TESIS
Oleh
ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN
127011030/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN
127011030/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BEDAGAI
Nama Mahasiswa : ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN Nomor Pokok : 127011030
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Bastari, MM) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Anggota : 1. Dr. Bastari, MM
Nim : 127011030
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS TERHADAP BERALIHNYA
KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DARI PEMERINTAH PUSAT KE PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN
ini telah membuat pajak memiliki peran dan kontribusi sangat signifikan tidak hanya dalam aspek ekonomi tetapi juga di luar aspek ekonomi. Cara pemungutan pajak dikategorikan menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah. PBB P2 merupakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang awalnya dipungut oleh pemerintah pusat tetapi dengan keluarnya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 maka pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk Kabupaten Serdang Bedagai dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai berkaitan dengan beralihnya kewenangan pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Berdagai. Dalam peralihan tersebut, dijumpai berbagai masalah yaitu bagaimana pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum dan setelah beralihnya pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai, bagaimana pemenuhan keadilan dalam penetapan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Serdang Bedagai, Bagaimana menagih utang PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum pengalihan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah Serdang Bedagai.
Metode Penelitian yang dilakukan adalah penenelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif sehingga pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik studi pustaka dan pengumpulan data sekunder sebagai data pendukung dilakukan wawancara di kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan maka kewenangan pemungutan PBB P2 dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai. Tarif dalam Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sudah memenuhi asas keadilan yaitu keadilan vertikal dan keadilan horizontal karena membedakan pengenaan pajak terhadap wajib pajak berdasarkan NJOP yaitu 0,1% dan 0,2% serta pajak yang sama terhadap NJOP yang sama. Upaya hukum terhadap tunggakan pajak PBB P2 sebelum dialihkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai ikut beralih menjadi kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai untuk menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan di daerah Kabupaten Serdang Bedagai dapat dilakukan dengan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997.
expenses. The importance of taxation has caused tax to have significant role and contribution either in the economic aspect or outside the economic aspect. Tax collection consists of state and local taxes. PBB P2 (P2 Tax on Land and Building) is rural and urban tax on land and building which was initially collected by the central government; but, by the issuance of the Regional Regulation of Serdang Bedagai No. 1/2012, the tax on land and building for this district was collected by Serdang Bedagai District Administration. The transfer of the authority to collect this tax had caused various problems: how about the collection of PBB P2 before and after the transfer occurred, how about fulfilling justice in setting the tariff of PBB P2 in Serdang Bedagai District, and how about billing PBB P2 before the transfer occurred.
The research used judicial normative and descriptive approach. Primary data were gathered by conducting library research method, and secondary data as the supporting data were gathered by conducting interviews at Regional Revenue Office of Serdang Bedagai District.
By the imposition of Regional Regulation of Serdang Bedagai District No. 1/2012 on Tax on Rural and Urban Land and Building, the authority to collect it was transferred from the central government to Deli Serdang District Administration. The tariff in the Regional Regulation of Deli Serdang District No. 1/2012 on Tax on Land and Building had met the principle of justice vertically ands horizontally because it differentiates the imposition of tax on taxpayers based on NJOP (0.1% and 0.2%) and the same tax on the same NJOP. Legal remedy on delinquent taxes of PBB P2 before the transfer occurred was that Deli Serdang District Administration became the authority to bill the delinquent taxes of PBB P2 by using, if possible, Warrant according to Law No. 19/2000 as the amendment of Law No. 19/1997.
diberikan kesehatan, hikmat, kebijaksanaan dan kesempatan serta kemudahan dalam
menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “KAJIAN YURIDIS TERHADAP
BERALIHNYA KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DARI PEMERINTAH PUSAT
KE PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI (STUDI
PADA DISPENDA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI)”.
Dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., ketua komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran, dalam penulisan
tesis ini.
3. Bapak Dr. Bastari, S.E., M.M., anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan, bimbingan, masukan, saran dan waktunya dalam penulisan
tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H., M.S., CN, selaku anggota
komisi pembimbing dan Ketua Program Pascasarjana Program Studi Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini.
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi S.H., CN., M.Hum., selaku dosen penguji Program
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan
dan saran dalam penulisan tesis ini.
7. Seluruh dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.
8. Rekan-rekan di Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara angkatan 2012 yang senantiasa memberikan
dukungan moral dan material untuk kelancaran penyelesaian studi ini.
Ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada ayahanda, Lunggu Siahaan,
S.E. dan Ibunda, Paula Tobing tercinta serta kakak (Florina, Cory dan Sere) yang
telah memberikan dukungan semangat, kasih sayang, kesabaran dan doa-doa yang
tiada hentinya.
Hanya Tuhan yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang
diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak.
.
Medan, Desember 2014
Penulis
2. Tempat, Tanggal Lahir : 27 Agustus 1990
3. Jenis Kelamin : laki-laki
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Kristen Protestan
6. Alamat : JL. Karya Wisata Komp. JIP 1,
Medan
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Lunggu Siahaan, S.E.
2. Nama Ibu : Paula Tobing
3. Nama Saudara/i : 1. Florina Gloria Siahaan, S.E.
2. dr. Cory Oriensia Siahaan
3. Sere Tiorida Siahaan, S.H.
III. PENDIDIKAN
1. SD : SD Perguruan Kristen Imanuel
Kota Medan Tahun 1996-2002
2. SMP : SMP Perguruan Kristen Imanuel
Kota Medan Tahun 2002-2005
3. SMA : SMA St. Thomas 1
Kota Medan Tahun 2005-2008
4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Sumatra Utara (USU) Kota Medan
Fakultas Hukum Tahun 2008-2012
vi
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... x
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Konsepsi ... 17
G. Metode Penelitian ... 20
1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 20
2. Sumber Data Penelitian ... 22
3. Alat Pengumpulan Data ... 23
4. Analisa Data ... 24
BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PBB P2 SEBELUM DAN SETELAH PERALIHAN DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ... 25
A. Pajak Bumi dan Bangunan ... 25
vii
Pusat ... 35
1. Dasar Hukum ... 35
2. Subjek Pajak ... 39
3. Objek Pajak ... 41
4. Dasar Pengenaan Pajak ... 44
5. Tarif Pajak ... 44
6. Perhitungan Pajak ... 45
7. Dana Bagi Hasil PBB P2 ... 47
C. Peralihan Pemungutan PBB P2 ... 48
1. Reformasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ... 48
2. Peralihan Pemungutan PBB P2 dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai . 55 D. Pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 58
1. Dasar Hukum ... 58
2. Subjek Pajak ... 59
3. Objek Pajak ... 61
4. Dasar Pengenaan Pajak ... 63
5. Tarif Pajak ... 64
6. Perhitungan Pajak ... 66
BAB III PEMENUHAN ASAS KEADILAN TERHADAP TERIF PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ... 71
A. Keadilan Menurut Hukum ... 71
B. Keadilan Menurut Perpajakan ... 74
viii
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG
BEDAGAI ... 85
A. Utang Pajak ... 85
B. Tunggakan PBB Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Serdang Bedagai ... 87
C. Upaya Hukum Penagihan Tunggakan PBB Perdesaan dan Perkotaan Sebelum Beralih dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102
A. Kesimpulan ... 102
B. Saran ... 103
centerum : pusat
iniciator : penggagas
landrente : pajak tanah
law : hukum
natura : hasil
nomous : undang-undang
onafharzkelijkheid : kemerdekaan
observaso : penelitian
outonomy : otonomi
onbeveghed : wewenang
planner : perencana
rechtmacht : hukum
regeling : perundangan
regulerend : mengatur
social empowerment : pemberdayaan masyarakat
souverign : raja
supervisor : pengurus
suprevisi : pengawasan
tempus : waktu
BW : Burgerlig Wetboek
DJP : Direktorat Jendral Pajak
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Ipeda : Iuran Pembangunan Daerah
KPP : Kantor Pelayanan Pajak
KUP : Ketentuan Umum Perpajakan
NJOP : Nilai Jual Objek Pajak
NJOPTKP : Nilai Jual Objek Pajak Tidaak Kena Pajak
PBB P2 : Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
PDRD : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
PPN : Pajak Pertambahan Nilai
PPh : Pajak Penghasilan
PPnBM : Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah
PSS : Penagihan Seketika Sekaligus
SKP : Surat Ketetapan Pajak
SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
STP : Surat Tagihan Pajak
UU : Undang-Undang
ini telah membuat pajak memiliki peran dan kontribusi sangat signifikan tidak hanya dalam aspek ekonomi tetapi juga di luar aspek ekonomi. Cara pemungutan pajak dikategorikan menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah. PBB P2 merupakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang awalnya dipungut oleh pemerintah pusat tetapi dengan keluarnya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 maka pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk Kabupaten Serdang Bedagai dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai berkaitan dengan beralihnya kewenangan pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Berdagai. Dalam peralihan tersebut, dijumpai berbagai masalah yaitu bagaimana pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum dan setelah beralihnya pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai, bagaimana pemenuhan keadilan dalam penetapan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Serdang Bedagai, Bagaimana menagih utang PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum pengalihan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah Serdang Bedagai.
Metode Penelitian yang dilakukan adalah penenelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif sehingga pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik studi pustaka dan pengumpulan data sekunder sebagai data pendukung dilakukan wawancara di kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan maka kewenangan pemungutan PBB P2 dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai. Tarif dalam Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sudah memenuhi asas keadilan yaitu keadilan vertikal dan keadilan horizontal karena membedakan pengenaan pajak terhadap wajib pajak berdasarkan NJOP yaitu 0,1% dan 0,2% serta pajak yang sama terhadap NJOP yang sama. Upaya hukum terhadap tunggakan pajak PBB P2 sebelum dialihkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai ikut beralih menjadi kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai untuk menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan di daerah Kabupaten Serdang Bedagai dapat dilakukan dengan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997.
expenses. The importance of taxation has caused tax to have significant role and contribution either in the economic aspect or outside the economic aspect. Tax collection consists of state and local taxes. PBB P2 (P2 Tax on Land and Building) is rural and urban tax on land and building which was initially collected by the central government; but, by the issuance of the Regional Regulation of Serdang Bedagai No. 1/2012, the tax on land and building for this district was collected by Serdang Bedagai District Administration. The transfer of the authority to collect this tax had caused various problems: how about the collection of PBB P2 before and after the transfer occurred, how about fulfilling justice in setting the tariff of PBB P2 in Serdang Bedagai District, and how about billing PBB P2 before the transfer occurred.
The research used judicial normative and descriptive approach. Primary data were gathered by conducting library research method, and secondary data as the supporting data were gathered by conducting interviews at Regional Revenue Office of Serdang Bedagai District.
By the imposition of Regional Regulation of Serdang Bedagai District No. 1/2012 on Tax on Rural and Urban Land and Building, the authority to collect it was transferred from the central government to Deli Serdang District Administration. The tariff in the Regional Regulation of Deli Serdang District No. 1/2012 on Tax on Land and Building had met the principle of justice vertically ands horizontally because it differentiates the imposition of tax on taxpayers based on NJOP (0.1% and 0.2%) and the same tax on the same NJOP. Legal remedy on delinquent taxes of PBB P2 before the transfer occurred was that Deli Serdang District Administration became the authority to bill the delinquent taxes of PBB P2 by using, if possible, Warrant according to Law No. 19/2000 as the amendment of Law No. 19/1997.
BAB I
PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak mengenal istilah pajak.
Bahkan boleh dikatakan semua negara di dunia ini telah menerapkan sistem
perpajakan di negaranya. Pajak merupakan hal yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup suatu negara dalam melaksanakan kebijakanaan pemerintah
dalam bidang sosial dan ekonomi.
Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang
(dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontraprestasi, yang langsung dapat
ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.1Rumusan ini diartikan
dengan lebih menekankan salah satu fungsi pajak tersebut yaitu fungsi budgter
(keuangan) dan fungsiregulered(mengatur)2.
Pajak memiliki arti sangat penting bagi kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara. Pajak merupakan pungutan yang bersifat politis dan strategis sebagaimana
yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat (1)3. Bersifat politis
karena pemungutan pajak adalah perintah konstitusi dan bersifat strategis dimana
pajak merupakan tumpuan utama bagi negara dalam membiayai kegiatan pemerintah
1
Darwin,Pajak Bumi dan Bangunan, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2009), hal.1 2
Saidi Djafar,Perlindungan Hukum Wajib Pajak dengan Penyelesaian Sengketa Pajak, (Makasar: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 5
dan pembangunan4. Bagi masyarakat sendiri, pajak adalah sarana konkrit untuk
berkontribusi terhadap negara sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat dan
negara terakselerasi.
Arti penting perpajakan ini telah membuat pajak memiliki peran dan
kontribusi sangat signifikan tidak hanya dalam aspek ekonomi tetapi juga di luar
aspek ekonomi. Sesuai dengan fungsi anggarannya, pajak menjadi pemasukan utama
dalam APBN. Pada tahun 2013 penerimaan dari sektor pajak mencapai Rp 1.099
Trilliun dari penerimaan Negara sebesar Rp 1.529 Trilliun5, dimana pemungutan
pajak tersebut berasal dari PPN, PPh, PPnBM dan jenis pajak lainnya selaku pajak
pusat dan untuk penerimaan pajak daerah berasal dari PBB Pedesaan dan perkotaan
dan BPHTB serta pajak lainya yang dipungut oleh pemerintah daerah.
Berdasarkan kewenangan pemungutan pajak, pajak dapat dibedakan menjadi
pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, PBB Perkebunan, PBB
Perhutanan, PBB Pertambangan dan Bea Metrai, sedangkan pajak daerah terdiri atas
pajak provinsi dan pajak kabupaten/ kota. Pajak Provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, sedangkan Pajak Kabupaten/ Kota
terdiri atas Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air
Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Salah satu dari jenis pajak daerah di Indonesia adalah pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB P2). Berdasarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1985 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan dimana Pajak Bumi dan Bangunan ini dipungut oleh
pemerintah Pusat melaui Direktorat Jendral Pajak Republik Indonesia. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
maka kewenangan memungut pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
dialihkan kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota sehingga pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan merupakan pajak kabupaten/ kota. Adapun tujuan
dari pengalihan kewenangan pengelolaan pajak bumi dan bangunanan pedesaan dan
perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini adalah agar adanya
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga
tujuan pembangunan daerah dapat lebih cepat terlaksana.
Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dikenakan atas bumi dan
bangunan kecuali untuk pertambangan, perhutanan dan perkebunan, sedangkan
subjeknya adalah orang atau badan hukum yang secara nyata mempunyai suatu hak
dan atau memperoleh manfaat atas tanah dan bangunan6. Keberadaan pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan sebagai salah satu jenis pajak dapat dimengerti
mengingat bumi dan bangunan telah memberikan keutungan dan atau kedudukan
sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai sesuatu hak
atasnya atau memperoleh manfaat dari bumi atau bagunan kecuali kawasan yang
digunakan dalam pertambangan dan perkebunan. Sudah wajar dan sepantasnya
apabila mereka yang memperoleh manfaat atas bumi atau bangunan tersebut
diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya
kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah daerah dalam bentuk pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka kewenangan memungut
diserahkan kepada daerah. Kewenangan yang dialihkan meliputi rangkaian kegiatan
mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak
yang terutang yaitu penetapan tarif pajak, penetapan NJOP, penetapan NJOPTKP,
sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan
penyetorannya. Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka terbit Peraturan Daerah Kabupaten Serdang
Bedagai nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan sebagai dasar pemungutan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan yang dialihkan dari pemerintah pusat.
Keadilan merupakan suatu cita-cita pemerintah dalam melakukan
penyelenggaraan negara, prinsipnya adalah bahwa beban pengeluaran pemerintah
kesanggupan masing-masing golongan.7 Konsep ini merupakan konsep keadilan
sosial yang dianut hampir seluruh negara.
Prinsip keadilan digunakan dalam pemungutan perpajakan. Keadilan tersebut
terlihat dalam penetapan tarif pajak. Dalam hal ini terlihat pengenaan tarif pajak
bumi dan bangunan perdesaan dan Perkotaan berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan yang membedakan dua golongan saja antara nilai jual kena
pajak sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 dikenakan tarif 0,1% dan nilai jual kena
pajak diatas Rp 1.000.000.000,00 dikenakan tarif 0,2%. Berbeda dengan Peraturan
Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2012 atas perubahan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang
dibedakan menjadi lima golongan, yaitu NJOP sampai dengan Rp 499.999.999,00
dikenakan tarif 0,115%, NJOP dari Rp 500.000.000,00 – Rp 999.999.999,00
dikenakan tarif 0,125%, NJOP Rp 1.000.000.000,00 – Rp 1.999.999.999,00
dikenakan tarif 0, 215%, NJOP dari Rp 2.000.000.000,00 – 3.999.999.999,00
dikenakan tarif 0,225%, NJOP lebih besar daripada Rp 4.000.000.000,00 sebesar
0,275%. Penggolongan ini dinilai mewakilkan golongan masyarakat antara golongan
mampu dan golongan yang tidak mampu.
Selama dipungut oleh pemerintah pusat, terdapat tunggakan pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan sebesar Rp 20.540.330.000,008. Karena adanya
7Darwin,Op. Cit, hal. 71
pengalihan kewenangan pemungutan pajak yang mana di dalamnya termasuk
penagihan pajak, maka atas tunggakan tersebut penagihannya juga dialihkan kepada
pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
Upaya yang harus dilakukan pemerintah mengingat daluarsa penagihan pajak
adalah lima tahun yaitu upaya penagihan yang sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Mengingat pasal 1 angka 19 dan pasal 2 ayat 110 Undang
Undang nomor 19 tahun 2000 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, pasal 102 ayat 111
Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 17
ayat 112Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai nomor 1 tahun 2012 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, maka tunggakan pajak daerah
Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp 20.540.330.000,00 dapat ditagih dengan
menggunakan surat paksa. Akan tetapi kewenangan pemerintah daerah untuk
melakukan penagihan pajak dengan surat paksa tersebut belum dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
Adapun Kabupaten Serdang Bedagai merupakan tempat studi untuk
meningkatkan mutu kajian penelitian ini dikarenakan Kabupaten Serdang Bedagai
9
Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masukdan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurtu undang-undangdan peraturan daerah.
10Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah.
11Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
merupakan daerah yang memiliki unsur pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan, sehingga tepat kiranya untuk diharmonisasikan dengan dengan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan
Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai yang dikenakan kepada perdesaan dan
perkotaan.
Dengan demikian sangat tepat kiranya karena memiliki unsur pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan untuk meneliti lebih lanjut sebagai suatu karya
ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Kajian Yuridis terhadap Beralihnya
Kewenangan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut di atas maka terdapat
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni:
1. Bagaimanakah kewenangan pemungutan PBB P2 sebelum dan setelah beralih dari
pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai?
2. Bagaimanakah pemenuhan asas keadilan dalam penetapan tarif PBB P2 di
Kabupaten Serdang Bedagai?
3. Bagaimanakah upaya hukum untuk menagih utang PBB P2 sebelum pengalihan
kewenangan pemungutan dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan
gambaran dan jawaban dari perumusan masalah, sehingga dapat memberikan
penjelasan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kewenangan pemungutan PBB P2 sebelum dan setelah beralih
dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Untuk mengetahui pemenuhan asas keadilan dalam penetapan tarif PBB P2 di
Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Untuk mengetahui upaya hukum untuk menagih utang PBB P2 sebelum
pengalihan kewenangan pemungutan dari pemerintah pusat kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang positif
bagi pengembangan substansi disiplin di bidang ilmu hukum, khusunya hukum pajak,
berkaitan dengan beralihnya kewenangan pengelolaan pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Manfaat
lain yang diharapkan dalam penelitian ini, yakni agar pembuat kebijakan dan
pembuat peraturan baik ketentuan umum, undang undang dan peraturan daerah agar
lebih hati-hati membuat kebijakan peraturan sehingga tercipta kepastian hukum di
pemahaman masyarakat dan para praktisi hukum tentang pajak bumi bangunan
perdesaan dan perkotaan.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan sekolah Pascasarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum
Universitas-universitas lainnya di Indonesia, maka penelitian dengan judul “Kajian Hukum
terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan
dan Perkotaan dari Pusat ke Daerah. (Studi kasus pada Dinas Pendapatan Daerah
Serdang Bedagai)” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.
Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut pajak
bumi dan bangunan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Magister
Kenotariatan, Sekolah Pascarjana, Universitas Sumatera Utara, yaitu:
1. Marudut Situmorang (087005063), Judul Tesis: Analisis Yuridis Terhadap
Penentuan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Sistem Otonomi
Daerah di Kabupaten Pakpak Barat.
Permasalahannya adalah:
a. Bagaimana realisasi penentuan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan di
Kabupaten Pakpak Barat?
b. Bagaimana mekanisme penentuan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan di
c. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan masyarakat jika tidak menerima
penetapan yang dilakukan pemerintah?
2. Elfiany Ginting (027011013), Judul Tesis: Penerapan Asas Keadilan dalam
Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (Suatu Studi di Kantor Pelayanan PBB
Medan II).
Permasalahannya adalah:
a. Bagaimana persoalan keadilan yang dihadapi dalam pengenaan pajak bumi dan
bangunan?
b. Bagaimana hak yang dimiliki wajib pajak untuk melakukan upaya hukum
terhadap penetapan pajak bumi dan bangunan?
c. Apakah pajak bumi dan bangunan terkait dengan kemampuan ekonomis wajib
pajak?
3. Heri Azwar Anas (087011048), Judul Tesis: AnalisaYuridis Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Banda
Aceh.
Permasalahannya adalah:
a. Bagaimana penetapan nilai jual objek pajak oleh pemerintah daerah dan
pemerintah pusat?
b. Bagaimana prinsip-prinsip dalam penetapan nilai jual objek pajak bumi dan
bangunan?
c. Bagaimana kaitan antara nilai jual objek pajak dengan bea perolehan hak atas
Dari hasil penelusuran kepustakaan penelitian, penelitian yang menyangkut
Pajak Bumi dan Bangunan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa diluar program
studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara,
yaitu:
1. Hernanda Bagus Priandana, B4A007120, (Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang)
Judul Tesis: Keberadaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak Pusat dalam
era Otonomi Daerah.
Permasalahannya:
a. Apakah ada kemungkinan pemerintah pusat dapat menyerahkan pajak bumi dan
bangunan kepada pemerintah daerah sebagai pajak daerah untuk menaikkan
penerimaan daerahnya dengan berlakunya Undang Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor 33 tahun 2004?
b. Apakah pemerintah daerah mampu melaksanakan pengambilalihan
administratif pengelolaan pajak bumi dan bangunan?
2. Ni Luh Putu Miarmi, 1090561022, (Program Magister Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana).
Judul Tesis: Pengaturan Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur
Hijau.
Permasalahannya adalah:
a. Bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
b. Apa dasar pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan?
c. Bagaimana harmonisasi hukum dalam pengaturan pembebasan kewajiban
pembayaran pajak di kawasan jalur hijau?
Dari hasil penulusuran kepustakaan yang dilakukan yang berkaitan dengan
topik penelitian baik judul maupun permasalahan tidak ada yang sama. Oleh karena
itu, secara akademis dapat dikatakan penulisan penelitian ini asli dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenaran dan keasliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kontiunitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantng pada metodologi,
aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori13. Teori
adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu
terjadi. Suatu teori harus dilalui dengan menghadapkannya pada fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya14. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan arahan/petunjuk dan memperkiraan serta menjelaskan gejala yang
diamati15.
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu kepada
teori kewenangan (Theorie Van Bevoegheid) berkaitan dengan beralihnya
13Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982), hal 6
14ibid
kewenangan pemugutan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menurut Philipus M. Hadjon, “wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Sehingga dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan”16.
F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan H.R. berpendapat “Overheidsbevoegdheid
wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en
Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te
scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan
untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan
hukum antara pemerintahan dengan waga negara)17.
Ferrazi mendefenisikan kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau
lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi),
pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu18.
Unsur kewenangan tersebut adalah:
a. Pengaruh, ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum.
b. Dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya.
c. Konformitas hukum, mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu standard umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu)19.
16Philipus M. Hadjon, “tentang Wewenang”, (Jakarta: Yuridika, No.5&6 Tahun XII, , 1997) , hlm.1
17Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara,(Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 100 18Ganjong,Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 93
Selain menggunakan teori kewenangan dalam penulisan tesis ini juga
menggunakan teori keadilan. Menurut W. Fridman suatu undang-undang harus
memberikan keadaan yang sama kepada semua pihak walaupun terdapat
perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut20.
Keadilan merupakan fokus utama dari setiap hukum dan keadilan tidak dapat
begitu saja dikorbankan seperti pendapat John Rawls sebagai berikut:
Nilai keadilan tidak boleh ditawar-tawar dan harus diwujutkan ke dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Suatu ketidakadilan hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut dibenarkan jika hal tersebut diperlukan untuk manghindari ketidakadilan yang lebih besar. Karena merupakan kebajikan yang terpenting dalam kehidupan manusia, maka terhadap kebenaran dan keadilan tidak ada kata kompromi.21
Menurut Rawls, keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial
sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.22 Lebih lanjut John Rawls
menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan
haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu pertama memberi hak dan
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang
sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbak balik
bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari dari kelompok beruntung maupun
tidak beruntung. Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur
dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal
20W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kasus atas Teori-Teori Hukum.hal.
21Munir Fuady,Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Galia Indonesia, 2007), hal. 94
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas dan diperuntukan bagi keutungan
orang-orang yang paling kurang beruntung.
Fungsi teori dalam penulisan tesis ini adalah untuk memberikan arahan dan
petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati sehingga kerangka teori yang
dipaparkan adalah berdasarkan ilmu hukum. Maksudnya, penelitian ini berusaha
untuk memahi hukum pajak dalam pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan, dan kesiapan daerah untuk melakukan pengelolaan pajak bumi dan
bangunan yang kewenangannya telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi sehingga terciptanya otonomi daerah.
Istilah otonomi dan “outonomy” secara etimologis dari bahasa Yunani berasal
dari kata “autos” yang berarti sendiri dan”nomous” yang berarti undang-undang,
hukum dan peraturan dan berarti “perundangan sendiri”(zelfwetgeving). Menurut
encyclopedia of cocial science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the
legal self sufficiency of social body and its actual indeoendence.
Otonomi adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid and zelfsatndigheid)
satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan
pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan
mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang
Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian
(zelftandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafharzkelijkheid)23. Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawaaban. Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan
kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekedar subsistem dari
sistem kesatuan yang lebih besar. Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Negara
kesatuan merupakan landasan dari pengertian dan isi otonomi.
Sedangkan HAW. Widjaya mengatakan bahwa proses peralihan dari sistem
dekosentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi.
Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang
bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi
dari pemungutan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan adalah mencapai
efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan otonomi
daerah pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan negara dan
pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan merata.
Dimana pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembagunan
nasional harus mengedepankan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab.
Konteks otonomi sendiri adalah bahwa pemerintah daerah diberi keleluasaan
menyelenggaraan dan mengatur sendiri urusan rumah tangganya. Ketentuan Pasal 1
angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa otonom daerah adalah “Hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan
daerah otonom berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah adalah:
“Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dengan otonomi daerah, kewenangan daerah otonomi untuk mengurus
daerahnya sesuai dengan keinginan masyarakat semakin tinggi. Jika sebelumnya
daerah hanya sebagai operator saja dalam pembangunan, maka kini peran daerah
meluas menjadiiniciator, planner, fund rising, supervisor ataupun evaluator. Dengan
demikian, paradigma “membangun daerah lebih difokuskan”, mempunyai arti bahwa
daerah harus punya inisiatif, prakarsa, kemandirian dalam menyusun, merencanakan
dan melaksanakan pembangunan daerah. Alasannya adalah daerah lebih tahu tentang
masalah dan potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstrak
dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk
penelitian (observasi) masalah yang akan diteliti24. Konsep diartikan pula sebagai
kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus
yang disebut dalam defenisi operasional25.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dan kerangka teoritis
yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang
menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian26. Pentingnya defenisi operasional
bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena
itu, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini sesuai dengan yang
diharapkan, yaitu:
a) Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan27.
b) PBB adalah singkatan dari Pajak Bumi dan Bangunan yang artinya adalah pajak
yang dikenakan atas harta tak gerak berupa bumi dan atau bangunan28.
24
John Creswell Research Design,Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Alih Bahasa Angkatan III dan IV, Kajian Ilmu Kepolisian (KIK)-UI Bekerjasama dengan Nur Khabibah, (Jakarta: KIK Press, 1994), hal. 79.
25Sumardi Surya Brata,Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 28.
26Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press, 1984), hal. 33. 27R. Santoso Brotodiharjo,Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Ketiga, (Bandung: PT Eresco, 1993), hal. 5-6
c) PBB P2 adalah singkatan dari Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
yang artinya adalah pajak atas bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan29.
d) Peralihan kewenanangan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan adalah
suatu tindakan menyebabkan berubahnya hak pengelolaan terhadap pajak bumi
dan bangunan pedesaan dan perkotaan dari satu lembaga ke lembaga lain.
e) Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan30.
f) Desentralisasi fiskal adalah penyerahan kewenangan dalam bentuk fiskal dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah
tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam
kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
g) Tarif Pajak adalah persentasi pengenaan pajak sesuai dengan objek pajaknya.
h) NJOP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak yang artinya adalah harga
rata-rata jual beli yang diperoleh dari harga objek lain yang sejenis, Nilai Jual Objek
Pajak Pengganti atau nilai baru.31
29www.pajak.go.id,Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan,tanggal 28 April 2014, hal 3.
30Noval Scene,Otonomi daerah di Indonesia, http://id/m.wikipedia.org/wiki.Otonomi, 6 Maret 2014, hal. 15
i) NJOPTKP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
artinya sebagai pengurang dari harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual
beli yang terjadi secara wajar.
j) Tunggakan pajak adalah besarnya pajak terutang yang belum dibayarkan oleh
wajib pajak yang disebabkan karena pemeriksaan dan karena wajib pajak tidak
sanggup membayar.
k) Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak, melaksanakan penagihan seletika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.32
G. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, maksudnya
peneltian ini berupaya untuk memaparkan segala permasalahan yang ada dengan
tujuan memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang
akan diteliti. Analisis yang dimaksudkan berdasarkan gambaran fakta yang diperoeh
akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan yang timbul
khususnya pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dengan didasarkan
pula kepada peraturan perundang-undangan tentang perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah.33
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif)
atau disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang digunakan
sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan bahan-bahan pustaka
dengan meneliti penelitian tehadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori
hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta
dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.34
Pendeketan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan
perundang-undangan (statute opproach). Pendekatan undang-undangan (statute opproach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.35 Sedangkan pendekatan historis
(historicalapproach) dilakukan dengan mengkaji latar belakang yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.36
33Ibid, hal17
34Muslan Abdurrahman,Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 127.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber-sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber
sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan bahan hukum
sekunder serta bahan-bahan hukum tersier.37
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau bahan non hukum.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang berisikan peraturan
perundang-undangan, yang terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar 1945 dan hasil amendemennya.
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.
6) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
7) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2000 tanggal 10 Maret Pembagian
Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
8) Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai nomor 1 tahun 2012 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan.
9) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 82/KMK.04/2000
tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu buku-buku, peraturan
perundang-undangan, majalah-majalah, surat kabar, buletin maupun makalah
makalah yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu
permasalahan perpajakan.38
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder39, berupa: kamus bahasa Indonesia,
Inggris, Belanda, kamus yang memuat peristilahan hukum, Enslikopedia hukum,
Situs di Internet dan bahasa lain yang menunjang penelitian ini.
3. Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data (bahan hukum) dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yang digunakan untuk
memperoleh data dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan
menganalisis data primer, sekunder maupun tersier yang berkaitan dengan peralihan
kewenangan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan. Disamping itu dalam
penelitian ini juga dilakukan wawancara langsung terhadap pegawani kantor Dinas
Pedapatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai berkaitan dengan peralihan
pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan di Kabupaten
Serdang Bedagai.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan,
selanjutnya akan dilakukan proses pengeditan data. Ini dilakukan agar akurasi data
dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjejaki kembali ke
sumber data. Setelah pengeditan, selanjutnya akan dilakukan analisis data secara
deskriptif-analitis-kualitatif, dan khususnya terhadap data dalam dokumen-dokumen
akan dilakukan kajian isi (content analysis).40
Lexy J. Moleong mengemukakan bahwa kajian isi adalah metodologi
penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan
sehingga pokok permasalahan yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini dapat
terjawab.41
Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan metode deduktif yakni berpikir dari
yang umum menuju hal yang khusus dengan menggunakan perangkat normatif.
Kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan
akan memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dalam penelitian ini.
40Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 163
BAB II
KEWENANGAN PEMUNGUTAN PBB P2 SEBELUM DAN SETELAH PERALIHAN DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH
DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI A. Pajak Bumi dan Bangunan
1. Sejarah PBB di Indonesia
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang saat ini dikenal oleh masyarakat luas
sebagai pajak atas kepemilikan bumi dan bangunan di Indonesia merupakan
perubahan atas berbagai jenis pajak atas bumi (dan juga bangunan) yang sebelum
tahun 1986 diberlakukan di Indonesia. Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia,
pajak atas bumi yang sebelum tahun 1986 diberlakukan di Indonesia. Dalam sejarah
panjang bangsa Indonesia, pungutan yang dikenakan atas bumi dan hasil bumi telah
dikenakan oleh penguasa kepada rakyat sejak masa penjajahan, bahkan sebenarnya
sudah sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hanya saja nama pungutan tersebut mungkin
belum dibakukan, tetapi pada dasarnya sama saja dengan pajak bumi dan bangunan.
Pada abad ke-17 dan seterusnya, pada saat Indonesia berada dalam penjajahan
Belanda dan Inggris, pajak atas bumi diberlakukan secara resmi dengan nama yang
baku. Berbagai jenis pajak atas bumi dan juga bangunan kemudian diterapkan di
Indonesia dengan berbagai nama dan aturan, dimana ketentuan tentang pajak tersebut
disesuaikan oleh pemerintah yang ketentuan tentang pajak tersebut disesuaikan oleh
pemerintah yang berkuasa pada masa tertentu di Indonesia42.
a. Pemungutan Pajak atas Tanah Sampai Masa VOC
Pajak atas tanah sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala. Hanya saja
dalam berbagai buku sejarah Indonesia tidak dapat ditemukan adanya bukti
pemungutan pajak atas tanah di Indonesia pada masa pra sejarah. Hal ini wajar saja
mengingat pada masa pra sejarah belum ada bukti-bukti tulisan, yang dapat
menggambarkan adanya pemungutan pajak kepada masyarakat. Bukti tertulis tentang
adanya pengenaan pajak atas tanah di Indonesia baru ditemukan pada masa sejarah.
Dalam sejarah Indonesia suatu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelius
de Houtman datang ke Indonesia dengan maksud untuk berdagang di Indonesia pada
akhir abad ke-1643. Pada tahun 1602 didirikan “Verenigde Oost-Indische Compagnie”
disingkat dengan VOC atau kompeni, yang merupakan suatu persekutuan dagang.
Kompeni memperoleh hak monopoli dari pemerintah Belanda, sehingga hanya
Kompeni yang boleh berdagang di antara Tanjung Harapan dan Selat Megalhaes.
Untuk itu kompeni memperoleh kekuasaan dari pemerintah Belanda, sehingga hanya
kompeni yang boleh berdagang di antara Tanjung Harapan dan Selat Magelhaes.
Untuk itu kompeni memperoleh kekuasaan sebagai pemerintahan dari pemerintah
Belanda. Tujuannya adalah untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Kompeni
melakukan aturan Verplicte leverantien atas masyarakat jajahan di Nusantara, yaitu
pemberian yang diwajibkan, rata-rata 20% (1/5) dari semua hasil produksi44.
43Ibid, hal. 5
b. Pemungutan Pajak Atas Tanah Masa Penjajahan Inggris
Perebutan kekuasaan oleh negara-negara di Eropa terhadap negara jajahan di
Asia menjadi awal masuknya Inggris ke nusantara. Tentara Inggris dalam bulan
Agustus 1811 mendarat dari di Pulau Jawa dan menyerang Belanda. Sampai pada
tanggal 17 September 1811 Janssens menyerah kepada Inggris. Pemerintah Inggris
menunjuk Thomas Stanford Raffles menjadi kepala pemerintahan di jawa dan daerah
taklukannya.45
Sistem pemajakan atas tanah yang diterapkan oleh Raffles diambil dari pajak
tanah di Bombay yang sedikit banyak disesuaikan dengan keadaan di Pulau Jawa dan
daerah taklukan Inggris lainnya pada waktu itu. Untuk itu Raffles mengeluarkan
suatu instruksi yang disebut Landrevenue Instruction yang dilaksanakan di Pulau
Jawa dan daerah taklukan Inggris lainnya yang merupakan saduran dari landrevenue
tersebut diciptakan oleh Sultan Akhbar dan Kerajaan Islam Mongol.46
Landrent diberlakukan menurut peraturan yang sudah berlaku di Brits Indie
(India). Peraturan baru ini didasarkan kepada dalil, yang dibawa dari India, yaitu
bahwa semua tanah adalah milik “souverign” (raja) dan kepal-kepala desa dianggap
sebagai penyewa dari tanah-tanah yang diusahakan oleh desa. Oleh sebab itu mereka
harus membayar sewa atau landrent, berupa barang natura (hasil) yang tetap.47
Landrent sebagai pajak tanah merupakan pengganti dua macam pungutan
yang dipungut pada masa kompeni (VOC) yaitu:
45Ibid, hlm. 38 46Ibid., hlm. 39
a. Contingenten, yaitu pungutan sebagian dari hasil bumi yang jenis tanamannya
dipaksakan, dengan harga yang murah sekali di daerah yang langsung dikuasai
kompeni.
b. Verplichte Leveratien, yaitu pungutan oleh pemerintah VOC dengan diberi ganti
rugi atas dasar persetujuan dengan penduduk dengan perantara raja-raja yang
bersangkutan.
c. Pemungutan Pajak atas Tanah Masa Penjajahan Hindia Belanda
Tidak berapa lama aturan landrent berlaku di Pulau Jawa, sudah tersiar kabar,
bahwa Napoleon jatuh dan Negeri Belanda mendapat kemerdekaannya kembali.
Conventie London tahun 1814 menetapkan, bahwa Belanda akan mendapat tanah
jajahannya kembali, kecuali Ceylon dan kedudukannya di Afrika Selatan. Kabar ini
mengecewakan Raffles dan pemerintah Inggris umumnya. Penggantiannya, John
Fendall, menyerahkan Indonesia kepada Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816.48
Saat pemerintah penjajahan Hindia Belanda kembali berkuasa, nama landrent
diganti manjadi landrente. Tata cara dan pelaksanaan pajak atas tanah dengan sistem
yang dianut oleh Raffles dilanjutkan dengan beberapa perbaikan yang ditunjuk untuk
keadilan dan kepentingan rakyat. Setelah pemerintah Penjajahan Hindia Belanda
berkuasa di India Belanda (sekarang Indonesia), diundangkan Staatsblad (Lembaran
Negara) 1818 Nomor 14, yang berlaku untuk tahun 1818 saja kemudian diganti
dengan Staatsblad 1819 Nomor 5 yang berlaku untuk tahun 1819 dan untuk tahun
tahun berikutnya yang menentukan bahwa landrente ditetapkan perdesa.
d. Pemungutan Pajak atas Tanah Masa Penjajahan Jepang
Selama pemerintahan Bala Tentara Jepang berkuasa di Indonesia mulai bulan
Maret 1942 sampai saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945, pajak tanah dilaksanakan terus seperti biasa dengan segala
kegiatannya dan tetap menurut undang-undang pajak tanah 1939, Staatsblad 1939 No.
240 sampai dengan 243. Dalam penerapannya pajak tanah (Landrente) diganti
menjadi pajak bumi.
Instansi yang menyelenggarakan pajak bumi dan bangunan adalah
Gunaekanbu Zaimubu bagian pajak bumi. Pimpinan-pimpinan instansi yang
menangani pajak bumi bangsa Belanda diganti dengan pimpinan-pimpinan bangsa
Indonesia.
Departemen Van Financaien diubah menjadi Gunaekanbu Zaimubu dan
sebagai bagian dari Zaimubu dibentuk Zaimubu Shuzeika yang mengurus
macam-macam pajak dan beacukai. Pendudukan Jepang atas daerah-daerah di luar Pulau
Jawa dan Madura berada di bawah kekuasaan bagian lain dari Bala Tentara Jepang,
yaitu Minseibu sehingga kekuasaan Kantor Besar bagian Pajak Bumi hanya terbatas
di Pulau Jawa dan Madura.
e. Pajak atas tanah yang Berlaku Setelah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka, berbagai jenis pajak yang sebelumnya dipungut
oleh pemerintah penjajahan Belanda maupun Jepang tetap dipungut oleh pemerintah
Indonesia, antara lain Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, Aturan Bea Materai 1921
(undang-undang) yang dibuat pada masa penjajahan Belanda karena belum ada
undang-undang yang menggantikannya. Penerapan berbagai ordonansi tersebut
didasarkan pada ketentuan Peralihan Undang-Undang 1945 yang menyatakan bahwa
segala badan negara dan peraturan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
1945.
Dalam perkembangan selanjutnya dilakukan beberapa perubahan dalam
pelaksanaan pemungutan pajak tersebut di Indonesia. Dalam hal pengenaan pajak atas
bumi di Indonesia, Landrente yang dipungut berdasarkan Staatsblad 1939 yang ada
pada masa penjajahan Jepang diubah menjadi Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
Berbagai jenis pajak yang diberlakukan atas tanah dan juga bangunan di
Indonesia sampai dengan tahun 1955 mengakibatkan adaya beban pajak berganda
bagi masyarakat, karena atas suatu tanah dan bangunan dimungkinkan dipungut lebih
dari satu jenis pajak, dan semua dilakukan secara legal karena didasarkan pada
ordonansidan undang-undang. Hal ini membuat wajib pajak enggan membayar pajak
seharusnya hanya membayar pajak atas objek pajak yang dimiliki atau
dimanfaatkannya saja.
Seiring dengan reformasi perpajakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah
dan DPR sejak tahun 1983, maka sistem pemajakan atas tanah dan bangunan di
Indonesia juga dirombak total mulai tahun 1986. Hal ini dilakukan dengan
objek pajak berupa tanah dan atau bangunan dan menggantinya dengan satu jenis
pajak yang disebut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemenuhan PBB dilakukan
dengan dilandasi pada dasar hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Subjek pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata:
memperoleh suatu hak atas bumi dan atau, memperoleh manfaat atas bumi dan atau,
memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Badan hukum dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu49:
1. Menurut bentuknya, artinya pembagian badan hukum berdasarkan pendiriannya
(diatur dalam NBW).
a. Badan hukum publik
Misalnya: negara, provinsi, kota praja, majelis-majelis, lembaga-lembaga dan
bank negara.
b. Badan hukum privat
Misalnya: perkumpulan-perkumpulan, PT, yayasan dan sebagainya.
2. Menurut peraturan yang mengaturnya, artinya pembagian badan hukum
berdasarkan ketentuan yang mengatur badan hukum tersebut.
a. Badan hukum yang terletak di lapangan hukum perdata (BW).
Misalnya: maskapai Andil Indonesia, Perkumpulan Indonesia, Koperasi
Indonesia.
3. Menurut sifatnya terbagi atas dua macam, yaitu:
a. Korporasi dan
b. Yayasan
Perseroaan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini
serta peraturan pelaksanannya50.
3. PBB Sebagai Pajak Properti
Berdasarkan apa yang menjadi objek pajak dan siapa yang ditetapkan menjadi
subjek pajak dan wajib pajak, maka PBB dapat diartikan sebagai pajak yang dipungut
atas pemilikan/ penguasaan dan atau pemanfaatan bumi dan atau bangunan di
Indonesia.
PBB merupakan pajak yang ditunjuk secara luas yang dikenakan baik atas
pemilikan maupun pemanfaatan bumi dan atau bangunan. Karena itu setiap pemilikan
atau pemanfaatan atas bumi dan atau bangunan di Indonesia akan dikenakan pajak.
Pengenaan PBB tidak terkait sama sekali dengan bukti pemilikan tanah dan atau
bangunan51.
PBB adalah pajak negara yang bersifat kebendaan. Pajak kebendaan pada
umumnya tidak memperhatikan keadaan wajib pajak dalam penentuan besarnya pajak
terutang tetapi mendasarkan pada objek pajak yang sesuai ketentuan undang undang
pajak harus dikenakan pajak. Objek pajak, baik yang besar maupun yang kecil, akan
50Pasal 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
dikenakan pajak sesuai dengan keadaan objek pajak tersebut. Pada PBB besarnya
pajak terutang sepenuhnya didasarkan pada keadaan objek pajak yang tercermin pada
besarnya NJOP bumi dan atau bangunan52.
PBB adalah pajak yang dikenakan atas harta tidak bergerak, oleh sebab itu
yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang
atau badan yang dijadikan subjek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya
pajak terutang. Hal ini membuat PBB disebut juga pajak yang objektif. Walaupun
pajak ini merupakan pajak yang objektif tetapi dipungut dengan surat ketetapan pajak
yang pada prinsipnya dikeluarkan oleh fiskus setiap tahun pajak.
Dari sisi pihak yang menanggung beban pajak, PBB termasuk dalam pajak
langsung karena PBB terutang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang namanya
tercantum pada surat ketetapan pajak yaitu SPPT dan SKP yang tidak dapat
dilimpahkan kepada orang lain.
4. Sektor-Sektor Pajak Bumi dan Bangunan
Untuk mempermudah pelaksanaan pengenaan PBB, Direktorat Jendral Pajak
mengelompokan objek pajak berdasarkan karakteristik ke dalam beberapa sektor,
yaitu perdesaan, perkotaan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan53. Sektor
pengenaan PBB tersebut adalah sebagaimana di bawah ini:
1) Sektor perdesaan, adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri
perdesaan, seperti: sawah, ladang, empang tradisional, dan lain-lain
52Marihot,Ibid, hal.77
2) Sektor perkotaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki cirri-ciri
daerah perkotaan, seperti: pemukiman penduduk yang memiliki fasilitas
perkotaan,real estate, komplek pertokoan, industri, perdagangan dan jasa.
3) Sektor perkebunan, adalah objek PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya
perkebunan, baik yang diusahakan oleh BUMN maupun swasta, yang meliputi
areal pengusahaan benih penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman,
penganekaragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya.
4) Sektor kehutanan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan
komoditas hasil hutan areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan.
5) Sektor pertambangan, adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan
komoditas hasil tambang seperti: emas, batubara, minyak dan gas bumi dan
lain-lain yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua
golongan yaitu bahan galian strategi, bahan galian vital dan bahan galian lainnya.
Pada prinsipnya untuk sektor perdesaan dan perkotaan tata cara
perhitungannya tidak ada perbedaan, sehingga perbedaan pendapat tentang kriteria
objek pajak yang masuk sektor perdesaan dan perkotaan sering terjadi. Hanya saja
untuk tertib administrasi pengenaan PBB maka dalam suatu wilayah administrasi
pemerintahan desa/kelurahan hanya terdapat satu sektor PBB yaitu sektor perdesaan
dan perkotaan.54
B. Pemungutan PBB Pedesaan dan Perkotaan Oleh Pemerintah Pusat 1. Dasar Hukum
Pada saat pemungutan pajak bumi dan bangunan dilakukan oleh pemerintah
pusat, dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan dengan pertimbangan bahwa pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan
pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila yang bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena karena itu, perlu
dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya;
bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya
atau memperoleh manfaat daripadanya dan oleh karena itu wajar apabila mereka
diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya
kepada negara melalui pajak; bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem
perpajakan, sehingga dapat mewujutkan peran serta dan kegotongroyongan
masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional; bahwa
sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khusunya pajak kebendaan dan pajak
kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena
itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah,
adil dan memberi kepastian hukum; bahwa untuk mancapai maksud tersebut di atas