• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Prestise dalam Upacara Kematian pada Etnis Batak Toba di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Prestise dalam Upacara Kematian pada Etnis Batak Toba di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PRESTISE DALAM UPACARA KEMATIAN PADA ETNIS BATAK TOBA DI KECAMATAN TARUTUNG KABUPATEN TAPANULI

UTARA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh: KATHY SABRINA L T

110901036

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, atas segala limpahan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Analisis Prestise dalam Upacara Kematian pada Etnis Batak Toba di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(3)

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si selaku dosen wali penulis sejak tahun 2011 hingga 2015 dan sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia membimbing penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.

3. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si, selaku dosen penguji yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini dan telah memberi masukan-masukan dalam perbaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Drs. Muba Simanihuruk, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Para dosen di Departeman Sosiologi yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu-persatu yang telah membekali, memberikan ilmu, mengarahkan dan membimbing saya selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sosiologi sehingga selesainya skripsi ini.

7. Ernita dan Bang Abel di jurusan sosiologi serta seluruh staf yang berada di FISIP USU yang telah memberikan kemudahan dalam mengurus segala administrasi dalam skripsi ini.

(4)

Ridho Febrian Hendrikus Togatorop, serta adik sepupu saya Marnaek Alfred Siagian.

9. Ompung Raja Doli Lumbangaol/br.Hutagalung, Ompung Ompung Ami Togatorop/br. Simanjuntak, dan Ompung Ian Simanjuntak/br Harianja, yang sudah menjadi kakek dan nenek yang selalu mendoakan serta menjadi penyemangat mulai dari saya kecil hingga saat ini.

10. Sahabat-sahabat saya terkasih, yang mulai dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan ini selalu menemani saya dalam suka maupun duka, Carlina Abrianingsih Panjaitan, S.Sos, Devi Sihotang, S.Sos, Fransisca Sinaga, S. Sos, Elsa Elonika Tarigan dan Vera Novelina Sirait, atas semua dukungan dan bantuan kalian selama ini, serta kebersamaan kita yang tidak terlupakan.

11. Kiki, Marta, dan Andre yang sudah menjadi teman berbagi dalam suka maupun duka, dan selalu memberikan semangat bagi saya dalam perkuliahan selama ini.

12. Teman-teman Sosiologi seperjuangan lainnya, Erawati Siagian, Repita Simamora, Emilia Simangunsong, Hendrikson Siahaan, Yusni Malau, Wawan, Defasari, Angela, Silvia dan teman-teman sosiologi lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu penulis dalam berdiskusi hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.. 13. Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi yang

(5)

Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi perbaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Desember 2015 (Penulis)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi...iv

Abstrak ...vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...7

1.3. Tujuan Penelitian...8

1.4. Manfaat Penelitian...8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat dan Nilai Budaya...9

2.1.1. Masyarakat Batak Toba dan Adat...9

2.1.2. Tradisi Upacara Kematian dalam Masyarakat Batak Toba...11

2.2. Nilai Prestise di dalam Masyaraka...13

2.3. Interaksionisme Simbolik...14

2.4. Defnisi Konsep...16

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian...20

(7)

3.3.1. Unit Analisis...20

3.3.2. Informan... ...21

3.4. Data dan Teknik Pengumpulan Data...22

3.5. Data Sekunder...23

3.6. Interpretasi Data...23

3.7. Keterbatasan Penelitian...24

BAB.IV. DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA 4.1. Deskripsi Lokasi 4.1.1. Sejarah Kecamatan Tarutung...25

4.1.2. Keadaan Geografis... ...28

4.1.3. Luas Wilayah...28

4.1.4. Jumlah Penduduk... ...28

4.1.5. Mata Pencaharian... ...30

4.1.6. Sarana dan Prasarana... ...30

4.1.7. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tarutung...32

4.2. Profil Informan... ...34

4.3. Interpretasi Data 4.3.1. Tingkatan Kematian Bagi Masyarakat Batak Toba...42

4.3.1.1. Kematian pada Orang-orang yang Belum Menikah...42

4.3.1.2. Kematian pada Orang-orang yang Sudah Menikah...43

(8)

Batak Toba...52 4.3.3. Makna Prestise / Nilai Hasangapon Bagi Masyarakat

Batak Toba...59 4.3.4. Makna Simbol Status pada Upacara Saur Matua ...62 4.3.5. Pergeseran Tradisi Upacara Kematian

di Daerah Silindung...64 4.3.6. Adat Saur Matua dalam Agama Islam

dan Kharismatik...75 BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan... ...78 5.2. Saran...78

(9)

Abstrak

Kematian dalam masyarakat Batak Toba selalu diikuti dengan rangkaian upacara adat, yang diatur berdasarkan status dan umur orang yang bersangkutan. Upacara-upacara tersebut berkaitan erat dengan pandangan hidup ideal menurut masyarakat Batak, yaitu Hagabeon (keturunan), Hamoraon (kekayaan), dan Hasangapon (kehormatan/ prestise). Seseorang dikatakan mampu mencapai

pandangan tersebut apabila dia mati pada posisi Saur Matua. Adanya kecenderungan nilai prestise yang diperoleh dalam tingkatan kematian Saur Matua membuat banyak keluarga maupun kerabat dari orang mati menginginkan

agar status dari orang yang mati tersebut dinaikkanmenjadi Saur Matua.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian pada masyarakat Batak Toba, karena adanya nilai prestise dan bagaimana masyarakat memaknai pergeseran tersebut. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat batak cenderung mengejar posisi kematian Saur Matua, karena: (1) menunjukkan Hasangapon, (2) sebagai kewajiban untuk melunasi hutang-hutang adat selama yang bersangkutan hidup.

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dan diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dan kaya akan budaya. Keanekaragaman budaya tersebut menjadi identitas yang menunjukkan karakter dari masing-masing budaya yang ada di Indonesia.

Keragaman budaya Indonesia memiliki lebih dari 1000 suku bangsa bermukim di wilayah yang tersebar di ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing dari suku bangsa tersebut memiliki nilai budaya yang berbeda-beda pula dan dijadikan sebagai pedoman dan pendorong perilaku yang dianggap memberikan manfaat bagi pada masyarakat penganutnya. Wujud dari kebudayaan itu sendiri tampak jelas pada pelaksanaan upacara-upacara adat yang senantiasa dipertahankan oleh masyarakat yang dianggap sebagai sebuah kewajiban yang harus selalu dilaksanakan. Sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia melaksanakan berbagai bentuk upacara tradisional. Berbagai bentuk dan corak yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari yang profan sampai ke hal-hal yang bernuansa sakral (Hotmaida, 2014).

(11)

kematian. Kegiatan adat tersebut wajib diikuti oleh seluruh anggota masyarakat baik itu dari pihak penyeleggara kegiatan adat tersebut maupun dari sanak saudara dan kerabat-kerabatnya. Sama halnya yang terjadi di Tapanuli Utara, hingga saat ini masyarakatnya masih berpedoman pada pandangan hidup ideal Batak Toba, serta masih tetap menjalankan kegiatan-kegiatan adat tersebut. Mengingat bahwa wilayah ini merupakan salah satu daerah asal suku Batak toba.

Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki beberapa pandangan hidup yang merupakan pedoman dan didalamnya terkandung konsep nilai kehidupan yang dicita-citakan oleh masyarakatnya, yakni:

1. Hagabeon, berarti bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang

dimaksudkan di sini adalah kebahagiaan dalam hal keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup, karena keturunan itu adalah suatu kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Kebahagiaan akan terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Keturunan dalam budaya Batak Toba dianggap sebagai harta yang paling berharga (Harahap dan Siahaan, 1987). Keberadaan anak yang sangat didambakan oleh keluarga suku Batak Toba adalah untuk, pencapaian tujuan hidup yang ideal, pelengkap adat Dalihan Na Tolu, penambah wibawa orangtua, pewaris harta kekayaan, penerus garis keturunan (marga).

2. Hamoraon, yaitu kepemilikan harta yang berwujud materi maupun

(12)

3. Hasangapon, yaitu pengakuan dan penghormatan atas wibawa dan martabat seseorang.

Metode pencapaian pandangan hidup ini diatur oleh struktur sosial “Dalihan Na Natolu”.Ketiga unsur kehidupan ideal tersebut harus berjalan bersamaan dan diaplikasikan dalam kepercayaan dan adat istiadatnya. Hasangapon yang sesungguhnya akan terlihat pada saat seseorang mati. Kematian

dalam budaya suku Batak Toba mendapatkan perlakuan adat yang berbeda-beda berdasarkan umur dan status dari orang tersebut. Seseorang yang mati dengan mencapai ketiga unsur tersebut dianggap telah mencapai sebuah kedudukan terhormat yang merupakan dambaan dari setiap masyarakat Batak Toba. Adanya pandangan hidup ideal seperti ini membawa dampak positif bagi masyarakatnya, karena setiap anggota masyarakat akan berusaha mencapai kedudukan tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan-lapisan sosial, karena setiap masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu terhadap bidang-bidang tertentu pula. (Soerjono Soekanto, 2012). Adanya pandangan hidup ideal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba memunculkan penggolongan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang terlihat dari klasifikasi upacara kematiannya. Jenis kematian tersebut terbagi atas dua karena memiliki perbedaan makna, yang pertama adalah upacara adat sebagai given, yang memiliki arti bahwa upacara kematian itu merupakan suatu kegiatan

(13)

Berikut ini adalah pembagian posisi kematian seseorang yang diatur dalam adat Batak:

a. Mate di Bortian, sebutan bagi anak yang meninggal dalam kandungan

ibunya. Kematian ini belum menadapatkan perlakuan adat. b. Mate Poso-poso adalah meninggal ketika masih bayi.

c. Mate Dakdanak adalah meninggal ketika masih anak-anak.

d. Mate Bulung adalah meninggal saat remaja.

e. Mate Ponggol adalah meninggal ketika sudah dewasa tapi belum

menikah).

f. Mate Mangkar, kematian jenis ini terbagi lima, yaitu:

1. Mate Matompas Tataring sebutan bagi Ibu yang telah berumah

tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

2. Mate Namatipul Ulu sebutan bagi Ayah yang telah berumah tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

3. Mate naso marpahompu dope, yaitu mati dengan belum memiliki

cucu.

4. Mate Punu, sebutan bagi orang yang hanya memiliki anak

perempuan.

5. Mate Pupur, sebutan bagi orang yang tidah mempunyai anak

laki-laki dan perempuan. (T.M. Sihombing, 1989)

(14)

seseorang berhasil memperoleh kedudukan dengan perjuangan dan usaha-usaha yang disengaja dilakukannya. Hal ini sama seperti apa yang ada dalam pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba, seseorang akan berusaha memiliki hagabeon, hamoraon, serta hasangapon, dan hal tersebut akan terlihat pada saat

dia mati. Jenis kematian yang menunjukkan prestise seseorang, yakni:

a. Mate Sari Matua, sebutan bagi seseorang yang sudah mempunyai

cucu dari anak laki-laki dan anak perempuannya. Tidak menjadi masalah apabila masih ada diantara anak-anaknya yang belum menikah.

b. Mate Sori Matua, sebutan bagi orang yang semua anaknya sudah

menikah dan memiliki cucu, namun sudah ada anaknya yang meninggal sebelum dia (tilaha)

c. Mate Saur Matua, sebutan bagi seseorang yang semua anaknya sudah

menikah dan telah mempunyai cucu. Seseorang dapat juga dikatakan Mate Saur Matua meskipun masih ada diantara anaknya yang belum

memiliki anak.

d. Mate Mauli Bulung, sebutan bagi seserorang semua anaknya sudah

menikah, memiliki cucu, serta nini dan nono. Dalam pelaksanaan upacara kematiannya, pihak keluarga harus mampu melaksankan pesta besar.

(15)

memiliki tanggungan lagi. Dalam upacara kematian tertinggi dalam masyarakat Batak Toba, biasanya akan di sembelih seekor kerbau yang menunjukkan tingginya status orang meninggal tersebut di dalam adat maupun kehidupan sosial dan ekonominya. Upacara ini biasanya disertai dengan alunan musik khas Batak yaitu Gondang, memberikan piso-piso (sejumlah uang ataupun kebau) kepada pihak hula-hula sebagai tanda penghormatan. Upacara kematian ini akan dilanjutkan dengan penguburan, dimana tempat penguburan ini terbagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan status dari orang mati. Seseorang yang mati dengan telah mencapai pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba berhak dikuburkan di dalam Tugu ataupun Tambak, sementara orang yang mati tanpa memiliki anak laki-laki tidak berhak dimasukkan ke dalam Tugu atau Tambak. Upacara adat yang berupa pesta dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur

karena diberikan umur panjang kepada orang yang mati Saur Matua dan Saur Mauli Bulung. Jenis kematian seperti ini pada umumnya diharapkan oleh suku

Batak Toba, karena akan menunjukkan sebuah kehormatan.

Adanya kecenderungan nilai prestise yang diperoleh dalam tingkatan kematian Saur Matua membuat banyak keluarga maupun kerabat dari orang mati menginginkan agar status dari orang yang mati tersebut dinaikkan dari Sari Matua menjadi Saur Matua meskipun secara adat istiadat dia masih berada dalam tahap Sari Matua dan Sori Matua. Hal seperti ini bisa saja terjadi pada keluarga yang

(16)

bisa saja terjadi, misalnya ketika orang tersebut mati dengan memiiki umur yang sangat panjang, terhormat di dalam masyarakat, serta memiliki status ekonomi tinggi, namun dia masih memiliki anak yang belum menikah. Keluarga dapat meminta kepada Raja-raja setempat (Hula-hula, Boru, dan Bius) agar status orang mati tersebut dinaikkan menjadi Mate Saur Matua. Permintaan ini dapat dikabulkan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya ataupun jabatan yang membuat dia disegani oleh masyarakat, serta faktor ekonomi ataupun kekayaannya. Sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang memilih untuk mempertahankan posisinya sesuai ketentuan adat yang ada, meskipun sudah ada persetujuan dari Raja-raja setempat dan masyarakat untuk menaikkan statusnya menjadi Saur matua, sebagai bentuk balas jasa atau penghormatan atas jasa-jasa yang pernah

dilakukannya. Adanya peluang bagi orang yang mati untuk dinaikkan statusnya kedalam tingakatan kematian ideal menjadi indikasi munculnya pergeseran adat istiadat yang yang sebelumnya di anggap baku dan harus ditaati mengalami perubahan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian yang terjadi pada masyarakat Etnis Batak Toba karena adanya nilai prestise?

(17)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian pada Etnis Batak Toba, karena adanya nilai prestise dan bagaimana masyarakat memaknai pergeseran tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi peneliti maupun bagi orang lain. Khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Untuk dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosial dan masyarakat yang membutuhkannya.

2. Manfaat praktis

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat dan Nilai Budaya

Budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena meliputi seluruh aspek hidup yang ada dalam diri individu berupa kemaampuan berpikir, bertindakdan berperilaku, serta dilaksanakan guna kelangsungan hidup bermasyarakat. (Widiastuti, 2013). Kebudayaan merupakan hasil dari suatu masyarakat, kebudayaan hanya akan bisa lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

2.1.1. Masyarakat Batak Toba dan Adat

Kehidupan adat masyarakat Batak Toba diatur dalam sistem hubungan sosial Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga terdapat hubungan sosial yang harmonis dan saling menghargai dan menghormati. Norma-norma tersebut wajib dilaksanakan orang orang Batak meskipun di berda di tanah rantau (Tano Parserahan).(Sianipar, 1991). Ada lima bentuk kehidupan sosial pada masyarakat Batak, yakni:

a. Kehidupan dalam adat

Dalam setiap kegiatan adat Batak, semua orang yang hadir dalam acara tersebut pasti memiliki kedudukan masing-masing. Keberadaan seseorang dalam adat, harus menunjukkan tanggung jawab karena dalam setiap kedudukan tersebut memiliki tugas dan kewajiban masing-masing.

(19)

2. Hula-hula (Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan).

3. Boru (Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan suhut).

b. Kehidupan dalam marga

Seorang Batak dapat menempatkan dirinya dalam masyarakat berdasarkan marga.

c. Kehidupan dalam huta

Punguan Parsahutaon atau sekarang yang lebih dikenal dengan STM (Serikat Tolong Menolong) berkewajiban meringankan dan membantu beban anggota STM tersebut dalam masalah adat atau bukan adat. STM menunjukkan bahwa seluruh masyarakat yang menjadi anggota dari kelompok tersebut merupakan sebuah keluarga besar yang harus saling tolong menolong.

d. Kehidupan dalam kebersamaan

(20)

Masyarakat Batak juga memiliki tiga nilai nilai budaya yang dijadikan sebagai tujuan hidup masyarakatnya. Setiap masyarakat Batak akan berusaha untuk mencapai ketiga nilai tersebut demi tercapainya kesempurnaan hidup.

a. Hagabeon, berarti bahagia dan sejahtera. Bagi masyarakat Batak kebagaiaan utama akan didapatkan pada saat memiliki anak laki-laki dan perempuan. Anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga. Sistem patrilinear yang berlaku pada masyarakat Batak membuat keberadaan anak laki-laki menjadi sangat penting dan dianggap sebagai anggota keluarga penuh. Sebaliknya anak perempuan akan menikah dan menjadi anggota keluarga dari pihak marga suaminya. Seseorang yang meninggal tanpa memiliki anak laki-laki dianggap kurang bermakna ataupun sempurna.

b. Hamoraon, berarti kekayaan yaitu kepemilikan harta yang berwujud

materi maupun non materi yang di peroleh melalui usaha sendiri ataupun dari warisan yang diterimanya. Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan hidup seorang Batak mensejahterakan kehidupan keluarganya.

c. Hasangapon, yang berarti kehormatan, dalam hal ini masyarakat akan berusaha meraih status sosial yang dianggap berpengaruh, misalnya menduduki posisi ataupun jabatan di pekerjaan, di lingkungan masyarakat, maupun di punguan-punguan yang diikuti.

2.1.2. Tradisi Upacara Kematian dalam Masyarakat Batak Toba

(21)

posisi kematian. Berikut ini adalah pembagian posisi kematian seseorang yang diatur dalam adat Batak:

a. Mate di Bortian, sebutan bagi anak yang meninggal dalam kandungan

ibunya. Kematian ini belum menadapatkan perlakuan adat. b. Mate Poso-poso adalah meninggal ketika masih bayi. c. Mate Dakdanak adalah meninggal ketika masih anak-anak. d. Mate Bulung adalah meninggal saat remaja.

e. Mate Ponggol adalah meninggal ketika sudah dewasa tapi belum

menikah).

f. Mate Mangkar, kematian jenis ini terbagi lima, yaitu:

1. Mate Matompas Tataring sebutan bagi Ibu yang telah berumah tangga

dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

2. Mate Namatipul Ulu sebutan bagi Ayah yang telah berumah tangga

dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

3. Mate naso marpahompu dope, yaitu mati dengan belum memiliki

cucu.

4. Mate Punu, sebutan bagi orang yang hanya memiliki anak perempuan.

5. Mate Pupur, sebutan bagi orang yang tidah mempunyai anak laki-laki dan perempuan. (T.M. Sihombing, 1989)

(22)

a. Sari Matua

Seorangtua meningal dunia disebut Sari Matua, apabila sudah mempunyai cucu dari anak laki-kali dan anak perempuannya. Tidak jadi masalah walaupun masih ada yang belum berumah tangga.

b. Saur Matua

Seorangtua meninggal disebut Saur Matua apabila sudah semua anaknya berumah tangga dan telah mempunyai cucu, tidak masalah apakah masih ada keluarga anakmya yang belum mempunyai anak.

b. Mauli Bulung

Seorangtua disebut Mauli Bulung, apabila orangtua itu sudah mempunyai nini dan nono, punya cucu, dan semua anak-anaknya sudah berumah tangga.

2.2. Nilai Prestise di dalam Masyarakat

(23)

Simbol yang dianggap memiliki nilai yang dihargai dalam suatu kelompok sosial tertentu akan digunakan sebagai dasar untuk membentuk stratifikasi sosial yang bersifat kumulatif (Doddy Sumbodo,2011).

Masalah kehormatan sifatnya relatif. Dalam arti bahwa kehormatan harus kita kaitkan dengan suatu kebudayaan atau sistem sosial tertentu. Weber (dalam Kamanto, 2000) mengatakan bahwa gaya hidup berarti persamaan status kehormatan yang di tandai dengan konsumsi terhadap simbol-simbol gaya hidup yang sama. Sebuah kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan semua adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.

2.3. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik menunjuk pada sikap khas dari interaksi antar manusia. artinya manusia saling menerjemahkan dan mendefenisikan tindakannya baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Proses interaksi yang terbentuk melibatkan simbol-simbol, bahasa, ketentuan adat istiadat, agama dan pandangan-pandangan lain.

(24)

Interaksionisme simbolik digunakan untuk menjelaskan suatu tindakan bersama, pada saatnya nanti akan membentuk struktur sosial atau kelompok-kelompok melalui interaksi yang khas. Menurut Soeprapto (dalam Dadi Ahmad, 2008), teori ini mengasumsikan bahwa individu-individu melaui aksi dan interaksinya yang komunikatif, dengan menggunakan simbol-simbol bahasa serta isyarat lainnya yang akan mengonstruk masyarakatnya.

Menurut Herbert Blumer (Poloma, 2010) interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial dengan orang lain.

3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Menurut Blumer (Poloma, 2010) Interaksionisme simbolis yang diketengahkan mengandung sejumlah ide-ide dasar, yang dapat diringkas sebagai berikut:

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan-kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.

(25)

3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (b) obyek sosial seperti ibu, guru, menteri, atau teman; dan (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan

4. Manusia hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretasi yang dibuat oleh manusia itu sendiri

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, hal ini yang disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia. Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut oleh para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”

2.4. Defenisi Konsep

(26)

1. Prestise

Prestise adalah wibawa yang berkenaan dengan prestasi atau kemampuan seseorang (KBBI). Prestise dalam hal ini adalah suatu kebanggaan ataupun kehormatan yang diperoleh seseorang karena telah mencapai padangan hidup ideal dalam masyarakat suku Batak Toba yakni hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Prestise dapat juga diartikan sebagai

pengakuan sosial terhadap kedudukan tertentu, tingkat tertentu pada posisi-posisi yang dihormati.

2. Kebudayaan

Menurut E.B. Taylor dalam Soerjono Soekanto (2012), Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

3. Upacara Kematian Suku Batak Toba

Upacara merupakan rangkaian atau kegiatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara juga dapat diartikan sebagai perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting. Upacara kematian suku Batak Toba adalah ritual yang diberlakukan kepada seseorang yang telah meninggal berdasarkan umur dan statusnya.

4. Dalihan Na Tolu

Dalihan na tolu adalah sistem hubungan sosial yang terdapat pada

(27)

a. Somba marhula-hula

Hormat pada kelompok ataupun keluarga marga pihak istri.

b. Manat mardongan tubu

Menjaga hubungan baik dengan kelompok ataupun orang-orang yang semarga.

c. Elek marboru

Menjaga hubungan baik dengan kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan.

5. Suhut

Orang yang melaksanakan satu olaon dan bertanggung jawab atas ulaon tersebut.

6. Hula-hula

Mertua dari Suhut, atau dapat juga diartikan sebagi kelompok atau keluarga dan marga dari pihak istri.

7. Boru

Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan.

8. Piso-piso

Berupa uang ataupun kerbau yang diberikan kepada hula-hula sebagai tanda penghormatan.

9. Bius

(28)

10. Tilahaon

Kondisi seseorang apabila anaknya meninggal.

11. Punguan

Kumpulan atau kelompok masyarakat berdasarkan, marga, tempat tiggal, ataupun pekerjaan.

12. Soit

Bagian dari daging yang diberikan kepada hula-hula sebagai tanda penghormatan karena telah di berikan ulos.

13. Dongan Sahuta

Orang-orang yang tinggal dalam satu wilayah adat atau sekarang serinng disebut dengan STM (Serikat Tolong Menolong)

14. Tugu atau Tambak

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti itu sendiri. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady, 2009)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tarutung, Tapanuli Utara. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut adalah:

1. Tarutung atau yang lebih dikenal dengan Silindung merupakan salah satu tempat yang menjadi daerah asal marga-marga yang ada dalam Suku Batak Toba yaitu Si Opat Pusoran.

2. Tarutung merupakan salah satu wilayah dimana mayoritas masyarakatnya adalah suku Batak Toba yang masih mempertahankan adat istiadat khususnya upacara kematian.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

(30)

2006). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah tokoh adat dan masyarakat suku Batak Toba yang pernah terlibat dalam upacara kematian Suku Batak Toba.

3.3.2. Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Informan yang dianggap sebagai orang yang menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Penentuan informan kunci ini dilakukan dengan teknik snow ball, yaitu informan berikutnya ditentukan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari informan sebelumnya yang dapat lebih menunjang tujuan penelitian yang bersangkutan.

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

c. Tokoh adat (Parhata) yang menguasai adat dalam suku Batak Toba. Alasan peneliti memilih Parhata sebagai informan karena merupakan orang yang mengatur tata cara berlangsungnya upacara adat pada masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan adalalah Parhata yang merupakan anggota dari Lembaga Dalihan Na Tolu Kabupaten Tapanuli Utara dan Parhata dari Parsadaan-parsadaan marga yang ada di Tarutung.

(31)

Mate Saur Matua, serta masyarakat yang pernah terlibat dalam upacara kematian orang yang di naikan statusnya di Sari Matua ke Saur Matua.

3.4. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian dilapangan, maka diperlukan adanya alat pengumpulan data. Dalam proses pengumpulan data dan informasi, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data agar seseuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peneliti dalam mengolah data dan informasi yang diperoleh dilapangan. Data dalam sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder.

3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: a. Observasi

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada saat penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jelas kondisi ataupun situasi suatu objek penelitian. Adapun yang yang menjadi bahan observasi dalam penelitian ini adalah pengamatan langsung kepada masyarakat suku Batak Toba yang menerapkan tradisi upacara kematian di Kecamatan Tarutung.

b. Wawancara Mendalam

(32)

Melalui wawancara, peneliti akan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam fenomena yang terjadi, dimana hal itu tidak bisa ditemukan hanya dengan teknik observasi. Dalam hal ini peneliti akan mewawancarai tokoh-tohoh adat (parhata) dan masyarakat Suku Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Data ini sebagai salah satu aspek pendukung keabsahan suatu penelitian. Data sekunder dapat berupa sumber ataupun referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam poenelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku, referensi, majalah, jurnal, maupun bahan dari situs-situs internet dan hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

(33)

diinterpretasikan secara kualitatif. Interpretasi data merupakan proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan apa yang terjadi dilapangan. 3.6. Keterbatasan Penelitian

(34)

BAB IV

DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA

4.1. Deskripsi Lokasi

4.1.1. Sejarah Silindung

Silindung pada awalnya adalah daerah yang dihuni oleh Guru Mangaloksa Hasibuan yang datang merantau dan akhirnya menikah dengan yang boru Pasaribu. Mereka memiliki keturunan yang kemudian memakai nama anak-anaknya tersebut menjadi marga-marga baru yang sampai saat ini menjadi marga asli dari daerah Silindung. Marga-marga tersebut antara lain adalah Hutagalung, Hutabarat, Hutatoruan, Lumbantobing, dan Panggabean. Mereka dikenal dengan sebutan “ Si Opat Pusoran”. Saat ini masyarakat yang bermukim dalam kawasan

Silindung sudah lebih bervariasi karena banyaknya perantau yang datang untuk bekerja ke daerah tersebut.

Masyarakat Silindung sampai saat ini masih mempertahankan adat istiadat yang berlaku dalam kebudayaan Batak, terlihat dengan banyaknya kumpulan-kumpulan marga Batak. Masyarakat beranggapan bahwa mengikuti kegiatan-kegiatan adat adalah sebuah kewajiban.

(35)

di daerah Silindung, belum tentu di daerah lain menjalankan hal yang sama.

(36)
(37)

melakukan aktivitasnya di dekat tangsi yang tentu saja menguntungkan para militer Belanda dan keluarganya yang tinggal di kawasan tangsi tersebut. Kawasan itu resmi menjadi pusat perdagangan, dan Belanda menanam sebuah pohon durian (Tarutung) pada tahun 1877. Setelah sekitar 60 tahun lamanya maka dibukalah kembali kegiatan pasar tradisional dibawah pohon durian tersebut yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang disebut dengan Kota Tarutung.

4.1.2. Keadaan Geografis

Secara geografis Kecamatan Tarutung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pahae Julu, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita dan Kecamatan Sipahutar. Secara astronomis, Kecamatan Tarutung sendiri berada pada posisi 010 54” – 020 07” Lintang Utara dan 980 52” – 990 04” Bujur Timur.

4.1.3. Luas Wilayah

Kecamatan Tarutung sendiri berada pada ketinggian 900 s/d 1.200 meter di atas permukaan laut serta memiliki luas 107,68 Km2. Kecamatan ini meliputi 24 Desa dan 7 Kelurahan.

4.1.4. Jumlah Penduduk

(38)

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2015

(39)

20.065 berjenis kelamin laki-laki dan 21.079 yang berjenis kelamin perempuan.

4.1.5. Mata Pencaharian penduduk

Kecamatan Tarutung memiliki penduduk yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian. Selanjutnya adapula masyarakat yang bekerja padasektor lainnya, seperti PNS, Guru, dan Wiraswasta. Selengkapnya dapat dilihat pda tabel berikut:

Tabel 4.2.Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah

1 Petani 11846

2 PNS 163

3 Guru 888

5 Wiraswasta 1042

Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2014

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan tarutung bermata pencaraharian sebagai petani yakni 11848 orang, 163 berprofesi sebagai PNS, 888 sebagai guru, dan sebanyak 1042 orang adalah Wiraswasta.

4.1.6. Sarana dan Prasara

(40)

Tabel 4.3.Jumlah Sarana Pendidikan Kecamatan Tarutung

No Sekolah Negeri Swasta Jumlah

1 TK 2 8 10

2 SD 34 6 40

3 SMP 6 1 7

4 SMA 3 4 7

5 SMK 0 2 2

6 Universitas 1 0 1

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara

Tabel diatas menunjukkan bahwa TK yang ada di Kecamatan Tarutung berjumlah 10 sekolah yakni, 2 Negeri dan 8 Swasta. Ada sebanyak 40 Sekolah SD yang terdiri dari 34 SD Negeri dan 6 SD Swasta. Pada tingkat SMP ada 7 sekolah yang terdiri dari 6 Negeri dan 1 Swasta.Selanjutnya SMA berjumlah 7 sekolah yakni, 3 SMA Negeri dan 1 SMA SWASTA. Sekolah SMK diri dari 2 SMK Swasta. Pada tingkat Perguruan tinggi ada sebuah Universitas.

(41)

Tabel 4.4. Jumlah Sarana Peribadatan Kecamatan Tarutung

No Rumah Ibadah Jumlah

1 Masjid 3

2 Langgar/ Musollah 2

3 Gereja Katolik 2

4 Gareja Protestan 85

Total 92

Sumber: BPS Tapanuli Utara 2014

4.1.7. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tarutung

Tarutung yang dikenal sebagai salah satu daerah asal marga yang ada pada masyarakat BatakToba, yakni Si Opat pusoran yang terdiri dari marga Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutapea, dan Lumban Tobing. Kegiatan adat merupakan bagian penting dalam keseharian masyarakat Tarutung. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat menghadiri setiap kegiatan adat yang melibatkan dirinya. Padaawalnya, upacara adat yang berlaku pada seluruh masyarakat Batak Toba adalah sama, namun seiring perkembangan zaman, muncul perbedaan pelaksanaan adat pada masih masing daerah Batak, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.

Adapun tahapan-tapan tahapan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan etnis Batak Toba, yaitu:

1. Pasahat Ulos Tondi

(42)

2. Manaruhon Aek Ni Utte

Kegiatan ini dilakukan setelah si anak lahir, hal ini berutujuan agar si ibu dan anak selalu sehat, asinya lancar, dan darahnya u bersih.

3. Pemberian nama (Mangalap Goar)

Bagi masyarakat yang beragama Kristen acara ini disebut dengan Tardidi, dan untuk masyarakan yang beragama Islam, disebut dengan Aqiqah atau mengayun anak.

4. Malua

5. Marunjuk (Pernikahan)

6. Upacara Kematian

Di wilayah Tapanuli Utara, dibentuk sebuah lembaga yang musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. Lembaga ini disebut dengan LADN (Lembaga Adat Dalihan Na Tolu). Lembaga tersebut beranggotakan parhata-parhata dari berbagai marga. Lembaga ini bertugas melaksanakan kegiatan dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebuadayaan daerah, yakni adat istiadat. Beberapa tradisi dalam masyarakat Batak yang masih dipertahankan hingga pada saat ini, antara lain:

(43)

2. Apabila ada ternak mati, maka akan disembelih oleh masyarakat setempat. Daging akan dibagi rata kepada seluruh warga yang turut berpartisiapasi dalam kegiatan tersebut. Setiap masyarakat yang mendapatkan daging akan dikenakan biaya.

3. Marsihiol-sihol, apabila seseorang yang kembali dari tanah

perantauan, haruslah membawa makanan (mamboan sipanganon), dan mengajak tetannga di sekitar rumah untuk makan bersama.

4.2. Profil Informan

Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak sepuluh orang, dimana informan tersebut dianggap memahami bagaimana pelaksanaan upacara kematian pada adat Batak.

1. P. Lumban Gaol (Lk, 57 tahun)

P. Lumban Gaol merupakan salah seorang parhata dari Punguan PATOMBOR (Parsadaan Toga Marbun Boru Bere/ Ibebere) dan PORLUGABE (Pomparan Lumban Gaol Boru, Bere) kota Tarutung. Ayah dari seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki ini juga merupakan seorang Sintua di HKBP Huta Gur-Gur. Informan mengaku sering terlibat dalam ulaon-ulaon adat Saur Matua baik sebagai Hasuhuton, Parhata, maupun hanya sebagai hadirin yang ada di wilayah

(44)

pola pikir masyarakat Batak yang sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan Batak.

2. Manganar Togatorop (Lk, 71 tahun)

Pria yang sekarang menjabat sebaga Ketua Umum PATOGAB (Punguan Togatorop Boru, Bere) Rura Siliindung ini merupakan ayah dari lima orang anak dan 6 orang cucu. Informan bukan merupakan penduduk asli Silindung melaikan perantau dari luar daerah. Mereka tinggal di Tarutung karena ditugaskan untuk bekerja di Bank BRI Cabang Tarutung. Komplek tempat mereka tinggal sebagian besar penduduknya adalah pendatang, mereka membentuk STM yang sampai saat ini mempertahankan pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat Batak Toba yang berlaku didaerah Silindung. Mereka tidak mempunyai Parrajaon/Raja Huta atau yang sering disebut dengan Raja Bius karena mereka adalah

pendatang. Saat ini informan hanya tinggal berdua dengan istrinya Boru Sitompul yang merupakan seorang pensiunan guru. Setelah pesiun informan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan adat dan aktif di Gereja. Orang tua dari informan dulu dinyatakan meninggal pada posisi Saur Matua, meskipun masih ada anaknya yang belum menikah. Pihak keluarga tahu bahwa sebenarnya orangtuanya masih berada pada posisi Sari Matua. Dalam pelaksanaan Tonggo Raja informan dan pihak keluarga yang lain mengajukan permohonan agar Raja-Raja Bius dan peserta Tonggo Raja yang lain bersedia menaikkannya

(45)

menyebutkan bahwa selain kerap kali mengahadiri upacara Saur Matua, keluarganya pun melakukan upacara tersebut.

3. Parulian Lumban Tobing (Lk, 57 tahun)

Informan ini merupakan seorang salah satu penduduk asli dari Desa Aek siansimun, Tarutung yang lazim disebut dengan Raja Huta. Untuk daerah tempat tinggalnya ini mengaku sudah banyak perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Kalau untuk sekarang ini sudah jarang ditemui orang yang benar-benar mati dalam posisi Saur Matua ataupun Mauli Bulung. Perubahan ini terjadi karena adanya anggapan syarat-syarat yang dibuat sebagai acuan agar seseorang dikatakan Saur Matua untuk sekarang sudah sangat sulit untuk dipenuhi. Segala kekurangan tersebut sudah dapat ditutupi dengan ukuran Hasangapon seseorang.

4. Drs. Ebsan Sinaga (Lk, 77 tahun)

(46)

disekitarnya. Apabila hubungan telah terjalin dengan baik akan terbuka kemungkinan permohonan penaikan status kematian dapat dinaikkan menjadi Saur Matua. Pada intinya dalam kehidupan bermasyarakat yang paling penting adalah kebersamaan dan saling menghormati, maka masing-masing individu harus menjaga etikanya.

5. Hulman P. Sinambela (Lk, 54 tahun)

Informan berikut bertempat tinggal di Desa Parbubu Pea Tarutung. Menurut pengakuannya, informan merupakan salah seorang tokoh adat yang sering di jadikan sebagai narasumber oleh peneliti maupun mahasiswa yang melakukan penelitian tentang budaya Batak, karena dianggap memberikan jawaban yang sesuai untuk memecahkan masalah-masalah yang ditanyakan oleh sipeneliti. Untuk sekarang ini selain sebagai Guru informan juga merangkap sebagai Parhata dari Punguan marga Sinambela dan juga Sintua di Gerejanya. Dalam Ulaon Saur Matua sendiri, informan pernah menjadi Boru dalam upacara kematian mertuanya. Mereka selaku keluarga menginginkan status kematian mertuanya tersebut adalah Saur Matua. Karena dianggap sebagai seseorang yang yang dituakan dalam lingkungannya, maka permohonan tersebut dikabulkan oleh Bius.

6. Belman Panjaitan (Lk, 44 tahun)

(47)

membenarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara Saur matua, misalnya waktu waktu pelaksanaan yang sekarang lebih dipersingkat. Agama-agama yang dianut oleh masyarakat Batak juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut

7. Saut Hutabarat (Lk, 67 tahun)

(48)

8. R D Sianturi (Lk, 58 tahun)

Pria yang pada tahun ini genap berusia 58 tahun ini sehari-harinya berprofesi sebagai wiraswasta bersama isterinya Boru Nainggolan. Semenjak pensiun sebagai PNS di Kantor Bupati Tapanuli Utara informan memang lebih memilih untuk berusaha/ wiraswasta bersama isterinya yang telah terlebih dahulu menggeluti kegiatan tersebut. Kegiatan yang tidak sepadat ketika informan masih aktif bekerja membuat informan lebih leluasa mengikuti kegiatan-kegiatan adat yang sedang berlangsung di sekitarnya. Kegiatan-kegiatan adat yang diikuti oleh informan bukan hanya di seputaran daerah Silindung saja. Informan melihat bahwa memang benar adanya banyak perbedaan-perbedaan pelaksanaan upacara adat pada daerah-daerah Batak.

Untuk Ulaon Saur Matua sendiri informan mengatakan bahwa dalam kasus penaikan status kematian seseorang menjadi Saur Matua sudah menjadi hal yang biasa di daerah Silindung. Hal seperti ini bisa terjadi apabila sudah ada kesepakatan dari penatua-penatua pada hari pelaksanaan Tonggo raja dengan aturan-aturan tertentu yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar.

9. Rusmina Lumban Gaol (Pr, 49 tahun)

(49)

Informan yang sejak awal banggapan bahawa kegiatan-kegiatan adat sangat penting untuk diikuti, karena merupakan kewajiban sebagai seorang yang bersuku Batak Toba dan tinggal didaerah adat.

Informan melihat adanya beberapa perbedaan pelaksanaan adat yang terjadi didaerah tempat tinggal orang tuanya yang berada di daerah Toba dengan yang terjadi di Silindung. Hal ini yang membuat informan rajin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan adat. Informan aktif dalam kegiatan-kegiatan adat baik sebagai pelaksana, maupun hanya sebagai peserta. Pada tahun 2011 yang lalu Ibu dari informan meninggal pada usia 82 tahun di Tarutung. Secara adat kematian tersebut adalah Sori Matua karena sudah ada dua orang puteranya yang meninggal. Namun, yang terjadi pada saat pelaksaan upacaranya adalah Adat Na Gok, yakni adat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mati dalam posisi Saur Matua dan Mauli Bulung. Posisi tersebut akhirnya disetujui menjadi Saur Matua karena dalam Tonggo Raja disebutkan bahwa umurnya sudah panjang, semasa hidup dikenal memiliki pergaulan yang baik dan sudah memiliki banyak keturunan.

10. Marnaek Hutasoit (Lk, 72 tahun)

(50)

informan mengaku tidak pernah meninggalkan kegiatan-kegiatan adat. Memgingat bahwa pria ini juga merupakan salah satu parhata dari Punguan Marga Huta Soit.

Marnaek juga salah satu informan yang sepakat bahwa ulaon Saur Matua merupakan sebuah adat yang wajib dilaksanakan oleh seluruh

masyarakat Batak, karena ini merupakan agar hutang-hutang adat selama dia hidup dapat dibayarkan.

Matriks 4.1. Informan berdasarkan Nama, Jenis Kelamin, Suku, Usia, Pekerjaan dan Agama

71 Pensiunan Prorestan Komp. Aek

Ristop

57 Wiraswasta Protestan Aek

Siansimun

Protestan Partali Julu

(51)

4.4. Interpretasi Data

4.4.1. Tingkatan Kematian Bagi Masyarakat Batak Toba

Masyarakat menglaklasifikasikan kematian ke dalam beberapa tingkatan, berdasarkan umur dan status orang yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena setiap kematian memiliki upacara kematian tersendiri. 4.4.1.1.Kematian pada Orang-orang yang Belum Menikah

Pada tahapan ini, ada beberapa jenis kematian, yakni Mate Poso-poso (meninggal pada saat masih bayi), Mate Dakdanak (meninggal pada

usia anak-anak), Mate Bulung (meninggal pada usia remaja), dan Mate Ponggol ( meninggal pada usia dewasa namun belum menikah).

Jenis-jenis kematian seperti ini dianggap belum terlalu mendapatkan perlakuan adat lengkap seperti halnya pada kematian Sari Matua, Saur Matua, dan Mauli Bulung. hanya akan diberikan ulos saput (kain pembalut jenazah).

Seperti yang dikatakan oleh Informan yang bernama Parulian (57): ...”ianggo tu na mate poso-poso sahat tu na mate Ponggol, manang angka na so marhasohotan dope, ndang bianaen dope adat ni on, holan ulos saput na dilehon. Molo baua ibana, tulangna mamambahen, molo boru-boru do natoras manang ibotona ma na mambahen. Baru angka hata songon ucapan turut berduka cita ma sian angka na ro. On biasana dibahen dalam bentuk partangianan do.” (untuk jenis kematian Mate Poso-poso sampai Mate Ponggol, ataupun bagi orang-orang yang belum berumah tangga, belum dibuat adat, hanaya akan diberikan ulos saput. Kalau dia laki-laki, tulangnya yang akan memberikan, kalau dia perempuan orang tua atau saudara laki-lakinya yang memberikan. Lalu dilanjutkan dengan ucapan-ucapan turut berduka cita oleh orang-orang yang datang. Hal ini biasanya dilaksanakan dalam bentuk partangiangan).

(52)

dengan pemberian ulos saput yang diberikan oleh pihak-pihak yang dianggap berhak menurut ketentuan adat. Apabila yang mati adalah laki-laki yang akan menyampaikan ulos saput tersebut adalah pihak tulang ataupun saudara laki-laki dari ibunya, ataupun orang-orang yang semarga dengan ibunya. Selanjutnya, ketika yang mati adalah perempuan yang ulos tersebut akan diberikan oleh orangtua atau saudara laki-lakinya.

4.4.1.2.Kematian pada Orang-orang yang Sudah Menikah

Jenis-jenis kematian seperti ini sering disebut dengan Mate Mangkar, yang terdiri dari Matompas Tataring (perempuan atau isteri yang mati dengan meningalkan anak laki-laki dan perempuan),Matipul Ulu (laki-laki atau suami yang mati dengan eninggalkan anak laki-laki dan

perempuan), Punu (orang yang mati dengan memiliki anak perempuan saja), hingga Mate Pupur(orang yang mati tapi belum memiliki anak) sudah mendapat perlakuan adat sebagaimana yang diatur oleh masing-masing daerah. Untuk jenis kematian seperti ini yang sembelih adalah Simarmiak-miak (babi) dan memberi makan orang-orang yang datang pada

upacara tersebut. Berikut tahapan upacara kematian yang berlaku di daerah Silindung berdasarkan hasil wawancara dengan informan Manganar (71), yang mengatakan bahwa:

(53)

Bona Tulang, Tulang, Hula-hula na marhamaranggi, dohot Hula-hula Pangalapan Boru. Dung sae sude mandok hata di lanjuthon ma tu acara penguburan. Sidung sian udean lanjut ma muse Mangungkap Tujung ni na mabalu.” (acara di rumah adalah Tonggo Raja, memasukkan jenazah ke peti, pemberian ulos saput. Kalau yang meninggal laki-laki yang memberikan ulos adalah tulangnya, kalau perempuan, hula-hulanya lah yang memberikan ulos tersebut. Memberika ulos tujun kepada isteri atau suami orang yang meninggal. Kalau yang meninggal adalah suami hula-hula isteri yang memberikan. Kalau isteri yang meninggal, tulang dari suamilah yang akan menyampaikan ulos tersebut. Acara di halaman, Hata huhuasi dari pihak Hasuhuton, mandok hata dari Panambol dan Pamultak, mandok hata dari Ale-ale. Lalu mandok hata dari Hula-hula. Yang termasuk kedalam pihak hula-hula adalah Bona Ni Ari, Bona Tulang, Tulang, Hula-hula Na Marhamaranggi. Setelah semua selesai dilakukan acara penguburan. Setelah pulang dari kuburan dilanjutkan dengan Mangungkap Tujung dari isteri ataupun suami dari orang yang meninggal).

Acara di dalam Rumah

a. Tonggo Raja atau sering disebut dengan Pangarapotan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang Raja-raja Bius, Hula-hula, Dongan Tubu, Boru, Raja Huta, dan Dongan Sahuta, guna membicarakan

bagaimana pelaksanaan upacara yang akan dilakukan nantinya. Tidak ada ketentuan yang mengatur kapan ataupun pada hari keberapa kegiatan ini diakukan. Selama semua pihak yang diundang bersedia memiliki waktu untuk menghadiri, pada saat itulah Tonggo Raja dilakukan.

b. Pamasuk tu Jabu-jabu, sering disebut dengan mompo yaitu

(54)

c. Pasahat Ulos Saput, sama seperti yang dilakukan pada upacara kematian sebelumnya, Ulos Saput akan disampaikan oleh Tulang apabila yang mati adalah laki-laki, dan akan diberikan oleh Hula-hula ketika yang mati adalah perempuan.

d. Pasahat Tujung, yakni pemberian ulos kepada suami atau isteri yang

orang yang mati dan dipakaikan seperti kerudung, sebagai tanda bahwa orang tersebut dalam keadaan berduka. Ulos ini akan diberikan oleh pihak parboru ataupun keluarga dari perempuan apabila yang mati adalah laki-laki. Apabila yang mati adalah perempuan, maka yang memberikan ulos tersebut adalah pihak Tulang.

Acara di Halaman

a. Hata Huhuasi (sebagai kata pembukaan yang disampaikan oleh pihak

hasuhuton ataupun penyelenggara upaca tersebut).

b. Mandok hata sian Panambol dan Pamultak, yakni ucapan-ucapan

duka cita dari pihak dongan tubu (orang-orang yang semarga) dan saudara-saudara terdekat.

c. Mandok Hata sian Ale-ale, yang meliputi kata-kata penghibuaran

ataupun ucapan turut berduka cita yang disampaikan oleh teman-teman dan dongan sahuta.

(55)

saudara-saudara orang yang meninggal) dan Hula-hula Pangalapan Boru (pihak mertua dari orang yang meninggal).

e. Acara Penguburan, dilakaukan berdasarkan tatacara Agama.

f. Mangungkap Tujung, yaitu acara pembukaan ulos Tujung yang

dilakukan oleh puhak hula-hula (ayah atau saudara laki-lakinya). 4.4.1.3. Kematian pada Orang Tua

Pada masyarakat Batak kematian oang tua dibagi menjadi beberapa tingkatan kematian, yaitu Sari Matua (orang tua yang meninggal dan belum menikahkan semua anaknya ,tetapi sudah mempunyai cucu), Saur Matua (orang tua yang meninggal dan telah menikahkan semua anaknya,

dan sudah memiliki cucu), dan Mauli Bulung (orang tua yang meninggal,l sudah menikahkan semua anaknya, memiliki cucu dan cicit). Pada pelaksanaan ulaon adat Sari Matua, Saur Matua, dan Mauli Bulung adalah sama (Sianipar, 1991). Hal ini dibenarkan oleh informan Manganar Togatorop (71):

(56)

piso-piso na.” (setelah orangtua tersebut meninggal, dilaksanakanlah Tonggo Raja, lalu malam sebelum acara penguburan ataupun paginya, dilakukan mompo, yakni memansukkan jenazah kedalam peti mati. Yang hadir pada saat itu adalah Hula-hula, Tulang, Dongan Tubu, Natua-tua ni huta, Dongan Sahuta, Boru dan Hasuhuton. Lalu diberikanlah Ulos Saput dan Ulos Sampe tua. Selanjutnya adalah acara dihalaman yang diawali dengan hata huhuasi dari pihak Hasuhuton, lalu mandok hata dari Panambol dan Pamultak dan Ale-ale. Selanjutnya mandok hata dari pihak Hula-hula, yakni Bona ni Ari, Bona Tulang, Hula-hula na marhamaranggi, Hula-hula Pangalapan Boru. Kalau untuk yang Saur Matua dan Mauli Bulung ada tambahan Hula-hula yaitu Hula-hula ni anak dan Hula-hula ni Pahompu.)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas, bahwa susunan acara pada saat pelaksanaan Upacara Kematian Sari Matua, Sari Matua, dan Mauli Bulung adalah sebagai berikut:

Acara di Rumah

a. Tonggo Raja /Pangarapotan. Kegiatan ini dilakukan dengan

mengundang Raja-raja Bius, Hula-hula, Dongan Tubu, Boru, Raja Huta, dan Dongan Sahuta, guna membicarakan bagaimana

pelaksanaan upacara yang akan dilakukan nantinya. Disini akan disepakati dalam posisi manakah orang tersebut apakah Sari Matua, Sori Matua, Saur Matua, atau Mauli Bulung. Akan di bicarakan pula

apakah keluarga menyediakan sigagat duhut (kerbau) sebagai tanda dilaksanakan adat na gok dan kapan acara makan bersama akan dilakukan. Untuk daerah Silindung sendiri adat Na Gok hanya akan

(57)

b. Pamasuk tu Jabu-jabu / mompo, yang dihadiri oleh pihak Hula-hula, Tulang, Dongan tubu, Natua-tua Ni Huta, Dongan Sahuta, Boru, dan

Hasuhuton

c. Pasahat Ulos Saput

d. Pasahat ulos Sampe Tua dan Ulos Gabe , yakni ulos yang diberikan

oleh Hula-hula kepada suami atau isteri dari orang yang meninggal. Acara di Halaman

a. Hata Huhuasi (sebagai kata pembukaan yang disampaikan oleh pihak

hasuhuton ataupun penyelenggara upaca tersebut).

b. Mandok hata sian Panambol dan Pamultak, yakni ucapan-ucapan

duka cita dari pihak dongan tubu (orang-orang yang semarga) dan saudara-saudara terdekat.

c. Mandok Hata sian Ale-ale, yang meliputi kata-kata penghibuaran

ataupun ucapan turut berduka cita yang disampaikan oleh teman-teman dan dongan sahuta.

d. Mandok Hata sian Hula-hula, yang terdiri dari (1) Bona Ni ari, yakni pihak ompung dari ayah orang yang meninggal), (2) Bona Tulang, yakni pihak Tulang dari ayah orang yang meninggal,(3) Tulang, (4) Hula-hula Namarhamaranggi, yakni pihak perempuan dari semua

marga isteri dari saudara-saudara orang yang meninggal, (5) Hula-hula Pangalapan Boru, yakni pihak mertua dari orang yang

(58)

Hula-hula Ni Pahompu, yakni pihak marga isteri dari cucu orang yang

meninggal. Acara ini disertai dengan pembagian Jambar Mangihut, yaitu jambar yang akan diberikan kepada masing-masing Hula-hula yang telah selesai mandok hata.

e. Acara Penguburan, dilakaukan berdasarkan tatacara Agama.

f. Mandabu Jambar, yaitu pembagian jambar yang akan diberikan

kepada pihak-pihak yang telah disepakati pada saat Tonggo Raja, antara lain kepada Boru, Dongan Tubu,Hula-hula dan Tulang, serta untuk pihak Hasuhuton sendiri.

g. Panangkok Hula-hula, yaitu membawa pihak Hula-hula masuk ke

dalam rumah untuk diberikan Piso-piso, yakni berupa sejumlah uang ataupun kerbau yang diberikan kepada pihak Hula-hula sebagai tanda penghormatan.

Dari kedua tata cara pelaksanaan upacara kematian yang berlaku pada masyarakat di daerah Silindung tersebut, menunjukkan bahwa prestise seseorang yang meninggal memang benar adanya akan terlihat pada saat dia mati dalam posisi Saur Matua. Apabila pada tahapan kematian Mate Matompas Tataring, Matipul Ulu, Na so marpahompu, Punu, Pupur dan Sari Matua pada umumnya yang disembelih adalah

seekor babi, maka pada pada upacara Saur Matua dan Mauli Bulung yang disembelih adalah kerbau. Lain hal seseorang yang mati dalam posisi Sari Matua ataupun Sori Matua, namun keluarga dirasa sanggup menyediakan

(59)

...”boi do tong horbo di bahen na mate Sari Matua,dang sai totop simarmiak-miak, molo sanggup do ianakhon manang keluargana patupahon i. Alai Na Sari Matua do tong goarana ndang gabe Saur Matua”(bisa saja kerbau digunakan pada upacara Sari Matua, tidak selalu menggunakan babi, selagi anak ataupun keluarganya sanggup menyediakannya. Tetapi ia akan tetap dikatakan Sari Matua bukan Saur Matua).

Wawancara diatas menunjukkan bahwa meskipun pada saat upacara kematian seseorang yang berada pada posisi Sari Matua ataupun Sori Matua disembelih seekor kerbau, tidak akan merubah statusnya

menjadi Saur Matua karena bukan merupakan Adat Na Gok. Dalam kegiatan adat seperti ini biasanya akan dilakukan makan bersama yang dilanjutkan dengan penyerahan tumpak (sejumlah uang sebagai tanda duka cita) oleh orang-orang yang hadir dalam acara tersebut. Waktu pelaksanaanya disepakati pada saat Tonggo Raja. Berikut petikan wawancara dengan Ebsan (77):

(60)

memberikan mereka uang. Karena acara tersebut dianggap sebagai acara suka cita. Dikatakan Mauli Bulung apabila pihak keluarga dinyatakan sanggup untuk membiayai semua hal yang berkaitan dengan acara tersebut, mereka tidak boleh mengharapkan uang dari orang-orang yang hadir. Pernah ada yang meninggal di kampung kami, sudah tua sekali. Anaknya menginginkan agar orangtua tersebut harus berada pada posisi Mauli Bulung. Saya bertanya, apakah mereka siap tidak menerima tumpak? Karena kalau Mauli Bulung hanya ada jalang horas. Dia menjawab dengan cepat, Saur Matua sajalah).”

Hal senada juga diucapkan oleh Informan Manganar (71):

...” dung sae marsipanganon, pasahat tumpak ma angka na ro. Anggo na Mauli Bulung, ndang adong be istilah tumpak i, jalang horas ma panggantina. Dang hepeng be ni lean. Karena ulaon itu bukan acara kesedihan lagi. Sudah suka cita ala na monding i nga sonang be, dang adong be sitanggungonna jala gabe. Ndang adong be hurangna.” (setelah selesai makan bersama, orang-orang yang datang akan memberikan tumpak beruapa uang. Kalau yang Mauli Bulung, tidak ada istilah tumpak, hanya ‘ada jalang horas. Karena acara itu bukan acara kesedihan lagi. Sudah suka cita karena yang meninggal sudah senang, tidak ada tanggungan, dan keturunannya lengkap.Tidak ada yang kurang).

Petikan wawancara dengan kedua informan diatas menunjukkan bahwa setiap orang yang menghadiri upacara kematian akan memberikan ataupun mengungkapkan rasa turut berduka yang disimbolkan dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak keluarga yang disebut dengan tumpak. Namun, pada tingkatan upacara kematian tertinggi yaitu Mauli

Bulung, tumpak ini tidak berlaku lagi. Orang-orang yang hadir pada saat

(61)

4.4.2. Makna Saur Matua Bagi Masyarakat Batak Toba

Pada dasarnya segala bentuk upacara-upacara peringatan apa pun yang digunakan masyarakat adalah simbolisme. Makna dan maksud upacara menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya. Dalam tradisi atau adat istiadat simbolisme sangat terlihat dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi ke generasi (Budiono Herusatoto, 2008: 48).

1. Sebagai Tradisi

Dalam teori interaksionisme simbolik dikatakan bahwa masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan-kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. Demikian pula dengan Batak, interaksi dari masyarakat diatur oleh apa yang disebut dengan Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga terdapat hubungan

sosial yang harmonis dan saling menghargai dan menghormati. Berjalan atau tidaknya norma-norma tersebut terwujud dalam kegiatan ataupun upacara-upacara adat.

(62)

pandangan hidup ideal Batak Toba, serta tetap menjalankan kegiatan-kegiatan adat tersebut. Berikut petikan wawancara dengan informan P.Lumban Gaol (57):

...”Biasa kita liat, kalo kita bilang sama orang, na so maradat doho, itu penghinaan yang luar biasa, tapi coba bilang na so mar agama do haroa ho, ah biasa do i.” (Bisa dilihat, apabila kita berkata pada seorang Batak “kamu tidak beradat” akan dianggap sebagai penghinaan yang luar biasa, tapi apabila kita mengatakan,”mungkin kamu tidak beragama” akan dianggap biasa saja).

Petikan wawancara diatas menunjukkan kedudukan adat sangatlah tinggi di mata masyarakat Batak, sehingga mengikuti kegiatan adat dianggap sebagi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap masyarakatnya.

Hulman(54) berpendapat bahwa:

...”Di tingki angka ulaon i do hita boi mangido tangiang tu hula-hula asa sai di pasu-pasu. Ai Debata nomor dua do Hula-Hula di halak Batak. Dilehon ma tangiang i marhite-hite ulos.Di angka ulaon do tong boi marpungu, marsipaberengan akka na markeluarga manag mardongan. Andigan be boi sahundulan iba dohot akkang niba, anggi niba, iboto niba, sude ma i tahe. Songon ho ma jo nuaeng, kan tu ulaon do ho ro manjumpangi au kan.”. (Pada pelaksanaan adat lah kita dapat memminta doa kepada Hula-Hula agar tetap diberkati. Karena orang Batak meyakini bahwa Hula-hula itu adalah Tuhan nomor dua. Berkat itu disimbolkan dengan pemberian ulos.Kegiatan -kegiatan adat seperti ini juga merupakan waktu yang tepat untuk kembali berkumpul dengan keluarga maupun teman. Kapan lagi ada kesempatan untuk duduk bersama dengan saudara-saudara.)

(63)

merupakan Tuhan nomor dua, sehingga dipercaya bahwa dengan doa dari Hula-hula keluarga tersebut akan senantiasa diberkati oleh Tuhan. Adat

gjuga dijadikan sebagai ajang pertemuan dengan sanak saudara maupun teman-teman.

2. Sebagai Sebuah Kewajiban

Dalam kehidupan masyarakat Batak harus memiliki rasa kebersamaan. Kebersamaan tersebut tampak pada setiap kegiatan yang dilakukannya, baik itu dalam pekerjaan, kegiatan adat, maupun ketika adanya musibah dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam kebersamaan tersebut tidak ada bantuan yang diberikan secara cuma-cuma, karena semua yang kita terima harus dibayar.

Berikut petikan wawancara dengan Hulman (54):

...”Masalah holi-holi binondut holi-hi utahon ma i, ala dung mansai sering natua-tua on manjalo jambar, manjalo soit sian akka donganna jadi wajib ikkon di bayar.” (itu masalah holi-holi binondut, holi-holi di utahon, karena semasa hidupnya dia sudah sering menerima jambar dan soit dari temannya, maka itu wajib dibayar”

Hal senada juga diungkapkan oleh Saut (64):

(64)

Dalam Batak ada istilah “holi-holi binondut, holi-holi ni utahon” yang dalam bahasa Indonesia, apa yang dimakan maka itu pula yang dimuntahkan. Istilah ini memiliki makna bahwa ketika seseorang selalu menghadiri upacara Saur Matua dan dia selalu mendapatkan soit dan jambar, maka itu dianggap hutang. Untuk membayar hutang ini pada saat

dia mati, keluarga wajib membagi soit dan jambar (Adat Na Gok) tersebut kepada hadirin. Upacara ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mati dalam posisi Saur Matua. Hal ini yang membuat banyaknya pihak keluarga yang meminta agar status dari orang yang mati tersebut menjadi Saur Matua, agar tidak menimbulkan hutang dikemudian hari. Dalam adat

Batak kedatangan para tamu yang sudah meluangkan waktunya untuk hadir pada upacara tersebut juga dianggap sebagai hutang. Maka apabila sewaktu-waktu ada salah satu dari hadirin tersebut melakukan upacara adat, adalah sebuah kewajiban untuk ikut serta dalam acara tersebut.

Penaikan status ini bisanya di setujui karena berbagai pertimbangan, dan yang paling utama adalah seseorang itu harus Sangap. Selama hidupnya dia haruslah memiliki kelakuan yang baik di mata masyarakat.

3. Sebagai Tanda Kehormatan / Prestise

(65)

memperoleh kedudukan dengan perjuangan dan usaha-usaha yang disengaja dilakukannya. Hal ini sama seperti apa yang ada dalam pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba, seseorang akan berusaha memiliki hagabeon, hamoraon, serta hasangapon, dan hal tersebut akan terlihat pada saat dia mati. Jenis kematian yang menunjukkan prestise seseorang, yakni, Mate sari Matua, Mate Sori Matua, Mate saur Matua, dan Mauli Bulung yang identik dengan pesta

besar.

Seorang yang bersuku Batak setidaknya menginginkan kematian dalam Posisi Saur Matua karena dianggap sudah berada pada tingkat kehidupan yang sempurna. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sempurna yaitu hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Hal ini dibenarkan oleh para informan informan Hulman(54), yang mengatakan bahwa:

...”Saur Matua na sejelsna ndang adong be na hurang di keluargana, dang adong na tilahaon, dang adong na pogos. I ma na ni dok na Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon. Boasa halak Batak sai marsitta sitta naeng ma nian ikkon Saur Matua di tingki monding.” (Saur Matua berarti tidak ada lagi yang kurang di dalam keluarganya, anaknya tidak ada yang meninggal dan tidak ada yang miskin. Hal ini lah yang dinamakan dengan Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. Mengapa orang Batak selalu bercita-cita dapat menduduki posisi Saur Matua. Karena pada Upaca itulah kita bisa meminta doa dan berkat kepada Hula-hula. Menurut kepercayaan orang Batak adalah Tuhan nomor dua. Doa dan berkat yang diberikan disimbolkan dengan ulos.)

Hal senada juga di sampaikan oleh informan Ebsan(77):

(66)

panjang, kelakuannua dapat ditiru, pergaulannya baik, ada harta, dan harus Sangap).

Kedua pernyataan diatas juga didukung oleh jawaban yang diberikan informan bernama Manganar(71):

...”Molo saur matua attong, udah marhasohotan semua anakanya, nga marpahompu, adong arta na, nga ganjjang umurnya jadi ulaon silas ni roha nama goarna. Ni dok i ala nga sikkop sude ningon ma tahe.”(kalau Saur Matua, anak-anaknya sudah berumah tangga, sudah memiliki cucu, ada harta kekayaan, umurnya sudah panjang, jadi dapat dikatakan acara seperti ini adalah acara suka cita. Dikatakan demikian karena kehidupannya dianggap sudah lengkap.)

Ketiga peryataan diatas dapat disimpulkan bahwa Saur Matua dianggap sebagai seseorang yang mati dengan telah mencapai apa yang dikatakan dengan hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Saur Matua adalah memiliki anak perempuan dan anak laki-laki, memiliki cucu, tidak ada diantara anaknya yang mati, memiliki kekayaan, dan memiliki perangai yang baik di keluarga ataupun di masyarakat. Kekayaan diperlukan karena untuk melaksanakan upacara Saur Matua, keluarga harus melaksanakan adat na gok, menyediakan kerbau untuk disembelih, di iringi oleh gondang (musik khas Batak). Upacara Saur Matua dilakukan sebagai ucapan syukur karena semasa hidupnya telah memperoleh kelengkapan hidup.

4. Sebagai Motivasi

Gambar

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2.Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Tabel 4.3.Jumlah Sarana Pendidikan Kecamatan Tarutung
Tabel 4.4. Jumlah Sarana Peribadatan Kecamatan Tarutung

Referensi

Dokumen terkait

P: Hilangnya sesuatu hal dalam proses pernikahan adat Batak Toba juga menghilangkan nilai budaya pernikahan adat Batak Toba itu sendiri, menurut anda apa yang dapat

Pesta marunjuk, ada tahap penting yang harus dilaksanakan menurut adat, yaitu marbagi jambar (membagi bagian, khususnya pembagian jambar juhut). Pembagian jambar juhut

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan jenis-jenis makanan yang disajikan dalam setiap upacara adat Padang Bolak Batak Angkola,

Tradisi makan hare tidak semua dilakukan oleh masyarakat Batak Toba karena bagi suku Batak Toba di Desa Pakpahan Kecamatan Pangaribuan tradisi ini merupakan

Adapun aspek-aspek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah amanat umpasa yang digunakan dalam upacara adat kematian saur matua, diksi umpasa yang digunakan

Dalihan Na Tolu (tiga tungku) merupakan sistem hubungan masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga unsur kekerabatan yaitu pihak hula- hula (kelompok orang

Dikatakan sakral karena dalam adat perkawinan Batak , ada makna pengorbanan bagi parboru (pihak penganten perempuan) karena ia “berkorban” memberikan satu nyawa

Suku Batak, khususnya Batak Toba selain akrab dengan budaya bertani, terkenal juga dengan budaya bertenun yaitu bertenun kain Batak (ulos). Martonun ulos merupakan salah