PERBANDINGAN ARIPIPRAZOL INTRAMUSKULAR DAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR DALAM PENATALAKSANAAN AGITASI
PADA PASIEN SKIZOFRENIK
TESIS
LAILAN SAPINAH
18797
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
PERBANDINGAN ARIPIPRAZOL INTRAMUSKULAR DAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR DALAM PENATALAKSANAAN AGITASI
PADA PASIEN SKIZOFRENIK
TESIS
Untuk memperoleh gelar spesialis di Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
LAILAN SAPINAH
18797
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul tesis : Perbandingan Aripiprazol Intramuskular Dan Haloperidol Intramuskular Dalam Penatalaksanaan
Agitasi Pada Pasien Skizofrenik Nama mahasiswa : Lailan Sapinah
Nomor CHS : 18797
Konsentrasi : Ilmu Kedokteran Jiwa
Menyetujui
Komisi Pembimbing:
Prof.dr.Bahagia Loebis,SpKJ(K) Ketua
Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS
Prof.dr.Bahagia Loebis,SpKJ(K) dr.Zainuddin Amir,SpP(K)
Telah diuji pada
Tanggal: 25 Nopember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr.Heriani,Sp.KJ (K) ………..
Sekretaris : dr.Cecep Sugeng Kristanto,Sp.KJ (K) ………..
Anggota : Prof.dr.Bahagia Loebis,Sp.KJ (K) ………..
PERNYATAAN
PERBANDINGAN ARIPIPRAZOL INTRAMUSKULAR DAN HALOPERIDOL
INTRAMUSKULAR DALAM
PENATALAKSANAAN AGITASI
PADA PASIEN SKIZOFRENIK
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali secara tertulis mengacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar rujukan, dan
bila terbukti ada maka saya rela gelar saya dicabut.
Medan, 25 Nopember 2010
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
berkah limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas yang ada sebelumnya dan memenuhi
salah satu syarat untuk melengkapi keahlian dalam bidang Ilmu Kedokteran Jiwa.
Sebagai manusia, saya menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan ini dapat
bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang:
Perbandingan aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam penatalaksanaan agitasi pada pasien skizofrenik
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara dan ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof.dr. Syamsir BS,Sp.KJ(K), selaku Ketua Departemen Psikiatri FK USU dan sebagai
guru yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan, dorongan
3. Prof.dr. Bahagia Loebis,Sp.KJ(K), selaku Ketua Program Studi Psikiatri FK USU, guru
dan pembimbing penulis, yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan,
pengetahuan, dorongan dan dukungan selama saya menyelesaikan tesis dan mengikuti
pendidikan spesialisasi.
4. dr. Harun T. Parinduri,Sp.KJ(K), sebagai guru yang telah banyak memberikan
bimbingan, pengarahan, pengetahuan, dorongan dan dukungan selama saya mengikuti
pendidikan spesialisasi.
5. (Alm)dr.Marhanuddin Umar,Sp.KJ(K), sebagai guru yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan spesialisasi.
6. dr. Raharjo Suparto,Sp.KJ, sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan spesialisasi.
7. Prof.dr.M.Joesoef Simbolon,Sp.KJ(K), sebagai guru yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan spesialisasi, terutama di
Psikiatri Anak.
8. dr.Elmeida Effendy,Sp.KJ, selaku Sekretaris Program Studi PPDS I Departemen
Psikiatri Fakultas Kedokteran USU Medan dan sebagai guru yang telah banyak
memberikan bimbingan dan pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan
spesialisasi.
9. dr. Mustafa M. Amin,Sp.KJ, sebagai guru dan senior yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan spesialisasi.
10.dr. Vita Camellia,Sp.KJ, sebagai guru dan senior yang telah banyak memberikan
11.dr. M. Surya Husada,Sp.KJ; sebagai guru dan senior yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan spesialisasi.
12.dr.Dapot P.Gultom,SpKJ selaku Kepala BLUD RSJD Provinsi Sumatera Utara, dr.
Donald F.Sitompul,Sp.KJ; dr. Sulastri Effendi,Sp.KJ; dr. Evawati Siahaan,Sp.KJ; dr.
Mariati, Sp.KJ; dr. Rosminta Girsang,Sp.KJ; dr. Artina R.Ginting,Sp.KJ; dr. Paskawani
Siregar,Sp.KJ; dr. Vera RB Marpaung, Sp.KJ; dan dr. Citra Julita Tarigan,Sp.KJ;
sebagai senior penulis yang telah memberikan semangat dan dorongan selama
mengikuti pendidikan spesialisasi.
13.dr. Herlina Ginting,Sp.KJ; dr. Juskitar,Sp.KJ; dr. Mawar G. Tarigan,Sp.KJ; dr. Freddy
S. Nainggolan,Sp.KJ; dr. Adhayani Lubis,Sp.KJ; dr. Yusak P. Simanjuntak,Sp.KJ; dr.
Juwita Saragih,Sp.KJ; dr. Friedrich Lupini,Sp.KJ; dr. Laila S. Sari, Sp.KJ; dr.
Rudyhard E Hutagalung, Sp.KJ; dr. Evalina Perangin-angin,Sp.KJ; sebagai senior
penulis yang telah banyak memberikan masukan-masukan, bimbingan,
literatur-literatur, dan menjadi rekan diskusi selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.
14.Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan, Direktur Badan Layanan Umum Daerah RSJ
Propinsi Sumatera Utara, Direktur RSU dr.Pirngadi Medan, Direktur RSU PTP II/
Tembakau Deli Medan, Direktur Rumah Sakit Brimob Poldasu, yang telah memberikan
izin, kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama
mengikuti pendidikan spesialisasi.
15.Prof.Dr.dr.Hasan Sjahrir, Sp.S (K), selaku Ketua Departemen Neurologi FK USU; dr.
Khairul P. Surbakti,Sp.S dan dr. Cut Aria Arina,Sp.S , sebagai pembimbing penulis
16.Prof.dr.Habibah Hanum Nasution,Sp.PD-KPsi, selaku Kepala Divisi Psikosomatik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah menerima dan membimbing
penulis selama belajar di stase Divisi Psikosomatik Ilmu Penyakit Dalam FK USU.
17.dr.Dharma Lindarto,Sp.PD-KEMD, selaku kepala Divisi Geriatri Ilmu Penyakit Dalam
FK USU, dan dr.Pirma Siburian,Sp.PD-KGer, yang telah menerima dan membimbing
penulis selama belajar di stase Divisi Geriatri Ilmu Penyakit Dalam FK USU.
18.Dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes sebagai konsultan statistik dalam tesis ini yang telah
banyak meluangkan waktu membimbing dan berdiskusi dengan penulis.
19.dr. Maria S.F. Yanti, selaku Kepala Puskesmas Desa Lalang Medan Sunggal yang telah
memberikan izin, kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk belajar dan bekerja
selama di stase psikiatri komunitas.
20.Teman-teman sejawat peserta PPDS-I Psikiatri FK USU : dr. Silvy A. Hasibuan, dr.
Victor E. Pinem, dr. Siti Nurul Hidayati, dr. Herny T. Tambunan, dr. Mila A. Harahap,
dr. Ira Aini Dania, dr. Baginda Harahap, dr. Ricky W. Tarigan, dr. M. Yusuf Siregar, dr.
Ferdinan Leo Sianturi, dr. Superida Ginting, dr. Hanip Fahri, dr. Lenny C. Sihite, dr.
Saulina D. Simanjuntak, dr. Endang Sutry Rahayu, dr. Duma M. Ratnawati, dr. Dian
Budianti Amalina, dr. Tiodoris Siregar, dr. Andreas Xaverio Bangun, dr. Nirwan
Abidin, dr. Nanda Sari Nuralita, dr. Nauli Aulia Lubis, dr.Wijaya Taufik Tiji, dr. Alfi
Syahri Rangkuti, dr. Agussyah Putra, dr. Rini Gussya Liza, dan dr. Gusri Girsang, yang
banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis
baik dalam pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan yang
21.Seluruh perawat dan pegawai RSUP Haji Adam Malik, RSUP dr.Pirnngadi Medan, RS
Tembakau Deli Medan, BLUD RSJD Propinsi Sumatera Utara, RS Brimob Poldasu,
Puskesmas Desa Lalang, yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan
spesiaisasi.
22.Teman-teman di layanan digital perpustakaan USU: Evi Yulifimar,S.Sos; Yuli
Handayani,S.Sos; Diani Hartati,S.Sos; M.Salim,A.Md; yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan tugas selama mengikuti pendidikan spesialisasi.
23.Buat kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan cintai : (Alm) Letkol. dr.H.Abdul
Hakim bin Abdullah Afifuddin dan (Almh) Hj.Zuraidah bte Abdul Malik yang telah
dengan susah payah membesarkan, mendidik, memberi rasa aman, cinta dan doa restu
kepada penulis selama ini. Demikian juga kepada abang, kakak dan adik-adik:
Drs.Lukman Nul Hakim; Isna Aliyah Hakim,ST; Nursafwah Hakim,ST; Dra.Tarwiyah
Hakim; Sibawaihi Hakim,ST; Fadillah H.Hakim,SPd; Ernita S.Hakim,SPd; Johar
Hakim, atas dorongan dan semangat dan doa-doa kalian.
24.Buat kedua mertua yang sangat penulis hormati dan cintai : (Alm) H.Maimun bin Amin
dan (Almh) Hj.Asyah bte Hasan yang telah banyak memberikan semangat dan doa
kepada penulis selama ini.
25.Buat suamiku tercinta: dr.Junaidi Maimun,SpPD dan anak-anakku tercinta Sabila
Ghaisani dan Syafiq Ghassan, terima kasih atas segala doa, cinta, kesabaran, dukungan,
dan pengertian yang mendalam serta pengorbanan atas waktu yang diberikan kepada
penulis selama penulis menjalani Program Pendidikan Spesialisasi Ilmu Kedokteran
akan mampu menyelesaikan Program Pendidikan Spesialisasi Ilmu Kedokteran Jiwa
dan tesis ini dengan baik.
Akhirnya penulis hanya mampu berdoa dan memohon semoga Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang memberikan rahmat-Nya kepada seluruh keluarga, sahabat dan
handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil, saya ucapkan
terima kasih.
Medan, 25 Nopember 2010
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing………. i
Ucapan Terima Kasih……… iv
Daftar Isi……… xi
Daftar Tabel………... xiii
Daftar Singkatan dan Lambang……….. xiv
Abstrak ……….. xv
Bab 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang………. 1
1.2. Rumusan Masalah……… 4
1.3. Hipotesis……….. 4
1.4. Tujuan Penelitian………. 5
1.5. Manfaat Penelitian……… 5
Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia……… 6 2.2. Agitasi………... 7
2.3. Agitasi Pada Pasien Skizofrenik………... 9 2.4. Farmakoterapi Pada Agitasi……….. 12
2.5. Positive and Negative Syndrome Scale………. 17
2.6. Kerangka Konseptual……….... 19
Bab 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian………. . 20
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian………... 20 3.3. Populasi Penelitian……… 20
3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel………. 21
3.5. Perkiraan Besar Sampel……… 21 3.6. Kriteria Penelitian………. 22 3.7. Ijin Subyek Penelitian………... 22 3.8. Etika Penelitian………. 23
3.9. Cara Kerja Penelitian……… 23
3.10. Identifikasi variabel……….. 24
3.11. Definisi Operasional………. 24
3.12. Kerangka Operasional……….. 27 3.13. Analisis dan Penyajian Data………. 28
Bab 4. HASIL PENELITIAN………. 29
Ringkasan ……….. 47
Daftar Rujukan……… 48
Lampiran 1. PANSS-Excited Component... 51
2. Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian... 58
3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)……. 60
4. Surat Persetujuan Komite Etik……… 61
5. Data Subyek Penelitian... 62
6. Jadwal Penelitian ... 63
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Definisi agitasi………. 9
Tabel 4.1. Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur dan jenis
kelamin………. 29
Tabel 4.2. Karakteristik berat badan dan BMI pada penggunaan aripiprazol 30
intramuskular dan haloperidol intramuskular………
Tabel 4.3. Karakteristik skor PANSS-EC saat pertama kali diperiksa……… 31
Tabel 4.4. Karakteristik tingkat keparahan agitasi saat pertama kali
diperiksa………. 32
Tabel 4.5. Mean dosis aripiprazol intramuskular dan haloperidol
intramuskular ……… 32
Tabel 4.6. Perubahan skor PANSS-EC setelah 2 jam diinjeksi……….. 33
Tabel 4.7. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 2 jam setelah
injeksi……… 33
Tabel 4.8. Perubahan skor PANSS-EC setelah 4 jam diinjeksi……… 34
Tabel 4.9. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 4 jam setelah
injeksi……… 35
Tabel 4.10. Perubahan skor PANSS-EC setelah 24 jam diinjeksi…………. 35
Tabel 4.11. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 24 jam setelah
injeksi………. 36
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
BLUD : badan layanan umum daerah
BMI : body mass index
dkk : dan kawan-kawan
DSM-IV-TR : diagnostic and statistical manual of mental disorders, fourth edition, text revision
EPS : efek samping ekstrapiramidal FDA : food and drug administration
FGA : first-generation antipsychotics GABA : gamma amino butyric acid
PANSS-EC : Positive and negative syndrome scale-excited component
PPDGJI-III : pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III
SDA : serotonin-dopamine antagonist SGA : second-generation antipsychotics SPSS : statistical package for the social sciences
Zα : tingkat kepercayaan
Zβ : kekuatan
D2 : dopamin tipe 2
5HT2A : 5-hydroxytriptamine tipe 2A < : lebih kecil dari
ABSTRAK
Latar Belakang: Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. Agitasi sering dijumpai di pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik. Pasien dengan agitasi akut yang dihubungkan dengan skizofrenia berisiko untuk mencelakai diri mereka sendiri dan orang lain dan membutuhkan pengobatan untuk mengontrol gejala dengan cepat. Beberapa pasien mungkin tidak bisa mengambil obat secara oral, dan pada pasien-pasien ini mungkin diperlukan pengobatan dalam bentuk intramuskular.Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan efektifitas dan waktu yang dibutuhkan aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam meredakan agitasi pada pasien skizofrenik.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental two group pretest-posttest design yang merupakan uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok dengan melakukan randomisasi. Penelitian dilakukan di BLUD Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara periode 1 Juli 2010 sampai 31 Oktober 2010. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi. Pemilihan sampel dengan cara non probability sampling jenis consecutive sampling. Keparahan agitasi diukur dengan PANSS-EC.
Hasil: Dari uji statistik dengan independent samples test setelah 2 jam pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular diperoleh nilai rerata penurunan skor PANSS-EC masing-masing 13,8 (SD 1,8) dan 15,8 (SD 4,0) dengan nilai P=0,001. Setelah 4 jam pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular nilai rerata penurunan skor PANSS-EC masing-masing 8,1 (SD 1,1) dan 9,3 (1,9) dengan nilai P=0,006. Setelah 24 jam, nilai rerata penurunan skor PANSS-EC masing-masing 6,8 (SD 0,8) dan 7,5 (SD 1,1) dengan nilai P=0,012. Nilai P<0,05 tersebut menunjukkan bahwa terdapat perubahan skor PANSS-EC yang bermakna dalam 2, 4, dan 24 jam setelah pemberian aripiprazol intramuskular dibandingkan haloperidol intramuskular. Dari uji statistik dengan chi-square test terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik, diperoleh nilai P=0,018 pada jam ke-2, P=0,037 pada jam ke-4. Aripiprazol intramuskular memberikan hasil berbeda secara bermakna dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi setelah 2 jam dan 4 jam dibandingkan haloperidol intramuskular, sedangkan setelah 24 jam hasilnya sudah menunjukkan tingkat keparahan yang sama pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Aripiprazol intramuskular lebih bermakna dalam menurunkan skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi dan lebih cepat menurunkan tingkat keparahan agitasi dibandingkan dengan haloperidol intramuskular.
Kata kunci: Pasien skizofrenik, aripiprazol intramuskular, haloperidol intramuskular.
ABSTRAK
Latar Belakang: Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. Agitasi sering dijumpai di pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik. Pasien dengan agitasi akut yang dihubungkan dengan skizofrenia berisiko untuk mencelakai diri mereka sendiri dan orang lain dan membutuhkan pengobatan untuk mengontrol gejala dengan cepat. Beberapa pasien mungkin tidak bisa mengambil obat secara oral, dan pada pasien-pasien ini mungkin diperlukan pengobatan dalam bentuk intramuskular.Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan efektifitas dan waktu yang dibutuhkan aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam meredakan agitasi pada pasien skizofrenik.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental two group pretest-posttest design yang merupakan uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok dengan melakukan randomisasi. Penelitian dilakukan di BLUD Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara periode 1 Juli 2010 sampai 31 Oktober 2010. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi. Pemilihan sampel dengan cara non probability sampling jenis consecutive sampling. Keparahan agitasi diukur dengan PANSS-EC.
Hasil: Dari uji statistik dengan independent samples test setelah 2 jam pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular diperoleh nilai rerata penurunan skor PANSS-EC masing-masing 13,8 (SD 1,8) dan 15,8 (SD 4,0) dengan nilai P=0,001. Setelah 4 jam pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular nilai rerata penurunan skor PANSS-EC masing-masing 8,1 (SD 1,1) dan 9,3 (1,9) dengan nilai P=0,006. Setelah 24 jam, nilai rerata penurunan skor PANSS-EC masing-masing 6,8 (SD 0,8) dan 7,5 (SD 1,1) dengan nilai P=0,012. Nilai P<0,05 tersebut menunjukkan bahwa terdapat perubahan skor PANSS-EC yang bermakna dalam 2, 4, dan 24 jam setelah pemberian aripiprazol intramuskular dibandingkan haloperidol intramuskular. Dari uji statistik dengan chi-square test terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik, diperoleh nilai P=0,018 pada jam ke-2, P=0,037 pada jam ke-4. Aripiprazol intramuskular memberikan hasil berbeda secara bermakna dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi setelah 2 jam dan 4 jam dibandingkan haloperidol intramuskular, sedangkan setelah 24 jam hasilnya sudah menunjukkan tingkat keparahan yang sama pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Aripiprazol intramuskular lebih bermakna dalam menurunkan skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi dan lebih cepat menurunkan tingkat keparahan agitasi dibandingkan dengan haloperidol intramuskular.
Kata kunci: Pasien skizofrenik, aripiprazol intramuskular, haloperidol intramuskular.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas.
Agitasi sering dijumpai di pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien
dengan gangguan psikotik.1 Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Fourth Edition (DSM-IV) dari American Psychiatric Association , agitasi didefinisikan sebagai
aktivitas motorik yang berlebih-lebihan dihubungkan dengan perasaan ketegangan dari dalam
diri. Gangguan perilaku yang kompleks yang dikarakteristikkan dengan agitasi ini terdapat pada
sejumlah gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, gangguan bipolar, demensia (termasuk
penyakit Alzheimer) dan penyalahgunaan zat (obat dan/atau alkohol).2,3
Agitasi mempunyai bermacam-macam manifestasi melalui banyaknya penyakit-penyakit
psikiatrik. Gambaran agitasi yang sering dijumpai pada skizofrenia, gangguan bipolar, dan
demensia, termasuk aktivitas motorik dan atau verbal yang berlebihan, iritabilitas,
ketidakkooperatifan, ledakan (outburst) vokal atau mencaci-maki, sikap atau kata-kata yang
mengancam, perusakan fisik, dan penyerangan.4
Kebanyakan pasien skizofrenik, gangguan skizoafektif, atau gangguan skizofreniform
memperlihatkan beberapa episode akut yang memerlukan hospitalisasi selama perjalanan
penyakit mereka, dan hampir 20% dari pasien-pasien ini membutuhkan pengobatan untuk agitasi
akut. Pasien dengan agitasi akut yang dihubungkan dengan skizofrenia berisiko untuk
gejala dengan cepat.4,5 Beberapa pasien mungkin tidak bisa mengambil obat secara oral, dan
pada pasien-pasien ini mungkin diperlukan pengobatan dalam bentuk intramuskular.6
Haloperidol intramuskular adalah pengobatan antipsikotik intramuskular standar yang
digunakan untuk pengobatan agitasi akut dengan dosis yang diberikan berkisar 5 sampai 10 mg.
Namun antipsikotik konvensional dihubungkan dengan efek samping ekstrapiramidal (EPS) akut
seperti distonia, akatisia, dan hipotensi ortostatik, dan efek-efek ini dapat memperburuk distress
yang dialami pasien.6 Dosis haloperidol 2-5mg dipergunakan untuk mengontrol dengan cepat
pasien skizofrenik akut yang agitasi dengan gejala-gejala yang agak berat sampai sangat berat.
Bergantung kepada respons pasien, dosis berikutnya dapat diberikan tiap jam, walaupun dengan
interval 4-8 jam sudah memuaskan.7 Onset of action haloperidol intramuskular bervariasi dan
umumnya antara 30 dan 60 menit.8
Antipsikotik atipikal memberikan efek yang sama dengan obat konvensional dalam
mengurangi simtom positif dengan risiko gejala ekstrapiramidal yang lebih rendah pada dosis
terapeutik. Lebih jauh lagi, antipsikotik atipikal lebih baik dibandingkan antipsikotik
konvensional dalam hal keuntungan kognitif. Disamping mempunyai risiko yang lebih rendah
untuk terjadinya gejala ekstrapiramidal, pengobatan antipsikotik atipikal intramuskular juga
mempunyai keuntungan dalam menangani psikosis akut.8 Aripiprazol oral menunjukkan
kemanjuran dengan tolerabilitas yang baik pada pasien psikosis akut, tetapi tetap membutuhkan
formulasi injeksi dari antipsikotik atipikal untuk mengontrol agitasi akut pasien-pasien yang
dihospitalisasi.6
Penelitian yang dilakukan Andrezina dan kawan-kawan (dkk) pada tahun 2006 yang
meneliti keamanan dan kemanjuran aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular
intramuskular sebesar 9,75mg dan haloperidol intramuskular sebesar 6,5mg. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa mean perbaikan dari Positive and Negative Syndrome Scale-Excited
Component (PANSS-EC) pada 2 jam adalah besar secara signifikan untuk aripriprazol
intramuskular vs plasebo (p<0,001) dan aripiprazol intramuskular noninferior terhadap
haloperidol intramuskular pada PANSS-EC. Penelitian ini menyimpulkan bahwa aripiprazol
intramuskular adalah pengobatan yang efektif dibandingkan haloperidol dan ditoleransi dengan
baik untuk pasien skizofrenik dengan agitasi akut.9
Penelitian yang dilakukan oleh Trans-Johnson dkk pada tahun 2007 yang meneliti
keamanan dan kemanjuran formulasi intramuskular dari aripiprazol (dosis 1mg, 5.25mg, 9.75mg,
atau 15 mg) dan haloperidol dengan dosis 7,5mg yang dinilai pada baseline dan tiap 15 menit
untuk 2 jam pertama, pada 4, 6, 12, dan 24 jam setelah initial dose. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa aripiprazol intramuskular 9,75mg secara signifikan menurunkan skor
PANSS-EC dibandingkan plasebo pada menit 45 dan cenderung signifikan pada menit 30,
sedangkan haloperidol intramuskular 7,5mg dibandingkan plasebo menurunkan skor PANSS-EC
pada menit 105. Pada menit 30, kebanyakan pasien secara signifikan berespons terhadap
aripiprazol intramuskular 9,75mg. Penelitian ini menyimpulkan bahwa aripiprazol intramuskular
9,75 mg adalah secara cepat efektif dan ditoleransi dengan baik dibandingkan haloperidol dalam
mengontrol agitasi tanpa over sedasi pada pasien skizofrenik.6
1.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian
1. Apakah aripiprazol intramuskular lebih baik menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik
dibandingkan dengan haloperidol intramuskular?
2. Apakah aripiprazol intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat dalam menurunkan
tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan haloperidol
intramuskular?
1.3. Hipotesis
1. Aripiprazol intramuskular lebih baik menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik
dibandingkan dengan haloperidol intramuskular.
2. Aripiprazol intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan haloperidol
intramuskular.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Untuk membandingkan aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam
mengurangi agitasi pada pasien skizofrenik.
Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui apakah aripiprazol intramuskular lebih baik dibandingkan
2. Untuk mengetahui apakah aripiprazol intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat
dibandingkan haloperidol intramuskular dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi
pada pasien skizofrenik.
1.5. Manfaat
Dengan menurunkan agitasi dengan cepat maka kemungkinan pasien yang akan mencelakai diri
sendiri dan orang lain semakin berkurang. Hasil penelitian ini juga dapat dilanjutkan untuk bahan
penelitian lanjutan yang sejenis atau penelitian lain yang memakai penelitian ini sebagai bahan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan mental psikotik yang etiologinya belum diketahui yang
dikarakteristikkan dengan gangguan dalam proses pikir, mood, dan perilaku. Prevalensi seumur
hidup sekitar 1%. Prevalensi antara pria dan wanita sama. Puncak usia dari onset penyakit ini
antara 15 dan 35 tahun. Onset sebelum usia 10 tahun atau setelah 45 tahun adalah jarang.10,11
Skizofrenia secara definisi merupakan suatu gangguan yang harus terjadi sedikitnya 6
bulan atau lebih, termasuk sedikitnya selama 1 bulan mengalami waham, halusinasi,
pembicaraan yang kacau, perilaku kacau atau katatonik atau simtom-simtom negatif. Meskipun
tidak dikenali secara formal sebagai bagian dari kriteria diagnostik untuk skizofrenia, sejumlah
studi mengsubkategorikan gejala-gejala penyakit ini ke dalam 5 dimensi, yaitu simtom positif,
simtom negatif, simtom kognitif, simtom agresif/permusuhan, dan simtom depresif/cemas.12
Simtom positif tampaknya merefleksikan suatu ketidaksesuaian dengan fungsi-fungsi
yang normal dan secara tipikal meliputi waham dan halusinasi, ini termasuk bahasa dan
komunikasi yang mengalami distorsi atau berlebih-lebihan (pembicaraan yang kacau) dan juga
dalam memonitor perilaku (perilaku yang kacau atau katatonik atau teragitasi). Simtom negatif
terdiri dari sedikitnya 5 gejala yaitu pendataran afek, alogia, avolisi, anhedonia, dan hendaya
dalam atensi. Simtom kognitif mungkin gambarannya dapat bertumpang tindih dengan simtom
negatif. Gejala ini secara spesifik termasuk gangguan pikiran dari skizofrenia dan kadang-kadang
penggunaan bahasa yang aneh termasuk inkoherensia, asosiasi yang longgar, dan neologisme.
dihubungkan dengan skizofrenia. Simtom agresif dan permusuhan bisa bertumpang tindih
dengan simtom positif tetapi secara spesifik menekankan pada masalah mengontrol impuls.
Simtom ini meliputi permusuhan yang jelas, seperti perlakuan yang kasar baik secara verbal atau
fisik ataupun sampai melakukan penyerangan. Beberapa simtom juga termasuk seperti perilaku
melukai diri sendiri, bunuh diri, membakar rumah dengan sengaja atau merusakkan milik orang
lain. Tipe lain dari ketidakmampuan mengontrol impuls seperti sexual acting out, juga termasuk
kedalam kategori simtom agresif dan permusuhan. Simtom depresif dan cemas sering
dihubungkan dengan skizofrenia, tetapi adanya simtom ini bukan berarti memenuhi kriteria
diagnostik untuk komorbid dengan gangguan ansietas atau gangguan afektif.12
2.2. Agitasi
Istilah agitasi secara umum menjelaskan aktivitas motor atau verbal yang berlebihan, dan
perilaku agitasi ini berpotensi berbahaya.13
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition
(DSM-IV) dari American Psychiatric Association , agitasi didefinisikan sebagai aktivitas motorik yang
berlebih-lebihan dihubungkan dengan perasaan ketegangan dari dalam diri. Gangguan perilaku
yang kompleks yang dikarakteristikkan dengan agitasi ini terdapat pada sejumlah gangguan
psikiatrik seperti skizofrenia, gangguan bipolar, demensia (termasuk penyakit Alzheimer) dan
penyalahgunaan zat (obat dan/atau alkohol).2,3
Agitasi sangatlah sering dijumpai didalam pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai
keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik.1 Agitasi memiliki manifestasi yang
atau verbal (berkelahi, melempar, merebut, menghancurkan barang-barang, memaki dan
berteriak) dan juga nonagresif (tidak dapat tenang, mondar-mandir, bertanya berulang-ulang,
bercakap-cakap dan inappropriate disrobing).4
Dari data-data pasien yang mengunjungi pelayanan gawat-darurat psikiatri, agitasi
merupakan gejala yang sering sekali dikeluhkan pada penderita dengan psikosis, gangguan
bipolar dan demensia. Di Amerika Serikat, penderita dengan agitasi yang datang ke pelayanan
gawat darurat psikiatri meliputi 21% pasien-pasien skizofrenik, 13% pasien dengan gangguan
bipolar, dan 5% pasien dengan demensia.4
Tabel 2.1. Definisi agitasi
Kegelisahan motorik
Peningkatan respons terhadap rangsangan
Iritabilitas
Aktifitas motor atau verbal yang tidak sesuai dan atau tak
bertujuan
Penurunan tidur
Gejala-gejalanya berfluktuasi sepanjang waktu
Sumber: Lindenmayer JP. The Pathophysiology of Agitation. J Clin Psychiatry 2006;61(suppl
2.3. Agitasi Pada Pasien Skizofrenik
Agitasi dan perilaku yang kasar dapat terjadi di dalam setting klinis yang berbeda. Kejadian ini
timbul dalam 10% dari emergensi psikiatri dan biasanya dihubungkan dengan psikosis atau
penyalahgunaan zat.15 Pasien-pasien skizofrenik yang kasar mempunyai lebih banyak simtom
positif dan perilaku aneh yang lebih menonjol dan mungkin bertindak sesuai dengan waham
mereka, terutama jika waham mereka menimbulkan distressing bagi mereka. Pasien yang
mengalami halusinasi perintah untuk mencelakai orang lain juga sering menjadi kasar.16
Gejala-gejala inti dari agitasi meliputi kegelisahan yang menonjol, permusuhan, perilaku agresif,
penyerangan, kekerasan atau perilaku perusakan fisik, memaki, sikap atau bicara yang
mengancam.17
Didalam sampel komunitas, sejumlah studi epidemiologi telah menunjukkan
kekonsistenannya bahwa pasien skizofrenik memiliki risiko lebih tinggi terlibat dalam tindakan
kekerasan dibandingkan gangguan mental lain.13 Pasien skizofrenik berisiko tinggi berperilaku
kasar bila memiliki kecurigaan dan permusuhan, halusinasi yang parah, insight yang buruk
terhadap wahamnya, mengalami gangguan berpikir yang lebih menonjol dan kemampuan
mengontrol impuls agresifnya yang buruk dibandingkan pasien yang tidak berperilaku kasar.
Secara keseluruhan, keadaan tersebut merupakan alasan bagi keluarga untuk merawat pasien
skizofrenia. 4
Pada tahun 2004, American Psychiatric Association Committee on Practice Guidelines
menegaskan bahwa meskipun hanya sedikit dari pasien skizofrenik yang bertindak kasar,
bukti-bukti menunjukkan bahwa pasien skizofrenik berhubungan dengan meningkatnya risiko
seluruh pasien skizofrenik yang masuk ke rumah sakit di Munich disimpulkan bahwa 14%
menunjukkan perilaku agresif sewaktu masuk ke rumah sakit. Dalam studi ini, perilaku agresif
paling banyak dijumpai pada pasien skizofrenik pria, pasien dengan subtipe skizofrenia yang
disorganized dan pasien psikotik yang memperlihatkan gejala waham dan berpikir yang kacau.
Dalam studi yang lain, didapati bukti-bukti bahwa pasien yang kasar lebih banyak dijumpai pada
skizofrenia terutama bila komorbid dengan penyalahgunaan zat.4 Ada bukti yang menyarankan
bahwa skizofrenia berhubungan dengan meningkatnya risiko perilaku yang agresif. Faktor risiko
menjadi agresif pada skizofrenia adalah pria, miskin, tidak punya pekerjaan atau keahlian, tidak
berpendidikan atau tidak menikah dan mempunyai riwayat pernah ditahan atau riwayat
kekerasan sebelumnya.16
Dasar neuroanatomi dan neurokimia agitasi masih belum banyak diketahui. Agitasi
sering sebagai bagian dari suatu episode psikotik akut dan kebanyakan terkait dengan ranah
simtom positif. Sistem neurotransmiter yang mendasari dalam patofisiologi simtom psikotik
termasuk dopaminergik, serotonergik, gamma amino butyrid acid (GABA)-ergic, dan
glutamatergik.13,14 Obat-obat yang menurunkan dopaminergik atau adrenergik, atau
meningkatkan serotonergik dan GABAergik akan melemahkan agitasi.13
Psikosis akut mungkin dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu sindroma diskoneksi
mesokortikal disebabkan karena hiperaktifitas dopaminergik di limbik dengan terputusnya
modulasi glutamatergik dari neurotransmisi dopaminergik dengan mereduksi inhibisi
GABAergik dimana akan menurunkan aktifitas prefrontal kortikal, simtom positif dan negatif,
dan simtom kognitif. Oleh sebab itu, fokus dari antiagitasi adalah antagonis dopaminergik oleh
antipsikotik dengan bermacam variasi profil binding reseptor dopamin-2 (D2) dan 5HT2. Obat
reseptor 5HT2 juga akan meminimalkan gejala ekstrapiramidal.14 Penting bahwa obat-obat
antipsikotik generasi kedua mempunyai efek yang signifikan terhadap variasi dari sistem
neurotransmiter, termasuk jalur dopaminergik dan serotonergik.13
Simtom positif menjadi prioritas target utama untuk distabilkan pada pasien-pasien yang
psikosis akut yang dihospitalisasi. Agitasi dan permusuhan, sering berkaitan dengan simtom
positif, umumnya juga diidentifikasikan sebagai target prioritas untuk distabilkan pada pasien
psikosis akut yang dihospitalisasi terutama pada hari pertama penatalaksanaan. Untuk alasan
inilah dalam memilih regimen pengobatan dipertimbangkan yang memiliki efikasi terhadap
simtom positif, agresi pada psikotik dan agitasi pada psikotik.18
2.4.Farmakoterapi Pada Agitasi
Agitasi akut yang dihubungkan dengan psikosis merupakan suatu tantangan yang membutuhkan
diagnosis dini, intervensi yang cepat dan efektif, dan pengobatan yang ditoleransi dengan baik.19
Tujuan intervensi krisis pada pasien-pasien yang teragitasi adalah dengan menenangkan pasien
tetapi tidak membuat mereka menjadi sedasi sehingga membuat mereka menjadi tidur. Sedasi
yang berlebihan akan mengganggu kemampuan untuk melanjutkan evaluasi psikiatrik dan
memulai pengobatan yang sesuai.13
Dengan menggunakan penjelasan dari patofisiologi yang telah dijelaskan sebelumnya,
tujuan dari pengobatan adalah untuk menurunkan keadaan hyperarousal, menurunkan
impulsivitas, memaksimalkan fungsi eksekutif, dan memaksimalkan kapasitas terhadap
dengan efek merugikan yang minimal. Tujuan pokok adalah untuk menempatkan pasien ke
fungsi pengaturan emosional yang optimal, bukan hanya untuk meredakan/menenangkan.13
Sebelum dikenalnya antipsikotik, penanganan psikosis akut dilakukan dengan
pengekangan (restrain) fisik. Dengan diperkenalkannya klorpromazin dan kemudian agen-agen
antipsikotik tipikal lainnya, pengekangan fisik mengalami perubahan menjadi kimiawi.8
Obat antipsikotik dapat dibagi kedalam dua kelompok utama, yaitu antipsikotik
konvensional yang disebut juga first-generation antipsychotics (FGA) atau dopamine receptor
antagonist, dan obat-obat kedua yang disebut second-generation antipsychotics (SGA) atau
serotonin-dopamine antagonist (SDA).20,21 Istilah FGA dan SGA berdasarkan pada teori bahwa
efek antipsikotik dari obat antagonis reseptor dopamin dihasilkan dari blokade reseptor dopamin
tipe 2 (D2), sedangkan SDA berbeda dimana efeknya dihubungkan dengan rasio dari antagonis
D2 dan 5-hydroxytryptamime tipe 2A (5-HT2A). Antagonis reseptor dopamin selanjutnya dibagi
lagi dengan yang berpotensi rendah, sedang, dan tinggi terhadap reseptor D2. Obat yang
mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor D2 mempunyai tendensi menimbulkan
efek samping ekstrapiramidal yang lebih besar pula. Sedangkan obat yang potensi rendah akan
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal yang lebih kecil tetapi sering pula menyebabkan
hipotensi postural, sedasi dan efek antikolinergik.20
Perkembangan dari obat antipsikotik atipikal sangat menyolok dalam memperbaiki
pengobatan skizofrenia, meskipun antipsikotik atipikal mempunyai efek samping seperti
somnolen, obesitas, hiperglikemia, hiperlipidemia, dan perpanjangan QTc. Ada penelitian
langsung mengenai perkembangan dari agonis parsial dopamin dalam penemuannya untuk
(counterbalance) transmisi dopamin baik hiperdopaminergik maupun hipodopaminergik dan
bekerja sebagai dopamine system stabilizer.22
Meskipun semua antipsikotik tersedia dalam bentuk formulasi oral, hanya beberapa obat
saja yang tersedia dalam bentuk injeksi. Klinisi sebaiknya memilih pemberian obat secara injeksi
apabila pasien tersebut agitasi yang akan lebih menguntungkan jika obat mencapai kadar plasma
dengan lebih cepat. Sebagai contoh, kebanyakan antipsikotik yang diberikan secara
intramuskular mencapai kadar maksimum plasma dalam 30 sampai 60 menit, dengan efek klinis
terlihat dalam 15 sampai 30 menit.20,21
2.4.1. Aripiprazol
Aripiprazol merupakan agen antipsikotik yang mempunyai cara kerja yang unik. Obat ini bekerja
sebagai dopamine system stabilizer yang kelihatannya menjadi lebih signifikan dalam mengatasi
simtom positif dan negatif pada skizofrenia.23
Aripiprazol adalah turunan quinolinone 24-26 yang diperkenalkan dalam praktek klinis
pada akhir tahun 2002.24,26 Aripiprazol mempunyai aktifitas agonis parsial terhadap reseptor
dopamin 2 (D2) dan serotonin 1A (5HT1A), dan aktifitas antagonis yang poten pada reseptor
5HT2A.25,27,28 Obat ini juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor D3; afinitas yang
moderat terhadap reseptor D4, 5HT2C. 5HT7, adrenergik α , histamin 1 (H1) dan afinitasnya
tidak berarti (negligible) terhadap reseptor muskarinik.25,29 Metabolit aktif aripiprazol yaitu
dehydroaripiprazole juga mempunyai afinitas yang sama terhadap reseptor D2 dan tidak
memperlihatkan profil farmakologik yang berbeda secara signifikan dengan senyawa induk.25
Sebagai agonis parsial terhadap D2, aripiprazol bekerja sebagai antagonis fungsional di
area dimana level dopamin meninggi seperti di jalur mesolimbik tetapi tidak di area dimana level
dopamin normal. Sehingga diperkirakan aripiprazol akan mengurangi simtom positif skizofrenia
tanpa mengakibatkan gangguan pergerakan atau peningkatan prolaktin. Di daerah-daerah
dimana konsentrasi dopamin rendah seperti jalur mesokortikal, aripiprazol bekerja sebagai
agonis fungsional.31 Dalam studi-studi preklinis menunjukkan bahwa aripiprazol mempunyai
aktifitas antagonis D2 dibawah kondisi hiperdopaminergik dimana ini dihubungkan dengan
kontrol gejala-gejala positif dan aktifitas agonis D2 dibawah kondisi hipodopaminergik dimana
ini dihubungkan dengan perbaikan gejala-gejala negatif dan kognitif skizofrenia, dengan
perubahan prolaktin dan efek samping ektrapiramidal yang minimal.32 Aktifitas agonis parsial
pada reseptor 5HT1A dihubungkan dengan sifat ansiolitik dan bisa dihubungkan dengan
perbaikan gejala-gejala depresif, kognitif, dan negatif pada pasien skizofrenik.31 Juga
diperkirakan bahwa aktifitas antagonis pada reseptor 5HT2A dihubungkan dengan efek yang
menguntungkan terhadap gejala negatif skizofrenia dan akan memperbaiki gejala-gejala depresif
dan kognitif skizofrenia 31,32 dan mengontrol agitasi dan agresi dan cenderung rendah
menyebabkan efek samping ekstrapiramidal.32 Efek merugikan yang sering dilaporkan biasanya
kepala terasa ringan, insomnia, akatisia, somnolen, tremor, pandangan kabur, mual, muntah,
dispepsia, konstipasi, sakit kepala, dan asthenia.30
Aripiprazol injeksi (intramuskular) digunakan untuk mengontrol agitasi pada pasien
dewasa dengan skizofrenia atau bipolar mania yang disetujui Food and Drug Administration
(FDA) tahun 2006. Aripiprazol injeksi tersedia dalam bentuk dosis tunggal, dengan vial siap
pakai mengandung aripiprazol 9,75mg dalam 1,3mL (7,5mg/mL),25,33 larutan yang steril, jernih
sekitar 1 dan 3 jam. Waktu paruh aripiprazol dan dehidroaripiprazol adalah 75 dan 94 jam.25,34,35
Penelitian yang dilakukan Trans-Johnson dkk pada tahun 2007 menunjukkan bahwa aripiprazol
intramuskular 9,75mg secara signifikan menurunkan skor PANSS-EC dibandingkan plasebo
pada menit 45 dan cenderung signifikan pada menit 30, sedangkan haloperidol intramuskular
7,5mg dibandingkan plasebo menurunkan skor PANSS-EC pada menit 105. Pada menit 30,
kebanyakan pasien secara signifikan berespons terhadap aripiprazol intramuskular 9,75mg.
Aripiprazol intramuskular 9,75mg secara signifikan memperbaiki agitasi tanpa over sedasi.6
Aripiprazol intramuskular diberikan dengan dosis 9,75mg yang dapat diulang setiap 2
jam dan tidak melebihi 30mg/hari. Dosis yang rendah seperti 5,25mg dapat digunakan jika ada
peringatan dari faktor-faktor klinis.34 Dosis yang dianjurkan adalah 9,75mg.33 Aripiprazol
mungkin dikaitkan dengan hipotensi ortostatik, maka pemberiannya harus hati-hati pada pasien
yang mempunyai penyakit jantung, penyakit serebrovaskuler atau kondisi-kondisi yang akan
menyebabkan terjadinya hipotensi34,35, pasien diabetes mellitus dan hiperglikemia,36,37 dan
pasien dengan riwayat kejang.35-37
2.4.2. Haloperidol
Haloperidol merupakan butyrophenone pertama dari antipsikotik mayor.7 Kerja terapeutik
obat-obat konvensional adalah memblok reseptor D2 khususnya di jalur mesolimbik. Hal ini
menimbulkan efek berkurangnya hiperaktifitas dopamin pada jalur ini yang didalilkan sebagai
penyebab simtom positif pada psikosis12, mengurangi penyerangan, perilaku yang meledak-ledak
Pemberian secara intramuskular dalam dosis 2-5mg diperlukan untuk mengontrol dengan
cepat pasien skizofrenik akut dengan gejala-gejala yang sedang-berat sampai sangat berat.
tergantung respons pasien, dosis ulangan dapat juga diberikan dalam setiap jam walaupun
dengan interval 4-8 jam sudah memuaskan.7 Ketika diberikan secara intramuskular, haloperidol
mempunyai onset of action dalam 30 sampai 60 menit, waktu paruh eliminasi mencapai 12
sampai 36 jam, dan efek durasinya mencapai waktu sampai 24 jam.2
Efek samping ekstrapiramidal sering dilaporkan terjadi selama beberapa hari pertama
pengobatan. Efek samping ekstrapiramidal secara umum dapat dibagi atas gejala-gejala mirip
Parkinson, akatisia atau distonia.7,38
2.5. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)
Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) merupakan suatu alat ukur yang valid untuk
menilai beratnya simtom yang dialami pasien skizofrenik dan penilaian terhadap keluaran
terapeutik PANSS mempunyai 30 butir penilaian dengan 3 skala (skala positif = 7 butir; skala
negatif = 7 butir; skala psikopatologi umum = 16 butir). Masing-masing butir mempunyai
rentang nilai dari 1-7 (1= tidak ada; 2 = minimal ; 3 = ringan ; 4 = sedang ; 5 = agak berat ; 6 =
berat ; 7 = sangat berat). Total skor PANSS antara 30-210).39
Selain itu PANSS juga dapat dibagi kedalam 5 komponen, yaitu:39
1. Komponen negatif ( penarikan emosional, penarikan sosial yang pasif /tidak acuh,
kurangnya spontanitas dan arus percakapan, afek tumpul, kemiskinan rapport, atensi
yang buruk, penghindaran sosial secara aktif, retardasi motorik, gangguan kehendak,
2. Komponen positif ( isi pikiran yang tidak biasanya, waham, kebesaran, kurangnya
pertimbangan dan tilikan, perilaku halusinasi).
3. Komponen gaduh gelisah ( gaduh gelisah, pengendalian impuls yang buruk, ketegangan,
permusuhan, ketidakkooperatifan).
4. Komponen depresi ( ansietas, perasaan bersalah, depresi, kekhawatiran somatik,
preokupasi)
5. Komponen kognitif dan lain-lain ( kesulitan berpikir abstrak, disorientasi, disorganisasi
2.6.Kerangka Konseptual
Pre test Post test
Keadaan agitasi dengan
pengukuran PANSS-EC
Waktu berkurangnya agitasi
Keadaan agitasi dengan
pengukuran PANSS-EC
Aripiprazol intramusku- lar
PANSS-
PANSS-EC
Haloperidol intramusku- lar
Pasien skizofrenik dengan agitasi
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental two group pretest-posttest design yang merupakan
uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok dengan melakukan randomisasi.40
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat Penelitian : Poliklinik dan UGD Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara.
Waktu Penelitian : 1 Juli 2010 – 31 Oktober 2010
3.3. Populasi Penelitian
1. Populasi target adalah pasien skizofrenik yang datang berobat ke BLUD Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Sumatera Utara
2. Populasi terjangkau adalah pasien skizofrenik di BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi
3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi. Pemilihan sampel dengan cara
non probability sampling jenis consecutive sampling.41
3.5. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel diukur dengan menggunakan rumus:42
(Zα+ Zβ)S ²
n =n = 2
(X - X )
Zα= tingkat kepercayaan=95%; pada α=5%=1,64 (satu arah=one tail)
Zβ=power=80%; pada β=20%= 0,841
X -X =46
S=5,943
n =n =26,76 ≈ 30
Dengan menggunakan rumus di atas didapatkan jumlah sampel untuk masing-masing
3.6. Kriteria Penelitian
Kriteria Inklusi:
1. Pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria diagnostik menurut PPDGJI-III dengan
agitasi.
2. Usia 15-40 tahun
3. Berat badan ideal
4. Skor PANSS-EC > 20 (tingkat keparahan agak berat)
5. Keluarga bersedia bila pasien menjadi subyek penelitian
Kriteria Eksklusi:
1.Pasien dengan riwayat tidak respons/hipersensitif terhadap aripiprazol atau haloperidol.
2.Pernah diberikan depo antipsikotik dalam 2 minggu terakhir.
3.Dalam keadaan hamil atau menyusui
4.Tekanan darah sistolik < 100 mmHg
5.Pasien skizofrenik yang komorbiditas dengan penyakit medik umum dan gangguan
psikiatrik lainnya.
3.7. Izin Subyek Penelitian
Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua atau keluarga terdekat setelah
terlebih dahulu diberi penjelasan sebelum diberikan pengobatan dengan menggunakan
aripiprazol intramuskular atau haloperidol intramuskular pada pasien skizofrenik.
Penelitian ini telah mendapat persetujuan Komite Etika Penelitian di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
3.9. Cara Kerja Penelitian
Pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi mengisi persetujuan secara
tertulis setelah mendapatkan penjelasan yang terperinci dan jelas dari peneliti. Selanjutnya
subyek penelitian dipilih yang memiliki kesamaan mean dalam hal usia, berat badan, dan tingkat
keparahan penyakit (diukur dengan PANSS-EC). Sebelum dilakukan intervensi, dilakukan
randomisasi terhadap subyek penelitian untuk menentukan subyek mana yang mendapatkan
injeksi aripiprazol dan injeksi haloperidol dengan menggunakan tabel angka random.46
Selanjutnya dipilih berapa besar skor PANSS-EC sebelum dilakukan intervensi. Selanjutnya
subyek yang ingin diteliti diintervensi dengan 9,75mg aripiprazol intramuskular, sedangkan
subyek yang menjadi kontrol diintervensi dengan 5 mg haloperidol intramuskular. Jika belum
didapati kemajuan, maka pemberian kedua dan ketiga dapat diberikan secara berurutan setelah 2
jam dari pemberian pertama dan setelah 2 jam dari pemberian kedua dengan dosis yang sama
dengan dosis pertama. Penilaian kemajuan injeksi kedua dinilai setelah 4 jam sedangkan
penilaian injeksi ketiga dinilai dalam 24 jam (pasien dirawat inap). Jika setelah dilakukan 3 kali
injeksi dalam 24 jam tidak ada kemajuan, subyek tidak dikeluarkan dari penelitian dan tetap
diperhitungkan di akhir penelitian. Kemudian diamati perubahan skor agitasi dan waktu yang
dibutuhkan dalam menurunkan skor agitasi pada subyek yang mendapatkan aripiprazol
Apabila selama dilakukan penelitian pasien tersebut mengalami efek samping distonia
akut, maka diberikan injeksi difenhidramin dosis 50 mg.24
3.10. Identifikasi Variabel
Variabel bebas : aripiprazol intramuskular, haloperidol intramuskular.
Variabel tergantung : Skor PANSS-EC
3.11. Definisi Operasional
1. Pasien skizofrenik adalah pasien yang memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
berdasarkan PPDGJI-III.
2. Agitasi adalah aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait dengan perasaan
ketegangan dari dalam diri.
3. Usia adalah lamanya hidup sejak lahir yang dinyatakan dalam satuan tahun. Usia dibagi
dalam 6 kelompok yaitu:
15 –
20 –
25 –
30 –
35 –
4. Jenis kelamin dibedakan atas laki-laki dan perempuan.
5. Berat badan ideal diukur dengan menilai indeks massa tubuh (Body Mass Index/BMI)
dalam rentang 18,50 – 24,99 yang dihitung dengan rumus:
Berat badan (kg)
BMI =
Tinggi badan (m)²
6. PANSS-EC terdiri atas gaduh gelisah(P4), permusuhan (P7), ketegangan (G4),
ketidakkooperatifan (G8), dan pengendalian impuls yang buruk (G14).
7. Aripiprazol intramuskular adalah antipsikotik atipikal yang merupakan
dihydroquinolinone derivative yang pemakaiannya secara intramuskular.
8. Haloperidol intramuskular adalah antipsikotik tipikal golongan butyrophenone yang
pemakaiannya secara intramuskular.
9. Penurunan skor PANSS-EC sebesar 40% dianggap ada kemajuan.
10.Waktu berkurangnya agitasi adalah lama yang diperlukan untuk menurunkan tingkat
keparahan agitasi yang dihitung dalam 2 jam, 4 jam, dan 24 jam.
11.Tingkat keparahan komponen gaduh gelisah:
Skor PANSS-EC 1-5 = tidak ada
Skor PANSS-EC 16-20 = sedang
Skor PANSS-EC 21-25 = agak berat
Skor PANSS-EC 26-30 = berat
3.12.Kerangka Operasional
Inklusi eksklusi
Pasien skizofrenik dengan agitasi
PANSS-EC
Aripiprazol intramuskular
Haloperidol intramuskular Randomisasi
PANSS-EC 2 jam; 4 jam; 24 jam
3.13. Analisis dan Penyajian Data
Untuk melihat perbandingan efek aripiprazol dan haloperidol terhadap penurunan agitasi pada
pasien skizofrenik dinilai dengan skor PANSS-EC.
Pengolahan dan analisis statistik dari data dilakukan secara komputerisasi dengan
menggunakan alat bantu program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 15,5
BAB 4. HASIL PENELITIAN
Enampuluh orang pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria penelitian dikumpulkan dari Unit
Gawat Darurat dan Poliklinik Psikiatri BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.
Selanjutnya dilakukan randomisasi untuk menentukan pasien mana yang akan memperoleh
aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular. Pasien yang diikutsertakan pada
penelitian ini adalah pasien yang datang berobat dalam periode 1 Juli 2010 sampai dengan 31
[image:46.612.71.475.347.558.2]Oktober 2010.
Tabel 4.1. Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur dan jenis kelamin
Karakteristik demografi Aripiprazol i.m. Haloperidol i.m. n (%) n (%) P
Umur (tahun)
15- 3 (10) 1 (3,3) 20- 9 (30) 7 (23,3) 25- 7 (23,3) 3 (10)
30- 6 (20) 7 (23,3) 0,319 35- 2 (6,7) 4 (13,3)
40. 3 (10) 8 (26,7) Jumlah 30 (100) 30 (100)
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 (73,3) 24 (80) Perempuan 8 (26,7) 6 (20) 0,542 Jumlah 30 (100) 30 (100)
Tabel 4.1 memperlihatkan karakteristik demografi dari kelompok subyek yang
mendapatkan aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular. Dari uji statistik pada
kelompok umur terhadap pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular
dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil P = 0,319 (P > 0,05). Tidak dijumpai
Tabel 4.1 juga memperlihatkan bahwa subyek penelitian yang mendapatkan aripiprazol
intramuskular berjenis kelamin laki-laki sebanyak 22 orang (73,3%) sedangkan yang berjenis
kelamin perempuan sebanyak 8 orang (26,7%). Selanjutnya pada subyek penelitian yang
mendapatkan haloperidol intramuskular yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang
(80%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (20%). Dari uji statistik
pada jenis kelamin terhadap pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular
dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh hasil P = 0,542 (P > 0,05). Tidak dijumpai
perbedaan bermakna proporsi kelompok terapi berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4.2. Karakteristik berat badan dan BMI pada penggunaan aripiprazol intramuskular dan
haloperidol intramuskular
Aripiprazol i.m. Haloperidol i.m. P
n Mean SD n Mean SD
Berat badan 30 56,6 8,3 30 58,3 7,8 0,415 BMI 30 21,3 1,7 30 21,5 1,8 0,580
Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test terhadap berat badan
pada pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular diperoleh nilai rerata
berat badan pada kelompok subyek yang mendapatkan aripiprazol intramuskular adalah 56,6 (SD
8,3) kg dan rerata berat badan pada kelompok subyek yang mendapatkan haloperidol
intramuskular 58,3 (SD 7,8) kg dengan nilai P = 0,415 (P >0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
tidak dijumpai perbedaan proporsi berat badan yang bermakna pada kelompok yang
mendapatkan aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular.
Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test terhadap BMI diperoleh
1,7) dan rerata BMI pada kelompok subyek yang mendapatkan haloperidol intramuskular 21,5
(SD 1,8) dengan P = 0,580 (P > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan
BMI yang bermakna terhadap kelompok yang mendapat aripiprazol intramuskular dan
[image:48.612.68.473.237.288.2]haloperidol intramuskular.
Tabel 4.3. Karakteristik skor PANSS-EC saat pertama kali diperiksa
Aripiprazol i.m Haloperidol i.m P
0 jam n mean SD n mean SD
PANSS-EC 30 29,4 2,8 30 28,3 2,6 0,130
Tabel 4.3. memperlihatkan bahwa rerata skor PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan
agitasi yang mendapatkan aripiprazol intramuskular adalah sebesar 29,4 (SD 2,8) sedangkan
yang mendapatkan haloperidol intramuskular adalah sebesar 28,3 (SD 2,6).
Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test terhadap skor
PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi pada saat pertama sekali diperiksa diperoleh nilai P =
0,130(P > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan yang bermakna terhadap
skor PANSS-EC pada saat pertama sekali pasien skizofrenik dengan agitasi diperiksa pada
[image:48.612.62.475.619.692.2]masing-masing kelompok.
Tabel 4.4. Karakteristik tingkat keparahan agitasi saat pertama kali diperiksa
Tingkat keparahan
Agak berat Berat Sangat berat 0 jam
n (%) n (%) n (%)
P
Aripiprazol i.m. 3 (10) 18 (60) 9 (30)
Tabel 4.4. memperlihatkan bahwa tingkat keparahan agitasi subyek penelitian yang akan
mendapat aripiprazol intramuskular dengan kategori agak berat sebanyak 3 orang (10%), berat
sebanyak 18 orang (60%), dan sangat berat sebanyak 9 orang (30%). Sedangkan pada tingkat
keparahan agitasi subyek penelitian yang mendapat haloperidol intramuskular dengan kategori
agak berat sebanyak 4 orang (13,3%), berat sebanyak 21 orang (70%), dan sangat berat sebanyak
5 orang (16,7%). Dengan menggunakan uji statistik chi-square test terhadap tingkat keparahan
agitasi saat pertama sekali diperiksa didapatkan hasil P = 0,468 (P > 0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa tidak dijumpai perbedaan bermakna tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik
[image:49.612.71.473.376.420.2]yang akan mendapat aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular.
Tabel 4.5. Rerata dosis aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular
Rerata dosis (mg) SD Aripiprazol intramuskular
Haloperidol intramuskular
9,75 0 6 2,03
Tabel 4.5. memperlihatkan bahwa rerata dosis aripiprazol intramuskular adalah sebesar 9,75 mg
[image:49.612.67.478.556.615.2](SD 0), sedangkan rerata dosis haloperidol intramuskular sebesar 6 mg (SD 2,03).
Tabel 4.6. Perubahan skor PANSS-EC setelah 2 jam diinjeksi
PANSS-EC
2 jam n Mean SD P
Aripiprazol i.m. 30 13,1 1,8
Haloperidol i.m 30 15,8 4,0 0,001
Dari tabel 4.6. dapat dilihat bahwa rerata skor PANSS-EC pada pasien yang mendapatkan
Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test terhadap skor
PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 2 jam pemberian aripiprazol intramuskular
dan haloperidol intramuskular diperoleh nilai P = 0,001 (P < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
dijumpai perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah pemberian aripiprazol
[image:50.612.65.476.266.349.2]intramuskular dibandingkan dengan pemberian haloperidol intramuskular setelah 2 jam.
Tabel 4.7. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 2 jam setelah injeksi
Tingkat keparahan
Ringan Sedang Agak berat 2 jam
n (%) n (%) n (%)
P
Aripiprazol i.m. 28 (93,3) 2 (6,7) 0 0
Haloperidol i.m. 20 (66,7) 4 (13,3) 6 (20) 0,018
Tabel 4.7. memperlihatkan bahwa dalam waktu 2 jam, dari 30 orang pasien yang
mendapat aripiprazol intramuskular, jumlah pasien dengan tingkat keparahan ringan menjadi 28
orang (93,3%) dan tingkat keparahan sedang menjadi 2 orang (6,7%), sedangkan 30 orang pasien
yang mendapat haloperidol intramuskular jumlah pasien dengan tingkat keparahan ringan
menjadi 20 orang (66,7%), tingkat keparahan sedang menjadi 4 orang (13,3%) dan tingkat
keparahan agak berat menjadi 6 orang (20%). Dengan menggunakan uji statistik chi-square test
terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi dalam waktu 2 jam setelah pemberian aripiprazol
intramuskular dan haloperidol intramuskular didapatkan hasil P = 0,018 (P < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam waktu 2 jam setelah diberikan aripiprazol intramuskular dijumpai
perubahan tingkat keparahan agitasi yang bermakna dibandingkan dengan pemberian
haloperidol intramuskular.
Tabel 4.8. Perubahan skor PANSS-EC setelah 4 jam diinjeksi
PANSS-EC
4 jam n Mean SD P
Aripiprazol i.m. 30 8,1 1,1
Haloperidol i.m 30 9,3 1,9 0,006
Dari tabel 4.8. dapat dilihat bahwa rerata skor PANSS-EC pada pasien yang mendapatkan
aripiprazol intramuskular adalah sebesar 8,1 (SD 1,1) sedangkan haloperidol intramuskular
adalah sebesar 9,3 (SD 1,9).
Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test terhadap skor
PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 4 jam pemberian aripiprazol intramuskular
dan haloperidol intramuskular diperoleh nilai P = 0,006 (P < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
dijumpai perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah pemberian aripiprazol
[image:51.612.64.478.497.580.2]intramuskular dibandingkan dengan pemberian haloperidol intramuskular setelah 4 jam.
Tabel 4.9. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 4 jam setelah injeksi
Tingkat keparahan
Minimal Ringan 4 jam
n (%) n (%)
P
Aripiprazol i.m. 26 (86,7) 4 (13,3)
Haloperidol i.m. 19 (63,3) 11 (36,7) 0,037
Tabel 4.9. memperlihatkan bahwa dalam waktu 4 jam, dari 30 orang pasien yang
mendapat aripiprazol intramuskular, jumlah pasien dengan tingkat keparahan minimal sebesar 26
orang (86,7%) dan tingkat keparahan ringan menjadi 4 orang (13,3%), sedangkan 30 orang
minimal sebesar 19 orang (63,3%) dan tingkat keparahan ringan menjadi 11 orang (36,7%).
Dengan menggunakan uji statistik chi-square test terhadap perubahan tingkat keparahan agitasi
dalam waktu 4 jam setelah pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular
didapatkan hasil P = 0,037 (P < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu 4 jam setelah
diberikan aripiprazol intramuskular dijumpai perubahan tingkat keparahan agitasi yang
[image:52.612.66.479.292.358.2]bermakna dibandingkan dengan pemberian haloperidol intramuskular.
Tabel 4.10. Perubahan skor PANSS-EC setelah 24 jam diinjeksi
PANSS-EC
24 jam n Mean SD P
Aripiprazol i.m. 30 6,8 0,8
Haloperidol i.m 30 7,5 1,1 0,012
Dari tabel 4.10. dapat dilihat bahwa rerata skor PANSS-EC pada pasien yang
mendapatkan aripiprazol intramuskular adalah sebesar 6,8 (SD 0,8) sedangkan haloperidol
intramuskular adalah sebesar 7,4 (SD 1,1).
Dari uji statistik dengan menggunakan independent samples test terhadap skor
PANSS-EC pada pasien skizofrenik dengan agitasi setelah 24 jam pemberian aripiprazol intramuskular
dan haloperidol intramuskular diperoleh nilai P = 0,012 (P < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
dijumpai perubahan skor PANSS-EC yang bermakna setelah pemberian aripiprazol
intramuskular dibandingkan dengan pemberian haloperidol intramuskular setelah 24 jam.
Tabel 4.11. Perubahan tingkat keparahan agitasi dalam 24 jam setelah injeksi
Tingkat keparahan Minimal 24 jam
[image:52.612.67.551.661.712.2]Aripiprazol i.m. 30 (100) Haloperidol i.m. 30 (100)
Tabel 4.11. memperlihatkan bahwa dalam waktu 24 jam, dari 30 orang pasien yang
mendapat aripiprazol intramuskular, jumlah pasien dengan tingkat keparahan minimal menjadi
30 orang (100%) , sama halnya dengan 30 orang pasien yang mendapat haloperidol
intramuskular, jumlah pasien dengan tingkat keparahan minimal menjadi 30 orang (100%) . Data
ini tidak dianalisis karena setelah 24 jam pemberian aripiprazol intramuskular dan haloperidol
[image:53.612.66.468.380.448.2]intramuskular menunjukkan hasil yang sama yaitu tingkat keparahan minimal.
Tabel 4.12. Efek samping distonia akut setelah diberi injeksi
Aripiprazol i.m. Haloperidol i.m. Efek samping
n (%) n (%) Ada 0 (0) 7 (100) Tidak ada 30 (56,6) 23 (43,4)
Tabel 4.12. memperlihatkan bahwa dari 30 orang yang mendapatkan aripiprazol
intramuskular tidak ada satupun yang menunjukkan efek samping distonia akut, sedangkan dari
30 orang yang mendapatkan haloperidol intramuskular yang mengalami efek samping distonia
BAB 5. PEMBAHASAN
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental two group pretest-posttest design yang merupakan
uji klinis terbuka secara paralel dengan 2 kelompok dengan melakukan randomisasi.40 Sampel
penelitian adalah pasien skizofrenik akut dengan agitasi. Pemilihan sampel dengan cara non
probability sampling jenis consecutive sampling.41Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
membandingkan aripiprazol intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam mengurangi
agitasi pada pasien skizofrenik. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
aripiprazol intramuskular lebih baik dibandingkan haloperidol intramuskular dalam menurunkan
agitasi pada pasien skizofrenik dan untuk mengetahui apakah aripiprazol intramuskular memiliki
waktu yang lebih cepat dibandingkan haloperidol intramuskular dalam menurunkan agitasi pada
pasien skizofrenik. Penurunan agitasi pada pasien skizofrenik diukur dengan menggunakan
PANSS-EC yang terdiri atas komponen gaduh gelisah (P4), permusuhan (P7), ketegangan (G4),
ketidakkooperatifan (G8), dan pengendalian impuls yang buruk (G14).39
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa kelompok yang diberi aripiprazol
intramuskular, umur yang paling banyak dalam rentang 20- tahun sebanyak 9 orang (30%)
dengan umur tertua adalah 40 tahun sebanyak 3 orang (10%) dan yang termuda adalah umur
dalam rentang 15- tahun sebanyak 3 orang (10%). Pada subyek yang diberi haloperidol
intramuskular, umur paling banyak adalah 40 tahun sebanyak 8 orang (26,7%) dengan umur
tertua yaitu 40 tahun sebanyak 8 orang dan yang termuda dalam rentang 15- tahun sebanyak 1
orang (3,3%). Dari uji statistik pada kelompok umur terhadap pemberian aripiprazol
nilai P = 0,319. Tidak ada perbedaan proporsi umur yang bermakna pada kedua kelompok
yang diintervensi dengan aripiprazol intramuskular maupun haloperidol intramuskular.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada kelompok yang diberi aripiprazol
intramuskular dan haloperidol intramuskular, pasien yang paling banyak adalah berjenis kelamin
laki-laki masing-masing sebanyak 22 orang (73,3%) dan 24 orang (80,0%), sedangkan yang
berjenis kelamin perempuan masing-masing sebanyak 8 orang (26,7%) dan 6 orang (20,0%).
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square test diperoleh nilai P = 0,542. Tidak ada
perbedaan proporsi jenis kelamin yang bermakna pada kedua kelompok yang diintervensi
dengan aripiprazol intramuskular maupun haloperidol intramuskular.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa dari 30 orang pasien yang diberi aripiprazol
intramuskular mempunyai rerata berat badan sebesar 56,6 (SD 8,3) kg , sedangkan pada 30 orang
pasien yang diberi h