• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Di Pinggiran Kota Metropolitan Jabodetabek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Di Pinggiran Kota Metropolitan Jabodetabek"

Copied!
236
0
0

Teks penuh

(1)

DI PINGGIRAN KOTA

METROPOLITAN JABODETABEK

JANTHY TRILUSIANTHY HIDAJAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DI PINGGIRAN KOTA

METROPOLITAN JABODETABEK

JANTHY TRILUSIANTHY HIDAJAT

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

DOKTOR

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

1. Tertutup : Pof. Dr Ir Bambang Pramoedya, M.Eng. Dr Ir Setia Hadi, MSi.

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul Model Pengelolaan Kawasan Permukiman berkelanjutan di Pinggiran Kota

Metropolitan Jabodetabek adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, April 2014

(5)
(6)

JANTHY TRILUSIANTHY HIDAJAT. Management Model for Sustainable Settlement Areas in Urban Fringe of Jabodetabek Metropolitan Area. Under supervision of SANTUN R.P SITORUS as a chairman, ERNAN RUSTIADI and MACHFUD each as members.

The growth of urban areas in Indonesia, especially in Jabodetabek Metropolitan area physically marked by rapid growth in the urban fringe (suburbanization), which is forming a new settlement areas where its growth tend to be widespread and dispersed randomly as well getting out of control (urban sprawl phenomenon). The urban fringe area is a transitional zone that is in the urban pressures process which resulted in the degradation of environment and institutional fragmentation so that it’s the growth process leads to unsustainability. The objectives of this research are to analyze the dynamic of growth settlement areas, to analyze sustainability status of settlement areas, to analyze condition of institutional fragmentation in urban fringe settlement management and to design model for settlement areas in urban fringe of Jabodetabek metropolitan area. Analysis were done by using Geographic Information System (GIS) technique, Multi Dimentional Scalling (MDS) and Interpretative Structural Modelling (ISM). Model for managing settlement areas are designed with dynamic system approach for 20 year simulation. The research result showed that the growth trends is increasing every year and a sprawl index of 7,21. Based on integration between the growth of built up area in year 2010 with spatial planning (RTRW) by overlayed had a high enough proportion of built up area inconsistent.The sustainability status of settlement area were less sustainable with sustainability index of 41,46. ISM analyze showed that main obstacle element were weak coordination among institutions involved in the management to address the rapid growth in settlement areas and absence of zoning regulations as instruments for controlling the growth of the settlement areas. The dynamic model offered 4 scenarios to manage settlement areas in urban fringe of Jabodetabek metropolitan area. The most effective scenario to manage sustainable settlement area in urban fringe of Jabodetabek metropolitan area is strengthening management institutional capacity. This scenarios was implemented into 5 (five) policies.

(7)
(8)

JANTHY TRILUSIANTHY HIDAJAT. Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Kota Metropolitan Jabodetabek. Dibimbing oleh: SANTUN R.P SITORUS sebagai ketua, ERNAN RUSTIADI dan MACHFUD masing-masing sebagai anggota.

Pertumbuhan perkotaan di Indonesia, terutama di metropolitan Jabodetabek secara fisik ditandai oleh pertumbuhan fisik kota yang pesat pada pinggiran kota yang mana cenderung menjadikan kawasan perkotaan secara fisik meluas secara acak dan semakin tidak terkendali (urban sprawl) sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan kemubajiran dalam penggunaan lahan. Penyebab fenomena

urban sprawl adalah tumbuhnya kawasan permukiman baru sebagai wadah untuk

menampung pertambahan penduduk, perkembangan perumahan, industri dan aktivitas komersial. Pinggiran kota merupakan wilayah yang berada dalam peralihan menjadi kawasan perkotaan sehingga terjadi tekanan berupa peningkatan fungsi perkotaan yang menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan, kemacetan, krisis infrastruktur, risiko bencana dan ketidaksiapan aparat pemerintah sehingga proses perkembangannya mengarah pada ketidak-berlanjutan. Kecenderungan pertumbuhan kawasan permukiman di pinggiran kota dalam sistem metropolitan masih akan terus berlanjut di masa mendatang, karena pertumbuhan penduduk yang terus tinggi terutama di metropolitan Jabodetabek. Saat ini, tata ruang pinggiran kota khususnya di Jabodetabek masih berkembang dan berpotensi sebagai penyedia ruang perkotaan yang belum difungsikan secara optimal dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan keberlanjutannya. Diperlukan upaya pengelolaan kawasan permukiman di pinggiran kota metropolitan dengan pendekatan holistik, terpadu dan dinamis serta efektif.

Penelitian mengenai fenomena urban sprawl di kawasan pinggiran kota sebagai wilayah transisi dan proses suburbansasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti semisal McGee (1991) dengan penelitiannya tentang perkembangan kota-kota di Asia dan Indonesia menghasilkan suatu struktur ruang mega urban yang membentuk suatu kawasan pinggiran kota bersifat transisi yang memiliki karakteristik “desakota”. Secara umum kesemua penelitian yang telah dilakukan bersifat analitis dan sangat bernilai untuk memahami terjadinya fenomena urban

sprawl serta karakteristik pinggiran kota sebagai suatu ruang baru yang

mengalami transisi. Namun untuk keperluan intervensi kebijakan dalam pengelolaan pertumbuhan yang terjadi di pinggiran kota tersebut dapat dikatakan belum ada yang mengisinya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian mengenai model pengelolaan kawasan permukiman di pinggiran kota wilayah metropolitan yang mengalami pertumbuhan cepat dan tidak terkendali.

(9)

ditemui di seluruh bagian perbatasan Jakarta dengan kabupaten dan kota lainnya. Untuk mewakili fenomena ini ditentukan wilayah penelitian sebagai berikut : Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor, Kecamatan Cimanggis dan Kecamatan Tapos Kota Depok dan Kecamatan Jati Sempurna Kota Bekasi. Penentuan ini didasarkan pada pertimbangan terjadinya proses suburbanisasi dan fenomenaurban sprawlyang paling cepat yaitu sepanjang jalur transportasi utama dalam hal ini adalah daerah di sekitar koridor jalan tol Jakarta - Bogor dengan jarak antara 15 km sampai 30 km dari pusat kota Jakarta dan merupakan kawasan pinggiran yang meliputi beberapa wilayah administratif kabupaten/kota dan saling berbatasan.

Metode yang digunakan untuk menganalisis dinamika pertumbuhan kawasan permukiman adalah analisis citra Landsat tahun liputan 1982, 1992, 2000, 2005 dan 2010 yang berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis laju dan kecenderungan pertumbuhan kawasan permukiman menggunakan analisis regresi dan perhitungan nilai indeks sprawl. Analisis kesesuaian penggunaan lahan kawasan permukiman dengan arahan rencana tata ruang dilakukan melalui proses overlay. Status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah penelitian dianalisis dengan teknik Multi Dimensional Scaling (MDS) untuk dimensi-dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan institusi. Kondisi peran

stakeholder, kendala yang dihadapi, perubahan yang diharapkan dan program

yang dibutuhkan dalam pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian dianalisis dengan metode Interpretative Structural Modellling(ISM). Selanjutnya dengan menggunakan hasil analisis sebelumnya dirancang model pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian dengan menggunakan model sistem dinamik.

Dinamika pertumbuhan kawasan permukiman selama periode tahun 1982 – 2010 menunjukkan bahwa pada periode tahun 1982–2000 pertumbuhan kawasan permukiman masih terfragmentasi sesuai dengan kemudahan aksesibilitas yang ada pada periode tersebut, dan juga tercipta karena telah ada kota baru yang relatif dekat (Depok). Pembangunan kawasan permukiman ini dilakukan secara mandiri

(non real estate). Periode 2000 – 2005 kawasan permukiman telah bergabung

menyatu dan menyebar tidak beraturan, ini terjadi di Kecamatan Cimanggis, Tapos dan Jati Sampurna. Keadaan ini bertambah besar karena dipicu oleh cepatnya pembangunan perumahan skala besar dan menengah oleh pengembang swasta secara tidak terintegrasi. Periode akhir pengamatan (2005 – 2010), penggunaan lahan telah menjadi campur aduk yang didominasi oleh kondisi dan kegiatan berciri perkotaan. Semakin meningkat perkembangannya karena akses ke kota inti sudah relatif baik karena sudah ada atau sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional seperti jalan tol dan jalan arteri. Proses ini berkembang tanpa mengenal batas administrasi. Kecenderungan pertumbuhan lahan terbangun semakin meningkat setiap tahunnya dan nilai indeks sprawl

(10)

Cimanggis dan Tapos sebesar 20,12 %, Kecamatan Jati Sampurna sebesar 12,58 % dan Kecamatan Gunung Putri sebesar 0,53 %. Keadaan ini menyimpulkan bahwa penyebaran dan pertumbuhan kawasan permukiman cenderung tidak terkendali.

Analisis status keberlanjutan kawasan permukiman menggunakan MDS, menyimpulkan bahwa kawasan permukiman di wilayah penelitian termasuk kategori kurang berkelanjutan dengan nilai indeks status keberlanjutan sebesar 41,46. Untuk dimensi ekologi mempunyai nilai indeks status keberlanjutan yang paling rendah yaitu 32,97 dan dimensi institusional sebesar 44,15 dimana keduanya termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Nilai indeks status keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu 54 dan dimensi sosial 64,3 termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan wilayah penelitian sebagai kawasan pengembangan permukiman 16 atribut merupakan atribut pengungkit.

Analisis ISM menyimpulkan, sub elemen kunci untuk elemen stakeholder

yang terlibat dalam pengelolaan kawasan permukiman di wilayah studi adalah Dinas Tata Ruang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada wilayah penelitian. Elemen kendala yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian didapatkan sub-elemen kunci yaitu koordinasi/kerjasama dalam pengelolaan kawasan permukiman masih lemah dan peraturan zonasi sebagai alat kendali penataan ruang kawasan permukiman belum ada. Elemen perubahan yang diharapkan dalam pengelolaan kawasan permukiman di wilayah studi didapatkan sub elemen kunci peningkatan koordinasi/kerja sama antar instansi yang bertanggung jawab terhadap penataan ruang dan penetapan peraturan bangunan dan zoning regulation sebagai alat pengendalian. Adapun elemen kegiatan yang dibutuhkan dalam mendukung pengembangan pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah studi didapatkan sub elemen kunci peningkatan peningkatan konsistensi dalam pelaksanaan peraturan perundangan terkait pengelolaan kawasan permukiman.

Perancangan model dinamik pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian menggunakan hasil analisis sebelumnya. Simulasi model menggunakan jangka waktu 20 tahun (2010-2030). Model yang ditawarkan terdiri atas satu skenario tanpa intervensi dan tiga skenario melalui intervensi. Model dengan skenario melalui intervensi optimis terhadap parameter model laju inmigrasi penduduk sebesar 3 %, komitmen pemerintah secara penuh dan peningkatan kapasitas daya tampung kawasan sebesar 20 %, merupakan skenario pilihan yang terbaik untuk dilakukan dalam rangka mewujudkan pengelolaan kawasan permukiman yang berkelanjutan di wilayah penelitian dengan lima kebijakan yang dapat diimplementasikan.

(11)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(12)

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Santun RP Sitorus selaku ketua komisi pembimbing, serta Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., dan Prof. Dr. Ir. Machfud, MS., selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing penulis melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS., dan Dr. Ir. Widiatmaka, DEA., selaku ketua dan sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Pramoedya, M.Eng dan Dr. Ir. Setia Hadi, MSi., selaku penguji luar pada saat ujian tertutup. Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Ruchyat Deni Dj, M.Eng., dan Dr. Ir. Iwan Kustiwan, MT., selaku penguji luar pada saat ujian terbuka.

Terima kasih kepada kepada Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Rektor Universitas Pakuan dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Pakuan atas kesempatan penulis melanjutkan pendidikan S3. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pengajar di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menularkan ilmunya dengan tulus dan ikhlas, teman sejawat di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota dan Fakultas Teknik Universitas Pakuan atas dukungannya, teman-teman seperjuangan PSL 2010 atas segala persahabatan yang pernah terjalin, juga semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada ibu, suami dan anak-anak kami atas segala cinta, kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, namun berharap semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan ilmu pengetahuan.

(13)

anak ketiga dari 7 bersaudara pasangan Bpk Drs. H. Ahmad Hidajat (Alm) dengan Ibu Hj. Titi Suryati. Menikah pada tahun 1986 dengan Ir. Budi Siswanto Muljadi, MBA, dikaruniai seorang putra Riky Azharyandi Siswanto, S.Des., M.Des.; dan dua orang putri yaitu Dwina Fitriyandini Siswanto, ST.; dan Nadyana Faradiyani Siswanto, S.Mn.

Penulis menempuh pendidikan SD dan SMP di Karawang dan SMA Negri 1 Bandung lulus tahun 1981. Penulis menempuh pendidikan S1 di Jurusan Teknik Planologi FTSP-ITB, lulus 1987. Pendidikan S2 ditempuh di Program Studi Arsitektur Lansekap IPB, lulus 2004. Pada tahun 2010 melanjutkan pendidikan S3 di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB dengan beasiswa BPPS–DIKTI.

Sejak tahun 1997 penulis menetap di Bogor dan menjadi dosen di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Pakuan, pada tahun 2000 diangkat menjadi dosen tetap. Saat ini penulis menjabat sebagai ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Pakuan. Pada tahun 2010 mendapatkan penghargaan sebagai ketua Program Studi Berprestasi Tingkat Kopertis Wilayah IV Jawa Barat sekaligus menjadi perwakilan peserta dari Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dalam Seleksi Nasional Ketua Program Studi Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2010 yang diselenggarakan oleh DIKTI di Jakarta.

Penulis merupakan anggota IAP (Ikatan Ahli Perencanaan) dan MAPIN (Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia). Saat ini penulis menjadi pengurus MAPIN Pusat periode 2010 – 2014 sebagai bendahara dan pengurus ASPI (Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia) periode 2011 – 2013 sebagai bendahara dan periode 2013 -2015 sebagai ketua koordinator wilayah Jawa Barat.

Artikel berjudul “Dinamika Pertumbuhan dan Status Keberlanjutan Kawasan Permukiman di Pinggiran Kota Metropolitan Jakarta” telah diterbitkan oleh Jurnal Ilmiah Geomatika No. 19 Vol 1, Agustus 2013 (ISSN: 0854-2759). Artikel lain berjudul “Urban Sprawl Effects on Settlement Areas in Urban Fringe of Jakarta

Metropolitan Area” telah diterbitkan oleh Journal of Environment and Earth

ScienceVol 3, No 12(2013), ISSN 2224-3216 (Paper), ISSN 2225-0948 (Online).

Karya tulis berjudul Identification of Urban Sprawl Phenomenon in Urban

Fringe Settlement Areas of JABODETABEK, dipresentasikan pada Seminar

Internasional JABODETABEK, Resilient Megacities: Idea, Reality and

Movement, Bogor - Indonesia, 8-9 October 2013. Karya tulis lainnya berjudul

Detection of Urban Expansion in Urban Fringe of Jakarta Metropolitan Area

Using LandSat TM Imagery, dipresentasikan pada The 34th ACRS (Asian

Conference of Remote Sensing), Bridging Sustainable Asia, Bali-Indonesia, 20 –

(14)
(15)
(16)

xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitan ... 8

1.5 Kerangka Pemikiran ... 9

1.6 Novelty ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Lahan ... 12

2.2 Kota dan Perkembangan Kota ... 16

2.3 Urban Sprawl,Suburbanisasi dan Dinamika Wilayah Pinggiran Kota ... 19

2.4 Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan ... 29

2.5 Indeks Keberlanjutan ... 33

2.6 Metode Interpretative Structural Modelling... 34

2.7 Model Sistem Dinamik dan Analisis Kebijakan... 37

2.8 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu ... 40

III METODE PENELITIAN... 43

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

3.2 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 44

3.3 Tahapan Penelitian ... 44

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 46

3.5 Metode Analisis... 46

IV KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN ... 50

(17)

xii

4.4 Sarana dan Prasarana ... 56

4.5 Kualitas Lingkungan ... 57

4.6 Pengelolaan Kawasan Permukiman ... 60

V DINAMIKA TUTUPAN LAHAN KAWASAN PERMUKIMAN DI WILAYAH PENELITIAN ... 62

5.1 Pendahuluan ... 62

5.2 Metode Analisis Dinamika Tutupan Lahan Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 64

5.2.1 Jenis dan Sumber Data ... 64

5.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 64

5.2.3 Analisis Dinamika Perubahan Tutupan Lahan ... 65

5.2.4 Analisa Konsistensi Kawasan Permukiman vs RTRW. ... 66

5.2.5 Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dinamika Tutupan Lahan Kawasan Permukiman... 67

5.3 Hasil dan Pembahasan ... 68

5.3.1 Dinamika Pertumbuhan Lahan Kawasan Permukiman .... 68

5.3.2 Kesesuaian Tutupan Lahan Kawasan Permukiman saat ini dengan Rencana Tata Ruang ... 73

5.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahasan Kawasan Permukiman ... 76

5.3.4 Pembahasan ... 77

5.4 Kesimpulan ... 79

VI STATUS BERKELANJUTAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA WILAYAH METROPOLITAN JABODETABEK ... 80

6.1 Pendahuluan ... 80

6.2 Metode Analisis ... 82

6.2.1 Jenis dan Sumber Data ... 82

6.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 82

(18)

xiii

6.3.1 Status Berkelanjutan Dimensi Ekologi ... 87

6.3.2 Status Berkelanjutan Dimensi Sosial ... 88

6.3.3 Status Berkelanjutan Dimensi Ekonomi ... 90

6.3.4 Status Berkelanjutan Dimensi Institusi ... 91

6.3.5 Pembahasan ... 93

6.4 Kesimpulan ... 98

VII ANALISIS PENGELOLAAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA WILAYAH METROPOLITAN JABODETABEK ... 99

7.1 Pendahuluan ... 99

7.2 Metode Analisis Pengelolaan Permukiman ... 101

7.2.1 Jenis dan Sumber Data ... 101

7.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 101

7.2.3 Analisis ... 102

7.2.4 Tahapan Analisis ... 102

7.3 Hasil dan Pembahasan ... 104

7.3.1 Stakeholderyang Terlibat dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 104

7.3.2 Kendala Utama Pengelolaan Kawasan Permukiman ... 107

7.3.3 Perubahan yang Diharapkan dalam Penelitian Pengelolaan Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 110

7.3.4 Kegiatan yang Dibutuhkan dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman... 114

7.3.5 Pembahasan ... 117

7.4 Kesimpulan ... 120

VIII MODEL DINAMIK PENGELOLAAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA WILAYAH METROPOLITAN JABODETABEK.. ... 122

8.1 Pendahuluan ... 122

(19)

xiv

8.2.3 Analisis Kebutuhan ... 124

8.2.4 Formulasi Masalah ... 124

8.2.5 DiagramInput Output ... 125

8.2.6 Identifikasi Sistem ... 125

8.2.7 Penyusunan Model ... 127

8.2.8 Pengujian Model ... 128

8.2.9 Simulasi Model ... 128

8.3 Model Dinamik Pengelolaan Kawasan Permukiman di wilayah Penelitian ... 129

8.3.1 Sub Model Kependudukan ... 129

8.3.2 Sub Model Lahan Permukiman ... 130

8.3.3 Sub Model Fisik Lingkungan ... 131

8.3.4 Sub Model Institusi ... 131

8.3.5 Pengujian Model ... 133

8.3.6 Simulasi Skenario Model ... 135

IX PEMBAHASAN UMUM... 144

X KESIMPULAN DAN SARAN... 158

10.1 Kesimpulan ... 158

10.2 Saran ... 159

DAFTAR PUSTAKA ... 161

(20)

xv

No. Tabel Halaman

1. Rangkuman Tujuan Penelitian, Jenis Data, Sumber Data, Analisis

Data dan Keluaran yang di Harapkan ... 49

2. Luas Tutupan Lahan Wilayah Penelitian Tahun 1983–2010 ... 51

3. Jumlah Penduduk Wilayah Penelitian Tahun 2005–2010 ... 54

4. Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2005–2010 ... 54

5. Kepadatan Penduduk dan Rata-rata Penduduk per KK Tahun 2010... 55

6. Tingkat Pendidikan Penduduk di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 55

7. Mata Pencaharian Penduduk di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 56

8. Jumlah KK Miskin di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 56

9. Jumlah Fasilitas Pendidikan di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 56

10. Jumlah Fasiltas Kesehatan di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 56

11. Jumlah Fasiltas Peribadatan di Wilayah Penelitian Tahun 2010... 56

12. Jumlah Fasiltas Perekonomian di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 57

13. Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Lingkungan Wilayah Penelitian ... 58

14. Presentase Tutupan Lahan Tahun 1982–2010 ... 68

15. Nilai IndeksSprawl ... 72

16. Kesesuaian Tutupan Lahan dengan Arahan Rencana ... 75

17. Data Analisis Regresi Berganda Wilayah Penelitian ... 76

18. Atribut Dimensi Berkelanjutan Kawasan Permukiman ... 85

19. Faktor Pengungkit per-Dimensi Berkelanjutan di Wilayah Penelitian .. 94

20. Nilai IndeksBerkelanjutan Rap-Urbanfringesett Menggunakan MDS dan Monte Carlo ... 98

21. NilaiStressdan Koefisien Determinasi (R2) ... 98

(21)

xvi

24. Reachability Matrix FinalPerubahan yang Diharapkan Dalam

Pengelolaan Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 111

25. Reachability Matrix FinalKegiatan yang Dibutuhkan Dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 115

26. Data Validasi Model Berdasarkan Perkembangan Penduduk ... 133

27. Data Validasi Model Berdasarkan Kawasan Permukiman ... 134

28. Skenario Intervensi Model ... 136

29. Hasil Simulasi Skenario Tanpa Intervensi ... 138

30. Hasil Simulasi Skenario Pesimis ... 139

31. Hasil Simulasi Skenario Moderat ... 140

32. Hasil Simulasi Skenario Optimis ... 141

33. Skenario Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Tahun 2030 ... 142

34. Dampak Pengelolaan Kawasan Permukiman Berdasarkan Skenario ... 142

(22)

xvii

No. Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ... 10 2. Daerah Inti dan Daerah Pinggiran ... 17 3. Struktur Ruang Mega Urban ... 19

4. Urban SprawlTipeConcentric Development ... 20

5. Urban SprawlTipeRibbon Development... 20

6. Urban SprawlTipeLeap Frog Development ... 21

7. Segitiga Pemanfaatan Lahan di KawasanRural–Urban Fringe ... 24

8. LokasiUrban FringeSecara Teoritis ... 25 9. PergeseranUrban Fringe ... 25 10. Lokasi Wilayah Penelitian ... 43 11. Bagian Alir Tahapan Penelitian ... 45 12. Kondisi Lingkungan Wilayah Penelitian... 59 13. Perubahan Tutupan Lahan Jabodetabek Tahun 1982–2005 ... 63 14. Dinamika Tutupan Lahan Wilayah Penelitian Tahun 1982–2010 ... 69 15. Hasil Analisis Regresi Tutupan Lahan ... 71 16. Peta Hasil Integrasi Penggunaan Lahan 2010 dengan RTRW ... 74 17. Indeks Status Berkelanjutan dan Atribut Pengungkit Dimensi Ekologi 87 18. Indeks Status Berkelanjutan dan Atribut Pengungkit Dimensi Sosial.... . 89 19. Indeks Status Berkelanjutan dan Atribut Pengungkit Dimensi

Ekonomi... 90 20. Indeks Status Berkelanjutan dan Atribut Pengungkit Dimensi Institusi 92 21. Diagram Layang-layang Status Berkelanjutan ... 94 22. Atribut Pengungkit Multi Dimensi ... 95 23. Hubungan AntaraDriver PowerdenganDependenceLembaga Terlibat

(23)

xviii

Pengelolaan Kawasan Permukiman di Wilayah Studi ... 109 26. Struktur Hierarki Kendala Pengelolaan Kawasan Permukiman di

Wilayah Penelitian ... 110 27. HubunganDrive PowerdenganDenpendencePada Perubahan yang

Diharapkan dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman ... 113 28. Struktur Hierarki Perubahan yang Diharapkan dari Pengelolaan

Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 114 29. HubunganDrive PowerdenganDenpendencePada Kegiatan

Pengelolaan Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 116 30. Struktur Hierarki Perubahan yang Dibutuhkan dalam Pengelolaan

Kawasan Permukiman di Wilayah Penelitian ... 116 31. DiagramInput–Output ... 126

(24)

xix

Lampiran Halaman

1. Peta Adminsitrasi Wilayah Penelitian ... 169 2. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor... 170 3. Peta Rencana Pola Ruang Kota Bekasi ... 171 4. Peta Rencana Pola Ruang Kota Depok... 172 5. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Penelitian... 173 6. Pengelompokan Nomenklatur RTRW... 174 7. Luas Tutupan Lahan Wilayah Penelitian ... 175 8. Hasil Perhitungan Regresi Berganda ... 180 9. Data Status Keberlanjutan, Sumber dan Kegunaan ... 183 10. Penilaian Atribut Keberlanjutan ... 184 11. Kuesioner Survei Pakar ... 185 12. Data Analisa ISM, Sumber dan Kegunaan ... 192 13. Asumsi Dasar Model Dinamis... 193

14. Causal LoopModel Pengelolaan Kawasan Permukiman... 194

(25)

1.1 Latar belakang

Dari waktu ke waktu, pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan serta peningkatan tuntutan kebutuhan dalam berbagai aspek kehidupannya mengakibatkan kegiatan penduduk perkotaan mengalami peningkatan. Keadaan ini akan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang kota yang besar. Kota sebagai perwujudan ruang geografis yang menampung kegiatan penduduknya akan selalu mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Pertumbuhan perkotaan di Indonesia, terutama di kota besar dan metropolitan menurut Firman (2003), secara fisik ditandai oleh pertumbuhan yang pesat pada wilayah pinggiran perkotaan (urban fringe) yang dikenal sebagai prosessuburbanisasiyaitu pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke wilayah pinggiran perkotaan dimana fungsi-fungsi kekotaan ini membentuk kawasan-kawasan permukiman baru. Suburbanisasi yang terjadi cenderung menjadikan kawasan perkotaan secara fisik meluas secara acak atau terpencar (urban sprawl)

dan semakin tidak terkendali (Rustiadi 2000).

Kawasan permukiman menurut Undang-undang No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Adapun perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Dengan demikian permukiman memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan perumahan. Mengingat definisi diatas maka permukiman seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya termasuk orang yang datang ke tempat tersebut.

(26)

peningkatan fungsi perkotaan yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan antara lain perubahan penggunaan lahan pertanian ke penggunaan bukan pertanian, terjadi invasi terhadap lahan-lahan konservasi (sempadan, resapan, dataran banjir), spekulasi lahan, konsumsi lahan produktif skala besar, pelanggaran penggunaan lahan serta pertumbuhan permintaan transportasi dan energi.

Keadaan ini mengakibatkan terjadi kondisi degradasi lingkungan, krisis infrastruktur, kemacetan, risiko bencana dan ketidaksiapan aparat pemerintah sehingga proses pertumbuhan mengarah pada ketidak-berlanjutan (Uguy 2006). Dalam kondisi ini menjadi penting untuk mempertanyakan keterkaitan antara proses suburbanisasi dan keberlanjutannya, baik secara lingkungan, sosial maupun ekonomi.

Johnson (1984) menyatakan bahwa diantara wilayah perkotaan, perdesaan dan pinggiran perkotaan, ternyata pinggiran perkotaan memberikan peluang paling besar untuk usaha-usaha produktif dan peluang yang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal. Hal ini menjadikan wilayah pinggiran perkotaan merupakan suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota dan merupakan daerah yang berada dalam proses transisi dari daerah perdesaan menjadi perkotaan. Menurut McGee (1991), wilayah pinggiran perkotaan di Asia memiliki karakteristik suatu daerah yang tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desadisebut sebagai “desakota”. Sementara itu, menurut Staley (1998) wilayah pinggiran perkotaan adalah daerah yang mengalami pengaruh sangat kuat dari suatu kota yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan karakteristik sebagai berikut: perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan visual sumberdaya estetika, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, perubahan pola orientasi dan aktivitas penduduk. Bourne (1995) cenderung mendefiniskan bahwa wilayah pinggiran kota sebagai ruang atau kawasan sosial baru di sekeliling kota dimana merupakan kawasan baru yang tengah berevolusi dan mengalami transisi.

Fenomena pertumbuhan kota secara acak dan tidak terencana (urban

sprawl)terjadi pada hampir semua kota metropolitan di seluruh dunia. Meskipun

(27)

mengalami kesulitan untuk mengendalikannya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian (Daniels 1999; Winarso dan Kombaitan 2001; Firman 2003; Rustiadi 2003; Galent et al. 2004; Uguy 2006; Heripoerwanto 2009) dapat diketahui bahwa penyebab pertumbuhan ini adalah munculnya kawasan permukiman sebagai wadah untuk menampung pertambahan penduduk, perkembangan perumahan, industri dan aktivitas komersial.

Tingginya pertumbuhan lahan terbangun berupa kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan baik untuk melayani permintaan rumah, memenuhi gaya hidup, maupun sarana spekulasi dan investasi oleh masyarakat golongan menengah ke atas, tidak disertai dengan pengendalian yang memadai dari pemerintah. Ketidakpedulian, ketidaksiapan perangkat dan keterbatasan kemampuan pemerintah menyebabkan pengendalian tata ruang, penyediaan infrastruktur, pelayanan transportasi, penyediaan sarana sosial dan kultural tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya. Padahal, sampai saat ini wilayah pinggiran kota dalam sistem metropolitan masih merupakan kawasan yang menarik untuk menjadi tempat tinggal, karena harga tanah relatif murah dibandingkan dengan harga tanah dalam kota dan lokasinya masih dalam jarak wajar perjalanan ulang-alik (Winarso dan Kombaitan 2001).

Pertumbuhan perkotaan yang terjadi akan menyebabkan adanya dinamika penggunaan lahan yang tinggi dan cepat di kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan sehingga sering menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan. Wilayah pinggiran perkotaan merupakan daerah peralihan yang sangat rawan konflik tersebut, untuk itu diperlukan suatu pengelolaan untuk mengantisipasi dampak negatifnya. Tata ruang di wilayah pinggiran perkotaan masih berkembang dan berpotensi sebagai penyedia ruang perkotaan, saat ini belum difungsikan secara optimal dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan keberlanjutannya.

(28)

(konurbasi) dalam sistem metropolitan Jabodetabek. Atas dasar semua pertimbangan ini penelitian tentang fenomena pertumbuhan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan dalam sistem metropolitan Jabodetabek yang tumbuh pesat perlu dan mendesak dilakukan untuk mendapatkan sistem pengelolaan kawasan permukiman yang berkelanjutan dan sesuai dengan karakteristik wilayah pinggiran perkotaan dalam sistem metropolitan pada masa depan.

1.2 Perumusan Masalah

Metropolitan Jabodetabek saat ini mengalami masalah pertumbuhan wilayah perkotaan yang tidak terkendali. Penduduk kawasan pinggiran metropolitan Jabodetabek berkembang sangat cepat sedangkan di wilayah inti tumbuh dengan laju yang rendah (Rustiadi 2000). Pertumbuhan penduduk Jakarta dalam kurun waktu 1980-1990 relatif tinggi yaitu 2,42 % dan di wilayah Botabek pertumbuhan penduduknya sebesar 6,16 %. Selanjutnya pada kurun waktu tahun 1990 - 2000 laju pertumbuhan penduduk di Jakarta mengalami penurunan menjadi 0,16 % per tahun. Sebaliknya, wilayah Botabek pertumbuhan penduduknya tetap tinggi.

Berdasarkan hasil survei JICA pada tahun 2003, selama kurun waktu tahun 1997-2002 telah terjadi perpindahan tempat tinggal penduduk Jakarta yang mempunyai aliran lebih besar 3,4 kali ke arah pinggiran kota yaitu Bekasi, Tangerang dan Bogor dibandingkan dengan perpindahan penduduk dari pinggiran ke Jakarta. Hal ini dikarenakan penduduk mencari tempat tinggal yang memiliki kualitas lingkungan yang lebih baik dan lebih murah. Demikian juga, telah terjadi penjalaran pertumbuhan fisik kekotaan secara cepat namun tidak teratur serta tidak terencana dan telah mencapai radius 35 km yang menyebabkan konversi lahan produktif mencapai rata-rata 11,4 % per tahun (Dit. Jen. Penataan Ruang 2010). Kondisi diatas mengindikasikan bahwa telah terjadi proses suburbanisasi

(29)

pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek meluas tidak terkendali dengan pengembangan pusat kegiatan yang acak dan terpencar (Soegijoko 2010).

Pertumbuhan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek saat ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah karena kawasan ini merupakan kawasan perbatasan antara beberapa wilayah administrasi pemerintahan yang kurang bersinergi karena kebijakan otonomi daerah masing-masing, meskipun kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan ini merupakan kawasan yang paling dinamis dan tumbuh pesat. Pengelolaan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek selama ini belum dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tidak memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan juga kelembagaan secara terintegrasi. Hasil penelitian Uguy (2006) menunjukkan bahwa lingkungan di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek khususnya di Kecamatan Cimanggis telah terjadi ketidakberlanjutan.

Melihat keadaan ini, wilayah pinggiran perkotaan masih akan terus berkembang dan berpotensi sebagai penyedia ruang kawasan permukiman, disisi lain proses suburbanisasi dan fenomena gejala urban sprawl yang terjadi memberikan kondisi-kondisi merugikan yang selanjutnya akan menimbulkan pengaruh negatif pada fungsi kota Jakarta sebagai pusat metropolitan dan sistem perkotaan metropolitan Jabodetabek secara keseluruhan.

(30)

Indonesia meliputi konteks, pendekatan dan kapasitas institusional. Selain itu juga penelitian McGee (1991) tentang perkembangan kota-kota di Asia dan Indonesia menghasilkan suatu struktur ruang mega urban yang membentuk suatu kawasan pinggiran kota bersifat transisi memiliki karakteristik desakota. Secara umum kesemua penelitian tersebut bersifat analitis dan sangat bernilai untuk memahami terjadinya fenomenaurban sprawlserta karakteristik pinggiran kota sebagai suatu ruang baru yang mengalami transisi. Namun penelitian untuk keperluan intervensi kebijakan dalam pengelolaan pertumbuhan yang terjadi di pinggiran kota tersebut dapat dikatakan belum ada yang mengisinya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian mengenai model pengelolaan kawasan permukiman di pinggiran kota wilayah metropolitan yang mengalami pertumbuhan cepat dan tidak terkendali dengan menggunakan model dinamik sebagai landasan penyusunan alternatif kebijakan pengelolaan.

Sistem pengelolaan secara terintegrasi diperlukan mengingat pengelolaan yang dijalankan selama ini hanya sesuai untuk wilayah yang tumbuh lambat dan pada komunitas yang stabil juga pada wilayah dengan pengelola tunggal. Penelitian dilakukan melalui pendekatan sistem dimana melalui simulasi skenario model pengelolaan akan dibuat suatu kebijakan pengelolaan yang akan menjadi keluaran penelitian. Alasan penggunaan pendekatan sistem adalah karena persoalan yang dimiliki kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan sangat kompleks dan tidak mungkin dilakukan pendekatan secara parsial (Eriyatno 2003).

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek telah mengalami

proses pertumbuhan fisik secara cepat namun tidak teratur (acak) dan tidak terkendali serta tidak terencana yang ditandai dengan munculnya kawasan-kawasan permukiman baru. Hal ini menimbulkan ketidakefisienan dan kemubaziran (fenomenaurban sprawl)

(31)

lingkungan yang terintegrasi. Akibat dari pengabaian ini menjadikan kawasan permukiman mengalami degradasi lingkungan.

3. Pesatnya perkembangan kawasan permukiman mengakibatkan tingginya tekanan dan konflik kepentingan dalam pengelolaan kawasan permukiman tersebut yang mana akan melibatkan beberapa pengelola dalam hal ini pemerintah daerah yang saling berbatasan di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek.

4. Sampai saat ini perkembangan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek yang terjadi cukup merisaukan yang ditunjukkan dengan gejala-gejala (symptoms) seperti terjadinya kemacetan, banjir, kekumuhan, polusi udara, kekeringan dan lain-lain sehingga diperlukan suatu model pengelolaan yang memuat kebijakan yang efektif dan komprehensif secara terintegrasi mengingat pengelolaan yang dijalankan selama ini hanya sesuai untuk wilayah yang tumbuh lambat dan pada komunitas yang stabil juga pada wilayah dengan pengelola tunggal.

Berdasarkan uraian pokok permasalahan diatas maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika pertumbuhan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek selama 20 tahun terakhir ? 2. Bagaimana status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah pinggiran

perkotaan dalam sistem metropolitan Jabodetabek ?

3. Adakah kelemahan dalam pengelolaan saat ini sehingga perkembangan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek menjadi tidak terkendali ?

(32)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan permukiman yang berkelanjutan di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Jabodetabek. Untuk mencapai tujuan utama diatas maka dirancang tujuan antara sebagai berikut:

1. Menganalisis dinamika pertumbuhan kawasan permukiman di wilayah penelitian.

2. Menganalisis status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah penelitian untuk pengembangan pengelolaan kawasan permukiman selanjutnya.

3. Mengidentifikasi peran stakeholders, kendala, kegiatan yang dibutuhkan dan perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan kawasan permukiman yang berkelanjutan di wilayah penelitian.

4. Merancang bangun model untuk merumuskan alternatif-alternatif kebijakan dalam pengelolaan kawasan permukiman yang berkelanjutan di wilayah pinggiran kota metropolitan Jabodetabek, khususnya di wilayah penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian diharapkan memberikan manfaat dalam bentuk :

1. Alternatif model dengan simulasi intervensi bagi pengelolaan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan secara berkelanjutan dalam sistem metropolitan Jabodetabek.

2. Masukan bagi pemerintah daerah yang terkait dalam hal pedoman pemanfaatan lahan berkaitan dengan keberlanjutan pembangunan kawasan permukiman di wilayah pinggiran perkotaan.

(33)

1.5 Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan wilayah di metropolitan dipicu oleh dua faktor utama, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Keadaan ini menimbulkan terjadinya proses suburbanisasi dengan fenomena urban sprawl,

dimana akibat dari pengadaan lahan (land supply) di pinggiran kota sebagai pemenuhan kebutuhan ruang diselenggarakan kawasan permukiman yang sering tanpa mengindahkan dampak sosial ekonomi terhadap prasarana dan sarana wilayah yang telah ada serta persyaratan-persyaratan atau kaidah-kaidah lingkungan. Pinggiran kota pada awalnya dialokasikan untuk kegiatan pertanian (teknis/non teknis) dan jalur hijau (green area), saat ini cenderung mengalami perubahan fungsi (konversi) menjadi kawasan permukiman tanpa memperkirakan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap kondisi awal dan keberlangsungan pembangunan kawasan perkotaan itu sendiri.

Sebaran pembangunan perumahan skala besar, perdagangan jasa, dan/atau industri menjadikan pertumbuhan kawasan permukiman di pinggiran kota sering tidak tertib dan tidak teratur. Dengan kata lain pemanfaatan ruang di pinggiran kota sering tidak konsisten dengan rencana tata ruang yang berlaku untuk mengatur kawasan permukiman di pinggiran kota tersebut. Perubahan-perubahan ini cenderung melahirkan masalah-masalah baru, baik di wilayah pinggiran kota itu sendiri maupun terhadap kota itu sendiri, dan juga secara keseluruhan dalam sistem metropolitan Jabodetabek diantaranya: banjir pada musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau, penurunan kualitas lingkungan hidup akibat peningkatan limbah, dan kemacetan di sepanjang jaringan jalan regional yang berfungsi untuk menghubungkan kota yang bersangkutan dengan pinggiran kota.

(34)
[image:34.595.92.514.85.678.2]

kerusakan lingkungan dan kerugian yang ditimbulkan akibat pertumbuhan kawasan permukiman yang tidak terkendali. Model ini dijadikan landasan untuk penyusunan alternatif-alternatif kebijakan strategis dalam pengelolaan kawasan permukiman (Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 1.6 Nilai Kebaruan (Novelty)

Nilai kebaruan dalam penelitian ini mencakup dua hal yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis yaitu analisis citra penginderaan jauh (Remote Sensing), sistem informasi geografi (GIS),

Peran dan Sinergi

Stakehoder

Perkembangan Kota

FenomenaUrban SprawlsdanSuburbanisasi

Pertumbuhan Kawasan Permukiman di wilayah Pinggiran kota Metropolitan JABODETABEK

• Konversi Lahan

• Degradasi Lingkungan

• Konfllik antarStakeholder

• Ketidakberlanjutan Pembangunan

Pengelolaan Kawasan Permukiman secara Berkelanjutan

Fungsi dan Peran Kawasan

Kualitas Lingkungan Fisik Kawasan

Dinamika Pertumbuhan Kawasan Permukiman

Status Keberlanjutan Kawasan Permukiman utk Pengembangan

Kendala dan kegiatan pengelolaan yg dibutuhkan

Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Pinggiran perkotaan Metropolitan JABODETABEK

Alternatif Kebijakan Pengelolaan

(35)

Multi Dimensional Scaling (MDS) dan Interpretative Structural Modelling

(ISM) untuk memahami fenomenaurban sprawl dan proses suburbanisasi yang terjadi di wilayah penelitian. Sedangkan analisis sistem model dinamik untuk merumuskan alternatif kebijakan dalam pengelolaan kawasan permukiman secara terpadu dan berkelanjutan.

(36)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Lahan (land) merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Sitorus 2009). Lahan mempunyai fungsi secara ekologis sebagai muka bumi, tempat dimana ada kehidupan, namun lahan juga memiliki fungsi sosial ekonomi yang dipandang sebagai sarana produksi, benda kekayaan bernilai ekonomi, dan mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan masyarakat umum. Menurut Soerianegara (1978), ada tiga kepentingan pokok sumberdaya lahan bagi kehidupan manusia, yaitu (1) lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, berternak, memelihara ikan, dan lainnya; (2) lahan mendukung berbagai jenis vegetasi dan satwa; dan (3) lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia. Begitu juga dengan Sitorus(2004a) menyebutkan sumberdaya lahan adalah bagian dari bentangan lahan (Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan termasuk iklim, topografi atau relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Hal ini dapat menentukan tipe penggunaan lahan yang akan dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah dilihat dari kualitas dan karakteristik lahan.

(37)

Penggunaan lahan kota dapat dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu: penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian (Sitorus 2004a). Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan kedalam penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaanair dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya (Arsyad 2010).

Barlowe (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan biologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi (kelembagaan) dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik dan keadaan sosial ekonomi.

Barlowe (1986) menyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk, demikian juga permintaan terhadap hasil non-pertanian. Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan material, cenderung menyebabkan persaingan dan konflik diantara pengguna lahan. Adanya persaingan tidak jarang menimbulkan pelanggaran batas-batas penggunaan lahan, khususnya lahan pertanian yang digunakan untuk usaha non-pertanian.

(38)

kemiringan lereng. Faktor manusia berpengaruh lebih dominan dibandingkan faktor alami dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh dari luar, seperti kebijakan nasional dan internasional (Sitorus 2004a).

Saefulhakim et al. (2000), mengemukakan bahwa pemahaman akan perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dapat didekati dari struktur utama yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan. Secara umum struktur yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) struktur permintaan, (2) struktur penawaran, (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktivitas sumberdaya lahan. Pemahaman ketiga struktur utama yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan syarat yang diperlukan untuk dapat memodelkan perubahan penggunaan lahan secara utuh. Permintaan akan lahan dalam aktivitas masyarakat antara lain untuk menunjang ketersediaan pangan, sandang, papan, amenity, dan fasilitas kehidupan dasar lain dalam kuantitas, kualitas dan tingkat keragaman tertentu.

Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu dipicu oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Perubahan penggunaan lahan dapat mengacu pada 2 (dua) hal yang berbeda, yaitu: pada penggunaan lahan sebelumnya, atau rencana ruang yang ada. Perubahan yang mengacu pada penggunaan sebelumnya adalah suatu penggunaan baru atas lahan yang berbeda dengan penggunaan lahan sebelumnya. Perubahan yang mengacu pada rencana tata ruang adalah penggunaan baru atas tanah (lahan) yang tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah disahkan (Permendagri No.4/1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan Lahan Kota).

(39)

Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita, (2) adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan dari sektor primer khususnya dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor-sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa).

Proses peralihan fungsi lahan dapat dipandang sebagai pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan-keseimbangan baru yang lebih optimal. Namun sering terjadi berbagai distorsi yang menyebabkan alokasi pemanfaatan lahan berlangsung menjadi tidak efisien. Proses alih fungsi lahan pada umumnya didahului oleh adanya proses alih penguasaan lahan. Dalam kenyataannya, di balik proses alih fungsi lahan umumnya terdapat proses memburuknya struktur penguasaan sumberdaya lahan (Rustiadiet al. 2003).

(40)

permanen. Pengaruh yang lain adalah terhadap ekonomi lahan seperti harga, sewa dan kegiatan jual beli lahan.

2.2 Kota dan Perkembangan Kota

Kota pada umumnya berawal dari suatu kawasan permukiman kecil yang secara spasial mempunyai lokasi yang strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy 1978 dalam Sujarto 2005). Seiring dengan berjalannya waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta interaksi dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Secara fisik perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun terutama kawasan permukiman yang cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial ekonomi kota.

Budihardjoet al. (1993) menyatakan bahwa kota sebagai bagian integral dari suatu lingkungan terutama di Indonesia pada umumnya berkembang secara

laissez-faire yaitu perkembangan tanpa dilandasi perencanaan kota yang

menyeluruh dan terpadu. Kota-kota tersebut tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam kurun waktu yang singkat.

Berdasarkan jumlah penduduk di perkotaan, maka dapat diklasifikasikan kota-kota di Indonesi menjadi 4 (empat) kategori yaitu (Yunus, 2000):

1. Kota metropolitan dengan jumlah penduduk > 1.000.000 jiwa 2. Kota besar dengan jumlah penduduk 500.000–1.000.000 jiwa 3. Kota sedang dengan jumlah penduduk 100.000–500.000 jiwa 4. Kota kecil dengan jumlah penduduk < 100.000 jiwa

(41)

yang spesifik (Angotti 1993). Metropolitan di dunia terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggiran.

Daerah pinggiran kota (urban fringe) sebagai wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu seperti geografi, sosial dan perkotaan sejak tahun 1930 saat pertama kali istilah

urban fringedikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama

tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses perkembangan kota yaitu ekspansi fisik kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan di wilayah pinggiran kota seperti perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi.

Menurut Friedman (1967) dalam teori wilayah intinya bahwa di sekitar daerah inti terdapat daerah pinggiran (Gambar 2). Perkembangan daerah inti dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi komulatif yang berasal dari sejumlah pusat-pusat pertumbuhan yang terletak pada titik-titik interaksi yang memiliki potensi tertinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar keluar dari pusat-pusat (wilayah inti) ke daerah-daerah yang lebih rendah yang mempunyai potensi interaksi yang baik.

Gambar 2 Daerah inti dan daerah pinggiran (Sumber: Friedman 1967)

Proses dimana daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah pinggiran dilakukan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik. Menurut Hansen (1972)dalamRahardjo (2004) pengaruh tersebut dapat berupa:

Daerah Inti

Daerah Pinggiran

(42)

a. Pengaruh dominasi, yaitu dengan cara melemahkan perekonomian di daerah pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya SDA/SDM dan modal ke daerah inti.

b. Pengaruh informasi, yaitu peningkatan dalam interaksi potensial yang dapat menunjang pembangunan inovatif.

c. Pengaruh psikologis, penciptaan kondisi yang memicu terjadinya kegiatan inovatif yang lebih nyata.

d. Pengaruh mata rantai, yaitu kecenderungan inovasi-inovasi yang ada untuk menghasilkan inovasi yang lain.

e. Pengaruh produksi, yaitu penciptaan struktur balas jasa yang menarik untuk menghasilkan interaksi yang lebih inovatif.

Mc Gee (1991) menyatakan bahwa proses perkembangan kota-kota di Asia dan Indonesia (terutama di Pulau Jawa) ditandai adanya restrukturisasi internal kota-kota besarnya. Proses perkembangan kota-kota tersebut menyebabkan terbentuknya kota besar dan kota metropolitan yang akan membentuk wilayah mega urban dimana diawali dengan adanya dua kota yang terhubungkan oleh jalur transportasi yang efektif, diikuti wilayah koridor kedua kota besar berkembang yang pada akhirnya mewujudkan kesatuan perkotaan yang luas (Gambar 3). Wilayah yang paling mungkin menjadi mega urban adalah wilayah-wilayah antara dua kota besar dengan waktu tempuh kurang dari 3 - 4 jam dan wilayah pertanian berkepadatan tinggi yang berdekatan dengan kota besar.

Model struktur ruang wilayah mega-urban di Asia adalah sebagai berikut : a. Kota besar dan kota metropolitan : mendominasi kegiatan ekonomi pada wilayah tersebut yang terdiri dari satu atau dua kota yang sangat besar

b. Wilayah pinggiran kota: mengelilingi kota besar dengan ciri terjadi penglaju harian untuk mencapai pusat kota, yang jaraknya berkisar hingga 30 kilometer dari pusat kota

(43)

kota besar, yang dicirikan dengan populasi penduduk padat dan bermata pencaharian petani padi sawah

d. Desa dengan kepadatan penduduk tinggi, dengan basis perekonomiannya pada pertanian padi sawah; dan

e. Desa dengan kepadatan penduduk rendah, yang tersebar di luar keempat wilayah yang telah disebutkan di atas.

Gambar 3 Struktur Ruang Mega Urban (Sumber: Mc Gee 1991) 2.3. Urban Sprawl,Sub-urbanisasidan Dinamika Pinggiran Kota

Urban sprawl, menurut Staley (1998) adalah proses perembetan

kenampakan fisik perkotaan ke arah luar kota dalam hal ini adalah pinggiran kota. Donochel dalam Yunus (2000), menyatakan bahwa urban sprawl adalah sebagai suatu pertumbuhan dari wilayah perkotaan yang menuju suatu proses tipe pembangunan penggunaan lahan yang beragam di daerah pinggiran kota. Kelly (2001) berpendapat bahwaurban sprawl adalah suatu tipikal karakteristik yang ditunjukan oleh pemanfaatan lahan yang tidak perlu, pemecahan daerah terbuka (open space), adanya celah yang lebar antara pembangunan dan penampilan yang menyebar, pemisahan penggunaan wilayah, dan adanya kesenjangan antara public space dengan community center. Dengan terjadinya

urban sprawl menyebabkan adanya dinamika penggunaan lahan yang cukup

Jalan Kota Besar Daerah Pinggiran Desa Kota

(44)

tinggi dan cepat, baik volume maupun frekuensinya sehingga akan memberikan kondisi yang merugikan dan buruk diwilayah pinggiran kota tersebut.

Proses gejala urban sprawl yang tidak terkontrol akan menimbulkan pengaruh negatif pada fungsi kota secara keseluruhan dan daerah-daerah sekitarnya. Untuk itu diperlukan upaya pengaturan gejala urban sprawl sedini mungkin. Secara garis besar ada tiga macam tipeurban sprawlyaitu:

a. Perembetan konsentris (Concentric Development)

Tipe ini merupakan jenis perembetan areal perkotaan yang paling lambat. Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota (Gambar 4). Berhubung sifat perembetannya yang merata disemua bagian luar kota yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak. Peranan transportasi terhadap perembetan ini tidak begitu besar.

Gambar 4Urban SprawltipeConcentric Development

b. Perembetan Memanjang(Ribbon Development)

Tipe ini menunjukan ketidakmerataan perembetan areal kekotaan disemua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota (Gambar 5).

(45)

c. Perembetan Meloncat (Leap Frog Development)

Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan perkotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian (Gambar 6).

Gambar 6Urban sprawltipeleap frog development

Lahan merupakan sumberdaya, wadah dan faktor produksi strategis bagi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hampir semua sektor pembangunan fisik kota membutuhkan lahan. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan meningkat, sementara ketersediaan dan luas lahan tetap. Walaupun kriteria lahan yang diperlukan untuk setiap sektor berbeda, namun pada kenyataannya masih sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arifin (1998) bahwa semakin tinggi tingkat urbanisasi suatu daerah, struktur daerah perkotaan semakin kompleks. Penyebabnya adalah karena semakin beragamnya aktivitas dari masyarakat di daerah tersebut.

Pembentukan dan perubahan lahan di wilayah pinggiran kota diakibatkan oleh adanya proses sub-urbanisasi dimana kecenderungannya menunjukan terjadinya pertumbuhan fisik secara cepat namum tidak teratur dan tidak terencana sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan kemubaziran (fenomena

urban sprawl). Sub-urbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya

(46)

kotanya, dan adanya gaya hidup yang mempengaruhi sehari-hari sebagai

commuter(penglaju) untuk bekerja di kota (Rustiadi dan Panuju 1999).

Proses suburbanisasi di banyak negara-negara dunia ketiga dalam hal ini termasuk Indonesia banyak dipandang sebagai suatu pengulangan proses yang sudah lama berlangsung di negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika. Namun yang mencengangkan adalah proses yang terjadi di Indonesia berlangsung dengan akselerasi dan magnitude yang sangat tinggi (Rustiadi 2000). Menurut Todaro (1981) hal ini terjadi karena adanya suatu keadaan tidak mampunya kota-kota menyediakan fasilitas pelayanan pokok dan kesempatan kerja yang memadai untuk penduduk yang bertambah pesat. Dalam dua dekade mendatang, diperkirakan 200 juta orang akan tinggal di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Asia Timur, dimana jumlah ini merupakan sekitar 40 % dari total populasi metropolitan (Webster 2002). Suburbanisasi menciptakan peluang dan tantangan baru bagi perencanaan dan pertumbuhan metropolitan. Menurut Lin (2001) bahwa suburbanisasi dapat menciptakan kegiatan ekonomi baru, menarik tenaga kerja sehingga memberikan kontribusi besar untuk pembangunan daerah.

Chapin dan Kaiser (1979) menyatakan bahwa struktur ruang kota sangat berkaitan dengan 3 (tiga) sistem yaitu: (1) sistem kegiatan; (2) sistem pengembangan lahan, dan (3) sistem lingkungan. Sistem kegiatan berkaitan dengan cara manusia dan kelembagaannya mengatur urusannya sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya dan saling berinteraksi dalam waktu dan ruang. Sistem pengembangan lahan berfokus pada proses pengubahan ruang dan penyesuaiannya untuk kebutuhan manusia dalam menampung kegiatan yangada dalam susunan sistem kegiatan, dan sistem lingkungan berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik yang dibangkitkan oleh proses alamiah, yang berfokus pada kehidupan tumbuhan dan hewan serta proses-proses dasar yang berkaitan dengan air, udara, dan mineral. Ketiga sistem ini menjadi dasar penyusunan penggunaan lahan dan penjelasan terbentuknya pemanfaatan lahan.

(47)

Pertumbuhan mencakup semua jenis penggunaan lahan, termasuk didalamnya jenis penggunaan yang sama sekali baru dan perluasan penggunaan lahan, sedangkan transformasi adalah perubahan menerus pada bagian-bagian pemanfaatan lahan di perkotaan dan perdesaan untuk meningkatkan nilai dan tingkat efisiensi bagi penggunanya. Transformasi adalah proses pengembangan yang lebih dominan dibandingkan dengan perluasan dimana perluasannya hanya terjadi satu kali, sementara transformasi dapat terjadi berulangkali.

Berdasarkan Undang Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Johnson (1984) menyatakan bahwa diatara kawasan perkotaan, perdesaan dan pinggiran perkotaan, pinggiran perkotaan memberikan peluang paling besar untuk usaha produktif dan peluang yang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal.

(48)

Yunus (2000) menyatakan bahwa pinggiran kota adalah daerah yang mengalami pengaruh sangat kuat dari suatu kota yang ditandai dengan berbagai karakteristik seperti perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, perubahan pola orientasi dan aktivitas penduduk. Hasil penelitian Pryor (1988) dalam Yunus (2000) menyatakan bahwa berdasarkan jarak fisiknya dengan pusat kota induknya daerah yang termasuk dalamurban fringe areaadalah daerah yang terletak sekitar radius 15 sampai 25 kilometer dari suatu pusat kota.

Berdasarkan persentase penggunaan lahan perkotaan, persentase penggunaan lahan perdesaan dan persentase jarak dari lahan perkotaan (built-up) ke lahan perdesaan, dimana ketiga komponen ini digabungkan di dalam segitiga penggunaan lahan desa-kota (urban-rural landuse triangle). Terlihat bahwa

urban fringe area adalah daerah yang sebagian besar penggunaan lahannya

[image:48.595.90.478.75.842.2]

didominasi oleh bentuk penggunaan lahan kekotaan sebesar 60 % dan terentang dari titik perbatasan urban sampai jarak 40 % dari titik tersebut ( Gambar 7).

Gambar 7 Segitiga pemanfaatan lahan di kawasanruralurban fringe

(Sumber : PryordalamYunus 2000)

(49)

lahan yang campur aduk: permukiman, industri, pertanian, lahan terbuka, dan sebagainya. Dalam Soegijoko (2006), secara teoritis, urban fringe merupakan titik perpotongan antara kurva permintaan lahan perkotaan dengan kurva permintaan lahan perdesaan (Gambar 8). Sumbu mendatar merupakan jarak dari pusat kota, sedangkan sumbu vertikal menyatakan nilai lahan. Titik (0.0) adalah suatu titik yang ditetapkan sebagai pusat kota. Dengan perkembangan kota, titik yang menyatakan batas antara wilayah desa dan kota akan bergeser menjauhi pusat kota (Gambar 9). Titik perpotongan kedua kurva permintaan tersebut secara teoritis berupa suatu garis mengelilingi pusat kota. Kenyataannya merupakan kawasan dengan lebar yang bervariasi, sebagai kawasan pinggiran metropolitan.

[image:49.595.119.496.242.502.2]

Gambar 8 LokasiUrban Fringesecara teoritis (Sumber : Soegijoko 2006)

Gambar 9 Pergeseranurban fringe(Sumber : Soegijoko 2006)

Nilai Lahan

Jarak Nilai

Lahan

Jarak

(50)

Pada kenyataannya kawasan pinggiran tidak homogen. Berdasarkan penggunaan lahan serta fungsi kegiatan ekonominya menurut Soegijoko (2006), kawasan pinggiran ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori atau tipologi yaitu :

1. Predominantly Urban = kawasan yang didominasi kondisi dan kegiatan

berciri perkotaan. Karakteristik kota ini antara lain adalah perumahan berkepadatan tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri ringan/manufaktur. Kegiatan-kegiatannya lebih berciri urban, biasanya akses ke kota inti relatif baik. Kawasan predominantly

urban ini kemungkinan besar tercipta karena telah ada kota-kota atau

permukiman sebelumnya di kawasan ini, seperti Kota Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok. Kemudian ditambah adanya pengembangan permukiman skala besar yang baru seperti kota-kota baru BSD, Deltamas, dan sebagainya. Kawasan ini juga meningkat perkembangannya karena sudah ada atau sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional seperti jaringan jalan arteri, jalan tol, dan sebagainya. Proses ini dikenal sebagai ”suburbanisasi” dan biasanya berbatasan langsung dengan kota inti.

2. Semi Urban = kawasan ini adalah wilayah transisi dari perdesaan ke

perkotaan. Ciri utamanya adalah keberadaan perumahan hunian yang masih berkepadatan rendah,baik terencana (kawasan permukiman berskala kecil) maupun tidak terencana, kepadatannya campuran antara kepadatan tinggi dan kepadatan rendah. Kegiatannya juga sebagian masih rural (pertanian, perkebunan, empang-empang dan ruang terbuka atau belum terbangun). Penggunaan lahan sebagian besar masih berupa pertanian dan ladang, serta industri yang berorientasi tenaga kerja (labor

orientedindustries). Penggunaan lahannya campur aduk, antara untuk

(51)

3. Potential Urban = adalah kawasan yang pada saat ini ciri utamanya masih rural yaitu berkarakteristik desa tetapi mempunyai peluang besar untuk lambat laun menjadiurban. Kawasan ini tidak berbatasan langsung ke kota inti, namun dekat dengan kawasansemi urban. Salah satu faktor yang mendorong pengembangan kegiatan perkotaan ke kawasan ini adalah tersedianya akses berupa jaringan jalan atau kereta api yang melalui kawasan ini serta harga lahan yang relatif masih murah. Juga adanya imbas dari daerah sekitarnya yang sudah atau menuju perkembangan perkotaan (URDI 2006). Kepadatan relatif rendah, kegiatan masih cenderung ke pertanian dan perkebunan serta masih banyak lahan-lahan yang belum terbangun. Akses ke kota inti sangat terbatas dan hampir tidak ada.

Daniels (1998) mengemukakan bahwa kekuatan yang mendorong pertumbuhan kawasan pinggiran kota metropolitan adalah teknologi (khususnya kendaraan dan telekomunikasi), investasi publik, peningkatan kesejahteraan, ketakutan dari kemacetan, kriminalitas dan hiruk pikuk, preferensi kepada gaya hidup desa, spekulasi dan pengembangan real estate swasta, kekurangan visi kolektif, pemerintah yang tidak efektif dan pertumbuhan penduduk.

Pinggiran kota metropolitan merupakan daerah yang menarik karena alasan sebagai berikut (Heripoerwanto 2009) : a) Bertemunya aspek sistem transportasi, perencanaan lingkungan, tata guna tanah, dan perumahan pada satu kawasan, b) Terlibatnya berbagai tingkat administrasi pemerintahan, dan c) Terlibatnyamultistakeholders.

(52)

perumahan, 4) keseimbangan sosial yang terganggu ditunjukkan dengan semakin meningkatnya gangguan kamtibmas.

Penduduk kawasan pinggiran kota besar di Indonesia berkembang sangat pesat, sedangkan di wilayah inti tumbuh dengan laju yang rendah. Sebagai contoh, proporsi penduduk Jakarta dibandingkan dengan Jabodetabek berkurang sebagai berikut : 54,6 % (1980), 43,2 % (1990), dan 39,6 % (2000) (Firman 2004a). Lebih lanjut dikemukakan, bahwa lebih dari 20 % penduduk kota din Indonesia tinggal di Jabodetabek.

Yuniarto (1993) melakukan penelitian di pinggiran metropolitan Jabotabek menemukan bahwa kebijakan perumahan yang menekankan keterjangkauan kelompok berpenghasilan rendah dan menengah, namun membiarkan implementasi beroperasinya kekuatan pasar, menyebabkan lokasi perumahan tersebar secara acak dengan layanan kota yang terbatas.

Hudalah (2010) menyatakan bahwa tantangan paling besar adalah kenyataannya wilayah pinggiran kota merupakan zona transisi yang diatur oleh struktur institusional yang kompleks dan saling tumpang tindih dengan otonomi, visi, gaya pemerintahan dan kapasitas yang masing-masing berbeda. Selain itu beberapa tugas perencanaan dibagi dengan pemerintahan diatasnya yang bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan antar masalah perencanaan lokal. Kondisi i

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 7  Segitiga pemanfaatan lahan di kawasan rural – urban fringe
Gambar 9  Pergeseran urban fringe (Sumber : Soegijoko 2006)
Gambar 10 Lokasi wilayah penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan pengelolaan transportasi berkelanjutan di Kota Makassar yang terpadu dikelompokkan dalam 10 kriteria dan 15 alternatif kebijakan serta hasil tujuan 1-3 penelitian dengan

Kebijakan pengelolaan transportasi berkelanjutan di Kota Makassar yang terpadu dikelompokkan dalam 10 kriteria dan 15 alternatif kebijakan serta hasil tujuan 1-3 penelitian dengan

Tujuan penelitian ini adalah merancang model pengelolaan usahatani sayuran dataran tinggi di Kawasan Agropolitan, selain mengetahui bagaimana (a) tingkat keberlanjutan

Strategi implementasi kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah pengelolaan kawasan pasca tambang batubara secara optimal dan

Tujuan Penelitian ini adalah untuk menemukan karakteristik lingkungan dan faktor-faktor lingkungan yang membentuk kawasan permukiman nelayan yang berada di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan metropolitan Mamminasata memiliki daya tampung lahan permukiman dalam jangka waktu 20 tahun akan datang secara keseluruhan masih

Tujuan utama penelitian adalah merumuskan model pengelolaan sampah domestik permukiman penduduk di pinggir Sungai Musi Kota Palembang dengan pendekatan reduce, reuse, recycle,

SNI 3242:2008 10 dari 17 Gambar 2 Diagram sistem pengelolaan di permukiman 5.2.5 Pengelolaan di TPS/ TPS Terpadu Pengelolaan sampah di TPS/TPS Terpadu dilakukan sebagai berikut :