunungan sebelah barat RRC
Selatan. Hingga sekarang propinsi Szechwan merupakan salah satu daerah teh yang
terpenting di Asia Tenggara. Sejak zaman dahulu kala hasil tanaman teh di daerah
tersebut dipergunakan orang dalam ilmu pengobatan (Spillane, J., 1992; 15).
Di negeri Jepang tanaman teh untuk pertama kali ditanam dalam tahun 800.
Biji-bijinya didatangkan dari negeri Tiongkok. Meskipun tumbuh tanaman teh di
Jepang baik, lama perhatian penduduk kepada tanaman itu sedikit. Dalam abad XV
sejak itu timbul kebiasaan untuk menyelenggarakan upacara minum teh tiap-tiap
tahun, yang sampai sekarang masih berlangsung.
Perhatian terhadap hasil teh tidak terbatas di Jepang dan RRC saja. Abad VI
pedagang-pedagang Turki yang sudah mengadakan hubungan dengan Tiongkok,
membawa hasil teh ke negerinya untuk diperdagangkan. Abad XVI hasil teh mulai
dikenal orang dibenua Eropa, yaitu setelah pendeta-pendeta Kristiani yang datang
kembali dari Tiongkok dan membawanya sebagai oleh-oleh.
Tahun 1610 oleh pedagang bangsa Belanda hasil teh dari Tiongkok mulai
diperdagangkan di negeri Belanda dan lain-lain negeri di Eropa. Dalam abad XVIII
lebih banyak lagi orang-orang di benua Eropa suka minum teh. Juga di Rusia dalam
abad tersebut sudah banyak orang yang mengenal teh, sementara itu hasil teh juga
diperkenalkan kepada penduduk Amerika Utara, yang beda dengan penduduk benua
lainnya umumnya memberi sambutan baik sekali (Spillane, J., 1992; 16). Dengan
demikian maka dalam abad XVIII hasil teh sudah dikenal dan diharapkan orang
diseluruh dunia, sehingga di pasar dunia hasil teh itu merupakan barang dagangan
yang penting dan yang memberikan banyak keuntungan.
2.3. Definisi dan Jenis Teh
Tanaman teh aslinya ditulis oleh Linnaeus didalam sistem binominalnya
pada tahun 1753 sebagai Teh sinensis, sekarang teh diletakkan di Camellia sebagai C,
digambarkan oleh John Hill, yaitu , T.viridis dan T.bohea. secara keliru dianggap
bahwa T.bohea adalah sumber teh hitam, sedangkan T.viridis menghasilkan teh hijau.
Pada tahun 1843 Robert Fortune menemukan bahwa teh hitam dan teh hijau
dihasilkan dari daun tanaman yang sama dengan proses produksi yang berbeda
(Spillane, J., 1992; 19).
Pada umumnya teh-teh dapat dikelompokkan dalam tiga golongan
(Spillane, J., 1992; 22):
1. Teh yang difermentasikan atau teh hitam (fermented)
2. Teh yang tidak difermentasikan atau teh hijau
3. Teh yang setengah difermentasikan atau oolong (semi fermented)
Teh datang dari tanaman yang hampir sama di semua negara. Perbedaan
antara jenis teh tersebut dikarenakan perbedaan cara produksi dan iklim lokal, tanah
dan kondisi pengolahan. Ada kira-kira 1.500 tanaman teh yang berbeda dan kira-kira
2.000 campuran yang mungkin.
Dalam perdagangan teh internasional dikenal 3 golongan teh, yang
pengolahannya berbeda-beda dan demikian juga bentuk serta cita rasanya, yakni
(Spillane, J., 1992; 22):
a. Black Tea (teh hitam)
b. Green Tea (teh hijau atau teh wangi)
Perbedaan pokok antara teh hitam dan teh hijau adalah bahwa teh hitam
mengalami proses fermentasi (proses pemeraman) yang merupakan ciri khasnya,
sedangkan teh hijau tidak mengenal fermentasi dalam proses pengolahannya.
Disamping itu teh hitam tidak mangandung unsur-unsur lain diluar pucuk teh,
sedangkan teh hijau karena bau daunnya tidak hilang (karena tidak mangalami proses
fermentasi itu) harus dikompensasi dengan wangi-wangian dari bahan non teh. Di
Indonesia biasanya bunga melati digunakan dalam proses ini. Teh Oolong khas teh
Cina/Taiwan, merupakan semacam perkawinan antara teh hitam dan teh hijau, yakni
mengalami “setengah fermentasi”.
Jenis-jenis mutu teh hitam dapat dibagi dalam tiga golongan dengan
perincian sortasi mutu-mutunya sebagai berikut:
1. Teh daun atau Leaf Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Orange Pekoe, Pekoe,
Pekoe Souchon
2. Teh Remuk atau Broken Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Broken Orange
Pekoe, Broken Pekoe, Broken Tea.
3. Teh Bubuk atau Powdered Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Fanning, Dust.
Teh daun mempunyai karakteristik mutu-mutunya sebagai berikut:
a. Orange Pekoe (singkatan dalam perdagangan OP), terdiri untuk sebagian besarnya
Bentuk teh ini panjang dan halus. Warna teh ini hitam mengkilap dan pada ujung
kuncup daun itu terdapat titik kuning emas (tips).
b. Pekoe (P), terdiri dari daun-daun kuncup. Warnanya hitam mengkilap bercampur
warna kecoklat-coklatan. Bentuknya lebih pendek dan lebih lebar dibanding OP.
c. Pekoe Souchon (PS), terdiri dari daun pucuk. Warnanya hitam mengkilap.
Rasanya lebih pahit dan kurang harum dibanding OP dan P.
Teh remuk mempunyai karakteristik mutu-mutunya sebagai berikut:
a. Broken Orange Pekoe (BOP), bentuknya keriting ukuran kecil daun teh remuk
yang tidak utuh. Teh ini mengandung tips (kuncup yang belum mekar). Warnanya
hitam mengkilap tanpa warna coklat.
b. Broken Pekoe (BP), rupanya hampir sama dengan BOP, tetapi tidak mengandung
tips.
c. Broken Tea (BT), terdiri dari daun-daun yang tidak tergulung sewaktu masuk
mesin penggulung (roller) dan mempunyai bentuk kecil-kecil serta tipis.
Sebelum pihak konsumen teh membeli teh hasil perkebunan tertentu, mutu
teh itu dinilai terlebih dahulu dari contoh-contoh representatif yang diambil dari suatu
chop produksi. Penilaian teh atau tea testing dilakukan dalam dua tingkat, yakni
(Spillane, J., 1992; 23):
a. Penilaian kualitas luarnya dari teh (Appearance of teh tea)
b. Penilaian kualitas dalamnya (Inner quality).
a. Pemeriksaan contoh teh kering dengan menilai kenampakannya secara visual
(visual appearance) dalam bentuk teh, warnanya,keratannya.
b. Pemeriksaan contoh air seduhan (liquor) teh dengan menilai warna, aroma, dan
rasa.
c. Pemeriksaan contoh ampas seduhan (infusion) dengan menilai warna serta
aromanya. Diambil kadar air dari teh kering (teh terkenal higroskopis/menghisap
lembab udara).
2.4. Komoditi Teh di Indonesia
2.4.1. Sejarah Teh Indonesia
Tanaman teh mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1686. Pembawa
tanaman tersebut adalah seorang Belanda yang bernama Andreas Cleyer di
perkebunan Batavia (Jakarta). Usaha ini bukan dalam skala besar tetapi minat untuk
menanam teh bertambah makin luas. Sesudah tahun 1728 pengolahan teh didukung
oleh pemerintah. Lalu percobaan-percobaan di kebun Botani di Bogor berhasil pada
tahun 1826. Perkebunan teh yang pertama di Indonesia dimulai oleh J.I.L.L. Jacobson
pada tahun 1828. Sesudah ini, perkembangan industry teh di Indonesia
sungguh-sungguh terjadi. Lebih banyak lagi perkebunan didirikan dan pada tahun 1870 ada 15
perkebunan yang berjalan. Sampai saat ini pohon teh diimpor dari Cina dan Jepang.
Namun, pada tahun 1872, bibit dari jenis teh Assam diimpor dari India karena jenis
ini lebih tahan lama. Sejak saat itu, berangsur-angsur teh Assam menggantikan teh
Pada tahun 1900-an pengembangan perkebunan teh diserahkan kepada
swasta karena biayanya cukup besar. Dengan menanam bibit teh yang berasal dari
Assam (India), hasilnya ternyata lebih baik dibanding kedua bibit yang ditanam
sebelumnya. Sejak saat itu perkebunan teh di Jawa tumbuh di beberapa daerah seperti
Bogor, Priangan, Cirebon dan Malang. Sesudah itu perkebunan teh meluas ke
Sumatera Utara dan Selatan (Bank Bumi Daya, 1980; 6).
Pada tahun 1930 produksi teh semakin meningkat, hal ini berkaitan dengan
baiknya harga teh di pasar luar negeri. Tahun 1933 harga teh turun cepat yang
disebabkan gejala kelebihan penyediaan oleh negara-negara penghasil teh. Karena itu
produsen teh seperti India, Srilangka dan Indonesia mengadakan pembatasan
produksi agar dicapai tingkat harga yang lebih baik.
Perkebunan teh Indonesia pada masa pendudukan Jepang (1942-1945)
banyak yang rusak. Sesudah kemerdekaan hingga tahun 1950 usaha perkebunan teh
mulai dihidupkan kembali akan tetapi perkembangannya sangat lambat mengingat
kurangnya dana disamping karena belum stabilnya keamanan terutama di Jawa Barat.
Pada tahun 1960-an produksi teh Indonesia terus menurun karena umur
rata-rata tanaman yakni diatas 40 tahun, kemudian meningkat kembali sejak
dilaksanakannnya Repelita pertama. Produksi teh Perkebunan Pemerintah (PNP/PTP)
semakin meningkat sedangkan perkebunan swasta nasional dan perkebunan rakyat
lambat pertumbuhannya. Disamping dilaksanakan program intensifikasi dan
pabrik teh, rehabilitasi tanaman dan pendirian beberapa pabrik baru (Spillane, J.,
1992; 7).
2.4.2. Perkembangan Komoditi Teh Indonesia
Indonesia memiliki banyak perusahaan teh baik milik pemerintah maupun
swasta yang mengelola komoditi teh dari hulu hingga hilir. Lahan yang luas dan
produkstivitas tanaman teh yang tinggi mampu membawa Indonesia menduduki
peringkat ke tujuh sebagai negara produsen dan eksportir terbesar di dunia.
. Penurunan luas areal teh di Indonesia tentu saja akan mempengaruhi jumlah
total produksi nasional. Namun, terkadang penurunan luas areal tidak berpengaruh
pada produksi,bahkan produksi mengalami peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan
meningkatnya produkstivitas tanaman secara biologisnya. Adapun perkembangan
produksi teh nasional dapat dilihat pada tabel berikut.
Table 2.2. Produksi Teh Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan (1990-2009)
TAHUN
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan
Hasil yang dicapai selain untuk dikonsumsi di dalam negeri,juga diekspor ke
sangat sulit karena posisi Indinesia hasnya sebagai pengikut pasar dengan pangsa
pasar hanya sekitar 6 persen. Untuk melihat perkembangan hasil ekspor dan import
teh Indonesia dapat disajikan pada tabel di 2.3
Tabel 2.3. Volume Ekspor dan Impor Teh Indonesia (1980-2007)
TAHUN
Berikut dapat kita lihat perkembangannya melalui gambar 2.1.
Gambar 2.1. Volume Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007
Sementara untuk nilai ekspor dan impor,dapat pula digambarkan melalui
gambar 2.2.
Dari gambar 2.2 terlihat bahwa nilai ekspor tertinggi dicapai pada tahun 1990
yaitu sebesar US $ 181.017.000 dengan total volume ekspornya sebesar 110.963 ton.
Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi Indonesia khususnya bagi produsen teh di
Indonesia. Namun pada tahun-tahun berikutnya, volume dan nilai ekspornya
Gambar 2.2. Nilai Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007
Untuk harga komoditi teh Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah
permintaan dan ketersediaan komoditi teh di tingkat dunia. Apabila pasokan dunia
berlimpah maka harga teh Indonesia akan menurun. Mutu dan kualitas teh tentunya
juga menjadi faktor penentu tingkat harga komoditi teh Indonesia. Berikut adalah
perkembangan harga komoditi teh menurut beberapa pusat pelelangan teh seperti
Colombo Tea Auction (CTA), Jakarta Tea Auction (JTA), dan Mombasa Tea
Gambar 2.3. Harga Komoditi Teh Indonesia Tahun 2000-2010
Sumber: Departemen Pertanian
Komoditi teh banyak diperdagangkan di Colombo dan Mombasa. Dari ketiga
tempat pelelangan tersebut, jika dibandingkan dengan harga komoditi teh di pasar
dunia, harga komoditi teh Indonesia masih lebih rendah, yang ditunjukkan dari
pergerakan grafik JTA( Jakarta Tea Auction). Dari gambar 2.3 dapat dilihat bahwa
ternd harga komoditi teh di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Namun meskipun demikian, harga komoditi teh Indonesia masih jauh bila
dibandingkan dengan harga komoditi teh di pusat pelelangan teh lainnya seperti di
Colombo Tea Auction (Sri Langka) dan Mombasa Tea Auction.
Pada tahun 2006, harga teh Indonesia berpotensi mengalami kenaikan.
kemarau yang melanda negara tersebut. Hal ini memberikan dampak positif pada
harga teh Indonesia. Kenaikan ini merupakan kenaikan tertingggi sejak 6 tahun
sebelumnya.
Tingkat konsumsi teh penduduk Indonesia juga masih lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat konsumsi teh di negara produsen teh lainnya. Tabel 2.4
menunjukkan tingkat konsumsi teh Indonesia yang relatif tetap dan tergolong rendah,
jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki tingkat konsumsi teh per kapita
cukup tingggi, seperti India mencapai di atas 660 gram, Sri Lanka 1,380 gram,
Hongkong 1.370 gram, inggris 2.240 gram, Irlandia 2.960 gram, Polandia 820 gram,
Bahrain 1.310 gram, Arab diatas 2000 gram, Pakistan 750 gram, Jepang 1.040 gram
dan New Zealand 950 gram (ITC, 2004)
Tabel 2.4. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Dalam Negeri (1997-2003)
Sumber : International Tea Committee(ITC), 2004
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya konsumsi per kapita nasional tersebut
antara lain: faktor internal konsumen seperti budaya, kelas sosial, karakteristik
individu dan faktor psikologis. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kinerja bauran
pemasaran produk, harga , promosi serta produk sustitusi (air minerl, susu, kopi, dan
coklat).
2.5. Perusahaan dan Produksi
2.5.1. Definisi Perusahaan
Perusahaan didefinisikan sebagai suatu unit organisasi yang menggunakan
berbagai faktor produksi dan menghasilkan barang dan jasa untuk dijual kepada
rumah tangga, perusahaan lain atau pemerintah dengan berorientasi pada keuntungan
(profit oriented). (Pracoyo, T. K., 2005; 143)
2.5.2. Jenis Perusahaan
Bentuk-bentuk perusahaan dalam organisasi bisnis dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yakni: ( Pracoyo, T. K., 2006; 144)
1. Perusahaan Perseorangan
Perusahaan perseorangan dimiliki oleh pemilik tunggal, dimana ia sebagai
pengambil keputusan dan harus bertanggung jawab penuh atas segala
kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Karena ia adalah
pemilik tunggal maka pemiliknya mempunyai kekuatan penuh untuk
mengendalikan seluruh aktivitas perusahaan. Oleh sebab itu, pemilik
bentuk perusahaan ini adlah modal yang cenderung terbatas, karena hanya
bersumber dari satu orang saja. Kelemahan yang lain adalah pemiliknya
secara pribadi harus bertanggung jawab penuh secara hukum atas
kewajiban/utang perusahaan. Kewajiban ini dikenal dengan istilah
kwajiban tanpa batas(unlimited liability).
2. Perusahaan Perkongsian (Partnership)
Pada perusahaan perkongsian biasanya terdapat dua orang atau lebih
secara besama-sama melakukan kegiatan usaha. Kerana usaha ini
bersama-sama maka setiap keputusan yang diambil oleh seseorang
maupun bersama-sama, menjadi tanggungjawab semua anggota atas
segala aktivitas yang dilakukan perusahaan. Kesulitan dana/modal yang
dihadapai oleh perusahaan perseorangan, cukup teratasi dengan
membentuk perkongsian ini.
3. Perseroan Terbatas (Corporation)
Pada bentuk ini, perusahaan merupakan badan hukum tersendiri. Secara
hukum perseroan terbatas dianggap sebagai suatu badan yang terpisah
dengan orang-orang yang yang memiliki perusahaan. Pemilik akan
memilih dewan direksi, pada tahap selanjutnya akan memilih para manajer
untuk menjalankan segala aktivitas perusahaan di bawah kendali direksi.
Perusahaan memperoleh dana dengan cara menjual saham. Oleh sebab itu
pemilik perseroan terbatas adalah para pemegang saham. Pemili saham
tidak memiliki kewajiban atas segala tindakan yang dilakuakn perusahaan
ini bangkrut maka kewajiban pribadi dari setiap pemegang saham
hanyalah pada jumlah uang yang ditanmakan pada perusahaan tersebut.
2.6. Definisi Produksi
Yang dimaksud dengan produksi atau memproduksi adalah suatu usaha atau
kegiatan untuk menambah kegunaan (nilai) suatu barang (Putong, I., 2005; 203).
Kegunaan suatu barang akan bertambah apabila memberikan manfaat baru atau lebih
dari bentuk semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi yaitu alat
atau sarana untuk melakukan proses produksi. Adapun faktor-faktor produksi tersebut
yaitu; Manusia(tenaga kerja), Modal(uang atau alat modal seperti mesin), SDA
tanah), dan Skill(manajemen).
2.7. Faktor-Faktor Produksi
1. Tanah
Tanah sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil
pertanian yaitu tempat dimana produksi berjalan dan dari mana hasil produksi keluar.
Dalam pertanian, terutama di Negara kita, faktor produksi tanah mempunyai
kedudukan paling penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima
Tanah adalah faktor produksi yang tahan lama sehingga biasanya tidak
diadakan depresiasi atau penyusutan. Bahkan dengan perkembangan penduduk nilai
tanah selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tetapi dalam pertanian tanah
yang dikerjakan terus menerus akan berkurang pula kesuburannya. Untuk
mempertahankan kesuburan tanah petani harus mengadakan rotasi tanaman dan
usaha-usaha konservasi tanah lainnya (Mubyarto, 1984; 88).
Unsur-unsur sosial ekonomi yang melekat pada tanah dan memiliki peranan
dalam pengelolaan usaha tani cukup beragam, diantaranya adalah:
1. Kekuatan atau kemampuan potensil dan aktuil dari tanah
2. Kapasitas ekonomis, efisiensi ekonomis dan keunggulan bersaing dari tanah
3. Produktivitas tanah, yang dimaksud dengan produktivitas tanah adalah jumlah
hasil total yang diperoleh dari satu kesatuan bidang tanah (satu hektar) selama
satu tahun dihitung dengan uang.
4. Nilai sosial ekonomis dari tanah
Bagi sebuah perusahaan lahan (tanah) memiliki peranan penting terutama
sebagai tempat pendirian perusahaan dan pabrik-pabrik yang dibutuhkan dalam
proses produksi. Selain itu bagi perusahaaan tertentu tanah ini dapat dijadikan sebagai
sumber bahan baku, misalnya melalui pemberdayaan lahan yang dapat mendukung
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja sering disebut tenaga manusia mutlak dibutuhkan jika ingin
menghasilkan sebuah produk. Tenaga kerja yang tersedia biasanya digunakan untuk
mengoperasikan serta mengendalikan mesin/peralatan yang dimiliki oleh perusahaan.
Untuk kasus tenaga kerja ini terutama tidak dipandang dari kuantitas (jumlah), tetapi
juga mutu (kualitas) yang sangat mempengaruhi kinerja perusahaan yang
bersangkutan.
Dengan adanya tenaga kerja yang terdidik dan terlatih maka dipastikan
kesalahan-kesalahan fatal yang merugikan dan membahayakan akan dapat dicegah.
Dalam hal ini sebuah perusahaan sangat mengharapkan tenaga kerja yang
benar-benar berpengalaman serta memilki keahlian yang tinggi sehingga dapat memberikan
kontribusi yang besar terutama terhadap peningkatan produksi perusahaan. Selain
keahlian, dan kejujuran, kedisplinan juga hal yang sangat dibutuhkan dari seorang
tenaga kerja.
Tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan kedalam persoalan
tenaga kerja dalam usaha tani kecil-kecilan (usaha tani pertanian rakyat) dan
persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besaran yaitu
perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya. Petani yang memiliki lahan tidak
luas tidak membutuhkan tenaga kerja dari luar. Tetapi bagi petani yang memilki
3. Modal
Pengertian modal adalah barang dan jasa yang bersama-sama dengan faktor
produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru.Barang-barang
pertanian yang termasuk barang modal dapat berupa uang, ternak, pupuk, bibit,
cangkul, investasi dalam mesin dan lain-lain. Biasanya semakin besar dan semakin
baik kualitas modal yang dimiliki maka akan sangat mendukung terhadap
peningkatan produksi yang dihasilkan (Mubyarto, 1984; 91).
4. Manajemen (Skill)
Manajemen berarti proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan usaha-usaha para anggota serta penggunaan sumber daya dalam rangka
pencapian tujuan yang telah ditetapkan. Dari uraian di atas maka faktor produksi ini
tidaklah kalah penting dibanding faktor produksi lain. Perlu diketahui ada 3 alasan
manajemen ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan, yakni (Handoko, T. H.) :
1. Untuk mencapai tujuan perusahaan.
2. Untuk menjaga keseimbangan diantara tujuan-tujuan yang saling bertentangan
3. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas
2.8. Teori Produksi
Konsep dasar teori produksi sangat diperlukan bagi berbagai pihak, terutama
pihak produsen untuk menentukan bilamana output dapat memberikan maksimum
maupun informasi ketersediaan berbagai input guna mendukung proses output.
Demikian pula alternative penggunaan input dan bahkan pengorbanan terhadap
sesuatu output guna kepentingan output lainnya. Keterangan ini perlu mendapat
perhatian para pelaku kegiatan produksi sebagai suatu kebijaksanaan sekaligus
keputusan.
Production Possibility Curve
Proses penciptaan output selalu dihadapkan kepada berbagai alternative,
apakah alternative dimaksud berkaitan dengan penggunaan input atau penciptaan
output. Beberapa proporsi maupun jenis input yang digunakan guna menghasilkan
berbagai output dan bagaimana kombinasi penggunaan input sehingga proses
produksi terkendali. Informasi pasar output dan kesediaan input sangat berperan
sehingga proses produksi memberikan laba maksimum bagi perusahaan. Konsep
production possibility curve atau disebut production frontier dapat mengungkapkan
keterangan diatas.
Dalam penerapannya pengertian ini mendukung makna berupa penggunaan
berbagai sumber daya yang tersedia dalam kegiatan produksi secara keseluruhan
dengan alternative output. Apabila sumber daya yang tersedia tidak digunakan secara
keseluruhan berarti proses produksi tidak efisien. Tepatnya pengertian production
possibility curve sendiri merupakan alternative pengorbanan yang diberikan sesuatu
output guna peningkatan output lain seperti ditunjukkan pada gambar 2.2
Gambar 2.4. Kurva Production Possibility Curve
Berdasarkan uraian diatas, produksi pada dasarnya merupakan proses
penggunaan input (masukan) untuk menghasilkan output (keluaran). Secara umum
fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Output = f(input)
Hubungan di antara penggunaan input dalam rangka penciptaan output dalam
terjemahan fungsi disajikan sebagai:
Pengertian output tentunya berkaitan dengan produk yang dihasilkan dengan
berbagai criteria dan input meliputi antara lain penggunaan tenaga kerja,
barang-barang modal, bahan baku,teknologi dan berbagai input lainnya dengan berbagai
satuan (Sumanjaya,R., 2008; 80)
2.8.1 Teori Produksi dengan 1 (satu) Input
Fungsi produksi dengan penggunaan 1 (satu) input disajikan sebagai:
q = f(x1)
Input X1 dapat berupa penggunaan input tenaga kerja, lahan, bahan
baku,barang-barang modal, pupuk dan lainnya sehingga memberikan makna
keberadaan masing-masing input tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan
sejumlah produksi. Apabila input tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi
berarti pembahasan bertumpu pada kemampuan tenaga kerja dalam menciptakan
jumlah produksi (total physical productivity of labor/TPPL atau acapkali disingkat
(TP), produksi margin (marginal physical productivity of labor atau MP), rata-rata
produksi (avarage physical productiviy of labor atau AP) dan sampai kepada laba
maksimum( profit maximation). Adapun faktor produksi lainnya dianggap tetap.
Pengertian total physical productivity of labor pada dasarnya merupakan
kemampuan input tenaga kerja untuk menghasilkan produksi. Kemampuan dimaksud
terungkap dari perkembangan jumlah produksi yang dihasilkan dari perubahan
Definisi avarage product (rata-rata produksi) dari penggunaan input tenaga
kerja adalah jumlah produksi dibagi dengan jumlah input tenaga kerja yang
digunakan. Keterangan ini juga dapat digunakan untuk mengulur tingkat
produkstivitas tenaga kerja dalam bentuk suatu ukuran sebagai perbandingan diantara
output dan input.
AP = TP/x1
Sedangkan definisi marginal product (produk margin) dari input yang sama
adalah perubahan total output yang diakibatkan oleh perubahan satuan input tenaga
kerja dalam proses produksi:
MP = ∆TP/ ∆x1
Penambahan tenaga kerja masing-masing satu orang maka formulasi dapat
disajikan dengan rumus:
MP = ∆ TP
Tahapan produksi
Berdasarkan data dan grafik pada gambar 2.5 dapat ditemukan tahapan
(stage) produksi, apakah sebagai tahap I, tahap II, dan tahap III. Tahap I ditunjukkan
dari penggunaan 1 input tenaga kerja sampai pada perpotongan marginal product
dengan average product. Tahap II dimulai dari MP = AP sampai pada maksimum
total product dengan MP = 0. Tahap III dimulai total product mengalami penurunan
Gambar 2.5. Kurva Tahapan Produksi
Tahap I penggunaan tenaga kerja relative kecil sehingga total produksi
masih memungkinkan untuk ditingkatkan, tahapan ini merupakan irrational stage
sebagaimana tahap III dimana penambahan jumlah input tenaga kerja justru
menurunkan jumlah produksi. Tahap II merupakan rational stage dimana
penambahan input tenaga kerja dapat meningkatkan jumlah produksi. Dengan
demikian berdasarkan ketiga tahapan produksi diatas, terbaik terdapat pada tahap
produksi II (Sumanjaya,Rakhmat.,2008;83).
TPL
APL
MPL
I II III
2.8.2 Teori Produksi dengan 2 (dua) Input atau Lebih
Apabila dua input yang digunakan dalam proses produksi menjadi variabel
semua, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan isoquan dan isocost.
a. Isoquant
Isoquant adalah kurva yang menunjukkan kombinasi input yang dipakai
dalam proses produksi, yang menghasilkan output tertentu dalam jumlah yang sama
(Suharti, T., 2003; 83).
Gambar 2.6. Kurva Isoquan
Isoquant mempunyai ciri-ciri yang sama dengan indifference curve dalam
analisis perilaku konsumen, yaitu (Suharti, T., 2003; 83):
1. Turun dari kiri atas kekanan bawah
K
K1
K2
L2
L1 L
2. Cembung ke arah titik origin
3. Tidak saling berpotongan
4. Kurva pada gambar 2.6 menunjukkan jumlah output yang lebih banyak, artinya
perubahan produksi digambarkan dengan pergeseran isoquan.
Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS)
Adalah suatu pernyataan yang mengungkapkan penurunan/berkurangnya
penggunaan sesuatu input (kapital) di satu sisi pada sumbu vertikal dan diganti
dengan penambahan input lain (tanaga kerja) dengan tingkat produksi yang sama
(Sumanjaya, R.,2008; 87). Secara matematis dapat dituangkan sebagai berikut:
MRTS = K L MP MP
b. Isocost
Isocost adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi antara dua
input yang berbeda yang dapat dibeli oleh produsen pada tingkat biaya yang sama
Gambar 2.7. Kurva Isocost
Berdasarkan gambar 2.7 dapat dijelaskan bahwa semakin dekat dengan titik
origin, berarti semakin kecil pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh produsen, dan
sebaliknya, semakin jauh dari titik origin maka semakin besar pengeluaran produsen.
Optimal production with least cost combination
Adalah mengungkapkan produksi optimal yang dihasilkan dari proses
kombinasi penggunaan input sebagai total biaya produksi (last least combination).
Kondisi ini disebut juga sebagai optimasi produsen. Terungkap melalui grafik berikut
pada saat isocost line dan isocost curve saling bersinggungan hanya pada satu titik
tertentu saja(Sumanjaya, R., 2008; 91)
L2 L L1
K
K1
Gambar 2.8. Kurva Least Cost Combination
Expantion Path
Untuk melihat apakah penggunaan input produksi sudah secara riil sudah
optimal atau belum, maka dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek teknis (technical
aspect)dan aspek financial(financial aspect)(Salvatore, 1994:172). Aspek teknis
merupakan tempat kedudukan kombinasi input terbaik yang diinginkan untuk
menghasilkan output produksi maksimum yang ditunjukkan oleh kurva isoquant,
sedangkan aspek financial merupak tenpat kedudukan kombinasi input produksi yang
dapat dilakukan perusahaan seperti yang ditentukan oleh ketersediaan anggaran yang
dimiliki yang ditunjukkan oleh kurva isocost.
Kombinasi input yang memenuhi aspek teknis dan aspek financial tersebut
juga dapat ditelusuri melalui kurva Expantion Path. Kurva ini menggambarkan
LEAST COST COMBINATION
ISOQUAN K
kombinasi input yang menghasilkan output maksimal dengan biaya tertentu, atau
output tertentu, atau output tertebtu dengan biaya yang rendah apabila perusahaan
melakukan perluasan yang menunjukkan keseimbangan (equilibrium of firm). Pada
sepanjang garis jalur ekspansi ini akan diketemukan slope garis anggaran sama
dengan slope isoquant (Suhartati, T., 2003; 89)
Gambar 2.9. Kurva Expantion Path
Return To Scale
Return to scale merupakan suatu fungsi produksi dimana menggambarkan
hubungan antara perbandingan perubahan semua input-input yang berdampak
terhadap perubahan outputnya (Pracoyo, T.K., 2006; 158)
Return to scale menyatakan proporsi perubahan penggunaan input yang
menghasilkan perubahan output.(Sumanjaya, R., 2008; 94).
K GARIS
EKSPANS
Ada tiga konsep dalam return to scale ini,yaitu: (Pracoyo, T.K., 2006; 158)
a. Constant Return To Scale
Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan sema dengan
tambahan inputnya.
b. Increasing Return To Scale
Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan lebih besar
dibandingkan tambahan inputnya.
c. Decreasing Return To Scale
Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan lebih kecil
dibandingkan tambahan inputnya.
2.9. Fungsi Produksi Cobb Douglas
Fungsi produksi ini menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Coob, C.W.
dan Douglas, P. H. pada tahun 1928 melalui artikelnya yang berjudul “A Tehory of
Production” (Suhartati, T., 2003; 104).
Secara matematis fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditulis dengan
persamaan:
Q = AKα Lβ
Keterangan: Q = output
L = input tenaga kerja
A = parameter efisiensi/koefisien teknologi
a = elastisitas input modal
b = elastisitas input tenaga kerja
Fungsi produksi Cobb Douglas dapat diperoleh dengan membuat dengan
membuat linear persamaan sehingga menjadi:
LnQ = LnA + αLn + βLnL + ε
Dengan meregres persamaan diatas maka secara mudah akan diperoleh
parameter efisiensi (A) dan elastisitas inputnya. Salah satu kemudahan fungsi
produksi Cobb Douglas adalah secara mudah dapat dibuat linear sehingga
memudahkan untuk mendapatkannya
Dalam fungsi produksi Cobb Douglas ini, penjumlahan elastisitas substitusi
menggambarkan return to scale. Artinya apabila α + β = 1 berarti constan return to
scale, bila α + β < 1 berarti decresing return to scale, dan apabila α + β > 1 berarti
proses produksi berada dalam keadaan increasing return to scale. Hal ini dapat
dibuktikan sebagai berikut:
Fungsi produksi Cobb Douglas:
Q = AKα Lβ
Q2 = A (2K1)α. (2L1) β
= A2αK1α .2βL1β
= 2 α+ βAK1α. L 1β
= 2 α+β Q1
Jadi, bila α+β = 1, maka Q2 = 2 Q1, berlaku constan return to scale
bila α+β > 1, maka Q2 > 2 Q1, berlaku increasing return to scale
bila α+β < 1, maka Q2 < 2 Q1, berlaku decreasing return to scale
Dalam fungsi produksi Cobb Douglas asli berlaku constant return to scale
(Nicholson, 1995 : 332), sehingga dapat mengilustrasikan secara mudah perubahan
output sebagai akibat perubahan input. Apabila input (baik K maupun L) naik sebesar
2 (dua) kali maka output akan naik sebesar 2 (dua) kali pula.
Karena dalam fungsi Cobb Douglas berlaku constant return to scale maka
akan membawa konsekuensi bahwa substitusi antar factor-faktor produksinya adalah
substitusi sempurna, artinya satu input L (tenaga kerja) dapat digantikan dengan satu
unit input K (modal). Dengan demikian, fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai
Gambar 2.10. Kurva Isoquan Fungsi Produksi Cobb-Douglas
2.10. Biaya Produksi
Keputusan manajemen dalam kaitannya dengan penggunaan input (masukan)
untuk menciptakan output (keluaran) sangat penting dan perlu menjadi perhatian
serius. Untuk menciptakan suatu output tentunya dengan berbagai input yang
digunakan seperti : tenaga kerja, bahan baku,barang-barang modal, dan lainnya.
Keseluruhan input ini pada hakikatnya berupa biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan dalam proses produksi yang disebut opportunity cost.
Opportunity Cost
Konsep opportunity cost pada hakikatnya merupakan pengorbanan yang
diberikan sebagai alternative terbaik untuk memperoleh sesuatu hasil atau manfaat.
Atau dapat pula menyatakan sejumlah harga yang harus dibayar unutk
mendapatkannya. Dalam penggunaannya dapat berupa pembayaran/ harga terhadap
sesuatu barang yang akan dikomsumsi dan dapat pula berupa produksi maupun
terhadap penggunaan jasa. Dengan demikian opportunity cost is the value of the best
alternative that must be given up to produce goods or service (Sumanjaya, R., 2008;
107).
2.10.1. Macam-Macam Biaya
Yang dimaksud dengan biaya dalam pengertian ekonomi adalah seluruh
beban yang harus ditanggung produsen untuk menyediakan produk baik barang
maupun jasa agar siap dikonsumsi oleh konsumen (Pracoyo,T.K.,2006; 170).
Berdasarkan realitas, biaya dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Suhartati, T.,
2003; 123):
1. Biaya eksplisit ialah pengeluaran yang nyata dari suatu perusuhaan untuk
membeli atau menyewa input atau faktor produksi yang diperlukan di dalam
proses produksi.
2. Biaya implisit ialah nilai dari suatu input milik sendiri atau keluarga yang
digunakan oleh perusahaan itu sendiri di dalam proses produksi.
Berdasarkan pertanggungjawabannya, biaya digolongkan menjadi dua macam
yaitu biaya internal dan biaya eksternal. Biaya internal adalah biaya yang
dikeluarkan dalam rangka operasional perusahaan( biaya eksplisit dan implisit).
Biaya eksternal adalah biaya yang harus ditanggung perusahaan sehubungan
pencemaran dan kerusakan lingkungan sekitar perusahaan biaya program
peningkatan peran serta perusahaan terhadap lingkungan dan sebagainya (Putong,
I., 2005; 252)
Berdasarkan sifatnya,yaitu mengkaitkan antara pengeluaran yang harus
dibayar dengan produk atau output yang dihasilkan, biaya dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Biaya tetap
Merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan per satuan waktu
tertentu, untuk keperluan pembayaran semua input tetap, dan bsarnya tidak
tergantung dari jumlah produk yang dihasilkan.
2. Biaya variabel
Merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan pada waktu
tertentu, untuk pembayaran semua input variabel yang digunakan dalam proses
produksi.
Penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel dalam proses produksi disebut
sebagai biaya total. Hubungan antara biaya dan output dalam bentuk persamaan
merupakan fungsi biaya. Fungsi biaya total diformulasikan sebagai berikut:
TC = f(q)
Terdapat dua fungsi biaya yang dapat diurunkan dari fungsi biaya total,