Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri (
Self Control
)
Remaja pada Siswa/i di SMA Negeri 17 Medan
SKRIPSI
oleh
Yeni Cecilia Dwi Putri
111101117
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
oleh
Yeni Cecilia Dwi Putri
111101117
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
skripsi saya yang berjudul: Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri
(SelfControl) Remaja pada Siswa/i di SMA Negeri 17 Medan, dapat diselesaikan dengan baik.
Selama proses skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan,bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Penulis menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik mulai dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, tentulah akan terasa sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati, S.Kp., MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Reni Asmara Ariga, S.Kp, MARS selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu dan perhatiannya dengan penuh kesabaran
dalam memberikan masukan, arahan, dukungan serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Cholina Trisa Siregar, S.Kep, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen penguji I
yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
7. Kedua orang tua saya, yakni Bapak saya Lontius Marbun dan Ibu saya Tianur Siregar, S.Pd yang telah memberikan bantuan, dukungan material dan moral serta doa demi kemudahan dalam menyelesaikan pendidikan,
juga kakak saya Tri Oktavia Marbun, adik saya Agnes Putri S. Marbun dan Josua Leonardi Marbun yang telah memberikan dukungan dan doa untuk
saya.
8. Sahabat-sahabat terbaik saya Chindy, Putry, Stephanie, Helena, Berlyana, Linda dan Tamaulina yang telah membantu dan memotivasi dalam
penyusunan skripsi ini.
9. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menempuh
pendidikan dan penyusunan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya, dan penulis juga menerima saran yang membangun dari semua pihak untuk hasil yang
lebih baik. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Medan, Juli 2015
Penulis
Halaman Pengesahan Skripsi ... iii
2.1.2 Ciri-ciri Percaya Diri ... 9
2.1.3 Proses Pembentukan Rasa Percaya Diri ...11
2.1.4 Gejala tidak Percaya Diri pada Remaja ...12
2.1.5 Aspek-aspek Percaya Diri ...12
2.1.6 Dampak Percaya Diri ...13
2.1.7 Faktor yang mempengaruhi Percaya Diri ...14
2.1.8 Usaha Menumbuhkan Percaya Diri Remaja ...16
2.1.9 Konsekuensi Rendahnya Percaya Diri ...17
2.2. Pengendalian Diri (Self Control) 2.2.1. Defenisi ...18
2.2.2. Fungsi Pengendalian Diri ...20
2.2.3. Aspek-aspek Pengendalian Diri ...21
2.2.4. Faktor yang mempengaruhi Pengendalian Diri ...24
2.2.5. Tipe Pengendalian Diri ...25
2.2.6. Jenis-jenis Pengendalian Diri ...25
2.2.7. Ciri Pengendalian Diri Tinggi ...26
2.2.8. Ciri Pengendalian Diri Rendah ...27
2.2.9. Pengendalian Diri Remaja ...27
2.3. Remaja 2.3.1. Defenisi ...29
2.3.2. Batasan Usia Remaja ...30
BAB III KERANGKA PENELITIAN
4.3. Lokasi dan Waktu penelitian ...40
4.4. Pertimbangan etik ...40
4.5. Instrumen penelitian ...41
4.6. Uji validitas dan Reliabilitas ...45
4.7. Pengumpulan Data ...46
5.1.4. Hubungan Percaya Diri dengan ...52
Pengendalian Diri Remaja 5.2. Pembahasan ...53
5.2.1. Percaya Diri Siswa/i SMAN 17 Medan ...53
5.2.2. Pengendalian Diri Siswa/i SMAN 17 Medan...58
5.2.3. Hubungan Percaya Diri dengan ...61
Pengendalian Diri Remaja BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan...64
6.2. Saran ...65
Lampiran 4 Hasil Reliabilitas...82
Lampiran 5 Master Tabel ...85
Lampiran 6 Hasil Penelitian ...96
Lampiran 7 Jadwal Tentatif Penelitian ...98
Lampiran 8 Taksasi Dana...99
Lampiran 9 Surat Validitas Kuesioner ...100
Lampiran 10 Surat Etik Penelitian ...101
Lampiran 11 Surat PermohonanUji Reliabilitas ...102
Lampiran 12 Surat IzinUji Reliabilitas dari Dinas Pendidikan ...103
Lampiran 13 Surat Balasan Reliabilitas ...104
Lampiran 14 Surat PermohonanIzin Penelitian ...105
Lampiran 15 Surat Izin Penelitian dari Dinas Pendidikan ...106
Lampiran 16 Surat Selesai Penelitian ...107
Tabel 4.1 Pedoman Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi ... 49
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Karakteristik Demografi ... 50 Responden
Tabel 5.2 Distribusi Tingkat Percaya Diri Siswa/i di ... 51 SMA Negeri 17 Medan
Tabel 5.3 Distribusi Tingkat Pengendalian Diri Siswa/i di ... 51 SMA Negeri 17 Medan
Tahun Akademik : 2014/2015
ABSTRAK
Masa remaja merupakan masa badai dan tekanansehingga remaja harus memiliki pengendalian diri yang baik. Percaya diri merupakan salah satu modal dalam kehidupan yang harus ditumbuhkan pada remaja agar kelak mereka dapat menjadi manusia yang mampu mengontrol berbagai aspek pada dirinya, dengan kemampuan tersebut remajabisa lebih jernihmengatur tujuan dan sasaran pribadi yang jelas, maka akan mampu mengarahkan perilaku menuju keberhasilan. Remaja yang percaya diri memiliki pengendalian diri yang baik.Pengendalian diri remaja adalah kemampuan remaja dalam membimbing tingkah laku sendiri dan kemampuan untuk menekan atau merintangi implus-implus atau tingkah laku implusive sehingga dapat terhindar dari pengrusakan diri dan perilaku menyimpang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran percaya diri dan pengendalian diri remaja serta hubungan percaya diri dengan pengendalian diri remaja pada siswa/i di SMA Negeri 17 Medan. Desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelatif. Sampel diambil dari siswa/i dengan teknik random sampling sebanyak 88 sampel.Metode pengumpulan data adalah dengan mengisi kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa percaya diri siswa/i dalam kategori tinggi sebanyak 96,6% dan rendah 3,4%, sedangkan pengendalian diri remaja pada siswa/i menunjukkan kategori baik sebanyak 90,9%dan buruk 9,1%. Hasil korelasi didapatkan bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan signifikan dengan interpretasi rendah, yaitu rs sebesar 0,376 dengan nilai signifikan p = 0,000. Diharapkan kepada remaja agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga remaja dapat mengendalikan diri dengan baik.
Tahun Akademik : 2014/2015
ABSTRAK
Masa remaja merupakan masa badai dan tekanansehingga remaja harus memiliki pengendalian diri yang baik. Percaya diri merupakan salah satu modal dalam kehidupan yang harus ditumbuhkan pada remaja agar kelak mereka dapat menjadi manusia yang mampu mengontrol berbagai aspek pada dirinya, dengan kemampuan tersebut remajabisa lebih jernihmengatur tujuan dan sasaran pribadi yang jelas, maka akan mampu mengarahkan perilaku menuju keberhasilan. Remaja yang percaya diri memiliki pengendalian diri yang baik.Pengendalian diri remaja adalah kemampuan remaja dalam membimbing tingkah laku sendiri dan kemampuan untuk menekan atau merintangi implus-implus atau tingkah laku implusive sehingga dapat terhindar dari pengrusakan diri dan perilaku menyimpang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran percaya diri dan pengendalian diri remaja serta hubungan percaya diri dengan pengendalian diri remaja pada siswa/i di SMA Negeri 17 Medan. Desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelatif. Sampel diambil dari siswa/i dengan teknik random sampling sebanyak 88 sampel.Metode pengumpulan data adalah dengan mengisi kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa percaya diri siswa/i dalam kategori tinggi sebanyak 96,6% dan rendah 3,4%, sedangkan pengendalian diri remaja pada siswa/i menunjukkan kategori baik sebanyak 90,9%dan buruk 9,1%. Hasil korelasi didapatkan bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan signifikan dengan interpretasi rendah, yaitu rs sebesar 0,376 dengan nilai signifikan p = 0,000. Diharapkan kepada remaja agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga remaja dapat mengendalikan diri dengan baik.
Pengendalian diri (self control) merupakan salah satu kebutuhan remaja
yang harus dipenuhi (Jahja, 2011). Remaja membutuhkan pengendalian diri karenaremaja pada umumnya berada pada masa badai dan tekanan (Arnett, 1999 dalam Gunarsa, 2004). Remaja berada pada masa badai dan tekanan(storm and
stress) karenaremaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib sendiri, jika terarah dengan baik maka ia akan menjadi seseorang yang memiliki
rasa tanggung jawab, namun jika tidak maka ia bisa menjadi seseorang yang tidak memiliki masa depan yang baik (Ardina, 2014). Stanley Hall mengatakan bahwa tidak seluruh remaja mengalami masa badai dan tekanan namun lebih besar
kemungkinannya terjadi pada masa remaja (dalam Kaha, 2012).
Remaja pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), umumnya berada
pada rentang usia 15-17 tahun, dalam konteks psikologi perkembangan individu berada pada fase remaja tengah (middle adolescent).Masa remaja tengah membutuhkan pengendalian diri yang baik sebab masa remaja tengah adalah masa
dimana remaja ingin lepas dari orang tua dan mengeluh jika orangtua terlalu ikut campur dalam kehidupannya (Batubara, 2010). Pengendalian diri yang buruk pada
masa remaja tengah dapat menyebabkan perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial di kalangan masyarakat karena masa remaja tengah merupakan masa
Pengendalian diri yang baik mampu membuat remaja mengendalikan godaan-godaan yang datang selama studi agar mereka dapat berkonsentrasi penuh
pada bidang studinya (Gunarsa, 2004). Pengendalian diri dibutuhkan remaja dalam proses memotivasi diri untuk memperoleh prestasi akademik yang tinggi
(Astuti dan Resminingsih, 2010). Remaja juga perlu memiliki kemampuan pengendalian diri yang memadai untuk mencegah agar remaja tidak masuk ke dalam arus perubahan,seperti dalam bidang kejahatansebab pengendalian diri
yang rendah pada masa remaja mengakibatkan remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan (Gunarsa, 2008).
Goldfried dan Merbaum (1973) mengatakan bahwa pengendalian diri (selfcontrol) adalah proses dimana seorang individu menjadi pihak utama membentuk, mengarahkan dan mengatur perilaku yang akhirnya diarahkan pada
konsekuensi positif (dalam Rachdianti, 2011).Individu dengan pengendalian diri yang baik mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang lebih jelas dan terarah
(Fadillah, dkk, 2013). Averill (1973) berpendapat bahwa pengendalian diri terdiri atas tiga aspek, yaitu: kendali perilaku, kendali kognitif dan kendali keputusan.
Kendali diri atau pengendalian diri erat kaitannya dengan kondisi
emosional seseorang, individu yang pandai mengelola emosi dapat mengendalikan diri dengan baik (Fadillah, 2013). Weinberg & Gould (2003)
mengatakan bahwa salah satu dampak positif dari percaya diri adalah perkembangan emosi yang positif (dalam Wicaksono, 2009). Seseorang yang
Orang yang percaya diri juga bisa dilihat dari ketenangan mereka dalam mengendalikan diri sendiri, selain itu orang yang percaya diri tinggi tidak mudah
terpengaruh oleh situasi yang kebanyakan orang menilainya negatif (Fatchurahman & Pratiko, 2012). Penelitian kejiwaan juga menegaskan bahwa
upaya mengendalikan diri tidak bisa dilaksanakan dengan baik tanpa adanya rasa percaya diri yang mantap (Uqshari, 2005).
Percaya diri merupakan salah satu modal dalam kehidupan yang harus
ditumbuhkan pada diri setiap siswa agar kelak mereka dapat menjadi manusia yang mampu mengontrol berbagai aspek yang ada pada dirinya sehingga siswa
akan lebih jernih dalam mengatur tujuan dan sasaran pribadi yang jelas, maka akan lebih mampu dalam mengarahkan perilaku menuju keberhasilan (Rohayati, 2011). Rasa percaya diri pada remaja dapat menimbulkan kesanggupan pada
dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya (Kartono, 1995 dalam Andriyanto, 2012).Individu yang kehilangan kepercayaan
diri akan sulit untuk memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan pada dirinya (Hamdan, 2009). Beberapa karakteristik yang mengindikasikan remaja yang kurang percaya diri, yaitu: memiliki motivasi yang rendah untuk belajar,
berkompetisi, dan mengembangkan diri, kepribadian yangcenderung labil, senang meniru dan tidak mentaati tata tertib sekolah (Idrus, 2011).
Hattie dalam penelitiannya mengatakan bahwa rasa percaya diri dapat membuat seseorang mempunyai pandangan positif serta kendali diri yang baik
seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang lemah (Harta, 2010). Penelitian Mustofa Rifki (2008), percaya diri pada remaja membuat remaja mampu
mengendalikan diri sehingga mendapatkan prestasi belajar yang baik. Remaja yang memiliki pengendalian diri yang baik menunjukkan sifat ulet, mandiri, tidak
mudah terpengaruh oleh orang lain dan mampu mengatur dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 2005).
Penelitian Gottfredson dan Hirschi’s (1990 dalam Praptiani, 2013) tentang “A general theory of crime” menjelaskan bahwa rendahnya pengendalian diri pada
individu dapat menyebabkan terjadinya perilaku kejahatan. Jika remaja memiliki
pengendalian diri yang baik sebagai bagian dari dirinya (terinternalisasi), tingkat kenakalan yang ditimbulkan oleh remaja tersebut akan cenderung mengalami
penurunan (Fadillah, 2013). Siswa yang tidak mampu mengendalikan diri dapat menunjukkan perilaku, seperti: suka mengejek teman, tidak menghargai guru dan teman, tidak menunjukkan kedisiplinan, dan lain sebagainya (Puspita, dkk, 2013).
Hilangnya kendali diri pada siswa juga dapat menimbulkan berbagai masalahmisalnya merokok, meminum minuman beralkohol, berjudi, mencontek,
berkelahi dan lain sebagainya (Widodo, 2013).
Peneliti sangat tertarik melakukan penelitian ini karena banyak fenomena
yang terjadi pada siswa/i di lingkungan sekolah terkait kurangnya kepercayaan diri dan dampaknya terhadap pengendalian diri (self control) remaja. Penelitian ini akan dilakukan pada siswa/i di SMAN17 Medan untuk mengetahui
siswi di sekolah ini yang kurang percaya diri dan kurang mampu mengendalikan diri.Hal itu membuat peneliti meneliti lebih lanjut tentang “Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri (Self Control) Remaja pada Siswa/i di SMA
Negeri 17 Medan”.
1.1. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana hubungan antara percaya diri dengan pengendalian diri
(selfcontrol) remaja pada siswa/i di SMAN 17 Medan ?
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui hubungan percaya diri dengan pengendalian diri (self control) pada remaja di SMAN 17 Medan
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Untuk dapat mengetahui gambaran percaya diri siswa/i di
SMAN 17 Medan
2. Untuk dapat mengetahui pengendalian diri (self control) remaja pada siswa/i di SMAN 17 Medan.
3. Untuk mengidentifikasi hubungan percaya diri dengan pengendalian diri (Self Control) pada siswa/i di SMA Negeri
1.3. Manfaat
1.3.1. Praktek Keperawatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dan masukan dalam melakukan praktek keperawatan sehingga mendapatkan hasil yang
maksimal.
1.3.2. Peneliti Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dan bahan
perbandingan untuk penelitian selanjutnya terkait masalah percaya diri dan pengendalian diri pada remaja.
1.3.3. Bagi Masyarakat
Khususnya bagi remaja agar dapat mengetahui pentingnya sikap percaya diri di dalam proses kehidupan khususnya dalam
meningkatkan pengendalian diri (self control). 1.3.4. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak institusi pendidikan khususnya guru BK (Bimbingan dan Konseling) tentang hubungan percaya diri dengan pengendalian
2.1. Percaya Diri 2.1.1. Defenisi
Salah satu aspek kepribadian yang penting adalah percaya diri. Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian yang harus dicapai dalam diri individu yang berfungsi untuk mengaktualisasi potensi yang dimiliki
yang ditunjukkan dengan adanya sikap yakin atau merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, merasa diterima oleh lingkungannya dan
memiliki ketenangan sikap (Guildford, 1959 dalam Amyani, 2010). Percaya diri adalah kunci kesuksesan hidup seseorang, tanpa rasa percaya diri, seseorang tidak dapat merealisasikan tujuannya. Bahkan, seseorang
yang tidak percaya diri akan mengalami kegagalan, patah semangat, dan kelesuan. Percaya diri akan menjadikan seseorang hidup sehat, cerdas,
berani, fokus, semangat, bijak, kuat jiwa dan akhlaknya, rendah hati, toleran, lapang dan tenang (Al Aqshari, 2005).Kepercayaan diri merupakan sesuatu yang urgen untuk dimiliki setiap individu.
Kepercayaan diri diperlukan baik oleh seorang anak maupun orangtua, secara individual maupun kelompok (Ghufron& Rini, 2010).
Konsep percaya diri pada dasarnya merupakan suatu keyakinan untuk menjalani kehidupan, mempertimbangkan pilihan dan membuat
sesuatu (Suhardita, 2011). Dengan memiliki percaya diri, seseorang dapat melakukan apapun dengan keyakinan bahwa itu akan berhasil, apabila
ternyata gagal, seseorang tidak lantas putus asa, tetapi tetap masih mempunyai semangat, tetap bersikap realistis, dan kemudian dengan
mantap mencoba lagi (Widarso, 2005 dalam Rohayati, 2011).
Percaya diri (self confidence) merupakan salah satu modal dalam kehidupan yang harus ditumbuhkan pada diri setiap siswa agar kelak
mereka dapat menjadi manusia yang mampu mengontrol berbagai aspek yang ada pada dirinya, dengan kemampuan tersebut siswa akan lebih
jernihdalam mengatur tujuan dan sasaran pribadi yang jelas, maka akan lebih mampu dalam mengarahkan perilaku menuju keberhasilan (Rohayati, 2011). Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada
kemampuan-kemampuan yang dimiliki, keyakinan pada suatu maksud atau tujuan dalam kehidupan dan percaya bahwa dengan akal budi mampu untuk
melaksanakan apa yang diinginkan, direncanakan dan diharapkan (Davies, 2004).
Percaya diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala
aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya
(Hakim, 2002). Lauster (1990) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri, sehingga
(bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan, sehingga upaya-upaya
tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri.
Kepercayaan diri bukan arogansi-perilaku memamerkan kepandaian, membanggakan diri dan sombong yang seringkali merupakan model pembelaan yang digunakan oleh mereka yang tidak memiliki
kepercayaan diri, guna melindungi keterancamannya. Orang-orang yang percaya diri merasa dirinya aman dengan mengetahui bakatnya, sangat
rilek dan ingin mendengar dan belajar dari orang lain (Taylor, 2003). Berdasarkan beberapa definisi percaya diri di atas, dapat disimpulkan bahwa percaya diri merupakan keyakinan seseorang terhadap
segala aspek kelebihan yang dimiliki dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya, tidak
mudah terpengaruh oleh orang lain dan lebih mampu mengarahkan perilaku menuju keberhasilan.
2.1.2. Ciri-ciri Percaya Diri
Rasa percaya diri erat sekali kaitannya dengan self-esteem atau seberapa tinggi orang menghargai, menilai dan menghormati dirinya
sendiri. Cara seseorang menerima dan meyakini keadaan dirinya akan mempengaruhi perilaku tersebut (Lestari, 2008).
mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai, mampu menetralisasi ketegangan yang muncul di dalam berbagai situasi, mampu menyesuaikan
diri dan berkomunikasi di berbagai situasi, memiliki kondisi mental dan fisik yang cukup menunjang penampilannya, memiliki kecerdasan yang
cukup, memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup, memiliki keahlian atau keterampilan lain yang menunjang kehidupannya, misalnya keterampilan berbahasa asing, memiliki kemampuan bersosialisasi,
memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik, memiliki pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dan tahan di
dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, selalu bereaksi positif di dalam menghadapi berbagai masalah, misalnya dengan tetap tegar, sabar dan tabah dalam menghadapi persoalan hidup. (Hakim, 2005).
Menurut Hakim (2002), remaja yang memiliki kepercayaan diri memiliki ciri atau karakteristik seperti berpikir positif, memiliki
kompetensi/kemampuan diri, mandiri, optimis, berani menjadi diri sendiri, bersikap tenang, serta mampu bersosialisasi dengan orang lain.
Menurut Jacinta F Rini (2002 dalam Admini, 2013) dari team
e-psikologi, ciri-ciri orang yang percaya diri yaitu : percaya akan kompetensi atau kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan,
penerimaan atau pun rasa hormat orang lain, tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau
emosinya stabil), memilih internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak
mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan orang lain), mempunyai cara pandang yang positif
terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya, memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang
terjadi.
Hurlock (1980 dalam Pratikto dan Fatchurahman, 2012) menyatakan
bahwa seseorang memiliki percaya diri tinggi jika ia mampu membuat pernyataan-pernyataan positif mengenai dirinya, dengan tidak perlu membandingkan dengan orang lain, menghargai diri sendiri, serta mampu
mengejar harapan-harapan yang kemungkinan membuatnya sukses.
2.1.3. Proses Pembentukan Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang. Ada proses tertentu di dalam pribadi seseorang sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri. Secara garis besar, terbentuknya rasa
percaya diri yang kuat terjadi melalui proses, yaitu (Hakim, 2002) :
a. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses
perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.
b. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
c. Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri
atau rasa sulit menyesuaikan diri.
d. Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan
menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.
Kekurangan pada salah satu proses tersebut, kemungkinan besar akan mengakibatkan seseorang mengalami hambatan untuk memperoleh rasa
percaya diri.
2.1.4. Gejala tidak Percaya Diri pada Remaja
Gejala tidak percaya diri pada remaja antara lain takut menghadapi ulangan, menarik perhatian dengan cara kurang wajar, tidak berani bertanya dan menyatakan pendapat, grogi saat tampil di depan kelas,
timbulnya rasa malu yang berlebihan, tumbuhnya sikap pengecut, sering mencontek saat menghadapi tes, mudah cemas dalam menghadapi
berbagai situasi, salah tingkah dalam menghadapi lawan jenis, tawuran dan main keroyok (Hakim, 2002).
2.1.5. Aspek-aspek Rasa Percaya Diri
Afiatin dan Martaniah (1998) merumuskan beberapa aspek dari Lauster dan Guilford yang menjadi ciri maupun indikator dari kepercayaan
diri yaitu :
a. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan. Hal ini
selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta
bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya.
b. Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilandasi oleh
adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya, aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan
kehendak atau ide‐idenya secara bertanggung jawab dan tidak
mementingkan diri sendiri.
c. Individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Ia bersikap tenang, tidak mudah gugup, cukup toleran terhadap berbagai macam situasi.
2.1.6. Dampak Percaya Diri
Kepercayaan diri akan memberikan suatu dampak kepada diri
individu. Hal ini dijelaskan oleh Weinberg dan Gould (Setiadarma, 2000) bahwa rasa percaya diri memberikan dampak-dampak positif pada hal-hal berikut ini :
a. Emosi, individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi akan
lebih mudah mengendalikan dirinya di dalam suatu keadaan yang menekan.
c. Sasaran, individu cenderung mengarahkan pada sasaran yang cukup menantang, karenanya ia juga akan mendorong dirinya untuk
berupaya lebih baik.
d. Usaha, individu tidak mudah patah semangat atau frustasi dalam
berupaya meraih cita-citanya dan cenderung tetap berusaha kuat secara optimal sampai usahanya berhasil.
e. Strategi, individu mampu mengembangkan berbagai strategi untuk
memperoleh hasil usahanya.
2.1.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Percaya Diri
Rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Jacinta F. Rini, 2002):
2.1.7.1. Faktor Internal, meliputi : a. Konsep diri
Terbentuknya percaya diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Menurut Centi (1995), konsep diri merupakan gagasan
tentang diri sendiri. Individu yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya individu yang
mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif. b. Harga diri
rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Individu yang mempunyai harga diri tinggi
cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima
dirinya sendiri. Akan tetapi, individu yang mempunyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.
c. Kondisi fisik
Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada rasa percaya diri.
Anthony (1992) mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. Lauster (1997) juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan
rasa rendah diri yang kentara. 2.1.7.2. Faktor eksternal, meliputi :
a. Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi percaya diri individu. Anthony (1992) lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah
cenderung membuat individu merasa di bawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi
cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan
b. Pekerjaan
Bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta
rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang
diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga didapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri.
c. Lingkungan
Lingkungan di sini merupakan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan
keluarga, seperti anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat semakin bisa memenuhi norma
dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang (Centi, 1995).
d. Pengalaman hidup
Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi
sumber timbulnya rasa rendah diri. Apalagi jika pada dasarnya individu memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang
perhatian.
2.1.8. Usaha menumbuhkan Rasa Percaya Diri Remaja
“Adolescence” (2003). Ada empat cara untuk menumbuhkan rasa percaya
diri remaja yaitu: mengidentifikasi penyebab dari rendahnya rasa percaya
diri dan domain-domain kompetensi diri yang penting, memberikan dukungan emosional dan penerimaan sosial, adanya prestasi dan mengatasi
masalah
Menurut Drs. Thursan Hakim dalam bukunya yang berjudul “Mengatasi Rasa tidak Percaya Diri”, ada beberapa pola pendidikan yang
bisa diterapkan untuk membangun rasa percaya diri yang sehat pada remaja, diantaranya: menerapkan pola pendidikan yang demokratis,
menumbuhkan sikap mandiri, menumbuhkan harga diri, menumbuhkan sikap tanggung jawab, memberikan penghargaan, memberikan hukuman jika berbuat salah, mengembangkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki
remaja, menganjurkan untuk mengikuti berbagai kegiatan kelompok, memberikan pendidikan agama, menerapkan disiplin, memperluas
pergaulan, memberikan pendidikan non formal (keterampilan, kursus dan lain-lain).
2.1.9. Konsekuensi dari Rendahnya Rasa Percaya Diri
Untuk sebagian besar remaja, rendahnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara
(Damon, 1991 dalam Santrock, 2003). Tetapi bagi beberapa remaja, rendahnya rasa percaya diri dapat menimbulkan banyak masalah.
(Damon & Hart, 1988; Fenzel, 1994; Harter & Marold, 1992; Markus & Nurius, 1986; Pfeffer, 1986 dalam Santrock, 2003). Tingkat keseriusan
masalah tidak hanya tergantung pada rendahnya rasa tidak percaya diri, namun juga kondisi-kondisi lainnya. Ketika tingkat percaya diri yang
rendah berhubungan dengan proses perpindahan sekolah atau keluarga yang sulit, atau dengan kejadian-kejadian yang membuat tertekan, masalah yang muncul pada remaja dapat menjadi meningkat (Rutter & Garmezy,
1983; Simmons & Blyth, 1987 dalam Santrock, 2003). 2.2. Pengendalian Diri (Self Control)
2.2.1. Defenisi
Menurut Averill (1973), pengendalian diri merupakan variabel psikologis yang sederhana karena di dalamnya tercakup tiga konsep yang
berbeda tentang kemampuan mengontrol diri yaitu kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola
informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi serta kemampuan individu untuk memilih suatu tindakan berdasarkan suatu yang diyakini.Pengendalian diri (self control) merupakan kemampuan
seseorang dalam mengendalikan perilaku mereka guna mencapai tujuan tertentu (Fadillah, 2013).Pengendalian diri merupakan seperangkat tingkah
laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, keberhasilan menangkal pengrusakan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri
dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab diri pribadi (Messina & Messina, 2003 dalam Gunarsa,
2004).
Goldfried dan Merbaum (1973), pengendalian diri (selfcontrol)
adalah proses dimana seorang individu menjadi pihak utama membentuk, mengarahkan dan mengatur perilaku yang akhirnya diarahkan pada konsekuensi positif (dalam Rachdianti, 2011). Pengendalian diri adalah
kemampuan seseorang untuk mengatur kelakuan/tingkah lakunya sendiri saat ia dihadapkan dengan gangguan/godaan yang berat ataupun tekanan
lingkungan tanpa pertolongan hadiah-hadiah nyata, misalnya dukungan (Gunarsa, 2002). Pengendalian diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau
merintangi implus-implus atau tingkah laku implusive (Chaplin, 2004). Calhoun dan Acocella (1990 dalam dalam Khairunnisa, 2013),
mendefinisikan kendali diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain kendali diri merupakan serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri.
Beberapa pengertian di atas, menyimpulkan bahwa pengendalian diri (self control) adalah kemampuan individu dalam membimbing tingkah
lakudanmenekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif yang tercakup dalam tiga konsep kendali diri, yaitu: kendali perilaku,
2.2.2. Fungsi Pengendalian Diri
Menurut Gul dan Pesendorfer (2000 dalam Sriyanti, 2012),
pengendalian diri berfungsi untuk menyelaraskan antara keinginan pribadi (self-interest) dan godaan (temptation).Kemampuan seseorang
mengendalikan keinginan-keinginan diri dan menghindari godaan ini sangat berperan dalam pembentukan perilaku yang baik.
Messsina dan Messina (2003 dalam Meytasari, 2013) menyatakan
bahwa pengendalian diri memiliki beberapa fungsi: a. Membatasi perhatian individu kepada orang lain
Dengan adanya pengendalian diri, individu akan memberikan perhatian pada kebutuhan pribadinya pula, tidak sekedar berfokus pada
kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain di lingkungannya. Perhatian yang terlalu banyak pada kebutuhan, kepentingan, atau
keinginan orang lain, cenderung akan menyebabkan individu mengabaikan bahkan melupakan kebutuhan pribadinya.
b. Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di
lingkungannya.
Dengan adanya pengendalian diri, individu akan membatasi ruang
bagi aspirasi dirinya dan memberikan ruang bagi aspirasi orang lain supaya dapat terakomodasi secara bersama-sama. Individu akan membatasi keinginannya atas keinginan orang lain, memberikan
masing-masing, atau bahkan menerima aspirasi orang lain tersebut secara penuh.
c. Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif
Individu yang memiliki pengendalian diri akan terhindar dari
berbagai tingkah laku negatif. Pengendalian diri memiliki arti sebagai kemampuan individu untuk menahan dorongan atau keinginan untuk bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Tingkah laku
yang tidak sesuai dengan norma sosial tersebut meliputi ketergantungan obat atau zat kimia, alkohol, rokok serta bermain judi.
d. Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang
Pemenuhan kebutuhan hidup menjadi motif bagi setiap individu
dalam bertingkah laku. Individu yang memiliki pengendalian diri yang baik, akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dalam takaran yang
sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Dalam hal ini, pengendalian diri membantu individu dalam menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup seperti tidak memakan makanan secara
berlebihan, tidak melakukan hubungan seks secara berlebihan dan lain-lain.
2.2.3. Aspek-aspek Pengendalian Diri
Averill (1973, dalam Ghufron & Rini, 2010), berpendapat
a. Kendali perilaku (behavior control)
Kendali perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respon
yang dapat secara langsung memengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini
diperinci menjadi dua komponen, yaitu: a) Kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration), yaitu: kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya
sendiri atau sesuatu di luar dirinya. Individu dengan kontrol diri yang baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya
dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, b) Kemampuan mengatur stimulus (stimulus modifiability), yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak
dikehendaki dihadapi.
b. Kendali kognitif (cognitive control)
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan individu untuk mengelola informasi yang tidak diinginkan degan cara menginterpretasi, menilai, atau memadukan suatu kejadian dalam kerangka positif sebagai
adaptasi psikologis atau mengurangi tekanaan.Aspek ini terdiriatas dua komponen, yaitu: a) Kemampuan mengantisipasiperistiwa (information
gain). Berpijak pada informasi yangdimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidakmenyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan
berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
c. Kendali keputusan (decisional control).
Kemampuan mengambil keputusan merupakan kemampuan seseorang
untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan
pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.
Ketiga aspek ini menjadi penting bagi individu dalam menentukan
model perilaku mana yang akan ditampilkan.
Aspek lain yang terdapat dalam pengendalian diri seseorang meliputi: a. Kendali Emosi
Seseorang dengan kendali emosi yang baik, cenderung akan memiliki kendali pikiran dan fisik yang baik pula.
b. Kendali Pikiran
Jika belum apa-apa sudah berpikir gagal, maka semua tindakan akan mengarah pada terjadinya kegagalan. Jika berpikir bahwa sesuatu
pekerjaan tidak mungkin dilakukan, maka akan berhenti berpikir untuk mencari solusi.
c. Kendali Fisik
Kondisi badan fit adalah salah satu faktor kunci dalam menunjukkan
2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengendalian diri (Self Control) Sebagaimana faktor psikologis lainnya, pengendalian diri dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Menurut Ghufron dan Rini (2010 dalam Heni, 2013) secara garis besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian diri
terdiri dari :
a. Faktor internal
Faktor internal yang ikut andil terhadap pengendalian diri adalah usia.
Semakin bertambah usia seseorang maka, semakin baik kemampuan mengendalikan diri seseorang itu dari diri individu. Individu yang
matang secara psikologis juga akan mampu mengontrol perilakunya karena telah mampu mempertimbangkan mana hal yang baik dan yang tidak baik bagi dirinya.
b. Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana
kemampuan mengendalikan diri seseorang. Bila orangtua menerapkan disiplin kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini, dan orangtua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan
anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap konsisten ini akan diinternalisasi oleh anak dan kemudian akan
menjadi kendali diri baginya.
Calhoun & Acocella (dalam Fika Ariani Utami & Sumaryono, 2008:
a. Memilih dengan tidak tergesa-gesa.
b. Memilih di antara dua perilaku yang bertentangan, yang satu
memberikan kepuasan seketika dan satunya memberikan reward jangka panjang.
c. Memanipulasi stimulus dengan tujuan membuat sebuah perilaku menjadi tidak mungkin dan perilaku satunya lebih memungkinkan. 2.2.5. Tipe Pengendalian diri
Tipe Pengendalian Diri Rosenbaum (dalam Safaria, 2004) mengembangkan modelteoritis tentang kendali dalam tiga tipe, yaitu
redresif, reformatif, daneksperiensial.
a. Pengendalian diri tipe redresif. Pengendalian diri tipe redresif berfokus pada proses pengendalian diri.
b. Pengendalian diri tipe reformatif. Pengendalian diri tipe reformatif berfokus pada bagaimana mengubah gaya hidup, pola perilaku, dan
kebiasaan-kebiasaan yang destruktif.
c. Pengendalian diri tipe eksperiensial. Pengendalian diri tipe eksperiensial merupakan kemampuan individu untuk menjadi sensitif
dan menyadari perasaan-perasaannya dan penghayatanakan stimuli dari lingkungan yang spesifik.
2.2.6. Jenis-jenis Pengendalian diri
Pengendalian diri (selfcontrol) memiliki jenis yang beragam. Block
a. Over Control, yaitu pengendalian diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri
dalam bereaksi terhadap stimulus.
b. Under Control, yaitu suatu kecenderungan individu untuk melepaskan
impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang masak.
c. Appropriate Control, yaitu pengendalian individu dalam upaya mengendalikan implus secara tepat.
2.2.7. Ciri-ciri Pengendalian Diri (Self Control) tinggi
Logue & Forzano (1995 dalam Aroma & Suminar, 2012), beberapa
ciri-ciri remaja yang memiliki kendali diri tinggi adalah sebagai berikut: a. Tekun dan tetap bertahan dengan tugas yang harus dikerjakan,
walaupun menghadapi banyak hambatan.
b. Dapat mengubah perilaku menyesuaikan dengan aturan dan norma yang berlaku dimana ia berada.
c. Tidak menunjukkan perilaku yang emosional atau meledak-ledak. d. Bersifat toleran atau dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang
tidak dikehendaki.
Individu yang mempunyai pengendalian diri yang baik lebih aktif
mencari informasi dan menggunakannya untuk mengendalikan lingkungan,
lebih perspektif, mempunyai daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh
orang lain, mampu menunda kepuasan, lebih ulet, bersifat mandiri, mampu
mengatur dirinya sendiri dan tidak mudah emosional (Calhoun dan Acocella,
2005). Hurlock (1990) menyimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang mampu
memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan
kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat dan dapat menilai
situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi
terhadap situasi tersebut.
2.2.8. Ciri-ciri Pengendalian diri (Self Control) rendah
Gottfredson dan Hirschi (1990 dalam Aroma & Suminar, 2012)
menyatakan bahwa individu yang memiliki pengendalian diri rendah cenderung bertindak impulsif, lebih memilih tugas sederhana dan melibatkan kemampuan fisik, egois, senang mengambil resiko, dan mudah
kehilangan kendali emosi karena mudah frustasi. Individu dengan karakteristik ini lebih mungkin terlibat dalam hal kriminal dan perbuatan
menyimpang dibanding mereka yang memiliki tingkat pengendalian diri tinggi.
Individu yang mempunyai pengendalian diri rendah sifatnya pasif,
menarik diri dari lingkungan, tingginya konformitas, tidak dapat
mendisiplinkan dirinya sendiri, hidup semaunya, mudah kompulsi, emosional
dan refleks responnya relatif kasar (Calhoun dan Acocella, 2005).
2.2.9. Pengendalian diri remaja
Self-Control pada remaja menurut Rice (dalam Singgih D. Gunarsa,
2009), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada masa
1. Hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan. Rice (1999), ada enam aspek yang sedang mengalami perubahan yang
memiliki pengaruh bagi kehidupan masa remaja. Adapun enam aspek tersebut adalah: perubahan dalam penggunaan komputer (computer
revolution), perubahan dalam kehidupan materi (materialistic revolution), perubahan dalam aspek pendidikan (education revolution), perubahan dalam aspek kehidupan berkeluarga (family revolution), perubahan dalam
aspek kehidupan seks (sexual revolution), dan perubahan dalam aspek kejahatan atau tindak kriminal yang terjadi (violence revolution). Dari
enam aspek tersebut, aspek-aspek yang perlu dicermati sehubungan dengan pengendalian diri pada remaja adalah computer revolution, materialistic revolution, education revolution, sexualrevolution, dan
violencerevolution.
2. Masa Badai dan Tekanan bagi Remaja (Storm & Stress)
Arnett (dalam Singgih D. Gunarsa, 2004), pentingnya pengendalian diri bagi remaja, juga didasari oleh fenomena bahwa masa remaja sering kali dikenal sebagai masa badai dan tekanan. Ada tiga elemen kunci yang
termasuk dalam konsep masa badai dan tekanan ini adalah:
a. Konflik dengan orangtua, sering sekali diisi dengan permasalahan
seputar larangan-larangan yang berasal dari orangtua kepada remaja. b. Gangguan suasana hati, remaja lebih sering mengalami gangguan
Namun demikian, bila ditinjau dari frekuensi suasana hati yang timbul, remaja cenderung lebih sering mengalami suasana hati yang
negatif.
c. Kecenderungan remaja untuk melakukan tingkah laku yang berisiko.
Tingkah laku berisiko didefinisikan sebagai tingkah laku yang secara potensial dapat menyebabkan celaka atau kesulitan pada orang lain maupun pada diri sendiri.
2.3. Remaja
2.3.1. Definisi
Remaja merupakan salah satu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam siklus kehidupan manusia. Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere
yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki
arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1991 dalam Ali, 2004). Masa remaja merupakan suatu periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa - merupakan waktu
kematangan fisik, kognitif, sosial dan emosional yang cepat pada anak laki-laki untuk mempersiapkan diri menjadi laki-laki dewasa dan anak
perempuan untuk mempersiapkan diri menjadi wanita dewasa. Batasan yang tegas pada remaja sulit ditetapkan, tetapi periode ini biasanya
pada sekitar usia 11 sampai 12 tahun dan berakhir dengan berhentinya pertumbuhan tubuh pada usia 18 sampai 20 tahun (Wong, et. al., 2009).
Remaja merupakan transisi antara zaman kanak-kanak dengan zaman dewasa yang melibatkan perubahan biologi, psikologi, sosial dan
ekonomi serta melibatkan perubahan peringkat tidak matang ke peringkat matang (Azizi et. Al.,2005).Masa remaja merupakan proses tumbuh kembang yang berkesinambungan dan merupakan masa peralihan dari
kanak-kanak ke dewasa muda (Depkes RI, 2005). 2.3.2. Batasan Usia Remaja
Masa remaja terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu: (a) Masa remaja awal usia 11-14 tahun; (b) Masa remaja pertengahan usia 15-17 tahun; (c) Masa remaja akhirusia 18-20 tahun (Wong,et al, 2009).
Batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai
kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut Kartini Kartono (1995 dalam Andriyanto, 2012) dibagi tiga yaitu:
a. Remaja Awal (12-15 tahun)
Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak
pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola
b. Remaja Pertengahan (15-18 tahun)
Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada
masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu
dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja
menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yangdilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja
menemukan diri sendiri atau jati dirinya. c. Remaja Akhir (18-21 tahun)
Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah
mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan
menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.
2.3.3. Aspek-aspek Perkembangan pada Masa Remaja
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,
kapasitas sensoris, dan keterampilan motorik (Papalia dan Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat
tubuh orang dewasa yang cirinya ialah kematangan. Perubahan fisik otak strukturnya semakin sempurna untuk meningkatkan kemampuan kognitif
(Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001). b. Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2011), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif
mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja telah mampu membedakan
antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide ini. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja juga
mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
c. Perkembangan Kepribadian dan Sosial
Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja ialah pencarian identitas diri. Pencarian identitas diri adalah proses menjadi
seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erickson dalam Jahja, 2011). Perkembangan sosial pada masa remaja lebih
melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Dibanding masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah
peran kelompok teman sebaya ialah besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Kelompok
teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. (Beyth-Marom, et al., 1993 dalam
Jahja, 2011).
2.3.4. Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja
Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya
meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun
tugas-tugas perkembangan masa remaja, menurut Hurlock (1991 dalam Ali, 2004) adalah berusaha: mampu menerima keadaan fisiknya, mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa, mampu menerima
hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis, mencapai kemandirian emosional, mencapai kemandirian ekonomi, mengembangkan
konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk memasuki dunia dewasa, mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan, memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab
kehidupan keluarga. 2.3.5. Kebutuhan Remaja
Ada beberapa kebutuhan yang dialami pada masa remaja, yaitu: kebutuhan akan pengendalian diri, kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan
akan penyesuaian diri, dan kebutuhan akan agama dan nilai-nilai sosial (Jahja, 2011).
2.3.6. Perubahan Psikososial Remaja
Perubahan psikososial remaja dibagi dalam tiga tahap yaitu remaja
awal (early adolescent), pertengahan (middle adolescent), dan akhir (lateadolescent) (Batubara, 2010) :
a. Periode pertama disebut remaja awal (12-14 tahun)
Pada masa remaja awal anak-anak terpapar pada perubahan tubuh yang cepat, adanya akselerasi pertumbuhan, dan perubahan komposisi
tubuh disertai awal pertumbuhan seks sekunder.Karakteristik periode remaja awal ditandai oleh terjadinya perubahan-perubahan psikologis, seperti :krisis identitas, jiwa yang labil, meningkatnya kemampuan verbal
untuk ekspresi diri, pentingnya teman dekat/sahabat, berkurangnya rasa hormat terhadap orangtua, kadang-kadang berlaku kasar, menunjukkan
kesalahan orangtua, mencari orang lain yang disayangi selain orangtua, kecenderungan untuk berlaku kekanak-kanakan, dan terdapatnya pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan cara berpakaian. Pada fase
remaja awal mereka hanya tertarik pada keadaan sekarang, bukan masa depan, sedangkan secara seksual mulai timbul rasa malu, ketertarikan
terhadap lawan jenis tetapi masih bermain berkelompok dan mulai bereksperimen dengan tubuh seperti masturbasi. Selanjutnya pada periode
b. Periode pertama disebut remaja tengah (15-17 tahun)
Ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan seperti: mengeluh
orangtua terlalu ikut campur dalam kehidupannya, sangat memperhatikan penampilan, berusaha untuk mendapat teman baru, tidak atau kurang
menghargai pendapat orangtua, sering sedih/moody, mulai menulis buku harian, sangat memperhatikan kelompok main secaraselektif dan kompetitif, dan mulai mengalami periode sedih karena ingin lepas dari
orangtua.Pada periode middle adolescentmulai tertarik akan intelektualitas dan karir. Secara seksual sangat memperhatikan penampilan, mulai
mempunyai dan sering berganti-ganti pacar. Sangat perhatian terhadap lawan jenis. Sudah mulai mempunyai konsep role modeldan mulai konsisten terhadap cita-cita.
c. Periode pertama disebut remaja tengah (18-21 tahun)
Ditandai oleh tercapainya maturitas fisik secara sempurna. Perubahan
psikososial yang ditemui antara lain : identitas diri menjadi lebih kuat, mampu memikirkan ide, mampu mengekspresikan perasaan dengan kata-kata, lebih menghargai orang lain, lebih konsisten terhadap minatnya,
bangga dengan hasil yang dicapai, selera humor lebih berkembang, dan emosi lebih stabil. Pada fase remaja akhir lebih memperhatikan masa
depan, termasuk peran yang diinginkan nantinya. Mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis, dan mulai dapat menerima tradisi dan
2.3.7. Karakteristik remaja yang dapat menimbulkan permasalahan Karakteristik remaja yang dapat menimbulkan permasalahan pada
diri remaja, yaitu: kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan, ketidakstabilan emosi, adanya perasaan kosong akibat
perombakan pandangan dan petunjuk hidup, adanya sikap menentang dan menantang orang tua, pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentangan dengan orang tua, senang
bereksperimentasi dan bereksplorasi, kegelisahan karena banyak hal yang diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya dan
3.1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual pada penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi hubungan percaya diri dengan pengendalian diri (SelfControl) remaja pada siswa/i di SMA Negeri 17 Medan.Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas (independent
variable), yaitu percaya diri dan variabel terikat (dependent variable), yaitu pengendalian diri remaja.
Skema 3.1. Skema Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri (Self Control) Remaja pada siswa/i di SMA Negeri 17 Medan
Keterangan :
Faktor internal (konsep diri, harga diri, kondisi fisik) dan faktor eksternal (lingkungan dan pengalaman hidup)
Percaya Diri - Percaya diri tinggi - Percaya diri rendah
Pengendalian Diri (Self Control) - Pengendalian diri baik - Pengendalian diri buruk
3.2. Definisi Operasional
control) remaja pada siswa/i di SMA Negeri 17 Medan
Desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif korelatif yang digunakan untuk mengidentifikasi hubungan percaya diri dengan
pengendalian diri (self control) remaja pada siswa/i di SMA Negeri 17 Medan.
4.2. Populasi dan Sampel 4.2.1. Populasi
Populasi penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa/i di SMA Negeri 17 Medan yang terdiri dari 17 kelas dengan total
siswa sebanyak 701 orang. 4.2.2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi atau bagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki populasi. Pengambilan sampel menggunakan metode random sampling. Penelitian ini memiliki sampel dengan
kriteria-kriteria tertentu. Peneliti menggunakan metode random sampling dan memenuhi kriteria inklusi sampel tersebut, yaitu
- Siswa/i yang berusia 15-17 tahun
- Siswa/i yang duduk di kelas X dan XI
- Siswa/i yang terdaftar aktif bersekolah di sekolah tersebut
Ukuran sampel representatif yang didapat berdasarkan rumus sederhana adalah sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003) :
n
Dimana:
N : besarnya populasi n : besarnya sampel
d : tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan 10%.
Dengan rumus tersebut dapat dihitung ukuransampel dari populasi701 orang denganmengambil tingkat kepercayaan ( d ) = 10%, sebagai berikut: n
=
=
= 87,5 dibulatkan menjadi 88 orang
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 17 Medan.Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni
2015.
4.4. Pertimbangan Etik Penelitian
beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan etik, yaitu memberi penjelasan kepada calon responden penelitian tentang tujuan penelitian dan
prosedur pelaksanaan penelitian. Menurut Nursalam (2003), ada pertimbangan etik yang perlu diperhatikan pada saat penelitian yaitu: 1. Self
determination, peneliti memberi kebebasan kepada responden untuk menentukan apakah bersedia atau tidak menjadi responden penelitian, 2. inform consent, peneliti menanyakan kesediaan menjadi responden setelah
peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan, dan manfaat penelitian. Jika responden bersedia menjadi peserta penelitian, maka responden diminta
menandatangani lembar persetujuan, 3. Anonymity, penelitian tidak mencantumkan nama responden pada lembar persetujuan data, tetapi memberikan kode pada masing-masing lembar persetujuan, 4.
Confidentially, penelitian menjamin kerahasiaan informasi responden dan kelompok tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.
4.5. Instrumen Penelitian
Hubungan percaya diri dengan pengendalian diri remaja. Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari 3 bagian yaitu, data demografi, kuesioner
percaya diri dan kuesioner pengendalian diri (SelfControl). Kuesioner inidibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka.
4.5.1. Kuesioner Data Demografi
Kuesioner data demografi digunakan untuk mengkaji data demografi
4.5.2. Kuesioner Percaya Diri
Kuesioner percaya diri berisi pernyatan-pernyataan yang meliputi tiga
aspek, yaitu: merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, merasa diterima oleh kelompok sosial dan memiliki sikap tenang dan
terkendali.Peneliti menyusun kuesioner ini berdasarkan tinjauan pustaka mengenai aspek-aspek kepercayaan diri. Aspek-aspek kepercayaan diri ini disampaikan oleh Lauster dan Guilford dan dirumuskan olehAfiatin dan
Martaniah (1998).
Kuesionerpercaya diri ini terdiri dari 34 butir pernyataan, yang terbagi
dalam 12 pernyataan merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan (nomor 1-12), 12 pernyataan merasa diterima oleh kelompok sosial (nomor 13-24) dan 10 pernyataan memiliki sikap tenang dan terkendali(nomor
25-34). Penilaian kuesioner ini menggunakan skala likert. Kuesioner ini disajikan dalam bentuk dua puluh satupernyataan positif (no 1-3; 5, 7,
9-13; 17, 19-22;28, 29, 31-34) dan tiga belas pernyataan negatif (no. 4, 6, 8,14-16; 18,23-27; 30) dengan empat pilihan jawaban yang terdiri dari: Tidak Pernah (TP), Kadang-kadang (KD), Sering (SR), dan Selalu (SL).
Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pernyataan positif 1 sampai 4, dimana jawaban Selalu (SL) mendapat nilai 4, Sering (SR) mendapat nilai
3, Kadang-kadang (KD) mendapat nilai 2, dan Tidak Pernah (TP) mendapat nilai 1. Sedangkan bobot nilai untuk setiap pernyataan negatif
Selalu (SL) mendapat nilai 1. Total skor adalah 34-136. Semakin tinggi skor maka semakin tinggi kepercayaan diri.
Berdasarkan rumus statistik p =
dimana p merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi
dikurang nilai terendah) sebesar 102 dan banyak kelas dibagi atas 2 kategori kelas untuk percaya diri (rendahdan tinggi), maka akan diperoleh
panjang kelas sebesar 51.
Dengan p = 51 dan nilai terendah 34 sebagai batas bawah kelas interval
pertama, maka percaya diri dikategorikan atas kelas interval sebagai berikut:
34 – 85 = percaya diri rendah
86– 136 = percaya diri tinggi
4.5.3. Kuesioner Pengendalian Diri (Self Control)
Kuesioner pengendalian diri (Self Control) berisi pernyatan-pernyataan yang meliputi tiga aspek, yaitu: kendali perilaku (behavioral control), kendali kognisi (cognitive control), dan kendali keputusan
(decisional control).Peneliti menyusun kuesioner ini berdasarkan tinjauan pustaka mengenai pengendalian diri (Self Control). Aspek-aspek
control)(nomor 1-20), 13 pernyataan kendali kognisi (cognitive control), (nomor 21-33) dan 10 pernyataan kendali keputusan (decisional control)
(nomor 34-43). Penilaian kuesioner ini menggunakan skala likert. Kuesioner ini disajikan dalam bentuk dua puluh sembilan pernyataan
positif (no. 2, 5-7; 11-13, 15-17, 19, 21-31; 33, 36, 37, 39, 41-43) dan empat belas pernyataan negatif (no. 1, 3, 4, 8-10; 14, 18, 20, 32, 34, 35, 38 dan 40) dengan empat pilihan jawaban yang terdiri dari: Tidak Pernah
(TP), Kadang-kadang (KD), Sering (SR), dan Selalu (SL). Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pernyataan positif 1 sampai 4, dimana
jawaban Selalu (SL) mendapat nilai 4, Sering (SR) mendapat nilai 3, Kadang-kadang (KD) mendapat nilai 2, dan Tidak Pernah (TP) mendapat nilai 1. Sedangkan bobot nilai untuk setiap pernyataan negatif dari 1
sampai 4, dimana jawaban Tidak Pernah (TP) mendapat nilai 4, Kadang-kadang (KD) mendapat nilai 3, Sering (SR) mendapat nilai 2, dan Selalu
(SL) mendapat nilai 1. Total skor adalah 43-172. Semakin tinggi skor maka semakin tinggi pengendalian diri (Self Control).
Berdasarkan rumus statistik p =
dimana p merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi
Dengan p = 64 dan nilai terendah 43 sebagai batas bawah kelas interval pertama, maka pengendalian diri dikategorikan atas kelas interval sebagai
berikut:
43 – 107 = pengendalian diri buruk
108 – 172 = pengendalian diri baik
4.6. Validitas dan Reliabilitas Instrumen 4.6.1. Uji Validitas
Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan dan kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen
dikatakan valid apabila mampu mengukur data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2006). Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Tinggi
rendahnya suatu instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang variabel yang
dimaksud. Butir-butir pernyataan sudah dinyatakan valid karena nilai alpha > 0,70. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan oleh Dosen Fakultas Psikologi USU yang bernama Debby Anggraini D., M.Psi,
Psikolog pada bulan April sampai Mei 2015. Nilai alpha pada variabel percaya diri sebesar 0,95 dan nilai alpha pada variabel pengendalian diri
4.6.2. Uji Reliabilitas
Uji realibilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana
suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau diandalkan. Hal ini berarti sejauh mana alat tersebut tetap konsisten bila dilakukan beberapakali
dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010). Kuesioner penelitian ini akan diuji dengan reliabilitas internalyang diperoleh dengan cara menganalisa data dari satu kali pengetesan. Uji
reabilitas dilakukan di SMA Negeri 15 Medan kepada 30 siswa yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden, kemudian peneliti
menilai responnya. Uji reabilitas dilakukan dengan rumus alpha cronbach
(α),sehingga alat ukur yang digunakan dapat dipercaya (Arikunto, 2006).
Dimana menurut Djemari (2004) dalam Suyanto (2011) jika alpha> 0,70
maka butir-butir pernyataan dikatakan reliabel. Uji reliabel ini dibantu dengan menggunakan teknik komputerisasi. Uji reliabilitas dilakukan pada
bulan 29 Mei 2015. Nilai alpha cronbach pada variabel percaya diri sebesar 0,866 dan nilai alpha cronbach pada variabel pengendalian diri (selfcontrol) remaja sebesar 0,829, sehingga instrumen kedua variabel
dapat dikatakan reliabel.
4.7. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengisi kuesioner. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat