• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perumusan Kebijakan Biodiesel Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan Model Sistem Dinamis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perumusan Kebijakan Biodiesel Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan Model Sistem Dinamis"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PERUMUSAN KEBIJAKAN BIODIESEL KELAPA SAWIT

DENGAN MENGGUNAKAN METODE

REGULATORY

IMPACT ANALY SIS

DAN MODEL SISTEM DINAMIS

HENDRI WIJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perumusan Kebijakan Biodiesel Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan Model Sistem Dinamis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

HENDRI WIJAYA. Perumusan Kebijakan Biodiesel Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan Model Sistem Dinamis. Dibimbing oleh YANDRA ARKEMAN dan ERLIZA HAMBALI.

Indonesia telah memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan biodiesel. Komitmen tersebut dibuktikan oleh adanya beberapa regulasi terkait dengan pengembangan biodiesel yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga secara politik pengembangan biodiesel mempunyai kekuatan hukum.

Salah satu kebijakan terbaru terkait biodiesel yang dikeluarkan pemerintah adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (Permen ESDM RI) Nomor 12 tahun 2015. Peraturan tersebut merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM RI Nomor 32 tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Permen ESDM RI Nomor 32 tahun 2008 sebelumnya telah direvisi melalui Permen ESDM RI No 25 Tahun 2013 dan Permen ESDM RI No 20 Tahun 2014. Permen ESDM RI Nomor 12 tahun 2015 menetapkan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel sebagai campuran BBM untuk pemakaian di sektor transportasi PSO dan non PSO, industri dan komersil, serta pembangkit listrik secara bertahap dari tahun 2015 sampai 2025.

Penerapan regulasi biodiesel di lapangan ternyata sering menghadapi masalah. Beberapa hasil penelitian terdahulu menyebutkan kontribusi atau target pencapaian biodiesel sebagai bahan campuran diesel tidak tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi yang diperlukan, menyusun skenario kebijakan, serta merumuskan kebijakan untuk mendukung pencapaian target penggunaan biodiesel sesuai Permen ESDM RI Nomor 12 tahun 2015.

Kebijakan pemerintah yang ada untuk mendukung pencapaian penggunaan biodiesel kelapa sawit adalah disinsentif CPO; pemberian keringanan pengembalian pinjaman (bunga) untuk investasi pabrik biodiesel, pembebasan atau keringanan pajak masuk untuk teknologi atau peralatan investasi pabrik biodiesel; subsidi campuran biodiesel dan diesel sebesar Rp 1 000/liter. Simulasi model dinamis terhadap kebijakan pemerintah yang ada menghasilkan target pencapaian penggunaan biodiesel sebagai bahan campuran diesel tidak dapat terpenuhi.

Target penggunaan biodiesel kelapa sawit sebagai bahan campuran diesel akan tercapai apabila terdapat dukungan tambahan kebijakan atau kondisi berupa peningkatan laju kapasitas produksi biodiesel, pemberian insentif biodiesel, peningkatan produktivitas lahan kelapa sawit, perubahan pemberian subsidi biodiesel minimal diatas Rp 1 250/liter untuk suku bunga 7 % atau Rp 1 350/liter untuk suku bunga 9 %.

(6)

SUMMARY

HENDRI WIJAYA. Policy Formulation on Indonesian Palm Oil Biodiesel with Regulatory Impact Analysis and System Dynamic Model. Supervised by YANDRA ARKEMAN and ERLIZA HAMBALI.

Indonesia has strongh commitment to develop biodiesel. This commitment has been proved by issuing several government’s policy in the form of regulations to develop biodiesel. So that the development of biodiesel has legal force politically.

One of the latest policy issued by the government is the Ministerial Regulation from Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) of the Republic of Indonesia Number 12 of 2015. This regulation is the third revision of Regulation of ESDM Number 32 of 2008 that concerning the provision, use, and administration of biofuels as other energy. Before that, regulation of ESDM Number 32 of 2008 has revised by Regulation of ESDM Number 25 of 2012 and ESDM Number 20 of 2014. The core content of the Regulation of ESDM Number 12 of 2015 is mandatory in PSO and non PSO transportation, industry and bussiness, and power plant sector to use biofuels as a mixture of fuel with a certain mixture composition from 2015 to 2025

The implementation of biodiesel regulation in practice actually has many problems. Several of earlier research mentioned that contribution or target to use biodiesel as a mixture of diesel fuel was not achieved. This research provides required condition analysis, policy scenario design, and formulation of a policy to meet the target of the obligation to use biodiesel as a mixture of diesel fuel according to the Ministry Regulation of Energy and Mineral Resources of Republic Indonesia Number 12 of 2015.

The current government policy is a disincentive CPO; granting relief loan repayment (interest) for the biodiesel plant investment, exemption or tax relief on entry to the technology or equipment biodiesel plant investment; mixture diesel fuel and biodiesel subsidy of IDR 1000 per liter. The simulation results describe the current government policy to support the achievement of the use of biodiesel as a mixture of diesel fuel will not be able to meet the target of achieving the use of biodiesel as a mixture of diesel fuel.

The target use of palm oil biodiesel as a mixture of diesel, require additional support policies or conditions by increasing the rate of production capacity of biodiesel, biodiesel incentives, increase land productivity of palm oil, biodiesel subsidies minimal changes over IDR 1250 per liter for 7% interest rate and IDR 1350 per liter for 9% interest rate.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

PERUMUSAN KEBIJAKAN BIODIESEL KELAPA SAWIT

DENGAN MENGGUNAKAN METODE

REGULATORY

IMPACT ANALY SIS

DAN MODEL SISTEM DINAMIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Penulis panjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat, sehingga tugas akhir penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penulisan karya ilmiah ini adalah Perumusan Kebijakan Biodoesel Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan Model Sistem Dinamis. Karya ilmiah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat memperoleh gelas Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor.

Penulis pada kesempatan ini bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr Ir Yandra Arkeman, MEng dan Prof Dr Erliza Hambali selaku komisi pembimbing yang telah secara tulus memberikan bimbingan sejak penentuan topik tesis hingga penyelesain penulisan tesis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Elisa Anggraeni, STP MSi selaku penguji luar komisi, Kepala Program Studi TIP beserta staf, Dekan Pasca Sarjana IPB beserta staf.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibunda, Istri serta anak-anak, yang telah memberikan dan menjadi motivasi selama melaksanakan studi. Terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman Cigaris, TIP S2 angkatan 2012 yang telah memberikan dukungan motivasi untuk penyelesaian studi di TIP.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan khususnya di sektor bioenergi.

Bogor, Juni 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Analisis terhadap Kebijakan Bioenergi 4

Model Dinamis Biodiesel Kelapa Sawit 4

Tinjauan Kebijakan Biofuel di Asia Tenggara, Uni Eropa, Amerika, dan

Amerika Latin 5

Tinjauan Kebijakan Biofuel di Indonesia 13

3 METODE 15

Kerangka Penelitian 15

Jenis dan Sumber Data 16

Metode Analisis Data 16

Tahapan Penelitian 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Kondisi untuk Mendukung Implementasi Kebijakan Biodiesel 25 Skenario Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Biodiesel 30

Rumusan Kebijakan Pengembangan Biodiesel 39

5 SIMPULAN DAN SARAN 40

Simpulan 40

Saran 41

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 45

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kewajiban pemanfataan minimal biodiesel terhadap kebutuhan total 2

2 Jenis dan sumber data 17

3 Parameter yang digunakan 24

4 Hasil identifikasi peran dan kendala pemangku kepentingan 28 5 Status ketercapaian ketersediaan dan kebutuhan kewajiban biodiesel 37 6 Kriteria kelayakan finansial NPV dan B/C untuk skenario 4 38

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 16

2 Tahapan pengembangan model sistem dinamis 20

3 Batasan rancangan model sistem dinamis mandatori biodiesel 21 4 Rancangan causal loop model sistem dinamis kewajiban biodiesel 22 5 Alternatif proses pengolahan CPO sebagai bahan baku biodiesel 32 6 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan kewajiban biodiesel

berdasarkan kondisi yang ada 35

7 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan kewajiban biodiesel

berdasarkan kondisi yang ada dan skenario 1 35

8 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan kewajiban biodiesel berdasarkan kondisi yang ada, skenario 1 dan 2 36 9 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan kewajiban biodiesel

berdasarkan kondisi yang ada, skenario 1, 2, 3, dan 4 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Formulasi model dinamis pencapaian kewajiban biodiesel 45 2 Diagram stockflow model sistem dinamis pencapaian target

kewajiban biodiesel sebagai campuran bahan bakar diesel 51 3 Hasil validasi model terhadap variabel produksi CPO dan konsumsi

diesel 54

4 Data-data yang digunakan 55

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Indonesia sampai saat ini belum mampu mewujudkan ketahanan energi, bahkan diidentifikasi mengalami permasalahan penyediaan energi. Permasalahan penyediaan energi di Indonesia antara lain adalah masih banyak bergantung pada sumber energi fosil untuk bahan bakar minyak, serta pemanfaatan energi baru terbarukan masih tergolong rendah.

Indonesia belum dapat secara signifikan melepaskan diri dari penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi. Minyak bumi merupakan sumber energi terbesar di Indonesia. Bauran energi Indonesia pada tahun 2013 tercatat sebesar 44 % berasal dari minyak bumi. Produksi minyak bumi nasional cenderung menurun, sementara konsumsi naik sehingga menjadikan Indonesia harus mengimpor minyak bumi. Produksi minyak bumi tahun 2013 sebesar 300 juta barel. Impor minyak bumi tahun 2013 sebesar 118 juta barel. Rasio ketergantungan bahan bakar minyak bumi (BBM) rata-rata dari tahun 2005 sampai dengan 2013 adalah sebesar 34 %. Pada tahun 2013 rasio ketergantungan impor BBM berada diatas rata-rata, yaitu sebesar 37 % (DEN 2014).

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang dipercaya dapat menjadi solusi tepat untuk mengatasi pasokan energi yang masih tergolong rendah. Kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 8 % dari total kebutuhan energi (DEN 2014). Target pemerintah pada tahun 2025 sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006, EBT yang semula diharapkan memberikan kontribusi suplai sebesar 17 %, telah ditingkatkan paling sedikit 23 % dalam Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional tahun 2014.

Bionergi merupakan sumber EBT yang paling mampu menggantikan peran sumber energi fosil, baik sebagai penyedia listrik maupun BBM. Bioenergi dinilai paling mudah dikonversi menjadi energi bahan bakar maupun listrik. Sumber EBT lainnya, yaitu panas bumi, aliran dan terjunan air (hidro), sinar matahari, angin, gerakan dan perbaikan suhu lapisan laut hanya mudah dikonversi menjadi listrik (Thornley and Deborah 2008, Soerawidjaja 2011).

(16)

Rumusan Masalah

Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan bioenergi telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan dalam bentuk regulasi. Salah satu kebijakan terbaru yang dikeluarkan pemerintah adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (Permen ESDM RI) No 12 tahun 2015. Peraturan tersebut merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM RI No 32 tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Permen ESDM RI No 12 tahun 2015 menetapkan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel sebagai campuran BBM untuk pemakaian di sektor transportasi PSO dan non PSO, industri dan komersil, serta pembangkit listrik secara bertahap sampai tahun 2025. Kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kewajiban pemanfaatan minimal biodiesel terhadap kebutuhan total

Sektor Kewajiban pemanfaatan minimal

biodiesel (%)

Indonesia mempunyai potensi ketersediaan bahan baku yang cukup tinggi untuk dikembangkan menjadi produk biodiesel, namun kondisi industri biodiesel di Indonesia saat ini belum optimal. Produksi biodiesel nasional pada tahun 2014 sebesar 3.4 juta kl, dibawah kapasitas produksi terpasang sebesar 5.6 juta kl. Hanya terdapat 14 produsen biodiesel yang berproduksi dari 25 produsen biodiesel yang memiliki izin usaha niaga BBN (KESDM 2015). Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menghambat ketersediaan pasokan sehingga target pemanfaatan minimal biodiesel tidak akan tercapai.

(17)

terhadap Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang target bauran energi nasional tahun 2025 menghasilkan kontribusi biodiesel untuk memenuhi target bauran energi nasional pada tahun 2025 juga tidak tercapai. Kontribusi biodiesel tidak tercapai karena kewajiban campuran yang rendah, pasokan bahan baku terbatas, dan pasar yang terbatas pada sektor PSO saja (Handoko et al. 2012).

Penelitian dilakukan dalam rangka untuk membuat skenario pencapaian pasokan biodiesel dalam rangka memenuhi target mandatori sesuai Permen ESDM RI No 12 tahun 2015. Oleh karena itu penelitian didasarkan pada permasalahan :

1. Bagaimana menganalisis kondisi yang diperlukan untuk mendukung implementasi kebijakan biodiesel yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. 2. Bagaimana menyusun skenario pencapaian pasokan pengembangan biodiesel

kelapa sawit.

3. Bagaimana menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit.

Tujuan

Tujuan umum penelitian adalah menghasilkan rumusan kebijakan pengembangan biodiesel kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan target mandatori biodiesel sesuai Permen ESDM RI No 12 tahun 2015. Tujuan khusus penelitian meliputi :

1. Menganalisis kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mendukung kebijakan biodiesel yang telah dikeluarkan pemerintah dengan menggunakan metode RIA (Regulatory Impact Assessment).

2. Merancang skenario rekomendasi kebijakan pengembangan biodiesel menggunakan model sistem dinamis.

3. Merumuskan kebijakan pengembangan biodiesel untuk mendukung kebijakan biodiesel yang telah dikeluarkan pemerintah.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah :

1. Kebijakan yang dianalisis adalah mandatori biodiesel sesuai Permen ESDM RI No 12 tahun 2015

2. Studi ini terbatas hanya pada sistem biodiesel dari kelapa sawit

3. Metode RIA digunakan untuk menghasilkan altenatif kondisi yang diperlukan dalam mencapai target mandatori biodiesel, sehingga disain implementasi kebijakan pada tahapan metode RIA tidak dilakukan

4. Penilaian dampak pada tahapan metode RIA dianalisis dengan menggunakan model sistem dinamis

5. Nilai laju perubahan ekspor dalam model sistem dinamis ditentukan berdasarkan pada analisis data sebelumnya dan atau wawancara dengan pemangku kepentingan yang relevan

(18)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab tinjauan pustaka ini akan disampaikan mengenai analisis kebijakan bioenergi, model dinamis biodiesel kelapa sawit, tinjauan kebijakan biofuel di Asia Tenggara, Uni Eropa, Amerika, dan Amerika Latin, serta tinjauan kebijakan biofuel di Indonesia.

Analisis terhadap Kebijakan Bioenergi

Sadewo (2012) melakukan analisis terhadap implementasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No 32 tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Hasil analisis menyimpulkan implementasi kebijakan kewajiban biodiesel belum berjalan maksimal. Indikator kinerja pemanfaatan biodiesel dari tahun 2009 sampai 2011 mengalami peningkatan, namun secara volume terdapat kesenjangan antara target dan realisasi yang semakin besar. Penelitian tersebut menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif.

Prambudia dan Nakano (2012) melakukan penelitian integrasi interaksi antar berbagai komponen untuk menilai kinerja keamanan energi dalam perspektif ekonomi dengan menggunakan model simulasi dan sistem dinamis di Indonesia. Sekenario model dinamis ada tiga, yaitu tanpa membuat kebijakan sesuai kondisi yang ada, peningkatan produksi, dan pengurangan subsidi. Dimensi diukur bedasarkan kelompok ketersediaan, keterjangkauan, efisiensi, dan keterterimaan, dengan indikator kecukupan, impor, biaya, subsidi, emisi.

Hasil penelitian Prambudia dan Nakano (2012) menyimpulkan bahwa untuk memperbaiki keamanan energi di Indonesia, penetapan kebijakan untuk mengurangi subsidi akan lebih menguntungkan dibanding kebijakan untuk meningkatkan produksi energi. Kebijakan pengurangan subsidi untuk energi akan memperbaiki ukuran dimensi kinerja ketersediaan, efisiensi, dan keterterimaan, sedangkan peningkatan produksi memenuhi ukuran dimensi ketersediaan, keterjangkauan, dan efisiensi namun tidak memenuhi keterterimaan. Penelitian yang dilakukan Prambudia dan Nakano (2012) sudah mengidentifikasi pelaku yang terlibat dalam implementasi suatu kebijakan namun belum spesifik mengaitkan dengan pencapaian target penggunaan biofuel sesuai regulasi yang ada.

Model Dinamis Biodiesel Kelapa Sawit

Lembito et al. (2013) melakukan penelitian dengan judul Designing a Supply Chain System Dynamic Model for Palm Oil Agro-Industries. Model dinamis rantai pasok industri CPO yang disusun terdiri dari submodel produksi, permintaan dan suplai, serta pendapatan dan biaya. Model dinamis memasukan parameter biaya logistik yang terdiri dari biaya transportasi dan penyimpanan yang membedakan dengan penelitian yang dirujuk sebelumnya. Namun model tersebut belum memasukan potensi CPO untuk memenuhi kebutuhan biodiesel.

(19)

nasional. Model sistem dinamis terdiri dari produksi CPO untuk konsumsi (minyak goreng, margarine dan oleokimia), ekspor dan biodiesel. Hasil penelitian menyebutkan pengembangan bioenergi berbahan baku CPO dapat mengurangi alokasi CPO untuk konsumsi (minyak goreng, margarin, oleochemical dan sabun). Berkurangnya pasokan CPO akibat alokasi untuk bioenergi akan berpengaruh pada harga CPO domestik. Harga CPO domestik akan fluktuatif namun cenderung mengalami kenaikan.

Handoko et al. (2012) melakukan penelitian tentang permodelan sistem dinamik ketercapaian kontribusi biodiesel dalam bauran energi Indonesia 2025 sesuai Peraturan Presiden No 5 tahun 2006. Model sistem dinamis yang disusun terdiri dari lahan, pabrik refineri, pabrik biodiesel, dan penggunaan untuk minyak goreng dan biodiesel sebagai bahan bakar. Penelitian menggabungkan kemungkinan penyediaan biodisel dengan menggunakan bahan baku CPO dan minyak jarak pagar. Hasil penelitian menyebutkan pada kondisi mandat 5 % dan subsidi biodiesel Rp2 000 /l tidak akan mencapai target biodiesel pada tahun 2025 sebesar 10.22 juta kl. Target kontribusi biodiesel dalam bauran energi Indonesia 2025 sebesar 10.22 juta ton tersebut dapat dicapai dengan intervensi kebijakan-kebijakan yang meliputi 1) pencabutan subsidi solar ke level harga pasar, 2) perluasan implementasi kewajiban penggunaan campuran biodiesel ke solar di sektor transportasi non PSO, industri, dan pembangkit listrik sehingga mencapai target minimum campuran sebesar 10 % untuk memberikan kepastian pasar, 3) Pengenaan pajak lingkungan terhadap solar sebesar minimum 5 % sebagai tambahan atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan (PBBKB), 4) Subsidi biodisel minimum sebesar Rp2 000 /l. Penelitian memasukan minyak jarak sebagai sumber bahan baku biodiesel, padahal dalam kenyataannya minyak jarak belum nyata berproduksi. Penelitian juga hanya memasukkan minyak goreng sebagai alternatif penggunaan CPO, belum memasukan industri lain seperti oleokimia.

Tinjauan Kebijakan Biofuel di Asia Tenggara, Uni Eropa, Amerika, dan Amerika Latin

1. Malaysia

Malaysia pertama kali mempromosikan kebijakan penganekaragaman sumber energi adalah di tahun 1981. Kebijakan Malaysia menetapkan 4 sumber energi, yaitu minyak, air, batubara, dan gas. Tujuan kebijakan tersebut adalah mengurangi ketergantungan pada konsumsi bahan bakar minyak bumi (Kumar et al. 2013).

(20)

Keuntungan pengembangan biodiesel di Malaysia antara lain dapat mencegah dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak, menciptakan pasar baru bagi industri hilir kelapa sawit, meningkatkan efisiensi utilisasi bahan baku hasil produk dalam negeri, meningkatkan kesetabilan sosial ekonomi, mendapatkan sumber energi yang ramah lingkungan yaitu dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (Zou and Thomson 2009).

Malaysia dalam mendukung pengembangan biodiesel telah mengeluarkan kebijakan yang berupa insentif, pajak, dan retribusi. Pemerintah Malaysia pada tahun 1986 telah mengeluarkan kebijakan pembebasan pajak sebesar 70 % dari pendapatan industri biodiesel untuk 5 tahun pertama operasi. Ekspor biodiesel tidak dikenakan biaya, namun ekspor produk CPO dikenakan biaya. Mulai tahun 2004 sampai 2006 pemerintah menyediakan anggaran US$26,8 juta untuk pinjaman dengan bunga rendah serta untuk kegiatan penelitian, pengembangan, dan demonstrasi hasil. Pada tahun 2006 Pemerintah Malaysia mewajibkan setidaknya 6 juta ton CPO digunakan sebagai bahan baku biodiesel (Kumar et al. 2013, Sorda et al. 2010).

Produksi biodiesel Malaysia Tahun 2006 sebesar 55 000 ton, meningkat menjadi 434 800 ton pada tahun 2007. Pemerintah Malaysia telah memberikan ijin kepada 92 pabrik untuk memproduksi biodiesel dengan kapasitas produksi keseluruhan mencapai 10.2 juta ton. Namun demikian, banyak pabrik biodiesel yang telah diberikan ijin produksi tidak memproduksi biodiesel karena terkendala dengan harga bahan baku CPO yang semakin meningkat sehingga dinilai tidak layak secara ekonomi (Kumar et al. 2013).

Produksi biodiesel Malaysia menurun mulai tahun 2008 sampai 2011. Pada tahun 2011 produksi biodiesel hanya mencapai 60 027 ton (GAIN 2014). Selain adanya kenaikan harga CPO, isu lingkungan yaitu tidak terpenuhinya syarat reduksi gas rumah kaca produk biodiesel untuk dipasarkan ke Uni Eropa dan Amerika juga ikut andil menyebabkan penurunan produksi biodiesel. Pemerintah Malaysia mengeluarkan peraturan untuk mengurangi masalah tren penurunan produksi biodiesel mulai tanggal 1 Januari 2010, semua stasiun pengisian bahan bakar harus menjual B5. Malaysia memberikan kebijakan subsidi ke industri untuk mengatasi biaya produksi biodiesel yang tinggi. Namun kebijakan tersebut hanya berlangsung sampai bulan Juni tahun 2011, sehingga tidak dapat menaikan produksi biodiesel nasional (Kumar et al. 2013).

Pemerintah Malaysia pada tahun 2012 mulai fokus melaksanakan implementasi mandat kewajiban penggunaan B5 yang sebelumnya tertunda. Produksi biodiesel mulai tahun 2012 naik kembali. Pada tahun 2013 produksi biodiesel Malaysia sebesar 330 032 ton naik 134 % dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 140 983 ton. Walaupun produksi biodiesel naik, namun produksi biodiesel Malaysia masih berada dibawah kapasitas produksi. Jumlah pabrik biodiesel yang beroperasi hanya 10 unit dari 34 pabrik yang terdaftar. Pemerintah Malaysia menargetkan implementasi kewajiban B7 pada tahun 2015. Target produksi biodiesel dengan menerapkan B7 pada tahun 2015 adalah sebesar 500 000 ton (GAIN 2014).

(21)

2. Thailand

Thailand merupakan salah satu negara yang sukses mengembangkan biofuel untuk memenuhi sebagian kebutuhan energi. Produk biofuel yang dikembangkan di Thailand adalah etanol dan biodiesel. Pemerintah Thailand berhasil mengembangkan etanol karena didukung ketersediaan bahan baku molases domestik yang diproduksi dari singkong dan tebu. Tingkat produksi singkong di Thailand mencapai 26 juta ton dan tebu mencapai 64 juta ton/tahun (Zou and Thomson 2009). Produk biodiesel di Thailand diproduksi dari bahan baku kelapa sawit dan kelapa.

Kebijakan dan pelaksanaan pengembangan biofuel pertama kali dibangun melalui program Alternatif Energy Development Plan (AEDP) mulai tahun 2004 sampai 2011. Untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dengan target sebesar 20 % dari total kebutuhan energi pada tahun 2022, Pemerintah Thailand mengeluarkan program kedua AEDP untuk tahun 2008 sampai 2022 (Kumar et al. 2013). Pemerintah Thailand kemudian merevisi target bauran energi terbarukan menjadi 25 % pada tahun 2021 melalui program AEDP untuk tahun 2012 sampai 2021 (Sutabutr 2012).

Target bauran biofuel yang dipenuhi dari pengembangan etanol dan biodiesel direncanakan melalui program jangka pendek tahun 2011, menengah tahun 2016, dan panjang tahun 2022. Target produksi etanol program jangka pendek adalah 3 juta l/hari pada tahun 2011, 6,2 juta l/hari pada tahun 2016 untuk jangka menengah, 9 juta l/hari pada tahun 2012 untuk jangka panjang. Target produksi biodiesel program jangka pendek adalah 3 juta l/hari pada tahun 2011, 3,6 juta l/hari pada tahun 2016 untuk jangka menengah, 5,97 juta l/hari pada tahun 2012 untuk jangka panjang (Kumar et al. 2013).

Kebijakan yang diterapkan dalam pengembangan etanol sesuai AEDP adalah meningkatkan produksi dan produktivitas bahan baku singkong dan tebu, mengembangkan alternatif bahan baku lainnya yaitu gandum, menggantikan penggunaan bensin oktan 91 pada bulan oktober 2012, subsidi E20 gasohol sebesar 3 baht/l (sekitar US$3 /l) lebih murah dari 95 oktan gasohol dan memperluas stasiun pengisian E20, mendukung industri manufaktur Eco Car dan mobil E85 dengan mengurangi pajak untuk industri otomotif sebesar 50 000 baht (sekitar US$1 600) untuk setiap mobil E85 dan 30 000 baht (sekitar US$1 000) untuk setiap Eco Car, mengubah peraturan dan undang-undang untuk mendukung perdagangan bebas, dan memperbaiki bea cukai pajak untuk mendukung ekspor etanol (Haema 2012), membiayai kegiatan R&D sebesar US$187.1 juta selama tahun 2012 sampai 2016 untuk bioenergi, memberikan insentif finansial (feed in tariff) dan fiskal (potongan/bebas pajak penghasilan) untuk investasi bioenergi bagi swasta (Sutabutr 2012).

(22)

Diantara negara berkembang di Asia, Thailand adalah negara yang mempunyai rata-rata pertumbuhan etanol tertinggi. Pada awalnya etanol merupakan campuran bensin premium dengan angka oktan 95, dan mulai tahun 2003 pasar gasolin E10 mulai dikembangkan. Pemerintah Thailand pada tahun 2003 menargetkan produksi etanol sebesar 1 juta l/hari, untuk tahun 2006 sampai 2011 sebesar 3 juta l/hari, dan mulai tahun 2012 sebesar 9 juta l/hari (Thammanomai 2014). Ketentuan pajak pembuatan E10 adalah sebesar 1.5 baht/l (5 -6%) lebih murah dibanding bensin premium. Launcing E20 pada tahun 2008 dengan harga 6 baht/l lebih rendah 2 baht dibanding bensin murni dan E10 menyebabkan produksi etanol meningkat (Kumar et al. 2013).

Pemerintah Thailand belum mempunyai peraturan tentang penggunaan dan penjualan biodiesel sebagaimana etanol. Etanol lebih sukses di pasaran dibanding biodiesel, karena keterbatasan bahan baku biodiesel. Biodiesel di Thailand mulai dipromosikan pada tahun 2005. Produksi awal biodiesel adalah pada tahun 2008 dengan dikembangkannya B2. Tanaman penghasil biodiesel mulai ditingkatkan produksinya seiring dengan kebijakan penggunaan B100 untuk B2 yang ditingkatkan menjadi B5. Pengembangan biodiesel di Thailand mempunyai kendala berupa tidak terpenuhinya target produksi tanaman, terbatasnya lahan perluasan kelapa sawit yang bersaing dengan tanaman karet. Oleh karena itu pemerintah Thailand mengembalikan kebijakan penggunaan B5 menjadi B2 atau B3 (Kumar et al. 2013).

Pada tahun 2012 konsumsi biodiesel meningkat, oleh karena itu pemerintah mewajibkan kembali B5. Pemerintah Thailand pada tahun 2014 memperbaharui kewajiban penggunaan B5 menjadi B7. Target produksi biodiesel adalah 7.2 juta l/hari (Thammanomai 2014). Produksi biodiesel Thailand pada tahun 2014 adalah sebesar 1 060 juta l. Kapasitas produksi biodiesel adalah 1 450 juta l/tahun. Jumlah pabrik biodiesel yang beroperasi pada tahun 2014 adalah 10 unit. Pasar biodesel adalah 100 % untuk konsumsi dalam negeri (GAIN 2014).

3. Philipina

Biofuel Philipina berupa etanol dan biodiesel bersumber dari tebu dan kelapa. Coco-Methyl Ester (CME) merupakan produk turunan minyak kelapa (CNO) sebagai bahan baku utama pembuatan biodiesel di Philipina. Philipina merupakan produsen CNO terbesar di dunia.

Philipina adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang pertama mengeluarkan peraturan tentang biofuel. Presiden Philipina Aroyo pada tanggal 24 Juli tahun 2006 telah menandatangani peraturan tentang kewajiban penggunaan biofuel yaitu The Biofuel Act 2006 atau Republic Act 9367 (RA 9367). RA 9367 merumuskan : mengembangkan dan menggunakan energi terbarukan untuk mengurangi impor minyak bbm, mencegah kerusakan lingkungan termasuk gas rumah kaca, meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan pedesaan, memastikan ketersediaan alternatif energi dan energi bersih tanpa merusak ekosisten nasional, keragaman, dan ketahanan pangan negara (Zhou and Thomson 2009).

(23)

Selama dua tahun pemberlakuan mandatori, etanol 5 % telah berhasil diproduksi dan digunakan sebagai bahan campuran untuk memenuhi kebutuhan gasolin nasional. Setelah 4 tahun pemberlakukan mandatori, minimum etanol 10 % telah dicampur pada semua minyak gasolin untuk kebutuhan nasional. Target campuran etanol pada tahun 2020 adalah 20 % (GAIN 2014). Pemenuhan biofuel untuk sektor transportasi telah mendukung program pengembangan energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.

Untuk mendukung investasi pengembangan energi alternatif, Pemerintah Philipina mengeluarkan kebijakan insentif. Pajak khusus sebesar nol persen diterapkan untuk bahan baku lokal atau impor biofuel. Penjualan bahan baku yang digunakan untuk produksi biofuel seperti kelapa, jarak, tebu, singkong, jagung, dan gandum dibebaskan dari pajak nilai tambah. Semua air yang keluar sebagai limbah cair dibebaskan dari biaya, institusi perbankan diwajibkan untuk memberikan prioritas sampai 60 % dari modal untuk keperluan produksi, penyimpanan, penanganan, pencampuran (blending), transportasi biofuel dan bahan baku biofuel (Kumar et al. 2013).

Produksi biofuel pada awalnya yaitu tahun 2004, hanya terbatas pada penggunaan kelapa untuk memproduksi CME atau coco diesel. Produksi bioetanol dengan menggunakan tebu baru dikembangkan pada tahun 2008. Pertumbuhan produksi etanol tidak signifikan sampai tahun 2009. Hanya ada dua fasilitas produksi etanol yang beroperasi jauh dibawah target. Pada tahun 2010 produksi etanol juga masih rendah. Rendahnya produksi etanol karena harga tebu yang tinggi serta harga etanol tidak dapat bersaing dengan etanol dari Brazil dan Thailand. Pada tahun 2011 produksi etanol meningkat karena harga tebu telah stabil serta didukung oleh infrastruktur pabrik. (Kumar et al. 2013).

Produksi etanol untuk bahan bakar pada tahun 2013 sebesar 72 juta l. Kapasitas produksi etanol sebesar 133 juta l. Jumlah Pabrik penghasil etanol adalah 4 unit. Philipina adalah negera pengimpor etanol untuk bahan bakar. Impor etanol untuk bahan bakar Philipina pada tahun 2013 mencapai 247 juta l (GAIN 2014).

Produksi biodiesel dapat berkembang setelah dikeluarkannya RA 9367. Pada tahun 2010 terdapat 12 pabrik biodiesel yang mempunyai kapasitas total sebesar 400 juta l, namun hanya 8 pabrik yang beroperasi. Produksi biodiesel cenderung tetap setelah tahun 2009 karena keterbatasan produksi kelapa. Pada tahun 2013 diperkirakan produksi biodiesel (CME) Philipina sebesar 130 juta l (GAIN 2014).

4. Uni Eropa

Kebijakan pengembangan biofuel di Uni Eropa untuk pertama kali dikeluarkan secara bersama-sama adalah Council and Parliament Directive 2003/30/EC. Kebijakan tersebut menetapkan target bauran pasar biofuel dalam jangka pendek yaitu 2005 sebesar 2 % dan menengah sebesar 5.75 % pada tahun 2010. Target Council and Parliament Directive 2003/30/EC ternyata tidak tercapai, karena pada tahun 2005 bauran pasar biofuel hanya mencapai 1.8 % dan 2010 mencapai 4.2 % (Sorda et al. 2010).

(24)

Directive 2009/28/EC merupakan bagian dari EU Energy and Climate Change Package (CCP). CCP menetapkan 20/20/20, yaitu :

- A 20 % reduksi Gas Rumah Kaca (GRK) dibandingkan tahun 1990 - A 20 % perbaikan efisiensi energi pada tahun 2020

- A 20 % bauran energi terbarukan dari total energi di Uni Eropa. Bagian dari 20 % energi terbarukan adalah 10 % pencapaian bauran biofuel untuk sektor transportasi untuk seluruh anggota negera Uni Eropa

Pada tahun 2010 Uni Eropa untuk menerapkan Directive 2009/28/EC membuat National Renewable Energy Action Plans (NREAPs). Pada tahun 2012 Uni Eropa mengeluarkan Indirect Land Use Change (ILUC). Salah satu isi dari ILUC adalah memulai produksi biofuel dari bahan baku tumbuhan non pangan. Target produksi biofuel dari tanaman pangan adalah 5 % dari 10 % bauran produksi biofuel. Setelah tahun 2020 biodiesel tidak akan diproduksi dari tanaman yang dapat digunakan untuk pangan maupun makanan (GAIN 2014).

Parlemen Uni Eropa atas masukan dari petani, industri, dan stakeholder lainnya pada tahun 2013 merevisi target produksi biofuel dari tanaman pangan dan makanan menjadi 6 % dari 10 % produksi biofuel di tahun 2020. Target dimulai pada tahun 2016 dengan besaran awal 0.5 % dari 10 %. Akhirnya, Dewan Energi Uni Eropa pada Juni tahun 2014 mengeluarkan perjanjian politik yang salah satu isinya adalah pencapaian 7 % dari 10 % target biofuel dapat berasal dari tanaman pangan dan makanan (GAIN 2014).

Produksi etanol untuk bahan bakar di Uni Eropa pada tahun 2008 sebesar 2 816 juta l, meningkat 84 % menjadi 5 190 juta l pada tahun 2013. Negara penghasil terbesar etanol untuk bahan bakar adalah Perancis. Produksi etanol di Perancis pada tahun 2013 sebesar 1 180 juta l atau 23 % dari total produksi Uni Eropa. Pengguna etanol untuk bahan bakar terbesar adalah Jerman sebesar 1 157 juta l atau 27.5 % dari total konsumsi etanol Uni Eropa. Setelah tahun 2012 kapasitas produksi etanol tidak signifikan naik, sehingga diprakirakan produksi etanol juga tidak akan naik secara signifikan (GAIN 2014).

Produksi biodiesel di Uni Eropa pada tahun 2008 sebesar 9 550 juta l, meningkat 14 % menjadi 10 880 juta l pada tahun 2013. Negara penghasil terbesar biodiesel adalah Jerman. Pada tahun 2013 produksi biodiesel Jerman sebesar 3 180 juta l atau 29 % dari total produksi biodiesel di Uni Eropa. Pengguna biodiesel terbesar di Uni Eropa juga Jerman dan Perancis. Jerman dan Perancis pada tahun 2013 masing-masing mengkonsumsi biodiesel sebesar 2 500 juta l atau masing-masing sebesar 20 % dari total konsumsi Uni Eropa. Bahan baku utama biodiesel di Uni Eropa adalah tanaman rapeseed, kelapa sawit, dan minyak bunga matahari (GAIN 2014).

Jerman sebagai negara produsen dan konsumen biofuel terbesar di Uni Eropa sudah memperkenalkan biofuel sebagai alternatif sumber energi minyak bumi sekitar tahun 1970-an, yaitu ketika krisis minyak. Jerman pada awalnya kesulitan mengembangkan biofuel. Rendahnya harga minyak bumi, kesenjangan teknologi dan ketidaksesuaian dengan kendaraan secara umum menyebabkan biofuel hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil kelompok konsumen (Franco et al. 2010).

(25)

sejak tahun 2003 (Fig et al. 2010). Jerman juga menetapkan kebijakan target kewajiban penggunaan biodiesel di sektor transportasi sebesar 4.4 % untuk campuran solar dan penggunaan etanol sebesar 2.8 % untuk campuran bensin (Sorda et al. 2010).

Pada tahun 2007 Pemerintah Jerman menerapkan kebijakan baru, yaitu kewajiban kuota dan pajak potongan harga. Pajak potongan harga diberikan pada biodiesel murni (B100) yang jumlahnya melebihi kuota. Biodiesel murni (B100) dikenakan pajak 0.186 euro/l, sebagai perbandingan diesel dikenakan pajak 0.47 euro/l (Sorda et al. 2010).

5. Brazil

Brazil adalah negara produsen, konsumen, dan ekportir utama etanol dari tebu. Brazil sudah mempunyai kebijakan terkait produksi dan penjualan etanol sebagai campuran bahan bakar dari tahun 1930-an. Program peningkatan skala produksi bioetanol di Brazil dimulai sekitar tahun 1970-an. Program utamanya berupa penggantian bahan bakar minyak bumi dengan biofuel dan peningkatan produksi tebu sebagai bahan baku bioetanol (Lima 2012).

Pada tahun 1990-an terjadi penurunan harga minyak bumi serta timbul keluhan konsumen pengguna kendaraan terhadap etanol. Kondisi tersebut menghambat laju penggunaan bioetanol. Pada tahun 2000-an program bioetanol hidup kembali seiring dengan kemajuan teknologi mobil yang dapat mengkonsumsi bahan bakar campuran etanol, kenaikan harga minyak bumi, dan isu perubaham iklim dunia (Lima 2012).

Kebijakan pengembangan etanol di Brazil didukung oleh kebijakan pemberian subsidi yang diberikan produsen gula dan produsen etanol. Subsidi kepada produsen gula pada tahun 2013 sebesar R$12 /metrik ton, dan produsen etanol sebesar R$0.20 /l etanol. Brazil juga menerapkan kebijakan kewajiban penggunaan etanol. Pada tahun 2013 prosentase kewajiban penggunaan etanol dalam bahan bakar minyak ditingkatkan dari 20 % menjadi 25 %. Brazil juga memberikan insentif pajak bagi kendaraan yang menggunakan bahan bakar campuran etanol yang besarnya disesuaikan dengan ukuran silinder cc kendaraan. Produk campuran etanol dan bahan bakar minyak juga diberikan insentif pajak CIDE (Conribution for Intervention in Economic Domain) sebesar 0 %. Pajak CIDE digunakan untuk membiayai infrastruktur kerja dan perawatan sistem transportasi di Brazil. Brazil juga memberikan keringanan suku bunga investasi produk gula 5.5 %, dan produk etanol sebesar 7.7 % (GAIN 2013).

Kebijakan kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 5 % telah ditetapkan Pemerintah Brazil sejak tahun 2010. Kebijakan yang ditetapkan untuk menunjang penggunaan biodiesel adalah pilihan untuk membeli (option to buy) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertambangan dan Energi Brazil. Kebijakan tersebut menyebutkan pemerintah dapat membeli hasil tanaman sebagai bahan baku biodiesel kapan saja. Kebijakan lainnya yang diterapkan adalah tarif impor biodiesel yang ditetapkan sebesar 14 % (GAIN 2013).

6. Amerika Serikat

(26)

sebesar US¢4 /galon untuk bahan bakar E10 atau setara US¢40 /galon etanol murni (Sorda et al. 2010).

Pada tahun 2004, The American Job Creation Act mengembangkan kebijakan kredit pajak menjadi the Volumetric Ethanol Exercise Tax Credit (VEETC) yang berupa penjaminan kredit pajak untuk setiap pencampuran etanol dengan bahan bakar minyak bumi, baik untuk etanol yang berasal dari dalam negeri maupun impor per volume tertentu. Industri pencampur etanol menerima insentif kredit pajak sebesar US¢45 /galon. Jika penggunaan etanol mencapai 11 juta galon, maka besarnya kredit pajak sebesar 5 juta dolar. Kebijakan tersebut berlaku sampai tahun 2010. VEETC juga berisi pemberian insentif kredit pajak untuk biodiesel dari minyak nabati atau lemak sebesar US$1 /galon, dan insentif kredit pajak sebesar US$50 /galon untuk minyak daur ulang (Sorda et al. 2010). Kebijakan tarif impor sebesar US$0.54 /galon dikeluarkan pemerintah AS untuk melindungi dari persaingan dengan industri luar negeri khususnya Brazil. Kebijakan tarif impor memperbaharui kebijakan VEETC (Sorda et al. 2010).

Kebijakan yang mengatur penggunaan kewajiban biofuel di negara Amerika Serikat (AS) adalah The Renewable Fuel Standard (RFS). Kongres pertama RFS (RSF1) adalah pada tahun 2005. Hasil kongres RSF1 dituangkan dalam Energy Policy Act of 2005 yang ditandatangani oleh Presiden AS. Energy Policy Act of 2005 mewajibkan penggunaan bahan bakar terbarukan (biofuel) di sektor transportasi minimum sebesar 4 juta galon pada tahun 2006 dan menaikan tingkat penggunaannya pada tahun-tahun berikutnya sampai mencapai 7.5 juta galon pada tahun 2012 (Schnepf and Yacobucci 2013).

Pada tahun 2007, the Energy Independence and Security Act menaikan target kewajiban penggunaan biofuel pada tahun 2008 sebesar 9 juta galon, serta tahun 2022 sebesar 36 juta galon sebagaimana tercantum dalam RSF2 . Tujuan peraturan tersebut adalah mengurangi ketergantungan konsumsi bahan bakar minyak bumi sebesar 20 % pada 10 tahun ke depan (Schnepf and Yacobucci 2013); (Sorda et al. 2010).

Pada tahun 2008, Departemen Energi AS mengeluarkan program biomassa yang mempunyai dua tujuan utama, yaitu mengurangi konsumsi bensin sebesar 30 % pada tahun 2030 dibanding penggunaan pada tahun 2004, serta penggunaan bahan biofuel dari selulosa dan etanol turunan dari jagung. Target penggunaan biofuel dari selulosa adalah setidaknya sebesar 16 juta galon dan dari etanol turunan jagung sebesar 15 juta galon. RSF2 mempunyai tiga perbedaan mendasar dibanding dengan RSF1. Perbedaan tersebut adalah pertama total permintaan bahan bakar terbarukan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu bahan bakar terbarukan, biofuel yang lebih maju (advance), biomassa berbasis biodiesel, dan biofuel selulosa; kedua kualifikasi biofuel harus memenuhi syarat minimum reduksi emisi gas rumah kaca; ketiga semua bahan bakar terbarukan harus terbuat dari bahan baku biomassa terbarukan, termasuk juga pembatasan penggunaan lahan. RSF2 telah memasukan prinsip keberlanjutan (Schnepf and Yacobucci 2013, Sorda et al. 2010).

(27)

Tinjauan Kebijakan Biofuel di Indonesia

Pemerintah Indonesia melakukan kajian potensi energi terbarukan sejak tahun 1976 dengan membentuk lembaga setingkat departemen yang bernama Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN). BAKOREN kemudian merumuskan KebijakanUmum Bidang Energi (KUBE) yang memasukkan program energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi alternatif. Pada tahun 1990 KUBE diperbaharui dengan programnya berupa intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi (Yugistiantoro 2000).

KUBE pada tahun 1998 diperbaharui kembali dengan membuat kebijakan yang mengarah pada pemanfaatan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Cakupan kebijakan KUBE 1998 meliputi lima, yaitu intensifikasi, diversifikasi, konservasi, dan harga energi, serta memperhatikan aspek lingkungan. Pada KUBE 1998 sudah memasukan kebijakan pendukung yang berupa meningkatkan investasi, memberikan insentif dan disinsenif, standarisasi dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM, pengelolaan sistem informasi, penelitian dan pengembangan, serta pengembangan kelembagaan dan pengaturan (Yugistiantoro 2000).

Pada tahun 2005 terjadi kenaikan harga BBM, akibatnya pemerintah semakin tertarik untuk mengembangkan energi terbarukan. Presiden RI kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 1996 tentang pemanfaatan dan penyediaan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain. Kebijakan ini merupakan instruksi kepada 13 Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk mengambil langkah-langkah dalam percepatan penyediaan dan pemanfaatan BBN.

Pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 5 tentang kebijakan energi nasional yang menekankan pentingnya upaya untuk mengurangi pemakaian bahan bakar minyak dan meningkatkan pemakian sumber energi baru dan terbarukan. Peraturan tersebut juga mencantumkan target kontribusi biofuel di Indonesia adalah sebesar 5 % dari total suplai energi pada tahun 2025, serta target EBT 17 % . Target EBT pada Rancangan Peraturan Pemerintah untuk tahun 2013 sampai 2050 tentang kebijakan energi nasional direvisi menjadi paling sedikit 23 % pada tahun 2025 dan 31 % pada tahun 2050.

Pada tahun 2007 telah terbit Undang-undang (UU) No 30 tentang energi. Isi UU No 30 tahun 2007 antara lain adalah memprioritaskan penyediaan dan pemanfaatan EBT sebagai bentuk penganekaragaman sumber daya energi untuk menjamin ketersediaan energi nasional. Penyediaan sumber EBT dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomian. UU No 30 tahun 2007 merupakan payung hukum tertinggi kebijakan pengembangan biofuel sebagai salah satu sumber EBT.

(28)

adalah kewajiban (mandatori) industri sektor tertentu untuk menggunakan bahan bakar nabati sebagai campuran bahan bakar minyak dengan komposisi campuran tertentu dari tahun 2015 sampai tahun 2025.

Kebijakan pencampuran biodiesel dengan diesel diatur dalam Peraturan Presiden RI No 45 Tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu. Peraturan Presiden RI No 45 Tahun 2009 merupakan revisi dari Peraturan Presiden RI No 71 Tahun 2005.

Dirjen Migas pada tahun 2006 mengeluarkan Surat Keputusan No 13483 K/24/DJM/2006 tentang standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar nabati (biofuel) jenis biodiesel sebagai bahan bakar lain yang dipasarkan di dalam negeri. Pada tahun 2012 dilakukan revisi yang hasilnya dituangkan dalam SNI 7182:2012. SNI tersebut digunakan dalam rangka menjaga kualitas biodiesel yang akan digunakan sebagai bahan bakar maupun sebagai bahan campuran bahan bakar lain seperti biodiesel sebagai bahan bakar.

Pada bidang pemasaran luar negeri peraturan yang terkait adalah penetapan pajak dan harga ekspor. Peraturan yang terkait dengan pajak ekspor adalah Permen Keuangan RI No 128/PMK.011/2013 tentang barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar. Peraturan tersebut merupakan revisi Permen Keuangan RI No 75/PMK.011/2012. Permen Keuangan RI No 128/PMK.011/2013 antara lain berisi kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya dikenakan bea keluar secara progresif. Bea keluar progresif dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan industri dan ekspor produk hilir. Besaran bea keluar tersaji pada lampiran II Permen Keuangan RI No 128/PMK.011/2013. Tujuan penerapan bea keluar berdasarkan UU No 17/2006 tentang Kepabeanan adalah

- Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri - Melindungi kelestarian sumber daya alam

- Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional

- Menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri

Penetapan harga ekspor biodiesel didasarkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No 54/M-DAG/PER/9/2013 tentang tata cara patokan harga ekspor atas produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan bea keluar. Peraturan tersebut merupakan revisi dari Permendag No 36/M-DAG/PER/5/2012. Harga Patokan Ekspor (HPE) merupakan harga untuk menentukan harga patokan yang digunakan dalam perhitungan besaran bea keluar yang harus dibayarkan ketika dilakukan ekspor produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan bea keluar. HPE per bulan produk biodiesel (FAME) ditetapkan berdasarkan harga pasar atau bursa dalam negeri dan/atau luar negeri. Pada aturan tambahan disebutkan HPE produk biodiesel ditetapkan berdasarkan harga international Chemical Information Service (CIS) Asia.

(29)

pada harga publikasi Mean of Platss Singapore (MOPS) jenis gas oil rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah 3.48 % MOPS dengan ketentuan sudah termasuk biaya pengangkutan biodiesel dari titik suplai produsen sampai di titik terminal BBM utama.

Indonesia pada tahun 2006 memproduksi etanol yang ditujukan antara lain untuk industri kosmetika, cat, farmasi. Bahan baku pembuatan etanol adalah molasses dari industri gula nasional. Produksi etanol pada tahun 2006 adalah sebesar 0.3 juta l dan tahun 2007 meningkat menjadi 1.7 juta l, namun pada tahun 2010 produksi etanol terhenti karena tidak adanya kesepakatan penetapan harga pasar antara KESDM dan produsen etanol (GAIN 2014).

Produksi biodiesel di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2006 sampai 2013. Pada tahun 2009 produksi biodiesel turun dibandingkan tahun 2008 hal tersebut karena adanya peningkatan harga CPO sehingga industri biodiesel menjadi tidak layak dan banyak industri refineri yang ditutup atau berproduksi di bawah kapasitas jumlah produksi. Pada tahun 2010 produksi biodiesel naik kembali. Produksi biodiesel pada tahun 2006 sebesar 65 juta l, meningkat menjadi 2 450 juta l pada tahun 2013. Hasil produksi biodiesel di Indonesia sebagian dipasarkan keluar negeri (ekspor). Ekspor biodiesel pada tahun 2013 adalah sebesar 1 356 juta l mencapai 55 % dari jumlah produksi (GAIN 2014).

Jika harga BBM dan harga biodiesel seimbang maka diprakirakan produksi biodiesel Indonesia kedepannya akan meningkat, jumlah industri biodiesel juga akan tumbuh di Indonesia, dan beberapa terdapat pabrik refineri baru (Kumar et al. 2013). Peningkatan produksi biodiesel juga dipengaruhi oleh mulai terlaksananya peningkatan campuran biodiesel dalam diesel yang semula 7.5 %, sejak 1 September tahun 2013 menjadi 10 %, serta mulai bulan April 2015 menjadi 15 % .

3 METODE

Kerangka Pemikiran

Dalam rangka mendukung kebijakan ekonomi makro dan mengurangi impor BBM, peningkatan dan perluasan pemanfaatan bahan bakar nabati pemerintah telah mengeluarkan Permen ESDM RI No 12 tahun 2015 sebagai penyempurnaan Permen ESDM RI No 32 tahun 2008. Analisis kondisi atau kebijakan yang ada dalam mendukung implementasi Permen ESDM RI No 12 tahun 2015 perlu diidentifikasi terlebih dahulu untuk ditetapkan sebagai kondisi awal. Selanjutnya dilakukan pengembangan alternatif-alternatif kondisi agar kebijakan Permen ESDM RI No 12 tahun 2015 dapat diimplementasikan sesuai target. Alternatif kondisi dan kebijakan pendukung Permen ESDM RI No 12 tahun 2015 dianalisis dengan menggunakan metode Regulatory Impact Analysis (RIA).

(30)

biodiesel terdiri mulai dari penyediaan bahan baku sampai penjualan biodiesel sebagai bahan campuran diesel. Variabel yang mempengaruhi pengembangan biodiesel kelapa sawit didisain menjadi suatu model dengan menggunakan sistem dinamis. Kumpulan parameter ditetapkan untuk menggambarkan perilaku dari model sistem dinamis yang disusun. Simulasi dari pengaruh parameter-parameter pada model sistem dinamis yang disusun digunakan untuk menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan biodiesel.

Permen ESDM No 12 Tahun 2015 Percepatan dan perluasan

pemanfaatan BBN

Evaluasi kebijakan dengan Metode RIA Kebijakan Penggunaan

Biodiesel Nasional

Mendisain model sistem dinamis

Validasi Menyusun diagram

causal loop

Menyusun diagram stock flow

Simulasi

Rumusan alternatif kebijakan sampai

tahun 2025

Ya

Tidak

Kebijakan sampai tahun 2025

Alternatif kondisi implementasi

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara pemangku kepentingan yang terlibat dalam implementasi kebijakan biodiesel. Data sekunder diperoleh dari studi latur, buku atau laporan yang diterbitkan oleh instansi tertentu. Jenis dan sumber data disajikan pada Tabel 2.

Metode Analisis Data

(31)

Tabel 2 Jenis dan sumber data

Tahapan yang dilakukan dalam penelitian meliputi analisis dan evaluasi alternatif kebijakan biodoesel, perancangan skenario simulasi, penyusunan model sistem dinamis untuk kebijakan biodiesel, dan perumusan kebijakan untuk mencapai target mandatori biodiesel.

.

Analisis dan Evaluasi Alternatif Kebijakan Biodiesel

Alternatif kondisi untuk mengimplementasi kebijakan mandatori biodiesel akan dianalisis dengan menggunakan metode RIA. Metode RIA adalah suatu metode yang sistematis dan konsisten untuk menganalisis suatu regulasi atau tindakan pemerintah, serta mengkomunikasikan regulasi tersebut kepada para pengambil keputusan. Metode RIA digunakan untuk menilai suatu regulasi, untuk mengevaluasi keterkaitan antara kebutuhan masyarakat dan sasaran kebijakan, kebutuhan terhadap intervensi pemerintah, efisiensi antara input dan output, efektifitas antara sasaran kebijakan dan hasil, keberlanjutan antara kebutuhan masyarakat dan hasil sebelum diterapkannya atau dirubahnya suatu regulasi.

(32)

1. Mendefinisikan masalah

Masalah dalam implementasi kebijakan mandatori biodiesel adalah target pemenuhan penggunaan mandatori biodiesel berdasarkan data dan penelitian terdahulu tidak dapat tercapai.

2. Mengidentifikasi masalah

Identifikasi masalah meliputi kegiatan mengidentifikasi :

a. Tujuan yang hendak dicapai dalam menganalisis Permen ESDM No 12 Tahun 2015

b. Mengidentifikasi pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat dan terkena dampak, serta peran dari masing-masing pemangku kepentingan Permasalahan untuk mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel muncul karena adanya keinginan yang berbeda-beda dari masing-masing pemangku kepentingan. Untuk memenuhi keinginan dari pemangku kepentingan yang terlibat menimbulkan adanya berbagai alternatif kondisi dalam mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel. Tujuan yang ingin dicapai dalam identifikasi masalah adalah bagaimana mengetahui alternatif–alternatif kondisi yang sesuai dengan keinginan pemangku kepentingan, agar kebijakan mandatori biodiesel sesuai Permen ESDM No 12 Tahun 2015 dapat diimplementasikan dan mencapai target penggunaan mandatori biodiesel.

Pemangku kepentingan yang ditetapkan adalah pembuat kebijakan (pemerintah, kementerian ESDM), produsen minyak kelapa sawit (GAPKI), produsen biodiesel (Aprobi), produsen pencampur diesel dan biodiesel sebagai bahan bakar (PT Pertamina), dan produsen kendaraan bermotor sebagai pengguna (Gaikindo). Identifikasi masalah dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara dengan.pemangku kepentingan yang terlibat.

3. Konsultasi publik

Konsultasi publik dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses menganalisis kondisi yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel. Konsultasi publik dapat dilakukan dengan cara indepth interview terhadap pemangku kepentingan yang terlibat. Konsultasi diharapkan menghasilkan masukan mengenai :

a. Peran dan kendala masing-masing pemangku kepentingan dalam mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel.

b. Alternatif kondisi atau kebijakan yang dapat dipilih agar kebijakan mandatori biodiesel dapat diimplementasikan

Perancangan Skenario Simulasi

(33)

Penilaian dampak kebijakan merupakan bagian dari tahapan metode RIA. Penilaian dampak kebijakan pada penelitian ini merupakan kegiatan menganalisis ketercapaian pasokan biodiesel untuk memenuhi target mandatori biodiesel berdasarkan pada alternatif kondisi yang muncul. Penilaian dampak dilakukan dengan menggunakan model sistem dinamis. Untuk alternatif kondisi yang dapat mencapai target mandatori biodiesel akan dilanjutkan dengan analisis keekonomian produksi biodiesel.

Penilaian keekonomian produksi biodiesel dilakukan dengan menggunakan kriteria kelayakan finansial Net Present Value (NPV) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). NPV dan Net B/C dihitung dengan persamaan (Gray et al. 1997) :

n Bt - Ct NPV =

Σ

t=0 (1+i)t n Bt - Ct

Σ

t=0 (1+i)t Net B/C =

n Ct - Bt

Σ

t=0 (1+i)t

dimana: Bt adalah laba kotor pada tahun ke-t (Rp); Ct adalah biaya kotor pada tahun ke-t (Rp); n adalah umur proyek (tahun); i adalah tingkat suku bunga (%). Penyusunan Model Sistem Dinamis untuk Kebijakan Biodiesel

Sistem dinamis berhubungan dengan perilaku suatu sistem yang berubah menurut waktu, dengan tujuan menjelaskan dan memahami umpan balik yang mempengaruhi perilaku sistem tersebut, kemudian mendisain struktur umpan balik informasi serta kebijakan pengendalian yang tepat, melalui simulasi dan optimalisasi sistem dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Umpan balik yang membentuk pola tertentu dari model dinamis merupakan salah satu inti dari sistem dinamis (Coyle 1995).

Tahapan analisis sistem dinamis meliputi memahami sistem, mendefinisikan masalah, menyusun konsep sistem dalam diagram causal loop, membuat formulasi model (identifikasi, hubungan, formulasi dan penilaian parameter), membangun model simulasi dan validasi pada komputer, menganalisis hasil simulasi model, mengimplementasikan model (Turcksin and Macharis 2010).

Tahapan analisis sistem dinamis yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Memahami sistem

(34)

Sistem dinamis selalu terkait dengan dua aspek, yaitu struktur dan perilaku. Struktur merupakan unsur pembentuk fenomena dan pola keterkaitan antar unsur. Perilaku merupakan perubahan suatu besaran atau variabel dalam kurun waktu tertentu. Struktur yang dibangun melingkupi pola keterkaitan pemangku kepentingan yang terlibat untuk menghasilkan pasokan biodiesel, dalam rangka memenuhi kebutuhan biodiesel sebagai bahan campuran diesel. Fokus variabel yang ditetapkan dalam mempengaruhi perilaku ketercapaian target mandatori biodiesel ditentukan dengan memasukan setiap alternatif kondisi yang muncul. Alternatif kondisi yang muncul akan diwujudkan dalam bentuk skenario-skenario untuk disimulasi.

Analisis kebijakan (6) Implementasi

kebijakan

(7) Memahami sistem (1)

Identifikasi dan definisi masalah

(2)

Menyusun konsep sistem (causal loop)

(3)

Memformulasi model (4) Validasi dan simulasi

(5)

Gambar 2 Tahapan pengembangan model sistem dinamis

(Sumber : Turcksin and Macharis 2010)

b. Mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah

Identifikasi dan definisi masalah perlu dilakukan untuk membatasi sistem yang diteliti. Masalah yang akan dipecahkan oleh model sistem dinamis adalah mengevaluasi kecukupan pasokan biodiesel untuk memenuhi kebutuhan mandatori biodiesel berdasarkan pada alternatif kondisi yang muncul.

Model sistem dinamis digunakan untuk mensimulasikan skenario-skenario berdasarkan hasil analisis alternatif kondisi untuk mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel. Hasil simulasi digunakan untuk menganalisis ketercapaian pasokan biodiesel untuk memenuhi kebutuhan mandatori biodiesel.

Model sistem dinamis yang dibangun melingkupi pemangku kepentingan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pada pemangku kepentingan yang terlibat, maka model sistem dinamis yang dibangun setidaknya terdiri dari rangkaian sub model produksi kelapa sawit, produksi minyak kelapa sawit, produksi refineri, produksi biodiesel, dan kebutuhan biodiesel mandatori. Batasan model sistem dinamis yang dibangun disajikan pada Gambar 3.

(35)

Luas

Gambar 3 Batasan rancangan model sistem dinamis mandatori biodiesel c. Menyusun konsep causal loop

Causal loop menggambarkan hubungan antar proses yang terlibat dalam sistem, yang terdiri dari variabel-variabel yang masing-masing dihubungkan dengan tanda panah yang menggambarkan hubungan antar variabel tersebut. Hubungan digambarkan dengan tanda positif (+) atau negatif (-). Causal loop menggambarkan identifikasi sistem model dinamis yang dibangun. Rancangan diagram causal loop pada model sistem dinamis mandatori biodiesel disajikan pada Gambar 4.

Tujuan yang ingin dicapai pada model pada intinya adalah menyeimbangkan perilaku dinamik ketersediaan dengan kebutuhan biodiesel mandatori yang diperlukan sebagai campuran bahan bakar diesel. Kebutuhan biodiesel yang diperlukan sebagai campuran bahan bakar ditentukan oleh jumlah konsumsi diesel. Semakin tinggi konsumsi diesel maka kebutuhan biodiesel mandatori akan semakin tinggi.

Pasokan biodiesel sebagai campuran bahan bakar diesel dipengaruhi oleh tingkat produksi biodiesel dan jumlah ekspor biodiesel. Tingkat produksi biodiesel juga akan mempengaruhi tingkat ekspor biodiesel. Semakin tinggi produksi biodiesel maka pasokan biodiesel sebagai campuran bahan bakar diesel akan semakin tinggi. Semakin tinggi produksi biodiesel maka pasokan biodiesel untuk dieskpor juga akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin tinggi ekspor biodiesel maka pasokan biodiesel sebagai campuran bahan bakar diesel akan semakin rendah.

Tingkat produksi biodiesel dipengaruhi oleh kapasitas produksi biodiesel dan jumlah ketersediaan RPO, stearin, olein, dan PFAD sebagai bahan baku biodiesel. Semakin tinggi kapasitas produksi dan ketersediaan bahan baku biodiesel maka tingkat produksi biodiesel juga akan semakin tinggi.

Ketersediaan bahan baku biodiesel dipengaruhi oleh jumlah produksi CPO, jumlah ekspor CPO, dan ekspor produk hasil refineri CPO. Pasokan CPO untuk diekspor dipengaruhi oleh tingkat produksi CPO. Pasokan produk refineri CPO untuk diekspor dipengaruhi oleh tingkat produksi CPO dan ekspor CPO.

(36)

-Gambar 4 Rancangan causal loop model sistem dinamis mandatori biodiesel Stearin dan olein sebagai bahan baku biodiesel juga digunakan sebagai bahan baku industri pangan, sehingga ketersediaan stearin dan olein akan dialokasikan terlebih dahulu guna memenuhi kebutuhan industri pangan. Semakin tinggi kebutuhan stearin dan olein di industri pangan, maka akan mengurangi ketersediaan stearin dan olein untuk bahan baku biodiesel.

(37)

sawit dan tingkat produktivitas lahan. Semakin luas ketersediaan lahan kelapa sawit dan semakin tinggi tingkat produktivitas lahan maka tingkat produksi TBS akan semakin tinggi. Ketersediaan lahan kelapa sawit dipengaruhi lahan alokasi dan lahan konversi.

Lahan alokasi adalah lahan kelapa sawit yang sudah tidak produktif karena usia tanaman sudah lebih dari 25 tahun, sehingga perlu dilakukan penanaman kembali kelapa sawit atau ditanam dengan tanaman lain. Lahan konversi adalah lahan dari tanaman bukan sawit yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit. Semakin luas lahan alokasi untuk kelapa sawit dan lahan konversi maka ketersediaan kelapa sawit akan semakin luas. Semakin luas lahan alokasi yang ditamani kelapa sawit maka luas lahan alokasi yang dapat ditanami tanaman lain akan semakin kecil.

Analisis kebijakan pada sistem dinamis adalah menggunakan model untuk melacak kebijakan-kebijakan yang dapat memberikan efek perubahan perilaku sistem nyata sesuai yang diinginkan. Penyusunan alternatif kebijakan merupakan tindakan atau kombinasi dari dua jenis intervensi terhadap model yaitu perubahan parameter (konstanta atau besaran variabel) dan perubahan struktural (Tasrif 2006). Pada penelitian ini penyusunan alternatif kebijakan dilakukan dengan melakukan perubahan parameter.

Perubahan parameter mengandung perubahan parameter-parameter kebijakan yang sensitif dalam suatu model yang mengindikasikan titik-titik pengungkit (leverage points) dalam sistem nyata, tempat suatu perubahan dapat dilakukan dalam sistem nyata yang akan memperbaiki perilaku sistem (Tasrif 2006).

Diagram causal loop menunjukkan parameter yang dapat menjadi leverage points adalah produktivitas kelapa sawit, ekspor CPO, ekspor produk refineri, kapasitas produksi, dan ekspor biodiesel. Parameter tersebut merupakan tempat intervensi kebijakan dapat masuk yang akan mengubah perilaku sistem. Konversi lahan tidak dapat menjadi leverage point karena terkendala dengan kebijakan pemerintah tentang moratorium hutan.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 2011 mengeluarkan kebijakan Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2011 tentang moratorium hutan. Moratorium hutan berisi penundaan pemberiaan izin HPH baru untuk penebangan serta konversi hutan dan lahan gambut. Moratorium hutan memberikan pengaruh pada model sistem dinamis yang dibangun, yaitu pertumbuhan konversi lahan kelapa sawit menjadi variabel yang terbatas.

d. Memformulasi model

Persamaan dasar matematis sistem dinamis adalah :

d

x(t) = f (x, p)

dt

Gambar

Tabel 1 Kewajiban pemanfaatan minimal biodiesel terhadap kebutuhan total
Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 2  Jenis dan sumber data
Gambar 2  Tahapan pengembangan model sistem dinamis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada dua asumsi dasar yang dibangun oleh Nashr Hamid ketika ingin menjelaskan tentang pandangan-pandangannya terkait dengan al-Qur’an adalah sebagai sebuah teks;

Timbangan ini dipasang pada bagian luar pabrik Casting (Penuangan) yang digunakan untuk menimbang MTC (Metal Transportation Car), yang digunakan untuk membawa ladle yang

Hasil penelitian terkait dengan hubungan antara Penggunaan Garam Beryodium dengan Prestasi Belajar di di SD Negeri 5 Kota Banda Aceh sebagaimana disajikan pada tabel 4

ZŝƐŝŬŽ ŚƵŬƵŵ ĂĚĂůĂŚ ƌŝƐŝŬŽ LJĂŶŐ ƟŵďƵů ĂŬŝďĂƚ ƚƵŶƚƵƚĂŶ

Artinya, preposisi setelah verba tersebut dapat ditiadakan yang digambarkan dengan lambang dalam struktur kalimat, sedangkan preposisi dari setelah verba terbedakan pada kalimat

Sesungguhnya Allah subhaanahu wata'ala menutup penglihatan manusia dari hal tersebut, tujuaannya adalah sebagai ujian bagi mereka agar menjadi jelas siapakah yang beriman kepada

Pencegahan preventif yang dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebaran Berita Hoax adalah dengan cara membentuk Satuan Tugas

A. Kelas IX terdapat 45 siswa. Diketahui 7 siswa gemar melukis dan menyanyi dan seorang siswa tidak gemar kedua-duanya. Jika banyak siswa yang gemar menyanyi adalah 2