KEMAJEMUKAN HUKUM PERKERETAAPIAN
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S-1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
SRI FUSANTI
090905007
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Sri Fusanti
Nim : 090905007 Departemen : Antropologi Sosial
Judul : Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara
Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen,
Dr. Fikarwin Zuska Dr. Fikarwin Zuska NIP. 196212201989031005 NIP.196212201989031005
Dekan,
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
KEMAJEMUKAN HUKUM DI PERKERETAAPIAN SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau pernah diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Februari 2014
ABSTRAK
Sri Fusanti, 2014. Judul skripsi: Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara. Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, 127 halaman, 9 tabel dan 49 Gambar, 2 bagan, daftar pustaka, lampiran yang terdiri dari daftar informan dan surat keterangan penelitian.
Tulisan ini mengkaji tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Kajian ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku di masyarakat. Melalui kajian ini maka dapat dilihat bagaimana hukum itu ternyata tidak tunggal dan berdiri sendiri akan tetapi banyak hukum-hukum lain yang hidup dan diberlakukan sama. Selanjutnya tulisan ini juga menelusuri bagaimana kepentingan dari tiap individu-individu dapat membentuk sebuah hukum baru yang legal di perkeretaapian Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan secara mendalam tentang kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik wawancara dan observasi partisipasi dengan individu-individu yang terlibat langsung dengan ruang lingkup perkeretaapian Sumatera Utara.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah perkeretaapian Sumatera Utara dan bagaimana situasi dan kondisi hukum-hukum yang ada di perkeretaapian sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata terdiri dari beragam bentuk. Tidak hanya sebatas hukum formal, tetapi banyak hukum-hukum lain yang berlaku dan sulit untuk mengkategorisasikan penamaan hukum tersebut apakah itu hukum adat, hukum agama tau sebagainya sehingga dalam hal ini para pengamat antropologi hukum sering menyebutnya unnamedlLaw atau hybrid law.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kemudahan, kelancaran dan
kemurahan rezeki sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di
Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan menyelesaikan skripsi mengenai
Kemajemukan Hukumdi Perkeretaapian Sumatera Utara. Dalam hal ini saya juga menyadari bahwa tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa adanya
saran, bimbingan dan dukungan dari semua pihak.
Oleh karena itu, saya memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada
orang tua saya Bapak Zaharuddin Sirait , Papa Ahmad Doni dan Ibu Nila Sari
yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih atas kasih sayang, ketulusan,
dukungan moral dan materi yang diberikan selama saya menyelesaikan
pendidikan. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan kemurahan rezeki
kepada Bapak, Papa dan Ibu. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada
adik-adik saya Ambran dan Azima yang selalu menyemangati saya untuk
mengerjakan skripsi ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Bapak Dr.
Fikarwin Zuska selaku Dosen Pembimbing skripsi dan ketua Departemen
Antropologi Sosial FISIP USU. Terima kasih atas bimbingan dan arahannya
kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga telah meluangkan
waktu dan tenaganya untuk memberikan kritik dan saran-sarannya guna
Selanjutnya, ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada: Bapak Prof.
Dr. Badaruddin, selaku Dekan FISIP USU; Drs. Agustrisno MSP., selaku
Sekretaris Departemen Antroplogi Soial FISIP U; Bapak Drs. Lister Berutu MA
selaku ketua Laboratorium Antropologi Sosial FISIP USU dan Drs. Ermansyah
M.Hum selaku Dosen Penasihat Akademik selama menjalani perkuliahan di
Antropologi Sosial FISIP USU; Para Dosen Departemen Antopologi Sosial, Staf
Administrasi Departemen Antropologi, Staf Pegawai FISIP, Pegawai
Perpustakaan FISIP dan Pegawai Perpustakaan USU.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada pegawai kereta api bidang
pengelolahan aset yakni Abang Joko Samudro, Akhyar selaku masinis yang mau
berbagi cerita kepada saya mengenai kereta api, pedagang-pedagang di gerbong
kereta, pegawai OTC, bapak Rajagukguk selaku Kepala SDM kereta api Divisi 1
Sumatera Utara, pegawai loket kereta api, para calo tiket dan penumpang kereta
api yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya saat penelitian
dilakukan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Kakek dan Nenek
serta Paman dan Bibi yang telah mendoakan dan memberi dukungan kepada saya
selama menyelesaikan pendidikan. Saya mengucapkan terima kasih dan semoga
kakek diberikan kesehatan dari Allah SWT.
Kepada kerabat Antropologi 2009, Yohana Berlianan, Creysant Lasty,
Elisa Novarita Kahar, Nelvi Gusliana, Marlina Irene Hutagalung, Sentani Br
Purba, Rona Maria Girsang, Intan Inayati Taro, Naya Adluna, Sri Widari Zulfa,
Indah Fikria Aristi, Irfan Maulana, Imanda Hutapea, Samuel Juniko Sagala,
Gultom, Teresha Meilani Hutagaol, Lita Saragih, Razakiko Harkani Lubis,
Halimatussakhdiah, Yayuk Yusdiawati, Endang PS Tel, Anggun Nova Sastika,
Yustina Pane, dan lainnya, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan
bantuannya.
Kepada teman-teman satu kontrakan yakni kak Cindy dan Ayu terima
kasih telah menemani dalam suka dan duka selama saya mengerjakan skripsi.
Terima kasih juga kepada Mita Novianty, Dewi Lestari yang telah bersedia
menemani saya selama melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada nenek
dan kakek pemilik kontrakan yang ramah dan selalu menyayangi saya layaknya
cucunya sendiri. Saya juga menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat
kekurangan dan kelemahan, untuk itu masukan-masukan dari berbagai pihak
sangat saya harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lainnya serta pihak-pihak yang
memerlukan.
Medan, Februari 2014
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Sri Fusanti, lahir pada tanggal 14
juni 1991 di Kisaran. Anak
pertama dari 2 (dua) bersaudara
dari pasangan Bapak Zaharuddin
Sirait dan Ibu Nila Sari, beragama
Islam. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 2 Kisaran, pada
tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Kisaran, pada tahun
2006 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kisaran pada tahun 2009.
Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi dengan jalur
PMP di Universitas Sumatera Utara Pada tahun 2009. Program Studi yang diambil
adalah Ilmu Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Alamat
email: srifusanti@yahoo.co.id
Berbagai kegiatan yang dilakukan selama masa studi antara lain:
Anggota OSIS SMA Negeri 1 Kisaran bidang Pramuka periode 2007-2008
Mengikuti Raimuna Ranting Kisaran Timur pada tahun 2006
Mengikuti Perkemahan Pelantikan Dewan Kerja Ranting pada tahun 2006
Mengikiti kegiatan Pengembaraan Pramuka Penegak dan Pandega (BARAKAPEPA) sejajaran Kwarcab Asahan yang dilaksanakan pada tahun 2007 dengan rute Desa Tangga – PTPN III – Bandar Selamat.
Penerima Beasiswa pendidikan dari Sampoerna Foundation di SMA Negeri 1 Kisaran tahun 2006-2009.
Mengikuti seminar Remaja “ Wujudkan Generasi Sehat Bebas HIV/AIDS tahun 2009
Mengikuti seminar “Menjadi Apa dan Siapa di Masa Depan” tahun 2010
Mengikuti seminar “Roadshow Film Dokumenter dan Diskusi Publik Crossing Boundaries” pada tahun 2010 di FISIP USU.
Mengikuti Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.
Mengikuti seminar “ Ini Medan Demokrasi Bung” tahun 2011
Mengikuti seminar Nasional “ Inventarisasi Kain Tenun, Hiou Simalungun tahun 2011
Mengikuti seminar hasil penelitian “Kajian Untuk Perlindungan Ekspresi Keragaman Budaya” tahun 2012
Mengikuti seminar “Draft Buku Sejarah Berdirinya Kabupaten Pakpak Barat” tahun 2013
Menjadi Interviewer Indonesia Research Center dalam survey pemilu tahun 2013
KATA PENGANTAR
Skripsi merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di
Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara. Dalam rangka memenuhi persyararatan tersebut
penulis telah menyusun sebuah skripsi dengan judul Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara.
Ketertarikan untuk menulis permasalahn tentang kemajemukan hukum
diawali dengan kenyataan bahwa hukum itu ternyata tidak terdiri dari satu jenis
yakni hukum formal. Akan tetapi ada hukum-hukum lain yang hidup di luar dari
pada hukum formal dan biasa disebut dengan hukum tak bernama (unnamed law).
Tidak terlepas dari pada itu, hukum juga terkadang tercipta guna pemenuhan
sebuah kepentingan dari masing-masin kelompok atau individu pembuat hukum
tersebut. Selain itu juga, pengaruh munculnya kemajemukan hukum ini
menimbulkan sebuah kondisi ketidak pastian hukum.
Dalam skripi ini saya menulis apa yang terjadi pada hukum dalam
kenyataan yang sebenarnya. Dimana melihat hukum itu melalui perspektif
antropologi hukum. hal yang ingin saya sampaikan adalah ketika berbicara hukum
maka tidak cukup dengan pengertian yang sederhana yakni aturan yang mengatur
dan bersifat formal, seperti halnya aturan tertulis dari Negara. Akan tetapi lebih
dari pada itu, harus diakui bahwa hukum itu memiliki banyak wujud. Ada yang
dikatakan sebagai hukum adat, agama, dan hukum-hukum lainnya yang muncul
Hal ini dikarenakan hukum-hukum tersebut saling mengadopsi dan bersentuhan
dengan yang lainnya sehingga menimbulkan hukum baru atau hybrid law . Sebuah
legitimasi yang mengatas namakan hubungan kekerabatan juga dapat menjadi
sebuah pelegalan tindakan. Sehingga hal yang demikian juga dapat dikatakan
sebagai hukum.
Dengan demikian skripsi ini diharapkan dapat member informasi dan
pengetahuan tentang hukum yang ditinjau secara antropologi hukum dan
menambah wawasan terhadap permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia.
Sehingga akhirnya saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Februari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Lokasi Penelitian……… 24
1.5Metode penelitian ... 25
1.5.1 Teknik Pengumpulan Data ... 26
1.5.2 Tekhnik Analisa Data……….. 28
1.5.3 Rangkaian Pengalaman di Lapangan ... 29
BAB II GAMBARAN UMUM PERKERETAAPIAN SUMUT ………….… 36
2.1 Kondisi Umum Perkeretaapian Sumatera Utara ... 36
2.2Sejarah Berdirinya Kereta Api Sumatera Utara ... 37
2.2.1 Peralihan Sumatera Timur Menjadi Sumatera Utara ... 39
3.1 Ruang Lingkup Penyewaan Aset Tanah dan Bangunan ... 62
3.1.1 Prosedur Penyewaan Aset ... 63
3.1.2 Hukum Sewa Menyewa ... 65
3.2.1 Hak Dan Kewajiban Pihak Yang Terlibat Dalam
3.4 Kondisi Kemajemukan Hukum di Aset Kereta Api ... 83
BAB IV HUKUM MENGENAI TIKET DAN GERBONG KERETA ... 85
4.1Hukum Mengenai Tiket ... 85
4.1.1Loket Tiket ... 90
4.1.2Calo Tiket ... 92
4.1.3Ketentuan Pembatalan Tiket ... 95
4.2Hukum di Gerbong Kereta……….. 97
4.2.1 Pedagang di Gerbong Kereta……….. 99
4.2.2 Kondisi di Dalam Gerbong Kereta……….. 102
4.2.3 Nomor Tempat Duduk Ganda………..…. 105
4.3Kondisi Kemajemukan Hukum di Tiket dan Gerbong Kereta……… 107
BAB V HUKUM PEGAWAI KERETA API……….………. 108
1. Perlintasan Kereta Api
2. Tambahan foto selama penelitian 3. Daftar Informan
DAFTAR ISTILAH
Aset Harta atau sumber daya yang dimiliki oleh suatu
perusahaan yang berfungsi dalam operasi perusahaan dan diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi.
Bangunan Liar Bangunan (rumah/ gedung) yang berdiri di pinggiran bantalan rel.
Bantalan Rel Landasan tempat rel bertumpu dan diikat dengan penambat rel, bantalan dipasang melintang rel pada jarak antara bantalan yang satu dengan lainnya sepanjang 0,6 meter.
BPKD Badan Pemeriksa Keuangan Daerah
Calo Orang yang menjadi perantara dan memberikan
jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah.
Deli Spoorweg Matschappij Perusahaan yang membangun jaringan transportasi kereta api di tanah Deli.
Emplasment Ruangan/lapangan/halaman tempat lintas keluar-masuknya kereta api untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
Gerbong kereta Alat transportasi yang digunakan untuk
mengangkut barang atau orang.
Gudang Sebuah ruangan yang digunakan untuk
menyimpan berbagai macam barang.
Karcis Merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian
angkutan orang maka penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis dan orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel.
Kemajemukan Hukum Situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial.
Kondektur Orang yg memeriksa karcis pada saat melakukan perjalanan dengan kereta api.
Legitimasi Pelegalan suatu tundakan dengan mengatas
namakan hubungan kerabat.
Loket Tempat pelayanan tiket, revarasi, pemesanan dan pembatalan tiket.
Lokomotif Bagian dari rangkaian kereta api di mana terdapat mesin untuk menggerakkan kereta api. Biasanya lokomotif terletak paling depan dari rangkaian kereta api.
Mail Main ilmu yang merupakan istilah dari pada hukum yang diciptakan oleh pegawai kereta api.
Palang Pintu Perlintasan Rambu-rambu pengamanan yang terdapat di perpotongan jalan antara perlintasan kereta api dengan lalulintas umum.
Peron Tempat naik-turun para penumpang di stasiun dan
juga dapat dijadika tempat tunggu sebelum kereta sampai, jadi dapat disimpulakan peron adalah lantai pelataran tempat para penumpang naik-turun sekaligus tempat tunggu,serta tempat jalur rel melintas di stasiun.
OTC On Training Cleaning adalah petugas yang menjaga
kebersihan gerbong kereta api.
Polsuska Polisi khusus kereta api yang bertugas menjaga keamanan di stasiun dan gerbong kereta.
Rel Lintasan kereta api yang terdiri dari 2 buah bagian besi.
Sisip Istilah bagi pegawai masinis yang menggantikan
Spur Garis tengah rel.
Stasiun Tempat pemberhentian kereta api sekaligus
menaikkan dan menurunkan penumpang.
Suplisi Laporan mengenai pemungutan bayaran begi
penumpang yang tidak memiliki tiket.
Tarif reduksi Besarnya biaya tiket yang dikenakan bagi
DAFTAR TABEL
Judul Halaman
Tabel 2.1 Lintasan Dan Panjang Rel Kereta Api Deli Tahun 1883-1940 ... 39
Tabel 2.2 Daftar Stasiun Kereta Api ... 52
Tabel 2.3 Jadwal Operasional KA SRIBILAH ... 56
Tabel 2.4 Jadwal Operasional KA PUTRI DELI ... 56
Tabel 2.5 Jadwal Operasional KA SIREX ... 56
Tabel 2.6 Jadwal Operasional KA SRILELAWANGSA ... ..56
Tabel 2.7 Jadwal Keberangkatan Dari Medan Menuju KNIA ... .57
Tabel 2.8 Jadwal Keberangkatan Dari KNIA Menuju Medan ... .57
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Struktur Organisasi Pengelolah Stasiun……….…………. 53
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: 1890-1905 Kereta api Dengan Jarak Rel Sempit Untuk Pengangkutan
Tembakau Deli Serdang, Sumatera Utara ... 37
Gambar 2: Kebun tembakau Deli ... 43
Gambar 3: Jacobus Nienhuys ... 44
Gambar 4: Pembukaan Hutan Untuk Kebun Tembakau ... 44
Gambar 5: Stasiun Medan Pada tahun 1884 ... 45
Gambar 6: Lapangan Merdeka sebelum 1890 ... 46
Gambar 7: (A) Kereta Sri Lelawangsa dan (B) Putri Deli ... 50
Gambar 8: (C) Kereta Kuala Namu dan (B) Sribilah ... 50
Gambar 9: Sky-Bridge Stasiun Bandara di Medan ... 58
Gambar 10: (A) Café-Resto Yang Terdapat di Stasiun Medan dan (B) City Check In Yang Berada di stasiun bandara ... 59
Gambar 11: (A dan B) Pemukiman Yang Berada di Pinggiran Bantalan Rel Jalan Gaharu ... 72
Gambar 12: Pelarangan Memasuki Peron Stasiun ... 89
Gambar 13: Loket Stasiun Besar Medan ... 90
Gambar 14: Loket Stasiun Bandar Khalifah ... 91
Gambar 15: (A dan B) Himbauan Untuk Menghindari Calo Tiket ... 94
Gambar 16: Gerai Pemesanan Tiket PT. Anugrah Fajar ... 95
Gambar 17: Pedagang Kripik Yang Berjualan di Gerbong Kereta ... 99
Gambar 18: Kotak P3K Yang Terlihat Kosong ... 103
Gambar 19: Stiker yang Menempel Pada Dinding Tempat Duduk ... 104
Gambar 20: Larangan Merokok di Dalam Gerbong Kereta ... 104
Gambar 21: Pegawai Loket Yang Sedang Mengisi Laporan ... 111
Gambar 22: Laporan Penjualan Tiket di Layar Komputer Pegawai Loket ... 112
Gambar 23: Loket Stasiun Lubuk Pakam Yang Terlihat Kosong ... 112
Gambar 25: Kondektur Yang Melakukan Pemeriksaan Tiket ... 117
Gambar 26: Sampah Yang Berserakan ... 119
Gambar 27: Petugas OTC ... 120
Gambar 28: (A dan B) Beberapa Capture isi BBM dengan Masinis ... 122
Gambar 29: (A) Palang Pintu Perlintasan dan (B) Penjaga Palang Pintu Perlintasan ... 123
ABSTRAK
Sri Fusanti, 2014. Judul skripsi: Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara. Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, 127 halaman, 9 tabel dan 49 Gambar, 2 bagan, daftar pustaka, lampiran yang terdiri dari daftar informan dan surat keterangan penelitian.
Tulisan ini mengkaji tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Kajian ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku di masyarakat. Melalui kajian ini maka dapat dilihat bagaimana hukum itu ternyata tidak tunggal dan berdiri sendiri akan tetapi banyak hukum-hukum lain yang hidup dan diberlakukan sama. Selanjutnya tulisan ini juga menelusuri bagaimana kepentingan dari tiap individu-individu dapat membentuk sebuah hukum baru yang legal di perkeretaapian Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan secara mendalam tentang kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik wawancara dan observasi partisipasi dengan individu-individu yang terlibat langsung dengan ruang lingkup perkeretaapian Sumatera Utara.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah perkeretaapian Sumatera Utara dan bagaimana situasi dan kondisi hukum-hukum yang ada di perkeretaapian sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata terdiri dari beragam bentuk. Tidak hanya sebatas hukum formal, tetapi banyak hukum-hukum lain yang berlaku dan sulit untuk mengkategorisasikan penamaan hukum tersebut apakah itu hukum adat, hukum agama tau sebagainya sehingga dalam hal ini para pengamat antropologi hukum sering menyebutnya unnamedlLaw atau hybrid law.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Skripsi ini menjelaskan tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi
pada masyarakat. Kemajemukan hukum di masyarakat terjadi di masing-masing
bidang lapangan kehidupan. Seperti halnya juga yang terjadi di lingkungan
kehidupan perkeretaapian Sumatera Utara. Kemajemukan hukum itu sendiri
diartikan oleh Masinambow adalah bahwa dalam dunia pragmatis sedikit-dikitnya
ada dua sistem norma atau dua sistem aturan yang terwujud di dalam interaksi
sosial (Masinambow, 2000:5).
Begitu juga dengan yang terjadi pada lingkungan sosial perkeretaapian
Sumatera Utara, yang mana di lingkungan perkeretaapian ini muncul situasi
kemajemukan hukum. Oleh sebab itulah, dalam skripsi ini saya berusaha
memaparkan kondisi yang sebenarnya terjadi berdasarkan fakta yang diperoleh
dari lapangan selama penelitian dilakukan.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena pada dasarnya ketika
berbicara mengenai kereta api maka secara langsung akan berbicara mengenai
aturan-aturan yang berlaku dan hidup di lingkungan perkeretaapian Sumatera
Utara. Oleh karena itu, tidak cukup hanya membahas tentang transportasinya saja,
banyak komponen lain yang terkait dengannya, baik itu stasiun, rel, peron,
masing-masing komponen yang ada di lingkungan kereta api tersebut memiliki
aturan-aturan yang berbeda satu sama lain.
Masalah kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera
Utara perlu dilihat dan dipahami. Hal ini dikarenakan bahwa kondisi hukum yang
ada di perkeretaapiaan Sumatera Utara terkait dengan kebijakan, relasi-realsi
sosial yang terbentuk, kontak antara individu-individu yang ada di lingkungan
kereta api dan yang semuanya juga mungkin terkait dengan proses globalisasi.
Dapat diketahui bahwa pada dasarnya hukum tidak dapat dipandang
semata-mata berwujud peraturan perudang-undangan serta tidak dapat dipandang
sebagai institusi yang terisolasi dari aspek-aspek kebudayaan yang lain. Tetapi
hukum merupakan produk dari suatu relasi sosial dalam suatu sistem kehidupan
masyarakat1. Selain itu juga hukum dalam wujudnya dapat berbentuk
peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/
folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekanisme pengaturan dalam
masyarakat (self regulation), yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian
sosial (social control) dan menjadi alat untuk menjaga keteraturan sosial (social
order)2.
Sejalan dengan penjelasan di atas maka secara lebih fokus lagi tulisan ini
bercerita tentang bagaimana hukum itu ternyata diberlakuakan di lapagan. Selain
itu juga menjelaskan bahwa hukum itu bukan hanya berbentuk aturan tertulis saja
1
I Nyoman Nurjaya (2009), artikel “ pengembangan Tema Kajian Metodologi dan Model Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum di Indonesia. Terdapat pada http://editorsiojo85.wordpress.com/2009/03/31/antropologi-hukum/ diakses pada 12 oktober 2013. 2
melainkan banyak hukum yang tidak tertulis yang nyatanya hidup di satu
lingkungan sosial yang sama. Sebagian besar dari hukum-hukum baru yang
muncul diakibatkan oleh adanya kepentingan dari masing-masing agen pembuat
hukum tersebut.
Tidak hanya sebatas itu saja, proses saat hukum itu terbentuk juga
merupakan bagian dari pada hukum. Legitimasi yang muncul dikarenakan
pelegalan hukum dengan mengatas namakan hubungan kerabat juga termasuk
dalam pembahasan hukum. Atas dasar inilah saya tertarik untuk menulis
kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Dimana ada
tumpang tindih hukum yang terjadi di sini. Di satu sisi hukum Negara harus
menjadi panglima di lingkungan perkeretaapian namun kenyataannya adalah
sebaliknya. Hukum Negara pada dasarnya tidak di tolak dan tetap di berlakukan di
lingkungan kereta api akan tetapi hukum Negara tersebut hanya sebagian yang
diserap dan diberlakukan sesuai dengan kepentingan-kepentingan para agen yang
terlibat di lingkungan kereta api tersebut. Selain itu juga guna memenuhi
kepentingan dari tiap agen yang terlibat maka diciptakanlah sebuah hukum yang
baru (Unnamed law). Hukum-hukum tersebut tercipta dalam bentuk yang
beragam dan keberagaman hukum inilah yang mengakibatkan kemajemukan
hukum di perkeretaapian Sumatera Utara.
Dalam tulisan ini kesemuanya itu dipaparkan dengan cukup jelas, dimana
kemajemukan hukum itu terjadi di tiap-tiap bagian dari kereta api. Untuk saya
membagi pokok pembahasan menjadi 4 bab. Ke-4 bab tersebut masing-masing
bab. Pada bab 2 dijelaskan mengenai gambaran umum perkereta apian Sumatera
Utara. Dimana dalam bab tersebut dijelaskan mengenai awal mula kehadiran
kereta api pada tahun 1886 di Sumatera Utara hingga saat ini. Bab ini juga
menjelaskan komponen-komponen lain yang terkait dengan kereta api, struktur
organisasi serta undang-undang yang menjadi aturan formal bagi kereta api.
Pada bab selanjutnya bab 3, 4 dan 5 saya mulai berbicara mengenai
hukum-hukum yang terdapat di kereta api. Saya memutuskan membagi
pembahasan kedalam tiga bab dikarenakan agar pembahasan dalam tiap babnya
tidak terlalu melebar dan fokus. Saya juga mengklasifikasikan pembahasan yang
saling terkait kedalam satu bab yang sama. Seperti pada bab 3 yang membahas
mengenai hukum mengenai aset kereta api berupa tanah dan bangunan serta cara
penyewaan aset tersebut. Dalam bab ini diceritakan mengenai berbagai fakta
lapangan yang sama sekali beseberangan dengan aturan formal yang mengatur
perkeretaapian Sumatera Utara terutama dalam hal permasalahan aset.
Pada bab 4 skripsi ini dijelaskan mengenai hukum tiket dan gerbong
kereta. Saya memilih untuk menyatukan pembahasan mengenai tiket dan gerbong
ini karena antara keduanya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Pembahasan
mengenai tiket tidak berlaku tanpa pembahasan mengenai gerbong kereta sebab
pada dasarnya penumpang yang memiliki tiket yang dapat masuk ke dalam
gerbong kereta. Untuk itulah penulis memilih menggabungkan kedua pembahasan
ini kedalam satu bab.
Dalam bab ini saya berusaha menceritakan bagaimana kondisi yang terjadi
juga saya akan berbicara mengenai percaloan tiket yang marak terjadi dan melihat
aturan-aturan yang bermain di dalamnya. Ketika berbicara mengenai hukum yang
ada di gerbong kereta api saya berusaha memaparkan situasi dan kondisi yang
terjadi di dalam gerbong kereta, aturan yang diberlakukan dan menggambarkan
kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan hukum-hukum yang berlaku di
gerbong kereta.
Pada bab 5 saya berusaha menceritakan tentang hukum pegawai kereta api,
bab ini menceritakan bagaimana para pegawai kereta api menciptakan hukumnya
sendiri sesuai dengan apa yang diinginkan dan memenuhi kepentingan dari
masing-masing pegawai tersebut. Untuk itu dalam bab ini saya
mengklasifikasikan lagi pembahasan sesuai dengan jenis tugas dari pada pegawai
kereta api yakni, pegawai loket, pegawai pengelolahan aset, OTC, masinis,
kondektur dan juga pegawai penjaga pintu perlintasan.
Melalui tiga bab pembahasan yang ada, kesemuanya menceritakan tentang
situasi kemajemukan hukum yang terjadi di ranah perkeretaapian Sumatera Utara.
Selain itu saya ingin memperlihatkan bahwa situasi kemajemukan hukum di
perkeretaapian Sumatera Utara memang benar ada. Pihak kereta api harus
menyadari bahwa ada lebih dari satu hukum yang mengatur dalam lingkungan
kereta api. Selain itu juga pihak kereta api harus mengetahui bahwa terjadi
tumpang tindih hukum antara hukum formal dengan pengaturan sendiri yang telah
dibuat dan disepakati bersama.
Dapat diketahui bahwa undang-undang perkeretaapian yang seharusnya
kuasa antara individu-individu yang berada di lingkungan kereta api dan
melakukan kesepakatan sehingga melegalkan tindakan yang pada dasarnya
menyalahi aturan sebenarnya.
Hal menarik yang ingin saya perlihatkan adalah bagaimana hukum-hukum
yang ada saling bekerja dan diberlakuakan sama di lapangan. Serta
memperlihatkan bahwa kepentingan dari masing-masing individu dapat memicu
terciptanya hukum. Oleh karena itu ada keterkaitan antara kepentingan dengan
hukum. Selain itu juga saya ingin memperlihatkan bagaimana hubungan
kekerabatan juga dapat mendorong terciptanya suatu aturan baru, yang tanpa sadar
mengenyampingkan aturan formal.
1.2 Tinjauan Pustaka
Hukum merupakan komponen dasar dalam sebuah tertib sosial yang
mengatur berbagai jenis interaksi dalam masyarakat. Kelsen mengatakan bahwa
hukum itu adalah “ilmu normatif” yang lahir bukan karena proses alami,
melainkan karena kemauan dan akal manusia itu sendiri3. Paham sentralisme
hukum (legal centralism) mengatakan bahwa hukum sudah seharusnya bersumber
dari hukum negara, hal ini berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan
terpisah dari semua hukum yang lain serta dijalankan oleh seperangkat
lembaga-lembaga negara.
Namun dalam kehidupan sehari-hari dimana hukum itu bekerja dalam
arena sosial terjadi interaksi yang tidak bisa dihindari antara hukum negara
3
dengan berbagai hukum yang ada seperti hukum adat, agama dan hukum-hukum
lainnya yang menimbulkan adanya situasi kemajemukan hukum.
Berbicara mengenai hukum adat Posposil menyebutkan adanya batasan
antara adat dan hukum adat yang disebutkannya sebagai berikut:
1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang
mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu
aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai
fungsi serupa dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari
adanya empat ciri hukum, atau attribute of law.
2. Attribute yang dimaksud yang terutama disebut attribute of authority.
Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktivitas
kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan
melaui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam
masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap
ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya ada: (i)
serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan-serangan-serangan terhadap hak
orang; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv)
serangan-serangan terhadap keamanan umum.
3. Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal
application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari
pihak yang berkuasa itu harus dimaksud sebgai keputusan-keoutusan
juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang akan
datang.
4. Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini
menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus
mengandung perumusan dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak
kedua, tetapi juga sebaliknya. Dalam hal ini kedua pihak tersebut
harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Apabila keputusan
tidak mengandung perumusan dari kewajiban ataupun hak tadi, maka
keputusan tidak akan ada akibatnya dan bukan keputusan hukum.
apabila pihak kedua merupakan nenek moyang yang sudah
meninggal, maka keputusan yang menentukan pihak kesatu terhadap
pihak kedua itu bukan keputusan hukum, melainkan hanya suatu
keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.
5. Attribute yang keempat disebut attribute of sanction, dan menentukan
bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan
dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi
jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang
misalnya amat dipentingkan dalam sistem-sistem hukum
bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga berupa sanksi rohani seperti misalnya
menimbulkan rasa taku, malu, rasa dibenci, dan sebagainya
(Koentjaraningrat, 1981: 200-201).
Mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan antara adat dan
dijelaskan bahwa untuk melihat perbedaan antara keduanya terlebih dahulu
melihat attribute of law yang dimiliki pada suatu masyarakat agar dapat dilihat
dengan jelas bagaimana sebenarnya hukum adat itu bekerja, aktivitas apa saja yang
dapat dikatakan sebagai hukum dan bukan hukum melainkan adat.
Paul J. Bohannan mengatakan bahwa hukum itu mirip seperti bunglon bila
diperhatikan bahwa dia terdapat diberbagai masyarakat dan dia mengambil bentuk
dan isi menurut kebutuhan masyarakatdi mana dia berlaku. Namun dibawah kulit
bunglon yang berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti yang tidak
berubah. Sifatnya yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang paling
penting dan merupakan kekuatannya.
Dari hukum itu, walaupun beragam wajah dan penampilannya diberbagai
masyarakat yang paling penting untuk diperhatikan adalah bagaimana cara suatu
masyarakat menangani perselisihan dan kasus-kasus pertikaian. Artinya melihat
bagaimana caranya lembaga-lembaga yang berhadapan dengan
penyelewengan-penyelewengan diorganisasikan sehingga penyimpangan dapat dikendalikan atau
dibendung. Sehingga dapat dilihat bahwa lembaga itu menggeserkan kembali
perilaku manusia kepada saluran-saluran yang diakui dan diterima sehingga
kehidupan sosial dapat bertahan, karena hukum merupakan sarana untuk
menyembuhkan masyarakat dan untuk melanjutkan hidup bermasyarakat (dalam
Ihromi, 2000: 52-53).
Seorang antropolog bernama Klose menuliskan sebuah perbedaan
pandangan antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup dalam melihat
kehidupan sosial mereka, yang mana mereka melihat bahwa norma/aturan yang
mengatur kehidupan sehari-hari dan lembaga yang mengaturnya merupakan karya
manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup menilai bahwa norma/aturan
dan institusi yang mengaturnya dianggap pemberian dari alam. (dalam Birx, 2011:
488)4.
Meminjam pernyataan yang di tuliskan oleh Klosen maka dapat dikatakan
bahwa pada masyarakat terbuka membenarkan bahwa hukum itu di buat oleh
manusia dan juga sekaligus mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan
masyarakat tertutup cenderung bersikap statis dalam memandang hukum tersebut.
Friedman juga memiliki pendapat tersendiri dalam melihat hukum, yang
mana ia menggolongkan hukum dalam tiga komponen yakni: (1) legal substance
yang berarti sebagai norma dan aturan yang digunakan secara institusional,
beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum; (2) legal structure yang
berarti sebagai lembaga – lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum,
seperti kepolisian dan peradilan (hakim, jaksa, dan pengacara ) ; (3) legal culture
yang berarti “budaya hukum”, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan
berfikir Lawrance M. Friedman (dalam Sulistyowati, 2000: 71).
Dari ketiga poin tersebut tidak menutup kemungkinan adanya situasi
kemajemukan hukum. Eksistensi kemajemukan hukum dapat dilihat ketika
seorang Individu menjadi subjek lebih dari satu hukum. Sehingga dapat dilihat
bagaimana individu tersebut menanggapi sistem-sistem hukum yang ada
4
Joachim Klose merupakan Commissioner of the Konrad Adeneur Foundation for the Free State of Saxony menuliskan hal tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Open And Close Socienties”
dihadapannya, hal ini terkait dengan budaya hukum. Budaya hukum inilah yang
akan menentukan pilihan hukum individu tersebut, yang dengan kata lain
aturan-aturan hukum yang mana dan dengan cara bagaimana ia mengadakan pilihan yang
ada5.
Pendekatan prosesual dapat digunakan untuk menjelaskan masalah hukum
yang mendominasi perkembangan antropologi hukum sampai saat ini. dalam
pandangan prosesual masalah kemajemukan hukum diartikan bahwa setiap orang
menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena
mereka tentunya memiliki pengetahuan, harapan-harapan dan
kepentingan-kepentingan atau lebih tepatnya lagi kita sebut budaya hukum yang berbeda.
Hal ini dapat kita lihat ketika seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan
suatu pranata hukum yang ada. Maka seseorang tersebut akan memilih suatu
pranata hukum yang dianggapnya paling bisa memungkinkan ia untuk mendapat
akses yang lebih terhadap pemenuhan kepentingan6. Di mana ia akan memilih
satu jalur hukum tertentu dan mungkin saja ia akan melakukan kombinasi
terhadap hukum tersebut atau memilih lebih dari satu aturan hukum untuk proses
penyelesaian yang tentunya akan menguntungkannya.
Inilah yang dikatakan oleh Keebet Von Benda Beckmann sebagai istilah
forum shopping. Tidak terlepas dari pada itu Keebet juga menerangkan sebuah
istilah shopping forums yang mana tidak hanya orang-orang yang bersengketa saja
yamg memilih-milih lembaga penanganan suatu sengketa. Namun lembaga yang
terlibat itu juga memilih dan memanfaatkan suatu sengketa untuk kepentingannya
5
Ibid hal, 72
6
sendiri terutama untuk tujuan politik lokal. Kemudian lembaga ini juga bisa
menolak suatu permasalahan sengketa yang mereka khawatirkan akan
menngancam kepentingan mereka ( K.Von Benda-Beckmann, 2000:65).
Dalam penjelasan mengenai forum shopping dan shopping forums
tersebut dapat dilihat bahwa ada proses pemilihan hukum yang dilakukan baik
oleh pihak yang bersengketa maupun lembaga hukum yang terlibat di dalammya.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata tunggal namun terdapat
hukum-hukum lainnya yang menimbulkan adanya suatu pilihan terhadap hukum
itu sendiri atau dengan kata lain hukum mana yang akan digunakan.
Hukum juga harus dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan
sebagai keseluruhan dan tidak dianggap sebagai pranata yang otonom7. Maka dari
itu antropologi tidak pernah memandang bahwa hukum itu bersifat sentral karena
fakta yang terjadi saat ini bahwa hukum yang dianut oleh suatu kelompok
masyarakat bisa saja berbeda dengan masyarakat lainnya karena dalam
masyarakat tersebut terdapat hukum yang hidup (living law)8. Sehingga ketika
kondisi ini terjadi yang muncul adalah kemajemukan hukum.
Dewasa ini bahasan mengenai kemajemukan hukum bukan merupakan hal
baru untuk diperbincangkan. Kemajemukan hukum muncul karena adanya
kemajemukan budaya. Kemajemukan budaya yang hidup di Indonesia secara
teoritis merupakan konfigurasi budaya dan jati diri bangsa Indonesia. Simbol
Bhineka tunggal ika adalah bukti nyata kemajemukan budaya bangsa Indonesia
yang terdiri dari ragam etnik, ras, suku, agama dan sebagainya.
7
Loc,Cit Masinambow hal, 1
8
Keragaman ini lah yang kemudian membentuk satu himpunan berupa
bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun, dalam keberagaman selalu ada perbedaan–perbedaan yang
menyimpan potensi konflik, jika tidak dikelola dengan baik maka potensi ini akan
berwujud pertikaian yang pada akhirnya mengancam disintegrasi bangsa. Merujuk
pada konflik maka hukum harus menjadi panglima dalam mengatasi masalah yang
ada dimasyarakat9. Oleh karenanya perlu dipertanyakan apakah praktek
penegakan hukum negara sudah dapat diterima oleh masyarakat yang memiliki
keragaman budaya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan penelitian
yang cukup serius. Namun tidak pada kesempatan ini.
Pada kesempatan ini akan diperdalam penjelasan mengenai kemajemukan
hukum itu. Banyak kasus hukum yang terjadi di Indonesia memperlihatkan
bagaimana kemajemukan hukum tersebut bekerja dalam ranah hukum yang
kompleks. Mulai dari peradilan lembaga adat sampai pengadilan tinggi. Bukti
nyata yang terjadi dapat dilihat dalam karangan Sulistyowati Irianto (2003)
mengenai perempuan diantara berbagai pilihan hukum10.
Di sini dijelaskan bahwa perempuan batak Toba tidak memndapatkan
harta warisan peninggalan orang tua mereka, karena menurut adat yang
mendapatkan harta warisan adalah anak laki-laki saja. Akses terhadap hukum adat
jelas tidak memberi jalan bagi wanita untuk mendapatkan hak waris, sehingga
menyebabkan kelompok perempuan tertentu menciptakan budaya hukumnya
9
Achmad Syauqi Esai mengenai eksistensi hukum negara ditengah kemajemukan budaya. Terdapat pada www.achmadsyauqie.files.wordpress.com diakses 18 juni 2013
10
sendiri yang tercermin melalui cara perempuan memilih institusi peradilan dalam
proses penyelesaian sengketa waris. Para pihak yang terlibat menggunakan hukum
adat dan hukum negara secara bergantian, sehingga muncul kesepakatan antara
pihak yang terlibat.
Penelitian yang di tulis oleh Engel Tambunan juga membahas mengenai
kemajemukan hukum yang berjudul kemajemukan hukum dalam pengoprasian
angkutan kota (studi deskriptif tentang pengoprasian angkot di Medan) yang
mengatakan dalam hasil penelitiannya bahwa kemajemukan hukum yang terjadi di
sini terkait dengan adanya interaksi antara aturan organisasi dan hukum negara
dalam pengoprasian angkot yang pada akhirnya menimbulkan aturan baru dalam
hubungan sosial yang semi otonom antara aktor/ pihak – pihak tertentu11 (Engel,
2011: 9-10).
Kemajemukan hukum juga terjadi pada penegakan hukum pidana dalam
masyarakat, salah satunya terjadi pada masyarakat Lampung. Hal ini berkaitan
dengan pengaruh nilai–nilai adat Masyarakat Lampung. Sebagian besar
masyarakat Lampung kurang mengetahui isi peraturan perundang–undangan
pidana dan penegakan hukumnya tetapi masyarakat memahami substansi hukum
pidana, yaitu dalam hal pencegahan dan penyelesaian konflik. Hal ini dikarenakan
adanya konsep tata nilai budaya masyarakat lampung yang disebut piil pesenggiri
yang di dukung oleh kelima unsurnya (juluk-adek, nemui-nyimah,
nengah- 11
nyappur, sakai-sambayan dan tittei gumantei) yang pada dasarnya merupakan
kebutuhan hidup bagi masyarakat Lampung. Inilah yang menciptakan suasana
yang tentram dan damai dalam hidup bermasyarakat. Pelaksanaan penegakan
hukum pidana memerlukan adanya peraturan perundang-undangan, aparat
penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Disinilah letak kemajemukan
hukum tersebut karena kesadaran hukum masyaraka bersumber dari nilai-nilai
hidup masyarakat Lampung12 (Eddy Rifai, 2000: 160-162).
Sebuah kasus yang terjadi antara masyarakat Maluku juga mencerminkan
sebuah kemajemukan hukum. C.Cooley dan D.Bartles mengadakan penelitian
tentang masyarakat Maluku tersebut dengan hukum pela. Pela merupakan suatu
ikatan yang dilembagakan mengenai persahabatan atau persaudaraan antara semua
penduduk pribumi dari dua desa atau lebih, yang dibentuk oleh nenek moyang
menurut keadaan tertentu dan membawa kewajiban-kewajiban tertentu untuk
semua pihak yang terkait di dalamnya. kewajiban yang penting tersebut mengenai
eksogami desa. Pela dibuat untuk tujuan saling membantu atau bekerja sama. Pela
merupakan kunci kebudayaan Maluku. Orang Maluku pada kala itu banyak yang
hijrah ke Belanda karena latar belakang politik yang berbeda. Diawali dari sinilah
kasus kemajemukan hukum itu muncul.
12
Eddy Rifai dalam tulisannya yang berjudul Pluralisme Hukum dan Penegakan Hukum Pidana di Dalam Masyarakat (Tinjauan Tentang Penyelesaian Koflik Pada Masyarakat di Daerah Lampung). Masyarakat Lampung memiliki Strata (tingkatan) berdasarkan genealogis ataupun status sosial
adat dan apabila seseorang bersalah maka ia akan diberi hukuman berdasarkan statusnya dalam
masyarakat. Juluk-adek adalah gelar adat, Nemui-nyimah adalah sikap pemurah, Nengah-nyappur
adalah bertoleransi dan bersahabat, Sakai-sambayan adalah tolong menolong atau gotong royong,
Orang Maluku yang hijrah tersebut tersebar diseluruh negeri Belanda.
Mereka membentuk lingkungan tempat tinggal khusus dengan jumlah antara
200-2000 penduduk. Mereka juga membentuk sebuah organisasi sosial orang Maluku
di negeri Belanda dan Menerapkan hukum pela di sana. Kenyataan yang terjadi
bahwa hukum adat pela yang mereka bawa dari kampung halamannya tumbuh dan
berlaku lebih kuat di antara orang- orang Maluku yang ada di negeri Belanda dari
pada di Indonesia sendiri. Akibat adanya hukum tersebut maka terdapat dua
hukum di negeri Belanda yakni antara hukum resmi dan hukum yang tidak resmi.
Kemajemukan hukumpun terjadi si sana, yang mana golongan pendatang yakni
orang Maluku lebih menerapkan hukum pela dalam kelompok masyarakat mereka
sendiri dari pada hukum resmi yang ada di negeri Belanda. (Strijbosch, 1989:
84)13
Ketika berbicara kemajemukan hukum maka muncul sebuah konsep
dimana kemajemukan hukum itu sendiri mengacu pada keberagaman dalam
berhukum karena pada konteksnya masyarakat bersifat plural baik dalam bentuk
suku bangsa, budaya, ras, agama, kelas dan jenis kelamin. Kemajemukan hukum
menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai
dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur hubungan sosialnya.
Kemajemukan hukum memandang bahwa semua hukum adalah sama dan harus
diberlakukan sederajat.
13
Kemajemukan hukum tentunya bukan merupakan sesuatu hal yang baru
untuk diperbincangkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan dan
masyarakat oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara terpisah tanpa
memperhatikan hukum – hukum lain yang ada di sekitar masyarakat tersebut.
Dilain sisi Sulistyowati (dalam Ihromi, 1993: 243) yang menyatakan
bahwa hal yang sebenarnya tidak boleh terlewat dalam pluralisme hukum yaitu
bahwa interaksi sistem-sistem hukum yang saling berbeda antara satu hukum
negara dengan hukum-huk lainnya yang terjadi dalam arena sosial. Arena sosial
inilah yang merupakan tempat terjadinya segala bentuk interaksi baik berupa
interaksi ekonomi, kontak kekerabatan dan sosial, hubungan-hubungan politik dan
keagamaan serta hubungan-hubungan lainnya.
Kemudian melalui interaksi tersebut terjadilah interaksi hukum, karena
menurut Sulityowati bahwa letak hukum adalah dalam masyarakat. Dengan
demikian yang dinamakan hukum itu bukanlah hanya sebuah peraturan saja,
melainkan proses interaksi yang terjadi dalam lingkup peraturan itu sendiri juga
merupakan sebuah hukum. Dalam hukum itu sendiri juga terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum.
Sulistyowati juga mengatakan bahwa pendekatan kemajemukan hukum/
pluralisme hukum dapat dilihat melalui perspektif global yang mana masyarakat
harus dilihat dalam arena yang multi-sited, karena terhubung dalam relasi bisnis,
politik, sosial, dan dihubungkan oleh penemuan teknologi komunikasi. Dengan
kata lain pengertian kemajemukan hukum semakin luas, tidak hanya sebatas pada
hukum yang berbeda – beda itu saling bersentuhan. Pendekatan hukum dalam
perspektif global juga menunjukkan pada kita pentingnya untuk melihat para aktor
yang menyebabkan hukum bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi
hukum tersebut. Kemajemukan hukum memiliki makna yang luas bukan
sebaliknya karena seiring dengan proses globalisasi yang terjadi menyebabkan
terjadinya konsepsi – konsepsi normatif dan kognitif yang berasal dari berbagai
sumber sehingga menjadikan suatu lapangan sosial sebagai arena untuk
memberlakukan konsepsi tersebut. (Sulistyowati, 2012: 168).
Berbicara mengenai kemajemukan hukum itu sendiri menurut Griffiths
(1986:1) adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu arena sosial “By
‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal
order”14. Maka dengan kata lain kemajemukan hukum merupakan adanya lebih
dari satu norma atau aturan yang secara nyata dianut dan dipatuhi oleh masyarakat
dalam kehidupan sosial. Griffitsh (dalam Ihromi 1993:243) juga mengatakan
bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang
secara tegas saling berhadapan yang dalam tulisannya:
“Legal Pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an idel, a claim, an illusion”. “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos, ideal, klaim, ilusi”(1993:234).
Di sini Griffits berusaha menjelaskan bahwa hukum yang ada sebenarnya
bersifat majemuk dan pandangan sentralisme hukum merupakan sebuah ilusi yang
terjadi. dalam hal kemajemukan hukum Sally Engle Marry memiliki pendapat
yang hampir sama dengan Griffiths yakni : “...is generarlly defined as a
14
situation in which two or more legal system coexist in the same social
field”(Marry, 1988:870)15 yang berarti bahwa kemajemukan hukum itu mengacu
pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam
lapangan sosial yang sama. Aturan atau norma yang berlaku disini tidak bersifat
homogen melainkan heterogen yang berarti terdiri dari banyak aturan dan norma
yang dengan kata lain bersifat plural yang bersumber dari berbagai sumber hukum.
Oleh sebab itu hukum negara merupakan salah satu dari sekian banyak hukum
yang ada, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat hukum lain yang hidup
dan berlaku bagi komunitas tertentu.
Sedangkan Sally F. Moore dalam tulisannya yang berjudul “Hukum dan
Perubahan sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang
Tepat16, menjelaskan bahwa dalam suatu bidang sosial terdapat sejumlah aturan
baik yang bersumber dari bidang sosial itu sendiri atau aturan yang ada di luar
bidang sosial tersebut seperti aturan negara. Aturan-aturan tersebut kemudian
bekerja dan menciptakan pengaturan sendiri (self-regulating) dalam bidang sosial
itu. Moore mengatakan :
“….“aturan permainan” yang beroprasi, mencakup sejumlah aturan hukum dan beberapa norma serta kebiasaan lain yang cukup efektif. Pembuatan perundangan yang secara sosial penting, sering sekali merupakan usaha untuk mengubah kedudukan tawar-menawar seseorang didalam urusannya dengan orang lain di dalam lingkungan-lingkungan sosial tersebut. Urusan yang diatur oleh lingkungan sosial dan apa lagi susunan dan sifat lingkungan sosial itu
15
Sally Engle Merry, Legal pluralism dalam Law and Socienty Rieview (journal of the law and socienty Association) 1988 http://www.jft-newspaper.aub.edu.lb/file/merry_1988.pdf diakses 21 mei 2013
16
serta transaksi-transaksi yang terjadi di dalamnya, sering kali tetap tidak tersentuh oleh undang-undang itu. Maka itu, pengaturan melalui undang-undang sering hanya berkaitan dengan satu bagian saja dari pokok yang diaturnya dan hanya menyentuh basgian tertentu dari hubungan-hubungan yang ada.” (dalam Ihromi, 2001: 148)
Di sini dijelaskan bahwa diskusi mengenai pluralisme hukum saat ini tidak
lagi berpusat pada koeksistensi antara hukum negara, adat dan agama kerena
semakin banyaknya kepentingan-kepentinan yang ada maka perspektif mengenai
pluralisme harus diperluas lagi dengan melihat bagian dari dimensi pluralisme
transnasional. Berbicara mengenai transnasional berarti berbicara mengenai
globalisasi, karena globalisasi telah membuka hubungan lintas batas dalam
berbagai aspek dan membawa pada ekspansi rezim hukum ke wilayah negara.
Globalisasi juga diasosiasikan dengan liberalisasi ekonomi dunia, perkembangan
teknologi komunikasi dan munculnya berbagai ruang kegiatan transnasional.(Dian
dalam Sulistyowati, 2009: 57)
Sulistyowati Irianto mengatakan bahwa hukum itu bergerak hal ini
berkaitan dengan globalisasi hukum, yang mana dalam globalisasi hukum dapat
dijumpai adanya mobilitas aktor dan organisasi yang menjadi media bagi lalu
lintas bergeraknya hukum. contohnya adalah migran (buruh, pedagang, NGO,
serta orang-orang yang sering berhubungan dengan luar negeri) yang membawa
hukumnya sendiri ke negara tujuan atau dengan fasilitas telekomunikasi (internet)
para aktor ini bisa menyebabkan hukum tersebut bergerak. Hukum yang dibawa
oleh para aktor diaplikasikan dengan hukum yang berlaku di negara tersebut
Secara konseptual slistyowati menggolongkan empat pokok bahasan penting
dalam pemikiran pluralisme hukum “mutakhir”.
Yang Pertama, hukum dipandang sangat memainkan peranan penting
dalam globalisasi, karena hukum bersentuhan dengan domain sosial, politik,
ekonomi. Dapat dipelajari bagaimana hubungan antara relasi kekuasaan dan
hukum, dan bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam
mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antar kelompok
dan bahkan antar bangsa.
Hukum sangat berkuasa, karena mengkonstruksi segala sesuatu dalam
kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam relasi dengan orang dan kelompok
lain, dan mengkategorikan perbuatan kita dalam kategori salah dan benar. Untuk
itu hukum dianggap memiliki kedudukan yang sangat berpengaruh di kehidupan
kita. Kedua, ada aktor-aktor yang menyebabkan hukum bergerak. Mereka adalah
para individu maupun organisasi yang sangat “mobile”. Para aktor ini penting
dalam proses globalisasi17 dan glokalisasi18, dan menjadi agen bagi terjadinya
perubahan hukum. Ketiga, pemahaman globalisasi dalam konteks sejarah
sangatlah penting. Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dahulu, seiring dengan
terjadinya penjajahan, penyiaran agama, dan perdagangan pada masa silam.
17
Globalisasi menurut A.G. Mc Grew adalah mengacu pada keberagaman hubungan dan saling keterkaitan antara negara dan masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi adalah proses di mana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan dibelahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. Hal ini terdapat pada situs pustyaka belajar www.zakapedia.com/2013/04/pengertian-globalisasi-menurut-ahli.html?=1 diakses pada 25 juli 2013
18
Sepanjang sejarah dapat dilihat bagaimana hukum internasional dan traktat
juga menyebabkan hukum “bergerak”. Namun pada saat ini globalisasi memiliki
karakter yang berbeda. Keempat, perkembangan dari pemikiran diatas, tidak hanya
menyebabkan perlunya redefenisi terhadap pemikiran mengenai pluralisme
hukum, tetapi juga memiliki signifikansi terhadap munculnya metodologi
antropologi “baru”. Etnografi konvensional tidak lagi dapat menjawab berbagai
permasalahan dari bergeraknaya hukum melalui para aktor dan isu-isu globalisasi
dan glokalisasi hukum. oleh karena itu, penting untuk melakuakan kajian
antropologi secara multispatial dan multisited ethnography yang dengan kata lain
harus dilakukan penelitian secara menyeluruh dengan melihat aspek-aspek yang
terkait di dalamnya. (Sulistyowati, 2009: 35-40) .Proses yang terjadi antara
hukum-hukum yang saling bersentuhan mengakibatkan hukum tersebut
melahirkan hukum baru yang ada.
Franz & Keebet Von Benda-Beckmann menjelaskan bahwa saat ini
diskusi mengenai kemajemukan hukum tidak lagi berpusat pada koeksistensi
hukum nasional resmi dan hukum tradisional, hukum agama, dan hukum lain yang
ada di tingkat nasional saja tetapi dengan semakin meningkatnya kepentingan
hukum dan politik dari konvensi-konvensi dan hukum-hukum internasional,
terutama isu-isu hak asasi manusia dan hak-hak orang asli, membuat para sarjana
harus lebih memperluas perspektif mereka pada” pluralisme hukum dimensi
transnasional”(dalam Masinambow, 2000: 17). Selain itu juga F. Benda
Beckmann mengatakan bahwa konsepsi hukum yang banyak disepakati di
konsepsi normatif dan konsepsi kognitif. Konsepsi inilah yang mendasari sebuah
tindakan yang melahirkan sebuah hukum “baru” di masyarakat (Sulistyowati,
2009: 38).
Meminjam dari apa yang dikatakan oleh Benda-Beckmann bahwa hukum
mengandung konsepsi normatif dan kognitif maka saya akan dapat dengan mudah
memahami hukum-hukum yang terdapat di perkeretaapian Sumatera Utara.
1.3 Perumusan Masalah
Untuk menjelaskan situasi kemajemukan hukum yang terjadi di
perkeretaapian Sumatera Utara, maka akan saya tuangkan ke dalam beberapa
pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Bagaimana latar belakang sejarah perkeretaapian Sumatera Utara?
2. Bagaimana situasi dan kondisi hukum-hukum yang ada di
perkeretaapian Sumatera Utara?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari skripsi ini adalah mendeskripsikan tentang situasi
kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Tidak
hanya itu saja skripsi ini juga menjelaskan berbagai bentuk hukum dan melihat
hukum-hukum ideal yang ada. Melihat bagaimana persepsi setiap orang dalam
memandang hukum dan cara orang tersebut memandang hukum yang hidup.
permasalahan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Sehingga
skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam permasalahan hukum.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya pola
pikir yang lebih luas dalam memandang permasalah hukum, tidak lagi
memandang bahwa hukum itu bersifat sentral karena terdapat hukum-hukum lain
yang cukup berpengaruh di dalam kehidupan sosial. Menimbulkan respon
masyarakat, peneliti maupun ilmuan sosial dan budaya untuk lebih sensitif
terhadap permasalahan kemajemukan hukum sehingga menimbulkan
konsep-konsep serta teori-teori baru mengenai kemajemukan hukum tersebut. Melalui
tulisan ini penulis berharap bahwa muncul kepekaan setiap mahasiswa antropologi
terhadap situasi yang ada disekeliling kita dalam menenggapi segala permasalahan
yang ada sehingga kajian dalam dunia antropologi dapat lebih berkembang dan
dikenal oleh kalangan masyarakat luas.
1.5 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sumatera Utara. Dengan cakupan pembahasan
mengenai kemajemukah hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara.
Untuk itu cakupan dalam lokasi penelitian meliputi seluruh daerah oprasional
kereta api yang berada di Sumatera Utara. Perkeretaapian Sumatera Utara
memiliki 4 klasifikasi kelas kereta penumpang, yakni eksekutif, bisnis, ekonomi
dan K.A khusus bandara. Namun untuk jenis kereta juga dapat dibedakan lagi
Sumatera Utara juga memiliki satu jenis kereta pengangkut barang, satu jenis
kereta pengangkut minyak dan pengangkut batu kerikil.
Pusat kantor kereta api Sumatera Utara terdapat di Medan. Maka dari itu
stasiun kereta api Medan memiliki peranan sangat penting bagi stasiun lainnya
yang ada di Sumatera Utara. Pasalnya stasiun kereta api Medan merupakan
stasiun yang titik point pertama bagi semua keberangkatan kereta api dengan
tujuan mana saja. Aturan yang diberlakuakan pada stasiun ini juga sedikit berbeda
dengan stasiun-stasiun lain yang berada pada Divisi regional yang sama.
Saya memilih perkeretaapian Sumatera Utara dikarenakan ada
hukum-hukum yang berbeda dengan hukum-hukum formal yang berlaku di sini. Selain itu juga
kereta api yang berstatus sebagai badan Usaha Milik Negara ini sebagian besar
asetnya di sewa oleh pihak swasta. Hingga akhirnya terlihat bahwa banyak aturan
yang muncul di lingkungan kereta api karena semakin banyak pelaku yang terlibat
di dalam perkeretaapian itu sendiri.
1.6 Metode Penelitian
Penilitian ini adalah penelitian kualitaf serta bersifat etnografi, yang mana
penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah
belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara
yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi
berarti belajar dari masyarakat (Spradley, 1997:3) . Metode etnografi ini akan
memberikan gambaran secara mendalam tentang situasi kemajemukan hukum
1.6.1 Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data akan dikumpulkan melalui observasi, wawancara
serta sumber data lainnya yang mendukung terkait permasalah yang sedang
diteliti. observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin,
2007:115). Disini saya menggunakan observasi partisipasi. Saya terjun langsung
ke kantor Kereta Api dan ke stasiun-stasiun yang ada di daerah oprasional
Sumatera Utara guna memperoleh data yang akurat. Saya juga terlibat langsung
sebagai penumpang kereta api. Observasi dilakuakan guna melihat, mendengarkan
dan mencatat kejadian-kejadian serta aktivitas yang ada di lingkup perkeretaapian
Sumatera Utara. Saya mencoba mengamati merasakan dan memahami secara emic
view yakni melalui kacamata orang lain yang sedang diteliti.
Observasi juga saya jadikan sebagai loncatan awal untuk memahami
kondisi yang ada di lingkungan kereta api. Saya mengamati gerak setiap pelaku,
mulai dari penumpang hingga pegawai kereta api. Melihat bagaimana kerja
tiap-tiap pegawai kereta api, pedagang maupun penumpang. Observasi ini saya anggap
penting karena dinilai sangat membantu dalam belajar beradaptasi dengan kondisi
yang ada dilingkungan kereta api. Selain observasi saya juga menggunakan
tekhnik wawancara (interview).
Metode wawancara digunakan guna mendapatkan informasi dari para
informan. Informan-informan yang terkait dalam penelitian ini adalah pegawai
kereta api, pedagang, penumpang serta informan lainnya yang terkait dengan
dianggap lebih efisien untuk memperoleh informasi yang akurat dari apa yang
terjadi di lapangan terkait dengan kemajemukan hukum. Metode wawancara juga
memberi keleluasaan pada saya untuk bertanya tentang apa yang belum dipahami
terkait panelitian yang sedang dilakukan. Metode ini membantu untuk
mendekatkan diri secara emosional dengan informan.
Wawancara yang digunakan disini adalah wawancara mendalam (depth
interview), wawancara bebas dan wawancara sambil lalu. Wawancara mendalam
dilakukan dengan menggunakan interview guide yaitu pedoman wawancara yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Wawancara sambil lalu dan
wawancara bebas dapat dilakukan tanpa menggunakan pedoman wawancara.
Wawancara dilakukan guna mendapatkan data mengenai situasi kemajemukan
hukum yang terjadi di perkereta apian Sumatera Utara. Dalam hal wawancara saya
tidak membagi-bagi informan berdasarkan informan kunci, pangkal atau biasa.
Hal ini karena saya melihat semua informan dapat berlaku sebagai informan
kunci berdasarkan pengetahuan serta pengalaman mereka selama bekerja di kereta
api Sumatera Utara, pedagang ataupun menjadi penumpang kereta api. Informan
kunci dilihat berdasarkan tingkat keakuratan informasi yang diberikan.
Selain itu juga, saya merasa penting menjalin Rapport dengan para informan.
Karena menjalin hubungan baik dengan informan menjadi satu hal pokok yang
sangat penting ketika melakukan penelitian. Bagaimana seorang peneliti bisa
masuk dalam suatu lingkungan dan diterima agar dapat lebih mudah untuk
memposisikan diri sebagai seseorang yang tidak memiliki pengetahuan apapun
tentang hukum-hukum yang terdapat di kereta api.
Sehingga ingin belajar dari kondisi lapangan dan para informan untuk
mengetahui hukum-hukum yang terdapat di perkeretaapian tersebut. Hubungan
baik diciptakan melalui pendekatan dengan para informan, bersikap ramah dan
terbuka merupakan cara yang efektif dalam mendekatkan diri dengan informan,
membangun rasa percaya informan bahwa peneliti benar-benar ingin belajar dari
informan.
Sehingga dengan hal tersebut informan lebih terbuka untuk memberikan
informasi dan menjelaskan mengenai situasi hukum yang terjadi di kereta api.
Untuk mengadakan kontak dan membangun hubungan dengan pegawai-pegawai
kereta api di sini saya berlaku sebagai penumpang yang berstatus sebagai
mahasiswi yang sedang melakukan tugas kuliah dan bukan sedang melakukan
penelitian. Rapport yang terjalin dengan baik dihasilkan melalui tahap perkenalan
dan selanjutnya bertatap muka dengan intens. Sehingga informan tidak
menimbulkan keraguan sama sekali dengan saya sebagai peneliti.
1.6.2 Tekhnik Analisa Data
Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan
mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau
masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut data yang
dipahami dengan mudah. Tekhnik analisa data yang digunakan adalah dengan
mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara kedalam suatu pola.
Mengkategorikan setiap sumber informasi dan data dengan
menghubung-hubungkan data yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Melalui analisa
data ini dapat ditemukannya kesimpulan yang menjelaskan penelitian yang telah
disusun secara sistematis.
1.6.3 Rangkaian Pengalaman Penelitian di Lapangan
Guna mendukung data yang akurat saya akan mendeskripsikan secara
dengan sederhana pengalaman yang diperoleh selama penelitian dilakukan. Hal ini
merupakan bagian dari penelitian antropologis, yang mana dalam pengalaman
penelitian akan membantu penyempurnaan data lapangan. Pengalaman penelitian
di lapangan memberikan suatu hal yang baru bagi saya. Pengalaman tersebut
membuat saya belajar memahami situasi di sekitar wilayah penelitian. Situasi
tersebut dapat membuat saya tertawa, terharu bahkan sedih dan terkadang jengkel.
Pengalaman ini dimulai dari pengurusan surat ijin penelitian dan terjun
langsung ke lapangan. Selama penelitian saya menghadapi orang-orang baru dan
situasi baru yang sangat asing. Namun seiring dengan berjalannya penelitian saya
semakin terbiasa dengan situasi tersebut. Banyak kendala yang dihadapi saat
melakukan penelitian mengenai kemajemukan hukum yang terjadi di
perkeretaapian Sumatera Utara ini. Salah satunya adalah masalah mendapatkan
Diawali dengan pemberian surat ijin ke kantor kepala stasiun kereta api.
Saat mengantarkan surat ijin tersebut saya ditemani oleh salah seorang teman.
Sesampai di stasiun saya meminta ijin untuk mengantarkan surat ijin penelitian ke
kantor kepala stasiun. Petugas penjaga pintu masuk stasiun hanya
memperbolehkan orang yang bersangkutan dengan penelitian tersebutlah yang
diijinkan untuk masuk dan menemui kepala stasiun. Akhinya saya masuk ke
dalam kantor kepala stasiun namun yang bersangkutan tidak berada di tempat.
Hingga akhirnya surat ijin tersebut diberikan kepada wakilnya.
Di dalam kantor tersebut telah dipenuhi oleh dua orang wartawan dari
instansi yang berbeda. Mereka membicarakan tentang ijin peliputan berita dan
meminta data kelajuan penumpang sepanjang tahun 2013. Akan tetapi saya tidak
ditanya seputar penelitian yang akan dilakukan, wakil kepala stasiun tersebut
hanya memberikan sebuah penjelasan bahwa surat ini seharusnya diserahkan ke
kantor kereta api langsung dan hubungi bagian hukum yang ada di kantor tersebut.
Salah satu pegawai stasiun mengatakan pada saya bahwa “orang libur kok
kamu penelitian sih dek” saya hanya menjawab dengan senyuman. Kondisi saat
itu mendekati libur hari raya. Kemudian saya bergegas pergi meninggalkan
stasiun. Karena dalam situasi yang libur saya memilih menyerahkan surat ijin
selesai libur hari raya ke kantor kereta api yang letaknya berada di belakang
stasiun kereta api Medan. Sesampainya di kantor kereta api tersebut saya
diantarkan oleh seorang scurity menuju kantor bagian umum yang mengurus