• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ANALYSIS OF CRIMINAL LIABILITY PLAYERS OF THE CRIME OF FORGERY CERTIFICATE

(Study of Judges Decision 945 / Pid.B / 2010 / PN.TK) by

Harina Hayati Harfa

Criminal act of forgery certificate is a form of assault of a public trust in the mail or an authentic deed in education and used for the purposes that benefit themselves caused by the demands of the times that bring the community towards life easy and practical. The problem in this research is how the criminal responsibility of the perpetrators of the crime of forgery certificate which terminated the criminal trial and whether the underlying criminal punishment of the perpetrators of the crime of attempted forgery diploma.

The approach used in this paper is a normative juridical approach and empirical jurisdiction. Data collected by literature and interviews with judges, prosecutors, academics and legal observers. The data were then analyzed qualitatively to obtain a conclusion in accordance with the issues discussed.

The results showed that criminal liability criminal counterfeiting studies diploma in the judge's decision No. 945 / PID / B.2010 / PN.TK sentenced to have fulfilled the elements of criminal acts and criminal liability. Consideration of the criminal trial judge in the imposition of criminal offense of forgery certificate seen things juridical and non-juridical. In this case the judge decided that the defendant is found to have violated Article 69 Paragraph (1) of Law No. 20 of 2003 on National Education System.

In the end it is suggested that the imposition of appropriate penalties for perpetrators of forgery diploma so as to make the necessary deterrent effect as well as the perpetrators of seriousness and thoroughness judge in deciding a case and make a determination of law that reflect fairness and impartiality.

(2)

i

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

(Studi Putusan Hakim No.945/PID.B/2010/PN.TK)

Oleh

HARINA HAYATI HARFA

Tindak pidana pemalsuan ijazah merupakan bentuk penyerangan suatu kepercayaan masyarakat terhadap surat atau akta otentik dalam pendidikan dan digunakan untuk kepentingan yang menguntungkan diri sendiri yang disebabkan oleh tuntutan perkembangan zaman yang membawa masyarakat menuju tatananan kehidupan yang mudah dan praktis. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah yang diputus pidana percobaan serta apakah yang mendasari penjatuhan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah.

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara dengan Hakim, Jaksa, akademisi maupun pengamat hukum. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah dalam studi putusan hakim No. 945/PID/B.2010/PN.TK untuk dijatuhi pidana telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana percobaan tindak pidana pemalsuan ijazah dilihat dari hal-hal yang bersifat yuridis maupun non yuridis. Dalam hal ini hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti melanggar Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pada akhirnya disarankan agar penjatuhan hukuman yang sesuai bagi pelaku pemalsuan ijazah sehingga membuat efek jera pelaku serta diperlukan keseriusan dan ketelitian Hakim dalam memutus suatu perkara dan membuat suatu ketetapan hukum yang mencerminkan keadilan dan tidak berpihak.

(3)

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Pemalsuan Ijazah

(Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum

Fakultas Hukum Universitas Lampung

Oleh

Harina Hayati Harfa

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI

MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

(4)

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Pemalsuan Ijazah

(Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

(TESIS)

Oleh

Harina Hayati Harfa

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI

MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 8

[ II. TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan ... 18

1. Pengertian Tindak Pidana ... 18

2. Tindak Pidana Pemalsuan ... 22

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 25

(6)

C. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan ... 30

D. Pengertian Putusan Hakim ... 35

1. Pengertian Putusan Hakim ... 35

2. Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan ... 36

E. Pidana Percobaan atau Pidana Bersyarat ... 38

1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam Hukum Pidana Indonesia ... 38

2. Penentuan Penjatuhan Pidana Bersyarat ... 40

3. Hakekat Pidana Bersyarat ... 43

4. Syarat-Syarat dalam Penjatuhan Pidana Bersyarat ... 44

5. Tujuan Pidana Bersyarat ... 47

III.METODE PENELITIAN ... 48

A. Pendekatan Masalah ... 48

B. Sumber dan Jenis Data ... 49

C. Metode Pengumpulan dan Pengelolahan Data ... 50

D. Analisis Data ... 51

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim Nomor 945/PID.B/2010/PN.TK) ... ... 53

B. Pertimbangan Hakim Dalam Penjtuhan Pidana Percobaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim Nomor 945/PID.B/2010/PN.TK)...65

V. PENUTUP ... 80

A. Simpulan ... 80

(7)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan Hidayah-Nya Serta Junjungan Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Tesis Ini Kepada :

Ayahanda Harfa Ardi S.H., Ibunda Imalia Rivai S.H., sebagai orang tua yang mengajarkan keikhlasan tidak melalui kata-kata melainkan perbuatan, mendidik,

mengajarkan apa yang orang lain tidak bisa ajarkan, membesarkan dan membimbing penulis serta selalu memberikan kasih sayang yang tulus dan

memberikan do’a dalam setiap sujud mereka

Kakak-kakak ku Muhammad Hadely Harfa dan Hardja Hendradi Harfa yang menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan yang

jauh lebih baik dari sekarang

(8)

Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala

karunia

dan

ridho-NYA,

sehingga

tesis

dengan

judul

ooAnalisis

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku

Tindak

Pidana Pemalsuan

Ijazah

(Studi

Putusan

Hakim

No.945/Pid.B/2010/PN.TK)"

ini

dapat

diselesaikan.

Tesis

ini

disusun rmtuk memenuhi salah satu persymatan manperoleh gelm

Magister Hukum

(M.H.)

pada progftIm studi Magister Hukum Universitas

Lampung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat

dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya, kepada:

1.

Bapak Prof.

Dr.

Ir.

Sugeng

P.

Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas

Lampung.

2.

Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Unila.

3.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program dan Bapak

Dr.

Eddy

Rifai,

S.H.,

M.H.,

selaku Sekretaris Program pada Program Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.

4.

Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama dan Bapak Dr. M.Fakih, S.H., M.S. selaku Pembimbing Pendamping penulis yang sangat

membantu.

5.

Ibu Dr. Maroni, S.H., M.H. dan Ibu Erna Dewi, S.H., M.H. selaku Penguji.

6.

Ayahanda Harfa

AIdi,

S.H. dan Ibunda Imalia Rivai, S.H atas semua do'a,

usaha dan pengorbanannya untuk keberhasilanku.

7.

Kakak-kakakku Muhammad Hadely Harfa dan Hardja Hendradi Harfa yang

selalu memberikan semangat, do'a dan dukungan kepada penulis.

8.

Bapak, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

9.

Semua teman-temanku angkatan 201212013 Program Pascasarjana Program

Studi Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai dan semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan

dorongannya dalam penyelesaian tesis ini.

(9)

pengembangan lebih lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandar

Lampung,

Desember 2014
(10)

l.

Tim Penguji

Ketua Tim Penguji

Sekretaris

Penguji,Utama

Anggota

Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.

Dr. Muhammad Fakih, S,H., M.S.

Dr. Maroni, S.H., M.H.

t

Dr. Erna Dewi, S.H., M.H.

:

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Hukum

/F

x/l,,rf-NTP.

Tr.Heryandi, S.H., M.S.

t962n0e r98703 I 003

ffi

ktur Program Pascasarjana

Dr. Sudjarwo, M.S. 9s30s28198103 1 002

(11)

Nama Mahasiswa

No. Pokok Mahasiswa

Program Kekhususan

Program Studi

Fakultas

Pembimbing Utama

Dr dy Rifai, S.H., M.H.

N 19610912 198603 1 003

(Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/20 1 0/PN.TK)

HARINA HAYATI HARFA

122201t063

Hukum Pidana

Program Pascasarjana Magister Hukum

Hukum

MENYETUJUI

t.

Dosen Pembimbing

MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana

Program studi Magister Hukum Fakultas Hukum mpung

ffitrffi

U-HruffiO'

$h*:S*"i-;

\Jfr:d;mk{,war,

s.H., M.Hu m.

Pembimbing Pendamping

hammad Fakih,

19641218 198803 1

(12)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenamya bahwa:

1.

Tesis dengan judul "Analisis Pertanggungiawaban Pidana Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Pemalsuan lJaz:.h" adalah karya saya sendiri dan saya tidak

melalcukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara

yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat

akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak

intelektuat atas karya iltniah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hmi ternyata ditemukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya,

saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Desember 2014

NPM 1222011063

(13)

i

MOTO

Hidup akan lebih indah dan berwarna jika kita ingin

selalu maju dan selalu ingin meningkatkan

(14)

i

R I W A Y A T H I D U P

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 10 April 1990 yang merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara buah hati pasangan Harfa Ardi, S.H dan Imalia Rivai, S.H.

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ijazah merupakan hasil dari proses seorang mahasiswa yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah dinyatakan lulus dan menyelesaikan semua persyaratan administratif dan akademik dari suatu program studi tertentu di sebuah Universitas dan berhak menyandang gelar sesuai yang ditetapkan oleh Universitas. Pada kenyataannya dokumen ijazah sering disalahgunakan untuk kepentingan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Ini disebabkan karena seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi tentu saja akan membawa suatu negara pada kesejahteraaan dan kemakmuran rakyatnya.

(16)

bertentangan dengan hukum dan undang-undang sehingga sebagai salah satu bentuk tindak pidana.

Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.1

Tindak pidana pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya tindak pidana pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.

Tindak pidana pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam kelompok kejahatan penipuan, tetapi tidak semua perbuatan penipuan adalah pemalsuan. Tindak pidana pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan, apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas sesuatu barang (surat) seakan-akan asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran ini orang lain terpedaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas barang/surat tersebut itu adalah benar atau asli. Pemalsuan terhadap tulisan/surat terjadi apabila isinya atas surat itu yang tidak benar digambarkan sebagai benar.2

1

Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta, Rajawali Pers, 2000, hlm. 3.

2

(17)

Kejahatan pemalsuan yang dimuat didalam Buku II KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dikelompokkan atas 4 golongan, yaitu:

1. kejahatan sumpah palsu (Bab IX); 2. kejahatan pemalsuan uang (Bab X);

3. kejahatan pemalsuan materai dan merek (Bab XI); 4. kejahatan pemalsuan surat (Bab XII);

Tindak pidana pemalsuan ini bukan merupakan hal yang baru, karena sejak dahulu memang sudah ada, tetapi tingkat keberadaannya tidak seperti sekarang ini. Adanya perkembangan kemajuan ilmu, teknologi, serta perkembangan penduduk, struktur masyarakat, perubahan nilai sosial budaya, pengaruh sosial atau politik ataupun pengaruh krisis global, turut serta memberikan dampak terhadap tindak pidana pemalsuan misalnya seperti tindak pidana pemalsuan gelar kesarjanaan.

(18)

Salah satu tindak pidana pemalsuan dokumen ijazah pernah terjadi diwilayah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yaitu terhadap putusan pidana dengan nomor: 945/PID.B/2010/PN.TK, yang melibatkan terdakwa Sally Budi Utami dimana ia melampirkan berkas salah satunya adalah fotocopy Ijazah dan Transkip nilai yang telah dilegalisir oleh Dekan Fakultas Teknik Universitas Lampung yang merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki bagi calon peseta CPNSD yang melamar formasi setingkat S1 (Sarjana). Terdakwa telah melampirkan fotocopy ijazah No. 01498/38.5.S 1/2008 dan transkip nilai atas nama terdakwa, Sally Budi Utami Fakultas Teknik Sipil Universitas Lampung yang telah distempel dan ditandatangani oleh Ir. Mariyanto M.T (Dekan Fakultas Teknik Universitas Lampung) adalah palsu karena ijazah dengan No. 01498/38.5.S 1/2008 atas nama Marissa Adinegara. Terdakwa dinyatakan belum lulus sebagai Sarjana karena belum pernah mengajukan skripsi dan terdakwa tidak pernah tercatat sebagai wisudawati Universitas Lampung. Namun saat pendaftaran ulang para peserta seleksi CPNSD terdakwa dinyatakan lulus dan diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Kota Bandar Lampung. Oleh karena itu terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan dengan masa percobaan 10 bulan. Pelaku didakwa karena terbukti melakukan tindak pidana menggunakan pemalsuan surat atau ijazah untuk mengikuti Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD).

(19)

6 tahun. Selanjutnya pada kasus ini dapat dikaitkan juga dengan Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena terdapat indikasi dalam menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Apabila dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat pengertian tentang Concursus Idealis dan Concursus Realis.3 Concursus Idealis yaitu apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi masuk dalam beberapa peraturan hukum pidana, sehingga orang itu dianggap melakukan beberapa tindak pidana. Diatur dalam Pasal 63 KUHP:

(1) Jika suatu perbuatan tersebut masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Juka suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Concursus Realis adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan berdiri sendiri (kejahatan/pelanggaran), tetapi tidak perlu perbuatan itu berhubungan satu sama lain atau tidak perlu sejenis. Diatur dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 70, dan Pasal 70 bis KUHP).

3

(20)

Tetapi dalam perkara tindak pidana pemalsuan ijazah ini berbeda karena terdapat dua peraturan hukum yaitu Kitab Hukum Undang Pidana dan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional.

Berdasarkan dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut dan membahasnya lebih lanjut dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah dalam putusan hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK?

b. Apakah yang mendasari penjatuhan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah dalm putusan hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK?

2. Ruang Lingkup

(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

a. Untuk memahami, menganalisis dan mendiskripsikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah dalam putusan hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK

b. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah dalam putusan hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK

2. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, untuk memperluas dan memperdalam pemahaman tentang pemalsuan ijazah, untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah, untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pemalsuan ijazah dan dasar hukumnya serta menganalisis kesesuaian putusan tersebut dengan undang-undang.

b. Kegunaan praktis

(22)

serta kesadaran hukum dari aparat penegak hukum, masyarakat ilmiah hukum dan masyarakat luas untuk melaksanakan cita-cita serta isi yang terkandung dalam undang-undang untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis

Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.4

Teori pertanggungjawaban yaitu pandangan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana deirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan piadana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.5

Hal yang mendasari pertanggungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam

4

Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 77.

5

(23)

menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku datau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya.6

Setiap orang yang melakukan tindak pidana baru mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui prose hukum. hukum merupakam sarana bagi pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan tersebut disertai dengan ancaman (saksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya. Berdasarkan hal ini terdapat hubungan dengan azas legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadin itu.7

Menurut Roeslan Saleh, pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu harus dipertanggungjawabkan kepada si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya.8 Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu memiliki unsur yang sebelumnya harus dipenuhi yaitu :

6

Ibid, hlm. 14.

7Ibid,

hlm. 15.

8

(24)

a. Suatu perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum).

b. Seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya (unsur kesalahan).

Pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang dalam hal ini berhubungan dengan kesalahan karena pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.9 Antara kesalahan dan pertanggungjawaban pidana erat sekali kaitannya. Hal ini dikarenakan adanya asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan . Berdasarkan hal tersebut maka menurut Moeljatno pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas tiga syarat, yaitu:10

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Hubungan batin anatara si pembuat dengan perbuatan berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (alpa).

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan yang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Demikianlah faktor-faktor yang menjadi bahan pertanggungjawaban dalam

9

Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta, Sinar Grafika, 2001, hlm. 156.

10

(25)

hukum pidana atas faktor-faktor itulah tanggungjawab dapat lahir adalah hukum pidana.

Apabila perbuatan memenuhi unsur-unsur tindak pidana maka kepada yang bersangkutan dapat dimintakan tanggungjawab pidana secara yuridis. Tanggungjawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus ditanggung oleh siapa saja yang telah bersikap tindak, baik itu bersikap tindak yang selaras dengan hukum maupun yang bertentangan dengan hukum. Tanggungjawab pidana adalah akibat lebih lanjut yang harus diterima/dibayar/ditanggung oleh seseorang yang melakukan tindak pidana secara langsung atau tidak langsung, untuk dapat dipidana maka perbuatannya yang dimaksud tentu saja harus memenuhi terlebih dahulu unsur-unsur dari suatu tindak pidana.

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.11

11

(26)

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:12

a. hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.

12Ibid,

(27)

Menurut Lilik Mulyadi hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana harus mempertimbangkan beberapa hal berikut yaitu:13

1. Tuntutan jaksa penuntut umum.

2. Alat-lat bukti yang dihadirkan di pengadilan.

3. Hal-hal yang memperkuat dan meringankan terdakwa. 4. Petunjuk-petunjuk lain dan barang bukti.

Rumusan tentang tindak pidana pemalsuan diatur dalam Pasal 263 KUHP. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana pemalsuan, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:14

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan

13

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 177

14

(28)

dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada penegtahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

(29)

dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.15

Menghindari kesalahan dalam menafsirkan makna tentang tesis ini, maka berikut akan diberikan pengertian istilah dalam penelitian penjatuhan hukum pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan dokumen ijazah No. 945/PID.B/2010/PN.TK. Adapun istilah yang digunakan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya atau proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya.16

b. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segi tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.17

15

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986, hlm 132.

16

S. Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya, Apollo, 1997, hlm 40.

(30)

c. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme hukum dimana setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, harus mempertanggungjawabkan perbuatan seseuai dengan kesalahannya.18

d. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengapalkan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang., atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan di dalam undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakan oleh pihak ketiga.

e. Tindak pidana pemalsuan adalah suatu kejahatan yang didalamnya mengandung sistem ketidak-benaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.19

f. Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut

18

Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta, 2001, hlm 12.

19

(31)

mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut.20

g. Ijazah merupakan simbol atau tanda kompetensi yang diterima seseorang setelah melalui proses pendidikan dan pengajaran yang formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.21

20

Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung, Alumni, 1992, hlm 195.

21

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkain perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainya, yang dilakukan dengan suatu maksud, terhadap perbuatan itu harus di lakukan oleh orang yang dapat di pertanggung jawabkan.1 Tindak pidana menunjuk kepada dilarang dan diancam perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga diajatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam elakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.

Suatu perbuatan pidana sudah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi jika dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab atas perbuatannya itu, maka ia tidak dapat dipidana. Hukum pidana mengenal beberapa rumusan pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah “Strafbaar Feit“ dan didalam perundang-undangan negara kita istilah tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.2 Berdasarkan uraian tersebut, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana, namun para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri.

1

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung, Bhineka Cipta, 1985, hlm 5.

2

(33)

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena itu memahami tindak pidana sangat penting. Untuk mengetahui hal ini maka akan diuraikan pendapat dari beberapa sarjana:3

1. Moeljatno

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Unsur-unsur tindak pidana:

a. Perbuatan manusia

b. Memenuhi rumusan undang – undang c. Bersifat melawan hukum

2. Simons

Tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan (Handeling) yang diancam oleh pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Unsur-unsur tindak pidana: a. Unsur subyektif yaitu orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

b. Unsur obyektif yaitu perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.

3. Van Hamel

3

(34)

Tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan oleh WET yang bersifat melawan hukum, yang patut pidana dan dilakukan oleh kesalahan. Unsur-unsur tindak pidana :

a. perbuatan manusia;

b. yang dirumuskan dalam undang-undang; c. dilakukan dengan kesalahan;

d. patut dipidana.

4. Pompe

Tindak pidana terdapat ada 2 (dua) definisi, yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

5. J.E.Jonkers

Mengenai tindak pidana ada 2 (dua) pengertian yaitu dalam arti pendek dan arti panjang. Arti pendek, tindak pidana adalah suatu kejadian (Feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang. Arti panjang, tindak pidana adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dilakukan dengan sengaja oleh alpa orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

(35)

Strafbaar Feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang ada pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana

7. Soedarto

Istilah tindak pidana dengan unsur-unsur, sebagai berikut: a. Perbuatan yang memenui rumusan undang-undang b. Bersifat melawan hukum.

c. Dilakukan oleh yang mampu bertanggung jwab dengan kesalahan (schuld)

baik dalam bentuk kesengajaan (dulos) maupun kealpaan (culpa) dan tidak ada alasan pemaaf.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk dibuktikan melalui proses sistem peradilan pidana. Apabila unsur-unsur tersebut salah satunya tidak terbukti, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan pendapat beberapa pendapat di atas, maka jelas bahwa tindak pidana harus memenuhi beberapa unsur yaitu :

1. perbuatan itu adalah perbuatan manusia;

2. perbuatan itu harus dilakukan dengan suatu kemauan, maksud dan kesadaran; 3. terhadap perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung

jawabkan menurut hukum.

(36)

Tindak pidana pemalsuan tergolong kejahatan penipuan apabila sesorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas barang (surat) seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya keaslian atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya. Karena gambaran ini orang lain terperdaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas surat adalah benar.

Peningkatan penggunaan berbagai barang tanda, tulisan/surat yang jaminan keasliannya/kebenarannya dibutuhkan oleh masyarakat, mengakibatkan timbulnya perbuatan pemalsuan dan peningkatan permintaan akan barang-barang kebutuhan hidup akan menambah kemungkinan adanya perbuatan pemalsuan, tidak hanya atas barangnya sendiri, tetapi juga merek, tanda dan suratnya yang dibutuhkan untuk memberikan jaminan akan kebenarannya, keaslian atas asal barang tersebut.

Pemalsuan terhadap surat/tulisan terjadi apabila isi dari suratnya atau tulisannya tidak benar namun digambarkan sebagai suatu hak yang benar. Definisi ini terlalu luas sehingga kejahatan pemalsuan dapat termasuk semua jeni penipuan. Dalam berbagai jenis perbuatan pemalsuan yang terdapat dalam KUHP dianut:

a. Pengakuan terhadap hak jaminan kebenaran/keaslian surat/tulisan, perbuatan pemalsuan terhadap surat/tulisan tersebut harus dilakukan dengan tujuan jahat juga.

b. Berhubung dengan tujuan jahat dianggap terlalu luas, harus diisyaratkan bahwa pelaku harus mempunyai niat/maksud untuk menciptakan anggapan atas sesuatu yang dipalsukan sebagai yang asli atau benar.

(37)

dirumuskan Pasal 244 KUHP. Pasal-pasal tersebut memuat unsur niat/maksud untuk menyatakan bagi sesuatu barang atau surat yang dipalsukan seakan-akan asli dan tidak dipalsukan atau untuk mempergunakannya atau menyuruh untuk dipergunakannya.

Landasan Hukum Pidana Pemalsuan, Pasal 263 KUHP:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat mnimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu menimbulkan kerugian.

Yang diancam hukuman dalam pasal di atas adalah orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat:

1. yang dapat menerbitkan sesuatu surat; 2. yang dapat menerbitkan sesuatu hak; 3. yang dapat membebaskan daripada utang;

4. yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat nitu dapat mendatangkan kerugian.4

Pasal 263 Ayat (2) KUHP mengancam hukuman kepada orang yang dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, apabila pemalsuan surat itu dapat mendatangkan kerugaian.

4

(38)

a. Surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak misalnya surat izi mengemudi, ijazah, karcis tanda masuk, surat saham dan alin sebagainya.

b. Surat yang dapat menerbitkan sesuatu perutangan misalnya surat kuasa untuk dapat membuat utang.

c. Surat yang menjadi bukti tentang sesuatu hal misalnya akte kelahiran, akte kematian, akte pendirian sesuatu usaha dan lain sebagainya.

d. “Surat Palsu” dapat diartikan surat yang disusun sedemikian rupa sehingga

isinya tidak pada mestinya (tidak benar).

e. “Memalsukan Surat” berarti mengubah surat itu sedemikian rupa sehingga

isinya menjadilain daripada isi surat yang asli.

f. “Memalsukan tanda-tanda yang berkuasa menanda-tangani surat” termasuk

dalam pengertian “memalsukan surat:. Demikian pula menempelkan pas foto

orang lain dripada yang berhak dalam ijazah sekolah, surat izin mengemudi, harus dapat dipandang sebagai suatu pemalsuan.

g. “Dapat mendatangkan kerugian” tidak perlu dibuktikan bahwa kerugian iti

sudah ada, tetapi cukup dengan adanya “kemungkinan” saja.

h. Yang diartikan “kerugian” tidak hanya kerugian materiil, tetapi juga kerugian

-kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan sebagainya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 69:

(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(39)

penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu harus dipertanggungjawabkan kepada si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan.5 Hal ini berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Sebaliknya apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, ini merupakan persoalan kedua yang tentunya tergantung pada kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah itu dirasa perlu atau tidak perlu menuntut pertanggungjawaban tersebut.

Kemampuan bertanggungjawab dapat diterapkan hanya pada seseorang yang mampu bertanggungjawab dan dapat mempertanggungjwabkan perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan,ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini mempunyai kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka menurut Moeljatno, pertanggungjawaban pidana atau keslahan menurut hukum pidana terdiri atas tiga syarat, yaitu:6

5

Roeslan Saleh. 1981. Op.Cit, hlm 82

6Ibid,

(40)

1 kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat;

2 hubungan batin anatara si pembuat dengan perbuatan berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (alpa);

3 tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

Masalah pertanggungjawaban ini menyangkut subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa pembuat suatu tindak pidana tidaklah mudah, karena untuk menentukan siapa yang bersalah dalam suatu perkara harus sesuai dengan proses yang ada dan sistem peradilan pidana yang ditetapkan. Dengan demikian tanggung jawab itu selalu ada meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan, jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai suatu tujuan atau persyaratan yang diinginkan.

(41)

Suatu perbuatan yang melawan hukum atau melanggar hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, di samping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pembuat (dader) tindak pidana harus ada unsur kesalahan (schuldhebben).

Pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu memiliki unsur yang sebelumnya harus dipenuhi :

a. Suatu perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum).

b. Seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya (unsur kesalahan).

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor, yang pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan tingkah lakunya dan keinsyafannya atas mana yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab, bila memenuhi mempunyai 3 syarat yaitu :7 a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. 2. Kemampuan Bertanggungjawab dan Ketidakmampuan Bertanggung

jawab

7Ibid

(42)

Pertanggungjawaban pidana lebih menekankan kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Jika seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yang telah ditentukan dalam undang-undang maka pelaku wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam hukum pidana, hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan pidana. Menurut Simons sebagaimana dikutip Tri Andrisman bahwa:8

“Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan

psychish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dalam sudut umum maupun dari orangnya. Seorang dapat dipertanggungjawabkan apabila Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan

kesadaran tersebut.”

Kemampuan bertanggung jawab didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vergomens) dan bukan kepada keadaaan dan kemampuan berfikir (vanstanselijke vergoments). KUHP tidak memberikan rumusan yang jelas tentang pertangungjawaban pidana, namun ada satu pasal yang menunjukkan kearah pertanggungjawaban pidana. Pasal tersebut adalah Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut dapat ditarik makna bahwa seseorang tidak dapat dihukum apabila seseorang pelaku dihinggapi :

8

(43)

1. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya

Jiwa cacat dalam tumbuhnya menunjukkan pada keadaan bahwa keadaan bahwa jiwanya dalam pertumbuhannya terhambat atau terlambat. Hal ini terdapat misalnya pada orang yang sudah dewasa, akan tetapi pertumbuhan jiwanya masih seperti anak-anak.

2. Terganggu karena penyakit

Terganggu karena penyakit dapt dikatakan bahwa pada mulanya keadaan jiwanya sehat, akan tetapi kemudian dihinggapi oleh suatu penyakit.

Menurut Adami Chazawi dalam KUHP tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggungjawab. Sementara itu, kapan seseorang dianggap mampu bertanggungjawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 44 KUHP tersebut.9

Untuk menentukan seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dapat mempergunakan secara diskriptif normatif. Psikiater melukiskan dan menganalisis keadaan jiwa seorang pelaku, penyakitnya serta akibat penyakitnya, sedangkan tugas hakim memberi penilaian keadaan jiwa seorang pelak tersebut kemudian menghubungkan hakikat yang terdapat di dalam undang-undang. Hakim tidak terkait dengan pendapat psikiater karena hakimlah yang

9

(44)

melaksanakan ketentuan: undang-undang, sehingga keputusan terakhir berada pada hakim.

Keadaan penyakit jiwa seseorang haruslah dibuktikan bahwa tingkat penyakit jiwanya tersebut memang mempengaruhi perbuatan tersebut. Penyakit jiwa sendiri mempunyai tingkatan-tingkatan, ada yang ringan, sedang maupun betul-betul dihinggapi penyakit jiwa yang berat. Keadaan jiwa yang dikategorikan tidak mampu bertanggungjawab yaitu :

a. Keadaan jiwa yang cacat pertumbuhannya, misalnya: gila (idiot), imbisil. Jadi merupakan cacat biologis. Dalam hal ini termasuk juga orang gagu, tuli, dan buta, apabila hal itu mempengaruhi keadaan jiwanya.

b. Keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit ada pada mereka yang disebut

psychose, yaitu orang normal yang mempunyai penyakit jiwa yang sewaktu-waktu bisa timbul, hingga membuat dia tidak menyadari apa yang dilakukannya.

C. Tujuan dan Fungsi Pemindanaan

Negara dalam menjatuhkan pidana harus menjamin kemerdekaan individu supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemindaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pemidanaan adalah penjatuhan putusan pidana terhadap terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana.10

10

(45)

Menurut Barda Nawawi Arief, tujuan kebijakan dan pemindaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhanya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.11 Hukum pidana terdapat 4 (empat), yaitu :12

1. Teori Absolut (Teori pembalasan)

Teori ini dalam menjatuhkan pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai konsekeunsi logis dari dilakukannya kejahatan. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun dasar yang menjadi pembenaranya dari penjatuhan pidana itu adanya karena kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk melakukan kejahatan tersebut.

2. Teori Relatif (Teori Tujuan)

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat atau memberantas kejahatan. Untuk mencapai tujuan dari pidana tersebut maka teori relatif terdapat 2 (dua) teori, yaitu;

a. Teori Prevensi Umum

Tujuan dari pidana itu adalah untuk pencegahan yang ditujukan pada masyarakat umum, agar tidak melakukan kejahatan yaitu dengan ditentukan pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang. Oleh karena itu tujuan pidana itu untuk menakuti seseorang sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat.

11Ibid

, hlm. 80.

12

(46)

b. Teori Prevensi Khusus

Tujuan dari pidana itu yaitu untuk mencegah pelaku tindak pidana mengulangi lagi kejahatannya dan mendidiknya sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat. Menurut Van Hamel, teori prevensi khusus memberikan rincian sebagai berikut:

1. Pemindaan harus memuat suatu anasir yang menakutkan supaya sipelaku tidak melakukan niat buruk.

2. Pemindaan harus membuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana yang memerlukan suatu Reclassering.

3. Pemindaan harus membuat anasir membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi.

4. Tujuan dari satu-satunya pemidanan adalah mempertahankan tata tertib hukum.

Menurut pandangan modern, pervensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai oleh sebab itu tujuan pidana dimaksudkan untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai menjalani pemindaanya, ia akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana.

c. Teori Gabungan

(47)

Rossi sebagaimana dikutip dalam Tri Andrisman, teori ini berakar pada pemikiran kontradiktif antara teori absolut dan teori relatif.13 Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu :

1. Untuk menentukan benar atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau langsung tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran.

2. Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban yang dikehendaki. 3. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni

mempertahankan tertib hukum.

Lebih lanjut menurut Pellegrino Rossi berpendapat bahwa pemidanaan meerupakan pembalasan tehadap suatu kesalahan yang telah dilakukan, sedangkan berat ringanya pemidanaan harus sesuai dengan keadilan yang mutlak (juctice absolute) yang tidak melebihi keadilan yang di miliki oleh masyarakat (justice sosial), sedangkan tujuan yang hendak diraih berupa: 1. pemulihan ketertiban;

2. pencegahan terhadap niat untuk melakukan tindak pidana (general prefentief);

3. perbaikan pribadi pidana;

4. memberikan kepuasan moral kepada masyarakat sesuai rasa keadilan; 5. memberikan rasa aman bagi masyarakat.

13

(48)

Berdasarkan uraian di atas teori gabungan ini berusaha memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana, juga memberikan perlindungan serta pembinaan terhadap masyarakat dan terpidana.

d. Teori Integratif

Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atas alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis, ideologis, maupun yuridis. Alasan sosiologis yaitu bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia, informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori tertentu.

(49)

karena ia mengenakan penderitaan atasnama tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan suatu kemungkinan.

Berdasarkan uraian alasan-alasan tersebut, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosil (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis. Perangkat tujuan pemidanaannya yaitu pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, dan pengimbalan/pengimbangan.

D. Pengertian Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Hakim

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri Negara hukum. Hakim dalam pemerikasaan di sidang pengadilan harus aktif bertanya dan memberikan kepada pihak terdakwa yang di awali oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenasran. Hakim yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.14

Putusan hakim atau keputusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim disuatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut, dalam artian dapat berguna berupa menerima putusan, upaya hukum banding, upaya hukum kasasi,

14

(50)

melakukan grasi dan sebagainya. Apabila di telaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak percerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran yang hakiki, hak asasi manusia, penguasa hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, serta visualisasi etika, mentalitas dan moralitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Dimensi dan subtansi putusan hakim tersebut, memang tidak mudah untuk membuat rumusan yang aktual, memadai dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim. Definisi hukum yaitu putusan peryataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum dan disebut dengan putusan pengadilan, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Putusan pengadilan merupakan peryataan hakim yang diucapkan dalam siding

terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas dan lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang undang ini”.

2. Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan

Mengenai apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka memperoleh dari surat dakwaan dihubungkan dari segala sesuatu yang terbukti drlam pemeriksaan sidang dengan hasil yang mereka mufakat.15 Adapun bentuk putusan pengadilan adalah sebagai berikut :

a. Putusan bebas

15

(51)

Berdasarkan Pasal 191 Ayat (1) menentukan bahwa jika hasi dari pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang di dakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau diyatakan bebas dari tuntutan hukum. Hal ini terjadi apabila hakim menilai dakwaan terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

b. Putusan Pelepasan dari segala tuntutan hukum

Berdasarkan Pasal 191 Ayat (2) yang menyatakan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan pada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan ini tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berarti terdakwa dijatuhi putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini terjadi apabila hakim menilai dakwaan terhadap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan namun tidak memrupakan tindak pidana.

c. Putusan pemidanaan

Putusan pemidanaan yaitu menjatuhkan pidana terhadap terdakwa sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Pasal 193 Ayat (1), yang menentukan :

(1) Jika pengadilan berpendapa bahwa terdakwa bermasalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

(2) Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dari terdapat alasan cukup untuk itu.

(52)

E. Pidana Percobaan atau Pidana Bersyarat

1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam Hukum Pidana Indonesia.

Pidana percobaan yang disebut juga sebagai pidana bersyarat merupakan kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat kepada Terdakwa dalam pemeriksaan di sidang pengadilan terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Pidana percobaan yang diatur dalam Pasal 14 (a) sampai dengan Pasal 14 (f) KUHP, lengkapnya adalah sebagai berikut: di dalam Pasal 14 (a) KUHP dinyatakan bahwa pidana percobaan hanya dapat dijatuhkan bilamana syarat-syarat sebagai berikut:

1. Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Oleh karena itu yang menentukan bukanlah pidana yang diancamkan atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi pidana yang akan dijatuhkan pada si terdakwa.

2. Pidana percobaan dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun.

(53)

Pidana percobaan tersebut bukanlah merupakan pidana pokok sebagaimana pidana pokok lain, melainkan cara penerapan pidana, sebagaimana pidana yang tidak bersyarat.16 Dalam Pasal 14 (b) KUHP ditentukan masa percobaan selama tiga tahun bagi kejahatan dan pelanggaran yang tersebut dalam pasal-pasal 492, 504, 506 dan 536 KUHP dan bagi pelanggaran lainnya dua tahun.

Pasal 14 (c) KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagaian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya. Disamping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang dipenuhi selama msa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.

Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana. Bilamana syarat umum atau syarat khusus tersebut tidak dipenuhi, maka Pasal 14 f Ayat (1) hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas namanya diberikan peringatan pada terpidana.

Pasal 14 (d) KUHP mengatur tentang pejabat yang diserahi tugas mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan. Kemudian dalam Pasal 14 d Ayat (2) ditentukan bahwa untuk memberikan pertolongan atau

16

(54)

membantu terpidana yang memenuhi syarat-syarat khusus, hakim dapat mewajibkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah penampug atau pejabat tertentu.

Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri sebagaimana tersebut dalam Pasal 14 (d) KUHP, maupun atas permintaan orang yang dipidana dalam masa percobaan, hakim yang pertama menjatuhkan pidana boleh mengubah perjanjian khusus yang ditentukannya dalam temo percobaan boleh memerintahkan hal memberi bantuan kepada orang lain dari pada yang sudah diwajibkan, atau boleh menambah lamanya tempo percobaan itu sekali lagi. Tambahan itu tidak boleh lebih dari pada seperdua tempo yang terlama yang dapat ditentukan untuk tempo percobaan (Pasal 14e).

2. Penentuan Penjatuhan Pidana Bersyarat

Keputusan tentang pidana bersyarat secara umum dikaitkan dengan bentuk-bentuk tindak pidana tertentu atau catatan kejahatan seseorang pelaku tindak pidana, melainkan harus didasarkan atas kenyataan-kentaan dan keadaan-keadaan yang menyangkut setiap kasus. Pengadilan harus mempertimbangkan hakekat dan keadaan-keadaan yang menyertai suatu kejahatan, riwayat dan perilaku pelaku tindak pidana, dan lembaga-lembaga serta sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat. Pidana bersyarat harus mendapatkan prioritas utama di dalam penjatuhan pidana, kecuali pengadilan berpendapat bahwa:17

17Ibid

(55)

a. Perampasan kemerdekaan diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap tindak pidana lebih lanjut yang mungkin dilakukan oleh si pelaku tindak pidana.

b. Pelaku tindak pidana membutuhkan pembinaan untuk perbaikan dan dengan pertimbangan efektivitas dalam hal ini diperlukan pembinaan di dalam lembaga.

c. Penerapan pidana bersyarat akan mengurangi kesan masyarakat terhadap beratnya tindak pidana tertentu.

Apabila tindak pidana yang di satu pihak dipandang cukup berat sehingga memerlukan penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan dan di lain pihak ditinjau dari segi kepribdian si pelaku tindak pidana diperlukan perawatan khusus terhadap yang bersangkutan, maka hakim dapat mengadakan kombinasi penjatuhan pidana, yakni yang sebagian merupakan pidana perampasan kemerdekaan dan bagian lainnya merupakan pidana bersyarat. Faktor-faktor lain yang dijadikan pedoman di dalam penjatuhan pidana bersyarat adalah:

a. Sebelum melakukan rindak pidana tersebut terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana yang lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku. b. Terdakwa masih sangat muda (antara 12-18 tahun).

c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar.

d. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar.

(56)

f. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya.

g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut.

h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya.

i. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi.

j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain.

k. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya.

l. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non-institusional.

m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga. n. Tindak pidana terjadi karena kealpaaan. o. Terdakwa adalah mahasiswa atau pelajar.

p. Khusus untuk terdakwa

Referensi

Dokumen terkait

Menurut hasil perhitungan statistik, diantara keempat variabel yang mempunyai pengaruh signifikan, ternyata pemasok merupakan variabel yang mempunyai pengaruh dominan dan

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Two Bayesian estimators of µ using two different priors are derived, one by using conjugate prior by applying gamma distribution, and the other using

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,

Softcopy proposal lengkap dalam format PDF ( 1 proposal lengkap dengan maksimum besar file 5 MB ) diunggah oleh pengusul secara mandiri. Dalam proposal lengkap tersebut juga telah

College Women’s Studies Collective, education for women would strengthen power of. women