• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi pelaksanaan program buku bicara (talking book) di yayasan mitra netra Lebak Bulus Jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi pelaksanaan program buku bicara (talking book) di yayasan mitra netra Lebak Bulus Jakarta Selatan"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Ismul Azham

105054102074

JURUSAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

Evaluasi Pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus Jakarta Selatan

Tunanetra yang mendapat kesempatan untuk mengenyam dunia pendidikan regular sangat memerlukan bantuan untuk menunjang kegiatan belajar mereka. Apalagi di sekolah tempat mereka belajar tidak menyediakan pelayanan khusus untuk mereka. Meski pemerintah membuat peraturan melalui program pendidikan inklusif untuk mereka, namun keterbatasan fasilitas itu masih harus mereka hadapi. Untuk itu yayasan Mitra Netra melalui program Buku Bicara ini berusaha untuk mewujudkan dan membantu tunanetra dalm program pemerintah dalam pendidikan inklusif itu. Dengan program ini tunanetra dapat mengakses buku-buku pelajaran sekolah sehingga dapat mereka baca dan pelajari layaknya teman-teman mereka yang awas membaca buku yang sama.

Skripsi ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program buku bicara ini agar mengetahui nilai terhadap hasil pelaksanaannya, keberhasilan program dalam membantu tunanetra. Serta hambatan-hambatan apa yang terdapat dalam pelaksanaan program.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan datanya adalah melalui interview, observasi, wawancara dan dokumentasi.

Kerangka teori yang digunakan adalah model evaluasi CIPP yang telah dikemukakan oleh Daniel L Stufflebeum yang meliputi; evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi hasil. Dalam skripsi ini penulis memfokuskan pada evaluasi proses pelaksanaan program buku bicara di yayasan Mitra Netra.

(5)

i

Alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukur serta puja dan puji hanya kehadirat Allah

SWT. Tuhan yang telah menjadikan alam semesta beserta isinya dengan segala

kenikmatan yang tak pernah terhingga. Dan atas berkat rahmat, taufik dan hidayah-NYA

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga tekcurahkan

kepada Rasul alam, junjungan umat manusia, Nabi akhir zaman, Nabi besar Muhammad

SAW serta segenap keluarga, dan para sahabat beliau.

Penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Evaluasi Pelaksanaan

Program Buku Bicara (Talking Book) Di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus Jakarta

Selatan “. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1)

pada Jurusan Kesejahteraan Sosial.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Dengan hati yang terbuka dan tulus

penulis akan menerima kritik, saran dan pendapat agar menjadi tambahan dan

pembelajaran untuk penulis kedepannya agar menjadi lebih baik lagi.

Tidak sedikit waktu yang dibutuhkan dan melalui berbagai macam rintangan dan

cobaan, namun berkat perjuangan yang disertai bantuan dari semua pihak yang terus

membantu dan selalu memberikan dorongan akhirnya semua rintangan itu dapat teratasi.

Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

(6)

ii dengan nilai skripsi amat baik.

2. Ibu Siti Napsiyah MSW selaku ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial dan sekaligus

Dosen pembimbing untuk skripsi ini, yakni yang telah sangat banyak

memberikan arahan, bimbingan dan ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

3. Bapak Ahmad Zaky, M.Si selaku sekretaris Jurusan Kesejahteraan Sosial

sekaligus Dosen pembimbing Praktikum, yang juga telah banyak membantu,

mendampingi dan memberi dukungan sehingga penulis dapat melewati semua

proses akademik dan sampai menyelesaikan study di Jurusan Kesejahteraan

Sosial.

4. Bapak Ismet Firdaus M.Si selaku penguji dalam sidang munaqasyah sekaligus

dosen yang telah banyak membimbing penulis dalam skripsi ini serta telah

memberikan penilaian dan arahan.

5. Dosen-dosen di Jurusan Kesejahteraan Sosial, Ibu Ellies, Ibu Nurhayati Nurbus,

Bapak Asep Usman Ismail, Ibu Lisma Dyawati Fuaida dan dosen-dosen lain

yang tidak dapat tertuliskan satu persatu yang telah memberikan penulis

segudang ilmu dan pengetahuan sehingga penulis mendapatkan pemahaman dan

(7)

iii

7. Pimpinan Staf Perpustakaan Utama, kepustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan

Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

fasilitas kepada penulis dalam masa study.

8. Pimpinan Yayasan Mitra Netra beserta seluruh Staf, khususnya Bapak Irwan,

Bapak Firdaus, Bapak Nur Ichsan, Mbak Endah, Mbak Indah, Mas Adi

Ariyanto, Ibu Rini, serta Senna Rusli dan Fajar yang telah banyak membantu,

mendukung, membimbing penulis dalam masa penelitian dan penulisan skripsi

ini. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikannya.

9. Yang terhormat dan tercinta kedua orang tua penulis, Almarhum Ayahanda Rusli

dan Ibunda Salamah semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan nikmat,

kemuliaan dan keselamatan dunia dan akhirat sebagai balasan atas cinta dan

kasih sayang yang tak terhingga serta pengorbanan tulus mereka untuk penulis

hingga akhir hayat. Amin.

10.Kakak-kakak dan adik tercinta; Almarhum Abanganda Jonimar, kakanda

Mairidhah Nur, kakanda Ernis Marliza, Uponda tersayang Mulyanti, kakanda

Safrizal, kakanda Farliyansyah, serta adinda Elsa Janerta. Terima kasih untuk

dukungan dan semangat kalian untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini.

11.Keluarga besar Umi H. Faridah, Bang Rais, Kak Siti, Fuad dan Mang Anjay

(8)

Sahabat-iv motivasi dan saran-sarannya.

12.Special untuk Muthmainnah sebagai pendamping dan penyemangat yang telah

memberikan banyak hal yang berarti, motivasi dan inspirasi. Selalu

mengingatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Terima kasih

untuk cinta dan kasih sayangnya yang tulus. You Are My Everything.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

terdapat kekurangan dan kelemahan baik dari segi isi, metodologi, maupun analisanya.

Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca akan disambut dengan segala kelapangan.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat sedikit memberikan

manfaat bagi semua. Amin Ya Rabbal Alamin..

Jakarta, 23 September 2011

(9)

v

Lembar Persetujuan Lembar Pengesahan Abstrak

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel dan Gambar ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 9

1. Pendekatan Penelitian ... 9

2. Jenis Penelitian ... 12

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 12

4. Sumber Data ... 12

5. Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

6. Tehnik Pemilihan Informan... 13

7. Tehnik Analisis Data ... 15

8. Tehnik Penulisan ... 15

(10)

vi

2. Model Evaluasi ... 20

3. Manfaat dan Kegunaan Evaluasi ... 22

B. Program ... 23

a. Definisi Program... 23

b. Tujuan Program ... 24

C. Evaluasi Program ... 24

D. Buku Bicara a. Definisi Buku Bicara ... 25

b. Rangkuman Definisi ... 25

c. Sejarah Perkembangan Buku Bicara ... 26

d. Perkembangan Buku Bicara di Dunia menurut Encyclopedia e. Americana Volume ... 28

E. Definisi Pendidikan Inklusif ... 30

a. Menurut Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman ... 31

b. Menurut Dyah. S ... 31

F. Hakikat Tunanetra ... 32

1. Pengertian Tunanetra ... 33

2. Klasifikasi Tunanetra ... 33

(11)

vii

Gunung Balong-Lebak Bulus ... 37

C. Alamat Yayasan Mitra Netra ... 41

D. Tokoh-Tokoh Pendiri Yayasan Mitra Netra ... 41

E. Visi dan Misi Yayasan Mitra Netra ... 47

F. Aspek Hukum dan Legalitas Yayasan Mitra Netra ... 48

G. Prestasi ... 49

H. Produk-Produk Yayasan Mitra Netra ... 49

I. Struktur Organisasi ... 51

J. Program Layanan ... 52

K. Sejarah Program Buku Bicara di Yayasan Mitra Netra ... 59

L. Penggalangan Dana ... 71

BAB IV HASIL EVALUASI A. Evaluasi Pelaksanaan Program ... 73

1. Fasilitas Program Buku Bicara ... 77

2. Pelayanan Program Buku Bicara... 85

B. Hambatan-Hambatan ... 90

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan hak bagi tiap warga negara dan sudah semestinya

pemerintah yang mengemban beban dan tanggung jawab nasional berkewajiban

menjunjung tinggi amanat konstitusional itu dalam upaya memenuhi hak dasar

setiap warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas tanpa

adanya pengecualian dan bersifat merata. Sebagaimana yang telah tertuang dalam

UUD 1945 pasal 31 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

pengajaran”.

Sejauh ini pendidikan di Indonesia bisa dikatakan sudah berkembang sangat

baik, banyak lahir lembaga-lembaga pendidikan baik dari sektor swasta maupun

negeri. Semua itu menunjukkan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang

berwawasan pendidikan dan memandang pendidikan sebagai prioritas utama

untuk modal dasar pembentukan watak dan pengembangan diri serta memiliki

peran penting dalam pembangunan nasional.

Namun, yang masih menjadi persoalan adalah pendidikan yang semestinya

dapat diakses bagi seluruh warga negara ini belum merata. Masih ada sebagian

warga negara yang belum bisa berpartisipasi dalam dunia pendidikan, terutama

pendidikan formal. Dalam hal ini para penyandang cacat tunanetra misalnya. Saat

ini komunitas tunanetra masih belum bisa mengakses seluruh bidang pendidikan

formal secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari

(13)

masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam upaya membantu dan mengantarkan

tunanetra untuk sampai kepada tujuan itu. Padahal pemerintah juga telah berupaya

secara konstitusi yaitu dengan membuat peraturan-peraturan khusus tentang

pendidikan yang ditujukan bagi para penyandang cacat. Seperti yang diterangkan

dalam Peraturan Pemerintah No.72 tahun 1991 bahwa “Pendidikan luar biasa

adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang

menyandang kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap,

pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam

mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam

sekitar sehingga dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau

mengikuti pendidikan lanjutan” .

Jelaslah bahwa siapa saja yang termasuk dalam data warga negara maka

secara hak mereka harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik dan adil

agar mereka dapat mengembangkan diri dan mengenyam pendidikan tersebut

tanpa adanya diskriminasi. Selain pemerintah, sektor-sektor pendidikan negeri

maupun swasta hendaknya lebih peka dalam merespon permasalahan ini dan

dapat memfokuskan program-programnya pada bidang pelayanan pendidikan

khususnya bagi para penyandang cacat ini.

Seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.

4 tahun 1997 tentang penyandang cacat bahwa “ Pembangunan nasional bertujuan

untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia “

(14)

seluruh aspek kehidupan bangsa yang di selenggarakan bersama oleh masyarakat

dan pemerintah. Kegiatan masyarakat dan pemerintah saling menunjang, mengisi,

dan melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya pembangunan

nasional itu.

Kemudian dilanjutkan dalam Undang-Undang Pemerintah tahun 2004 tentang

Pendidikan Inklusif. Pendidikan Inklusif adalah program pendidikan yang

mengikutsertakan anak-anak yang memiliki kelainan fisik dalam pendidikan

formal dan dapat berbaur dengan anak-anak normal sebayanya di sekolah umum.

Pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut. Sehingga

anak-anak berkebutuhan khusus ( cacat ) itu dapat belajar bersama-sama dalam

suasana belajar yang kondusif.

Program Pendidikan Inklusif untuk Disabilitas ini tentunya akan berjalan baik

jika saja semua pihak memberikan motivasi dan dukungan baik materi maupun

partisipasi langsung secara paralel dan konsisten. Selama ini, program pemerintah

ini bisa dikatakan belum maksimal karena masih banyak para penyandang cacat

yang belum mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang

lebih tinggi karena alasan tidak mendapatkan fasilitas belajar untuk dapat

mengikuti poros kegiatan belajar di sekolah-sekolah dalam pendidikan formal.

Secara teknis mereka memerlukan fasilitas belajar khusus agar dapat mengikuti

dan berkompetisi di kelas pendidikan formal. Tunenetra membutuhkan respon

dari orang-orang di sekitar mereka untuk membantu dan mendampingi mereka

(15)

Telah muncul sebuah lembaga yang merespon baik permasalahan tersebut,

lembaga itu adalah Yayasan Mitra Netra. Yayasan Mitra Netra hadir untuk

menjembatani tunanetra agar sampai pada tujuan Pendidikan Inklusif itu. Melalui

program-programnya yayasan ini terus menjalankan peran dan mengembangkan

diri dalam upaya mendampingi tunanetra untuk menghadapi persaingan global di

dunia pendidikan dan bahkan dunia kerja. Bisa dikatakan bahwa yayasan ini

merupakan pelopor dan teladan bagi lembaga-lembaga lain yang bergerak di

bidang layanana pendidikan bagi penyandang cacat tunanetra di negeri ini. Dan

tentunya semua itu juga berkat orng-orang yang berada didalamnya yang memiliki

semangat juang yang luar biasa, profesional dan mempunyai SDM yang baik.

Antara program dan para penggerak organisasi saling mengisi dan mendukung

dalam mempertahankan visi dan misi untuk keberhasilan yayasan dan

eksistensinya dalam membantu sahabat netra mengejar cita-cita hidup dan masa

depan mereka.

Menurut Prof. Sidarta Ilyas yakni salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra

yang berprofesi sebagai Dokter Mata dan juga merupakan seorang Guru Besar di

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beliau mengaku sangat bangga pada

Mitra Netra, beliau mengatakan "Ibarat bola, saya selalu merasa Mitra Netra

menggelinding lebih cepat dari yang saya bayangkan" . Kata-kata ini senantiasa

disampaikannya saat beliau berbicara dengan masyarakat maupun ketika bertatap

muka dengan segenap jajaran personil di Mitra Netra1.

1

(16)

Beliau melanjutkan, jauh sebelum Mitra Netra berdiri secara sendiri-sendiri

sejumlah kecil tunanetra di Indonesia telah berupaya menempuh pendidikan di

sekolah umum dan perguruan tinggi. Dari jumlah yang sedikit itu, sebagian kecil

di antaranya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi2. Menurut Prof. Ilyas hal

ini biasanya terjadi karena tunanetra tersebut mendapatkan dukungan penuh dari

keluarga yang secara ekonomi mampu atau yang bersangkutan memiliki daya

juang yang luar biasa. Dan ini tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan fasilitas

yang dibutuhkan agar mereka dapat menempuh jenjang pendidikan dasar,

menengah, bahkan hingga jenjang pendidikan tinggi” 3.

Tunanetra membutuhkan usaha dan biaya yang melebihi usaha dan biaya yang

dibutuhkan oleh mereka yang bukan tunanetra. Misalnya ketika mereka

memerlukan buku dan ternyata saat itu tidak ada lembaga yang menyediakannya,

maka tunanetra harus mengupayakan buku itu sendiri. Misalnya juga saat

mengerjakan ujian sekolah, tunanetra harus membutuhkan seseorang untuk

membantu membacakan soal serta menuliskan jawaban. Tidak selamanya dan

tidak semua tunanetra menginginkan hal itu terus menerus terjadi, mereka juga

memiliki potensi layaknya manusia normal lain. Potensi itu dapat mereka

kembangkan dan pada akhirnya tunanetra tidak lagi harus menggunakan jasa

orang lain. Untuk itu, apa yang dilakukan oleh Mitra Netra adalah upaya

memberdayakan tunanetra dalam mengatasi permasalan-permasalahan mereka.

2

Data Yayasan Mitra Netra, update 2011. www.mitranetra.ac.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).

3

(17)

Prof. Sidarta Ilyas juga berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki

gangguan penglihatan permanen, baik buta total maupun lemah penglihatan masih

dapat menjalani kehidupan yang berkualitas. Akan tetapi diperlukan bantuan

khusus pada mereka untuk membuat para tunanetra menjadi mandiri dan

berfungsi di masyarakat4.

Mengapa Mitra Netra? Karena penulis telah menjalani aktifitas akademisi

mata kuliah jurusan Kesejahteraan Sosial di yayasan ini semenjak dua semester

terakhir dalam kegiatan Praktikum I dan Praktikum II. Sejauh perkenalan dengan

yayasan ini, penulis melihat dan menyaksikan bahwa program-program yang

dilaksanakan oleh Mitra Netra sangat potentif dan tepat sasaran. Dengan

program-program itu Mitra Netra telah banyak mencetak tunanetra yang berkualitas yakni

yang mampu berkompetisi di dunia pendidikan formal dan bahkan dunia kerja.

Dari itu, penulis sangat tertarik untuk menggali lebih dalam tentang

program-program di Yayasan Mitra Netra ini dengan memilih salah satu program-programnya

sebagai objek penelitian. Salah satu programnya itu adalah “Buku Bicara (Talking

Book)” .

Mengapa Talking Book? Karena program ini merupakan salah satu dari

program lain yang ada sejak awal lahirnya Yayasan Mitra Netra. Penulis ingin

mengatahui lebih jauh tentang aktifitas program ini secara teknis pelaksanaan dan

keberhasilan yang telah dicapai oleh Mitra Netra melalui program tersebut sejak

lahirnya program itu hingga saat ini.

4

(18)

Program Buku Bicara sangat berperan banyak dalam membantu dan

mendampingi tunanetra di Yayasan Mitra Netra khususnya dalam bidang

pendidikan. Untuk itu penulis tertarik untuk menggali lebih dalam tentang

program ini yaitu dalam proses pelaksanaan, konten dan produk program serta

hasil yang dicapai. Dengan menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul:

“ EVALUASI PROGRAM BUKU BICARA (TALKING BOOK) DI

YAYASAN MITA NETRA LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN “

B. BATASAN MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka penulis

membatasi masalah untuk meneliti mengenai “Evaluasi Program Buku Bicara

(Talking Book) di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus, Jakarta Selatan”.

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas, maka penulis

merumuskan masalah pokok sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) di Yayasan

Mitra Netra lebak bulus, Jakarta Selatan dalam membantu tunanetra untuk

mencapai pendidikan inklusif?

2. Hambatan-hambatan apa yang ada dalam pelaksanaan Program Buku

Bicara (Talking Book) di Yayasan Mitra Netra lebak bulus, Jakarta

(19)

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Menjelaskan pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) serta

sejauh mana perannya dalam upaya membantu sahabat tunanetra untuk

menuju pendidikan inklusif.

2. Menjelaskan evaluasi terhadap hambatan-hambatan yang ada dalam

pelaksanaan Program Buku Bicara (Talking Book) di Yayasan Mitra Netra

lebak bulus.

D. MANFAAT PENELITIAN

a. Manfaat Akademis dari penulisan Skripsi ini adalah :

1. Menambah wacana pengetahuan bagi pengembangan ilmu

kesejahteraan sosial khususnya mengenai pendampingan untuk

tunanetra dan wawasan baru bagi seluruh mahasiswa/mahasiswi yang

tertarik terhadap permasalahan tunanetra sebagai tambahan bahan

bacaan bagi yang berminat membahas program ini.

2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi Universitas khususnya

jurusan bahwasanya skripsi ini bisa menjadi salah satu studi kasus

dalam mata kuliah Perilaku Manusia dan Lingkungan Sosial, Analisis

Masalah sosial sehingga dapat memberikan sumbangan pengetahuan

bagi kompetensi pekerja sosial di bidang pelayanan sosial khususnya

(20)

b. Manfaat Praktis dari penulisan Skripsi ini adalah :

1. Merupakan masukan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut,

khususnya penelitian terapan yang berkaitan dengan program Talking

Book bagi penyandang cacat netra.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengurus Yayasan Mitra Netra

dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan

program-programnya dalam membantu meningkatkan kesejahteraan serta

pengembangan potensi tunanetra terutama dalam bidang pendidikan.

E. METODOLOGI PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian adalah cara untuk mencapai suatu maksud,

sehubungan dengan upaya tertentu, maka metode menyangkut masalah

kerja, yaitu cara kerja untuk mendapatkan informasi atau fakta terhadap

suatu masalah yang dihadapi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menurut Nawawi

pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau

proses menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan

suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari

sudut pandang teoritis maupun praktis. Penelitian kualitatif dimulai

(21)

utnuk dirumuskan menjadi suatu generalisasi yang dapat diterima oleh

akal sehat manusia5.

Sedangkan Bodgan dan mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Menurut Meleong, penelitian kualitatif mempunyai karakteristik yang

penting antara lain : berada pada latar alamiah (konteks dari suatu

keutuhan/ entry), memandang manusia (peneliti) sebagai alat atau

instrumen penelitian, analisa data bersifat induktif, dan menghendaki arah

bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data, lebih

mementingkan proses dari pada hasil6.

Penelitian ini mengambil bentuk Evaluasi Program yakni yang

merupakan proses penilaian terhadap program Talking Book untuk

mengetahui efektifitas pelaksanaan program dan hambatan-hambatan yang

terdapat di dalamnya melalui rangkaian informasi yang diperoleh

evaluator yang hendaknya membantu pengembangan, implementasi,

pertanggung jawaban, seleksi, menambah pengetahuan dan informasi.

Dalam penelitian untuk keilmuan Kesejahteraan Sosial dikenal sebuah

metode yaitu metode Context, Input, Process, Product ( CIPP ) yang

5

Nawawi Hadari. “Instrumen Penelitian Bidang Sosial“ (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992). h. 209.

6

(22)

merupakan salah satu metode evaluasi yang terdiri dari evaluasi

Konteks, Input, Proses, dan Produk. Model evaluasi ini dikembangkan

oleh Stufflebeam 1971Seperti pada tabel 1.1 berikut:

Tabel 1. Sampel Model Evaluasi CIPP

konteks Input proses produk

objektif Solusi strategi

Desian prosedur

implementasi Dihentikan

Dilanjutkan

Dimodifikasi

Program ulang

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan analisanya dalam

tahapan-tahapan yang dijalankan oleh program Talking Book. Yaitu analisa

pelaksanaan program, analisa apa-apa yang menjadi hambatan dan analisa

hasil program. Evaluasi program ini melihat pada kegiatan selama

implementasi, serta memberikan informasi sebagai alat untuk menilai

kesuksesan dan kegagalan terhadap program itu. Evaluasi Program ini

mengambil lokasi di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus.

Alasan memilih lokasi ini sebagai penelitian adalah dimulai dari

ketertarikan penulis ketika melaksanakan kegiatan praktikum I dan II di

Yayasan Mitra Netra bahwa banyak anak-anak usia sekolah menengah dan

kuliah bahkan yang belum sekolah beraktifitas dengan program-program

(23)

2. Jenis Penelitian

Jenis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah evaluasi

program, yaitu sebuah bentuk penilaian dari data-data yang berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang dapat diamati.

Tujuannya adalah untuk membuat suatu gambaran sistematis, faktual dan

akurat tentang program yang diselidiki dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data

yang akan dilaksanakan adalah melalui :

a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung dalam

pelaksanaan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di yayasan

tersebut.

b. Interview yang dilakukan untuk memperoleh data dari berbagai

narasumber. Pencarian data dengan metode ini juga penting karena

akan mendapat informasi lebih banyak dan lebih real.

c. Dokumentasi, yaitu menyelidiki benda-benda atau alat-alat yang

berada di lingkungan tempat dilaksanakan penelitian ini. Alat-alat

kantor, alat-alat perpustakaan, studio recording dll.

4. Sumber Data

a. Data Primer yaitu data-data yang diperoleh dari sumber utama (

(24)

Perpustakaan, Kabid Penelitian dan Pengembangan, dan beberapa

orang Klien pengguna Talking Book di Yayasan Mitra Netra ).

b. Data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari literatur yang

berhubungan dengan tulisan ini seperti para pengamat dan

tokoh-tokoh sosial.

5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Yayasan Mitra Netra jl. Gunung Balong no. 21

Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Waktu penelitian selama 3 bulan yang

terhitung dari bulan Maret 2011 sampai bulan Mei 2011.

6. Teknik Pemilihan Informan

Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berupaya

memperoleh informasi tentang pelaksanaan program Talking Book dan

apa saja yang menjadi konten program tersebut maka dalam penelitian ini

menggunakan non probability sampling7. Dimana tidak setiap populasi

mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Tidak representatif, dan

peneliti tidak dibolehkan untuk membuat generalisasi hasil penelitian.

Dalam penelitian kualitatif tidak mempersoalkan besarnya sample, yang

penting adalah kelengkapan data dan sumber informasi sesuai tujuan

penelitian, dan sumber tersebut disebut informan.

Moleong mengemukakan bahwa informan adalah orang yang

dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi

7

(25)

latar penelitian8. Sementara Taylor dan Grinnel mengatakan bahwa informan yang baik adalah mereka yang memahami latar penelitian,

terlibat secra aktif di dalamnya, bersedia membantu, dapat meluangkan

waktunya, dan memberikan tanggapan berdasarkan perspektif

masing-masing. Untuk lebih jelasnya Lihat tabel 2 berikut yang menyajikan

informasi & informan dalam penelitian :

Table 2. Informasi & Informan Penelitian

No Data Yang Dibutuhkan Informan Jumlah

1

(26)

7. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif secara teoritis merupakan

proses penyusunan data untuk memudahkan penafsirannya. Data yang

dikumpulkan dalam penelitian kualitatif biasanya berbentuk data

deskriptif, yaitu data yang berbentuk uraian yang memaparkan keadaan

obyek yang diteliti berdasarkan fakta-fakta aktual atau sesuai

kenyataannya sehingga menuntut penafsiran peneliti yang dinyatakan oleh

sasaran peneliti yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku

nyata.

Pengolahan data dilakukan berdasarkan pada setiap perolehan data dari

hasil observasi, wawancara dengan tiap-tiap informan dan studi

dokumentasi untuk direduksi, dideskripsikan, dianalisis, dan kemudian

ditafsirkan. Prosedur analisis terhadap masalah tersebut lebih difokuskan

pada upaya menggali fakta sebagaimana adanya, dengan teknik analisis

pendalaman kajian (verstehen). Untuk memberikan gambaran data tentang

hasil penelitian. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyajikan data

deskriptif mengenai pelaksanaan program Talking book yang difokuskan

pada evaluasi peran dan konten program Talking Book tersebut.

8. Teknik Penulisan

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku

“pedoman penulisan karya ilmiah skripsi, tesis, dan disertasi”, yang

(27)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, penulis menyusun

kedalam lima bab. Dimana setiap bab terdiri dari sub-sub bab tersendiri.

Agar pembaca dapat memahami uraian selanjutnya, maka penulis

mensistematisasikan pembahasan yang akan ditulis kedalam bab-bab

sebagai berikut :

BAB I. Pendahuluan, memuat : Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II. Tinjauan Teoritis, merupakan paparan dari berbagai

literature yang berhubungan dengan penelitian meliputi pembahasan

mengenai metode-metode belajar atau program-program sebagai alat bantu

bagi tunanetra di yayasan mitra netra pada umumnya dan Program Talking

Book khususnya.

BAB III. Gambaran umum lokasi penelitian, yakni menggambarkan

secara umum tentang Yayasan Mitra Netra: Sejarah singkat, visi dan misi,

program layanan, struktur organisasi dan Program Talking Book .

BAB IV. Hasil Penelitian, yakni sesuai dengan permasalahan dan

tujuan penelitian diuraikan tentang hasil penelitian dalam bentuk

deskriptif, termasuk data-data faktual dan studi dokumentasi dengan

menjelaskan pelaksanaan program Talking Book yang ada di Yayasan

Mitra Netra. Analisis hasil penelitian, yang merupakan analisa hasil

(28)

program talking book tersebut. Sebagai analisa adalah konsep-konsep dan

kerangka pemikiran yang ada di bab dua.

BAB V. Penutup yakni kesimpulan yang berisikan penilaian dari

hasil evaluasi pelaksanaan program sesuai dengan perumusan masalah dan

tujuan penelitian. Terakhir dikemukakan beberapa saran yang terkait

dengan permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan Program

(29)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Evaluasi

1. Pengertian Evaluasi

Menurut bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris "Evaluation",

yang berarti penilaian/penaksiran. Dan menurut pengertian istilah, evaluasi

merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu

objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan

tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.9

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Evaluasi diartikan dengan

penilaian.10 Menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan yang

bertujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu program. Dengan

demikian, penelitian evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat

efektifitas pelaksanaan program dengan cara mengukur hal-hal yang

berkaitan dengan keterlaksanaan program tersebut.11

Pius A. Partanto dan Al-Barry dalam kamus ilmiah popular

mengartikan bahwa evaluasi secara etimologi adalah panaksiran, penilaian,

perkiraan keadaan dan penentu nilai.12 Sedangkan menurut terminology

9

M. Chatib Toha, “Teknik Evaluasi Pendidikan”, (Jakarta : Rajawali Press,1991), Cet Ke- 1, h.1.

10

Tim Penyusun, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Edisi ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet Ke-4.

11Suharsimi Arikunto, “

Penilaian Program Pendidikan”, (Jakarta : PT Bina Aksara, 1998), Cet.Ke-l, h. 8.

12

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. “Kamus Ilmiah Populer”, (Surabaya: Arloka.l994). h. l63.

(30)

pengertian Evaluasi menurut Casley dan Kumar adalah suatu penilaian

berkala terhadap relevansi, kinerja, efesiensi dan dampak suatu proyek

dikaitkan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, sementara Fink dan

Kocekoff memberikan defmisi evaluasi adalah merupakan serangkaian

prosedur untuk menilai mutu sebuah program.13 Tetapi pada dasarnya

evaluasi dibutuhkan dalam setiap program untuk mengetahui keberhasilan

dan kemajuannya serta sasaran apakah yang sudah tercapai atau belum dan

hasilnya nanti diperbaiki menjadi lebih baik pada program selanjutnya.

Kemudian Stufflebeam juga membedakan Proaktictive Evaluation

untuk melayani pemegang keputusan, dan Retroactive Evaluation untuk

keperluan pertanggung jawaban. Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi,

yaitu fungsi formatif, yaitu evaluasi yang dipakai untuk perbaikan dan

pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk

dan sebagainya). Fungsi Sumatif, yaitu Evaluasi dipakai untuk

pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi

hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu

program perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi,

menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.14

Dengan demikian dapat disimpulkan evaluasi program merupakan

proses pemeriksaan dan penilaian sebuah program untuk mengetahui

efektifitas masing-masing komponennya melalui rangkaian informasi yang

diperoleh evaluator yang hendaknya membantu pengembangan,

13

Fredy S. nggao, “Evaluasi Program” (Jakarta, Nyansa Mandiri; 2003), h. 15.

14

(31)

implementasi, kebutuhan suatu program perbaikan program,

pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan

informasi.

2. Model Evaluasi Program

Ada berbagai macam model-model evaluasi program, model-model

tersebut merupakan alternatif-alternatif yang dipilih oleh evaluator sesuai

dengan masalah dan tujuan evaluasi, salah satu diantaranya yaitu model

evaluasi seperti yang dikemukakan oleh Pietrzak, Ramler, Renner, Ford

dan Gilbert guna mengawasi suatu program secara lebih seksama yaitu :

evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi hasil.15 Dengan pengertian

dibawah ini:

a. Evaluasi Input

Evaluasi ini dilakukan pada berbagai unsur yang masuk dalam

pelaksanaan suatu program. Setidaknya ada tiga variabel utama yang

terkait dengan evaluasi input ini yaitu : klien, staf dan program.

b. Evaluasi Proses

Evaluasi proses menurut Pietrzek (1990) memfokuskan diri pada

aktifitas program yang melibatkan interaksi langsung antara klien dengan

staf terdepan (line staff) yang merupakan pusat dari pencapaian tujuan

(objektif) program.

c. Evaluasi Hasil

15

(32)

Evaluasi hasil menurut Piertzek, diarahkan pada evaluasi keseluruhan

dampak (overall impact) dari suatu program terhadap penerimaan layanan

(recipient).16

Berdasarkan penjelasan tersebut dalam konteks ini penulis akan

menggunakan pendekatan model evaluasi CIPP yang telah dikemukakan

oleh Daniel L. Stufflebeam yaitu berupa evaluasi konteks, evaluasi input,

evaluasi proses dan evaluasi hasil. Dalam hal ini penulis akan

memfokuskan penjelasan pada evaluasi pelaksanaan / proses. Berikut

penjelasannya.

Evaluasi proses memfokuskan diri pada penilaian dinamika internal

dan pengoperasian program. Dalam evaluasi ini yang dinilai adalah

perjalanan operasi lembaga dan kualitas layanan yang diberikan. Aktivitas

program yang dinilai mencakup interaksi langsung antara klien dengan staf

terdepan (line staff) dan yang terkait langsung dengan pencapaian tujuan

progam. Evaluasi proses berupaya menganalisa dan menilai keseluruhan

proses berdasarkan kriteria yang relevan seperti: standar praktek terbaik

(best practice standard), kebijakan lembaga, tujuan proses (proses goals)

dan kepuasan klien.

Beberapa pertanyaan yang ada dalam evaluasi proses yang

dikemukakan oleh Prof. Dr. Suharsini Arikunto dalam bukunya “evaluasi

program pendidikan” diantaranya adalah17

:

a. Apakah pelaksanaan program tersebut sudah sesuai dengan jadwal ?

(33)

b. Apakah staff yang terlibat didalam pelaksanaan program sanggup

menangani kegiatan selama program berlangsung dan kemungkinan

jika program itu dilanjutkan?

c. Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara

maksimal?

d. Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan

program dan kemungkinan jika program itu dilanjutkan?

3. Manfaat dan kegunaan Evaluasi

Feurstein menyatakan ada 10 manfaat dan keguanaan evaluasi yaitu :

a. Pencapaian, guna apa yang sudah dicapai

b. Mengukur kemajuan, Melihat kemajuan dikaitkan dengan objek

program

c. Meningkatkan pemantauan. Agar tercapai manajemen yang lebih baik

d. Mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan. Agar dapat memperkuat

program itu sendiri.

e. Melihat apakah usaha sudah dilakukan secara efektif. Guna melihat

perbedaan apa yang telah terjadi setelah diterapakan suatu program.

f. Biaya dan manfaat (cost benefit) melihat apakah biaya yang

dikeluarkan cukup masuk akal (reasonable).

g. Mengumpulkan informasi. Guna merencanakan dan mengelola

(34)

h. Berbagi pengalaman. Guna melindungi pihak lain terjebak

dalam kesalahan yang sama, atau untuk mengajak seseorang

untuk ikut melaksanakan metode yang serupa bila metode yang

dijalankan telah berhasil dengan baik.

i. Meningkatkan keefektifan. Agar dapat memberikan dampak yang lebih

luas.

j. Memungkinkan terciptanya perencanaan yang lebih baik. Karena

memeberikan kesempatan untuk mendapatkan masukan dari

masyarakat, komunitas fungsional dan koraunitas lokal.

B. Program

1. Pengertian Program

Program adalah sederetan rencana kegiatan yang akan

dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok organisasi, lembaga, bahkan

Negara. Menurut Suharsimi Arikunto program adalah sederetan rencana

kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai satu tujuan tertentu.18

2. Tujuan Program

Tujuan program merupakan suatu yang pokok dan harus dijadikan

pusat perhatian. Jika suatu program tidak memiliki tujuan yang

bermanfaat, maka program itu tidak perlu dilaksanakan, karena tujuan

menentukan apa yang akan diraih oleh suatu program.

Tujuan program dibagi menjadi dua yaitu:

1. Tujuan Umum

18

(35)

2. Tujuan Khusus

Tujuan umum biasanya menunjukkan Output dari program jangka

panjang. Sedangkan tujuan khusus Outputnya untuk jangka pendek.19

C. Evaluasi Program

Agar mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh suatu program,

maka harus melakukan Evaluasi, Evaluasi merupakan satu kegiatan untuk

mengukur dan menilai sebuah hasil dari suatu program atau kegiatan.20

D. Buku Bicara

a. Definisi Buku Bicara (Talking Book)

Berdasarkan buku modul yang berjudul Apa dan Siapa Yayasan

Mitra Netra tahun 1999 halaman 1. Buku bicara (talking book} adalah

buku dalam bentuk kaset (disebut analog talking book) atau dalam bentuk

compact disc/CD (disebut dengan istilah digital talking book). Menurut

Kamus Pendidikan karya Dra. Lenny Fanggidaesij halaman 195. “Talking

book adalah sebuah buku yang dibaca dengan suara keras pada audio-tape

untuk digunakan oleh orang-orang buta”21.

Menurut Benet’s Readers dalam Encyclopedia of America

Literature, definisi asli dari talking book/buku bicara adalah "The books

recorded for the use of the blind artinya buku yang direkam untuk

Wayan Nurkacana, “Evaluasi Pendidikan” (Surabaya: Usaha Nasional, 1976), h. 85.

21

(36)

Definisi Talking Book menurut kamus Word Reference.Com adalah :

“Talking book are sound recording of someone reading a book, frequently

used by blind people”, artinya rekaman suara dari seorang pembaca buku

yang sering dipergunakan oleh orang tunanetra.

b. Rangkuman Definisi Buku Bicara

Dari definisi diatas maka dapat diambi kesimpulan:

1. Buku yang direkam ke dalam pita analog kaset atau dalam bentuk

Compact Disc (CD)

2. Memiliki dua macam bentuk, yaitu kaset atau Compact Disc (CD)

3. Dibacakan oleh satu orang pembaca naskah (tunggal) atau lebih dari

satu orang.

4. Penggunaan buku bicara ditujukan untuk orang-orang tunanetra.

c. Sejarah Perkembangan Buku Bicara menurut Jenifer Lindsey dalam Artikelnya yang Berjudul Talking Book.

Konsep buku bicara telah dikenal pada 5000 tahun yang lalu dengan

cara yang masih tradisional yaitu dengan membacakan cerita dan puisi

dengan lisan secara langsung kepada para penyimak atau penonton.

Namun, ketika teknologi telali berkembang dan telah diciptakan mesin alat

perekam suara maka lahirlah audio Talking Book.

Kongres membuat sebuah sebuah program buku bicara, yang diberi

nama Proyek Buku untuk Orang-orang Tunanetra Dewasa pada tahun

(37)

Pada tahun 1932, buku bicara yang pertama dibuat oleh Organisasi

Tunanetra Amerika dan Organisasi Pengembangan Mesin Radio untuk

membuat alat pemutar kaset, pada tahun 1933 telah dapat memproduksi

mesin pemutar kaset. Pada tahun 1934, kongres membuktikannya dengan

pengiriman buku bicara melalui pos untuk warga Negara yang

membutuhkan tanpa dipungut biaya. Dan ketika tahun 1935 program buku

bicara telah sepenuhnya berjalan.

Tujuan dasar dari program ini adalah untuk melayani orang

tunanetra yang dewasa. Namun, pada tahun 1952 program ini telah dapat

melayani kebutuhan anak-anak, tahun 1966 program ini terus

dikembangkan hingga meliputi individu yang memiliki keterbatasan atau

ketidak mampuan dalam membaca buku.

Jaringan organisasi NLS (National Library Service untuk Tunanetra

dan Cacat Fisik), telah mengedarkan lebih dari 21 juta kopi, buku Braile,

dan majalah untuk 761.300 pembaca di tahun 1992. Kaset-kaset ini

dikirim kepada masyarakat yang membutuhkan melalui jaringan

perpustakaan lokal dan daerah.

Kaset audio menjadi sangat pupuler pada akhir tahun 1960, ketika

kaset masuk ke pasaran. Pertama, yang ada di pasaran kebanyakan adalah

kaset yang memberikan instruksi atau petunjuk, membantu untuk

mempelajari bahasa asing, kemudian muncul kaset panduan. Pada tahun

1970-an, sebuah perusahaan yang bernama Book on Tape membuat buku

(38)

masyarakat. Dan perusahaan memberikan layanan peminjaman melalui

internet. Perusahaan Book on Tape mengembangkan pelayanannya dengan

adanya bagian pelayanan.

Dukungan dan kontribusi untuk mempopulerkan buku bicara

dilakukan oleh radio. Radio umum milik masyarakat membuat sebuah

program yang mendorong pendengar untuk dapat terbiasa inendengar

kata-kata.

Pada akhir tahun 1970 ketika buku bicara sangat populer, beberapa

perusahaan memulai untuk berbisnis audio book. Perusahaan yang pertama

kali memulai bisnis ini adalah Recorded Books berdiri pada tahun 1979

dan Olivers Audio Books pada 1980, sampai dengan tahun 1990 bisnis

buku bicara terus berkembang pesat. Ketika, tahun 1991 dibuat sebuah

festival penghargaan untuk buku bicara terbaik, seperti layaknya sebuah

Academy Award. Di tahun 1997 masyarakat Amerika membuat sebuah

Klub pengguna buku bicara. Yang beranggotakan tidak hanya orang buta,

tetapi orang normal pun ikut serta.

d. Perkembangan Buku Bicara di Dunia menurut Encyclopedia Americana Volume 4

Sejak pertama kali kehadiran Braile, penggunaanya sudah tersebar

luas. Pada tahun 1868, perpustakaan Umum di Boston yang pertama kali

memiliki koleksi Braile dan membuat sebuah unit lembaga untuk anggota

pembaca perpustakaan runantera dengan koleksi 8 buah buku timbul

(39)

mentranslitkan atau memindahkan buku orang normal kedalam buku

Braile, sehingga permintaan terhadap pemesanan braile meningkat pesat.

Pada tahun 1931, kebijakan Pratt-Smoot mengesahkan bahwa pemerintah

memberikan wewenang kepada perpustakaan umum untuk memberikan

pelayanan kepada tunanetra dibawah pengarahan dewan perpustakaan

untuk tunanetra.

Pertama kali progran ini masih terbatas hanya pada buku Braile.

Namun, pada tahun 1934 program ini semakin luas hingga produksi buku

bicara (talking book). Buku bicara merekarn buku-buku dan

majalah-majalah, nembaca naskah dibacakan oleh aktor profesional yang

diproduseri atau didanai oleh Yayasan untuk orang-orang tunanetra dan

Percetakan Buku Braile Amerika. Buku bicara didistribusikan ke

perpustakaan daerah tanpa dikenai biaya pengiriman. Di tahun 1966

program perpustakaan ini terus dikembangkan sampai menawarkan

program-program seperti buku dan kamus untuk direkam kedalam kaset,

musik Braile dan kursus membaca tuhsan Braile yang ditujukan untuk para

sukarelawan. Dewan Perpustakaan untuk Tunanetra merevisi persyaratan

dalam kemudahan penggunaan buku bicara dapat dmikmati oleh para

tunanetra dan orang-orang penyandang cacat lainnya. Beberapa

sukarelawan membantu dalam perekaman buku-buku teks berdasarkan

permintaan. Organisasi yang sangat aktif dalam membuat perekaman kaset

untuk tenanetra telah memiliki cabang di 16 kota di Amerika. Beberapa

(40)

Amerika, dan beberapa organisasi khusus buku-buku Braille dibidang

Agama. Semuanya adalah organisasi yang aktif membuat buku bicara.

Program buku bicara di Inggris telah dikenal pada tahun 1935

bersamaan dengan rekaman dalam bentuk Compact Disc (CD), yang

dalam bentuk kaset lalu dipindahkan kedalam bentuk CD. Buku bicara

telah dikenal di seluruh Eropa dan Kanada, Australia, New Zealand,

Afrika Utara, India, Sri Langka, Jepang, dan Amerika Latin.

Dewan Braille Dunia memiliki peranan yang sangat penting dalam

mendorong upaya pengembangan Braille di tiap-tiap daerah dan

penyebaran bahan buku Braile dalam bermacam-macam bahasa.

Penyeragaman kode untuk Braille bahasa Spanyol telah dilakukan pada

tahun 1951. Kemudian konfrensi untuk membahas penyelenggaraan

produksi pembuatan Braille dan buku bicara Spanyol diselenggarakan di

Buenos Aires pada tahun 1996.

Perkembangan digital talking book diseluruh dunia terus maju pesat,

selling dengan kebutuhan yang bertambah banyak. Maka disetiap Negara

memiliki sistem dan alat digital talking book yang berbeda-beda. Oleh

karena untuk keseragaman dan kemudahan bagi pengguna di seluruh dunia

maka perpustakaan buku bicara diseluruh dunia membuat sebuah

kesreragaman dengan membentuk sebuah konsorsium yang diberi nama

Digital Audio Information System atau DAISY pada tahun 1994 di

Swedia. DAISY juga membuat Play back atau alat untuk memutar

(41)

E. Definisi Pendidikan Inklusif

Pendidikan Inklusif yaitu pendidikan yang dilaksanakan di sekolah /

kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali,

meliputi : anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah

karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama,

penyandang HIV/ AIDS, dan sebagainya. Mereka dididik dan diberikan

layanan pendidikan yang sesuai dengan cara yang ramah dan penuh kasih

sayang tanpa diskriminasi22.

a. Menurut Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman

Pendidikan Inklusif adalah penggabungan pendidikan regular dan

pendidikan khusus ke dalam satu sistem persekolahan yang

dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua

siswa. Pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau pendekatan

pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang

mengakui kebhinnekaan antar manusia yang mengemban misi

tunggal nuntuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik

dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepada Tuhan

Yang Maha Esa23.

22

Written by Dedekusn. “Pentingnya Pendidikan Inklusif”. Last Updated on Monday, 1 February 2010 06:14 pm .

23

(42)

b. Menurut Dyah. S

Pendidikan Inklusif pada hakikatnya adalah bagaimana memahami

segala kesulitan pendidikan yang dihadapi oleh peserta didik.

Peserta didik berkelainan misalnya, mereka mendapatkan kesulitan

untuk mengikuti beberapa kurikulum yang ada, atau tidak mampu

mengakses cara baca tulis secara normal, atau kesulitan mengakses

lokasi sekolah dan sebagainya24.

F. Hakikat Tunanetra

Dari segi bahasa tunanetra dari kata tuna dan netra. Tuna berarti

rusak, luka, kurang. atau tidak memiliki, sedangkan netra berarti mata. Maka

tunanetra adalah orang yang rusak atau luka matanya sehingga tidak dapat

atau kurang dalam penglihatannya. Tunantera ada 2 macam yaitu buta total

dan buta sebagian (low vision).

Secara sederhana tunanetra dapat diartikan sebagai penglihatan tidak

normal. Ada 2 pendekatan yang umumnya dipakai untuk mengartikan

tunanetra, yaitu tunanetra secara legal (kedokteran) dan arti tunanetra sudut

pandang pendidikan.

Menurut American Foundation for the Blind, seperti dikutip oleh

Norris G. Harring, tunanetra secara “legal” adalah mereka yang memiliki

ketajaman penglihatan sentral 20/200 kaki atau lebih kecil (lebih buruk) atau

mereka yang luas pandangannya demikian sempit sehingga tidak lebih dari 20

24Dyah. S. “

(43)

derajat (Legally blind people have cebtral visual acuity of 20/200 feet, or have

periherd vision is 20 degress or less in the better eyes).

1. Pengertian Tunanetra

Menurut Kirk seperti dikutip oleh Mulyono Abdurrahman dan

Soedjadi, arti tunanetra secara pendidikan adalah mereka yang penglihatannya tidak sempurna, cacat atau rusak sehingga ia tidak dapat

dididik dengan metode-metode yang menggunakan penglihatan (awas)

sehingga memerlukan metode khusus dalam pengajaran.

Dilihat dari segi pendidikan siswa yang mengalami kesulitan dalam

mengjkuti pendidikan yang dirancang untuk siswa awas. Sehingga mereka

memerlukan metode khusus dalam pengajaran, misalnya: dalam proses

pembelajaran mereka memerlukan pendekatan-pendekatan dan alat bantu

secara khusus, misalnya: alat tulis Braille.

Sedangkan arti tunanetra secara pendidikan menurut Surai dan Rizzo

seperti dikutip oleh Frieda Mangunsong membagi tunanetra menjadi 2

(dua) kelompok, mencakup siswa tuanetra yang tergolong buta akademis

dan siswa tunanetra yang melihat sebagian. Maksudnya buta akdemis

adalah buta secara keseluruhan tidak dapat melihat sedikit pun.

2. Klasifikasi Tunanetra

Tunanetra terbagi menjadi dua yaitu buta total yaitu mereka yang

sama sekali tidak berfimgsi indera penglihatannya karena sudah rusak sulit

untuk disembuhkan dan yang kedua adalah law vision yaitu mereka yang

(44)

Menurut Soekini Pradopo secara garis besar membagi menjadi dua

yaitu:

 Ditinjau dari waktu terjadinya kecacatan dapat digolongkan atas.

1) Penderita tunanetra sebelum dan sesudah lahir, yaitu mereka yang

sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan

2) Pendidikan tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yang

sudah memiliki kesan-kesan dan pengalaman visual, tetapi kuat

dan mudah terlupakan.

3) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja;

kesan-kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang

mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

4) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yaitu dengan segala

kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuain

diri.

5) Penderita tuanetra dalam usia lanjut, yang sebagian besar sudah

sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

 Klasifikasi tunanetra berdasarkan kemampuan daya lihat.

a) Penderita Tunanetra Ringan (Defective Vision/Low Vision)

Yaitu mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya

penglihatan seperti rabun, juuling, myopia ringan dan masih

mampu mengikuti program pendidikan biasa dan masih mampu

(45)

memerlukan penglihatan seperti membaca, bermain badminton,

mengetik, dll.

b) Tunanetra Setengah Berat (Partially Sighted)

Yaitu mereka yang kehilangan sebaaian daya penglihatan. Hanya

dengan menggunakan kaca mata pembesar mereka masih bisa

mengikuti program pendidikan atau masih bisa mengikuti program

pendidikan atau masih mampu membaca tulisan yang berhuruf

tebal. Masih bisa melihat muka orang yang diajak bicara namun

kurang jelas dan masih bisa melihat benda-benda besar dihadapan

tapi tidak jelas seperti kusi, pintu, tembok,dIl

c) Tunanetra Berat (Totally Blind)

Yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat (gelap sama

sekali) yang oleh masyrakat disebut buta.

3. Karakteristik Tunanetra Kurang Lihat (Low Vision)

Low Vision termasuk kedalam klasifikasi tunanetra yang ringan,

maka kemungkinan dapat disembuhkan. Pada anggota perpustakaan

Yayasan Mitra Netra banyak ditemui tunanetra yang mengalami low

vision, karena itu perlu diketahui karateristiknya, adalah sebagai berikut:

a. Menanggapi rangsang cahaya yang daring padanya.

Bila ada benda yang terkena sinar cahaya, tunanetra kurang lihat

(46)

yang terkena sinar matahari dan tidak akan berhenti mencari bila

belum dapat melihataya

b. Selalu mencoba mengadakan fixation terhadap suatu benda.

memfokuskan terhadap ritik benda, yaitu dengan cara mengerutkan

dahi dengan tujuan melihat benda yang ada disekitarnya.

c. Merespon warna

Tunaneta kurang lihat selalu berusaha memberi komentar pada warna

benda yang dilihatnya, terutama warna-warna mencolok.

d. Bergerak dengan penuh percaya diri.

Karena tunanetra kurang lihat masih dapat melihat siluet-siluet benda

didepannya.

e. Dapat menghindari rintangan-rintangan yang berukuran besar. Dengan

sisa penglihatan yang dimilkinya maka rintangan-rintangan yang

berukuran besar masih dapar dihindarinya.

f. Mampu mengikuti gerak benda dengan sisa penglihatannya.

g. Selalu melihat benda dengan menyeluruh. Keterbatasannya dalam

melihat menyebabkan tunanetra kurang lihat tidak jeli melihat benda

(47)

BAB III

YAYASAN MITRA NETRA

A. Latar Belakang

Yayasan Mitra Netra merupakan satu-satunya lembaga swasta yang

menjadi pelopor dalam program pelayanan terhadap tunanetra. Banyak

prestasi yang telah dicapai dan menghasilkan produk-produk yang inovatif.

Yayasan ini lahir di latarbelakangi oleh fenomena minimnya kepedulian

masyarakat terhadap eksistensi dan fungsi tunanetra dalam dunia pendidikan

dan bahkan dunia kerja. Mitra Netra membangun sebuah model-model

pelayanan yang sangat tepat untuk mendampingi tunanetra yaitu dengan

program-programnya.

Yayasan Mitra Netra ini adalah organisasi nirlaba yang memusatkan

programnya pada upaya meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di

bidang pendidikan dan lapangan kerja. Mitra Netra Didirikan di Jakarta

tanggal 14 Mei 1991, dan berstatus sebagai badan hukum dengan terdaftar

pada Tambahan Berita Negara tanggal 14/12 tahun 2001 nomor 100. Yayasan

ini didirikan oleh beberapa orang tunanetra yang berhasil menyelesaikan

studinya di perguruan tinggi bersama-sama dengan sahabat-sahabat mereka

yang bukan tunanetra. Mitra Netra juga diartikan kerja sama antara tunanetra

dengan mereka yang bukan tunanetra. Hal ini tercermin dalam struktur

organisasi Yayasan ini yaitu hampir di setiap organ organisasi senantiasa

terdiri dari unsur tunanetra dan mereka yang bukan tunanetra. Mitra Netra

(48)

berprinsip bahwa yang paling memahami masalah dan kebutuhan para

tunanetra adalah tunanetra itu sendiri. Akan tetapi untuk mengatasi masalah

serta memenuhi kebutuhan tersebut tunanetra tidak dapat melakukannya

sendirian, tunanetra harus bermitra dengan mereka yang tidak tunanetra25.

Semangat kemitraan ini tidak hanya di dalam institusi Mitra Netra saja,

tetapi juga diaktualisasikan pada kiprah Yayasan ini di masyarakat. Dalam

menyelenggarakan dan mengembangkan layanan untuk tunanetra, Mitra Netra

senantiasa bekerja sama dengan lembaga atau organisasi lain baik pemerintah

maupun swasta, dengan maksud untuk membangun sinergi26.

B. Sejarah Singkat Perjalanan Mitra Netra Menuju Rumah Sendiri di Gunung Balong Lebak Bulus

Mitra Netra beroperasi d Gunung Balong pada tahun 2002 yaitu

setelah Yayasan ini berumur 11 tahun. Sebelumnya, lembaga yang secara

konsisten melayani para tunanetra di negeri ini masih harus berpindah-pindah

dari satu tempat ke tempat lain. Saat awal didirikan, Mitra Netra menempati

ruangan berukuran3 x 3 m yang berada di sebuah perusahaan penerbit buku

(Jambatan) yang terletak di jalan Keramat. Ibu Roswita Singgih yang

merupakan salah seorang pengurus kala itu adalah pemilik perusahaan

tersebut, beliau yang bersedia meminjamkannya kepada Mitra Netra. Hanya

kurang lebih dua tahun berada di sana, Mitra Netra harus pindah karena

ruangan itu harus direnovasi dan dimanfaatkan oleh sang pemilik. Dari

25

Data update 2011. www.mitranetra.or.id (Diakses pada: 13 Mei 2011, pukul: 13.15 WIB).

26

(49)

Keramat, Mitra Netra kemudian melanjutkan perjalanan hidupnya ke Lenteng

Agung, meminjam sebuah rumah yang sedang dalam proses dijual. Tentu ini

bukan situasi yang menenangkan hati, sama seperti sebelumnya, karena

Yayasan ini harus siap setiap saat meninggalkan rumah tersebut tatkala sang

pemilik baru akan menghuni rumah itu.

Hanya kurang lebih satu tahun bermukim di Lenteng Agung, Yayasan

ini mendapatkan pinjaman tempat di salah satu ruangan milik Yayasan

Pamentas di kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan. Hal ini terjadi karena

prestasi Mitra Netra dalam memproduksi bahan-bahan konferensi Disable

People International (DPI) dalam huruf Braille untuk peserta tunanetra, yang

kala itu diselenggarakan di Jakarta. Atas prestasi ini, ketua panitia konferensi

yang juga ketua Yayasan Pamentas mengijinkan Mitra Netra menempati salah

satu ruangan berukuran 7 x 5 di lingkungan Yayasan ini. Pada periode inilah

kegiatan Mitra Netra mulai tumbuh dan berkembang. Produksi buku bicara

mulai dilengkapi dengan studio rekaman kedap suara, meski dalam bentuk

yang sederhana. Tidak hanya itu, buku Braille pun mulai diproduksi karena

telah memiliki mesin Braille embosser meski masih dalam skala yang kecil

yaitu 40 karakter per detik dan hanya mampu mencetak satu sisi (single sided

printing).

Karena makin banyaknya kegiatan serta penyebaran tunanetra yang

dilayani yaitu hampir di lima penjuru Jakarta, menempati satu ruangan di

Yayasan Pamentas saja tidak cukup. Pak Sidarta Ilyas, yang berprofesi sebagai

(50)

Melalui pertemanan dengan DR. Sujudi yang kala itu menjabat sebagai

Menteri Kesehatan RI, Mitra Netra kemudian mendapatkan pinjaman ruangan

di Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang berada di

jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat. Ruangan berukuran 35 meter persegi

ini kemudian dimanfaatkan untuk kantor sekretariat dan layanan pendidikan

bagi siswa tunanetra untuk wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta

Utara.

Dari sisi manajemen, organisasi sudah memiliki dua kantor secara

terpisah yang mana di saat kondisi organisasi masih relatif muda dan belum

mapan ini bukanlah hal yang mudah. Kondisi ini akan memperpanjang waktu

koordinasi, dan dari sisi biaya ini tentu tidak efisien. Akan tetapi, dari sisi

pelaksanaan layanan, keberadaan kantor Mitra Netra di Jakarta Pusat sangat

memudahkan tunanetra yang berada di sekitarnya untuk mengakses layanan

Mitra Netra meski tidak semuanya, sehingga tidak perlu datang ke pusat

layanan yang ada di Jakarta Selatan. Kala itu Mitra Netra dapat dikatakan

tidak punya pilihan. Dalam kondisi terus tumbuh di satu sisi dan keterbatasan

fasilitas yang dimiliki di sisi lain, kabar gembira datang dari Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan yang pada waktu itu dijabat oleh Wardiman.

Setelah bertemu dengan para pengurus dan mengetahui peran Mitra Netra

dalam melayani tunanetra, Pak Menteri memutuskan untuk memberikan

pinjaman kantor kepada Yayasan ini, dan tempat yang dipilih adalah di

lingkungan sekolah luar biasa (SLB) untuk tunanetra di jalan Pertanian Raya

(51)

diperbolehkan menggunakan kantor tersebut selama Yayasan ini

membutuhkannya.

Kantor dua lantai berukuran 200 meter persegi kemudian dibangun di

bagian belakang sekolah untuk tunanetra di Jakarta Selatan tersebut. Hanya

ada yang berbeda dari apa yang telah diputuskan sang Menteri dan yang telah

diinformasikan kepada Mitra Netra. Setelah melalui proses disposisi, perintah

Menteri dikerjakan oleh eselon yang ada di tingkatan lebih bawah. Dan di

level inilah keputusan itu diubah. Ruangan kantor dua lantai yang oleh

Menteri sedianya boleh dimanfaatkan selama Mitra Netra membutuhkannya,

diubah menjadi hanya dipinjamkan dalam waktu tiga tahun. Setelah ruangan

kantor yang dipinjamkan itu usai dibangun, kegiatan layanan Mitra Netra yang

berada di Yayasan Pamentas lalu dipindahkan ke kantor baru tersebut.

Sedangkan kantor sekretariat yang berada di jalan Percetakan Negara tetap

dipertahankan.

Sepanjang periode berada di lingkungan SLB ini upaya untuk memiliki

kantor sendiri terus dilakukan. Tapi belum memberikan hasil. Dan Karena

tidak memiliki alternatif lain, memasuki tahun ketiga masa peminjaman kantor

tersebut. Mitra Netra menyampaikan permohonan perpanjangan

penggunaannya kepada instansi yang memiliki aset tersebut. Akan tetapi

bukan persetujuan yang diterima, melainkan pemberitahuan untuk segera

pindah karena gedung yang sebenarnya secara fisik sudah tidak lagi

memenuhi syarat untuk menampung sarana dan fasilitas yang Mitra Netra

(52)

Mitra Netra memiliki alasan kuat untuk membuat salah satu partnernya yaitu

Foundation Dark & Light Blind Care (DLBC) dari Belanda, yang sejak tahun 1999 membiayai program produksi dan distribusi buku Braille serta

buku bicara, akhirnya menyetujui permintaan Yayasan ini untuk membelikan

kantor baru dan menjadikan kantor itu milik Mitra Netra sendiri.

Ibarat pepatah mengatakan “ Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke

tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian “. Itulah yang Mitra

Netra alami. Selalu dihadapkan dalam kondisi terdesak yang mana harus

berpindah-pindah dari kantor-kantor yang sifatnya hanya pinjaman itu telah

membuat Mitra Netra sejak tahun 2002 dapat terus bertahan dan terus

mengembangkan eksistensinya hingga kini sampai di tempat yang sudah

menjadi hak milik Mitra Netra sendiri yaitu tepatnya di jalan Gunung Balong

II nomor 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan.

C. Alamat Yayasan Mitra Netra

Jl. Gunung Balong II nomor 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan.

D. Tokoh-Tokoh Pendiri Yayasan Mitra Netra 1. Lukman Nazir

Lukman, pria berdarah sunda ini menjadi tunanetra saat berusia 40

tahun karena glaukoma (meningginya tekanan cairan bola mata), beliau

merasakan betapa sulitnya menjadi orang yang baru saja mengalami

kebutaan tanpa dukungan layanan serta fasilitas yang memadai. Sebagai

pria dewasa yang telah merasakan bekerja dan mencapai puncak karir

Gambar

Tabel 1. Sampel Model Evaluasi CIPP
Table 2. Informasi & Informan Penelitian
Gambar 1 Berikut:
Table 3. Buku Registrasi

Referensi

Dokumen terkait

BUMN Persero yang menyelenggarakan program jaminan sosial, menjadi BPJS.. Perubahan bentuk bermakna perubahan karakteristik badan

maupun wide-area network (WAN), banyak komputer terhubung satu dengan lainnya untuk melayani user..  Dalam hal pelayanan

Dalam proses pembelajaran selalu melibatkan interaksi antara guru dan siswa, guru dituntut untuk membantu siswa agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan

Upaya yang telah dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mamuju belum maksimal dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pengembangan

Hasil pengkajian yang penulis dapatkan pada Tn.N adalah keadaan umum pasien lemah, pasien mengalami penurunan kadar suplai oksigen (sesak nafas), mengalami

Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Tanjung Priok dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi dan kepuasan kerja yang dimoderasi gaya kepemimpinan terhadap