• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis keterkaitan daya dukung ekosistem terumbu karang dengan tingkat kesejahteraan nelayan tradisional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis keterkaitan daya dukung ekosistem terumbu karang dengan tingkat kesejahteraan nelayan tradisional"

Copied!
405
0
0

Teks penuh

(1)

NELAYAN TRADISIONAL

(Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

AUHADILLAH AZIZY

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya segala pernyataan dalam tesis

saya yang berjudul : Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang

Dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional

(Studi Kasus Kelurahan Pulau

Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta), adalah

karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis dan

dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2009

(3)

NELAYAN TRADISIONAL

(Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

AUHADILLAH AZIZY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Nama :

Auhadillah

Azizy

NIM :

C251040231

Disetujui

Komisi pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S, DEA

Ketua

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

dan Lautan

Dr. Ir. Mennoftaria Boer, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(5)
(6)

Hak Cipta ilindungi Undang-Undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya tulis atau tinjauan suatu

masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan ... 8

1.3.2 Kegunaan Penelitian ... 9

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Konsep dan Kebijakan Pengelolaan PPK ... 10

2.1.1 Definisi dan Batasan PPK ... 10

2.1.2 Karekteristik dan Kendala PPK ... 11

2.1.3 Ekosistem, Sumberdaya dan Lingkungan ... 13

2.1.4 Pemanfaatan dan Pengelolaan PPK ... 15

2.1.5 Kebijakan Pengelolaan PPK ... 18

2.2 Konsepsi Daya Dukung PPK ... 19

2.2.1 Defenisi Daya Dukung ... 19

2.2.2 Daya Dukung Lingkungan Ekosistem Pesisir PPK ... 20

2.2.3 Indikator Daya Dukung PPK ... 21

2.2.4 Mengukur Daya Dukung PPK dengan Ecological Footprint ... 23

2.3 Pembangunan dan Kemiskinan ... 25

2.3.1 Teori Pembangunan tentang Kemiskinan ... 26

2.3.2 Kesenjangan Pembangunan ... 36

2.3.3 Bagaimana Mengukur Kemiskinan ... 43

2.3.4 Menuju Kesejahteraan ... 46

2.4 Kesejahteraan dan Daya Dukung ... 51

2.4.1 Kerangka Konseptual Keterkaitan Kemiskinan dan Lingkungan ... 53

2.5 Pendekatan Ekonomi Politik dan Kelembagaan ... 56

2.5.1 Ekonomi Politik ... 56

2.5.2 Kelembagaan ... 62

3 METODOLOGI PELAKSANAAN ... 69

3.1 Kerangka Pendekatan Masalah ... 69

3.2 Metode Penelitian ... 73

3.3 Pemilihan Lokasi ... 74

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 74

3.5 Metode Analisis Data ... 75

(8)

3.5.2 Analisis Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang ... 78

3.5.3 Analisis Kemiskinan Masyarakat Pesisir ... 78

3.5.4 Analisis Ekonomi Politik ... 86

3.5.5 Analisis Kelembagaan ... 89

3.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 90

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 92

4.1 Kondisi Bio-Geofisik ... 92

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi ... 94

4.3 Potensi Ekosistem Sumber daya Pesisir dan Laut ... 98

4.3.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 98

4.3.2 Perikanan ... 99

4.3.3 Pariwisata Bahari ... 103

5 DAYA DUKUNG EKOLOGI DAN LINGKUNGAN PPK ... 105

5.1 Daya Dukung Ekologi Terumbu Karang ... 105

5.1.1 Komunitas Karang Keras ... 105

5.1.2 Struktur Komunitas Ikan Karang ... 111

5.2 Daya Dukung Melalui Konsumsi Masyarakat (Ecological Footprint) ... 114

5.2.1 Indikator Daya Dukung ... 114

5.2.2 Daya Dukung Lingkungan Pulau Panggang ... 115

5.2.3 Daya Dukung Lingkungan Pulau Pramuka ... 119

6 KEMISKINAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ... 125

6.1 Analisis Tingkat Kemiskinan Masyarakat ... 125

6.1.1 Perkembangan Ekonomi Regional ... 125

6.1.2 Perkembangan Kemiskinan Regional ... 127

6.1.3 Indek Pembangunan Manusia (IPM) ... 140

6.1.4 Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan Model BKKBN ... 144

6.2 Potret Kesejahteraan Responden ... 148

6.2.1 Tingkat Kesejahteraan Responden P. Panggang dan P. Pramuka ... 148

6.2.2 Pengukuran Kesejahteraan Berdasarkan Metode Partisipatif ... 187

6.3 Tingkat Kesenjangan Responden ... 192

7 DAYA DUKUNG PULAU DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN 207

7.1 Faktor yang mempengaruhi Daya Dukung dan Kesejahteraan ... 207

7.1.1 Faktor Penyebab Rendahnya Daya Dukung Lingkungan .. 207

7.1.2 Faktor Penyebab Rendahnya Tingkat Kesejahteraan ... 228

7.2 Keterkaitan Daya Dukung dan Kesejahteraan ... 256

7.3 Analisis Kebijakan ... 266

7.3.1 Kebijakan Pengelolaan SDPL dan Pengentasan Kemiskinan ... 268

(9)

8 ANALISIS KELEMBAGAAN DAN IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN ... 304

8.1 Potret Komunitas dan Unsur Kelembagaan Masyarakat Pesisir ... 304

8.1.1 Profil usaha masyarakat pesisir ... 304

8.1.2 Ketersediaan Unsur Kelembagaan ... 320

8.2 Tipologi dan Strategi Pengembangan Kelembagaan ... 328

8.2.1 Kelembagaan Berdasarkan Alat Tangkap ... 328

8.2.2 Potret Kemiskinan Struktural ... 342

8.3 Reorientasi Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ... 354

8.3.1 Perubahan Paradigma Pembangunan ... 354

8.3.2 Implikasi Kebijakan ... 363

9 KESIMPULAN DAN SARAN ... 371

9.1 Kesimpulan ... 371

9.2 Saran ... 373

DAFTAR PUSTAKA ... 374

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Indikator Lingkungan di Pesisir dan Pulau Kecil ...

22

2

Hubungan Daya Dukung Ekosistem dan Tingkat Kesejahteraan ...

72

3

Tabel Isian untuk Analisis Footprint di Pulau Talango ...

77

4 Pentahapan

Keluarga

Sejahtera Menurut BKKBN ...

80

5

Kriteria Kualitas Pembagunan Manusia ...

81

6

Nilai Kondisi Ideal dan Terburuk dari IPM ...

81

7

Matrik Penciri Utama Kebijakan Terhadap Tiga Teori Ekonomi ...

88

8

Matrik Platform Kebijakan Berdasarkan Teori Ekonomi ...

89

9 Identifikasi

Unsur-Unsur

Kelembagaan

...

90

10

Persoalan yang dikaji, Jenis analisis, Sumber data dan

output

...

91

11

Nama pulau, Luas dan Peruntukannya di Kelurahan Pulau Panggang ..

94

12

Perkembangan Penduduk Kelurahan Pulau Panggang ...

95

13

Data Perkembangan Usaha Perikanan ...

97

14 Penggunaan Armada dan Alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang

(Berdasarkan Kecamatan Seribu Utara dalam angka, 2007)

...

101

15 Penggunaan Armada dan Alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang

(Berdasarkan Laporan Bulanan Kel. P. Panggang, April 2008)

...

102

16 Data Perkembangan Usaha Budidaya Perikanan ...

103

17 Perbandingan Persentase Tutupan Karang di Kepulauan Seribu ...

105

18 Persentase Tutupan Karang Keras (%KK) dan Karang Mati (%KM)

serta Indeks Mortalitas (IM) di Wilayah Pengamatan Kelurahan

Pulau Panggang ...

106

19 Kekayaan Marga, Kelimpahan dan Indeks Keanekaragaman ...

110

20 Indikator lingkungan pulau-pulau kecil ...

115

21 Analisis

Footprint

di Pulau Panggang ...

117

22

Analisis Footprint Pulau Pramuka ...

120

23 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha

(juta rupiah) ...

126

24 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Tanpa Migas (2001-2005) ...

127

25 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Dengan Migas (2001-2005) ...

127

26

Perkembangan Jumlah Rumah Tangga dan Penduduk Miskin

Menurut Kabupaten/Kota, 2004-2005 ...

128

27 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase, P1, P2 dan Garis Kemiskinan

Menurut Kabupaten/Kota, 2005-2006 ...

129

28 Angka Harapan Hidup DKI Jakarta (Tahun) ...

131

29 Persentase Angka Melek Huruf DKI Jakarta (%) ...

132

30 Jumlah Gedung Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan (2006-2007) ...

133

31 Rasio Murid-Guru Menurut Kab/Kota dan Tingkat Pendidikan

di DKI Jakarta (2006-2007) ...

134

(11)

33 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Air Minum

di Kepulauan Seribu Tahun 2004-2006 (%) ...

136

34 Persentase Rumah Tangga Menurut Tempat Buang Air Besar

di Kepulauan Seribu, Tahun 2004-2007 (%) ...

136

35 Persentase

Rata-rata

Pengeluaran

Rumah Tangga Per Kapita Sebulan

dan Jenis Pengeluaran di Kepulauan Seribu Tahun 2007 (%) ...

138

36 Persentase Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio DKI Jakarta

Tahun 1990, 2000-2006 (%) ...

139

37 IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Indonesia dan

Komponennya Tahun 2004-2006 ...

141

38 Kependudukan Kelurahan P. Panggang ...

144

39 Kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I Menurut Hasil

Survey Lapang ...

146

40 Kategori Keluarga Sejahtera I-III Plus Menurut Hasil Survey

Lapang

...

148

41 Persentase Responden Menurut Status Rumah (%) ...

149

42 Persentase Responden Menurut Kondisi Rumah (%) ...

151

43 Persentase Umum Status Rumah dan Kondisi Rumah (%) ...

152

44 Pendidikan Kepala Rumah Tangga dan Kemampuan

Menyekolahkan Anak (%) ...

153

45 Persentase Umum Tingkat pendidikan (%) ...

154

46 Persentase Anggota Rumah Tangga Jika Keluarga Sakit (%) ...

155

47 Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Penerima Gakin ...

157

48 Persentase Responden menurut Kepemilikan Askeskin,

Keikutsertaan Program KB, Akses Air Bersih dan Kegagalan

Melahirkan

(%)

...

158

49 Persentase Umum Menurut Tingkat Kesehatan (%) ...

160

50 Persentase Responden Menurut Pendapatan (%) ...

161

51 Persentase Umum Menurut Tingkat Pendapatan (%) ...

162

52 Persentase Responden Menurut Kepemilikan Aset (%) ...

163

53 Persentase Responden Menurut Kepemilikan Aset Perikanan (%) ...

164

54 Persentase Responden Menurut Ada tidaknya Pekerjaan

Sampingan

(%)

...

165

55 Persentase Umum Berdasarkan Pekerjaan (%) ...

166

56 Persentase Total Responden Menurut Perumahan, Pendidikan,

Kesehatan, Pendapatan, Pekerjaan (%) ...

167

57 Persentase Kerusakan Ekosistem di Kelurahan Pulau Panggang (%) ....

169

58 Persentase Kerusakan Lingkungan Pesisir lainnya (%) ...

170

59 Persentase Umum Kondisi Lingkungan Alam (%) ...

173

60 Persentase Responden Menurut Sumber Pendapatan paling

penting

(%)...

173

61 Persentase Responden Menurut Kebiasaan Menabung (%) ...

174

62 Persentase Responden Menurut Tingkat Kesulitan Mendapatkan

Makanan Pokok (%) ...

175

63 Persentase Umum Kondisi Lingkungan Ekonomi (%) ...

177

(12)

65 Persentase Responden Menurut Keaktifannya dalam Kegiatan

Sosial

(%)

...

180

66 Persentase Umum Kondisi Lingkungan Sosial (%) ...

181

67 Persentase Responden Menurut Lingkungan Politik dan

Akses Informasi (%) ...

182

68 Persentase Umum Lingkungan Politik dan Informasi (%) ...

185

69 Persentase Responden Menurut Lingkungan Psikologis (%) ...

186

70 Persentase Total menurut Lingkungan Kontekstual (%) ...

187

71

Klasifikasi dan Indikator Tingkat Kesejahteraan Keluarga

Di P. Panggang, Kelurahan P. Panggang (Menurut peserta FGD

di tingkat Pulau/Desa) ...

189

72

Tingkat Kesenjangan Responden di P. Panggang ...

194

73

Tingkat Kesenjangan Responden di P. Pramuka ...

196

74

Kependudukan di Kelurahan P. Panggang ...

199

75

Fasilitas Pendidikan di Kelurahan P. Panggang ...

200

76

Fasilitas Kesehatan di Kelurahan P. Panggang ...

201

77

Fasilitas Ibadah dan Sosial di Kelurahan P. Panggang ...

202

78

Kondisi Pemukiman di Kelurahan P. Panggang ...

203

79

Sarana Perikanan di Kelurahan P. Panggang ...

207

80

Sarana Umum yang terdapat di Kelurahan P. Panggang ...

207

81 Evaluasi Daya Dukung Ekologi Terumbu Karang ...

207

82 Evaluasi Tingkat Kemiskinan Regional Tahun 2006 ...

228

83 Evaluasi Perkembangan Responden Miskin (%)

Di P. Panggang dan P. Pramuka, Kelurahan P. Panggang ...

231

84 Persentase Responden menurut perhatian, peraturan dan

pihak yang membantu usaha perikanan ...

269

85 Jenis larangan, dasar hukum dan sanksi dalam Pengelolaan SDPL

Kep.

Seribu

...

271

86

Profil LSM/Lembaga/Organisasi Masyarakat ...

273

87 Persentase Responden menurut bentuk dan kebijakan yang

memberatkan

(%)

...

275

88 Persentase Responden Menurut Partisipasinya dalam

Pengambilan Keputusan (%) ...

278

89 Program Umum Bidang Kesejahteraan Kab. Administrasi Kep. Seribu

286

90

Matrik Penciri Utama Berdasarkan Teori Ekonomi ...

288

91

Program Bidang Ekonomi ...

289

92 Platform Ideologi Program Bidang Ekonomi ...

290

93 Program Bidang Kesejahteraan Masyarakat ...

293

94

Platform Ideologi Program Bidang Kesejahteraan Masyarakat ...

294

95

Program Prioritas Wilayah Tahun 2008 ...

297

96

Platform Ideolgi Program Prioritas Wilayah Tahun 2008 ...

296

97 Persentase Responden Menurut Karekteristik Usaha Nelayan (%) ...

305

98 Persentase Responden Menurut Lokasi pemasaran dan sumber

permodalan

nelayan

(%)

...

308

(13)

100 Persentase Responden Menurut Pemasaran dan Permodalan

Pembudidaya Ikan dan Rumput Laut (%) ...

311

101 Persentase Responden Menurut Karekteristik Usaha Pedagang

ikan

(%)

...

314

102 Persentase Responden Menurut Pemasaran dan Permodalan Pedagang

Ikan

(%)...

315

103 Persentase Responden Menurut Karekteristik Usaha Pengolah hasil

perikanan

(%)

...

316

104 Persentase Responden Menurut Pemasaran dan permodalan

Usaha

(%)...

317

105 Identifikasi Unsur-Unsur Kelembagaan ...

321

106 Persentase

Responden

Menurut menurut keaktifan dalam

organisasi

(%)

...

322

107 Persentase Responden Menurut Aturan Main (%) ...

324

108 Persentase Responden Menurut Sangsi jika terjadi pelanggaran (%) ...

326

109 Persentase Responden Menurut Sistem Pengawasan (%) ...

327

110 Pandangan Neo-Liberal dan Sosial Demokrat Terhadap

Kemiskinan

...

349

111 Lokasi Wisata di Kepulauan Seribu dan Jenis Potensinya ...

351

112 Ideologi dalam Pembangunan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam ....

358

113 Karekteristik dan Paradigma Pembangunan ...

360

114 Perbandingan Paradigma Dominasi (DWW), Penghilangan

peran manusia (HEP) dan ekologi baru (NEP) ...

362

115 Paradigma Pembangunan dan Ekologi Politik ...

363

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Tipe interkasi antara ekosistem padang lamun, terumbu karang

dan hutan mangrove ...

15

2

Proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir

pulau-pulau kecil ...

16

3

Proses formulasi perencanaan dan pemanfaatan ekosistem

pulau-pulau kecil secara berkelanjutan ...

17

4

Framework

Analisis dan Pengembangan Kelembagaan ...

66

5

Kerangka Pemikiran Penelitian...

71

6

Kerangka Kerja Penelitian ...

73

7

Persentase penutupan karang keras (KK) dan karang mati (KM)

di Kelurahan P. Panggang tahun 2004 dan 2005 ...

108

8

Persentase rata-rata indeks mortalitas di Kelurahan P. Panggang

tahun 2004 dan 2005 ...

108

9

Jumlah jenis, indek keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan

dominansi (D) Di Kelurahan Pulau Panggang ...

113

10

Nilai IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan

Indonesia Tahun 2004-2006 ...

142

11

Nilai IPM Kab/Kota di DKI Jakarta dan Nasional ...

143

13 Faktor

yang

mempengaruhi rendahnya daya dukung

ekologi (TK) dan lingkungan pulau ...

227

14

Faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan ...

255

15

Kausalitas Daya Dukung dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat ...

267

16

Pola pemasaran melalui bakul langsung ...

307

17

Pola pemasaran melalui bakul TPI ...

307

18

Pola Permodalan Usaha Nelayan ...

309

19

Pola pemasaran hasil budidaya rumput laut ...

312

20

Pola pemasaran hasil budidaya ikan kerapu ...

312

21

Pola Permodalan Usaha Budidaya RL ...

313

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lokasi

Penelitian

...

382

2

Persentase penutupan karang keras dan karang mati di Kelurahan

P. Panggang dan hutan mangrove tahun 2004 dan 2005 ...

383

3

Jumlah jenis ikan karang, Indek Keanekaragaman (H’),

Indek Keseragaman (E), indek dominansi ...

384

4

Distribusi ukuran pendapatan rumah tangga nelayan per bulan,

jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan perkapita per bulan

di P. Panggang ...

388

5

Distribusi ukuran pendapatan rumah tangga nelayan per bulan,

jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan perkapita per bulan

(16)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Doktrin Pembangunan berkelanjutan merupakan produk lama yang

senantiasa menjadi kiblat pembangunan. Termasuk didalamnya dalam melakukan

pembangunan di wilayah pesisir dan laut. Setidaknya hal itu yang dikemukakan

oleh Dahuri, dkk (1996) bahwa pembangunan berkelanjutan bagi suatu wilayah

kepulauan secara ekologis memerlukan empat persyaratan. Pertama, adalah bahwa suatu kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada lokasi secara biofisik

sesuai. Kedua, pemanfaatan sumberdaya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan

tersebut. Demikian juga, ketika menggunakan air tawar (biasanya merupakan

faktor pembatas dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya

tidak boleh melebihi kemampuan pulau termaksud untuk menghasilkan air tawar

dalam kurun waktu tertentu. Ketiga, pembuangan limbah ke lingkungan pulau, tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat, jika memodifikasi bentang alam (landscape) suatu pulau atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika

setempat dan proses-proses alami lainnya.

Pembatasan terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil (PPK) tersebut dalam

rangka menjaga nilai dan arti penting dari pulau-pulau kecil bagi bangsa

Indonesia. Pemanfaatan PPK merupakan bagian dari pemanfaatan sumberdaya

pesisir dan lautan yang mempunyai nilai dan arti penting bagi bangsa Indonesia.

Setidaknya terdapat dua aspek penting dalam melihat nilai dari arti penting dari

pesisir dan laut yaitu : pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) sekitar 140 juta (60%) penduduk Indonesia hidup

di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 2% per tahun); (b)

sebagian besar kota (Propinsi dan Kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c)

kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 % pada tahun

(17)

kedua setelah Kanada; (b) sekitar 75% wilayahnya merupakan wilayah perairan;

(c) Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dan (d) memiliki

keanekaragaman hayati yang tinggi (Kusumastanto, 2000).

Sedangkan keberadaan PPK sendiri sebagai bagian dari sumberdaya

pesisir dan laut tentunya juga mempunyai nilai strategis bagi bangsa Indonesia.

Nilai arti penting dari PPK setidaknya dapat dilihat dari 3 aspek yaitu ; pertama, fungsi pertahanan dan keamanan. Keberadaan PPK terutama di perbatasan

merupakan pintu gerbang masuknya aliran orang dan barang. Sebanyak 92 buah

PPK terletak di perbatasan dengan negara lain yang memiliki arti penting sebagai

garda depan dalam menjaga dan melindungi keutuhan NKRI.

Kedua, fungsi ekonomi. Wilayah PPK memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial berbasis pada sumberdaya

(resources based industries). PPK dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pendukung pertumbuhan wilayah. Ketiga, Fungsi ekologis. Ekosistem pesisir dan laut PPK berfungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan

bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, sumber energi alternatif dan

sistem penunjang kehidupan lainnya. Arti penting dari PPK tersebut semakin

diperkuat dengan keberadaan aneka ragam sumberdaya baik hayati dengan

berbagai ekosistem penyusunnya yang mempunyai nilai ekonomis penting.

Potensi lainnya adalah sumberdaya non hayati yang belum banyak di gali seperti

pertambangan, energi kelautan serta yang tak kalah pentingnya adalah jasa-jasa

lingkungan seperti pariwisata (DKP, 2003).

Potensi sumberdaya hayati PPK yang paling utama biasanya terdiri dari

terumbu karang, mangrove, lamun dan sumberdaya ikan. Keempat ekosistem ini

merupakan penyusun utama ekosistem PPK yang banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat PPK sebagai sumber utama penghidupannya. Ketergantungan

masyarakat PPK terhadap sumberdaya hayati PPK merupakan bentuk strategi

masyarakat pesisir untuk mempertahankan hidupnya. Dengan begitu,

keberlangsungan hidup masyarakat PPK sangat ditentukan oleh kualitas ekosistem

tersebut baik secara fisik maupun ekologis. Semakin buruk kualitas ekosistem

dapat dimungkinkan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup

(18)

banyak ditemukan, kondisi yang berbeda-beda terkait dengan hubungannya antara

kondisi ekosistem dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Mengingat

pentingnya nilai dan kualitas sumberdaya hayati bagi keberlangsungan hidup

masyarakat, maka pemanfaatan terhadap sumberdaya pesisir dan laut tersebut

perlu mempertimbangkan kapasitas PPK dalam menampung pemanfaatan, yang

lebih banyak dikenal dengan konsep daya dukung.

Daya dukung PPK juga terkait dengan populasi penduduk yang dapat

ditampung oleh PPK sehingga masih dapat menjaga fungsinya sebagai tempat

tinggal. Jumlah populasi penduduk pada suatu PPK sangat menentukan kualitas

hidup masyarakat yang tinggal di PPK tersebut. Dalam konteks ini, Hardin

(1991) memberikan pilihannya terkait dengan populasi penduduk dan carrying capacity dalam pendapatnya : “we can maximize the number of human being living at the lowest possible level of comfort, or we can try to optimize the quality of life for a much smaller population”. Pengalaman dari berbagai Negara sejalan dengan tantangan Garret Hardin tersebut. Indonesia adalah salah satu contoh

negara yang berpenduduk banyak namun tingkat kesejahteraan masyarakatnya

rendah. Contoh sebaliknya, Singapura adalah negara dengan penduduk sedikit

namun tingkat kesejahteraan masyarakatnya tinggi. Untuk itu, penting melihat

daya dukung PPK dari perspektif populasi penduduk yang masih dapat ditampung

oleh PPK.

Dengan melihat tingkat pemanfaatan sumberdaya hayati serta tingkat

populasi penduduk, kajian daya dukung terhadap PPK dapat diterapkan.

Perspektif umum tentang pertumbuhan ekonomi mengatakan bahwa kualitas

lingkungan yang baik berkorelasi dengan peningkatan pendapatan masyarakat

yang bersentuhan secara langsung dengan lingkungan tersebut. Untuk mengukur

kualitas lingkungan dan sumberdaya yang berada di dalamya dapat ditempuh

dengan menilai daya dukung lingkungan pulau beserta ekosistem pesisir dan

lautan yang berada di dalamnya.

Apalagi jika dilihat kondisi masyarakat PPK yang sangat tergantung dari

sumberdaya alam di PPK tersebut, maka penting mengetahui daya dukung PPK

dilihat dari tingkat pemanfaatan sumberdaya hayati dan daya tampung PPK

(19)

hayati seperti terumbu karang, mangrove dan sumberdaya ikan tentunya tidak

tetap (fixed), statis atau hubungannya sederhana. Namun keberadaanya sangat

ditentukan oleh teknologi pemanfaatan, kecenderungan kepentingan, dan struktur

produksi dan konsumsi yang berlaku sehingga bersifat dinamis. Daya dukung

ekosistem tersebut juga sangat bergantung dari tingkat perubahan yang

disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisik dan biotik dari lingkungan. Tingkat

inovasi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut PPK dan

evolusi biologi yang terjadi di PPK merupakan faktor lain yang tidak dapat

diprediksi keberadaannya dan mempengauhi daya dukung PPK. Kerusakan

terhadap sumberdaya alam PPK akan menyebabkan menurunnya daya dukung

lingkungan dan ekologis PPK dan pada gilirannya akan berakibat pada

berkurangnya fungsi dan nilai ekonomi dari sumberdaya tersebut. Penurunan nilai

ekologis dan fisik sumberdaya alam PPK menyebabkan penurunan produksi dan

tingkat kesejahteraan masyarakat di PPK tersebut. Kerusakan lingkungan

sumberdaya alam PPK, termasuk menurunnya daya dukung dan daya pulih PPK

membutuhkan kebijakan lingkungan yang berpihak baik perbaikan lingkungan

dan kesejahteraan masyarakat.

Potensi sumberdaya hayati PPK yang cukup besar dengan tingkat

ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem PPK seperti terjadi di Kelurahan

Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kelurahan Pulau Panggang

terdiri dari 12 Pulau dengan jenis pemanfaatan yang berbeda-beda. Nama pulau

beserta jenis pemanfaatannya antara lain : Pulau Panggang (Pemukiman), Pulau

Karya (TPU/Perumahan Dinas), Pulau Pramuka (Pemukiman/Pemerintahan),

Pulau Kotok besar (Rekreasi/Pariwisata), Pulau Kotok Kecil (Penghijauan), Pulau

Opak kecil (Penghijauan), Pulau Karang bengkok (Penghijauan), Pulau Karang

Congkak (Penghijauan), Pulau Gosong sekati (Penghijauan), Pulau Air

(Penghijauan), Pulau Paniki (Rambu laut) dan Pulau Semak daun (Cagar alam).

Pulau Panggang dan Pulau Pramuka merupakan dua pulau yang berpenghuni dan

cukup padat yang terdapat di wilayah Kepulauan Seribu. Posisinya yang berada di

wilayah DKI Jakarta, menjadikan adanya mobilitas dan dinamika sosial

(20)

Ketertarikan yang cukup tinggi masyarakat untuk mendiami Kelurahan

Pulau Panggang didukung oleh banyak faktor. Kelurahan Pulau Panggang

memiliki potensi fisik, ekosistem, sosial dan ekonomi yang cukup memadai.

Potensi pesisir dan lautan yang terdapat di Kelurahan Pulau Panggang dapat

dijumpai seperti perikanan tangkap, rumput laut, terumbu karang, mangrove,

lamun, industri kerajinan rumah tangga, pemukiman penduduk, pariwisata dan

pertahanan keamanan. Potensi tersebut ditambah dengan keberadaan Pulau

Panggang sebagai pusat ibu kota Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.

Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan perkantoran banyak terdapat di Pulau

Panggang. Kondisi-kondisi tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat

untuk datang ke Pulau Panggang dan pulau-pulau lain yang berada di lingkup

wilayah kelurahan Pulau Panggang. Banyaknya penduduk yang datang terbukti

dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk yang tinggi di pulau yang

dimanfaatkan untuk pemukiman di Kelurahan Pulau Panggang yaitu Pulau

Panggang dan Pulau Pramuka. Jumlah penduduk pada tahun 2001 di Kelurahan

Pulau Panggang tercatat sebanyak 4.264 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,61%.

Deskripsi jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan tersebut masing-masing

Pulau Panggang (3.301 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,40%) dan Pulau

Pramuka (963 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,37%) (Laporan tahunan dan

bulanan perkelurahan 2001-2002). Laporan tersebut dibuat tahun 2001, sehingga

bukan tidak mungkin di tahun 2008 ini, jumlah populasinya semakin bertambah,

demikian juga dengan tingkat pertumbuhannya.

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, tentunya diiringi dengan

berbagai aktivitas masyarakat yang berada di Kelurahan Pulau Panggang.

Aktivitas ekonomi dan pembangunan yang dilakukan di Kelurahan Pulau

Panggang akan menghasilkan berbagai dampak yang akan mempengaruhi

lingkungan pulau. Pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi yang makin

tinggi juga bukan tidak mungkin akan semakin memperkecil dan melemahkan

daya dukung pulau dalam menampung berbagai dampak dari kegiatan ekonomi

dan pertumbuhan penduduk tersebut. Akibatnya, pulau akan sangat rentan

(21)

mengakibatkan berkurangnya fungsi pulau dalam memenuhi kebutuhan

masyarakat yang berada di pulau tersebut.

Pada sisi lain, masyarakat pesisir Kelurahan Pulau Panggang sangat

tergantung pada ekosistem sumberdaya pesisir dan laut. Perekonomian

masyarakat Pulau Panggang tergantung pada hasil tangkapan ikan karang dan

kegiatan perikanan lain yang memanfaatkan ekosistem terumbu karang. Oleh

sebab itu, terumbu karang merupakan ekosistem yang memegang peranan penting

bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir Pulau Panggang dan Pulau Pramuka.

Banyak ragam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Pulau

Panggang yang memanfaatkan ekosistem terumbu karang antara lain penangkapan

ikan karang, penangkapan ikan hias, budidaya karang dan aktivitas perikanan

lainnya. Aktivitas penangkapan ini melahirkan turunan kegiatan perikanan lain

seperti perdagangan ikan karang, pengolahan hasil perikanan, jasa perdagangan

dan kegiatan pembuatan kapal penangkapan ikan. Kompleksitas kegiatan

perikanan yang ditandai dengan pemanfaatan SDPL secara destruktif, menjadi

salah satu faktor yang mendorong melemahnya daya dukung lingkungan Pulau

Panggang dan Pulau Pramuka. Rendahnya daya dukung pulau dapat

menyebabkan kerusakan lingkungan, ketergantungan pangan dan kebutuhan

pokok lain dan fungsi lainnya akan semakin menurun.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut termasuk di

dalamnya ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan tidak bisa dilepaskan

dari konsepsi pembangunan berkelanjutan. Sejalan dengan konsep pembangunan

berkelanjutan, upaya pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya hayati pesisir

dan laut yang disesuaikan dengan kapasitas asimilasi PPK tersebut yang sering

dikenal dengan konsep daya dukung.

Potensi sumberdaya pesisir dan laut PPK yang beraneka ragam tidak

hanya dapat dinikmati manfaatnya oleh masyarakat PPK. Namun lebih dari itu,

keberadaannya secara rantai makanan merupakan satu kesatuan yang saling

mempengaruhi. Kondisi mangrove dan terumbu karang akan sangat

(22)

mempengaruhi produksi ikan yang dihasilkan oleh nelayan maupun industri

perikanan. Ketika pemanfaatan terhadap sumberdaya pesisir dan laut PPK

berlebih dan bahkan menimbulkan kerusakan, maka fungsi ekologis dari

sumberdaya akan berkurang dan bahkan dalam kondisi yang parah akan hilang.

Tentu hal tersebut juga akan mengurangi pendapatan masyarakat yang hidupnya

sangat bergantung dari sumberdaya tersebut. Untuk itu setiap pemanfaatan, perlu

ditekankan agar memperhatikan kapasitas pemanfaatan sumberdaya sehingga

masih memungkinkan untuk pulih dan memproduksi kembali. Artinya, setiap

pemanfaatan hendaknya tidak melebih daya dukung lingkungan. Akhirnya,

kondisi sumberdaya akan sangat menetukan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Pemanfaatan terhadap sumberdaya pesisir dan laut terkadang bukan hanya berasal

dari penduduk setempat. Tetapi sebagai open acces property maka laut beserta sumberdaya hayati di dalamnya dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh siapa saja.

Pada konteks seperti itu, sering ditemukan kondisi yang bertolak belakang antara

sumberdaya pesisir dan laut PPK dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang

mendiami PPK tersebut.

Kerusakan sumber daya pesisir dan laut berdampak kepada menurunnya

fungsi ekosistem. Pada kondisi seperti ini, masyarakat setempat yang banyak

menggantungkan hidupnya dari keberadaaan sumberdaya pesisir dan laut yang

sudah mengalami kerusakan akan terpengaruh, setidaknya akan mengalami

penurunan kesejahteraan sebagai akibat menurunnya produksi ikan dan hasil laut

lainnya. Banyak ditemukan di beberapa wilayah PPK, kondisi sumberdaya pesisir

dan laut terlihat masih bagus, namun masyarakat PPK tersebut berada dalam

kondisi miskin. Artinya, kondisi objektif sumberdaya pesisir dan laut yang

melimpah pada satu sisi, tetapi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan pesisir pada

sisi lain, hidup berdampingan dalam satu lingkungan PPK. Kemiskinan dan

kesenjangan ekonomi dapat disebabkan karena kerusakan lingkungan yang

menyebabkan berkurangnya fungsi ekosistem, namun tidak menutup

kemungkinan adanya pengaruh faktor lain yang lebih bersifat eksternal. Untuk itu

perlu melakukan kajian keterkaitan antara daya dukung lingkungan dan tingkat

(23)

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka fokus penelitian ini adalah

mengkaji hubungan antara daya dukung ekosistem pesisir dan lingkungan

kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat PPK. Selanjutnya sejumlah

pertanyaan akan diajukan untuk menjawab permasalahan tersebut antara lain :

• Bagaimana tingkat daya dukung lingkungan Kelurahan Pulau Panggang

termasuk di dalamnya daya dukung ekosistem terumbu karang

• Bagaimana tingkat kesejahteraan dan kesenjangan masyarakat pesisir

Kelurahan Pulau Panggang, khususnya nelayan tradisional

• Seberapa besar ketergantungan masyarakat di PPK terhadap sumberdaya hayati yang berada di lingkungannya

• Apakah tingkat kesejahteraan masyarakat semata ditentukan oleh

pemanfaatan sumberadaya yang memperhatikan konsep daya dukung atau

ada faktor lain yang mempengaruhi ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan

1) Menilai kemampuan daya dukung lingkungan dan ekosistem pesisir

dan laut yang terdapat di Kelurahan Pulau Panggang khususnya

ekosistem terumbu karang dan keterkaitannya dengan tingkat

kesejahteraan nelayan tradisional

2) Menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat Kelurahan Pulau

Panggang meliputi pendapatan, indek pembangunan manusia (IPM),

ketimpangan pembangunan dan indikator kesejahteraan lainnya

3) Mengkaji adanya faktor lain selain daya dukung Kelurahan Pulau

Panggang yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat

pesisir

4) Menyusun implementasi kebijakan dalam pengelolaan PPK

berbasiskan daya dukung ekosistem PPK dan tingkat kesejahteraan

(24)

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1) Dokumen kajian daya dukung ekosistem pesisir PPK dan

lingkungannya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan terkait

dengan pengelolaan PPK

2) Menjadi dasar pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan

pembangunan di Kelurahan Pulau Panggang dalam rangka mengurangi

(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

2.1.1 Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil

Belum ada definisi baku tentang pulau-pulau kecil. Banyak yang

menggunakan definisi dari segi luasnya seperti yang digunakan oleh DKP secara

nasional sesuai dengan keputusan menteri kelautan dan perikanan No.41/2000

adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 (DKP,2003).

Masih dari segi ukuran, pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan mempunyai ukuran

5.000 km2 (commonwealth science council, 1984) dalam Ongkosongo (1998) atau 2.000 km2 (UNESCO, 1991) dalam Falkland 1995; Hehanusa 1993; Purwanto 1995). Dalam seminar pengelolaan PPK tahun 1998 disepakati ukuran

maksimumnya 500 km sebagai batas, tanpa menyebut sebagai ukuran panjang

atau lebar. Definisi lainnya dari segi jumlah penduduk yang mendiaminya. PPK

didefinisikan sebagai pulau yang dihuni dengan jumlah penduduk kurang atau

sama dengan 200.000 jiwa (DKP, 2003). Menurut UU Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No.27 tahun 2007, Pulau Kecil adalah pulau dengan

luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta

kesatuan ekosistemnya.

PPK didefinisikan sebagai pulau yang berukuran kecil yang secara

ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi

dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri, 1998; Bengen, 2001;

DKP 2003). Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain

sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang

hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau

tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan

proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen.

Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air.

Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya

yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri,

(26)

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka ada 3 hal yang dapat

dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan

fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut

perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria

tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk dalam

memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi

kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada lain atau pulau induknya maka pulau

tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil (Kusumastanto, 2004).

Pembedaan istilah ukuran kecil dan besar atau bahkan sangat kecil

memang belum begitu jelas kegunaannya disamping definisinya yang masih

beragam. Namun jika dilihat dari segi pengelolaan PPK, pendefinisian ini sangat

penting khususnya ketika berbicara tentang daya dukung (carrying capacity)

biota, daya tampung pemukiman penduduk (human settlement capacity),

keterbatasan kegiatan kependudukan, ketersediaan air tawar, keterpencilan

tempat, kekurangan perhatian dari pemerintah, pendidikan, kesehatan, kebutuhan

barang, pemasaran produk dan lain-lain (Ongkosongo, 1998). Karena arahan

pengelolaan PPK dapat disesuaikan dengan ukuran dan permasalahan dari PPK itu

sendiri.

2.1.2 Karekteristik dan Kendala PPK

Pulau-pulau kecil memiliki karekteristik biofisik yang menonjol, yaitu :

(1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular; (2) sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3)

peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan

manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologi tinggi

(Bengen, 2001). Keterisolasian inilah yang membentuk kehidupan yang unik di

pulau tersebut, karena dikaruniai sumberdaya kelautan yang melimpah. Dari segi

budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau

kontinen dan daratan (Beller, et. al, 1990).

Pada dasarnya pulau-pulau yang menempati ruang atau posisi tertentu,

walaupun tidak berpenghuni, namun memiliki nilai yang strategis secara sosial

(27)

pulau-pulau yang memiliki kandungan sumberdaya alam yang berharga.

Terutama sekali pulau-pulau yang berdekatan dengan pusat perkembagan

ekonomi baik dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional.

Keberadaan PPK sebagai suatu ruang wilayah, bagi masyarakat mempunyai

fungsi sosial tertentu, terutama berkaitan dengan penguasaan sumberdaya yang

bersifat terbuka (open acces) bagi pemenuhan kebutuhan hidup suatu kelompok masyarakat atau suatu sistem sosial. Disamping juga terdapat pulau-pulau yang

telah menjadi milik suatu komunitas tertentu (common acces) maupun telah menjadi milik suatu privat (Kusumastanto, 2004).

Beberapa karekteristik ekosistem pulau-pulau kecil yang dapat merupakan

kendala bagi pembangunan adalah (Kusumastanto, 2004) :

a) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan), sehingga penyediaan

prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia

yang handal menjadi langka.

b) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang

optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan

transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua PPK di dunia

c) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar,

vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan

menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dan menopang

kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan

d) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti

pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang di dalam pulau dan

yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan

perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat

e) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan

pembangunan. Contoh, pariwisata yang dianggap sebagai dewa penolong

bagi masyarakat di PPK, tetapi justru di beberapa pulau kecil budaya yang

dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan kendala atau

agama setempat.

Kendala-kendala di atas bukanlah menjadi ancaman bagi pembangunan

(28)

sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis, memperhatikan daya dukung lingkungan,

ekologi, ekonomi dan sosial. Dampak negatif terhadap PPK ditekan seminimal

mungkin. Karena PPK mempunyai banyak permasalahan yang sangat

menentukan arahan dan kinerja pembangunan sekaligus mempengaruhi nasib dari

PPK ke depannya.

2.1.3 Ekosistem, Sumberdaya dan Lingkungan

Fakta tak terbantahkan bahwa PPK mempunyai potensi sumberdaya alam

yang besar dan beranekaragam. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah

ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami antara lain terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pec-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan

antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya dan kawasan

permukiman (Dahuri, 1998; Kusumastanto, 2000). Penjelasan di atas

menggambarkan bahwa dalam ekosistem pulau-pulau kecil terdapat satu atau

lebih ekosistem. Tiga ekosistem utama dan penting yang biasanya mencirikan

ekosistem perairan tropis yaitu ekosistem hutan mangrove, terumbu karang dan

padang lamun.

Ekosistem hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi yang tumbuh di

laguna pesisir dangkal dan estuaria tropis dan subtropis, didominasi oleh beberapa

spesies mohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang

pasang surut pantai berlumpur. Nilai fungsi mangrove yang berasosiasi dengan

keberadaan sumberdaya perikanan didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan di

sekitar hutan mangrove tersebut. Seperti contoh hasil tangkapan di Berelang pada

tahun 1996 diperoleh sebanyak 7.396 ton. Dengan asumsi jumlah produksi tetap

dan berkorelasi secara linear dengan luas hutan mangrove, maka hasil tangkapan

ikan di sekitar hutan mangrove tersebut adalah 0,448 ton/ha/th. Bila harga ikan

diasumsikan tetap sebesar US$ 1.163,04 per ton (Gellwyn dan Dahuri, 1999)

dalam Kusumastanto (2004), maka nilai fungsi ekosistem tersebut adalah sebesar US$ 521,25 /ha/tahun.

Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan

(29)

karang juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Menurut Kusumastanto

(2004) berdasarkan penelitian di wilayah Barelang dan Bintan dengan total luasan

terumbu karang 23.200,14 ha dan dengan asumsi yang diperoleh dari hasil

perhitungan bahwa nilai produksi ikan di sekitar perairan karang tersebut pada

tahun 1996 mencapai US$ 103.575.720, maka dengan asumsi PPK yang

dikembangkan memiliki karekteristik yang sama dengan Barelang diperoleh nilai

ikan karang di sekitar perairan terumbu karang adalah sebesar US$ 4.464,44

/ha/tahun.

Eksosistem padang lamun (seagrass) tumbuh di daerah subtidal, tersebar luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh sinar matahari, sampai dengan

kedalaman 20 m yang memadai bagi pertumbuhannya. Menurut Kusumastanto

(2004) nilai total perikanan yang diwakili oleh komoditas ikan dan udang di

sekitar padang lamun Barelang dan Bintan adalah sebesar US$ 56.419.620.

Asumsi, bila luas total padang lamun di kedua daerah tersebut adalah 14.620,6

hektar, maka diperoleh nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91/ha/tahun. Selain

itu, diperoleh juga nilai tidak langsung yang berasal dari nilai cadangan

biodiversity dan nilai sebagai pencegah erosi, dengan nilai masing-masing sebesar

US$ 15/ha/tahun dan US$ 34.871,75/ha/th. Nilai tersebut mengacu pada nilai hasil

pendekatan Ruitenbeek (1991) dan Kusumastanto et.al, (1998) .

Interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat

fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem

terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh. Bentuk interaksi itu bisa berupa

interkasi secara fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna

dan dampak manusia seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. (Ogden dan

(30)

Gambar 1 Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun, terumbu karang

dan hutan mangrove (Sumber: Ogden dan Gladfelter, 1983;

Kaswadji 2001 dalam Bengen, 2001)

2.1.4 Pemanfaatan dan Pengelolaan PPK

Menurut (Ongkosongo, 1998) pulau-pulau telah/sedang dimanfaatkan

untuk beberapa pemanfaatan. Diantara beberapa pemanfaatan antara lain; (1)

daratan negara (Indonesia, Filipina); (2) penetapan batas wilayah perairan negara

atau antar negara (contoh : Pulau Christmas); (3) pembangunan, termasuk

pemukiman; (4) kegiatan dan mencari nafkah masyarakat; (5) Rekreasi, wisata

dan olahraga; (6) konservasi dan keanekaragaman hayati dan budaya; (7)

konservasi budaya; (8) pendidikan; (9) perhubungan, termasuk perhubungan laut

dan udara; (10) penghasil sumberdaya mineral, hayati dan energi; (11) kegiatan

tertentu; (12) pertahanan keamanan; (13) penjara.

Secara umum ada tiga langkah utama dalam pengelolaan suatu wilayah

secara terpadu guna pembangunan berkelanjutan yaitu (i) perencanaan; (ii)

pelaksanaan dan (iii) pemantauan dan evaluasi (Dahuri et al 1995; Dutton dan Hotta, 1995; Cicin-Sain dan Knecht, 1998) dalam PKSPL (2005). Ketiga tahapan utama tersebut kemudian dipecahkan kedalam beberapa tahapan lain seperti yang

diperlihatkan pada Gambar 2.

Fisik

Bahan organik terlarut Bahan organik partikel Migrasi fauna

(31)
[image:31.612.112.505.85.425.2]

Gambar 2 Proses Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil (Modifikasi dari Dahuri et al 1995)

Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar

ekosistem pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu 1)

mintakat preservasi; 2) mintakat konservasi dan 3) mintakat pemanfaatan.

Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistem unik,

biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan,

daerah pembesaran dan alur migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan

yang diperbolehkan hanyalah pendidikan dan penelitian ilmiah, tidak

diperkenankan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi adalah daerah

yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara terbatas dan

terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan

wisata alam (ecotourism), sementara itu mintakat pemanfaatan diperuntukan bagi kegiatan pembangunan yang lebih intensif seperti industri, tambak, pemukiman,

pelabuhan dan sebagainya (PKSPL, 2005).

Isu dan Permasalahan : Lokal/nasional dan

Verifikasi permasalahan

Aspirasi lokal/Nasional

Aspek Kelembagaan Potensi

sumberdaya ekosistem

Tujuan dan Sasaran Peluang dan

Kendala

Formulasi rencana

Pelaksanaan rencana

Pembangunan PPK berkelanjutan

Mekanisme umpan balik

Pemantauan dan Evaluasi Tantangan dan

(32)

Langkah selanjutnya setelah berhasil memetakan setiap kegiatan

pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut adalah

menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan

ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan

pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya

pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang

dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional

[image:32.612.123.491.277.522.2]

(Dahuri et al , 1995; Dahuri, 1998; Ongkosongo, 1998). Proses tersebut diatas secara grafis diperlihatkan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Proses Formulasi Perencanaan Dan Pemanfaatan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan (PKSPL, 2005)

Keterbatasan sumberdaya alam yang makin menipis pada satu sisi dan

kebutuhan manusia yang makin meningkat pada sisi lainnya, melahirkan suatu

kesadaran kritis yang mengarahkan pendekatan pengelolaan kearah pemanfaatan

yang efisien. Namun lebih dari itu, pemanfaatan sumberdaya tidak boleh

mnegorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Dibutuhkan konsep keberimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya sekaligus

keadilan antar generasi yang selanjutnya disebut konsep pembangunan Persyaratan biogeofisik

kegiatan pembangunan

Karakteristik biogeofisik wilayah (PPK)

Kelayakan

Tata ruang

Daya dukung Daya pulih

Penggunaan SD PPK secara berkelanjutan Aspirasi masyarakat

(33)

berkelanjutan. Sebagaimana dikemukakan Serageldin (1996) dalam Rustiadi (2003) bahwa konsep pembangunan berkelanjutan meliputi tiga dimensi yang

disebutnya sebagai a triangular framework yakni keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi. Spangenber (1999) dalam Rustiadi (2003) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat keberlanjutan.

2.1.5 Kebijakan Pengelolaan PPK

Kebijakan yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi kebijakan

pemerintah dan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan PPK. DKP (2003)

menetapkan kebijakan pengelolaan PPK yaitu :

a) Meningkatkan pengelolaan PPK di perbatasan untuk menjaga integritas

b) Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya PPK secara terpadu, optimal dan

lestari untuk kesejahteraan masyarakat berbasis pelestarian dan

perlindungan lingkungan

c) Meningkatkan pengembagan ekonomi wilayah berbasiskan pemberdayaan

masyarakat melalui peningkatan kemampuan SDM, teknologi dan iklim

invetasi yang kondusif

d) Meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan dan penegakan hukum.

Respon terhadap pentingnya pengelolaan PPK semakin tinggi dengan telah

diterbitkannya undang-undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Undang-undang tersebut mengatur mulai dari

perencanaan, pengelolaan, (pemanfaatan, hak penguasaan perairan pesisir,

pengaturan pegelolaan, konsep pengelolaan PPK) dan pengawasan pengendalian.

Peraturan tersebut memberikan ruang yang cukup penting bagi

keberlanjutan PPK dan kelestarian sumberdaya PPK. Konsep pembangunan

berkelanjutan dengan menekankan pada pendekatan keterpaduan (ICM).

Pengelolaan wilayah pesisir dan PPK, menekankan pada aspek ekologis, aspek

ekonomis dan sosial. Asas pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan dan

keadilan termasuk menjadi dasar pengelolaan PPK. Peraturan ini dalam satu sisi

memberikan harapan akan keberlanjutan ekologis PPK serta pemerataan ekonomi

dengan memasukkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan memberikan

(34)

banyak pertanyaan yang bersifat berkebalikan secara diametral dengan konsep

pembangunan berkelanjutan. Adanya pasal tentang hak penguasaan perairan

pesisir (HP-3) seperti dalam pasal 16-22 memberikan gambaran tentang masa

depan PPK dan masyarakat pesisir. Pemanfaatan yang salah dan semata

berorientasi ekonomi dan kapitalisasi modal tanpa mengindahkan aspek

kelestarian lingkungan PPK akan mengakibatkan kerusakan PPK dalam jangka

panjang. Pasal ini juga memberikan peluang hidupnya kolaborasi elit sosial atau

para komprador dengan para pemilik modal dalam memanfaatkan ekosistem PPK

dan sumberdaya yang berada di dalamnya. Pemberian hak kepada masyarakat

dalam pengelolaan bisa jadi tidak akan melahirkan pemerataan namun bisa

menutup akses masyarakat dalam pengelolaan karena lemahnya bergaining posisi masyarakat sehingga akan berakibat pada semakin tingginya kesenjangan dan

menguatnya ketidakmerataan di PPK.

2.2 Konsepsi Daya Dukung Pulau-Pulau Kecil

2.2.1 Definisi Daya Dukung

Daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (ocupancy capacity) pada umumnya dimaksudkan dari segi dukungan terhadap kehidupan biota atau

manusia yang ada di Pulau tersebut (Ongkosongo, 1998). Daya dukung suatu

wilayah dapat naik atau turun tergantung dari kondisi biologis, ekologis dan

tingkat pemanfaatan manusia terhadap sumberdaya alam. Daya dukung suatu

wilayah dapat menurun, baik diakibatkan oleh kegiatan manusia maupun

gaya-gaya ilmiah (natural forces), seperti bencana alam. Namun dapat dipertahankan dan bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper),

masukan teknologi dan impor (perdagangan) (Dahuri, 2001).

Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas

ditentukan umumnya dengan dua cara: (1) suatu gambaran hubungan antara

tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya terhadap

parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap

dampak-dampak lingkungan yang diinginkan dalam rezim manajemen tertentu. Secara

umum terdapat empat tipe kajian daya dukung lingkungan (Inglis et al., 2000)

(35)

1) Daya dukung fisik, yaitu luas total berbagai kegiatan pembangunan yang dapat didukung (accommodated) oleh suatu kawasan/lahan yang tersedia, 2) Daya dukung produksi, yaitu jumlah total sumberdaya daya alam (stok)

yang dapat dimanfaatkan secara maksimal secara berkelanjutan

3) Daya dukung ekologi, adalah kuantitas atau kualitas kegiatan yang dapat dikembangkan dalam batas yang tidak menimbulkan dampak yang

merugikan ekosistem

4) Daya dukung sosial, yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik

dengan kegiatan lainnya.

Pada dasarnya, konsep daya dukung wilayah pesisir ditujukan untuk

mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Dahuri, 2001). Terdapat beberapa

metode/teknik untuk menentukan daya dukung wilayah pesisir :

1) Menetapkan batas-batas (boundaries) baik vertikal maupun horisontal terhadap garis pantai (coastal line), wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan (a management unit)

2) Menghitung luasan pesisir yang dikelola

3) Mengalokasi atau melakukan pemintakan (zonation) wilayah pesisir

tersebut menjadi 3 zona utama, yaitu : (a) preservasi, (b) konservasi, (c)

pemanfaatan

2.2.2 Daya Dukung Lingkungan Ekosistem Pesisir PPK

Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu

ekosistem untuk mendukung pemeliharaan organisme yang sehat baik

produktifitasnya, kemampuan beradaptasi dan kemampuan pembaruan

(Ceballos-Lasurian, 1991). Daya dukung lingkungan sering diekpresikan sebagai jumlah unit

pemanfaatan yang masih dapat ditampung oleh lingkungan. Daya dukung

menghadirkan batasan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya sehingga

ekosistem tersebut tidak mengalami kerusakan akibat aktivitas pemanfaatan. Jika

pemanfaatan melebihi ambang batas/kemampuan lingkungan untuk pulih

kembali/berasimilasi maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan tersebut melebihi

(36)

penangkapan ikan karang di terumbu karang, maka tingkat penangkapannya tidak

boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut dan tidak boleh merusak terumbu

karang. Begitu juga dengan pemanfaatan mangrove untuk kebutuhan sehari-hari

masyarakat, tingkat pemanfaatan mangrove tidak boleh merusak ekosistem

mangrove.

Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh : (1) kondisi biogeofisik

wilayah, dan (2) permintaan manusia, sumberdaya alam, dan jasa lingkungan

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri, 2001). Masih menurut Dahuri

2001, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara

menganalisis : (1) variabel kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan

wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa

lingkungan; (2) variabel sosial-ekonomi-budaya yang menentukan kebutuhan

manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah

pesisir, tetapi berpengaruh terhadap perubahan sumberdaya alam dan jasa

lingkungan di wilayah tersebut.

2.2.3 Indikator Daya Dukung PPK

Menurut Cocosis (2005) dalam PKSPL (2005) perlu dibuat indikator daya dukung yang akan dijadikan patokan/limit maksimum. Indikator diperlukan untuk

menyediakan kemungkinan kepada kita untuk menjelaskan dan menerapkan serta

proses yang harus dilakukan. Pengembangan suatu kegiatan dalam beberapa

kasus perlu suatu inti satuan indikator, faktor yang mencerminkan tekanan dan

status pokok (yaitu, endemic dan mengancam jenis). Indikator ini digunakan

untuk memonitor dan mengidentifikasi pelanggaran batas daya dukung kegiatan di

pulau kecil. Implikasi dari pengukuran indikator adalah untuk kepekaan dari

lokasi dalam telaah. Penggunaan indikator dengan mengidentifikasi dan

membatasi setiap kegiatan aktivitas dan kegiatan dengan suatu ukuran yang

sederhana namun fleksibel. Penetapan batas indikator ini diperlukan untuk

mengelola kawasan yang bernilai ekonomi dan ekologi tinggi.

Indikator suatu yang penting, tetapi bukan satu-satunya batasan mengelola

pulau kecil Di dalam konteks ini ada tiga jenis indikator diusulkan mencerminkan

(37)

komponen yang menjadi indikator adalah 1). Indikator Phisik – Ekologis; 2)

Indikator Demographic – Sosial dan; 3) Indikator Politis – Ekonomi.

Semua indikator tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep dan

implementasi dari aktivitas di pulau kecil. Indikator keberlanjutan juga di

perlukan ketika terjadi indikasi terjadi perubahan kemampuan untuk bertahannya

sumberdaya tersebut. Dalam pembuatan dan pemilihan kebijakan atau perencana

dapat menyusun indikator yang sesuai untuk wilayahnya. Indikator lingkungan

[image:37.612.121.503.276.590.2]

dapat dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1 Indikator Lingkungan di Pesisir dan Pulau Kecil

No Thematik Area Coastal Pulau Kecil

Indikator Phisik – Ekologi

1 Biodiversity dan Lingkungan Alam P P

4 Energy P

5 Air P P

6 Limbah P P

7 Warisan budaya P P

8 Infrastruktur Wisata P P

9 Lahan P P

10 Arsitektur Ruang P P

11 Transportasi

INDIKATOR Demographi-Sosial

1 Demography P

2 Kunjungan Turis P P

3 Tenaga Kerja P P

4 Perilaku Sosial P

5 Kesehatan dan Keselamatan P P

6 Isu Physicologis P

INDIKATOR Politik-Ekonomi

1 Investasi dan Pendapatan Kegiatan

Wisata

P P

2 Tenaga Kerja P P

3 Penghasilan dan Penerimaan

Masyarakat

P P

4 Kebijakan Pengembagan Kawasan P P

Keterangan : P = Prioritas

(38)

2.2.4 Mengukur Daya Dukung PPK dengan Ecological Footprint

Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan lahan untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan,

TPA (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk

mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint).

Ecological footprint (eco-footprint) diekspresikan dalam konteks (satuan) produktivitas global (dunia). Jadi jika misalnya produktivitas sereal dunia adalah

2,5 ton/ha/th, maka jika seseorang menkonsumsi 1 ton sereal per tahun berarti

mempunyai ”cereal footprint” sebesar 0,4 ha/cap. Namun Ferguson (2002) dalam

PKSPL (2005) telah menunjukkan bahwa menggunakan produktivitas global

dapat mendistorsi hasil perhitungan dan oleh karenanya Ferguson (2002)

menyarankan menggunakan produktivitas lokal. Secara konseptual maka

ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) dalam

PKSPL (2005) mendefinisikan biocapacity sebagai sebuah ukuran ketersediaan lahan produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam

kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi

tersebut, dapat didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological footprint.

Untuk menjelaskan konsep ecological footprint ini dalam kaitannya dengan daya dukung lingkungan, PKSPL (2005) membuat contoh sebagai berikut.

Misalnya di sebuah pulau bahwa setiap orang mengkonsumsi 2 ton jagung dan 0,2

ton pepaya per tahun. Diketahui ternyata di pulau ini telah digunakan 20.000 ha

lahan untuk menumbuhkan jagung dan 500 ha untuk menanam pepaya.

Produktivitas lahan jagung adalah 10 ton/ha/th, sementara produktivitas lahan

pepaya adalah 40 ton/ha/th. Apabila kenyataannya penduduk di pulau ini

kebutuhanya akan pepaya dan jagung terpenuhi maka daya dukung yang dihitung

dari produksi jagung dan daya dukung yang dihitung dari produksi pepaya

(39)

produktivitas 10 ton/ha/th maka akan diproduksi jagung sebanyak 200.000

ton/tahun. Karena kebutuhan setiap orang adalah 2 ton per tahun, maka jumlah

orang yang dapat dicukupi (carrying capacity) adalah (200.000/2) = 100.000 orang. Jika daya dukung ini dihitung dari produksi pepaya, maka dapat kita lihat

bahwa produksi pepaya dalam satu tahun adalah 500 x 40 = 20.000 ton/tahun.

Karena konsumsi setiap orang adalah 0,2 ton pepaya per tahun maka daya dukung

lingkungannya adalah (20.000 /0,2) = 100.000 orang. Daya dukung harus sama

walaupun dihitung dari jenis konsumsi yang berbeda.

Daya dukung lingkungan juga dapat dihitung dari biocapacity dan

ecological footprint. Pada contoh di atas maka ecological footprint dari jagung adalah (konsumsi per capita / produktivitas) = 2/10 = 0,2 ha. Sementara itu

ecological footprint dari pepaya adalah = 0,2/40 = 0,005 ha. Dengan demikian

total ecological footprint adalah 0,205 ha.

Ecological footprint mewakili kebutuhan kapital alam yang sangat diperlukan dari suatu populasi dalam artian luasan lahan yang produktif secara

ekologis. Luas lahan footprint tersebut bergantung pada besarnya populasi, standar hidup material, pemanfaatan teknologi, dan produktivitas ekologis

(Wackernagel et al., 1999). Untuk sebagian besar wilayah yang telah maju

(daerah industri) sebagian lahan footprint ini melebihi yang tersedia di tempat (wialayah lokal) tersebut. Hal ini berarti memerlukan bantuan kecukupan

(appropriation) dari daya dukung (carrying capacity) dunia (global). Ditekankan oleh Wackernagel et al. (1999) ecological footprint tidak bias tumpang tindih (overlap), daya dukung lingkungan yang dialokasikasikan untuk kecukupan (appropriated) seseorang (atau satuan ekonomi) tidak bisa tersedia bagi orang lain. Dengan demikian orang-orang berkompetisi (bersaing) untuk ecological space. Perhitungan ecological footprint didasarkan pada 2 fakta sederhana :

pertama adalah bahwa semua sumberdaya yang dihabiskan (konsumsi) dan

limbah yang dihasilkan dapat ditelusuri; dan kedua, kebanyakan aliran

sumberdaya dan limbah tersebut dapat dikonversi ke luasan lahan yang secara

biologis produktif yang diperlukan untuk mengakomodasi fungsi-fungsi (produksi

dan penyerapan limbah) tersebut. Dengan demikian ecological footprint

(40)

Ecological footprint telah digunakan untuk menghitung lahan yang diperlukan untuk kecukupan kebutuhan ekologis seseorang baik pada tingkat

lokal, negara, regional, dan bahkan dunia. Konsep ini juga telah digunakan

sebagai indikator yang mengukur pasokan (supply) dan permintaan (demand)

sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) untuk menjamin

keberlanjutan (sustainability) sistem manusia. Namun demikian konsep

ecological footprint juga telah dikritik kelemahannya pada saat digunakan sebagai indeks keberlanjutan sistem produksi akuakultur (Roth et al., 2000) dalam PKSPL (2005).

2.3 Pembangunan dan Kemiskinan

Perkembangan teori pembangunan hadir setelah teori-teori tentang

kapitalisme. Oleh karena dalam banyak pembahasannya, teori pembangunan

lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan teori kapitalisme, baik yang

mendukung maupun para pengkritiknya. Sejak kaum merkantilis dan Adam

Smith, Ricardo dan Thomas Maltus sampai Marx, Keynes, Paul Baran sampai

Gunnar Myrdal dan Amarty Sen, banyak membicarakan tentang pembangunan

ekonomi. Pemikiran pembangunan tersebut selanjutnya oleh Damanhuri (1997)

diklasifikasi dalam tiga jenis pemikiran yaitu teori liberal, teori kritis atau radikal

dan teori heterodox. Pandangan para pemikir ekonomi tersebut senantiasa

mengkaitkan dengan perkembangan politik. Deliarnov (2005) mengklasifikasi

para pemikir ekonomi politik dengan melihat sejarah pemikiran ekonomi dalam

beberapa jenis meliputi ekonomi politik liberal klasik, sosialisme, neo klasik,

strukturalisme dan dependensia, kelembagaan, ekonomi politik baru dan neo

liberalisme.

Namun perbedaannya, sejak zaman merkantilis, Adam smith, Marx dan

Keynes, perhatian kepada pembangunan ekonomi lebih bersifat statis dan

umumnya dikaitkan dengan kerangka acuan lembaga budaya atau sosial eropa

barat. Baru sejak tahun empat puluhan atau tepatnya pasca perang dunia II yang

ditandai dengan kebangkitan gelombang politik bangsa Asia-Afrika, para ahli

ekonomi banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah negara terbelakang.

(41)

kemakmuran di manapun (Jhingan, 1975). Bagi Meier dan Baldwin dalam

Jhingan (1975) pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan lebih

terasa mendesak daripada pengkajian kemakmurannya.

2.3.1

Gambar

Gambar 2    Proses Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah
Gambar 3    Proses Formulasi Perencanaan Dan Pemanfaatan Ekosistem
Tabel 1  Indikator Lingkungan di Pesisir dan Pulau Kecil
Gambar 4     Framework Analisis dan Pengembangan Kelembagaan. Modifikasi dari Ostrom, E..D, R
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tahapan pengembangan LKPD yaitu: menganalisa kebutuhan dan karakteristik siswa, persiapan desain awal produk dengan mengumpulkan materi dan gambar-gambar yang disajikan

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

Aset pajak tangguhan diakui untuk semua perbedaan temporer yang dapat dikurangkan dan akumulasi rugi fiskal yang belum digunakan, sepanjang besar kemungkinan beda temporer yang

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

• Degree of bodily arousal influences the intensity of emotion felt Schachter’s Theory Type Intensity Emotion (Fear) Perception (Interpretation of stimulus-- danger) Stimulus

Elemen heading menyediakan atribut al i gn yang dapat digunakan untuk mengatur posisi teks.. Mengatur

Total Phenolic Content dari Rhizopus oryzae pada Konsentrasi Ekstrak Kulit Pisang Kepok 500 gram/L air dan 1000 gram/L air .... Total Phenolic Content Hasil Ekstraksi Biomassa

• Bahwa berdasarkan pada keseluruhan pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat dalam menerbitkan obyektum litis secara