KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON
UNTUK DESINFEKSI AIR
Oleh : M Putra Siburian
F 34102105
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON
UNTUK DESINFEKSI AIR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : M Putra Siburian
F 34102105
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON
UNTUK DESINFEKSI AIR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh : M Putra Siburian
F 34102105
Dilahirkan pada tanggal 24 November 1984 di Tapanuli Utara
Tanggal lulus : 12 September 2006
Disetujui oleh : Bogor, Oktober 2006
M. Putra Siburian. F 34102105. Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air. Di bawah bimbingan Suprihatin.
RINGKASAN
Saat ini teknologi pengolahan air sudah berkembang dengan pesat. Sudah cukup banyak instansi-instansi yang membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, mendirikan instalasi pengolahan air bersih mandiri untuk melepas ketergantungan dari PDAM. Pengolahan air secara mandiri ini dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi penyaringan air bersih yang sudah ada, tentunya juga dipengaruhi dengan kemampuan dari instansi tersebut baik dari segi ketersediaan teknologi dan segi finansial. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (benda-benda yang tercampur dan tidak larut), (2) pengolahan kedua (bahan-bahan organik), dan (3) pengolahan ketiga (padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik). Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penggunaan membran sebagai desinfektan. Polisulfon sebagai pemurni air dengan mengambil sampel pada Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga. Sampel air yang diambil adalah air yang telah mengalami proses pengolahan sampai menjadi air yang sudah memenuhi standar baku pemerintah, namun belum mengalami proses desinfeksi. Formulasi membran yang digunakan adalah membran polisulfon 12% dengan variasi ketebalan membran 0.05 mm, 0.10 mm dan 0.15 mm dan sebagai perbandingan digunakan membran Mikrofiltrasi hollow fiber komersial dan referensi kinerja membran ultrafiltrasi komersial. Karakteristik air bahan baku dan hasil penyaringan membran meliputi pH, warna, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) dan total mikroba (total coliform dan total E.coli). Penelitian dilakukan dengan mensirkulasikan air sampel selama 360 menit dengan menggunakan 3 tingkat tekanan yaitu 0.7 bar (120 menit pertama). 1.4 bar (120 menit kedua) dan 2.1 bar (120 menit ketiga). Tahapan penelitian yang dilakukan adalah analisa terhadap air feed, lalu dilakukan sirkulasi air melalui membran dan air hasil sirkulasi (permeat) diuji dengan uji yang sama dengan feed. Ketiga nilai hasil pengukuran fluks air pada membran polisulfon menunjukkan penurunan hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena air sampel hasil olahan yang masih mengandung pengotor, baik itu padatan organik maupun non-organik. Membran polisulfon dengan ketebalan 0.05 memiliki kisaran fluks tertinggi yaitu sekitar 165 L/m2.jam pada tingkat tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar. Hasil analisis karakterisasi permeat membran yang dilakukan menunjukkan bahwa membran polisulfon memberikan efektifitas yang baik untuk desinfeksi air dimana analisis mikroba menunjukkan zero kontaminasi, dan rata-rata TSS mencapai 0.0 mg/l, warna 2 dan 1 Tcu, kekeruhan 1 NTU, pH 7.01-7.10.
ketebalan yang diuji memberikan kinerja yang serupa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran polisulfon dapat bekerja efektif dalam pemurnian air hasil olahan dan membran terbaik untuk pemurnian air adalah membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm dengan tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar dilihat secara kinerja membran (fluks air 165 L/m2.jam) dan secara ekonomik.
M. Putra Siburian. F 34102105. Study of polisulfone Membranes Efectivity for Water Desinfection. Supervised by Suprihatin.
SUMMARY
Nowadays water treatment technology has improved very fast. A lot of institutions, who needs clean water in a large quantity, build their own water treatment installation, so they don’t have to depend on government’s supply for clean water. Water treatments installation that builds by institution usually depends on the ability of the institutions; either it’s the technology resources or the financial ability. Water treatments are needed to be done in three steps, which is (1) first treatment (colloidal and not suspended), (2) second treatment (organic compound), (3) third treatment (suspended solid, organic and non-organic). Membrane filtration is to separate suspended particles in the water through pores media or material and produce good water quality.
The purpose of this research is to study the efectivity of Polysulfone membrane in water purification by taking sample from IPB Ciapus River Water Installation. Sample that used for the research has already being pre-treatment until it achieve government standard for drink water, but it hasn’t sterilized with disinfectant. The membrane formulation that used for this research is polisulfone membrane with thickness variation 0.05 mm, 0.10 mm and 0.15 mm, and as comparation used commercial microfiltration hollow fiber membrane and ultrafiltration membrane references. The feed and permeate characterization is using pH, color, turbidity, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) and microbe total (coliform and E.coli total). This research is done by circulating water sample for 360 minutes in three step pressure which is 0.7 bar (first 120 minutes), 1.4 bar (second 120 minutes) and 2.1 bar (third 120 minutes). The research starts by characterizing the feed water, and then sample is circulated through membrane, after that permeate is characterized. Polisulfone membrane shows a decreasing pattern, this is because of the water sample is still containing colloidal, either its organic or non-organic. Polisulfone membrane with 0.05 mm thickness has the highest fluks which is approximate 165 L/m2.hour. The membrane permeate characterization shows that polisulfone membrane gives a good efectivity as water refining with zero contaminant for microbe, with zero TSS, 2 and 1 TCU for color, 1 NTU for turbidity, pH 7.01-7.10.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas rujukannya.
Bogor, September 2006 Yang Menyatakan Pernyataan
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian dan menyusun laporan skripsi dengan judul Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Mama, Kakak-kakak saya Marta dan Marlinang serta adik-adik saya Glory dan Marsudi atas dukungan, nasehat, doa dan kasih sayangnya, yang sangat berharga bagi penulis.
2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing sebagai dosen pembimbing akademik atas dorongan dan saran yang diberikan mulai dari persiapan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.
4. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.
5. Paulina Rosari Sinaga dan Eko Purwanto selaku teman – teman satu penelitian atas kerjasama dan kebersamaan selama penelitian.
6. Teman – teman baik penulis selama kuliah, Adriel, Samuel, Diena. 7. Teman-teman Agriaswara, Budi, Helmy, Ary, Hesty, Hilma. 8. Ibu Ega, Pak Gunawan dan para laboran di laboratorium TIN. 9. Rekan – rekan TIN angkatan 39
ii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis menerima dengan senang hati segala kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkannya.
Bogor, September 2006
iii 1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus... 2. Karakteristik dan Kualitas Air ... 3. Pengolahan Air Konvensional ... B. Pencemaran Air ... 1. Definisi Pencemaran Air ... 2. Indikator Pencemaran Air ... 3. Komponen Pencemaran Air ... 4. Dampak Pencemaran Air ... 5. Penanggulangan Pencemaraan Air ...
C. Membran ... 1. Denifisi Membran ...
2. Klasifikasi Membran ... Karakterisasi Membran ... 3. Proses Pemisahan Membran ... 4. Material Pembuat membran ... 5. Peristiwa Fouling ... III. METODOLOGI PENELITIAN ... A. Bahan dan Alat ... B. Tahapan Penelitian ...
KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON
UNTUK DESINFEKSI AIR
Oleh : M Putra Siburian
F 34102105
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON
UNTUK DESINFEKSI AIR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : M Putra Siburian
F 34102105
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON
UNTUK DESINFEKSI AIR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh : M Putra Siburian
F 34102105
Dilahirkan pada tanggal 24 November 1984 di Tapanuli Utara
Tanggal lulus : 12 September 2006
Disetujui oleh : Bogor, Oktober 2006
M. Putra Siburian. F 34102105. Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air. Di bawah bimbingan Suprihatin.
RINGKASAN
Saat ini teknologi pengolahan air sudah berkembang dengan pesat. Sudah cukup banyak instansi-instansi yang membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, mendirikan instalasi pengolahan air bersih mandiri untuk melepas ketergantungan dari PDAM. Pengolahan air secara mandiri ini dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi penyaringan air bersih yang sudah ada, tentunya juga dipengaruhi dengan kemampuan dari instansi tersebut baik dari segi ketersediaan teknologi dan segi finansial. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (benda-benda yang tercampur dan tidak larut), (2) pengolahan kedua (bahan-bahan organik), dan (3) pengolahan ketiga (padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik). Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penggunaan membran sebagai desinfektan. Polisulfon sebagai pemurni air dengan mengambil sampel pada Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga. Sampel air yang diambil adalah air yang telah mengalami proses pengolahan sampai menjadi air yang sudah memenuhi standar baku pemerintah, namun belum mengalami proses desinfeksi. Formulasi membran yang digunakan adalah membran polisulfon 12% dengan variasi ketebalan membran 0.05 mm, 0.10 mm dan 0.15 mm dan sebagai perbandingan digunakan membran Mikrofiltrasi hollow fiber komersial dan referensi kinerja membran ultrafiltrasi komersial. Karakteristik air bahan baku dan hasil penyaringan membran meliputi pH, warna, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) dan total mikroba (total coliform dan total E.coli). Penelitian dilakukan dengan mensirkulasikan air sampel selama 360 menit dengan menggunakan 3 tingkat tekanan yaitu 0.7 bar (120 menit pertama). 1.4 bar (120 menit kedua) dan 2.1 bar (120 menit ketiga). Tahapan penelitian yang dilakukan adalah analisa terhadap air feed, lalu dilakukan sirkulasi air melalui membran dan air hasil sirkulasi (permeat) diuji dengan uji yang sama dengan feed. Ketiga nilai hasil pengukuran fluks air pada membran polisulfon menunjukkan penurunan hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena air sampel hasil olahan yang masih mengandung pengotor, baik itu padatan organik maupun non-organik. Membran polisulfon dengan ketebalan 0.05 memiliki kisaran fluks tertinggi yaitu sekitar 165 L/m2.jam pada tingkat tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar. Hasil analisis karakterisasi permeat membran yang dilakukan menunjukkan bahwa membran polisulfon memberikan efektifitas yang baik untuk desinfeksi air dimana analisis mikroba menunjukkan zero kontaminasi, dan rata-rata TSS mencapai 0.0 mg/l, warna 2 dan 1 Tcu, kekeruhan 1 NTU, pH 7.01-7.10.
ketebalan yang diuji memberikan kinerja yang serupa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran polisulfon dapat bekerja efektif dalam pemurnian air hasil olahan dan membran terbaik untuk pemurnian air adalah membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm dengan tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar dilihat secara kinerja membran (fluks air 165 L/m2.jam) dan secara ekonomik.
M. Putra Siburian. F 34102105. Study of polisulfone Membranes Efectivity for Water Desinfection. Supervised by Suprihatin.
SUMMARY
Nowadays water treatment technology has improved very fast. A lot of institutions, who needs clean water in a large quantity, build their own water treatment installation, so they don’t have to depend on government’s supply for clean water. Water treatments installation that builds by institution usually depends on the ability of the institutions; either it’s the technology resources or the financial ability. Water treatments are needed to be done in three steps, which is (1) first treatment (colloidal and not suspended), (2) second treatment (organic compound), (3) third treatment (suspended solid, organic and non-organic). Membrane filtration is to separate suspended particles in the water through pores media or material and produce good water quality.
The purpose of this research is to study the efectivity of Polysulfone membrane in water purification by taking sample from IPB Ciapus River Water Installation. Sample that used for the research has already being pre-treatment until it achieve government standard for drink water, but it hasn’t sterilized with disinfectant. The membrane formulation that used for this research is polisulfone membrane with thickness variation 0.05 mm, 0.10 mm and 0.15 mm, and as comparation used commercial microfiltration hollow fiber membrane and ultrafiltration membrane references. The feed and permeate characterization is using pH, color, turbidity, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) and microbe total (coliform and E.coli total). This research is done by circulating water sample for 360 minutes in three step pressure which is 0.7 bar (first 120 minutes), 1.4 bar (second 120 minutes) and 2.1 bar (third 120 minutes). The research starts by characterizing the feed water, and then sample is circulated through membrane, after that permeate is characterized. Polisulfone membrane shows a decreasing pattern, this is because of the water sample is still containing colloidal, either its organic or non-organic. Polisulfone membrane with 0.05 mm thickness has the highest fluks which is approximate 165 L/m2.hour. The membrane permeate characterization shows that polisulfone membrane gives a good efectivity as water refining with zero contaminant for microbe, with zero TSS, 2 and 1 TCU for color, 1 NTU for turbidity, pH 7.01-7.10.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas rujukannya.
Bogor, September 2006 Yang Menyatakan Pernyataan
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian dan menyusun laporan skripsi dengan judul Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Mama, Kakak-kakak saya Marta dan Marlinang serta adik-adik saya Glory dan Marsudi atas dukungan, nasehat, doa dan kasih sayangnya, yang sangat berharga bagi penulis.
2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing sebagai dosen pembimbing akademik atas dorongan dan saran yang diberikan mulai dari persiapan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.
4. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.
5. Paulina Rosari Sinaga dan Eko Purwanto selaku teman – teman satu penelitian atas kerjasama dan kebersamaan selama penelitian.
6. Teman – teman baik penulis selama kuliah, Adriel, Samuel, Diena. 7. Teman-teman Agriaswara, Budi, Helmy, Ary, Hesty, Hilma. 8. Ibu Ega, Pak Gunawan dan para laboran di laboratorium TIN. 9. Rekan – rekan TIN angkatan 39
ii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis menerima dengan senang hati segala kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkannya.
Bogor, September 2006
iii 1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus... 2. Karakteristik dan Kualitas Air ... 3. Pengolahan Air Konvensional ... B. Pencemaran Air ... 1. Definisi Pencemaran Air ... 2. Indikator Pencemaran Air ... 3. Komponen Pencemaran Air ... 4. Dampak Pencemaran Air ... 5. Penanggulangan Pencemaraan Air ...
C. Membran ... 1. Denifisi Membran ...
2. Klasifikasi Membran ... Karakterisasi Membran ... 3. Proses Pemisahan Membran ... 4. Material Pembuat membran ... 5. Peristiwa Fouling ... III. METODOLOGI PENELITIAN ... A. Bahan dan Alat ... B. Tahapan Penelitian ...
iv
C. Metode ... 1. Persiapan ... 2. Filtrasi Air ... 3. Karakterisasi Air ... D. Rancangan Percobaan ... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
A. Kinerja Membran ... 1. Fluks ... 2. Rejeksi Polutan. ... B. Karakteristik Air ...
1. Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS)... 2. Warna dan Kekeruhan ... 3. pH ... 4. Mikrobiologi (total coliform dan total E.coli) ...
v DAFTAR TABEL
Tabel 1. Beberapa penyakit bawaan air dan agennya ... Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ... Tabel 3. Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk... Tabel 4. Selang fluks dan tekanan ... Tabel 5. Hasil uji feed air ………...……... Tabel 6. Nilai rata-rata karakteristik air sebelum (feed) dan
sesudah (permeat) ... Tabel 7. Perubahan hasil uji mikrobiologi air………...……….
Halaman 2 14 24 28 37
vi DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. E.coli dalam pembesaran 10.000 kali ………...….……. Gambar 2. Membran waterfine berbentuk hollow fiber ...... Gambar 3. Klasifikasi membran ... Gambar 4. Simulasi kinerja proses membran filtrasi ... Gambar 5. Simulasi cara kerja membran hollow fiber ... Gambar 6. Prinsip operasi membran ... Gambar 7. Sistem crossflow ………...…... Gambar 8. Perbandingan sistem desain operasi ... Gambar 9. Struktur molekul polisulfon ... Gambar 10.Penurunan fluks pada filtrasi ... Gambar 11.Faktor – faktor yang mempengaruhi fluks ... Gambar 12.Diagram alir penelitian ... Gambar 13.Fluks membran polisufon selama filtrasi air …………...………... Gambar 14.TSS dan TDS air sebelum dan sesudah penyaringan
pada masing-masing membran ... Gambar 15.Membran polisulfon setelah penyaringan ………...…... Gambar 16.Penurunan kadar warna sebelum dan sesudah penyaringan
pada masing-masing membran...…... Gambar 17.Grafik perubahan pH air sebelum dan sesudah
penyaringan pada masing-masing membran ………...…...
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Instalasi pengolahan air sungai ciapus kampus
IPB Darmaga Bogor ……….. Lampiran 2. Perangkat pompa... Lampiran 3. Spesifikasi teknik unit mikrofiltrasi ... Lampiran 4. Data fluks air hasil penyaringan dengan menggunakan
membran ... Lampiran 5. Analisa keragaman data fluks air ... Lampiran 6. Karakteristik air sebelum dan sesudah penyaringan
menggunakan membran ... Lampiran 7. Analisis keragaman karakteristik warna air pada
membran polisulfon ... Lampiran 8. Persentase perubahan parameter pada membran ... Lampiran 9. Penentuan laju alir ... Lampiran 10. Prosedur analisis karakteristik air ... Lampiran 11. Baku mutu air minum KepMenKes ...
Halaman
56 57 58
59 63
66
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Air adalah sumber kehidupan. Air adalah senyawa sederhana (H2O) tetapi
manfaatnya tak terperi. Air bersih dan air murni merupakan bahan yang semakin penting dan juga langka dengan semakin majunya IPTEK, masyarakat dan peradaban industri. Sebaliknya berkat perkembangan IPTEK mutu air pun semakin dapat diperbaiki. Keberadaan air bagi manusia sangat penting di setiap harinya. Di Indonesia kebutuhan air untuk setiap orang mencapai 40 – 120 liter setiap harinya. Namun persediaan air dari berbagai sumber air bersifat terbatas dan tersebar secara tidak merata secara ruang dan waktu, diakibatkan adanya perbedaan iklim dan kemampuan tanah menyimpan air. Selain itu, semakin meluasnya wilayah pencemaran air, akan mengurangi daya dukung air bersih bagi kehidupan manusia, karena ketersediaan air seringkali tidak mencukupi kebutuhan manusia akan air bersih.
2 Menurut Darmono (2001), air yang telah tercemar, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan masyarakat. Apabila dipergunakan akan menimbulkan akibat yang segera tampak (akut) dan akibat yang tampak secara perlahan-lahan atau dalam waktu yang lama (kronis). Sedangkan Azwar (1983), dan Slamet (1996), menyatakan air berperan dalam terjadinya penyebaran penyakit yaitu; air sebagai penyebar bakteri patogen, air sebagai sarang insekta penyebar penyakit, jumlah air bersih yang tersedia tidak mencukupi, dan air sebagai sarang sementara penyakit. Jenis mikroba yang dapat menyebar melalui air yaitu; virus, bakteri, protozoa dan metazoa. Penyakit bawaan air yang banyak terdapat di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Penyakit Bawaan Air dan Agennya
Agen Penyakit
Polio (myelitis anterior acuta) Bakteri : Taenia saginata dan T. solium Schistomasoma Sumber : Slamet (1996)
3 komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat didegradasi agar konsentrasinya menjadi rendah. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (primer), (2) pengolahan kedua (sekunder), dan (3) pengolahan ketiga (tersier). pengolahan pertama bertujuan untuk membersihkan air limbah dari benda yang tercampur dan tidak larut (benda padat, gemuk dan benda-benda yang terapung) dengan cara pengendapan ataupun pengapungan.
Pengolahan kedua merupakan proses biologis dengan tujuan untuk mengurangi bahan-bahan organik melalui mikroorganisme yang ada di dalamnya. Pengolahan ketiga merupakan pengolahan secara khusus sesuai dengan kandungan zat yang terbanyak dalam air limbah dan bertujuan untuk memisahkan padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik (senyawa-senyawa fosfat, nitrat dan bahan-bahan lainnya). Pengolahan dilakukan dengan menggunakan saringan (membran) dan proses penyerapan (adsorption) serta proses osmosis balik, sehingga air yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan.
Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik. Membran yang digunakan pada proses filtrasi umumnya dibuat dari (i) polimer alami dan modifikasinya, (ii) polimer sintetis, (iii) dan bahan inorganik. Pemilihan bahan baku pembentuk membran penting dilakukan karena jenis bahan baku dapat berpengaruh terhadap karakteristik membran yang dihasilkan.
Membran polisulfon adalah membran yang berbahan dasar polisulfon. Beberapa sifat yang dapat menempatkan polisulfon sebagai membran terkemuka adalah mempunyai temperatur gelas (Tg = 195oC), stabil terhadap panas dan oksidasi, tahan
terhadap perubahan pH, tidak meregang meski pada temperatur tinggi, memiliki fleksibilitas dan kekuatan sangat tinggi.
4 perbandingan digunakan membran mikrofiltrasi komersial referensi membran ultrafiltrasi.
Pada penelitian ini dilakukan pengujian kinerja membran polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,05 mm, polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,10 mm, polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,15 mm, dan membran mikrofiltrasi komersial dalam aplikasi pengolahan air bersih sehingga diperoleh hasil kinerja masing-masing membran dan ketebalan membran polisulfon terbaik dalam menghasilkan air yang murni dan bebas mikroba. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif teknologi untuk proses desinfeksi air.
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efektifitas penerapan membran polisulfon dengan tiga taraf ketebalan dalam aplikasi untuk pemurnian air dan penyaring mikroba.
C. RUANG LINGKUP
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. AIR BERSIH
Slamet (1996), menyatakan air diperlakukan untuk melarutkan berbagai jenis zat
yang diperlukan tubuh. Segala reaksi yang terjadi di dalam tubuh manusia terlaksana
dalam lingkungan air. Dalam segala fungsi kehidupan manusia, seperti bereaksi
terhadap gangguan, tumbuh, bermetabolisme, dan bereproduksi, air selalu memegang
peranan penting. Apabila terjadi pencemaran terhadap badan air oleh limbah
domestik (rumah tangga), industri, pertanian, dan transportasi, maka badan air
menjadi kotor dan berbau, yang dapat menimbulkan penyakit (pernapasan, kulit dan
saluran pencernaan) pada masyarakat penggunanya. Penyakit yang disebarkan oleh
air secara langsung dinyatakan sebagai penyakit bawaan air (water borne disease).
Penyebaran penyakit terjadi apabila mikroba penyebabnya berada dalam badan air
yang digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya
adalah kesehatan masyarakat menjadi terganggu atau terjadi penurunan kesehatan
sehingga akan dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat.
1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus
Menurut Chapman (1977), sungai merupakan sumber air bersih (air segar) paling
penting bagi manusia. Perkembangan sosial, ekonomi dan politik sejak dulu telah
banyak berkaitan dengan keberadaan serta pendistribusian air segar dari sistem aliran
sungai. Beberapa penggunaan utama air adalah sebagai sumber persediaan air minum,
irigasi lahan pertanian, persediaan air industri dan kota, tempat pembuangan limbah
industri dan kota, pelayaran, tempat memancing, berkapal, rekreasi penduduk, serta
memberikan nilai keindahan.
Pada daerah tropis, sungai mempunyai sedikit perbedaan serta relatif sedikit
mengandung garam. Sumber air ini, umumnya dicemari oleh tinja dalam jumlah besar
karena berdekatan dengan pemukiman. Kualitas air dapat berbeda sesuai dengan
6
yang lambat (tenang) mengandung sejumlah bahan organik (Mann dan Williamson,
1976).
Instalasi Penjernihan Air IPB cabang Asrama TPB dibangun dan dirancang oleh
PT. Wijaya Kusuma Emindo pada tahun 2001. Bahan air baku yang diolah oleh IPA
ini berasal dari Sungai Ciapus. Hasil pengolahan IPA Sungai Ciapus ini digunakan
untuk penyediaan air bersih penghuni asrama TPB IPB baik putri maupun putra.
Instalasi didisain untuk menghasilkan air bersih yang memenuhi satandar air
bersih, dengan pengoperasian yang sederhana. Instalasi ini mempunyai kapasitas
output 10 liter/detik dan menghasilkan 864.000 liter sehari pada 24 jam kerja.
Bagan pengolahan air bersih (Package Water Treatment) dapat dilihat di Lampiran
1. Sumber air yang diambil dari sungai dipompakan ke tangki pengendap (clarifier),
sebelumnya air diberikan Alum sulphate untuk coagulant dan Soda ash yang berguna
untuk koreksi pH awal.
Air yang sudah bercampur dengan bahan kimia tersebut dialirkan dengan pipa
inlet tegak lurus vertikal ke bagian dasar clarifier yang berbentuk konus. Dengan
adanya kecepatan yang dikombinasikan dengan perubahan arah aliran maka terjadilah
proses flokulasi. Kemudian airnya akan naik ke atas melalui sludge blanket dan
mengalir secara grafitasi ke dalam tangki filter. Sisa flok-flok halus yang masih
terbawa oleh air akan disaring oleh filter, sehingga air yang keluar dari filter adalah
air bersih yang dialirkan secara grafitasi ke dalam tangki reservoir. Pada tangki
reservoir, air dibubuhi dengan Calsium hypochorite (kaporit) yang berfungsi sebagai
desinfectant/ sterilisasi (Anonim, 2001).
Clarification
Disain dari tangki clarifier ini direncanakan sedemikian rupa sehingga merupakan
HOPPER BOTTOM tank (tangki dengan bagian dasar berbentuk konus atau kerucut
terbalik) dan dibagian atasnya berbentuk silinder tegak (Vertical Square).
Standart Treatment Process ini diaplikasi dengan sistem sludge blanket, dimana
pembubuhan koagulan Alum sulphate diinjeksikan pada aliran air baku dalam pipa
7
akibat hydraulic jump dan turbulensi serta dengan diarahkannya aliran air kebawah
(down flow) terhadap dasar tangki hopper; dengan adanya kecepatan yang
dikombinasikan dengan perubahan arah aliran air (downflow menjadi upflow) serta
perlambatan kecepatan akibat dari bentuk tangki yang konus, maka akan terjadi
kondisi agitasi yang ideal untuk flokulasi awal yang terbentuk pada bagian konus
tangki, yang secara upflow dilanjutkan sampai di sludge blanket.
Air mengalir ke atas dari bagian hopper ke bagian vertikal dengan kecepatan yang
makin lama makin berkurang secara steady melalui partikel-partikel yang melayang
dan partikel-partikel suspended solid mengalami penurunan kecepatan; sehingga
memungkinkan terjadinya proses akumulasi.
Akibat dari proses akumulasi tersebut dan bersamaan dengan aliran yang naik ke
atas, maka coagulated partikel-partikel yang lebih kecil akan menggumpal menjadi
partikel-partikel yang lebih besar (secara kontinyu) dan disebut sludge blanket yang
mampu mempertahankan posisinya dengan melayang dalam tangki. Partikel-partikel
yang lebih kecil akan bergabung atau tersedimentasi pada partikel-partikel yang lebih
besar (stationery) pada sludge blanket tersebut.
Partikel-partikel yang lebih berat akan terendapkan/ terkonsentrasi pada dasar
tangki hopper yang kemudian secara periodik dibuang (desludging). Untuk menjaga
balance dari sludge blanket maka dilengkapi dengan sludge cones yang merupakan
sludge concentrator yang kemudian secara kontinu atau intermittent melalui pipa
pembuangannya; sludge yang berlebih dikeluarkan dari sludge cone tersebut (sludge
bleeding) dengan mengatur pembukaan valve-nya.
Aliran air yang keluar menembus sludge blanket secara upflow akan mengalir
melalui decanting trough/ talang (clarified water) dan secara grafitasi mengalir ke
tangki filter. Rise rate dari hopper bottom clarifier ini didisain dari 2 s/d 3 m3/m2/jam dan retention time 80 menit, berdasarkan standar normal coagulant. Bila digunakan
coagulant aid, rise rate dapat ditingkatkan menjadi 6 m3/m2/jam. Kesemuanya tergantung dari variasi karakteristik air baku.
Air baku umumnya mengandung kotoran-kotoran halus dan coloidal berwarna.
8
pengendapan secara alamiah karena akan membutuhkan waktu yang lama dan bak
yang besar, sehingga tidak ekonomis. Alum mempunyai kemampuan untuk saling
mengikat dengan natural alkalinity dari air; pada umumnya digunakan galatinous
precipitate dari isoluble alumunium hydroxide. Precipitate ini akan secara cepat
mengendapkan dan mengikat kotoran-kotoran (partikel-partikel) yang ada dan
unsur-unsur koloidal. Pencampuran antara kotoran-kotoran dan hydroxide disebut “floc”.
Efektivitas koagulasi dari alum terbatas pada range pH tertentu, sekitar 6,7 – 7,3
serta tergantung pada natural alkalinity yang ada. Jika natural alkalinity tidak cukup,
maka diperlukan penambahan koagulation aid, yaitu jenis alkali supaya bereaksi
dengan alum. Soda ash adalah alkali yang paling banyak digunakan untuk ini.
Nilai pH dari air dapat diketahui dengan pH test kits (comparator pH), gunanya
untuk mengetahui kadar alkali dan keasaman dari air. Bila pH lebih besar dari 7,
maka air akan bersifat basa (alkaline); bila pH lebih kecil dari 7, air bersifat asam
(acidic) dan bila pH=7 berarti air bersifat netral. Air bersifat corrosive bila pH lebih
kecil dari 7, sehingga diusahakan pH antara 7,2 sampai dengan 7,4 yaitu dengan
menambahkan Soda ash atau lime, agar air tidak bersifat korosif (Anonim, 2001).
Filtration dan Backwashing
Maksud dari filter adalah untuk menyaring floc-floc halus yang masih terbawa
dalam air yang keluar dari tangki clarifier. Filter ini adalah jenis filter cepat dengan
grafitasi dan mempunyai kecepatan yang bervariasi untuk memenuhi kapasitas yang
diinginkan. Sistem backwashing menggunakan wash water dari air yang tersedia
pada bagian atas tangki filter dengan cara self washing.
Filter berisi pasir silika kasar setebal 115 mm dengan diameter 2,4-4,8 mm dan
pasir silika halus setebal 685 mm dengan diameter butiran 0,6 mm – 1,2 mm.
Pasir-pasir ini berada di atas plat beton yang telah dilengkapi dengan pipa lateral dan
polypropylene nozzle. Clarified water dari clarifier masuk ke tangki secara grafitasi
dan disaring melalui media pasir melalui filter nozzles, lateral pipe ke dasar tangki.
9
Floc-floc halus disaring dan tertinggal di pasir, sehingga hanya air bersih saja yang
keluar. Dianjurkan pasir filter harus dicuci (backwash) setiap 24 jam untuk
membuang lumpur dan mencegah tumbuhnya lumut. Backwash dengan self washing
menggunakan air pencucian pada tangki filter bagian atas; dengan cara membuka dan
menutup valve, sehingga floc-floc yang tertahan pada pasir media akan terhanyut
bersamaan ke saluran pembuangan (Anonim, 2001).
Desinfection
Filter Water yang masuk ke dalam tangki reservoir diberikan pembubuhan
kaporit. Pembubuhan kaporit adalah sebagai desinfectant dari filter water melalui
reservoir untuk selanjutnya dialirkan dengan pompa ke distribusi yang dituju
(Anonim, 2001).
2. Karakteristik dan kualitas air
Air mempunyai sifat unik dan khas, karena secara kimia hanya terdiri dari atom H
dan O, karena disebabkan adanya ikatan hidrogen antara molekul air. Oleh karena
sifatnya yang khas tersebut, maka banyak sekali senyawa ionis berdisosiasi dalam air.
Air merupakan pelarut yang sangat baik bagi sebagian besar bahan sehingga air
merupakan alat pencuci yang baik dan air merupakan media transport utama bagi
zat-zat makanan dan sampah yang dihasilkan selama proses kehidupan (Saeni,1989).
Menurut Saeni (1989), air yang merupakan cairan biologis , yaitu air terdapat di
dalam tubuh semua organisme. Di alam terdiri dari tiga bentuk, yaitu bentuk padat
sebagai es, cair sebagai air, dan gas sebagai uap air. Bentuk air tergantung pada
tempat dan tekanan barometris (P) dan keadaan cuaca atau suhu (t). Densitas atau
kerapatan air akan meningkat dengan menurunnya suhu, sampai tercapai suhu
maksimum 40C. Air mempunyai kapasitas kalor yang tinggi bila dibandingkan dengan cairan lainnya di alam yaitu sebesar 1 kkal, dengan titik didih 1000C pada tekanan 1 atmosfir. Titik didih ini mempunya suhu yang berbeda tergantung pada
ketinggian tempat (tekanan udara). Selain itu, air bersih mempunyai kisaran pH netral
10
antara jumlah spesies dengan jumlah individu atau organisme) yang sangat
dipengaruhi oleh suhu, pH, aliran, musim dan lain-lainnya. Diversitas ini merupakan
ukuran penting untuk menilai kualitas air atau meneliti dampak berbagai kegiatan
terhadap lingkungan air.
Air murni di alam tidak dapat ditemukan, karena kondensasi air di atmosfer jatuh
ke bumi sebagai air hujan, dalam perjalanannya akan menyerap gas-gas seperti CO2, O2 dan lainnya. Setelah mencapai permukaan tanah, segera terkena pencemaran zat organik dan kemungkinan air tersebut akan menyerap CO2 dan N2 dari tumbuhan ataupun bahan lainnya hasil penguraian bahan organik di tanah dan kemudian
menyatu dengan air sungai. Air sungai akan mengandung sejumlah suspensi bahan
seperti lempung, pasir dan sebagainya.Air tanah yang diserap ke dalam tanah akan
disaring oleh lapisan tanah ataupun batuan yang dilaluinya dan menyatu dengan air
tanah pada lapisan bumi, dan selama perjalanan yang dilalui akan melarutkan zat-zat
lainnya pada lapisan tanah yang mempengaruhi kualitas air tanah (Saeni,1989).
Kualitas perairan merupakan alat praktis untuk menduga dan mengevaluasi
terjadinya perubahan lingkungan. Kualitas suatu perairan dinyatakan baik apabila
memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai peruntukannya, seperti bahan baku air
minum, keperluan industri, pertanian, perikanan dan rekreasi (Saeni, 1991).
Menurut Saeni (1989), indeks pencemaran air menunjukkan tingkat pencemaran
air pada suatu badan air. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin tinggi tingkat
pencemarannya. Istilah ini penggunaannya sering tertukar dengan indeks mutu air,
semakin tinggi nilai indeks mutu air, maka kualitas air menjadi semakin baik.
Kualitas air pada suatu perairan sangat ditentukan oleh konsentrasi bahan
pencemar pada perairan tersebut. Dalam Peraturan Pemerintahan RI nomor 82 tahun
2001, tentang pengelolaan kualitas pencemaran air, disebutkan bahwa pencemaran air
selalu berarti turunnya kualitas air sampai batas tingkat tertentu, yang mengakibatkan
air tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pada peraturan
pemerintah tersebut menggolongkan air menurut peruntukkannya serta diikuti dengan
11
Penggolongan air dalam peraturan pemerintahan tersebut ditetapkan sebagai
berikut :
Golongan 1 : Air yang dapat dipergunakan sebagai air minum secara langsung
tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Golongan 2 : Air yang dapat dipergunakan sebagai air baku air minum (harus
dengan pengolahan terlebih dahulu).
Golongan 3 : Air yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan perikanan
dan peternakan.
Golongan 4 : Air yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan pertanian,
dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan
pembangkit tenaga listrik.
Kekeruhan
Kekeruhan terutama disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang bervariasi dari
ukuran koloid sampai disperse kasar. Kekeruhan di suatu sungai tidak selalu sama
setiap tahun, air akan sangat keruh pada musim penghujan karena larian air
maksimum dan adanya erosi dari daratan. Kekeruhan ini terutama disebabkan oleh
adanya erosi dari daratan.
Pada daerah pemukiman kekeruhan dapat ditimbulkan oleh buangan penduduk dan
buangan industri baik yang telah diolah maupun yang belum mengalami pengolahan.
Selain disebabkan oleh bahan-bahan tersebut, kekeruhan juga disebabkan oleh liat
dan lempung, buangan industri dan mikroorganisme (Saeni,1989). Pengaruh utama
dari kekeruhan adalah terjadinya penurunan penetrasi cahaya matahari secara tajam.
Penurunan ini akan mengakibatkan aktivitas fotosintesis dari fitoplankton menurun
(Koessoebiono, 1979).
Padatan tersuspensi dan terlarut
Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan
kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap langsung. Besarnya kandungan
padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air, sehingga
12
(1975), akibat yang ditimbulkan oleh padatan tersuspensi adalah pengurangan daya
pemurnian air secara alami dengan berkurangnya proses fotosintesis dan menutupi
organisme dasar.
Mikroorganisme dalam perairan
Jenis mikroorganisme yang sangat mempengaruhi kualitas air adalah bakteri
Escherichia coli (E.coli). Bakteri ini adalah salah satu yang tergolong koliform dan
hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan. Oleh karena itu
bakteri ini disebut juga koliform fecal (Saeni, 1989).
Menurut Fardiaz (1992), keberadaan E.coli merupakan indikator yang
menunjukkan bahwa suatu perairan sudah tercemar oleh kotoran manusia maupun
hewan. Dalam Peraturan Pemerintah No 20 tahun 1990 (tentang pengendalian
pencemaran air), dinyatakan bahwa air yang dapat digunakan sebagai bahan baku air
minum (golongan B) adalah air yang memiliki kandungan maksimum E.coli yang
diperbolehkan 2000 individu / 100 ml contoh air. Sedangkan menurut Peraturan
Menteri Kesehatan No. 416/MenKes/Per/IX/1990, kandungan E.coli untuk air yang
akan digunakan sebagai air minum harus sama dengan nol.
Gambar 1. E.coli dalam pembesaran 10.000 kali
13
pH (derajat kemasaman)
Nilai pH menyatakan intensitas kemasaman atau alkalinitas dari suatu cairan
encer, dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya, pH tidak mengukur seluruh
kemasaman atau seluruh alkalinitas (Soemarwoto, 1987). Menurut Saeni (1989), nilai
pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan
merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat,
hidroksida, dan bikarbonat menaikkan kebasaan air. Sedangkan adanya asam-asam
mineral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. Perairan yang bersifat
asam lebih banyak dibandingkan dengan perairan alkalis. Nilai pH air dapat
mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi
tersedianya unsur hara, serta toksitas dari unsur-unsur renik.
Secara langsung organisme perairan membutuhkan kondisi air dengan tingkat
kemasaman tertentu. Air dengan pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat
mematikan mikroorganisme, demikian pula dengan perubahannya. Umumnya
organisme perairan dapat hidup pada kisaran pH 6,7 – 8,5. Penambahan suatu
senyawa ke perairan hendaknya tidak menyebabkan perubahan pH menjadi lebih
kecil dari 6,7 atau lebih besar dari 8,8 (Kusnoputranto,1997). Selanjutnya Saeni
(1989), mengemukakan nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air,
termasuk zat-zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil, maka penentuan
pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak diawetkan.
Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi
terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophila
mampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6. Pengaruh nilai pH pada
14
Tabel 2. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan
Sumber : Modifikasi Baker et al., 1990 dalam Efendi, 2003
Warna
Menurut Fardiaz (1992), warna air terdiri dari dua macam yaitu; warna sejati (true
color) yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut, dan warna semu (apparent
color), selain disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut, juga disebabkan oleh
adanya bahan-bahan tersuspensi, termasuk diantaranya yang bersifat koloid. Warna
air di alam sangat bervariasi, misalnya air di rawa-rawa berwarna kuning, coklat atau
kehijauan. Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena mengandung
lumpur. Sedangkan air buangan yang mengandung besi dan tanin dalam jumlah tinggi
berwarna coklat kemerahan. Warna air yang tidak normal, biasanya menunjukkan
adanya pencemaran terhadap air tersebut.
Baku mutu air adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen
lain yang ada atau harus ada unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam air pada
sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya. Baku mutu air ini ditetapkan
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan
5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti
3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
5,0 – 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton danbentos semakin besar
2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat
4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton dan bentos semakin besar
2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos
15
pemerintah berdasarkan peraturan undang-undang dengan mencantumkan
pembatasan konsentrasi dari berbagai parameter kualitas air. Baku mutu air berlaku
untuk lingkungan perairan suatu badan air, sedangkan baku mutu limbah berlaku
untuk limbah cair yang akan masuk ke perairan.
3. Pengolahan air konvensional
Penyaringan adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air
melalui bahan atau media berpori-pori, sehingga menghasilkan kualitas air yang lebih
baik. Medium atau bahan penyaring yang digunakan dapat berupa pasir, tanah liat,
kerikil, antrasit, arang aktif, granit, zeolit, ijuk, resin dan campurannya. Proses
penyaringan ini dapat menyaring warna yang mengganggu, kekeruhan, bakteri dan
mengurangi konsentrasi logam yang terdapat dalam air (Saeni, 1986).
Menurut Darmono (2001), penyaringan penting artinya dalam usaha penjernihan
air, menjadi air yang sesuai dengan kebutuhan. Penyaringan merupakan proses
pertukaran ion yang dalam air buangan dengan ion yang ada dalam saringan.
Menurut Sugiharto (1987), penyaringan merupakan proses penyaringan lumpur
yang tercampur dan pertikel koloid dari air limbah dengan melewatkan air pada
media yang porous. Kedalaman penyaringan menentukan derajat kebersihan air yang
akan disaring pada pengolahan air yang sesuai dengan kebutuhan. Penyaringan
memisahkan zat padat dan zat kimia terlarut serta bakteri yang terkandung dalam air
limbah.
Bardasarkan hasil percobaan yang dilakukan di Singapura mempergunakan bahan
penyaring sabut kelapa, alang-alang, serbuk gergaji, spon, pasir dan kerikil, diperoleh
hasil yang baik terhadap padatan tersuspensi, dengan keefektifan berkisar 65 %, dan
terhadap BOD berkisar 40 %. Bila bahan-bahan penyaringnya ditambah dengan pasir
dibawahnya, terjadi keefektifan rata-rata terhadap nilai-nilai padatan tersuspensi,
BOD dan organisme koliform sampai 80 %, dengan kecepatan penyaringan 6 m3/m2 -jam (Chin dan Chen, 1978).
Penyaringan dengan bahan penyaring pasir telah lama dilakukan, dan dikenal dua
16
tahun 1829, dan saringan pasir cepat yang diperkenalkan di Amerika Serikat pada
tahun 1893. Pada saringan pasir lambat, aliran air berdasarkan gaya tarik bumi
(gravitasi), sedangkan pada saringan pasir cepat perlu dipergunakan tekanan. Untuk
saringan pasir cepat perlu dilakukan pengolahan air sebelumnya, misalnya dengan
penambahan zat koagulan (Saeni, 1986).
Saringan Pasir Lambat (Slow Sand Fitration)
Saringan ini terdiri dari lapisan kerikil dengan ketebalan 0,3 m dan pasir dengan
tebal 0,6-1,2 m dengan diameter pasir berkisar 0,2-0,354 mm. Dari penyaringan ini
akan dihasilkan kecepatan pengaliran 0,034-0,10 liter/detik. Apabila air limbah sudah
mulai menggenang sedalam 1,5-3 m maka air limbah tersebut perlu dikeringkan dan
permukaan pasir perlu dilakukan pengerukan sedalam 2,5-5 cm dari atas permukaan
pasir dan pasir dibongkar, dibersihkan dan dikeringkan. Waktu pembersihan ini
dilakukan setiap 30-150 hari, tergantung pada waktu terjadinya pengotoran media
pasir oleh kotoran, akibat dari proses penyaringan air limbah (Sugiharto, 1987).
Saringan pasir ini sangat efektif untuk menyaring padatan tersuspensi, tanah liat
dan padatan koloid lainnya. Selain itu, saringan ini mampu memisahkan 85-99%
bakteri, tergantung dari jumlah bakteri awal, dapat mengurangi kekeruhan dari 50
ppm SiO2, sampai dengan 5 ppm SiO2, disamping itu dapat pula mengurangi warna tertentu yang ada, tergantung pada ukuran butiran pasir dan kecepatan
penyaringannya (Wagner and Lanoix, 1959).
Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filtration)
Saringan ini terdiri dari pasir dengan ketebalan 0,4-0,7 m dengan diameter 0,4-0,8
mm dan kerikil setebal 0,3-0,6 m. Kecepatan aliran penyaringan yang dihasilkan
sebesar 1,3-2,7 liter/detik. Pasir saringan cepat ini pencuciannya dilakukan dengan
pengaliran kembali setelah penyaringan berlangsung selama 6-24 jam, dengan lama
pencucian berkisar 5-10 menit (Sugiharto, 1987).
Saringan pasir cepat efektif untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan
17
kimia penyaringan hanya efektif untuk beberapa macam air saja (Weber, 1972).
Saringan pasir lambat maupun saringan pasir cepat, merupakan suatu bentuk
penyaringan yang hanya memanfaatkan dua macam media saja, seperti pasir dan
kerikil ataupun pasir dan antrasit. Secara berangsur-angsur teknologi saringan pasir
lambat dan mengalami perubahan yang sangat cepat, dengan terciptanya teknologi
saringan pasir campuran yang mampu menahan bakteri sampai dengan 98% (Culp,
1980).
Teknologi saringan ini dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Perkembangan proses penyaringan air untuk memperoleh air bersih dengan
cara tradisional dan konvensional, sampai dengan penggunaan teknologi sederhana,
selanjutnya dengan saringan media campuran, precoalfilter, mikrostaining, vacum
filter dan semakin berkembang lagi dengan adanya pemanfaatan deionisasi
menggunakan membran atau resin.
B. PENCEMARAN AIR
1. Definisi Pencemaran Air
Istilah pencemaran air atau polusi air dapat dipersepsikan berbeda oleh satu orang
dengan orang lainnya mengingat banyak pustaka acuan yang merumuskan definisi
istilah tersebut, baik dalam kamus atau buku teks ilmiah. Pengertian pencemaran air
juga didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian
pencemaran lingkungan hidup yang didefinisikan dalam undang-undang. Dalam
praktek operasionalnya, pencemaran lingkungan hidup tidak pernah ditunjukkan
secara utuh, melainkan sebagai pencemaran dari komponen-komponen lingkungan
hidup, seperti pencemaran air, pencemaran air laut, pencemaran air tanah dan
pencemaran udara. Dengan demikian, definisi pencemaran air mengacu pada definisi
lingkungan hidup yang ditetapkan dalam UU tentang lingkungan hidup yaitu UU No.
23/1997.
Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air
didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya
18
manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Definisi
pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tiga)
aspek, yaitu aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Setiawan,
2001).
Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat
berupa masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air
sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan
istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang
bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair. Aspek pelaku/penyebab dapat
disebabkan oleh alam atau oleh manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam
tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi pemerintah tetap harus menanggulangi
pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan
kualitas air sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat tertentu dalam definisi
tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat tak-cemar
(tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas air yang telah
sampai ke batas atau melewati batas). Ada standar baku mutu tertentu untuk
peruntukan air. Sebagai contoh adalah pada UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 ayat 3
terkandung makna bahwa air minum yang dikonsumsi masyarakat, harus memenuhi
persyaratan kualitas maupun kuantitas, yang persyaratan kualitas tertuang dalam
Peraturan Mentri Kesehatan No. 146 tahun 1990 tentang syarat-syarat dan
pengawasan kualitas air. Sedangkan parameter kualitas air minum/air bersih yang
terdiri dari parameter kimiawi, fisik, radioaktif dan mikrobiologi, ditetapkan dalam
PERMENKES 416/1990 (Achmadi, 2001).
2. Indikator Pencemaran Air
Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan
19
Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat
kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna,
bau dan rasa
Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat
kimia yang terlarut, perubahan pH
Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan
mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen
seperti coliform.
Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau
konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan
oksigen biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD), kebutuhan oksigen kimiawi
(Chemical Oxygen Demand, COD) dan kandungan total koliform tinja (E.coli)
(Achmadi, 2001).
3. Komponen Pencemaran Air
Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000 zat
kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang
ke badan air atau air tanah. Sebagai contoh adalah pestisida yang biasa digunakan di
pertanian, industri atau rumah tangga, detergen yang biasa digunakan di rumah
tangga yang biasa digunakan pada alat-alat elektronik (Wardhana, 1995).
Erat kaitannya dengan masalah indikator pencemaran air, ternyata komponen
pencemaran air turut menentukan bagaimana indikator tersebut terjadi. Menurut
Wardhana (1995), komponen pencemaran air dapat dikelompokkan sebagai bahan
buangan:
1. Padat
2. Organik dan olahan bahan makanan
3. Anorganik
4. Cairan berminyak
5. Berupa panas
20
4. Dampak pencemaran air
Pencemaran air dapat berdampak sangat luas, misalnya dapat meracuni air minum,
meracuni makanan hewan, menjadi penyebab ketidakseimbangan ekosistem sungai
dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam dsb.
Di badan air, sungai dan danau, nitrogen dan fosfat dari kegiatan pertanian telah
menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali yang disebut eutrofikasi
(eutrofication). Ledakan pertumbuhan tersebut menyebabkan oksigen yang
seharusnya digunakan bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang.
Ketika tanaman air tersebut mati, dekomposisinya menyedot lebih banyak oksigen.
Akibatnya ikan akan mati dan aktivitas bakteri akan menurun.
Dampak pencemaran air pada umumnya dibagi dalam 4 kategori (KLH, 2004)
- dampak terhadap kehidupan biota air
- dampak terhadap kualitas air tanah
- dampak terhadap kesehatan
- dampak terhadap estetika lingkungan
5. Penanggulangan pencemaran air
Pada prinsipnya ada 2 (dua) usaha untuk menanggulangi pencemaran, yaitu
penanggulangan secara teknis dan secara teknis. Penanggulangan secara
non-teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara
menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi sehingga tidak
terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini hendaknya dapat memberikan
Gambaran secara jelas tentang kegiatan industri yang akan dilaksanakan, misalnya
meliputi AMDAL, pengaturan dan pengawasan kegiatan dan menanamkan perilaku
disiplin. Sedangkan penanggulangan secara teknis bersumber pada perlakuan industri
terhadap perlakuan buangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola
limbah atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran.
Sebenarnya penanggulangan pencemaran air dapat dimulai dari diri kita sendiri.
21
produksi sampah (minimize) yang kita hasilkan setiap hari. Selain itu, kita dapat pula
mendaur ulang (recycle) dan mendaur pakai (reuse) sampah tersebut.
Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi
pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan
dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar.
Dari segi kebijakan atau peraturan pun mengenai pencemaran air ini telah ada. Bila
kita ingin benar-benar hal tersebut dapat dilaksanakan, maka penegakan hukumnya
harus dilaksanakan pula. Pada akhirnya, banyak pilihan baik secara pribadi ataupun
sosial (kolektif) yang harus ditetapkan, secara sadar maupun tidak, yang akan
mempengaruhi tingkat pencemaran dimanapun kita berada. Walaupun demikian,
langkah pencegahan lebih efektif dan bijaksana. Melalui penanggulangan pencemaran
ini diharapkan bahwa pencemaran akan berkurang dan kualitas hidup manusia akan
lebih ditingkatkan, sehingga akan didapat sumber air yang aman, bersih dan sehat.
C. MEMBRAN
1. Denifisi Membran
Membran adalah selaput semi permeabel yang melewatkan spesi tertentu dan
menahan spesi yang lain berdasarkan ukuran spesi yang akan dipisahkan. Spesi yang
berukuran besar akan tertahan dan yang ukurannya lebih kecil akan dilewatkan
(Mulder, 1996).
2. Klasifikasi Membran
Mulder (1996) dan Wenten (1999) menyatakan bahwa membran dapat
diklasifikasikan berdasarkan keberadaan (eksistensi), morfologi, fungsi, dan bentuk.
Berdasarkan keberadaannya membran dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu :
(1) membran alamiah yang terdapat di dalam jaringan tubuh organisme, berfungsi
melindungi isi sel dari pengaruh lingkungan dan membantu proses metabolisme, (2)
membran sintetik yang dibuat secara sengaja untuk kebutuhan dan disesuaikan
dengan sifat membran alamiah. Membran sintetik dapat dibuat dari polimer seperti
22
Bahan-bahan lain yang dapat digunakan antara lain keramik, gelas, logam, dan
lain-lain.
Gambar 2. Membran waterfine berbentuk Hollow Fiber.
Membran juga dapat dibagi berdasarkan morfologinya menjadi dua golongan yaitu
: (1) membran asimetrik yang mempunyai struktur pori yang tidak seragam, dan (2)
membran simetrik yang mempunyai struktur pori yang seragam. Berdasarkan
fungsinya membran dapat dibagi menjadi : (1) membran mikrofiltrasi, (2) membran
ultrafiltrasi, (3) membran osmosa balik, (4) membran dialisa, dan (5) membran
elektrodialisis
23
Membran mikrofiltrasi (MF) adalah membran yang memisahkan partikel
berukuran mikron atau submikron (makromolekul > 500.000 g/mol atau partikel
dengan ukuran 0,1-10 μm). Lazimnya berbentuk cartridge, gunanya untuk
menghilangkan partikel dari air bersih (telah diberi pralakuan) yang berukuran 0,04
sampai 100 mikron, asalkan kandungan TSS (total suspended solid) tidak melebihi
100 ppm (Mulder, 1996).
Membran ultrafiltrasi (UF), ialah proses pemisahan (menggunakan) membran
untuk menghilangkan berbagai zat terlarut BM (berat molekul) tinggi , aneka koloid,
mikroba sampai padatan tersuspensi dari air/cairan. Membran semipermeabel dipakai
untuk memisahkan makromolekul (makromolekul > 5.000 g/mol atau partikel dengan
ukuran 0,001-0,1 μm) dari larutan. Ukuran dan bentuk molekul terlarut merupakan faktor penting retensinya (Mulder, 1996).
Membran berdasarkan bentuknya dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu : (1)
membran datar yang mempunyai penampang lintang dan bentuknya melebar dan (2)
membran tubular yang berbentuk pipa memanjang. Membran datar dapat terbagi
menjadi tiga macam : (1) membran datar yang terdiri dari satu lembar saja, (2)
membran datar bersusun, dan (3) membran spiral bergulung. Membran tubular dibagi
menjadi tiga macam : (1) membran berongga dengan diameter < 0,5 mm, (2)
membran kapiler dengan diameter 0,5-5,0 mm, dan (3) membran tubular dengan
diameter > 5 mm (Mulder, 1996).
Menurut Mulder (1996), membran juga dibedakan berdasarkan ukuran porinya,
yaitu (1) makropori, yaitu membran dengan ukuran pori yang lebih besar dari 50 nm,
(2) mesopori, yaitu ukuran pori berkisar 2-50 nm, dan (3) mikropori, yaitu ukuran
pori yang lebih kecil dari 2 nm.
Membran berdasarkan gaya penggeraknya dapat dibedakan atas 4 kelompok, yaitu
gaya penggerak berupa (1) perbedaan tekanan (∆P), (2) perbedaan konsentrasi (∆C),
(3) perbedaan temperatur (∆T), dan (4) perbedaan potensial kimia. (Kaseno, 1999).
24
Tabel 3. Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk
Karakteristik
DESAIN
Spiral-Wound Fibers Tubular Datar
Biaya Rendah Rendah Tinggi Tinggi
Packing Density Tinggi UF-Tinggi
RO-Sangat tinggi
Rendah Rata – rata
Pressure Capability Tinggi UF-Rendah
RO-Tinggi
UF-Rendah RO-Rata - rata
Tinggi
Pilihan bahan polimer Banyak Sedikit Sedikit Banyak
Resisten terhadap fouling Rata – rata UF-Baik
3. Karakterisasi Membran
Kinerja (performance) membran dalam pemisahan terutama dipengaruhi oleh
karakteristik membran yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh disain proses,
dan aspek teknik kimianya. Penilaian terhadap karakteristik membran meliputi
struktur dan ukuran pori serta sifat fisik mekanik dan kimia membran (Brocks, 1983).
Sifat-sifat kimia membran yang penting antara lain (1) sifat hidrofilik atau
hidrofobik, (2) ada atau tidaknya muatan ion, (3) ketahanan terhadap suhu tinggi dan
zat-zat kimia tertentu, serta (4) daya tarik terhadap partikel dalam umpan. Selain itu
menurut Brocks (1983), kandungan mineral yang terdapat dalam membran dan zat
yang dapat larut dalam larutan yang dipisahkan perlu diperhatikan. Sifat-sifat kimia
membran terutama dipengaruhi oleh bahan yang digunakan untuk pembuatan
membran.
Beberapa sifat mekanik membran yang penting meliputi kekuatan tarik (tensile
strength) dan elongasi. Selain itu dapat juga dilakukan pengujian terhadap kekuatan
lentur, kekuatan patah, dan modulus elastisitas terutama untuk keperluan operasi
secara fabrikasi. Sifat-sifat mekanik membran dapat diperbaiki dengan beberapa cara
antara lain pemanasan (annealing) dan dengan cara meningkatkan derajat kristalinitas
25
Karakteristik membran dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses
pembuatan memban tersebut. Membran yang dibuat dari selulosa dan turunannya
pada umumnya mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi dari membran polimer
sintetis. Sebaliknya membran polimer sintetis umumnya lebih tahan terhadap pH
umpan dibandingkan membran selulosa. Masing-masing membran mempunyai
kelebihan dan kekurangan (Brocks, 1983).
Parameter utama yang digunakan dalam penilaian kinerja membran filtrasi adalah
harga fluks dan rejeksi (Wenten, 1999). Secara umum nilai fluks dinyatakan sebagai
permeabilitas hidraulik (hydraulic transmembrane flux) yang dihitung sebagai aliran
cairan yang melalui unit luas permukaan membran pada tekanan tertentu.
4. Proses Pemisahan Membran
Proses pemisahan dengan menggunakan membran mempunyai beberapa kelebihan
dan kelemahan. Menurut Wenten (1999) secara umum proses pemisahan dengan
menggunakan membran mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan proses
pemisahan yang lain, diantaranya adalah : (1) konsumsi energi relatif kecil, karena
tidak terjadi perubahan fase dalam proses pemisahannya, (2) biaya operasi relatif
rendah karena tidak menggunakan bahan kimia, (3) tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan karena dalam prosesnya tidak memerlukan aditif, (4) proses dapat
berlangsung secara kontinu, dan (5) tidak memerlukan ruang instalasi yang besar.
Kelemahan proses pemisahan dengan menggunakan membran hanyalah mudah
timbulnya polarisasi konsentrasi di permukaan membran yang dapat menurunkan
26
Gambar 4. Simulasi kinerja proses membran filtrasi
(http://www.geocities.com)
(a) (b)
Gambar 5. (a) dan (b) Simulasi cara kerja membran Hollow fiber (http://www.geocities.com)
Menurut Mulder (1996), umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih
campuran molekul atau partikel yang akan dipisahkan, permeat adalah bagian-bagian
yang dilewatkan oleh membran dan rentetat adalah bagian yang ditahan oleh
membran. Prinsip pemisahan dapat dilihat pada Gambar 4.
Menurut Wenten (1999), proses perpindahan suatu molekul atau partikel di dalam
27
dalam membran. Gaya dorong (driving force) didefinisikan sebagai besarnya beda
potensial pada membran (∆X) dibagi dengan ketebalan membran (l ).
Driving force = ∆X/ l, [N/mol]
Menurut Mulder (1996), gaya-gaya pendorong ini dapat berasal dari gradien
tekanan, gradien konsentrasi, gradien potensial listrik atau gradien temperatur antara
dua sub sistem yang dipisahkan.
Umpan Rentetat
((feed)
Permeat
∆P,∆C,∆E,∆T
Keterangan :
∆P = perbedaan tekanan ∆E = perbedaan potensial listrik
∆C = perbedaan konsentrasi ∆T = perbedaan temperatur
Gambar 6. Prinsip operasi membran (Mulder, 1996)
Menurut Mulder (1996), kinerja dan efisiensi membran ditentukan oleh dua
parameter yaitu permeat atau fluks dan selektivitas atau rejeksi. Fluks adalah jumlah
permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan luas permukaan membran