• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Residu Kloramfenikol Dalam Telur Ayam Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemeriksaan Residu Kloramfenikol Dalam Telur Ayam Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL DALAM

TELUR AYAM SECARA KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI

SKRIPSI

OLEH : ANITA KARLINA

NIM 091524024

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL DALAM

TELUR AYAM SECARA KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH : ANITA KARLINA

NIM 091524024

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL DALAM TELUR AYAM SECARA KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI OLEH : ANITA KARLINA NIM 091524024

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal :

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt. NIP 195306191983031001 NIP 195108161980031002

Pembimbing II, Prof. Dr. rer. nat. Effendy De

Lux Putra, SU, Apt.

NIP 195306191983031001

Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si.,Apt. Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt.

NIP 195201041980031002 NIP 195001261983031002

Dra. Salbiah, M.Si., Apt NIP 194810031987012001

Disahkan Oleh: Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “Pemeriksaan Residu Kloramfenikol dalam

Telur Ayam secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi” ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini penulis banyak

mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun

materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dengan

ketulusan hati kepada :

1. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt. Dan Bapak Drs.

Fathur Rahman Harun, M.Si, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat kepada penulis dalam

menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt., Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si.,

Apt., Dra. Salbiah, M.Si., Apt selaku dosen penguji yang telah memberi

banyak masukan kepada penulis untuk memperbaiki skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

5. Teman-teman penulis Rikha, kak Ira, Sri, Emil, Desmi, kak Winda, Ipit,

Izha, Pipi, Ernal dan rekan-rekan Ekstensi 2009 lainnya yang tidak dapat

disebut satu persatu, yang selalu menjadi teman dalam suka dan duka serta

memberi dorongan semangat kepada penulis.

6. Kepala dan Staf Laboratorium Penelitian kak Mustika Furi, kak Evi, bang

(5)

Terakhir dan teristimewa, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Aminul Karim, ST

dan Ibunda Mardelina serta kakak dan adik tersayang, Angriyani Karlina, SE.,

Anisa Karlina, SE., dan Amelia Karlina. yang selalu memberikan perhatian, kasih

sayang dan dukungan yang tak ternilai harganya.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011

Penulis,

(6)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL DALAM TELUR AYAM SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Abstrak

Kloramfenikol adalah antibiotika pertama yang mempunyai efek terhadap

riketsia dan menjadi obat pilihan pada penyakit tifoid salmonellosis.

Kloramfenikol juga sering digunakan dalam peternakan ayam untuk pengobatan

dan pencegahan penyakit pada hewan ternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk

memeriksa residu kloramfenikol dalam telur ayam secara kromatografi cair

kinerja tinggi.

Pemeriksaan dilakukan secara kromatografi cair kinerja tinggi

menggunakan kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), detektor UV pada panjang

gelombang 278 nm dengan perbandingan fase gerak metanol-air (55:45) dan laju

alir 1 ml/menit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa telur ayam yang diambil dari

lima lokasi di daerah Sumatera Utara (Binjai, Tandem, Pantai Labu, Marelan, dan

Kabanjahe) ternyata mengandung residu kloramfenikol. Kadar residu

kloramfenikol dalam telur ayam tersebut berturut-turut 0,1937±0,0275 µg/g

(Binjai), 0,1709±0,0304 µg/g (Tandem), 0,1671±0,0200 µg/g (Pantai Labu),

0,0773±0,0002 µg/g (Marelan) dan 0,0752±0,0043 µg/g (Kabanjahe), dimana

kadar yang diperoleh melebihi persyaratan dari RSNI No. : 05 – TAN – 1996

tentang batas maksimum residu kloramfenikol dalam telur ayam yakni 0,01 µg/g.

Hasil pengujian validasi menunjukkan bahwa metode ini memiliki akurasi dan

presisi yang baik dengan persen perolehan kembali 101,5% (RSD = 5,7606%),

batas deteksi 0,0518 µg/ml dan batas kuantitasi 0,1570 µg/ml.

(7)

DETERMINATION OF CHLORAMPHENICOL RESIDUE IN CHICKEN EGG BY HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY

Abstract

Chloramphenicol is the first antibiotic that have effect for rickettsia and be

the drug of choice for salmonellosis typhoid disease. Chloramphenicol is also

often used on a large scale of chicken husbandry to cure and prevent diseases in

animals. The aim of this study was to determine the level of chloramphenicol

residue in chicken egg by high performance liquid chromatography.

Determination was done by high performance liquid chromatography

using C-18 (250 mm x 4.60 mm) column, UV detector at 278 nm with

methanol-water (55:45) were applied as mobile phase and the flow rate was 1 ml/minute.

Based on this research, it was summarized that the chicken eggs that were

collected from five locations in North Sumatera apparently contained

chloramphenicol residue. The level of chloramphenicol residue in chicken eggs

were 0.1937±0.0275 µg/g (Binjai), 0.1709±0.0304 µg/g (Tandem),

0.1671±0.0200 µg/g (Pantai Labu), 0.0773±0.0002 µg/g (Marelan) and

0.0752±0.0043 µg/g (Kabanjahe), respectively, which the level exceed the

regulation of RSNI No. : 05 – TAN – 1996 about the maximum level of

chloramphenicol residue in chicken egg that was 0.01 µg/g. The test result of

validation exhibited that this method have good accuracy and precision with

percent recovery 101.5 % (RSD = 5.7606%), limit of detection was 0,0518 µg/ml and limit of quantitation was 0.1570 µg/ml.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Telur ... 4

2.2 Antibiotik ... 5

2.2.1 Pengertian Antibiotika ... 5

2.2.2 Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan ... 5

2.2.3 Residu Antibiotika ... 5

2.3 Kloramfenikol ... 6

2.3.1 Uraian Umum ... 6

2.3.2 Aktivitas Antimikroba ... 7

2.3.3 Reaksi-Reaksi yang Tidak Diinginkan ... 7

2.3.4 Penetapan Kadar Kloramfenikol ... 8

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 9

2.4.1 Jenis Pemisahan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 10

(9)

2.4.2.1 Waktu Tambat ... 10

2.4.2.2 Faktor Kapasitas ... 10

2.4.2.3 Resolusi ... 11

2.4.2.4 Selektifitas atau Faktor Pemisahan ... 11

2.4.2.5 Faktor Tailing dan Faktor Asimetri ... 12

2.4.2.6 Efisiensi Kolom ... 13

2.5 Komponen KCKT ... 14

2.5.1 Wadah Fase Gerak ... 14

2.5.2 Pompa ... 14

2.5.3 Injektor ... 14

2.5.4 Kolom ... 15

2.5.5 Detektor ... 15

2.5.6 Pengolah Data ... 16

2.5.7 Fase Gerak ... 16

2.6 Validasi Metode ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2 Alat-alat ... 19

3.3 Bahan-bahan ... 19

3.4 Pengambilan Sampel ... 19

3.5 Prosedur Penelitian... 20

3.5.1 Penyiapan Bahan ... 20

3.5.1.1 Pembuatan Fase Gerak Metanol-Air ... 20

3.5.1.2 Pembuatan Pelarut ... 20

3.5.1.3 Pembuatan Larutan Induk Baku Kloramfenikol ... 20

3.5.1.4 Penyiapan Sampel ... 20

3.5.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kloramfenikol.. 20

3.5.3 Prosedur Analisis... 21

3.5.3.1 Penyiapan Alat KCKT ... 21

3.5.3.2 Penentuan Perbandingan Fase Gerak Optimum ... 21

3.5.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Kloramfenikol Baku ... 22

(10)

3.5.3.5 Analisis Data Penetapan Kadar secara Statistik ... 25

3.5.4 Metode Validasi ... 25

3.5.4.1 Kecermatan (accuracy) ... 25

3.5.4.2 Keseksamaan (precision) ... 26

3.5.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kloramfenikol... 28

4.2 Penentuan Perbandingan Fase Gerak yang Optimum ... 29

4.2 Penentuan Linieritas Kurva Kalibrasi Kloramfenikol Baku ... 30

4.3 Penetapan Kadar Kloramfenikol dalam Sampel ... 32

4.4 Hasil Uji Validasi ... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

5.1 Kesimpulan ... 36

5.2 Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil optimasi fase gerak dengan parameter data waktu tambat

dan asimetris ... 29

Tabel 2. Kadar rerata kloramfenikol dalam sampel ... 34

Tabel 3. Data hasil uji validasi metode pemeriksaan residu kloramfenikol

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bentuk puncak kromatogram ... 12

Gambar 2. Pengukuran derajat asimetris puncak ... 13

Gambar 3. Bagan penetapan kadar kloramfenikol dalam sampel ... 24

Gambar 4. Kurva serapan kloramfenikol baku 15 µg/ml secara spektrofotometri UV ... 28

Gambar 5. Kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol baku dengan perbandingan fase gerak metanol-air (55:45) ... 30

Gambar 6 Kurva kalibrasi kloramfenikol baku ... 30

Gambar 7. Kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol baku 0,9 µg/ml pada pembuatan kurva kalibrasi ... 31

Gambar 8. Kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol baku 10 µg/ml (A), larutan sampel telur (B), dan larutan sampel yang telah di-spike dengan larutan kloramfenikol baku (C) dengan kondisi analisis KCKT yang sama ... 33

Gambar 9. Alat KCKT (Hitachi) ... 85

Gambar 10. Vial autosampler ... 85

Gambar 11. Telur ayam... 86

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kromatogram penyuntikan kloramfenikol baku untuk menentukan

Fase gerak yang optimum ... 39

Lampiran 2. Kromatogram penyuntikan kloramfenikol baku pada

pembuatan kurva kalibrasi ... 43

Lampiran 3. Perhitungan persamaan regresi dari kurva kalibrasi kloramfenikol 47

Lampiran 4. Perhitungan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ)

kloramfenikol ... 49

Lampiran 5. Kromatogram hasil penyuntikan telur 1 (Binjai) ... 50

Lampiran 6. Perhitungan kadar kloramfenikol dalam telur 1 (Binjai) ... 51

Lampiran 7. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan telur 1 (Binjai) ... 52

Lampiran 8. Kromatogram hasil penyuntikan telur 2 (Tandem) ... 55

Lampiran 9. Perhitungan kadar kloramfenikol dalam telur 2 (Tandem) ... 56

Lampiran 10. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan telur 2 (Tandem) ... 57

Lampiran 11. Kromatogram hasil penyuntikan telur 3 (Pantai Labu) ... 59

Lampiran 12. Perhitungan kadar kloramfenikol dalam telur 3 (Pantai Labu) . 60

Lampiran 13. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan telur 3 (Pantai Labu) ... 61

Lampiran 14. Kromatogram hasil penyuntikan telur 4 (Marelan) ... 63

Lampiran 15. Perhitungan kadar kloramfenikol dalam telur 4 (Marelan) ... 64

Lampiran 16. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan telur 4 (Marelan) ... 65

Lampiran 17. Kromatogram hasil penyuntikan telur 5 (Kabanjahe) ... 68

Lampiran 18. Perhitungan kadar kloramfenikol dalam telur 5 (Kabanjahe) ... 69

Lampiran 19. Analisis data statistik untuk mencari kadar sebenarnya dari

penyuntikan telur 5 (Kabanjahe) ... 70

Lampiran 20. Hasil pengolahan data penetapan kadar residu kloramfenikol

dalam telur ayam ... 73

(14)

baku pada persen perolehan kembali pada rentang 50%, 100%,

dan 150% ... 74

Lampiran 22. Perhitungan persen perolehan kembali ... 80

Lampiran 23. Sertifikat analisis kloramfenikol BPFI ... 82

Lampiran 24. Sertifikat analisis kloramfenikol baku PT. Varia Sekata. ... 83

Lampiran 25. Tabel nilai distribusi t. ... 84

Lampiran 26. Gambar alat KCKT dan vial autosampler. ... 85

(15)

PEMERIKSAAN RESIDU KLORAMFENIKOL DALAM TELUR AYAM SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Abstrak

Kloramfenikol adalah antibiotika pertama yang mempunyai efek terhadap

riketsia dan menjadi obat pilihan pada penyakit tifoid salmonellosis.

Kloramfenikol juga sering digunakan dalam peternakan ayam untuk pengobatan

dan pencegahan penyakit pada hewan ternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk

memeriksa residu kloramfenikol dalam telur ayam secara kromatografi cair

kinerja tinggi.

Pemeriksaan dilakukan secara kromatografi cair kinerja tinggi

menggunakan kolom C18 (250 mm x 4,60 mm), detektor UV pada panjang

gelombang 278 nm dengan perbandingan fase gerak metanol-air (55:45) dan laju

alir 1 ml/menit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa telur ayam yang diambil dari

lima lokasi di daerah Sumatera Utara (Binjai, Tandem, Pantai Labu, Marelan, dan

Kabanjahe) ternyata mengandung residu kloramfenikol. Kadar residu

kloramfenikol dalam telur ayam tersebut berturut-turut 0,1937±0,0275 µg/g

(Binjai), 0,1709±0,0304 µg/g (Tandem), 0,1671±0,0200 µg/g (Pantai Labu),

0,0773±0,0002 µg/g (Marelan) dan 0,0752±0,0043 µg/g (Kabanjahe), dimana

kadar yang diperoleh melebihi persyaratan dari RSNI No. : 05 – TAN – 1996

tentang batas maksimum residu kloramfenikol dalam telur ayam yakni 0,01 µg/g.

Hasil pengujian validasi menunjukkan bahwa metode ini memiliki akurasi dan

presisi yang baik dengan persen perolehan kembali 101,5% (RSD = 5,7606%),

batas deteksi 0,0518 µg/ml dan batas kuantitasi 0,1570 µg/ml.

(16)

DETERMINATION OF CHLORAMPHENICOL RESIDUE IN CHICKEN EGG BY HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY

Abstract

Chloramphenicol is the first antibiotic that have effect for rickettsia and be

the drug of choice for salmonellosis typhoid disease. Chloramphenicol is also

often used on a large scale of chicken husbandry to cure and prevent diseases in

animals. The aim of this study was to determine the level of chloramphenicol

residue in chicken egg by high performance liquid chromatography.

Determination was done by high performance liquid chromatography

using C-18 (250 mm x 4.60 mm) column, UV detector at 278 nm with

methanol-water (55:45) were applied as mobile phase and the flow rate was 1 ml/minute.

Based on this research, it was summarized that the chicken eggs that were

collected from five locations in North Sumatera apparently contained

chloramphenicol residue. The level of chloramphenicol residue in chicken eggs

were 0.1937±0.0275 µg/g (Binjai), 0.1709±0.0304 µg/g (Tandem),

0.1671±0.0200 µg/g (Pantai Labu), 0.0773±0.0002 µg/g (Marelan) and

0.0752±0.0043 µg/g (Kabanjahe), respectively, which the level exceed the

regulation of RSNI No. : 05 – TAN – 1996 about the maximum level of

chloramphenicol residue in chicken egg that was 0.01 µg/g. The test result of

validation exhibited that this method have good accuracy and precision with

percent recovery 101.5 % (RSD = 5.7606%), limit of detection was 0,0518 µg/ml and limit of quantitation was 0.1570 µg/ml.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Telur merupakan produk peternakan yang memberikan sumbangan besar

bagi tercapainya kecukupan gizi masyarakat. Dari sebutir telur didapatkan gizi

yang cukup sempurna karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap dan mudah

dicerna (Sudaryani, 2005). Namun, produk ternak akan menjadi tidak berguna dan

membahayakan kesehatan apabila tidak aman. Oleh karena itu, keamanan pangan

asal ternak bagi manusia merupakan persyaratan mutlak (Bahri, 2008).

Meningkatnya kebutuhan protein pada populasi penduduk dunia membuat

peternakan memaksimalkan produktivitas ternaknya seperti penggunaan

obat-obatan. Dalam praktiknya, obat-obatan digunakan dalam skala besar. Obat

digunakan di peternakan untuk beberapa alasan yang berbeda. Untuk mengobati

atau mencegah penyakit pada hewan, meningkatkan efisiensi pakan dan atau laju

pertumbuhan, dan untuk menenangkan hewan agar tidak stress. Residu

obat-obatan tersebut mungkin berada pada produk ternak seperti daging, susu, dan telur

(Botsoglov and Fletouris, 2000).

Di dalam tubuh sebagian senyawa kimia dimetabolisme menjadi senyawa

lain (metabolit). Senyawa induk maupun metabolitnya sebagian akan dikeluarkan

dari tubuh melalui air seni dan feses, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di

dalam jaringan (organ tubuh) yang selanjutnya disebut sebagai residu. Hampir

semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam pakan

(18)

mengandung antibiotik. Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif

meskipun mereka hidup dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis. Umumnya

pengobatan antibiotika yang diberikan pada ayam lebih banyak diberikan secara

massal dibandingkan pengobatan secara individual Apabila pakan yang

dikonsumsi ternak terlalu sering terkontaminasi maka residu senyawa kimia atau

obat hewan, maka residu tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan organ

tubuh dengan konsentrasi yang bervariasi antara jaringan organ tubuh yang satu

dengan lainnya (Bahri, 2000).

Beberapa antibiotik yang sering dipakai untuk mengatasi penyakit pada

ayam adalah golongan salinomisin, sulfonamida, tetrasiklin dan derivatnya,

nitrofuran, quinolon, aminosilikosida, betalaktam, makrolida, dan kloramfenikol

(Fadilah dan Polana, 2005). Batas residu kloramfenikol dalam daging, telur, susu

dan olahannya adalah 0,01 µg/g (RSNI No. : 05 – TAN – 1996).

Menurut beberapa literatur, penetapan kadar kloramfenikol dapat

dilakukan dengan beberapa cara yakni nitrimetri, spektrofotometri ultraviolet

(Farmakope Indonesia III) dan kromatografi cair kinerja tinggi (Farmakope

Indonesia IV dan SNI 7541. 1:2009). Dalam penelitian ini digunakan metode

kromatografi cair kinerja tinggi karena metode ini sesuai untuk memeriksa analit

dalam matriks biologis karena terjadi pemisahan serta untuk analit yang

jumlahnya sangat sedikit dalam sampel.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti ingin memeriksa residu

kloramfenikol dalam telur ayam dari lima lokasi yaitu Binjai, Tandem, Pantai

(19)

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah residu kloramfenikol terdapat dalam telur ayam dari kelima lokasi

yang diperiksa?

2. Apakah kadar residu kloramfenikol dalam telur ayam dari kelima lokasi

tersebut masih berada dibawah batas maksimum residu kloramfenikol

menurut RSNI No. : 05 – TAN – 1996?

1.3 Hipotesis

1. Residu kloramfenikol terdapat dalam telur ayam dari kelima lokasi yang

diperiksa.

2. Kadar residu kloramfenikol dalam telur ayam tersebut masih di bawah

batas maksimum residu kloramfenikol menurut RSNI No. : 05 – TAN –

1996.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui ada tidaknya residu kloramfenikol pada telur ayam dari

kelima lokasi yang diperiksa.

2. Untuk mengetahui kesesuaian kadar residu kloramfenikol dalam telur

ayam dengan persyaratan yang ditetapkan oleh RSNI No. : 05 – TAN –

1996 tentang batas residu kloramfenikol dalam telur ayam.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan menjadi informasi bagi instansi terkait, dalam

hal ini Dinas Peternakan mengenai keberadaan residu kloramfenikol yang dalam

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telur

Telur merupakan produk peternakan yang memberikan sumbangan besar

bagi tercapainya kecukupan gizi masyarakat. Dari sebutir telur didapatkan gizi

yang cukup sempurna karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap dan mudah

dicerna. Oleh karenanya, telur merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk

anak-anak yang sedang tumbuh, ibu hamil dan menyusui dan juga dianjurkan

diberikan kepada orang yang sedang sakit untuk mempercepat proses

kesembuhannya (Sudaryani, 2003).

Komposisi sebutir telur terdiri dari 11% kulit telur, 58% putih telur, dan

31% kuning telur. Kandungan gizi sebutir telur ayam dengan berat 50 g terdiri

dari protein 6,3 g, karbohidrat 0,6 g, lemak 5 g, vitamin (A, D, E, B1, B2, B6, dan

B12), dan mineral (kalsium, fosfor, besi, magnesium, kalium, natrium, dan zink).

Protein telur merupakan protein yang bermutu tinggi dan mudah dicerna karena

sebagian besar asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh manusia terdapat di

dalam telur. Lemak pada telur terdiri dari trigliserida, fosfolipida, dan kolesterol.

Fungsi gliserida dan fosfolipida umumnya menyediakan energi untuk aktivitas

sehari-hari. Kolesterol digunakan untuk pembentukan garam empedu dan juga

hormon seperti testosteron dan adrenalin (Panda, 1998).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas telur, diantaranya

perbedaan kelas, strain, famili, dan individu; kandungan zat gizi pakan ayam,

(21)

2.2 Antibiotik

2.2.1 Pengertian Antibiotika

Antibiotika adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh mikroba seperti bakteri

dan jamur, yang dalam konsentrasi tertentu mempunyai kemampuan menghambat

pertumbuhan mikroba lain. Berdasarkan definisi ini, bahan yang dapat dianggap

sebagai antibiotika adalah hasil alamiah saja. Akan tetapi yang termasuk kategori

ini juga adalah bahan-bahan antibiotika semi sintetis yang merupakan hasil

modifikasi bahan kimia antibiotika alam dan transformasi mikrobiologi dari

bahan-bahan sintetis (Hadisahputra dan Harahap, 1994). Antimikroba harus

memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah

bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes

(Setiabudy dan Gan, 2007).

2.2.2 Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan

Pengunaan antibiotika pada hewan dilakukan peternak bertujuan untuk

mencegah dan mengobati ternak dari serangan penyakit dan juga sebagai hormon

pertumbuhan bagi ternak bila diberikan dalam dosis kecil. Pada usaha peternakan

modern, imbuhan pakan sudah umum digunakan. Suplemen ini dimaksudkan

untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan

mengurangi mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan populasi

mikroba yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan (Rahayu, 2009).

2.2.3 Residu Antibiotika

Tiap senyawa anorganik atau organik, baik yang berupa obat-obatan,

mineral atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam tubuh individu, akan

(22)

eliminasi. Kecepatan proses biologik tersebut di atas tergantung kepada jenis dan

bentuk senyawa, cara masuknya dan kondisi jaringan yang memprosesnya.

Apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut, penyerapan terjadi di dalam

saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus. Setelah terjadi

penyerapan, senyawa yang berbentuk asli akan di metabolisme menjadi

metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian

tubuh. Eliminasi akan dilakukan terutama oleh ginjal, dalam bentuk kemih dan

lewat usus dalam bentuk tinja. Senyawa-senyawa dalam bentuk asli maupun

metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu

tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi

ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit.

Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan alat metabolisme, maka

eliminasi obat akan terganggu. Apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan

dalam waktu yang lama, maka akan terjadi timbunan senyawa atau metabolitnya

di dalam tubuh, itulah yang disebut dengan residu. Jadi residu obat adalah

akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan/ternak

setelah pemakaian obat hewan (Rahayu, 2009).

2.3 Kloramfenikol 2.3.1 Uraian Umum

Rumus Molekul : C11H12Cl2N2O5

Rumus Bangun :

(23)

Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih

sampai putih kelabu atau putih kekuningan; tidak berbau; rasa

sangat pahit.

Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol

(95%) P dan dalam 7 bagian propilenglikol P; sukar larut dalam

kloroform P dan dalam eter P.

Serapan ultraviolet : Serapan-1 cm larutan 0,002% b/v dalam air pada 278 nm

adalah 0,58 sampai 0,61 (Ditjen POM, 1995).

Kloramfenikol termasuk antibiotika yang paling stabil. Larutan dalam air

pada pH 6 menunjukkan kecenderungan terurai yang paling rendah. Senyawa ini

cepat dan hampir sempurna diabsorpsi dari saluran cerna. Oleh karena itu

pemberian peroral menonjol (Wattimena, 1990).

2.3.2 Aktivitas Antimikroba

Kloramfenikol adalah antibiotika pertama yang mempunyai efek terhadap

riketsia dan juga menjadi obat pilihan pada penyakit tifoid salmonellosis,

hemofilus influenza, dan klebsiella pneumoniae. Penggunaannya perlu diawasi

dengan memonitor keadaan hematologi karena dapat menyebabkan efek

hipersensitivitas (Hadisahputra dan Harahap, 1994).

2.3.3 Reaksi - Reaksi yang Tidak Diinginkan

Semua obat mempunyai reaksi yang tidak dikehendaki, tetapi

kloramfenikol barangkali yang paling dikenal efek sampingnya dibandingkan

yang lainnya. Penggunaan klinis kloramfenikol pada saat sekarang terbatas pada

pengobatan demam tifoid, infeksi salmonela, dan infeksi yang disebabkan oleh

(24)

Menurut Katzung (2004), reaksi-reaksi yang tidak diinginkan pada terapi

kloramfenikol antara lain:

a. Gangguan Gastrointestinal

Kadang-kadang, orang dewasa dapat mengalami mual-mual, muntah-muntah,

dan diare. Hal ini jarang dijumpai pada anak-anak.

b. Gangguan Sumsum Tulang

Kloramfenikol biasanya menimbulkan suatu supresi reversibel terhadap

produksi sel darah merah yang terkait dosis, pada dosis diatas 50 mg/kg/hari

setelah 1-2 minggu. Anemia aplastik jarang menjadi konsekuensi pemberian

kloramfenikol melalui jalur apapun. Hal ini merupakan reaksi idiosinkrasi yang

tidak ada hubungannya dengan dosis

c. Toksisitas pada Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir kekurangan suatu mekanisme konjugasi asam glukoronat

(glucoronic acid) yang efektif untuk degradasi dan detoksifikasi kloramfenikol.

Lebih jauh lagi, apabila bayi-bayi ini diberi dosis diatas 50 mg/kg/hari, obat dapat

terakumulasi dan mengakibatkan sindrom bayi kelabu (gray baby sindrome).

2.3.4 Penetapan Kadar Kloramfenikol

Penetapan kadar kloramfenikol dapat dilakukan secara:

1. Nitrimetri dengan pelarut asam klorida P menggunakan pentiter natrium nitrit

0,1 M dan indikator kertas kanji iodida P. Titrasi dianggap selesai jika titik

akhir dapat ditunjukkan lagi setelah larutan dibiarkan selama 5 menit (Ditjen

(25)

2. Secara spektrofotometri ultraviolet, larutan sampel dalam air diukur

serapannya pada panjang gelombang maksimum ± 278 nm dengan harga A

(1%, 1 cm) pada 278 nm adalah 298 (Ditjen POM, 1979).

3. Secara kromatografi cair kinerja tinggi dengan menggunakan fase gerak

berupa campuran air : metanol P : asam asetat glasial (55:45:0,1), detektor

pada panjang gelombang 278 nm dan laju alir 1 ml/menit (Ditjen POM,

1995).

Uji kuantitatif keberadaan residu antibiotika dapat menggunakan metode

KCKT mempunyai beberapa keuntungan dibanding metode analisis lain,

diantaranya kolom dapat digunakan kembali, memiliki berbagai jenis detektor,

waktu analisis umumnya relatif singkat, ketepatan dan ketelitian relatif tinggi

serta dapat digunakan untuk menganalisis kebanyakan senyawa kimia yang tidak

tahan terhadap suhu tinggi (Meyer, 2004).

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi adalah suatu terminologi umum yang digunakan untuk

bermacam-macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi cuplikan

diantara suatu fase gerak yang bisa berupa gas ataupun cairan, dan fase diam yang

juga bisa berupa cairan atau padatan.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan

dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam

teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif

dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai cuplikan secara kualitatif

maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen

(26)

2.4.1 Jenis Pemisahan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Berdasarkan mekanisme interaksi antara analit dengan fase diam,

kromatografi cair dapat dibagi menjadi 4 metode, yaitu: kromatografi fase normal

(normal phase chromatography) atau disebut juga kromatografi adsorpsi,

kromatografi fase balik (reversed phase chromatography), kromatografi penukar

ion (ion exchange chromatography), dan kromatografi eksklusi ukuran (size

exclusion chromatography) (Riley,1995).

Kromatografi fase balik menggunakan fase diam yang relatif non polar

seperti oktadesisilan (ODS atau C18) sedangkan fase geraknya relatif lebih polar

dari fase diam. Kondisi kepolaran kedua fase ini merupakan kebalikan dari fase

normal sehingga disebut kromatografi fase balik (Meyer, 2004; Rohman, 2007).

2.4.2 Parameter Kromatografi

Ada beberapa parameter kromatografi yang digunakan secara umum yaitu:

2.4.2.1 Waktu Tambat (tR)

Periode waktu antara penyuntikan sampel dan puncak maksimum yang

terekam oleh detektor disebut sebagai waktu rambat/retention time (tR). Waktu

tambat merupakan fungsi dari laju alir fase gerak dan panjang kolom. Jika fase

gerak mengalir lebih lambat atau kolom semakin panajng, maka waktu tambat

akan semakin besar, dan sebaliknya jika fase gerak mengalir lebih cepat atau

kolom semakin pendek, maka waktu tambat akan semakin kecil (Meyer, 2004).

2.4.2.2 Faktor Kapasitas (k’)

Faktor kapasitas (k’) merupakan suatu ukuran seberapa jauh senyawa

tersebut berpartisi (mengadsorpsi) ke dalam fase diam dari fase gerak. Lamanya

(27)

pada faktor kapasitasnya (Watson, 2009). Faktor kapasitas suatu komponen dapat

dinyatakan sebagai berikut :

Keterangan :

t0 = waktu yang diperlukan bagi suatu molekul-takditahan untuk melewati volume

hampa

tr = waktu yang diperlukan analit untuk melewati kolom

2.4.2.3 Resolusi (Rs)

Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi 2 puncak

yang saling berdekatan dibagi dengan rata-rata lebar puncak.

Nilai resolusi harus mendekati atau lebih dari 1,5 karena akan memberikan

pemisahan puncak yang baik (Rohman, 2007).

2.4.2.4 Selektifitas atau Faktor Pemisahan (α)

Menurut Kazakevich (2007), selektifitas (α) adalah kemampuan sistem

kromatografi untuk membedakan analit yang berbeda. Selektifitas ditentukan

sebagai rasio perbandingan faktor kapasitas (k’) dari analit yang berbeda:

Nilai selektifitas yang didapatkan dalam sistem KCKT harus lebih besar dari 1

(28)

2.4.2.5 Faktor Tailing dan Faktor Asimetri

Faktor asimetri disebut juga “tailing factor (TF)” yaitu terjadinya

pengekoran pada kromatogram sehingga bentuk kromatogram menjadi tidak

simetris (Mulja dan Suharman, 1995). Idealnya, puncak kromatogram akan

memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat simetris yang sempurna (Ornaf

and Dong, 2005). Namun kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna

jarang dijumpai. Jika diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak

dalam kromatografi memperlihatkan tailing. Pada Gambar 4 ditunjukkan tiga

jenis bentuk puncak.

Gambar 1. Bentuk puncak kromatogram. (sumber: Kazakevich, Y. 2007). Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara, yakni faktor

tailing dan faktor asimetris. Faktor tailing (Tf) dihitung dengan menggunakan

lebar puncak pada ketinggian 5% (W0,05), rumusnya dituliskan sebagai berikut.

f W T

2 05 , 0 =

Dengan nilai f merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 5%.

Sedangkan faktor asimetri dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

1 , 0

1 , 0 a b

T =

Nilai a dan b dalam perhitungan faktor asimetri merupakan setengah lebar puncak

pada ketinggian 10%. Jika nilai T = 1, maka faktor tailing dan asimetri

(29)

tailing, maka kedua faktor ini akan bernilai lebih besar dari 1 dan sebaliknya bila

puncak berbentuk fronting, maka faktor tailing dan asimetri akan bernilai lebih

kecil dari 1.

Gambar 2. Pengukuran derajat asimetris puncak (sumber : Meyer, V.R. 2004). 2.4.2.6 Efisiensi Kolom (N)

Menurut Snyder and Kirkland (1979), efisiensi adalah ukuran tingkat

penyebaran puncak dalam kolom. Efisiensi kolom ditunjukkan dari jumlah

lempeng teoritikal atau theoretical plates (N), yang dapat dihitung dengan rumus:

Kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan pita sempit dan

memisahkan analit dengan baik. Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran

kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi semakin

baik. Hubungan antara nilai lempeng dengan panjang kolom disebut sebagai nilai

HETP/High Equivalent of a Theoretical Plate (H). H dapat dihitung dengan

rumus:

N L

(30)

2.5 Komponen KCKT 2.5.1 Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert) terhadap fase gerak.

Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung

tandon harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk

kecepatan alir yang umumnya 1-2 ml/menit (Munson, 1991).

Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilangan

gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan

komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan

analisis. Oleh karena itu, fase gerak sebelum digunakan harus disaring terlebih

dahulu dengan penyaring mikrometer untuk menghindari partikel-partikel kecil

(Rohman, 2009).

2.5.2 Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang

mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni : pompa harus inert

terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja

tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu

memberikan tekanan sampai 6000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan

kecepatan alir 0,1-10 ml/menit. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut

untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor (Putra, 2007).

2.5.3 Injektor

Ada 3 jenis macam injektor, yakni syringe injector, loop valve dan

automatic injector (autosampler). Syringe injector merupakan bentuk injektor

(31)

2.5.4 Kolom

Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis

tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom

dapat dibagi menjadi dua kelompok :

a. Kolom analitik : diameter khas adalah 2 – 6 nm. Panjang kolom

tergantung pada jenis kemasan. Untuk kemasan pellikular, panjang yang

umumnya adalah 50 – 100 cm. Untuk kemasan poros mikropartikulat,

umumnya 10 – 30 cm. Dewasa ini ada yang 5 cm.

b. Kolom preparatif : umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar

dan panjang kolom 25 – 100 cm.

Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada

temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama

untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom

tergantung pada mode KCKT yang digunakan.

2.5.5 Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan

dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki

sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang

luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan

yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi

tidak selalu dapat diperoleh.

Beberapa detektor yang paling sering digunakan dalam KCKT adalah

detektor spektrofotometri UV-Vis, photodiode-array (PDA), fluoresensi, indeks

(32)

2.5.6 Pengolah Data

Komponen yang terelusi mengalir ke detektor dan dicatat sebagai

puncak-puncak yang secara keseluruhan disebut sebagai kromatogram. Alat pengumpul

data seperti komputer, integrator dan rekorder dihubungkan ke detektor. Alat ini

akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor dan

memplotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi

oleh seorang analis (Rohman, 2007).

2.5.7 Fase Gerak

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat

bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya

elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase

diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Rohman, 2007)

Elusi Gradien dan Isokratik

Elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua sistem yaitu:

1. Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan satu macam

atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap (komposisi fase gerak tetap

selama elusi).

2. Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan campuran fase

gerak yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu (komposisi

fase gerak berubah-ubah selama elusi). Elusi bergradien digunakan untuk

meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel

(33)

2.6 Validasi Metode

Validasi metode adalah suatu proses yang menunjukkan bahwa prosedur

analitik telah sesuai dengan penggunaan yang dikehendaki (Bliesner, 2006).

Validasi metode merupakan persyaratan mendasar yang diperlukan untuk

menjamin kualitas dan reabilitas hasil dari semua aplikasi analitik. Hasil validasi

dapat digunakan untuk menentukan kualitas, reabilitas dan konsistensi dari hasil

analitik. Hal ini merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu praktik analitik yang

baik (Ermer, 2005).

Menurut United States Pharmacopeia (USP) Edisi Ketigapuluh, ada 8

karakteristik utama yang digunakan dalam validasi metode, yakni akurasi, presisi,

spesifisitas, batas deteksi, batas kuantitasi, linieritas dan rentang, kekasaran dan

ketahanan.

Akurasi atau kecermatan adalah kedekatan antara nilai hasil uji yang

diperoleh lewat metode analitik dengan nilai sebenarnya. Akurasi dinyatakan

dalam persen perolehan kembali (%recovery). Akurasi dapat ditentukan dengan

dua metode, yakni spiked-placebo recovery dan standard addition method. Pada

spiked placebo recovery atau metode simulasi, analit murni ditambahkan (spiked)

ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu campuran tersebut

dianalisis dan jumlah analit hasil analisis dibandingkan dengan jumlah analit

teoritis yang diharapkan. Jika plasebo tidak memungkinkan untuk disiapkan,

maka sejumlah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat ditambahkan

langsung ke dalam sediaan farmasi. Metode ini dinamakan standard addition

(34)

Presisi atau keseksamaan merupakan ukuran kedekatan antar serangkaian

hasil analisis yang diperoleh dari beberapa kali pengukuran pada sampel homogen

yang sama. Biasanya diekspresikan sebagai relatif standar deviasi (RSD) dari

sejumlah sampel yang berbeda secara signifikan secara statistik (Rohmsn, 2007).

Berdasarkan rekomendasi ICH (International Conference on Harmonization),

karakteristik presisi dilakukan pada 3 tingkatan, yakni keterulangan

(repeatability), presisi antara (intermediate precision), dan reprodusibilitas

(reproducibility). Keterulangan dilakukan dengan menganalisis sampel yang sama

oleh analis yang sama menggunakan instrumen yang sama dalam periode waktu

singkat. Presisi antara dikerjakan oleh analis yang berbeda. Sedangkan

reprodusibilitas dikerjakan oleh analis yang berbeda dan di laboratorium yang

berbeda (Epshtein, 2004).

Batas deteksi (limit of detection, LOD) didefinisikan sebagai konsentrasi

analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu

dapat dikuantifikasi.

Batas kuantitasi (limit of quantitation, LOQ) didefinisikan sebagai

konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi

dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara pada bulan Januari 2011 sampai Maret 2011.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat

instrumen KCKT lengkap (Hitachi) dengan pompa (L-2130), injektor

autosampler L-2200, kolom Luna 5u C18 (250 mm x 4,60 mm), detektor UV-Vis

L-2420, degasser (DGU 20 AS), wadah fase gerak, vial autosampler, sonifikator

(Branson 1510), pompa vakum (Gast DOA - P604 – BN), neraca analitik (Mettler

Toledo), membran penyaring PTFE 0,5 µm, membran penyaring nitrat selulosa

0,45 µm dan 0,2 µm, spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV 1800), blender

(Miyako), vortex (Boeco-Germany), sentrifus (Hitachi), dan alat-alat gelas.

3.3 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini jika tidak dinyatakan

lain merupakan kualitas pro analysis keluaran E.Merck meliputi asetonitril,

n-heksan, metanol gradient grade for liquid chromatography, NaCl, aquabidestilata

(PT. Ikapharmindo Putramas), kloramfenikol BPFI dan kloramfenikol baku pabrik

(PT. Varia Sekata).

3.4 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif di lima lokasi di

(36)

3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Penyiapan Bahan

3.5.1.1 Pembuatan Fase Gerak Metanol - Air

Metanol 500 ml disaring dengan menggunakan penyaring PTFE 0,5 µm

dan diawaudarakan selama 30 menit.

Air 500 ml disaring dengan menggunakan penyaring nitrat selulosa 0,45

µm dan diawaudarakan selama 30 menit.

3.5.1.2 Pembuatan Pelarut

Larutan metanol dan air dicampur dengan perbandingan 55:45. Pelarut

kemudian disaring dengan penyaring nitrat selulosa 0,2 µm dan diawaudarakan

selama 30 menit.

3.5.1.3 Pembuatan Larutan Induk Baku Kloramfenikol

Sebanyak 50 mg kloramfenikol baku ditimbang seksama, dimasukkan ke

dalam labu tentukur 250 ml, dilarutkan dengan 5 ml metanol kemudian

dicukupkan sampai garis tanda dengan pelarut dan dikocok sampai homogen,

sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 200 µg/ml.

3.5.1.4 Penyiapan sampel

Dalam setiap percobaan digunakan satu buah telur. Telur yang akan

dipakai dipecahkan terlebih dahulu kulitnya, kemudian semua isinya (putih dan

kuning telur) dihomogenkan menggunakan blender.

3.5.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kloramfenikol

Sebanyak 50 mg kloramfenikol baku ditimbang seksama, dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan 5 ml metanol lalu dicukupkan

(37)

larutan dengan konsentrasi 1000 µg/ml, larutan induk baku I (LIB I). LIB I

dipipet sebanyak 1,5 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml,

dicukupkan sampai garis tanda dengan air dan dikocok sampai homogen,

sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 15 µg/ml. Larutan diukur

serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm.

3.5.3 Prosedur Analisis

3.5.3.1 Penyiapan Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Masing-masing unit diatur, kolom yang digunakan C18 (250 mm x 4,60

mm), detektor UV-Vis pada panjang gelombang analisis yang diperoleh. Pompa

menggunakan mode aliran tetap dengan sistem elusi isokratik.

Setelah alat KCKT dihidupkan, maka pompa dijalankan dan fase gerak

dibiarkan mengalir selama 30 menit sampai diperoleh garis alas yang datar,

menandakan sistem tersebut telah stabil.

3.5.3.2 Penentuan Perbandingan Fase Gerak yang Optimum

Larutan induk baku kloramfenikol dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam

labu tentukur 100 ml, dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda dan dikocok

sampai homogen sehingga diperoleh larutan kloramfenikol dengan konsentrasi 10

µg/ml, disaring dengan membran penyaring PTFE 0,2 µm, diawaudarakan selama

10 menit, kemudian diinjeksikan ke dalam sistem KCKT menggunakan vial

autosampler sebanyak 10 µl, menggunakan fase gerak metanol - air, dengan

perbandingan (40 : 60), (50 : 50), (55 : 45), (60 : 40), (65 : 35), (70 : 30), dan (75 :

25), dengan laju alir 1 ml/menit, dan dideteksi pada panjang gelombang 278 nm.

Kemudian dipilih perbandingan fase gerak dan laju alir yang memberikan data

(38)

3.5.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Kloramfenikol Baku

Larutan induk baku kloramfenikol dipipet sebanyak 5 ml, dimasukkan ke

dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan dengan pelarut hingga garis tanda,

dikocok hingga homogen sehingga diperoleh larutan kloramfenikol dengan

konsentrasi 10 µg/ml (LIB II). LIB II dipipet 0,5; 1; 3; 5; 7; 9 dan 11 ml,

dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, diencerkan dengan pelarut hingga

garis tanda, dikocok sampai homogen sehingga diperoleh konsentrasi 0,05; 0,1;

0,3; 0,5; 0,7; 0,9dan 1,1 µg/ml. Kemudian masing-masing larutan disaring dengan

penyaring nitrat selulosa 0,2 µm, dan diinjeksikan ke sistem KCKT menggunakan

vial autosampler sebanyak 10 µl dideteksi pada panjang gelombang maksimum

yang diperoleh. Selanjutnya dari luas area yang diperoleh pada kromatogram

dibuat kurva kalibrasi dihitung persamaan garis regresi dan faktor korelasinya.

3.5.3.4 Penetapan Kadar Kloramfenikol dalam Sampel

Sampel ditimbang 5 g, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus

bertutup, ditambahkan 10 ml asetonitril dikocok dengan vortex selama 30 detik,

dan disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan

dipisahkan dari endapan. Diulangi perlakuan dengan asetonitril terhadap endapan.

Supernatan dipisahkan dari endapan dan digabungkan supernatan pertama.

Gabungan supernatan ditambahkan 1,5 g NaCl, dikocok dengan vortex selama 1

menit, dan disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Supernatan

dipisahkan dari endapan. Supernatan ditambahkan 5 ml n-heksana, dikocok

dengan vortex selama 30 detik, dan didiamkan sampai terpisah sempurna hingga

terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-heksan di bagian atas dan lapisan asetonitril di

(39)

hati-hati. Diulangi perlakuan dengan n-heksan. Lapisan asetonitril dikeringkan dengan

alat penguap. Ekstrak dilarutkan kembali dengan pelarut sampai 5 ml kemudian

disaring dengan penyaring nitrat selulosa 0,2 µ m, dan diawaudarakan selama 10

menit, kemudian diinjeksikan ke sistem KCKT menggunakan vial autosampler

dan dideteksi pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dengan

perbandingan fase gerak metanol-air (55:45) dan laju alir 1 ml/menit. Dilakukan

sebanyak 6 kali pengulangan untuk setiap sampel. Bagan penetapan kadar

kloramfenikol dalam sampel dapat dilihat pada Gambar 3.

5 gram telur yang telah disiapkan

ditambah 10 ml asetonitril

dikocok 30 detik dengan vortex

disentrifus 10 menit

supernatan dan endapan

supernatan endapan

ditambah 10 ml asetonitril

dikocok 30 detik dengan vortex

disentrifus 10 menit

supernatan dan endapan

supernatan endapan

(40)
[image:40.595.158.519.92.694.2]

Gambar 4. Bagan penetapan kadar kloramfenikol dalam sampel kumpulan supernatan

ditambah 1,5 g NaCl

dikocok 60 detik dengan vortex

disentrifus 5 menit

supernatan dan endapan

dipisahkan

supernatan endapan

ditambah 5 ml n-heksan

dikocok 30 detik dengan vortex

dua lapisan

lapisan atas (n-heksan)

lapisan bawah (asetonitril)

diuapkan

dilarutkan dengan pelarut sampai 5 ml

larutan uji

dianalisis secara KCKT kolom C18 dengan fase gerak metanol-air (55:45), laju alir 1 ml, pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh

hasil supernatan

(41)

3.5.3.5 Analisis Data secara Statistik

Data dianalisis secara statistik menggunakan uji t pada tingkat

kepercayaan 95% dengan nilai α = 0,05. Data diterima jika – ttabel ≤ thitung ≤ ttabel.

Rumus yang digunakan untuk menghitung simpangan baku adalah:

1 )

( 2

− −

=

n X X SD

Sedangkan untuk mendapatkan thitung digunakan rumus:

thitung

n SD

X X

/ − =

Keterangan :

SD = standard deviation (simpangan baku)

X = kadar kloramfenikol

X = kadar rerata kloramfenikol

n = jumlah perlakuan

Untuk menghitung kadar kloramfenikol dalam sampel secara statistik digunakan

rumus:

n SD x t X± = µ

Keterangan:

μ = kadar kloramfenikol

t = harga ttabel sesuai dengan derajat kepercayaan

3.5.4 Metode Validasi

3.5.4.1 Kecermatan (accuracy)

Menurut Harmita (2004), kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan

derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan

(42)

Dalam hal ini persen perolehan kembali dilakukan dengan metode penambahan

baku (standard addition method). Dalam metode ini kadar kloramfenikol dalam

sampel ditentukan terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan penentuan kadar

kloramfenikol dalam sampel setelah penambahan larutan standar 50%, 100%, dan

150%. Masing-masing dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan kemudian

dianalisis dengan perlakuan yang sama seperti pada penetapan kadar sampel.

Persen perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus:

% perolehan kembali = 100% *

) (

x C

C C

A A

F

CF =kadar analit yang diperoleh setelah penambahan kloramfenikol baku

CA = kadar analit awal (sebelum ditambahkan kloramfenikol baku)

C*A = kadar kloramfenikol baku yang ditambahkan

(Data perolehan kembali dan perhitungan persen perolehan kembali dapat dilihat

pada Lampiran 21 dan 22).

3.5.4.2 Keseksamaan (precision)

Menurut Rohman (2007), presisi merupakan ukuran keterulangan metode

analisis dan biasanya diekspresikan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah

sampel yang berbeda signifikan secara statistik.

Untuk menghitung simpangan baku relatif digunakan rumus:

X SD x

RSD = 100

Sementara itu, nilai simpangan baku dihitung dengan menggunakan rumus:

(

)

( )

2

1 −

=

n X X

SD

(43)

Keterangan:

RSD = relative standard deviation (simpangan baku relatif)

SD = standard deviation (simpangan baku)

X = kadar rerata kloramfenikol

X = kadar kloramfenikol

n = jumlah perlakuan

3.5.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Menurut Epshtein (2004), batas deteksi (limit of detection /LOD) dan batas

kuantitasi (limit of quantitation/LOQ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

2 ) ( /

− −

=

n Yi Y Sy x

S S x LOD=3,3 y /x

S S x LOQ=10 y /x

Keterangan:

x y

S / = simpangan baku residual

S = slope atau derajat kemiringan

(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kloramfenikol

Panjang gelombang analisis ditentukan dengan membuat kurva serapan

kloramfenikol baku menggunakan spektrofotometer UV. Spektrum hasil

pengukuran kloramfenikol baku dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kurva serapan kloramfenikol baku 15 µg/ml secara spektrofotometri UV Dari kurva serapan ini, diperoleh kesimpulan bahwa kloramfenikol

memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 278 nm. Panjang

gelombang yang diperoleh berbeda 8 nm dari prosedur menurut SNI 7541.1:2009

yang menyatakan bahwa kloramfenikol dalam sampel diidentifikasi pada panjang

gelombang 270 nm. Menurut Moffat et al (2005) dan Ditjen POM (1979),

kloramfenikol memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 278 nm.

[image:44.595.113.509.262.534.2]
(45)

4.2 Penentuan Perbandingan Fase Gerak yang Optimum

Pada orientasi dilakukan variasi perbandingan fase gerak metanol-air yaitu

(40 : 60), (50 : 50), (55 : 45), (60 : 40), (65 : 35), (70 : 30), dan (75 : 25) dengan

[image:45.595.117.510.227.399.2]

laju alir 1 ml/menit. Kromatogram hasil optimasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 1. Hasil optimasi fase gerak dengan parameter data waktu tambat dan asimetris

Dari tabel di atas, dapat diamati bahwa semakin besar konsentrasi metanol

dalam fase gerak, maka waktu tambat akan semakin singkat. Namun, waktu

tambat yang singkat tidak selalu menjadi yang terbaik terutama untuk sampel

dalam matriks biologis. Hal ini dikarenakan sering muncul puncak-puncak lain

pada menit-menit awal yang akan mengganggu pengamatan.

Puncak kromatogram dalam kondisi ideal memperlihatkan bentuk

Gaussian dengan asimetris benilai 1. Bila asimetris lebih besar dari 1 maka

puncak akan berbentuk tailing, sehingga nilai asimetris yang terbaik adalah yang

mendekati 1. Berdasarkan kedua hal tersebut, maka dipilih perbandingan fase

gerak metanol-air (55:45) dengan waktu tambat 5,95 dan asimetris 1,85.

Kromatogram hasil penyuntikan kloramfenikol baku dengan perbandingan fase

gerak metanol-air (55:45) dapat dilihat pada Gambar 5.

No Perbandingan FG Metanol-air Waktu Retensi (menit) Asimetris

1 40 :60 14,49 2,56

2 50 : 50 7,71 2,05

3 55 : 45 5,95 1,85

4 60 : 40 4,83 1,91

5 65 : 35 4,11 1,86

6 70 : 30 3,61 1,87

(46)

Gambar 5. Kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol baku dengan

perbandingan fase gerak metanol-air (55:45)

4.3 Penentuan Linieritas Kurva Kalibrasi Kloramfenikol Baku

Kurva kalibrasi kloramfenikol baku dibuat dengan konsentrasi yang

meningkat dimulai dari rentang konsentrasi 0,05; 0,1; 0,3; 0,5; 0,7; 0,9 dan 1,1

[image:46.595.123.507.84.336.2]

µg/ml. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 6.

[image:46.595.114.490.506.718.2]
(47)

Analisis secara kuantitatif ditentukan dari kurva kalibrasi kloramfenikol

baku berdasarkan luas puncak. Luas puncak digunakan karena kromatogram yang

diperoleh tidak simetris. Bila besaran puncak asimetri yang terjadi adalah : 0,8 >

SS > 1,2 maka penetapan kuantitatif berdasarkan tinggi puncak tidak boleh

dikerjakan, tetapi dilakukan penetapan kuantitatif berdasarkan luas puncak.

Dari kurva kalibrasi diperoleh hubungan yang linier antara luas area dan

konsentrasi dengan koefisien korelasi r = 0,9994. Koefisien korelasi yang

diperoleh ini masih dalam batas penerimaan nilai koefisien korelasi yaitu r =

0,995 (Moffat et al, 2005). Dari hasil perhitungan, diperoleh persamaan regresi

8297 , 1079 9059

,

17319 +

= X

Y . Salah satu kromatogram hasil penyuntikkan

[image:47.595.129.530.392.644.2]

larutan kloramfenikol baku untuk kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kromatogram hasil penyuntikan larutan kloramfenikol baku 0,9µg/ml pada pembuatan kurva kalibrasi

(Perhitungan persamaan regresi dan koefisien korelasi dapat dilihat pada

(48)

3.3 Penetapan Kadar Kloramfenikol dalam Sampel

Dari hasil penyuntikan sampel diperoleh waktu tambat salah satu puncak

yaitu 6,09 menit. Waktu tambat ini berdekatan dengan waktu tambat

kloramfenikol baku yang dianalisis pada kondisi KCKT yang sama yaitu 5,95

menit. Meskipun waktu tambat yang ditunjukkan tidak sama persis, namun

puncak yang diamati dalam kromatogram sampel dapat diterima sebagai puncak

kloramfenikol karena waktu tambat 6,09 menit masih berada dalam rentang waktu

tambat yang dapat diterima yaitu ±5% dari waktu tambat puncak kloramfenikol

baku 5,95 menit (Weston and Brown, 1997). Kedua kromatogram hasil analisis

KCKT ini dapat dilihat pada gambar 8A dan 8B.

Untuk mempertegas identifikasi yang diperoleh, ditambahkan sedikit

larutan kloramfenikol baku ke dalam larutan sampel (spiking), lalu dianalisis pada

kondisi KCKT yang sama. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

luas dan tinggi pada puncak kloramfenikol yang diamati sebelumnya. Jadi dapat

disimpulkan bahwa puncak yang diamati dalam larutan sampel adalah benar

merupakan puncak kloramfenikol. Kromatogram larutan sampel setelah spiking

(49)

(A)

(B)

(C)

[image:49.595.120.510.75.632.2]
(50)

Hasil pengolahan data penetapan kadar kloramfenikol dalam sampel

secara KCKT menggunakan kolom C18 (250 mm x 4,60 mm) dengan

perbandingan fase gerak metanol-air (55:45), volume penyuntikan 10 µl, laju alir

1 ml/menit, detektor UV-Vis (L-2420) pada panjang gelombang 278 nm dapat

dilihat pada Lampiran 19. Kadar dapat dihitung dengan mensubtitusikan luas area

[image:50.595.114.512.281.452.2]

pada Y dari persamaan regresi Y=17319,9059X +1079,8297

Tabel 2. Kadar rerata kloramfenikol dalam sampel

No. Lokasi pengambilan sampel Kadar kloramfenikol (µg/g)

1. Binjai 0,1937 ± 0,0275

2. Tandem 0,1709 ± 0,0304

3. Pantai Labu 0,1671 ± 0,0200

4. Marelan 0,0773 ± 0,0002

5. Kabanjahe 0,0752 ± 0,0043

3.4 Hasil Uji Validasi

Pada penelitian ini dilakukan uji validasi metode, dengan parameter

kecermatan (accuracy), keseksamaan (precision), batas deteksi (LOD) dan batas

kuantitasi (LOQ). Uji kecermatan dinyatakan dengan persen perolehan kembali

(% recovery) yang dilakukan dengan metode penambahan baku (standard

addition method). Uji keseksamaan dinyatakan dengan simpangan baku relatif

(RSD). Hasil perolehan kembali kloramfenikol dalam sampel dapat dilihat pada

Tabel 3.

(51)
[image:51.595.121.504.122.346.2]

Tabel 3. Data hasil uji validasi metode pemeriksaan residu kloramfenikol secara KCKT

Dari data di atas diperoleh persen perolehan kembali (% recovery)

kloramfenikol sebesar 101,5%. Menurut Harmita (2004), rentang kesalahan yang

diijinkan dalam persen perolehan kembali untuk sampel dengan kadar analit

<1ppm adalah 80-110%.

Nilai simpangan baku relatif (RSD) yang diperoleh adalah 5,7606%.

Menurut Rohman (2007), nilai RSD yang dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa

dengan kadar sekelumit berkisar antara 5-15%. Maka dapat disimpulkan bahwa

metode yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai akurasi dan presisi yang

memenuhi syarat. Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) yang diperoleh

dari penelitian ini sebesar 0,0518 µg/g dan 0,1570 µg/g. Kromatogram dan cara

perhitungan hasil perolehan kembali dapat dilihat pada Lampiran 21 dan 22. Penambahan

kloramfenikol baku

Luas area Kadar (µg/g) % recovery

50%

3442 0,1365 93,8

3440 0,1363 93,4

3472 0,1381 97

100%

4501 0,1975 107,9

4503 0,1976 108

4497 0,1973 107,7

150%

5335 0,2456 104

5261 0,2414 101,2

5252 0,2409 100,9

(52)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Telur ayam dari lima lokasi yang diperiksa (Binjai, Tandem, Pantai Labu,

Marelan, dan Kabanjahe) ternyata mengandung residu kloramfenikol yang

melebihi persyaratan RSNI No. : 05 – TAN – 1996.

5.2 Saran

Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penetapan

kadar antibiotik lain yang mungkin juga terdapat dalam telur ayam serta

(53)

Daftar Pustaka

Anonim. (2011). Antibiotik. [serial online] [12 April 2011].

Bahri, S. (2008). Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor.

Bahri, S., A. Kusumaningsih, T. B, Murdiati, A. Nurhadi, dan E. Masbulan. (2000). Analisis Kebijakan Keamanan Pangan Asal Ternak (terutama ayam ras petelur dan broiler). Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Bliesner, D.M. (2006). Validating Chromatographic Methods A Practical Guide. John Wiley and Son, Inc. New Jersey. Halaman 1.

Botsoglov, N.A., Fletouris, D.J. (2000). Drug Residues In Food (Pharmacology, Food Safety, and Analysis). Aristotle University, Thessaloniki, Greece. Marcel Dekker, Inc, New York. Halaman 1.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Halaman 144.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi keempat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Halaman 189-190.

Epshtein, N.A. (2004). Validation of HPLC Techniques for Pharmaceutical Analysis. Pharmaceutical Chemistry Journal 38(4): 212-228.

Ermer, J. (2005). Analitical Validation within the Pharmaceutical Environment. Dalam: Method Validation in Pharmaceutical Analysis. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA. Halaman 3-5.

Fadilah, R., Polana, A. (2005). Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agromedia Pustaka. Jakarta. Halaman 33.

Foye, W.O. (1996). Prinsip - Prinsip Kimia Medisinal Jilid II Edisi Kedua. Penerjemah: Raslim Rasyid, dkk. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Halaman 1570.

Hadisahputra, S., U. Harahap. (1994). Biokimia Dan Farmakologi Antibiotik. USU Press. Medan. Halaman 38-39

(54)

Katzung, B.G. (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Penerjemah dan editor: Bagian Farmakologi FK UNAIR. Penerbit Salemba Medika, Surabaya. Hlm 37-41.

Kazakevich, Y. and L. LoBrutto. (2007). Introduction. In: Kazakevich and L. LoBrutto (eds). HPLC for Pharmaceutical Scientists. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 18-19.

Meyer, V.R. (2004). Practical High-Performance Liquid Chromatography. Chichester: John Wiley and Sons Inc. Halaman 4-8.

Moffat, A.C., M.D. Osselton, B. Widdop. (2005). Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons. Pharmaceutical Press.

Panda, P.C. (1998). Text Book on Egg and Poultry Technology. Vikas Publishing House. Delhi (India). Halaman 18-20.

Rahayu, I. (2009). Prinsip Pengobatan. Universitas Muhammadyah Malang.

Riley, C.M. (1995). Modes of Chromatography. Dalam: High Performance Liquid Chromatography Fundamentals Principles and Practice. London. Halaman 36.

Ornaf, R.M. and M.W. Dong. (2005). Key Concepts of HPLC in Pharmaceutical Analysis. In: S. Ahuja and M.W. Dong (eds). Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC. San Diego: Elsevier, Inc. Halaman 22-29.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Setiabudy, R., Gan, V. H. 2007. Pengantar Antimikroba. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Gaya Baru, Jakarta. Halaman 571-578.

RSNI No. : 05 – TAN. (1996). Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan.

Sudaryani, T. (2005). Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta. Halaman 1,8.

SNI 7541.1. (2009). Metode Pengujian dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) – Bagian 1 : Residu Kloramfenikol dalam Daging, Telur, Susu, dan Olahannya.

United States Pharmacopoeia. (2007). The National Formulary. 30th Edition .The United States Pharmacopoeial Convention. Halaman 1407.

Wattimena, J. R., (1991). Farmakodinami Dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Halaman 1, 187.

(55)

Lampiran 1. Kromatogram Penyuntikan Kloramfenikol Baku untuk Menentukan Perbandingan Fase Gerak yang Optimum

Perbandingan fase gerak metanol-air (40:60)

(56)

Perbandingan fase gerak metanol-air (55:45)

(57)

Perbandingan fase gerak metanol-air (65:35)

(58)
(59)

Lampiran 2. Kromatogram Penyuntikan Kloramfenikol Baku pada Pembuatan Kurva Kalibrasi

A

(60)

C

(61)

E

(62)

G

(63)

Lampiran 3. Perhitungan Persamaan Regresi dari Kurva Kalibrasi Kloramfenikol

No X Y XY X2 Y2

1 0,05 2105 105,25 0,0025 4431025

2 0,1 2593 259,3 0,01 6723649

3 0,3 6455 1936,5 0,09 41667025

4 0,5 9872 4936 0,25 97456384

5 0,7 12733 8913,1 0,49 162129289

6 0,9 16743 15068,7 0,81 280328049

7 1,1 20272 22299,2 1,21 410953984

3,65 70773 53518,05 2,8625 1003689405

Rerata 0,5214 10110,4286

b aX

Y= +

( ) ( )( )

( )

X

( )

X n

n Y X XY a / / 2 2 − Σ Σ Σ Σ − Σ =

(

) ( )(

)

(

2,8625

) ( )

3,65 /7 7 / 70773 65 , 3 05 , 53518 2 − − = 9593 , 0 9857 , 16614 = = 17319,9059 aX Y

b= −

=10110,4286−

(

17319,9059

)(

0,5214

)

=1079,8297

(64)

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dan luas area (Y), maka

dihitu

Gambar

Gambar 1. Bentuk puncak kromatogram. (sumber: Kazakevich, Y. 2007).
Gambar 2. Pengukuran derajat asimetris puncak (sumber : Meyer, V.R. 2004).
Gambar 4. Bagan penetapan kadar kloramfenikol dalam sampel
Gambar 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

OPTIMASI FASE GERAK METANOL-AIR DAN LAJU ALIR PADA PENETAPAN KADAR CAMPURAN TEOFILIN DAN EFEDRIN HCl DALAM TABLET DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR.. KINERJA

A, B, C, D, E dan F merupakan kromatogram penyuntikan 6 kali dari larutan tablet levofloksasin (PT Indofarma) pada konsentrasi 25 µg/ml yang dianalisa secara KCKT

Disuntikkan secara terpisah dan dilakukan KCKT dengan kolom Oktadesilsilana pada partikel silika 10 µm/5 µm, 4-6 mm x 15 cm, fase gerak isokratik : metanol: dapar posfat (8 : 92)

Standar berberin di optimasi laju alir dan fase gerak pada pemisahan menggunakan KCKT, hasil laju alir dan fase gerak terbaik digunakan untuk kadar berberin yang teerdapat dalam

A, B, C, D, E dan F merupakan kromatogram penyuntikan 6 kali dari larutan tablet levofloksasin (PT Indofarma) pada konsentrasi 25 µg/ml yang dianalisa secara KCKT

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa residu NF dalam daging ayam dapat dianalisis menggunakan KCKT dan hasil analisis terhadap 42 sampel lapang menunjukkan adanya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa residu NF dalam daging ayam dapat dianalisis menggunakan KCKT dan hasil analisis terhadap 42 sampel lapang menunjukkan adanya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa residu NF dalam daging ayam dapat dianalisis menggunakan KCKT dan hasil analisis terhadap 42 sampel lapang menunjukkan adanya