• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengentasan Kemiskinan Melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengentasan Kemiskinan Melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI

PELAYANAN KEUANGAN MIKRO KOPERASI

SITI ROHMAWATI

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengentasan Kemiskinan melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

(4)
(5)

ABSTRAK

SITI ROHMAWATI. Analisis Pengentasan Kemiskinan melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi. Dibimbing oleh SUMARDJO.

Usaha pengentasan kemiskinan dilakukan melalui beberapa kegiatan, di antaranya pelayanan keuangan mikro yang dilakukan koperasi. Pelayanan keuangan mikro ini dianggap sangat membantu masyarakat miskin karena keterbatasan akses orang miskin terhadap lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pelayanan keuangan mikro dan tingkat kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Berpijak dari hal tersebut, masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara karakteristik peminjam, peran petugas, faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan lembaga keuangan mikro, serta bagaimana hubungan antara ketepatan pelayanan lembaga keuangan mikro dan tingkat kemiskinan rumah tangga. Selain itu, penelitian ini juga membandingkan kondisi ekonomi anggota di dua wilayah yang berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan teknik wawancara. Pengolahan data menggunakan uji Rank Spearman dan Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan beberapa kesimpulan. Pertama, kondisi kemiskinan anggota saat pertama kali bergabung dengan koperasi termyata berkecenderungan menyebabkan kurangnya kepatuhan terhadap pemimpin. Kedua, peran petugas tidak menunjukkan banyak kontribusi terhadap ketepatan pelayanan lembaga keuangan mikro. Ketiga, banyaknya dukungan luar yang diterima anggota ternyata memperlancar cicilan pinjaman. Keempat, miskinnya kondisi anggota saat pertama kali bergabung dengan koperasi ternyata berhubungan dengan tingginya tingkat konsumsi. Kelima, orang-orang miskin cenderung pernah mengalami keterlambatan pembayaran cicilan pinjaman. Keenam, kondisi ekonomi anggota Kecamatan Tamansari lebih baik daripada anggota Kecamatan Dramaga.

Kata kunci : kemiskinan, lembaga keuangan mikro, koperasi

ABSTRACT

SITI ROHMAWATI. The analysis of poverty alleviation through Micro-finance Cooperation. Supervised by SUMARDJO.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ANALISIS PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI

PELAYANAN KEUANGAN MIKRO KOPERASI

SITI ROHMAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pengentasan Kemiskinan melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi” ini dengan baik. Penelitian ini dilatarbelakangi karena masih banyaknya fenomena kemiskinan walaupun sudah banyak pihak yang berusaha mengentaskannya. Penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan pelayanan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagai salah satu usaha pengentasan kemiskinan. Peneliti kemudian menganalisis hubungan antara ketepatan pelayanan LKM tersebut dan tingkat kemiskinan rumah tangga anggota yang diukur dengan indikator tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, konsumsi dan tingkat kesehatan. Selain itu, tingkat kemiskinan juga diukur dengan menggunakan indikator BPS.

Penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Pertama, ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Sumardjo selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Kartubi dan Ibu Samiati yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa serta motivasi kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Saharuddin, M.Si selaku dosen pembimbing akademik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kementerian Agama selaku lembaga yang memberikan beasiswa selama masa studi. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47 dan teman-teman pesantren Al-Ihya yang memberi semangat dan masukan untuk penulis dalam penulisan skripsi ini.

Penulis telah berusaha dengan maksimal dalam proses pembuatan skripsi ini, akan tetapi masih ada kemungkinan ditemui kesalahan-kesalahan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, September 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xix

DAFTAR LAMPIRAN xix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Pengertian Kemiskinan 5

Indikator Kemiskinan 5

Indikator Kemiskinan Sajogyo 5

Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik 6

Indikator Kemiskinan Bank Dunia (World Bank) 6

Kondisi Kemiskinan di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya 7

Penyebab Kemiskinan 8

Lembaga Keuangan Mikro 10

Koperasi 13

Efektivitas Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi dalam Pengentasan

Kemiskinan 15

Kerangka Pemikiran 20

Hipotesis Penelitian 22

Definisi Operasional 22

PENDEKATAN LAPANGAN 29

Lokasi dan Waktu Penelitian 29

Metode Penelitian 29

Teknik Pengambilan Responden dan Informan 29

Teknik Pengumpulan Data 31

(14)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 33 Gambaran Umum Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga 33

Gambaran Umum Kecamatan Tamansari 33

Gambaran Umum Kecamatan Dramaga 33

Sekilas tentang Koperasi Baytul Ikhtiar (BAIK) 33

Produk Layanan Koperasi 34

Kelembagaan Koperasi Baytul Ikhtiar 35

Sebaran Anggota Koperasi Baytul Ikhtiar Cabang Tamansari dan Cabang

Dramaga 37

DESKRIPSI VARIABEL TERKAIT ANALISIS KEMISKINAN MELALUI

PELAYANAN KEUANGAN MIKRO KOPERASI 39

Karakteristik Peminjam Anggota Koperasi Baytul Ikhtiar Kecamatan

Tamansari dan Kecamatan Dramaga 39

Umur 39

Tingkat Pendidikan 40

Jenis Usaha 40

Masa Keanggotaan 41

Tingkat Pemahaman tentang LKM 42

Tingkat Kepatuhan terhadap Pemimpin 43

Sikap terhadap Kemiskinan 44

Peran Petugas LKM 45

Intensitas Sosialisasi 46

Intensitas Pendampingan 47

Efektivitas Penegakan Aturan 48

Faktor Lingkungan 48

Dukungan Luar 49

Dukungan Ketua Kelompok 50

Dukungan Anggota Kelompok 51

Ketepatan Pelayanan LKM 52

Ketepatan Sasaran 52

Kesesuaian Penggunaan Dana 53

Kelancaran Pembayaran 54

(15)

Tingkat Pendapatan 55

Tingkat Pendidikan 56

Tingkat Konsumsi 57

Tingkat Kesehatan 58

Tingkat Kemiskinan Anggota menurut Indikator BPS 59 HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PEMINJAM DAN

KETEPATAN PELAYANAN LKM 61

HUBUNGAN ANTARA PERAN PETUGAS LKM DAN KETEPATAN

PELAYANAN LKM 67

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DAN KETEPATAN

PELAYANAN LKM 71

HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PELAYANAN LKM DAN TINGKAT KEMISKINAN RUMAH TANGGA ANGGOTA KOPERASI

BAYTUL IKHTIAR MENGGUNAKAN INDIKATOR PENELITIAN 75

HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PELAYANAN LKM DENGAN TINGKAT KEMISKINAN RUMAH TANGGA ANGGOTA KOPERASI

BAYTUL IKHTIAR MENGGUNAKAN INDIKATOR BPS 79

PERBANDINGAN KONDISI EKONOMI ANGGOTA KOPERASI

KECAMATAN TAMANSARI DAN KECAMATAN DRAMAGA 81

Perbandingan Tingkat Pendapatan antara Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga menggunakan Ketentuan Upah Minimum Regional

(UMR) Kabupaten Bogor 81

Perbandingan Tingkat Konsumsi antara Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga menggunakan Ketentuan Garis Kemiskinan (GK)

Provinsi Jawa Barat 81

SIMPULAN DAN SARAN 83

Simpulan 83

Saran 84

DAFTAR PUSTAKA 85

LAMPIRAN 89

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah sampel anggota koperasi Baytul Ikhtiar Kecamatan

Tamansari dan Dramaga tahun 2014 30

2 Sebaran anggota koperasi Baytul Ikhtiar cabang Tamansari per

Mei 2014 37

3 Sebaran anggota koperasi Baytul Ikhtiar cabang Dramaga per

Desember 2013 38

4 Sebaran anggota koperasi menurut umur di Kecamatan Tamansari

dan Dramaga tahun 2014 39

5 Sebaran anggota koperasi menurut pendidikan di Kecamatan

Tamansari dan Dramaga tahun 2014 40

6 Sebaran anggota koperasi menurut jenis usaha di Kecamatan

Tamansari dan Dramaga tahun 2014 41

7 Sebaran anggota koperasi menurut masa keanggotaan di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 42 8 Sebaran anggota koperasi menurut pemahaman tentang LKM di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 43 9 Sebaran anggota koperasi menurut kepatuhan terhadap pemimpin

di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 43 10 Sebaran anggota koperasi menurut sikap terhadap kemiskinan di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 44 11 Sebaran anggota koperasi menurut peran petugas LKM di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 45 12 Sebaran anggota koperasi menurut intensitas sosialisasi di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 46 13 Sebaran anggota koperasi menurut intensitas pendampingan di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 47 14 Sebaran anggota koperasi menurut efektivitas penegakan aturan

di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 48 15 Sebaran anggota koperasi menurut faktor lingkungan yang

diterima di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 49 16 Sebaran anggota koperasi menurut dukungan luar yang diterima

di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 49 17 Sebaran anggota koperasi menurut dukungan ketua kelompok

yang diterima di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 50 18 Sebaran anggota koperasi menurut dukungan anggota kelompok

yang diterima di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 51 19 Sebaran anggota koperasi menurut ketepatan pelayanan LKM di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 52 20 Sebaran anggota koperasi menurut ketepatan sasaran di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 53 21 Sebaran anggota koperasi menurut kesesuaian penggunaan dana

di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 53 22 Sebaran anggota koperasi menurut kelancaran pembayaran di

(18)

23 Sebaran anggota koperasi menurut tingkat kemiskinan indikator penelitian di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 55 24 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 55 25 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan berdasarkan UMR

di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 56 26 Sebaran anggota koperasi menurut pendidikan rumah tangga di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 56 27 Sebaran anggota koperasi menurut konsumsi rumah tangga di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 57 28 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga

berdasarkan GK di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 58

29 Sebaran rumah tangga anggota koperasi menurut kesehatan rumah tangga di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 58 30 Sebaran rumah tangga anggota koperasi menurut kemiskinan BPS

di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 59 31 Koefisien korelasi antara karakteristik peminjam dan ketepatan

pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 63

32 Nilai signifikansi hubungan antara jenis usaha dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 64

33 Nilai signifikansi hubungan antara jenis usaha dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 65

34 Koefisien korelasi antara karakteristik peminjam dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 65

35 Koefisien korelasi antara peran petugas LKM dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 67

36 Koefisien korelasi antara peran petugas LKM dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 69

37 Koefisien korelasi antara peran petugas dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 70 38 Koefisien korelasi antara faktor lingkungan dan ketepatan

pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 71

39 Koefisien korelasi antara faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 73

40 Koefisien korelasi antara faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 74

(19)

42 Koefisien korelasi antara ketepatan pelayanan dan tingkat kemiskinan Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 76 43 Koefisien korelasi antara ketepatan sasaran dan tingkat konsumsi

rumah tangga di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun

2014 77

44 Koefisien korelasi antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat kemiskinan di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 79 45 Koefisien korelasi antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat

kemiskinan Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 80 46 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 81 47 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga di

Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014 82

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran analisis pengentasan kemiskinan melalui

pelayanan keuangan mikro koperasi 21

2 Langkah pengambilan responden penelitian analisis pengentasan kemiskinan melalui pelayanan keuangan mikro koperasi 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Dramaga 89 2 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Tamansari 89

3 Jadwal pelaksanaan penelitian 90

4 Struktur organisasi koperasi Baytul Ikhtiar 91 5 Struktur organisasi koperasi Baytul Ikhtiar 92

6 Kuisioner 93

7 Panduan pertanyaan mendalam 103

8 Dokumentasi kegiatan penelitian di Kecamatan Tamansari dan

(20)
(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengentasan kemiskinan harus dilakukan agar semua warga negara dapat hidup bermartabat. Akan tetapi, beberapa tindakan yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan belum sepenuhnya dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan yaitu sebanyak 11.25 persen atau sekitar 28 juta jiwa pada Maret 2014 (BPS 2014).

Data statistik menunjukkan terjadinya tren penurunan angka kemiskinan dari tahun 1998 sampai tahun 2014. Akan tetapi, penurunan angka kemiskinan tersebut pada tahun 2014 belum dapat mencapai target yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Target pengentasan kemiskinan tercantum pada Perpres No 15 Tahun 2010 yaitu target penurunan angka kemiskinan menjadi 8-10 persen (Kemkominfo 2011). Fakta tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan bukan masalah yang mudah dipecahkan meskipun Pemerintah telah mengerahkan banyak usaha dengan sumber daya yang dimiliki.

Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor antara lain kurangnya lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan ketiadaan akses permodalan. Masyarakat mengupayakan banyak hal dalam menanggulangi kemiskinan yang mereka hadapi. Beberapa tindakan yang mereka lakukan di antaranya dengan menggunakan kearifan lokal yang dimiliki (Pattinama 2009) dan optimalisasi tenaga kerja serta pengembangan jaringan (Sumarti 2007). Selain itu, pemerintah Indonesia juga terus melakukan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.

Beberapa program pengentasan kemiskinan di antaranya PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), BLT (Bantuan Langsung Tunai), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), program IDT (Inpres Desa Tertinggal), JPS (Jaringan Pengaman Sosial), KB (Keluarga Berencana), UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera), Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Sejahtera), Takesra (Tabungan Kesejahteraan Rakyat), KPKU (Kredit Pengembangan Kemitraan Usaha), KPTTG-Taskin (Kredit Pengembangan Teknologi Tepat Guna Untuk Pengentasan Kemiskinan), dan KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Beberapa program pengentasan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk pelayanan keuangan mikro. Bentuk lembaga yang menyediakan pelayanan keuangan mikro beragam jenis, terdiri dari lembaga keuangan mikro formal, non formal, informal dan program pemerintah. Koperasi adalah salah satu lembaga formal yang menyediakan pelayanan keuangan mikro yang sudah dikenal masyarakat.

(22)

dilakukan oleh Lukman dkk (2008) menunjukkan bahwa pelayanan keuangan mikro melalui pembiayaan kelompok microbanking menunjukkan hasil yang beragam, ada yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dan ada pula yang tidak menunjukkan terjadinya peningkatan kesejahteraan, bahkan yang terjadi adalah kemacetan pembayaran. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Usman dkk (2004) terhadap beberapa pelayanan keuangan mikro di kawasan Nusa Tenggara Timur menunjukkan hasil yang beragam. Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Litbang dan LPM UPI (2003) terhadap beberapa pelayanan keuangan mikro dalam bentuk bantuan dana bergulir menunjukkan efektivitas yang rendah.

Koperasi sebagai salah satu lembaga penyedia pelayanan keuangan mikro perlu diteliti sejauhmana efektivitasnya dalam pengentasan kemiskinan. Penelitian tentang koperasi selama ini lebih terkait manajemen pelayanan dan dampaknya terhadap peningkatan pendapatan anggota. Penelitian tentang koperasi jarang menghubungkan dengan tingkat kemiskinan anggota secara kuantitatif.

Berpijak dari hal tersebut, dalam penelitian ini, peneliti bermaksud menganalisis lebih lanjut terkait pelayanan keuangan mikro Koperasi. Peneliti menganalisis ketepatan pelayanan keuangan Koperasi dan mengukur hubungannya dengan tingkat kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pedesaan. Kemudian, penelitian ini akan diakhiri dengan saran untuk dinas-dinas terkait guna meningkatkan efektivitas pelaksanaan pelayanan dalam usaha pengentasan kemiskinan pada periode mendatang.

Perumusan Masalah

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Ketepatan pelayanan LKM diduga berhubungan dengan karakteristik peminjam, peran pengurus LKM dan faktor lingkungan.

Ketepatan pelayanan LKM diduga berhubungan dengan karakteristik peminjam. Dugaan tersebut mengacu pada pendapat Suartha (2013) yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan beberapa hal, diantaranya karakteristik demografi dan sikap terhadap kemiskinan. Di samping itu, Penelitian yang dilakukan oleh Litbang dan LPM UPI (2003) menunjukkan bahwa tingkat pemahaman mempengaruhi efektivitas pelayanan keuangan mikro. Berikutnya, penelitian yang dilakukan oleh Lukman dkk (2008) menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap pemimpin dan jenis usaha yang dijalankan berhubungan dengan efektivitas pelayanan keuangan mikro. Berpijak dari penemuan-penemuan tersebut dan menyesuaikan dengan kondisi keanggotaan Koperasi, karakteristik peminjam yang diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM adalah umur, tingkat pendidikan, jenis usaha, masa keanggotaan, tingkat pemahaman tentang LKM, tingkat kepatuhan pada pemimpin dan sikap terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana terdapat hubungan antara karakteristik peminjam dan ketepatan pelayanan LKM?

(23)

pendampingan dan penegakan aturan mempengaruhi efektivitas pelayanan keuangan mikro bantuan dana bergulir. Berpijak dari penemuan tersebut, peran petugas LKM yang diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM adalah intensitas sosialisasi, intensitas pendampingan dan efektivitas penegakan aturan. Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana terdapat hubungan antara peran petugas LKM dan ketepatan pelayanan LKM?

Faktor lingkungan diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM. Dugaan tersebut mengacu pada hasil penelitian Rachmawati (2011) yang menyatakan bahwa program pemerintah berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga. Di samping itu, penelitian yang dilakukan oleh Lukman dkk (2008) menyatakan bahwa peran ketua dan anggota kelompok turut mempengaruhi efektivitas pelayanan keuangan mikro skema pembiayaan berkelompok. Berpijak dari penemuan tersebut, faktor-faktor lingkungan yang diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM adalah dukungan luar, dukungan ketua dan dukungan anggota kelompok. Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana terdapat hubungan antara faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan LKM?

Ketepatan pelayanan LKM secara umum dilihat dari tiga hal, yaitu ketepatan sasaran, kesesuaian penggunaan dana dan kelancaran pembayaran. Ketepatan pelayanan diduga berhubungan dengan tingkat kemiskinan rumah tangga anggota karena salah satu tujuan pelayanan keuangan mikro adalah mengentaskan kemiskinan. Dugaan tersebut mengacu pada penelitian Litbang dan LPM UPI (2003) dan penelitian Lukman dkk (2008). Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana terdapat hubungan antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat kemiskinan?

Sebuah program yang telah dijalankan perlu dievaluasi untuk mengetahui tingkat ketercapaian terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ada dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif biasanya melihat dan meneliti pelaksanaan suatu program, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program. Adapun evaluasi sumatif biasanya dilakukan pada akhir program untuk mengukur sejauh mana tujuan program tercapai (Singarimbun dan Effendi 1987). Oleh karena itu, program pelayanan keuangan mikro Koperasi yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan perlu dievaluasi untuk mengetahui sejauhmana hasil yang telah dicapai. Evaluasi yang dapat digunakan adalah evaluasi formatif karena pelayanan Koperasi masih berjalan dan perlu ditingkatkan kualitasnya. Evaluasi dilakukan pada sebagian anggota yang tergabung di Koperasi. Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga merupakan dua Kecamatan yang menjadi anggota Koperasi dengan tahun awal keanggotaan yang sangat berbeda jauh. Perbedaan tersebut kemungkinan menyebabkan tingkat ketercapaian yang berbeda yang dilihat dari kondisi ekonomi anggota. Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana perbedaan kondisi ekonomi anggota antara Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga?

Tujuan Penelitian

(24)

dengan tingkat kemiskinan rumah tangga serta menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM tersebut. Adapun tujuan-tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis hubungan antara karakteristik peminjam dan ketepatan pelayanan LKM.

2. Menganalisis hubungan antara peran pengurus dan ketepatan pelayanan LKM. 3. Menganalisis hubungan antara faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan

LKM.

4. Menganalisis hubungan antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat kemiskinan rumah tangga.

5. Menganalisis perbedaan kondisi ekonomi anggota antara Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan atau literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai hubungan antara pelayanan keuangan mikro dan tingkat kemiskinan rumah tangga pedesaan.

2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dalam pelaksanaan pelayanan keuangan mikro di pedesaan. Pemerintah juga diharapkan dapat membuat kebijakan khususnya terkait pelayanan keuangan mikro dengan sistem yang lebih baik dan dapat mendukung tercapainya peningkatan kesejahteraan.

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Kemiskinan

Banyak ahli memberikan definisi tentang kemiskinan. Quibria (1996) dalam Sumarti (2007) menyatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi yang bersifat multidimensional, mencakup tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan yang rendah serta kurangnya akses terhadap distribusi aset fisik, aset sosial, kesempatan usaha/kerja dan kesempatan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, kemiskinan juga mencakup rendahnya tingkat keamanan (jaminan terhadap resiko dan tekanan ekonomi) baik di tingkat nasional, lokal maupun rumah tangga. Pattinama (2009) juga berpendapat bahwa secara ekonomi penduduk miskin tidak memiliki apa-apa (having nothing), secara sosial mereka tidak menjadi siapa-siapa (being nothing), dan secara politik mereka tidak memperoleh hak kecuali korban pembangunan (having no rights and being wrong). Secara umum, kemiskinan adalah keterbatasan yang dihadapi seseorang atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan ditandai dengan rendahnya tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan serta ketiadaan aset fisik yang dimiliki.

Indikator Kemiskinan

Banyak indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kemiskinan. Indikator-indikator tersebut di antaranya yaitu indikator kemiskinan Sajogyo, indikator kemiskinan BPS (Badan Pusat Statistik) dan indikator Bank Dunia (World Bank). Selain itu, ada indikator kemiskinan menurut pandangan subyektif masyarakat terhadap kondisi lingkungannya.

Indikator Kemiskinan Sajogyo

Penentuan tingkat kemiskinan menggunakan indikator kemiskinan Sajogyo dihitung berdasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Adapun pembagian tingkat kemiskinan pada daerah pedesaan adalah sebagai berikut.

1. Miskin: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun

2. Miskin sekali: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun

3. Paling miskin: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun

Pembagian tingkat kemiskinan pada daerah perkotaan adalah sebagai berikut.

1. Miskin: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun

2. Miskin sekali: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun

(26)

Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik

Salah satu indikator kemiskinan yang umum digunakan adalah indikator yang ditentukan oleh BPS. Ada 14 (empat belas) kriteria keluarga/rumah tangga miskin menurut BPS sebagai berikut.

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600 000 per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp500 000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya (JDIH BPK [Tanpa tahun]).

Jika suatu rumah tangga memenuhi minimal sembilan atau lebih dari indikator tersebut, maka termasuk rumah tangga miskin. Akan tetapi jika suatu rumah tangga belum memenuhi dari kesembilan indikator tersebut maka termasuk rumah tangga bukan miskin.

Aspek penting dalam pengukuran kemiskinan yang dilakukan BPS adalah garis kemiskinan. Pada dasarnya, garis kemiskinan merupakan kumpulan titik potong (cut off points) dari kelompok miskin dan tidak miskin. Garis kemiskinan dapat ditentukan berdasarkan satuan moneter seperti tingkat konsumsi atau non moneter seperti tingkat pendidikan atau kesehatan. Selain itu, kegunaan garis kemiskinan adalah untuk mengenali lebih jauh fenomena kemiskinan seperti indeks kedalaman kemiskinan/poverty gap index dan indeks keparahan kemiskinan/severity poverty index. Indeks tingkat kedalaman kemiskinan digunakan untuk melihat rentang relatif antara penduduk miskin dan garis kemiskinan, sedangkan indeks keparahan kemiskinan digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan (inequality) di antara penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan (Marbun dan Suryahadi 2009).

Indikator Kemiskinan Bank Dunia (World Bank)

(27)

kemiskinan absolut US $1 PPP (Purchasing Power Parity)/hari menjadi US $1.25 PPP (Purchasing Power Parity)/hari. Angka tersebut didapatkan dari rata-rata garis kemiskinan 15 negara termiskin di dunia (Marbun dan Suryahadi 2009). Nilai tukar PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara yang disetarakan dengan negara lain, bukan sekedar nilai tukar biasa (exchange rate) (Kemkominfo 2011).

Dari pemaparan indikator-indikator kemiskinan yang sering digunakan, secara umum beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan secara mudah sebagai berikut.

1. Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. Tingkat pendapatan merupakan salah satu indikator dari 14 indikator yang digunakan oleh BPS. BPS memberikan batas pendapatan minimal yang diperoleh kepala rumah tangga sebesar Rp600 000. Akan tetapi, penentuan batasan tingkat pendapatan sebagai indikator kemiskinan perlu diperhatikan karena biaya hidup yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan upah minimum regional (UMR) secara berkala. 2. Tingkat konsumsi

Tingkat konsumsi dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. Tingkat konsumsi merupakan lima indikator dari 14 indikator kemiskinan yang digunakan oleh BPS. Selain itu, penggunaan tingkat konsumsi sebagai indikator kemiskinan juga terlihat pada indikator World Bank yang memberikan batasan garis kemiskinan sebesar US $1.25 PPP/hari dan juga terlihat pada indikator kemiskinan Sajogyo dengan menghitung besarnya pengeluaran per kapita yang disetarakan dengan beras.

3. Tingkat kesehatan

Tingkat kesehatan dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. BPS memasukkan indikator tingkat kesehatan sebagai salah satu dari 14 indikator dalam mengukur kemiskinan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Handayani (2009) yang menyatakan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan beberapa hal, di antaranya adalah rendahnya tingkat kesehatan.

4. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. BPS memasukkan indikator tingkat pendidikan sebagai salah satu dari 14 indikator untuk mengukur kemiskinan. Hal tersebut sejalan dengan Handayani (2009) yang menyatakan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan beberapa hal, di antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan.

Kondisi Kemiskinan di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya

Masyarakat mengupayakan banyak hal dalam menanggulangi kemiskinan yang mereka hadapi. Beberapa tindakan yang mereka lakukan di antaranya seperti disebutkan oleh Pattinama (2009) dengan menggunakan kearifan lokal yang mereka miliki dan penelitian yang dilakukan oleh Sumarti (2007) dengan cara optimalisasi tenaga kerja dan pengembangan jaringan.

(28)

BLT (Bantuan Langsung Tunai), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), program IDT (Inpres Desa Tertinggal), JPS (Jaringan Pengaman Sosial), KB (Keluarga Berencana), UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera), Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Sejahtera), Takesra (Tabungan Kesejahteraan Rakyat), KPKU (Kredit Pengembangan Kemitraan Usaha), KPTTG-Taskin (Kredit Pengembangan Teknologi Tepat Guna Untuk Pengentasan Kemiskinan) dan masih banyak lagi program-program yang dilakukan.

Upaya pembangunan yang dilakukan telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari sekitar 60 persen pada awal tahun 1970-an menjadi sekitar 11 persen pada akhir tahun 1996. Pada tahun 1990-an penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin itu makin lambat. Pada awal krisis tahun 1997-1998 jumlah dan persentase penduduk miskin itu meningkat kembali. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin sempat melonjak menjadi 49.5 juta atau 24 persen (Suyono 2003). Dengan berbagai usaha yang dilakukan, angka kemiskinan terus menurun dari tahun 1998 sampai tahun 2014 (Kemkominfo 2011). Akan tetapi, angka kemiskinan masih tergolong tinggi yaitu sebanyak 11.25 persen atau sekitar 28 juta jiwa pada Maret 2014 (BPS 2014).

Terkait upaya penanggulangan kemiskinan, Sarman M dan Sajogyo (2000) menyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya harus dikondisikan oleh suprastruktur dan melibatkan unsur aparat pemerintah, swasta dan lembaga sukarelawan (LSM). Efektivitas program pengentasan kemiskinan terwujud jika ada keterpaduan dan keterkaitan program antara lembaga pemerintah, swasta dan sukarelawan tersebut. Koordinasi dan kepedulian merupakan syarat bagi semua pihak yang ingin mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi, gejala ego-sektoral justru muncul sebagai penghambat ketercapaian tujuan program pengentasan kemiskinan.

Penyebab Kemiskinan

Suartha (2013) mengutip dari Sen (1998) mengklasifikasi kemiskinan bersumber dari empat hal seperti berikut.

1. Heterogenitas personal

Keragaman yang dimiliki oleh seseorang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat. Keragaman tersebut merupakan modal penting dalam pengembangan diri. Selain itu, keragaman memberikan cerminan strata yang terjadi dalam masyarakat.

2. Keragaman lingkungan

Perbedaan lingkungan memberikan cerminan keragaman potensi yang terkandung di dalamnya.

3. Perbedaan iklim

Perbedaan iklim menciptakan perbedaan perilaku masyarakat untuk memanfaatkan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

4. Perbedaan kebiasaan konsumsi

(29)

ritual dengan berbagai pengorbanan tanpa mempertimbangan kemampuan yang dimiliki.

Suartha (2013) mengutip pada Gustafsson dan Yue (2006) menyimpulkan bahwa rumah tangga yang hidup dengan banyak anggota, dengan kepala rumah tangga yang pendidikannya rendah, maka anak-anak menghadapi risiko kemiskinan yang lebih tinggi dari orang lain. Rumah tangga yang memiliki anggota keluarga lebih dari 4 orang dengan pendidikan kepala rumah tangga SMP ke bawah memiliki peluang 1.312 kali lebih besar untuk menjadi miskin daripada rumah tangga yang memiliki anggota keluarga kurang dari 4 orang dengan pendidikan kepala rumah tangga SMP ke atas.

Menurut Suartha (2013), kemiskinan disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi (1) budaya seperti kentalnya kekerabatan, kuatnya tradisi turun temurun, ketatnya adat istiadat, keengganan untuk merantau, budaya untuk kumpul bersama; (2) topografi wilayah; dan (3) kebijakan pemerintah yang menyangkut keputusan dalam pembangunan yang menyebabkan kurangnya infrastruktur yang memadai. Adapun faktor internal meliputi (1) karakteristik demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, dan penghasilan; (2) motivasi; (3) persepsi; dan (4) budaya individu seperti malas dan tidak mau memanfaatkan kemampuan yang dimiliki, tidak disiplin, lebih suka meminta dibandingkan dengan berusaha.

Penelitian Suartha (2013) menyimpulkan beberapa hal di antaranya sikap rumah tangga miskin untuk keluar dari kemiskinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberdayaan. Makin kuat sikap rumah tangga miskin untuk keluar dari kondisi kemiskinan menyebabkan tingkat keberdayaannya makin tinggi. Tingkat keberdayaan makin tinggi menunjukkan rumah tangga semakin mampu keluar dari kemiskinan.

Definisi sikap terhadap kemiskinan yang digunakan dalam penelitian Suartha (2013) adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, dengan penuh kesadaran untuk keluar dari kemiskinan. Indikator-indikator dari variabel sikap terhadap kemiskinan adalah sebagai berikut.

1. Keyakinan kondisi dapat diubah

Adanya keyakinan atas kondisi yang dialami selama menjadi keluarga miskin dapat berubah menjadi keluarga tidak miskin.

2. Kemiskinan bukan takdir

Kemiskinan yang dialami bukan takdir/nasib, melainkan kondisi yang dialami akan bisa berubah jika keluarga miskin memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah nasibnya.

3. Tidak senang terhadap kemiskinan

Sikap dari keluarga miskin bahwa kemiskinan adalah bagian dari berbagai kekurangan/keterbatasan yang dimiliki baik sandang, pangan maupun papan. 4. Senang bisa keluar dari kemiskinan

Suatu keadaan yang diharapkan rumah tangga miskin sebagai wujud dari perubahan yang diinginkan.

5. Niat yang kuat keluar dari kemiskinan

(30)

6. Bersedia keluar dari kemiskinan

Kesediaan untuk melakukan berbagai kegiatan dengan menerima imbalan atas aktivitas yang dilakukan.

Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa simpanan dan pembiayaan skala kecil kepada masyarakat, terutama untuk masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Tujuan keberadaan LKM adalah sebagai sarana perluasan lapangan kerja, pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman, pembiayaan, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha (UU No 1 Tahun 2013). Dengan kata lain, LKM diharapkan mempunyai pengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Usman dkk (2004) menyatakan bahwa secara umum lembaga penyedia layanan keuangan mikro dibedakan menjadi empat golongan sebagai berikut. 1. Lembaga formal, yaitu lembaga yang berbadan hukum dan secara formal

diakui oleh perundangan sebagai lembaga keuangan. Lembaga formal dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bank dan non bank. Contoh lembaga formal jenis bank adalah BRI, Bank Mandiri dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), sedangkan contoh lembaga formal non bank adakah Badan Perkreditan Desa (BPD), Koperasi dan perusahaan pegadaian.

2. Lembaga non formal, yaitu lembaga yang berbadan hukum, akan tetapi belum memiliki izin sebagai lembaga keuangan. Lembaga non formal ini antara lain berbentuk Usaha Simpan Pinjam (USP) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

3. Program-program pemerintah berbentuk pelayanan keuangan mikro, contohnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) yang berbentuk kegiatan simpan pinjam usaha ekonomi produktif dan bantuan dana bergulir dari pemerintah.

4. Lembaga informal, yaitu lembaga yang sama sekali berbadan hukum, contohnya kelompok arisan dan rentenir.

Penelitian mengenai efektivitas pelayanan keuangan mikro terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat menghasilkan penemuan beragam. Di antara penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Litbang dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) UPI (2003) pada beberapa jenis bantuan bergulir di Kota Bandung, penelitian yang dilakukan oleh Lukman dkk (2008) pada microbanking di Sumatera Barat dan penelitian yang dilakukan Rachmawati (2011) tentang dampak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) terhadap anggota simpan pinjam Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

(31)

kegiatan ekonomi usaha kecil, dan penyerapan dana oleh masyarakat. Beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas tersebut adalah tingkat pemahaman (persepsi) masyarakat terhadap program, sosialisasi sebelum pelaksanaan program, proses pendampingan, penegakan aturan yang berlaku, ketepatan sasaran, penggunaan dana bantuan, faktor sosial budaya masyarakat, kinerja pengurus, transparansi, layanan konsultasi, dan daya dukung sarana dan prasarana, termasuk di dalamnya kelengkapan administrasi yang disediakan.

Penjelasan mengenai masing-masing hal-hal yang mempengaruhi efektivitas tersebut dapat dilihat pada keterangan di bawah ini.

1. Tingkat pemahaman (persepsi) masyarakat terhadap program

Beberapa pemahaman yang salah mengenai sistem bantuan dana bergulir menyebabkan tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan harapan penyedia program. Banyak masyarakat tidak mengembalikan bantuan dana bergulir karena adanya persepsi bahwa dana merupakan hibah yang tidak perlu dikembalikan.

2. Sosialisasi sebelum pelaksanaan program

Sosialisasi merupakan langkah awal yang turut menentukan keberhasilan program. Sosialisasi awal tentang mekanisme program sangat menentukan kesuksesan program di lapangan. Sosialisasi yang kurang akomodatif dan aspiratif menimbulkan dampak negatif terhadap jalannya program di lapangan. 3. Proses pendampingan

Pendampingan bertujuan untuk mengawal masyarakat agar dapat memanfaatkan dana bergulir untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pendampingan sebaiknya dilakukan hingga tuntas. Pendampingan pada beberapa program bantuan dana bergulir di Bandung hanya dibatasi dengan kontrak 4-6 bulan. Pendampingan kemudian diserahkan kepada pengelola yang ditunjuk berdasarkan musyawarah yang ada di kelurahan. Pengelola yang ditunjuk sebagai pengganti dalam kondisi belum siap dan belum memiliki keterampilan dan kemampuan berorganisasi secara profesional. Hal tersebut menyebabkan rendahnya efektivitas dana bergulir dalam peningkatan kesejahteraan.

4. Penegakan aturan yang berlaku

Penegakan aturan harus dilakukan agar tujuan program tercapai. Aturan yang ditegakkan akan membuat pelanggar merasa jera dan sekaligus pelajaran bagi yang lain. Begitu pula sebaliknya. Aturan yang tidak ditegakkan membuat peserta program tidak menghargai aturan yang ada, termasuk juga para penerima bantuan dana bergulir. Masyarakat menganggap bantuan bergulir merupakan hibah yang tidak perlu dikembalikan. Persepsi tersebut muncul akibat tidak dimintanya pertanggungjawaban dana bergulir pada periode sebelumnya.

5. Ketepatan sasaran

(32)

6. Penggunaan dana bantuan

Bantuan dana bergulir sebaiknya digunakan untuk usaha produktif secara kontinu. Penggunaan dana untuk usaha produktif yang hanya berjalan sementara waktu menyebabkan masyarakat belum mampu mengembangkan dan meningkatkan usahanya untuk jangka panjang. Mereka juga belum mampu mengatasi kendala dan meningkatkan pendapatan.

7. Faktor sosial budaya masyarakat

Faktor sosial budaya masyarakat terwujud pada kesiapan masyarakat dalam berpartisipasi secara aktif pada seluruh tahapan kegiatan. Tahapan tersebut terdiri atas persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelestarian, dan pemeliharaan. Faktor sosial budaya turut mempengaruhi terhadap efektivitas program.

8. Kinerja pengurus

Tugas pengurus bermacam-macam, di antaranya memahami materi modul dan teknis operasional, melakukan sosialisasi awal, merangkum aspirasi melalui musyawarah desa, memberikan layanan konsultasi, dan memberikan pendampingan. Akan tetapi, kinerja pengurus belum optimal dan kurang memadai sehingga efektivitas program menjadi rendah.

9. Transparansi

Keterbukaan mendukung keberhasilan program. Ada beberapa hambatan dalam menciptakan keterbukaan program, di antaranya intervensi elit desa yang berlebihan dan pengelolaan program yang tidak sesuai aturan. Intervensi elit desa yang cukup dominan menyebabkan berkembangnya sentimen negatif dan sikap curiga terhadap para elit desa. Ditambah lagi, pengelolaan bantuan dana bergulir yang tidak sesuai aturan menyebabkan program terkesan tidak ada pertanggung jawaban yang jelas dan tidak ada sanksi bagi pengurus dan anggota yang menyalahgunakan wewenang. Kurangnya transparansi tersebut menyebabkan rendahnya efektivitas program.

10.Layanan konsultasi

Kelompok masyarakat belum memahami cara-cara untuk mendapatkan pinjaman dan menggunakan dana bantuan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal tersebut karena peran pengurus dalam memberikan layanan konsultasi belum optimal.

11.Dukungan sarana dan prasarana

Di antara dukungan sarana dan prasarana yang dianggap masih kurang adalah daya dukung pada administrasi pembukuan keuangan yang tidak tertib, rapi dan benar. Kekurangan tersebut juga mempengaruhi kelancaran pelaksanaan program dana bergulir

Hasil evaluasi Lukman dkk (2008) menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan pembiayaan kelompok oleh microbanking di Sumatera Barat. Beberapa hal tersebut adalah karakter sosial budaya yang dilihat dari ikatan sosial antaranggota kelompok dan tingkat kepatuhan terhadap ketua yang merupakan fungsi kontrol sosial, peran ketua kelompok, usaha yang dijalankan dan asal usul pembentukan kelompok (Lukman dkk 2008).

(33)

1. Karakter sosial budaya

Karakter sosial budaya dalam penelitian ini dilihat dari dua hal, yaitu ikatan sosial antaranggota kelompok dan tingkat kepatuhan terhadap ketua. Dalam penelitian ini kelompok yang terdiri dari etnis Jawa cenderung memiliki komitmen tinggi, ikatan sosial antaranggota yang tinggi dan juga tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap ketua kelompok selaku pemberi rekomendasi. Pemberlakuan sistem tanggung renteng cocok pada masyarakat dengan karakter tersebut karena fungsi sosial kontrol sangat kuat.

2. Peran ketua kelompok

Jaminan terhadap pelunasan kredit kelompok diatur oleh ketua kelompok. Ketua juga berperan sebagai pemberi rekomendasi. Jika peran-peran ketua tidak dijalankan dengan baik, bahkan sampai terjadi moral hazard (perilaku jahat dalam kegiatan ekonomi), maka akan memicu timbulnya kredit macet. 3. Peran anggota kelompok

Anggota kelompok berperan sebagai kontrol sosial bagi sesamanya. Hal tersebut tergambar pada kelompok yang bekerja di sektor perkebunan. Tingkat keberhasilan kelompok tersebut lebih tinggi daripada kelompok yang lain karena antaranggota saling mengingatkan. Sebaliknya pada beberapa daerah yang lain, kelompok mengalami kegagalan pembiayaan karena anggota tidak bersedia menjalankan tanggung renteng yang disebabkan lemahnya ikatan antaranggota.

4. Usaha yang dijalankan

Jenis usaha yang dijalankan juga mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pinjaman kelompok. Tingkat pengembalian kredit (repayment rate) cenderung tinggi pada kelompok-kelompok yang menjalankan usaha yang tergolong prospektif dan dengan resiko usaha yang relatif rendah, misalnya kelompok-kelompok yang berusaha di bidang perkebunan.

5. Asal usul pembentukan kelompok

Kelompok dengan usia relatif muda dan terbentuk karena desakan untuk menjalankan program pemerintah dan perbankan dalam rangka pembiayaan kelompok cenderung mengalami kegagalan dalam pembiayaan kelompok daripada kelompok yang lama terbentuk. Hal tersebut karena rendahnya komitmen anggota yang disebabkan variasi nilai-nilai personal yang cukup tinggi.

Penelitian yang dilakukan Rachmawati (2011) tentang dampak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) terhadap anggota simpan pinjam usaha ekonomi produktif (UEP) menunjukkan bahwa program tersebut berdampak signifikan terhadap peningkatan nilai produksi, penyerapan tenaga kerja dan penghasilan. Hasil tersebut memberikan arti bahwa dukungan-dukungan dari pemerintah memberikan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat. Demikian juga dukungan-dukungan yang berasal bukan dari pemerintah.

Koperasi

(34)

memberikan kebebasan masuk dan keluarnya sebagai anggota dan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan anggota. Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Koperasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan. Adapun nilai yang mendasari kegiatan Koperasi yaitu: kekeluargaan, menolong diri sendiri, bertanggung jawab, demokrasi, persamaan, berkeadilan, dan kemandirian. Adapun nilai yang diyakini anggota Koperasi yaitu kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab dan kepedulian terhadap orang lain (UU No 17 Tahun 2012).

Ciri koperasi menurut Pahrullaili (2008) adalah sebagai berikut. 1. Koperasi merupakan kumpulan orang bukan hanya kumpulan modal.

Koperasi harus benar-benar mengabdikan pada kesejahteraan bersama bukan untuk kebendaan atau keuntungan semata-mata.

2. Koperasi merupakan wadah demokrasi ekonomi dan sosial.

Anggota koperasi saling bekerjasama berdasarkan persamaan derajat, hak dan kewajiban. Koperasi merupakan milik anggota sehingga koperasi diatur dan diurus sesuai keinginan anggota.

3. Masalah intern koperasi diselesaikan sendiri tanpa campur tangan pihak lain. 4. Tujuan koperasi merupakan kepentingan bersama dan dicapai dengan

sumbangan masing-masing anggota. Besarnya sumbangsih dicerminkan oleh pembagian pendapatan koperasi.

Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi dalam menjalankan fungsinya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.

1. Keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka.

2. Pengawasan oleh anggota diselenggarakan secara demokratis. 3. Anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi.

4. Koperasi merupakan badan usaha swadaya yang otonom dan independen. 5. Koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota, pengawas,

pengurus, dan karyawannya, serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang jati diri, kegiatan, dan kemanfaatan Koperasi.

6. Koperasi melayani anggotanya secara prima dan memperkuat gerakan koperasi dengan bekerjasama melalui jaringan kegiatan pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.

7. Koperasi bekerja untuk pembangunan berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakatnya melalui kebijakan yang disepakati oleh anggota (UU No 17 Tahun 2012).

Koperasi mempunyai perangkat organisasi Koperasi yang terdiri atas rapat anggota, pengawas dan pengurus. Rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi. Rapat anggota berwenang dalam hal-hal sebagai berikut. 1. Menetapkan kebijakan umum Koperasi.

2. Mengubah Anggaran Dasar.

3. Memilih, mengangkat, dan memberhentikan pengawas dan pengurus;

4. Menetapkan rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi. 5. Menetapkan batas maksimum pinjaman yang dapat dilakukan oleh pengurus

untuk dan atas nama Koperasi.

(35)

7. Menetapkan pembagian Selisih Hasil Usaha (SHU).

8. Memutuskan penggabungan, peleburan, kepailitan, dan pembubaran Koperasi. 9. menetapkan keputusan lain dalam batas yang ditentukan oleh Undang-Undang

(UU No 17 Tahun 2012).

Modal Koperasi sebagaimana yang tertulis pada UU No 17 Tahun 2012 terdiri atas setoran pokok dan sertifikat modal. Selain itu, modal Koperasi dapat berasal dari sumber-sumber sebagai berikut.

1. Hibah

2. Modal penyertaan

3. Modal pinjaman yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut. a. Anggota

b. Koperasi lainnya dan/atau anggotanya c. Bank dan lembaga keuangan lainnya

d. Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya e. Pemerintah dan Pemerintah Daerah

f. Sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

Efektivitas Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi dalam Pengentasan Kemiskinan

Efektivitas mengandung makna sejauh mana ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas suatu program pembangunan mengandung makna sejauh mana peningkatan kesejahteraan manusia dapat tercapai dengan adanya suatu program tertentu, karena kesejahteraan manusia merupakan tujuan dari program pembangunan. Koperasi sebagai salah satu lembaga pelayanan keuangan mikro yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan perlu dilakukan evaluasi agar dapat diketahui efektivitasnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suartha (2013), Litbang dan LPM UPI (2003), Lukman dkk (2008) dan Rachmawati (2011), faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan efektivitas pelayanan keuangan mikro Koperasi dalam pengentasan kemiskinan dibedakan menjadi empat bagian. Bagian-bagian tersebut terdiri atas karakteristik peminjam, peran petugas LKM, faktor lingkungan, dan ketepatan pelayanan LKM.

Karakteristik peminjam terdiri atas umur, tingkat pendidikan, jenis usaha, masa keanggotaan, tingkat pemahaman tentang LKM, tingkat kepatuhan terhadap pemimpin, dan sikap terhadap kemiskinan. Adapun peran petugas LKM terdiri atas intensitas sosialisasi, pendampingan dan efektivitas penegakan aturan. Faktor lingkungan terdiri atas dukungan luar, dukungan ketua dan dukungan anggota kelompok. Kemudian ketepatan pelayanan LKM dapat dilihat dari ketepatan sasaran, kesesuaian penggunaan dana dan kelancaran pembayaran. Kemudian selanjutnya tingkat kemiskinan dianalisis dengan menggunakan tingkat pendapatan, pendidikan, konsumsi, kesehatan dan indikator BPS.

(36)

1. Karakteristik peminjam a. Umur

Pengelompokkan umur perempuan menurut BPS dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu sebagai berikut.

i. Umur produktif yaitu selang antara 15-65 tahun

ii. Umur tidak produktif yaitu di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun iii. Umur reproduktif yaitu selang antara 15-49 tahun

b. Tingkat pendidikan

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran dan jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup. Pendidikan merupakan bekal masa depan. Ada tiga jenis lembaga pendidikan, yaitu lembaga formal, non formal dan informal (Titaley 2012).

Pembagian tingkat pendidikan yang paling mudah dilakukan adalah berdasarkan pendidikan yang diperoleh dari lembaga formal karena sudah disetarakan oleh pemerintah, tidak memerlukan upaya penyetaraan lagi seperti pada lembaga non formal dan informal. Pendidikan di lembaga formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya dan mempunyai jenjang yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Pendidikan melalui lembaga formal ini juga memegang peranan penting dalam proses mengembangkan pikiran (Titaley 2012).

c. Jenis usaha

Perempuan yang ikut mencari nafkah menjalankan triple role of women yaitu fungsi reproduktif, fungsi produktif dan fungsi sosial. Fungsi produktif yang dijalankan bertujuan untuk mendapatkan tambahan biaya hidup (Nohong 2009). Secara umum, kegiatan produktif yang dilakukan oleh perempuan terbagi menjadi dua jenis, wiraswasta atau karyawan. Adapun perempuan yang memilih tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi reproduktif dan fungsi sosial.

Beberapa motivasi perempuan memasuki lapangan kerja antara lain: tingkat pendidikan, desakan ekonomi keluarga dan waktu luang yang tersedia. Keperluan akan peningkatan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu alasan utama perempuan meninggalkan peran mereka hanya sebagai ibu rumah tangga dan masuk ke pasar kerja (Rahaju 2012).

d. Masa keanggotaan

Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota dengan layanan yang ada. Semakin lama bergabung menjadi anggota Koperasi, seharusnya semakin sering pula menikmati layanan-layanan Koperasi, sehingga peningkatan kesejahteraannya seharusnya lebih tinggi daripada anggota yang relatif baru bergabung dalam keanggotaan Koperasi.

e. Tingkat pemahaman tentang LKM

(37)

f. Tingkat kepatuhan pada pemimpin

Pemimpin adalah seorang yang dipilih dari kelompok karena memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dan umumnya mempunyai sifat-sifat yang baik. Pemimpin ada dua jenis, yaitu pemimpin formal dan informal. Pemimpin berkewajiban untuk melayani dan memenuhi kebutuhan kelompok. Bila kebutuhan kelompok tidak terpenuhi maka pemimpin tidak lagi dipandang sebagai pemimpin dan akan mencari pemimpin yang baru. Pemimpin juga harus dapat menggerakkan dan mempengaruhi anak buah/anggota kelompok sehingga mereka bersedia melakukan perintah. Pemimpin juga tidak mementingkan diri sendiri, segala tindakan pemimpin untuk kepentingan kelompok (Saliman [Tidak ada tahun]).

Gaya kepemimpinan pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Ada pemimpin yang menjalankan gaya direktif, suportif, partisipatif, orientasi prestasi dan pengasuh (Darwito 2008). Begitu pula dengan anggota kelompok, masing-masing memiliki tingkat kepatuhan pada pemimpin yang berbeda-beda. Tingkat kepatuhan ditandai dengan kesediaan mengikuti arahan dari pemimpin.

g. Sikap terhadap kemiskinan

Sikap terhadap kemiskinan adalah kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, dengan penuh kesadaran untuk keluar dari kemiskinan. Seseorang akan mudah diberdayakan untuk keluar dari kemiskinan apabila ia sudah memiliki sikap positif untuk keluar dari kemiskinan (Suartha 2013).

Sikap dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif menampakkan kecenderungan tindakan yang mendekati, menyenangi dan mengharapkan obyek tertentu. Adapun sikap negatif menunjukkan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai obyek tertentu (Suartha 2013). Ada juga istilah sikap netral yang tidak berpihak ke salah satu pihak, tidak cenderung mendekati juga tidak cenderung menjauhi.

2. Peran petugas LKM a. Intensitas sosialisasi

Sosialisasi merupakan langkah awal yang turut menentukan keberhasilan program. Sosialisasi program biasanya berupa pengenalan seluk beluk program, mekanisme pelaksanaan dan sanksi yang berlaku. Kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan secara bersamaan belum tentu menimbulkan pemahaman yang sama pada peserta yang mendapat sosialisasi.

b. Intensitas pendampingan

Pendampingan dilakukan untuk mengawal anggota agar dapat memanfaatkan program untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pendampingan juga dilaksanakan sebagai sarana konsultasi antara anggota dan pengurus untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.

(38)

masyarakat miskin. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah sebagai berikut.

i. Pendekatan sosio-karikatif

Pendekatan berdasarkan pada anggapan bahwa masyarakat adalah miskin, menderita dan tidak mampu menolong diri sendiri, contoh: pemberian raskin.

ii. Pendekatan sosio-reformis

Pendekatan bersifat aksidental dan bertujuan mengembalikan keadaan ke kondisi normal kembali, contoh: aksi penanggulangan bencana alam. iii. Pendekatan sosio-ekonomis

Pendekatan berdasarkan pada anggapan bahwa orang miskin mempunyai potensi untuk mengatasi masalah sosial ekonominya sendiri. Pendekatan ini sering digunakan dalam aksi pemberdayaan. iv. Pendekatan sosio-transformis

Pendekatan berdasarkan keyakinan bahwa pembangunan masyarakat pada dasarnya adalah perubahan sikap, tingkah laku, pandangan dan budaya masyarakat. Upaya yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah dengan memperjuangkan kebijakan pembangunan yang berkeadilan dan partisipatif (Hermantyo [Tidak ada tahun]).

Tahap-tahap pemberdayaan dilihat dari segi tingkat pelibatan pendamping meliputi sebagai berikut.

i. Tahap animasi, yaitu tahap menumbuhkan/membangkitkan semangat masyarakat.

ii. Tahap fasilitasi, yaitu tahap membantu masyarakat menembus rintangan teknis.

iii. Tahap penghapusan diri, yaitu tahap pendamping menarik diri dari dampingannya (Hermantyo [Tidak ada tahun]).

c. Efektivitas penegakan aturan

Aturan yang telah ditetapkan wajib dilaksanakan agar mendukung tercapainya tujuan program. Setiap anggota yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan wajib diberikan sanksi sesuai ketentuan. Sanksi berfungsi memberi efek jera pada anggota yang bersangkutan dan sebagai sarana pembelajaran dan pencegahan bagi anggota yang lain. 3. Faktor lingkungan

a. Faktor luar

Anggota Koperasi sebagai bagian dari masyarakat mendapat dukungan lain selain dari Koperasi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dukungan tersebut dapat berasal dari keluarga, pemerintah, swasta maupun lembaga lainnya.

b. Dukungan ketua kelompok

Ketua kelompok berperan dalam mendukung pelaksanaan pelayanan keuangan mikro Koperasi. Tingkat dukungan ketua kelompok yang diterima anggota berbeda-beda, tergantung besar dukungan yang diberikan dan persepsi anggota terhadap dukungan tersebut.

c. Dukungan anggota kelompok

(39)

renteng berarti anggota siap membantu satu sama lain apabila ada yang mengalami kesulitan.

4. Ketepatan pelayanan LKM a. Ketepatan sasaran

Suatu program pengentasan kemiskinan dikatakan tepat sasaran jika penerimanya termasuk kategori orang miskin. Begitu juga sebaliknya, program tidak tepat sasaran jika penerimanya bukan termasuk orang miskin.

b. Kesesuaian penggunaan dana

Penggunaan dana pinjaman untuk kegiatan produktif lebih memungkinkan terjadinya peningkatan pendapatan rumah tangga daripada penggunaan dana untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif. Hal tersebut terlebih lagi jika sifat dana adalah pinjaman dengan tambahan pembayaran tertentu.

c. Kelancaran pembayaran

Kelancaran pembayaran merupakan syarat agar kegiatan simpan pinjam berjalan lancar dan berkembang. Di antara strategi yang digunakan agar kelancaran pembayaran tinggi adalah dengan adanya sistem tanggung renteng.

5. Tingkat kemiskinan

Kemiskinan relatif menunjukkan ketidakmerataan pendapatan antara seseorang dengan orang lain dalam suatu kelompok atau satu kelompok dengan kelompok masyarakat yang lain (Rusli dkk 1995 dalam Yulianto 2005). Selain menggunakan tingkat pendapatan, kemiskinan juga dapat dianalisis dengan menggunakan tingkat pendidikan, tingkat konsumsi dan tingkat kesehatan. Hal tersebut karena kemiskinan ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan rendahnya tingkat kesehatan.

a. Tingkat pendapatan

Pendapatan yang masuk ke dalam rumah tangga akan digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat pendapatan suatu rumah tangga sudah memenuhi standar yang ditentukan oleh pemerintah adalah membandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang sudah ditentukan. Adapun UMR wilayah Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp2 242 240 per bulan, sedangkan untuk wilayah Kota Bogor adalah sebesar Rp2 352 350 per bulan (www.republika.co.id). Jika suatu rumah tangga sudah melampaui batas UMR yang telah ditetapkan, maka secara umum tingkat pendapatan dianggap cukup, begitu pula sebaliknya.

b. Tingkat pendidikan

(40)

tingkat pendidikan minimal yang wajib ditempuh adalah hingga tingkat SMP atau sederajat dan tingkat pendidikan yang sangat disarankan untuk ditempuh adalah hingga tingkat SMA atau sederajat.

c. Tingkat konsumsi

Penggunaan tingkat konsumsi sebagai salah satu indikator pengukuran tingkat kemiskinan rumah tangga karena beberapa alasan. Pertama, masyarakat terutama golongan miskin biasanya mempunyai pendapatan yang tidak tetap, sehingga lebih mudah untuk menanyakan jenis barang dan jasa yang pernah dikonsumsi. Kedua, penggunaan tingkat konsumsi akan mempermudah dalam mengkonversi ke dalam bentuk kalori karena mengetahui jenis makanan yang dikonsumsi. Ketiga, pada kenyataannya, penduduk miskin tidak mempunyai tabungan, sehingga tingkat pendapatan akan sama dengan tingkat konsumsi dalam jangka menengah (Kemenkominfo 2011).

Pengukuran sejauh mana tingkat konsumsi per kapita dalam suatu rumah tangga telah memenuhi standar minimal yang ditentukan adalah membandingkan dengan garis kemiskinan pemerintah. Garis kemiskinan berbeda pada setiap provinsi dan juga dibedakan antara wilayah desa dan kota. Adapun garis kemiskinan wilayah pedesaan untuk Provinsi Jawa Barat per Maret 2014 adalah sebesar Rp277 645 (BPS 2014). Jika suatu rumah tangga telah melewati garis kemiskinan, rumah tangga tersebut termasuk rumah tangga bukan miskin.

d. Tingkat kesehatan

Kesehatan merupakan unsur paling penting dalam kehidupan manusia. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau (UU No 36 Tahun 2009). Pemerintah diwajibkan untuk memberikan lima jaminan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia setelah dikeluarkannya UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) pada tahun 2003 dan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada tahun 2011. Kelima jaminan dasar tersebut yaitu jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan tunjangan hari tua (Janis [Tidak ada tahun]). Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Banyak masyarakat merasa kesulitan mendapatkan pengobatan sesuai yang dibutuhkan.

e. Indikator kemiskinan menurut BPS

BPS mengembangkan indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan melalui 14 indikator rumah tangga miskin. Secara umum indikator kemiskinan tersebut mengukur kelayakan tempat tinggal, jenis-jenis fasilitas rumah yang dimiliki, jenis-jenis makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dalam sehari, frekuensi belanja pakaian dalam setahun, tingkat kesanggupan memenuhi kebutuhan makanan dan pengobatan, penghasilan, dan pendidikan kepala keluarga serta aset yang dimiliki.

Kerangka Pemikiran

(41)

tidaknya dalam mencapai tujuan tersebut dipengaruhi banyak faktor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suartha (2013), Litbang dan LPM UPI (2003), Lukman dkk (2008) dan juga Rachmawati (2011), faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan efektivitas LKM dalam pencapaian tujuan secara garis besar dikategorikan menjadi empat bagian. Bagian-bagian tersebut terdiri atas karakteristik peminjam, peran petugas LKM, faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan LKM. Kerangka pemikiran untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Karakteristik peminjam terdiri atas umur, tingkat pendidikan, jenis usaha, masa keanggotaan, tingkat pemahaman tentang LKM, tingkat kepatuhan terhadap pemimpin dan sikap terhadap kemiskinan. Peran petugas LKM terdiri atas intensitas sosialisasi, intensitas pendampingan dan efektivitas penegakan aturan. Faktor lingkungan terdiri atas dukungan luar, dukungan ketua dan anggota kelompok. Adapun ketepatan pelayanan LKM dapat dilihat dari ketepatan sasaran, kelancaran pembayaran dan kesesuaian penggunaan dana.

Keterangan :

Berhubungan

Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis pengentasan kemiskinan melalui pelayanan keuangan mikro koperasi

Y3 Tingkat Kemiskinan Indikator BPS

X2. Peran Petugas LKM

X2.1 Intensitas Sosialisasi X2.2 Intensitas Pendampingan X2.3 Efektivitas Penegakan Aturan X3. Faktor Lingkungan

X3.1 Dukungan Luar X3.2 Dukungan Ketua Kelompok

X3.3 Dukungan Anggota Kelompok

Y1. Ketepatan Pelayanan LKM

Y1.1 Ketepatan Sasaran

Y1.2 Kesesuaian Penggunaan Dana Y1.3 Kelancaran Pembayaran X1. Karakteristik Peminjam

X1.1 Umur

X1.2 Tingkat Pendidikan X1.3 Jenis Usaha X1.4. Masa Keanggotaan

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran analisis pengentasan kemiskinan melalui
Gambar 2  Langkah pengambilan responden penelitian analisis pengentasan kemiskinan melalui pelayanan keuangan mikro koperasi
Tabel 2  Sebaran anggota koperasi Baytul Ikhtiar cabang Tamansari per Mei  2014
Tabel 3  Sebaran anggota koperasi Baytul Ikhtiar cabang Dramaga per Desember 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari basil perhitungan tahanan hull dan strut dengan berbagai parameter dapat. ditarik beberapa kesimpulan

Tabel di atas adalah hasil pengambilan sampel menggunakan teknik tidak secara acak (nonprobability sampling) dengan jenis teknik sampel yaitu Judgement Sampling

bahwa salah satu hasil rapat koordinasi yang dihadiri oleh: Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat; Asisten Administrasi Umum; Staf Ahli Bupati Bidang

Dengan adanya uji coba sistem diklat sebagai validasi, memiliki beberapa manfaat, diantaranya: (1) menghasilkan sistem diklat yang valid, baik standar kurikulum,

Metode Adam-Bashforth-Moulton ordo lima memberikan alternatif metode dalam mendapatkan solusi dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi dengan jumlah komputasi yang lebih

Faktor produksi adalah sejumlah input yang digunakan untuk proses usahatani guna menghasilkan output berupa hasil produksi tanaman, faktor-faktor yang diteliti

(stakeholder), oleh karena itu perlu adanya suatu pengukuran kinerja yang tidak hanya melihat aspek financial tetapi juga aspek non financial, akan tetapi kebanyakan

a) Kematangan. Dalam pemberian motivasi, faktor kematangan fisik, sosial dan psikis haruslah diperhatikan, karena hal itu dapat mempengaruhi motivasi. Seandainya dalam pemberian