DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku
Agung Nugroho dan Nur Mega Sari. Perlindungan Konsumen Terhadap Produk
Peralatan Makanan yang Mengandung Melamin Palsu. Jakarta:Lex
Jurnal, Volume VIII, No. 2, 2005.
Ahmad Miru dan Sutarman Yodi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Cecil R. Andrew, Penegakan Hukum Lalu Lintas. Jakarta: Nusa Cendikia, 2011.
C.S.T. Kansil Dan Christine ST. Kansil.Disiplin Berlalu Lintas DiJalan Raya
(SistemTanya Jawab). Jakarta: Rineka Cipta. 1995.
Fuady, Munir.Hukum Anti Monopoli.Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1999.
Ibrahim, Jhonny.Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif,Malang: Cetakan Pertama. Bayu Media, 2005.
Koentjorodiningrat.Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1997.
Kristiyanti Celina Tri Siwi.Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Lexy J Moleong. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rosda Karya, 2008.
Manan Bagir. Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat Terhadap Lembaga
Legislatif,Eksekutif, Yudikatif, Makalah, 2000.
Purba, Hasim. Hukum Pengangkutan Di Laut, Medan Pustaka Bangsa Press, 2005.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta:Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008.
Rahardjo, Soetjietjipto.Permasalahan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni 1983, 1983.
Shidarta.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo, 2000
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986
Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Usman, Rahmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar pengadilan.Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Warpani, Suwardjoko. Pengelolaan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Bandung: ITB, 1990.
Wijaya Andika, Aspek Hukum Bisnis Transportasi Jalan Online, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Prenada Media Group, 2013.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Republik Indonesia
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
Internet
SosialisasiPengaturan Angkutan Umum Berbasis Aplikasi Online yang Ada di Indonesia
Moda Transportasi atau sejarah tranportasi di Dunia Dan Indonesia https://id.wikibooks.org/wiki/Moda_Transportasi/Sejarah_transportasi
(diakses pada tanggal 3 Maret 2017)
Lahirnya Interne 2017)
Pengaturan Jasa Transportasi Online Yang Ada di Indonesia, http://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=indonesia-aturan-transportasi-online (diakses pada 17 Januari 2017)
Jasa Transportasi Online yang ada di indonesia dari gojek hingga uber taksi...http://economy.okezone.com/read/2015/09/23/320/1219859/10jasa -transportasi-online-di-indonesia-dari-go-jek-hingga-uber(diakses pada tanggal 21 Desember 2016)
Ojek Online
Gojek Menggunakan Asuransi Allianz diakses dari
Permenhub No. 32 Tahun 2016 mulai berlaku pada tanggal 1 oktober 2016 berikut 4 poin pentingnya no-32-tahun-2016-resmiberlaku-oktober-2016-berikut-4-poin-pentingnya/ diakses pada tanggal 11 Maret 2017.
Jasa Transportasi Onlline, http://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=indonesia-aturan-transportasi-online diakses pada tanggal 27 desember 2016
Transportasi Online Wajib Sediakan Sarana Keamanan, http://infonitas. com/komuter/transjakarta/4-tahun-grab-investasi-rp-93-triliun/35781 diakses pada tanggal 26 Desember 2016
Tugas Pokok Kementerian Perhubungan,
Sosialisasi Pengaturan Angkutan Umum Berbasis Aplikasi Online, 28 Desember 2016)
Pengertian Perlindungan Konsumen Definisi Dalam Hukum Undang Undang,
Lembaga Permberdayaan Konsumen, 12 Januari 2017)
Gugatan Peradilan Lembaga Perlindungan Konsumen http://ditjenspk. kemendag.go.id. (Diakses pada tanggal 15 Januari 2017).
Konsekwensi Bagi Pengendara Kendaraan Bermotor Penyebab Kecelakaan,
Perlindungan Konsumen Transportasi Online,
transportasi-online/7 (diakses pada tanggal 31 Januari 2017)
Membedah Legal Standing Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat Dalam Beracara di
Pengadilanhttps://www.djkn.kemenkeu.go.id/2013/artikel/membedah- legal-standing-lembaga-perlindungan-konsumen-swadaya-masyarakat-dalam-beracara-di-pengadilan. (Di akses tanggal 10 April 2017)
Makalah analisis kecelakaan kerja pada kasus kecelakaan
BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA TRANSPORTASI BERBASIS APLIKASI ONLINE
A. Perlindungan Konsumen Di Indonesia
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, ditemukan istilah konsumen sebagai defenisi yuridis formal, yaitu
konsumen ialah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makluk
hidup lain yang tidak diperdagangkan.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan para ahli
hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir
dari penggunaan barang dan jasa. 48
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan
menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti undang-undang hukum
perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan Dengan rumusan itu Hondius ingin
membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir dengan konsumen
pemakai terakhir. Berbagi negara di dunia mempunyai pengertian yang beragam
tentang konsumen. Seperti di Spanyol, pengertian konsumen didefenisikan secara
lebih luas, yaitu konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga
suatu perusahaan yang menjadi pemberi dan pemakai terakhir. Adapun yang
menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga
dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.
48
berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap
bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berkedudukan
sebagai konsumen. Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan
antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antar hak-hak
pokok dari konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan
bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang
hukum perlindungan konsumen.49
Praktis, sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal
istilah konsumen. Kendatipun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah konsumen itu terdapat di dalam berbagai aspek hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis : antara lain aspek hukum perdata, hukum dagang,
hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.
Jadi hukum perlindungan konsumen itu tidak berarti hanya ada dalam wilayah
hukum perdata saja. Karena hukum perlindungan konsumen ini berkolerasi erat
dengan aspek hukum yang lain. Terhadap hubungan antar tata hukum itu,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengaturnya dalam Pasal 64 yang
berbunyi :
“segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan,dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang- undang ini”.
49
menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen.
Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu
kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian
hukum tentang hak-hak konsumen.50
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, secara tegas meneyebutkan dengan istilah “pengguna jasa” (Pasal 1
Angka 10) sebagai konsumen jasa, yang diartikan sebagai setiap orang
dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan orang maupun
barang.
Ada beberapa pengertian konsumen menurut Undang-Undang yaitu :
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan
istilah “setiap orang” untuk pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat jasa
kesehatan dalam konteks konsumen, hal ini disebutkan dalam Pasal 1
Angka 1, Pasal 3, 4, 5 dan Pasal 46. Istilah “masyarakat” juga digunakan
dalam undang-undang ini dengan asumsi sebagai konsumen, hal ini
termaktub dalam Pasal 9, 10 dan Pasal 21.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa istilah yang
berkaitan dengan konsumen, yaitu : pembeli, penyewa, penerima hibah,
peminjam dan sebagainya. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang ditemukan istilah tertanggung dan penumpang.
50
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah mengenal istilah konsumen, dan
menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna
barang dan/jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain.
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara
harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang. Berdasarkan dari beberapa pengertian yang dikemukan
di atas, maka konsumen dapat dibedakan kepada tiga batasan, yaitu :
1. Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang
mendapatkan barang dan/atau jasa lain dengan tujuan mendapatkan
keuntungan.
2. Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang
mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan
kembali, juga digunakan dengan tujuan mencari keuntungan.
3. Konsumen akhir (ultimate consumer/end user), adalah setiap orang yang
mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan
memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan mahluk
hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk
mencari keuntungan kembali.51
Sesungguhnya peranan hukum dalam konteks ekonomi adalah
menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetatif. Terkait dengan hal ini pula,
bahwa tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu mendominasi
51
pasar, selama konsumen memiliki hak untuk memilih produk mana
menawarkan nilai terbaik, baik dalam harga maupun mutu. Serta tidak ada
pelaku usaha dan produsen yang mampu menetapkan harga berlebihan atau
menawarkan produk dengan kualitas yang rendah, selama masih ada produsen
lain dan konsumen akan pindah kepada produk lain tersebut.52
Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena
investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana
ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan
internasional dapat membawa implikasi negatif bagi konsumen.53
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan
konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.
Perlindungan
konsumen tidak saja terhadap barang-barang berkualitas rendah, akan tetapi
juga terhadap barang-barang berkualitas rendah, akan tetapi juga terhadap
barang-barang yang membahayakan kehidupan masyarakat.
54
52
Ibid, hal. 21. 53
Ibid, hal. 23.. 54
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi
perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat
Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen dalam
memenuhi kebutuhan adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Terbukti bahwa semua norma perlindungan
konsumen dalam undang-undang perlindungan konsumen memiliki sanksi
pidana.55
Singkatnya bahwa segala upaya yang dimaksudkan dalam perlindungan
konsumen tersebut tidak saja terhadap tindakan preventif, akan tetapi juga
tindakan represif dalam semua bidang perlindungan yang diberikan kepada
konsumen. Maka pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:56
1) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum.
2) Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.
3) Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4) Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan.
5) Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.
Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Pasal 1 ayat 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan, konsumen
adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain
dan untuk tidak diperdagangkan.
Kepastian hukum dalam pengertian perlindungan konsumen dalam
undang-undang tersebut di atas berarti konsumen mempunyai hak untuk
55 Ibid. 56
memperoleh barang atau jasa yang menjadi kebutuhannya serta mempunyai
hak untuk menuntut apabila dirugikan pelaku usaha penyediaan kebutuhan
tersebut. Kepastian hukum tersebut secara umum bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Hukum konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah bersifat mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa
konsumen di dalam pergaulan hidup.57
Sebagai suatu konsep “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun lalu diberbagai negara dan sampai pada saat ini sudah puluhan negara Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas
atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukum
konsumen berskala lebih luas daripada hukum perlindungan konsumen
merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur lebih rinci asas-asas
perlindungan bagi konsumen sebagai pihak yang lebih lemah dibandingkan
produsen.
Karena, posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh
hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan
perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang
sulit dipisahkan dan ditarik batasnya
57
memiliki undang-undang atau pengaturan khusus mengenai perlindungan
konsumen. Sejalan dengan perkembangan itu maka semakin jelaslah hak-hak
konsumen dalam mencapi haknya sebagai konsumen
B. Badan Pelaksana Dan Pengawas PerlindunganKonsumen
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) disebutkan tiga jenis lembaga konsumen yakni Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).58
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) adalah badan yang
dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan
konsumen.Terminologi ini sesungguhnya sangat luas dan menunjukan
kesungguhan untuk memberdayakan konsumen dari kedudukan yang sebelumnya
berada pada pihak yang lemah manakala berhadapan dengan para pelaku usaha
yang memiliki bargainingposition yang sangat kuat dalam aspek sosial, ekonomi
dan bahkan psikologis.
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
59
Dari sisni kita mengetahui bahwa tujuan diadakannya lembaga ini ialah untuk
mengembangkan uapaya perlindungan konsumen, hal ini ditegaskan kembali
dalam UUPK Pasal 31. Istilah “mengembangkan” di sini menunjukkan BPKN
sebagai upaya unutk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur
58
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Bab ke-8, 9 dan ke-11.
59
dalam pasal yang lain, khusunya mengnai hak dan kewajiban konsumen dan
pelaku usaha, larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnis,
tanggung jawab pelaku usaha dan mengenai pengaturan penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen.60
BPKN berkedudukan di Ibukota; Jakarta dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. Bila diperlukan, BPKN dapat membentuk perwakilan di ibukota
provinsi.61
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
Fungsi dari BPKN disebutkan dalam Pasal 33 UUPK untuk memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia. Berdasarkan fungsi tersebut, Pasal 34
menjabarkan tugas-tugas dari BPKN, yaitu:
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Dalam melaksanakan tugas-tuganya tersebut, BPKN dapat bekerja sama
dengan instansi atau organisasi konsumen internasional.Sedangkan mengenai
struktur organisasi dan keanggotaan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
60
Ibid, hal. 195. 61
Konsumen Pasal 35 sampai dengan Pasal 38. Mengenai keanggotaan ada pada
Pasal 35:
a. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
b. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
c. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
d. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Unsur dari keanggotaan tersebut ialah pemerintah, pelaku usaha, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akademisi dan tenaga ahli (UUPK
Pasal 36). Sedang syarat keanggotaannya disebutkan pada Pasal 37, yaitu:
a. Warga Negara Republik Indonesia; b. Berbadan sehat;
c. Berkelakuan baik;
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Mengenai berhentinya keanggotaan dalam BPKN dijelaskan pada pasal
selanjutnya Pasal 38, yakni berhenti karena meninggal dunia, mengundurkan diri
atas permintaan sendiri, bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik
Indonesia, sakit secara terus menerus, berakhir masa jabatan sebagai anggota atau
2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ialah
lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 62 Menurut Miru,
pengertian ini sesungguhnya mengaburkan makna istilah
“swadayamasyarakat” yang selama ini dikenal independen menjadi berkesan
sebagai LSM produk pemerintah dengan adanya syarat terdaftar dan diakui
pemerintah. Hal ini berimplikasi pada tumpulnya perjuangan LPKSM untuk
memberdayakan konsumen dikarenakan adanya bayang-bayang eksistensi yang
setiap saat dapat hilang.63
Tujuan LPKSM ini ialah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
upaya perlindungan konsumen serta menunjukan bahwa perlindungan konsumen
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.64
a. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat.
Sedangkan tugas dan wewenang dari LPKSM diatur dalam Pasal 44:
b. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki
kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan
konsumen.
c. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
meliputi kegiatan:
62
UUPK Pasal 1 Angka 9 63
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum PerlindunganKonsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008) hal. 17-18.
64
1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkankesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
3) Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakatterhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungankonsumen
swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum, keterbukaan dan
ketertiban dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia, setiap
LPKSM wajib melakukan Pendaftaran pada Pemerintah Kabupaten atau Kota,
untuk memperoleh Tanda Daftar LPKSM (TDLPK) sebagai bukti bahwa LPKSM
yang bersangkutan benar-benar bergerak di bidang Perlindungan Konsumen,
sesuai dengan bunyi Anggaran Dasar dan atau Rumah Tangga dari Akta Pendirian
LPKSM tersebut.65
LPKSM yang telah didirikan dan melakukan kegiatan dibidang
Perlindungan Konsumen, jika belum mendaftarkan dan memperoleh Tanda Daftar Tanda Daftar LPKSM dapat dipergunakan oleh LPKSM yang
bersangkutan untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen di seluruh Indonesia, dan pendaftaran tersebut dimaksudkan sebagai
pencatatan dan bukan merupakan suatu perizinan.
65
LPKSM dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, maka LPKSM yang
bersangkutan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen belum memenuhi syarat atau belum diakui untuk
bergerak diperlindungan konsumen.
Setelah LPKSM yang bersangkutan memperoleh Tanda Daftar LPKSM,
maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menjadi landasan hukum bagi LPKSM, untuk menyelenggarakan perlindungan
konsumen di Indonesia, baik melalui kegiatan upaya pemberdayaan konsumen
dengan cara pembinaan, pendidikan konsumen maupun mampu melalui
pelaksanaan tugas LPKSM sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999, berikut peraturan
pelaksanaannya.66
Setelah LPKSM mendapatkan izin serta sudah mulai menjalankan
kegiatannya, tidak berhenti sampai di sana. Ketentuan ini masih harus diuji dalam
pelaksanaannya, mengingat Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001
Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (PP LPKSM),
menentukan bahwa:67
1) Pemerintah membatalkan pendaftaran LPKSM apabila LPKSM
tersebut:
a) Tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen; atau
66
Lembaga Permberdayaan Konsumen,
67
b) Terbukti melakukan kegiatan pelanggaran ketentuan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan
Pelaksanaannya.
2) Ketentuan mengenai tata cara pembatalan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri.
LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan
konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga
memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitas kepentingan konsumen
di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh lembaga konsumen
(LPKSM) yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah
berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat
tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat
diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-undang Perlindungan
Konsumen).68
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
3.Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
69
Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah
Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (UUPK
Pasal 49 Ayat 1).
Sedangkan tujuan diadakannya BPSK ini tertera dalam UUPK Pasal 49 Ayat 1
dan penjelasannya Pasal 1 Angka 11.
68
Gugatan Peradilan Lembaga Perlindungan Konsumen http://ditjenspk.kemendag.go.id.Diakses pada tanggal 15 Januari 2017.
69
Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang
efisien, cepat, murah dan profesional (Penjelasan UUPK Pasal 1 Angka 11).
Menururt Miru rumusan tersebut tidak penting bila hanya menentukan
tugas BPSK. Menurutnya pengertian BPSK akan memberikan makna apabila
dihubungkan dengan subtansi penjelasannya, sehingga pengertian tersebut
seharusnya mennyatakan: “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ialah badan
yang menangani dan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan antara pelaku
usaha dan konsumen secara efisien, cepat, murah dan frofesional.”70
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
Tugas dan wewenang dari BPSK ini diatur dalam UUPK Pasal 52, yaitu:
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
70
Mengenai struktur dan keanggotaan diatur dalam UUPK Pasal 49 Ayat ke-2
sampai Pasal 51:
Pasal 49
1. Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
2. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
3. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
4. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas :
a. Ketua merangkap anggota; b. Wakil ketua merangkap anggota; c. Anggota.
Pasal 51
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
C. Hak Dan Kewajiban Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapat perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih
lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang
hak-hak konsumen.71
2. Hak untuk mendapat informasi
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan
3. Hak untuk memilih 4. Hak untuk didengar.72
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam
perkembangannya ada beberapa hak lain yang juga diakui secara internasional
seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti
kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. YLKI
hanya menambahkan satu tambahan hak yaitu hak mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak
konsumen.73
Hak ini dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara khusus mengecualikan
hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan dibidang pengelolaan
lingkungan.
71
Shidarta, Op.Cit, hal. 4. 72
Ibid,hal. 15. 73
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Nomor 8 Tahun
1999 Undang-Undang perlindungan konsumen adalah sebagai berikut :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam memgkonsumsi
barang dan/atau jasa
Barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga
konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.Terhadap barang
dan jasa yang dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko tinggi terhadap
keamanan konsumen, pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan
secara cepat.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan
kebebasan kepada konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa tertentu
sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.
Berdasarkan hak ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli suatu
barang atau tidak, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas
maupun kuantitas jenis barang yang dipilihnya.Selain dapat memilih
barang dan/atau jasa sesuai keinginan, konsumen juga memiliki hak untuk
mendapatkan barang sesuai nilai tukar yang dijanjikan.Ini dimaksudkan
untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara
tidak wajar. Dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga
suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan
3. Hak atau informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
Hak ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang
disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk
cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena
informasi yang tidak memadai. Hal ini dimaksudkan agar konsumen dapat
memperoleh gambaran yang benar tentang suatu barang supaya dapat
memilih barang sesuai kebutuhan dan terhindar dari kerugian akibat
kesalahan dalam penggunaan barang.
3. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
Hak ini dapat berupa pertayaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
barang dan/atau jasa tertentu apabila informasi yang diproleh tentang
barang dan/atau jasa tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan
atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu barang.
4. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat
tanggapan yang layak dari pihak terkait dalam hubungan hukum
dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum,
termasuk advokas. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut
pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan karena
5. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
Pendidikan disini tidak harus diartikan sebagai proses formal yang
dilembagakan. Bentuk informasi yang lebih komprehensif dengan tidak
semata-mata menonjolkan usur komersialisasi, sebenarnya sudah
merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Hal ini dimaksudkan agar
konsumen memproleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan
agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan barang, karena
dengan pendidikan konsumen tersebut konsumen akan dapat menjadi lebih
kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya,
miskin, dan status sosial lainnya.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang
telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang
atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen, termasuk di dalamnya
baik kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut diri konsumen
itu sendiri. Biasanya untuk menghindari kewajiban ini pelaku usaha
antara pelaku usaha dan konsumen, namun pencantuman secara sepihak
demikian tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan
ganti kerugian.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun
1999 tentang PerlindunganKonsumen adalah sebagai berikut :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
c. Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
e. Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan merupakan hal yang penting untuk mendapat
pengaturan. Seringkali pelaku usaha telah menyampaikan peringatan
secara jelas pada suatu produk, namun memberikan konsekuensi pelaku
usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan
menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut, namun jika
produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk
mengkomunikasikan peringatan itu yang menyebabkan konsumen tidak
membacanya, maka hal itu tidak mengahalangi pemberian ganti kerugian
Terdapat juga hak dan kewajiban penyedia jasa transportasi berbasis
aplikasionline. Adapun hak penyedia jasa transportasi berbasisonline, yaitu:74
1. Menerima pembayaran atas pelaksanaan pengantaran melalui aplikasi
jasa transportasi berbasisonline baik secara tunai maupun transfer.
2. Hak untuk membela diri dalam hal pelaku usaha di gugat oleh konsumen
atas kelalaian pelaksanan pengangkutan jasa transportasi berbasis
aplikasionline.
3. Hak untuk membuktikan bahwa pelaku usaha tidak bersalah, jika ia
merasa yakin atas hal pemakaian jasa transportasi berbasis aplikasionline.
4. Hak untuk mendapatkan nama baik kembali jika ia berhasil membuktikan
bahwa pelaku usaha tidak bersalah dalam pemberiaan jasa transportasi
berbasis aplikasionline.
5. Mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan aturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan yang menjadi kewajiban dari pelaku usaha terhadap produk
kendaraan bermotor yang akan di pasarkannya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada konsumen mengenai pemberian jasa
transportasi berbasis aplikasionline.
2. Memberikan petunjuk kepada konsumen mengenai fungsi dalam
penggunaan fasilitas serta fitur keamanan dan kenyamanan yang tersedia
dalam jasa tranportasi berbasisonline.
74
3. Memberikan jaminan terhadap penggunaan jasa transportasi berbasis
aplikasionline.
4. Memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi konsumen dalam
penggunaan jasa transportasi berbasis aplikasionline.75
Berdasarkan hal tersebut di atas, sangatlah diperlukan kesadaran pelaku
usaha dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada konsumen dalam
rangka peningkatan keamanan dan keselamatan berkendara bagi konsumen. Serta
diperlukan juga kesadaran pengguna jasa untuk memenuhi kewajiban yang
ditanggungkan kepadanya. Karena disini posisi konsumen sangat lemah sehingga
diperlukan perlindungan hukum.
Begitu juga pemerintah telah membuat beberapa instansi terkait terhadap
perlindungan konsumen pengguna transportasi berbasis aplikasi online,
instansi-instansi tersebut dapat menjamin hak para pengguna jasa transportasi tersebut,
pengguna jasa dan pengendara jasa transportasi berbasis aplikasi online dapat
melapor ke instansi-instansi tersebut sehingga mereka akan menangani masalah
yang terjadi sampai pemenuhan hak pengguna jasa dan pengendara terpenuhi.
75
BAB IV
Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online Yang Mengalami Kecelakaan Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
A. Tanggung Jawab Hukum Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa
di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan
atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau
kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas adalah kejadian pada lalu lintas jalan
yang sedikitnya melibatkan satu kendaraan yang menyebabkan cedera atau
kerusakan atau kerugian pada pemiliknya (korban) (WHO, 1984).
Menurut F.D. Hobbs (1995) yang dikutip Kartika (2009) mengungkapkan
kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana
terjadinya. Kecelakaan tidak hanya trauma, cedera, ataupun kecacatan tetapi juga
kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring
pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.76
Dari beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa
kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak
diduga dan tidak diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya,
sedikitnya melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang
76
C.S.T. Kansil Dan Christine ST. Kansil, Disiplin Berlalu Lintas diJalan Raya
menyebabkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda
pada pemiliknya (korban).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas
dan Angkutan Jalan pada pasal 229, karakteristik kecelakaan lalu lintas dapat
dibagi kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:77
1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan/atau barang.
2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
3. Kecelakaan Lalu Lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
korban meninggal dunia atau luka berat.
Dalam setiap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya,
tentunya mempunyai konsekwensi hukum bagi pengemudi kendaraan tersebut.
Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang mengakibatkan
luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus adalah diatur dalam Undang
Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Sering kali masyarakat
memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan luka-luka dan
kematian, mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang
bersangkutan.78
77
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan pasal 229.
78
Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang
dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan
kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis
kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat terjadinya
kecelakaan.
Dalam KUHP, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi
kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas
adalah Pasal 359 KUHP, yang berbunyi:79
Kemudian terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus
mengatur lebih khusus, rinci dan tegas lagi tentang berlalu-lintas di jalan raya/tol
dan kecelakaan lalu lintas, termasuk mengatur tentang kelalaian/kealpaan didalam
mengemudikan kendaraan hingga menyebabkan luka-luka dan kematian, yaitu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(UU LLAJ), Di dalam UU LLAJ tersebut, pasal- pasal yang dapat digunakan
untuk menjerat pengemudi kendaraanyang karena kelalaiannya mengakibatkan
luka-luka dan kematian bagi orang lain adalah diatur dalam Pasal 310 ayat (1),
(2), (3) dan (4) UU LLAJ, yang berbunyi: Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.”
80
79
Pasal 359 KUHP.
1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp1 juta.
2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta.
3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.
4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan
Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ antara lain:
(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3) Karena lalai; dan
(4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Atas ke-empat unsur dalam Pasal 310 UU LLAJ tersebut, umumnya unsur
ke (3) yang lebih memerlukan waktu agar dapat terbukti. Melalui penyidikan,
aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian hendaklah harus
membuktikan adanya unsur kelalaian itu.
Atas kedua aturan tersebut atas apabila apabila dalam kasus kecelakaan
tersebut mengakibatkan kematian bagi seseorang. Maka menurut Hukum yang
diatur dalam UU LJAJ, dalam Hal ini sesuai dengan ketentuan yang mengacu
pada Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa:
Pasal 63 ayat (2)
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
diterapkan.”
Acuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan
lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai
peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya
dan Majelis Hakim dalam mengadili dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal
310 ayat (4) UU LLAJ dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun, dan
bukan Pasal 359 dalam KUHP.
Lain lagi jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi,
pengemudi tersebut mengemudikan kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa
membahayakan orang lain, ancaman hukuman pidananya lebih tinggi apabila
korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman hukumannya 12 tahun penjara.
Secara lengkap diatur ketentuan pasal 311 UU LLAJ, yang berbunyi:81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 311
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang
81
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Sedaangkan untuk perusahaan jasa angkutan tersebut dikenai sanksi yang
diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 188
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh
Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan
angkutan.
Pasal 191
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan
penyelenggaraan angkutan.
Pasal 193
(2). Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.
(3). Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.
(4). Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.
Selain sanksi penggantian kerugian, perusahaan angkutan umum yang
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena
barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan dapat
diberikan sanksi berupa (lihat Pasal 199 ayat [1] UU LLAJ):
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
Jadi, atas kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materi namun
tidak ada korban jiwa, perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi online dapat
dikenakan sanksi penggantian kerugian berdasarkan kerugian yang nyata-nyata
dialami sebagaimana telah kami uraikan di atas dan/atau sanksi administratif
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Tanggung jawab perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi online terhadap pengguna jasa apabila mengalami kecelakaan berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen
Terjadinya kecelakaan pada jasa transportasi berbasis aplikasionline
merupakan hal yang tidak terprediksi maupun dihindari. Pada saat terjadi
ganti rugi baik material maupun imaterial kepada driveratau pun perusahaan jasa
transportasi berbasis aplikasi online. Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 dinyatakan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Perusahaan transportasi online (pelaku usaha) bertanggung jawab apabila
penumpangnya (pengguna jasa) mengalami evenement seperti kecelakaan atau
kejahatan saat menggunakan transportasi online tersebut.Bentuk pertanggung
jawaban tersebut adalah ganti rugi pada penumpang berupa pengembalian uang
atau pengembalian barang/jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai maksimal 7 hari setelah
tanggal transaksi antara si penumpang dan si driver (Pasal 19 ayat 2 dan 3).82
a. Pasal 1 butir (11) UUPK jo. Bab XI UUPK, penyebutan sengketa konsumen
sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang mempunyai
tugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen,
dalam hal ini adalah BPSK. Batasan BPSK pada pasal 1 butir (11) UUPK
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen” yaitu
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menjelaskan kasus diatas merupakan suatu sengketa konsumen, penjelasannya
dapat kita lihat pada:
82
b. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur
penyelesaian sengketa terdapat apaa Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada bab
ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal
45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK
Pada hakikatnya penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK ada
2 cara ,yaitu:
1. Proses Litigasi ( Pengadilan )
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam Pasal
48 UUPK, yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan mengacu pada ketentuan tentang pengadilan umum yang berlaku
dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”
Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Artinya
setiap konsumen yang mengalami kerugian atau hilangnya hak akibat dari
kesalahan perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi online maka mereka dapat
melakukan gugatan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dengan pelaku usaha seperti Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) dan Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dapat
Hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam
penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanya tiga macam
gugatan, yaitu:83
a. Small Claim dapat diartikan jenis gugatan yang dapat diajukan oleh
konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat
kecil.
b. Class Action atau gugatan perwakilan kelompok diakomodir dala Pasal 46
ayat (1) huruf b UUPK. Saat ini sudah ada beberapa undang-undang yang
memberikan kemungkinan bagi masyarakat mengajukan gugatan dengan
prosedur Class Action, yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2002 disebutkan dengan nama “gugatan perwakilan kelompok”.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengakomodasi gugatan Kelompok ( Class Action ) ini dalam
Pasal 46 ayat (1) huruf (b). Ketentuan ini menyatakan, gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen
yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Legal Standing, UUPK juga mengakomodir proses beracara yang
dilakukan oleh lembaga tertentu. Hal ini diatur dalam rumusan Legal
Standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (c) “
LPKSM yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau
yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan
83
didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar”.
2. Proses non-litigasi (Non peradilan)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar peradilan
umum. Pasal 45 ayat (2) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau para pihak lain yang bersengketa. Ini dapat diartikan penyelesain
sengketa di pengadilan tetap dibuka apabila penyelesaian sengketa diluar
pengadilan menemui kebuntuan.
Berdasarkan Pasal 47 UUPK menyebutkan penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi mengenai tindakan yang merugikan
konsumen. UUPK dalam Pasal 52 huruf (a) menyebutkan melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara malalui mediasi
atau arbitrase atau konsoliasi.
a. Mediasi
Proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan dengan bantuan
mediator bertujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Disini Majelis Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) bersifat aktif sebagai perantara
ketiga suatu pihak luar yang netral dan terpercaya, mengajak pihak yang
bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. Sesuai
batasan tersebut, mediator berada ditengah-tengah dan tidak memihak pada
salah satu pihak.84
Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan
penyelesaian sengketa adalah karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan
pada kerjasama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi
menjadi bebas yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi
berarti penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia
(tidak terbuka secara umum seperti pengadilan), tidak ada pihak menang atau
pun kalah serta tidak emosional.
Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para
pihak mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga
hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan parah pihak dan
kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak
pula mengikat secar mutlak tergantung pada itikat baik untuk mematuhinya.
85
Penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa konsumen disamping
memiliki kelebihan-kelebihan, juga terdapat kelemahan-kelemahan mediasi
dalam penyelesain sengketa, yaitu:86
1) Bisa memakan waktu yang lama.
84
Agung Nugroho & Nur Mega Sari, Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Peralatan Makanan yang Mengandung Melamin Palsu,” Lex Jurnal, Volume VIII, No. 2, Apr 2011 hlm. 175.
85 Ibid. 86
2) Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi putusan hanya
seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak.
3) Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan
sengeketa sampai selesai.
4) Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi
dan kewenangan tidak cukup diberikan kepada pihak yang bersengketa.
b. Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak
yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan
sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan
sengketa konsumen yang terjadi. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase ini yaitu keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat di Pasal
60 yang berbunyi “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum teta dan mengikat para pihak”.87
c. Konsiliasi
Konsiliasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan
UUPK. Penyelesaian sengketa ini banyak kesamaannya dengan arbitrase, dan
87
juga menyerahakn kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya
tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak.Walaupun demikian,
pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya
putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator
mengakibatkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para
pihak.88
Seseorang konsiliator akan mengkalifikasikan masalah-masalah yang
terjadi dan bergabung ditengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif
dibandingkan dengan mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options)
penyelesaian sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung
kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan
bergerak mendekat (moving closer) dan selanjutnya dicapai suatu
penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak ( a measure of goodwill ).
Pandangan-pandangan yang coraknya di antara para pihak harus
dipertemukan dengan teliti.89
Melalui setiap penjelasan-penjelasan yang sudah kita lihat tentunya
perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi online harus bertanggung jawab
terhadap pengguna jasa yang mengalami kecelakaan ketika menggunakan jasa
perusahaan tersebut. Permasalahan tersebut dapat dikatakan sebagai sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha, oleh sebab itu kasus kecelakaan ini dapat
dimasukkan kedalam undang perlindungan konsumen. Dalam
undang-undang ini menjamin setiap hak-hak konsumen dan bagaimana menyelesaikan
88 Ibid. 89
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen memberikan beberapa solusi dalam menyelesaikan konflik atau
sengketa pada pengguna jasa transportasi berbasis aplikasi online dengan
perusahaan jasa transportasi berbasis online tersebut. Berdasarkan solusi yang
diberikan oleh UUPK, penyelesaian sengketa yang paling mudah dan cepat adalah
dengan proses non litigasi, yang bersifat musyawarah dan mengedepankan
perdamaian.
UUPK juga memberikan solusi penyelesaian sengketa apabila tidak
ditemukan jalan damai maka akan diselesaikan dengan proses litigasi atau sering
disebut dengan jalur pengadilan atau proses hukum. Melalui proses litigasi ini
setiap keputusan akan bersifat mengikat, memaksa dan memiliki kepastian
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Jasa transportasi berbasis aplikasi online ini merupakan terobosan baru
penggabungan antara teknologi komunikasi dan transportasi.Walaupun sempat
menjadi pro-kontra lahirnya transportasi online karena belum ada peraturan
yang mengatur jasa transportasionline ini, oleh sebab itu pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 32 Tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum Tidak dalam Trayek, dan jelas diatur pada pasal 21, 22 dan 23 yang
mengharuskan perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi online adalah
perusahaan indonesia dan sah secara hukum. Perusahaan aplikasi juga diminta
untuk menyelenggarakan izin angkutan orang tidak dalam trayek. Penyedia
aplikasi jasa transportasi berbasis aplikasi online merupakan penyelenggara
sistem elektronik sebagai penghubung driver kendaraan dengan para pengguna
jasa. Jasa transportasi berbasis aplikasi online ini diawasi oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan
(DLLAJ), Kementerian Perhubungan dan Direktorat Perhubungan serta
Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
2. Lahirnya jasa transportasi berbasis aplikasi online tentunya memberi mamfaat
cepat, nyaman, aman dan murah. Walau pun demikian masyarakat sebagai
konsumen harus diberi perlindungan hukum, banyak hal-hal yang tidak terduga
yang mungkin saja terjadi ketika masyarakat sedang menggunakan jasa
transportasi berbasis aplikasi online tersebut. Yang paling sering terjadi adalah
kecelakaan lalulintas, disini Lembaga Perlindungan Konsumen(LPK) sangat
diperlukan dalam melindungi konsumen untuk mendapatkan ganti rugi yang
setimpal. Dengan adanya UUPK konsumen mendapatkan hak-hak yang harus
didapatkannya. Contoh yang paling konkret yaitu para konsumen yang
mengalami kecelakaan saat menggunakan jasa transportasi berbasis aplikasi
online ini mendapat asuransi jiwa dan ganti rugi. Hal tersebut sesuai dengan
apa yang sudah diamanatkan UUPK.
3. Terjadinya kecelakaan pada saat penggunaan jasa transportasi berbasis aplikasi
online merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Dalam setiap kasus
kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya mempunyai
konsekwensi hukum bagi pengemudi kendaraan tersebut. Seperti yang diatur
dalam Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas.
Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jadi perusahaan
transportasi online (pelaku usaha) bertanggung jawab apabila penumpangnya
(pengguna jasa) mengalami evenement seperti kecelakaan atau kejahatan saat
alternatif-alternatif dalam pemberian ganti rugi akibat kecelakaan tersebut,
seperti UUPK menjelaskan bahwa kejadian diatas dapat dijadikan sebagai
sengketa konsumen karena merugikan konsumen dan tentunya konsumen
mengharapkan ganti rugi. Oleh sebab itu UUPK memberikan dua cara
menyelesaikan persengketaan tersebut, yakni: Melalui proses litigasi
(Pengadilan) dan non-litigasi (luar pengadilan). Contoh non litigasi adalah
mediasi, arbitrasi dan konsiliasi. Apabila kesepakatan tidak didapatkan dari
proses non-litigasi maka langkah terakhir adalah membawa kedalam peradilan
atau proses litigasi.
B.Saran
1. Lahirnya transportasi berbasis aplikasi online ini diperlukan regulasi-regulasi
agar transportasi ini dapat berjalan sesuai dengan undang-undang yang telah
ada dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah perlu membuat undang-undang
mengenai jasa transportasi tersebut dan mengawasinya dengan baik dan
membentuk lembaga pengawas yang lebih terkhusus kepada jasa transportasi
berbasis aplikasi online.
2. Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat perlindungan sebagai
konsumen terhadap sarana prasana yang dibuat oleh pemberi jasa baik jasa
pangan, sandang, transportasi dan lain sebagainya. Disini UUPK
mengamanatkan bahwa setiap konsumen mempunyai hak yang sama untuk
dilindungi, apalagi menyangkut nyawa mereka. Jadi kita harapkan badan-badan
dalam menegakkan hak-hak dari pengguna jasa yang merasa dirugikan ketika
memakai jasa transportasi berbasis aplikasi online.
3. Perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi online harus bertanggung jawab
terhadap kecelakaan lalu lintas yang dialami armada miliknya.
Pertanggungjawaban yang dapat diberi berupa asuransi jiwa, santunan maupun
ganti rugi sesuai dengan kerugian yang dialami pengguna jasa. Disini driver
juga harus mendapatkan ganti rugi yang layak walaupun kecelakaan terjadi
akibat dari kesalahannya sendiri itupun harus berdasarkan kesepakatannya
dengan perusahaan tempatnyabekerja. Jadi disini pemerintah maupun lembaga
yang berwenang diharapkan menjadi pihak penengah dalam menyelesaikan
sengketa antara pihak yang bersengketa sehingga hak dan kewajiban kedua
BAB II
JASA TRANSPORTASI BERBASIS APLIKASI ONLINE
A. Pengertian dan Sejarah Jasa Transpotasi Berbasis Aplikasi Online di Indonesia
Transportasi merupakan salah satu sarana perhubungan yang sangat
penting dalam segala hal aktivitas manusia. Semakin berkembang sarana
transportasi semakin mudah terjalin hubungan antar manusia. Sejak jaman-jaman
purba mobilitas masyarakat manusia telah terjadi. Perpindahan penduduk dari satu
tempat ke tempat yang lain telah terjadi. Mobilitas penduduk ini diikuti juga oleh
mobilitas barang yang dibawa oleh mereka. Oleh karena itu sarana transportasi
sejak masa lampau telah dibutuhkan oleh manusia. Pada masa sekarang dimana
mobilitas manusia dan barang sangat tinggi, dan terjadi bukan hanya didalam satu
wilayah tetapi juga antar pulau dan bahkan antar Negara, maka sarana transportasi
sangat memegang peranan yang penting.
Sejarah transportasi dimulai sejak roda ditemukan sekitar 3500 tahun yang
lalu, transportasi adalah perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke
tempat yang lain yang digerakan oleh manusia. Transportasi sangatlah penting
untuk kehidupan semua sosial manusia. Bentuk paling sederhana dari transportasi
secara teoritis adalah semua hal dipengaruhi penggunaan oleh manusia. Memasuki
abad ke-20 seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan industri,