• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN

PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR

PROVINSI JAWA BARAT

ASTRI SABRINA QHOIRUNISA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh RITA

NURMALINA.

Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Kondisi kebutuhan yang tinggi terhadap beras menjadi dasar penting bagi pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Peningkatan produktivitas melalui intensifikasi pertanian salah satunya diwujudkan melalui penanaman padi hibrida. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan keragaan usahatani, menganalisis pendapatan usahatani serta imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor. Pendapatan atas biaya tunai per hektar per musim pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp8 265 583.88 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar Rp8 875 299.84. Pendapatan atas biaya total per hektar per musim pada usahatani padi inbrida yaitu sebesar Rp2 660 588.06 sedangkan pada usahatani padi hibrida pendapatan atas biaya total bernilai negatif yang berarti petani padi hibrida mengalami kerugian sebesar Rp235 003.43. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 2.15 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar 2.40. Nilai R/C rasio atas biaya total pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 0.99, sementara pada usahatani padi inbrida yaitu senilai 1.21.

Kata kunci: intensifikasi pertanian, padi hibrida, padi inbrida, pendapatan usahatani, R/C rasio

ABSTRACT

ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Farm Income of Hybrid Rice and Inbred Rice in Bogor Regency, West Java Province. Supervised by RITA NURMALINA.

Commodity which became a staple food of Indonesian people is rice. Conditions of high demand for rice became an important base for rice farming in Indonesia to increase national rice production and productivity through extension and intensification agricultural programs. Increased productivity through intensification of agriculture one of which is realized through the hybrid rice. The purpose of this study are to describe the variability of rice farming, analyze farm income and the ratio between revenue and cost of hybrid and inbred rice farming in Bogor regency. Income based on cash costs per hectare per season on hybrid rice farming is Rp8 265 583.88 while the inbred rice farming is Rp8 875 299.84. Income based on total costs per hectare per season in inbred rice farming is Rp2 660 588.06 while the hybrid rice farming income based on total cost is negative which means hybrid rice farmers suffered a loss of Rp235 003.43. Value of R/C ratio based on cash cost on hybrid rice farming that is equal to 2.15, while the inbred rice farming is 2.40. Value of R/C ratio based on total cost of the hybrid rice farming that is equal to 0.99, while the inbred rice farming is 1.21.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN

PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR

PROVINSI JAWA BARAT

ASTRI SABRINA QHOIRUNISA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat

Nama : Astri Sabrina Qhoirunisa NIM : H34090065

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 ini ialah Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji utama dan Anita Primaswari Widhiani, SP, MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Melissa Amandasari, SE yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak H. Nana beserta staf dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor, Bapak Jasiman dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Penyuluhan Pertanian Perikanan (UPTD-P3) Wilayah Cibungbulang, Bapak Agah dari Gabungan Kelompok Tani Asmara Jaya Desa Ciasmara, Bapak H. Soleh dari Kelompok Tani Sadar Tani Desa Ciasmara, dan Ibu Lilis dari Kantor Desa Ciasmara yang telah membantu selama pengumpulan data. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir Lusi Fausia, M.Ec selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak dan adik, serta seluruh keluarga dan para sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih atas segala dukungan dari rekan-rekan Agribisnis 46.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 10

TINJAUAN PUSTAKA 10

Gambaran Umum Komoditas 10

Padi Varietas Unggul 11

Tinjauan Penelitian Terdahulu 14

KERANGKA PEMIKIRAN 17

Kerangka Pemikiran Konseptual 17

Kerangka Pemikiran Operasional 21

METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Penentuan Responden 25

Metode Pengolahan dan Analisis Data 26

Definisi Operasional Penelitian 27

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28

Keadaan Geografis 28

Sosial Ekonomi Masyarakat 29

Karakteristik Petani Responden 30

HASIL DAN PEMBAHASAN 34

Keragaan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida 34 Analisis Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida 44

SIMPULAN DAN SARAN 56

Simpulan 56

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 58

(10)

DAFTAR TABEL

1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan menurut kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun 2012 1 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor

beras di Indonesia tahun 2009-2012 2

3 Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun 2008-2012 4 4 Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi

Jawa Barat tahun 2008 sampai 2010 5

5 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor

tahun 2006-2011 6

6 Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi

tertinggi di Kabupaten Bogor tahun 2011 6

7 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di

Kecamatan Pamijahan tahun 2010 7

8 Komposisi mata pencaharian penduduk Desa Ciasmara Kecamatan

Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2012 29

9 Karakteristik petani responden di Desa Ciasmara Kecamatan

Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2013 31

10 Perbandingan penggunaan input, produktivitas, dan harga pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per musim tanam Oktober 2012 35 11 Rata-rata penerimaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa

Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 45 12 Rata-rata biaya penggunaan pupuk padi hibrida dan padi inbrida di

Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 47 13 Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi hibrida dan

padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan

Kabupaten Bogor 50

14 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan R/C rasio usahatani padi hibrida dan padi inbrida per hektar per musim di Desa Ciasmara

Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor 54

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran operasional penelitian 24

2 Rata-rata penggunaan benih padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per

musim tanam Oktober 2012 37

3 Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor

(11)

4 Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor

per hektar per musim tanam Oktober 2012 38

5 Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Varietas padi hibrida yang telah dilepas di Indonesia hingga tahun

2009 61

2 Deskripsi padi varietas DG 1 SHS 62

3 Deskripsi padi varietas Ciherang 63

4 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi hibrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan

Kabupaten Bogor 64

5 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan

Kabupaten Bogor 66

6 Rata-rata pengeluaran usahatani padi hibrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 68 7 Rata-rata pengeluaran usahatani padi inbrida di Desa Ciasmara

Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 69 8 Peta Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor 70

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian di Indonesia meliputi beberapa subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor perikanan, dan subsektor kehutanan. Subsektor tanaman pangan merupakan sub-sektor pertanian yang penting bagi negara Indonesia karena sub-sektor ini menjadi penyedia utama bahan pangan bagi penduduk.

Menurut Suryani dan Rachman (2008), pangan merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama oleh negara dan masyarakatnya. Komitmen Indonesia tentang pangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, dimana pada Pasal 45 disebutkan bahwa kewajiban untuk mewujudkan ketahanan pangan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 mendefinisikan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dari atau pembuatan makanan dan minuman. Sementara itu, pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup.

Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan menurut kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun 2012a

Kelompok barang konsumsi Persentase (%/kap/tahun) Makanan:

- Padi-padian 17.89

- Umbi-umbian 0.86

- Ikan 8.22

- Daging 4.03

- Telur dan susu 5.87

- Sayur-sayuran 7.40

- Kacang-kacangan 2.60

- Buah-buahan 4.78

- Lain-lain 48.34

Jumlah makanan 100.00

a

Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).

(14)

2

dari Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi beras (padi-padian) mencapai 17.89 persen dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk indonesia masih menjadikan beras sebagai komoditas utama dalam konsumsi pangan pokoknya, sesuai dengan pendapat Budijanto dan Sitanggang (2011) yang menyatakan bahwa beras memiliki posisi strategis yang berperan sebagai makanan pokok (staple food) bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2012) dan Perum BULOG (2011) pada Tabel 2, produksi padi tahun 2010 sebesar 66.47 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), terjadi kenaikan sebanyak 2.07 juta ton dibandingkan produksi tahun 2009. Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas panen padi di Indonesia seluas 369.87 ribu hektar dan juga peningkatan produktivitas sebesar 0.16 kuintal per hektar. Produksi padi tahun 2011 sebesar 65.76 juta ton GKG, terjadi penurunan sebesar 712.49 ribu ton dibandingkan produksi tahun 2010. Penurunan produksi diperkirakan karena penurunan luas panen padi di Indonesia seluas 49.81 ribu hektar dan juga penurunan produktivitas sebesar 0.35 kuintal per hektar, yang disebabkan oleh iklim ekstrim di tahun 2011 dimana terjadi gagal panen akibat kekeringan dan berkembangnya hama penyakit padi, sehingga menurunkan produktivitas padi nasional. Produksi padi tahun 2012 sebesar 69.05 juta ton GKG, terjadi kenaikan sebesar 3.29 juta ton dibandingkan produksi tahun 2011. Kenaikan produksi disebabkan adanya peningkatan luas seluas 239.80 ribu hektar dan disertai peningkatan produktivitas sebesar 1.56 kuintal per hektar.

Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor beras di Indonesia tahun 2009-2012ab

(15)

3 mengalami penurunan menjadi 1.27 juta ton diperkirakan karena produksi padi dalam negeri yang mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2011.

Kebutuhan beras dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 persen pada tahun 20101, apabila diproyeksikan pada tahun 2015 penduduk Indonesia akan berada pada angka 247 juta jiwa, dan mencapai 261 juta jiwa pada tahun 20202. Dengan konsumsi beras rata-rata per kapita sebesar 139 kg (BPS 2012), maka jumlah total konsumsi beras Indonesia pada tahun 2015 diproyeksikan mencapai 34.33 juta ton dan sebesar 36.28 juta ton pada tahun 2020. Permintaan beras yang semakin meningkat tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, tetapi juga pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan beras secara nasional meningkat dalam jumlah, mutu, dan keragaman. Sementara itu, kapasitas produksi beras nasional pertumbuhannya lambat atau dapat dikatakan stagnan (Nurmalina 2008).

Kondisi peningkatan kebutuhan akan beras menjadi dasar penting bagi pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional. Peningkatan produktivitas padi nasional dapat ditempuh melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan hasil pertanian dengan memanfaatkan lahan yang tersedia dengan sebaik-baiknya menggunakan teknologi tepat guna. Sedangkan ekstensifikasi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan hasil pertanian dengan memperluas lahan pertanian. Selama ini di Indonesia lebih banyak dilakukan intensifikasi pertanian terutama di Pulau Jawa dibandingkan dengan ekstensifikasi pertanian, karena memanfaatkan kondisi tingkat kesuburan lahan yang lebih baik dan mengurangi dampak kerusakan ekosistem serta berkurangnya habitat alami hewan di alam yang dapat ditimbulkan dari ekstensifikasi pertanian.

Salah satu upaya pemerintah dalam intensifikasi pertanian padi yaitu melalui Sidang Kabinet Terbatas di Departemen Pertanian pada tahun 2007 mencanangkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Program nasional ini didukung oleh berbagai kebijakan subsidi dan bantuan penyediaan pupuk, benih, dan penerapan berbagai inovasi teknologi melalui kegiatan penyuluhan dan koordinasi pihak terkait, baik di pusat maupun daerah. Strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN meliputi: 1) peningkatan produktivitas, 2) perluasan areal tanam, 3) pengamanan produksi, dan 4) pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usahatani. Operasionalisasi dari strategi peningkatan produktivitas diwujudkan melalui introduksi model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), penanaman padi hibrida, dan perbaikan intensifikasi padi melalui bantuan sarana produksi berupa bantuan subsidi pupuk termasuk pupuk organik serta benih varietas unggul baru padi hibrida dan inbrida. Belajar dari pengalaman implementasi PTT pada tahun 2007 dan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) pada tahun 1990-an, maka sejak tahun

1 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia

dari: www.bps.go.id

2 _____. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2020 [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia dari:

(16)

4

2008 percepatan adopsi PTT oleh petani di daerah-daerah sentra produksi ditempuh melalui sekolah lapang (SL) yang biasa disebut SL-PTT (Deptan 2009).

Penerapan strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN selama ini dilakukan di sentra-sentra produksi padi nasional, terutama di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau dimana sebaran areal lahan sawah padi paling banyak terkonsentrasi dan memiliki angka produksi beras tertinggi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyorini et al. (2003) yang menyatakan bahwa hampir 42 persen lahan sawah berada di Pulau Jawa, 27 persen di Sumatera, sedangkan 13, 11, dan 7 persen masing-masing berada di Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah Bali-Nusa Tenggara. Terkonsentrasinya lahan sawah di Pulau Jawa berkaitan dengan jenis tanah yang berasal dari bahan induk endapan volkan, dimana secara alami lebih subur daripada tanah-tanah sawah yang berasal dari bahan induk endapan tersier. Tingkat kesuburan tanah alami yang relatif lebih baik dan ditunjang oleh adopsi teknologi budidaya yang lebih maju mengakibatkan kesenjangan produktivitas yang tinggi antara lahan sawah di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa3.

Berdasarkan data yang tercatat di Perum BULOG (2011) dan Badan Pusat Statistik (2012), angka produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) di Pulau Jawa dalam kurun waktu 2008 hingga 2012 mengalami tren peningkatan. Penurunan produksi di Pulau Jawa hanya terjadi pada tahun 2011 namun kembali mengalami peningkatan pada tahun 2012 dengan angka produksi tertinggi selama lima tahun terakhir.

Tabel 3 Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun 2008-2012a

Daerah 2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: Perum BULOG 2011 dan Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa apabila angka produksi padi di Pulau Jawa dibandingkan dengan produksi padi di luar Pulau Jawa, angka produksi tersebut masih lebih besar bila dibandingkan dengan total keseluruhan produksi padi dari

3 Setyorini et al. 2003.Teknologi Pegelolaan Hara Lahan Sawah Intensifikasi [Internet].[diacu 2012 Oktober 8]. Tersedia

(17)

5 seluruh pulau di Indonesia selain Jawa. Hal tersebut membuktikan keberadaan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi di Indonesia.

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki angka tertinggi dalam produksi padi di Pulau Jawa. Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat tahun 2009, sentra produksi padi sawah di Jawa Barat meliputi Bekasi, Karawang, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu4. Salah satu kabupaten yang menjadi sentra produksi padi di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor.

Tabel 4 Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 sampai 2010a

Lokasi Luas areal potensial (Ha)

2008 2009 2010

Jawa Barat

Bogor 85 208 85 706 89 694

Sukabumi 127 815 130 921 136 600

Cianjur 124 692 133 015 145 214

Bandung 81 378 67 525 79 339

Garut 110 514 115 911 127 116

Ciamis 105 467 109 814 124 373

Purwakarta 37 139 37 549 39 003

Jumlah 672 213 680 441 741 339

a

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011).

Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011), sesuai yang tercantum dalam Tabel 4, Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra padi yang memiliki potensi untuk pengembangan padi hibrida di Jawa Barat. Luas areal potensial yang terus meningkat mulai tahun 2008 hingga 2010 menunjukkan bahwa program penanaman padi hibrida di Kabupaten Bogor berpotensi untuk dikembangkan.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor mengalami fluktuasi namun trennya meningkat hingga tahun 2011. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2007 dan 2009, yang diperkirakan akibat dari penurunan luas panen. Pada tahun 2011 produktivitas mencapai puncaknya yaitu di angka 62.31 kuintal per hektar. Hal ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Bogor memiliki potensi menjadi sentra produksi padi di Provinsi Jawa Barat.

4 [Diperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2009. Sentra Produksi Padi Sawah di Jawa Barat

(18)

6

Tabel 5 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor tahun 2006-2011a

Sumber: BPS Kabupaten Bogor 2012 (diolah).

Menurut data dari BPS Kabupaten Bogor tahun 2012 dalam Tabel 6, dari sebanyak 40 jumlah kecamatan di Kabupaten Bogor, Kecamatan Pamijahan merupakan kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas tertinggi. Padi merupakan komoditas utama dari sektor pertanian di Kecamatan Pamijahan.

Tabel 6 Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi tertinggi di Kabupaten Bogor tahun 2011a

Kecamatan Luas Panen

Apabila dibandingkan, produktivitas padi di Kecamatan Pamijahan pada tahun 2011 berada di atas angka produktivitas padi Kabupaten Bogor pada tahun yang sama, yaitu sebesar 6.40 ton per hektar setara dengan 64 kuintal per hektar dimana produktivitas Kabupaten Bogor hanya sebesar 62.31 kuintal per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Pamijahan memberikan kontribusi yang besar terhadap produktivitas padi Kabupaten Bogor.

(19)

7 Padi hibrida di Indonesia pada umumnya bila ditanam di lingkungan yang sesuai, mampu menghasilkan gabah 1.0 sampai 1.5 ton per hektar lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida terbaik di daerah setempat. Menurut Satoto dan Suprihatno (2008), pada demonstrasi penerapan teknologi PTT di 28 kabupaten, varietas padi hibrida Rokan dan Maro memberikan hasil rata-rata 9.05 dan 8.87 ton per hektar, sedangkan varietas inbrida kurang dari 8.0 ton per hektar. Hal tersebut memberikan bukti bahwa padi hibrida memiliki potensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional apabila disertai dengan penanganan budidaya yang baik.

Peningkatan produksi dan produktivitas padi nasional yang dilakukan secara berkelanjutan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan akan beras bagi masyarakat dalam negeri dan meminimalisir impor beras pada masa yang akan datang. Peningkatan produksi padi nasional juga akan memberi dampak positif bagi petani padi Indonesia yaitu meningkatkan pendapatan usahatani yang mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani di daerah-daerah sentra produksi padi.

Perumusan Masalah

Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2011) pada Tabel 7, dari sebanyak 15 desa yang terdapat di Kecamatan Pamijahan, Desa Ciasmara merupakan desa dengan luas panen, produktivitas, dan produksi padi tertinggi, masing-masing sebesar 950 hektar, 6.2 ton per hektar, dan 5 890 ton. Sebagai sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan, dimana Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi padi di Kabupaten Bogor, maka dapat disimpulkan bahwa Desa Ciasmara adalah sentra produksi padi Kabupaten Bogor.

Tabel 7 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di Kecamatan Pamijahan tahun 2010a

(20)

8

Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi Kabupaten Bogor dimana kegiatan bertani dianggap sebagai aktifitas turun temurun yang dijaga keberlangsungannya dalam kehidupan bermasyarakat, menjadikan kegiatan bertani padi menjadi tradisi yang berlangsung hingga saat ini. Kebiasaan bertani ini perlu didukung oleh adanya penerapan sistem usahatani yang baik, dengan tujuan agar produksi yang tinggi dapat berlangsung secara kontinyu. Di Desa Ciasmara terdapat satu Gabungan Kelompok Tani bernama Gapoktan Asmara Jaya, yang terdiri dari delapan kelompok tani. Selama ini benih padi yang digunakan oleh sebagian besar petani di Desa Ciasmara yaitu varietas Ciherang. Dalam melaksanakan usahatani, Gapoktan Asmara Jaya dan petani yang tergabung di dalamnya memperoleh pelatihan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) sejak tahun 2008. Pada bulan Oktober 2012, Desa Ciasmara memperoleh program adopsi benih padi hibrida. Pelaksanaan program SL-PTT dengan bantuan benih langsung padi hibrida yang diperoleh secara gratis tersebut secara tertulis melibatkan sebanyak 25 petani yang sebagian besar merupakan anggota kelompok tani Sadar Tani. Namun selama penelitian berlangsung, seluruh populasi petani padi hibrida yang terdapat di Desa Ciasmara hanya berjumlah 17 orang.

Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk penggunaan benih padi hibrida berbeda menurut karakteristik agroekosistem. Paket teknologi yang diujicoba di lahan penelitian suatu tempat belum tentu memberikan hasil serupa bila diterapkan di sentra-sentra produksi padi lain. Benih padi hibrida yang ditanam petani sebagian besar masih diimpor dari Cina atau India, yang memiliki kondisi agroekosistem berbeda. Adopsi benih padi hibrida di Indonesia masih memiliki kendala, diantaranya yaitu produktivitas masih sangat beragam dan tidak mantap. Menurut Ruskandar (2010), di tingkat penelitian, hasil padi hibrida berkisar antara 8-10 ton per hektar atau 10 sampai 30 persen lebih tinggi dibanding padi inbrida yang saat ini mendominasi areal pertanaman padi nasional, seperti Ciherang, IR64, dan Way Apo Buru. Di lokasi tertentu dengan dukungan teknologi budidaya yang tepat, hasil padi hibrida pada tingkat petani bisa mencapai 9 ton per hektar. Akan tetapi di banyak lokasi, hasil padi hibrida belum meyakinkan dan masih rendah disebabkan oleh serangan hama penyakit dan ketidaktepatan penerapan tekonologi budidaya. Pada umumnya varietas padi hibrida belum ada yang tahan terhadap hama dan penyakit utama seperti Wereng Coklat, Hawar Daun Bakteri, dan virus tungro.

Selain permasalahan kecocokan agroekosistem, perolehan benih padi hibrida dengan harga yang mahal juga menjadi permasalahan bagi petani. Berdasarkan hasil penelitian Ruskandar (2010), dengan harga benih yang berkisar antara Rp40 000 hingga Rp50 000 per kilogram, hampir seluruh petani responden di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyatakan tidak bersedia membeli dan konsekuensinya mereka enggan melanjutkan penanaman padi hibrida pada musim tanam berikutnya.

(21)

9 Apabila ternyata pendapatan usahatani yang dihasilkan dengan menanam padi hibrida lebih rendah daripada padi inbrida, terdapat kemungkinan petani enggan menanam kembali padi hibrida karena adanya berbagai pertimbangan dari sudut pandang petani. Dengan demikian analisis perbandingan pendapatan usahatani antara padi hibrida dengan padi inbrida menjadi hal yang penting untuk diteliti, apakah dengan produktivitas padi hibrida yang lebih tinggi namun harga pembelian benih yang lebih mahal dapat menghasilkan pendapatan usahatani yang lebih besar dibandingkan padi inbrida.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor

2. Bagaimana pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor

3. Bagaimana imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini meliputi:

1. Mendeskripsikan keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor

2. Menganalisis pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor

3. Menganalisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi dalam hal usahatani padi hibrida dan padi inbrida, seperti pihak petani, pemerintah, dan pembaca. Bagi petani, diharapkan hasil dari penelitian ini akan memberikan informasi yang bermanfaat terutama dalam hal keputusan memilih padi yang akan diproduksi, sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi petani.

(22)

10

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Komoditas yang menjadi objek penelitian ini adalah komoditas padi hibrida varietas DG 1 SHS dan padi inbrida varietas Ciherang. Substansi penelitian ini hanya pada analisis keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, dan analisis R/C rasio pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara selama musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013. Responden padi hibrida yang termasuk dalam penelitian ini yaitu seluruh populasi petani yang menanam padi hibrida di Desa Ciasmara, sedangkan responden padi inbrida yaitu petani anggota poktan di bawah gabungan kelompok tani Asmara Jaya di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Komoditas

Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan tumbuhan Gramineae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman padi terdiri dari ribuan varietas yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, sehingga dapat dikatakan tidak ada dua varietas padi yang memiliki karakteristik sama dan terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Indica dan golongan Yaponica/sub-Yaponica (Siregar 1978). Golongan tanaman padi yang terdapat di Indonesia merupakan padi golongan Indica yang pada umumnya terdapat di negara-negara yang termasuk daerah tropis. Tanaman padi yang dipanen akan menghasilkan Gabah Kering Panen (GKP) dengan kadar air antara 18 hingga 25 persen, yang setelahnya dikeringkan atau dijemur hingga kadar air berkurang sampai pada batas maksimal 14 persen dan menjadi Gabah Kering Giling5 (GKG). Gabah Kering Giling tersebut yang selanjutnya diproses menjadi beras.

Beras merupakan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Meskipun sebagai pangan pokok beras dapat disubstitusi oleh bahan makanan lainnya, namun beras memiliki nilai tersendiri bagi orang Indonesia yang biasa mengkonsumsi nasi sebagai olahan beras dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan lain (Aak 1990). Selain itu, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Menurut Firdaus et al. (2008), beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup masyarakat dan penting sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan, dimana sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya beras telah memicu terjadinya kerusuhan pada periode awal reformasi akibat kekhawatiran masyarakat akan kekurangan stok pangan nasional. Peran dan campur tangan pemerintah menjadi sesuatu yang penting dalam rangka menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata, dan harga yang stabil agar dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Peran pemerintah

5 _____. 2013. Istilah Perdagangan Gabah [Internet].[diacu 2013 Januari 28]. Tersedia dari:

(23)

11 dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras dalam negeri (self sufficiency) hingga saat ini ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui kebijakan impor dan peningkatan produksi beras dalam negeri.

Padi Varietas Unggul

Padi dikatakan termasuk varietas unggul apabila memiliki salah satu sifat keunggulan terhadap varietas sebelumnya. Keunggulan tersebut dapat tercermin pada sifat pembawaannya yang dapat menghasilkan bulir yang produksinya tinggi, pada satu satuan luas lahan dan pada satu satuan waktu. Produksi yang tinggi ini dapat terjadi karena perpaduan antara beberapa sifat yang ada pada tanaman. Beberapa sifat tanaman padi varietas unggul antara lain mempunyai banyak anakan, jumlah malai tiap anakan banyak, bulir padi pada tiap malai berjumlah lebih dari 250 bulir, respon terhadap pemupukan, tahan terhadap hama dan penyakit termasuk virus, serta berumur pendek antara 110 hingga 140 hari setelah penanaman (Aak 1990).

Berdasarkan hasil penelitian Samaullah (2007), penggunaan padi varietas unggul adalah salah satu penentu keberhasilan usahatani padi. Melalui penggunaan varietas unggul dan teknik budidaya yang sesuai dapat meningkatkan produksi padi nasional. Keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 merupakan salah satu bukti bahwa penggunaan benih dari varietas unggul disertai teknik budidaya yang baik dapat meningkatkan hasil. Hingga saat ini, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah menghasilkan banyak varietas unggul yang mempunyai potensi hasil dan sifat-sifat lain yang lebih baik dari varietas unggul sebelumnya. Dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dimulai pada tahun 2007, penggunaan padi varietas unggul menjadi komponen penting dalam operasionalisasi program untuk menggantikan dominasi posisi IR64 yang produktivitas dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit telah mulai menurun.

Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2008)6 dan Aak (1990), varietas unggul yang ada di Indonesia meliputi:

Padi Varietas Unggul Hibrida (VUH) a. Pengertian Padi Hibrida

Varietas hibrida mengandung makna bahwa benih yang digunakan untuk pertanaman produksi adalah benih generasi pertama (F1) yang berasal dari hasil persilangan antara tetua berbeda yang dipilih melalui seleksi. Secara individu, susunan genetik tanaman hibrida bersifat heterozigot homogen (Satoto et al. 2008). Virmani et al. (2004) dalam Basuki (2008) memberikan penjelasan bahwa padi hibrida komersial merupakan F1 (keturunan pertama) yang superior. Maksudnya adalah selain berasal dari induk yang lebih baik, padi hibrida komersial juga harus signifikan menunjukkan superioritas hasil (paling tidak 1 ton per hektar) atas varietas unggul inbrida dengan umur sejenis serta mempunyai kualitas gabah yang diterima konsumen.

6 [BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2008. Varietas Unggul Padi Sawah: Pengertian dan Aspek Terkait

(24)

12

Perakitan padi hibrida dilandasi oleh adanya fenomena genetika yang disebut vigor hibrida atau heterosis. Menurut Satoto et al. (2008) heterosis merupakan suatu kecenderungan bahwa individu atau populasi F1 akan tampil lebih baik dibandingkan dengan salah satu tetua atau rata-rata kedua tetua pembentuknya. Keunggulan yang dihasilkan dari heterosis pada padi terlihat pada hasil gabah, komponen pertumbuhan (akar dan daun), dan komponen hasil (jumlah malai per satuan luas dan jumlah gabah per malai) yang lebih tinggi dibandingkan padi inbrida.

Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), perakitan padi hibrida di Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode tiga galur, dalam arti untuk membentuk padi hibrida diperlukan tiga galur tetua, yaitu:

1) Galur mandul jantan (GMJ atau CMS atau A)

Galur padi yang tidak dapat memproduksi tepungsari yang berfungsi (viable), disebabkan adanya interaksi antara gen-gen sitoplasma dan gen-gen inti disebut cytoplasmic male steril (CMS). CMS digunakan sebagai tetua betina dalam produksi benih padi hibrida.

2) Galur pelestari atau maintainer line (B)

Galur pelestari mirip dengan galur-galur mandul jantan, hanya saja mempunyai tepungsari yang hidup (mempunyai viabilitas) dan mempunyai biji yang normal. Galur pelestari digunakan sebagai penyerbuk untuk melestarikan galur CMS.

3) Galur pemulih kesuburan atau restorer line (R)

Restorer disebut juga sebagai tetua penghasil tepungsari atau tetua jantan. Galur pemulih kesuburan digunakan sebagai penyerbuk untuk tetua CMS dalam produksi benih hibrida.

Galur pelestari (B) dan galur pemulih kesuburan (R) memiliki tepungsari yang normal (fertil) sehingga mampu menghasilkan benihnya sendiri. GMJ bersifat mandul jantan, sehingga hanya mampu menghasilkan benih bila diserbuki oleh tepungsari dari tanaman lain. Apabila GMJ diserbuki oleh galur B maka akan menghasilkan benih GMJ pula, sedangkan bila diserbuki oleh galur R, akan menghasilkan benih F1 hibrida. Benih tersebut secara komersial dikenal dengan

nama benih hibrida.

b. Perkembangan Padi Hibrida di Indonesia

Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), padi hibrida dirakit pertama kali di Cina pada tahun 1974 dan digunakan secara komersial sejak tahun 1976, dengan melepas varietas padi hibrida yang diberi nama Nam You 2 dan Nam You 3. Di Indonesia, penelitian padi hibrida telah dilakukan sejak tahun 1983 yang diawali dengan pengujian keragaan GMJ dan hibrida hasil introduksi. Selanjutnya, sejak tahun 1998 penelitian pemuliaan padi hibrida di Indonesia lebih diintensifkan, dengan menguji bahan pemuliaan introduksi yang disertai dengan perakitan berbagai kombinasi hibrida sendiri.

(25)

13 tahan terhadap seluruh hama dan penyakit utama padi Indonesia. Hama dan penyakit utama yang mendapat perhatian berkaitan dengan padi hibrida adalah Wereng Batang Coklat (WBC), Hawar Daun Bakteri (HDB), dan virus tungro. Pengembangan padi hibrida di suatu wilayah harus melalui tahap pemilihan varietas yang tahan terhadap hama dan penyakit utama yang berada di wilayah tersebut, karena varietas yang tahan terhadap suatu hama penyakit tertentu pada sisi lain dapat memiliki sifat rentan terhadap jenis hama penyakit yang lain.

Menurut Satoto et al. (2008), secara umum masalah-masalah dalam pengembangan padi hibrida di Indonesia saat ini antara lain: 1) masih terbatasnya jumlah varietas padi hibrida yang telah dilepas, 2) sistem dan teknologi perbenihan yang belum berkembang, padahal ketersediaan dan harga benih sangat menentukan, 3) varietas padi hibrida yang telah dilepas pada umumya masih rentan terhadap berbagai hama penyakit utama padi di Indonesia, 4) harapan petani yang sangat tinggi, 5) beberapa varietas padi hibrida mempunyai mutu beras kurang baik dibandingkan dengan beras premium, 6) keragaan yang tidak stabil yang disebabkan manajemen budidaya yang kurang cocok, 7) ketersediaan benih murni tetua atau F1 hibrida kurang memadai, 8) hasil belum stabil dan harga

benih agak mahal, 9) kebiasaan petani untuk menggunakan benih mereka sendiri (benih F2), dan 10) perencanaan luas pertanaman dan produksi benih kurang

matang sesuai dengan luas yang ditargetkan.

Adapun strategi dalam perakitan varietas padi hibrida di Indonesia menurut Las et al. (2004), adalah sebagai berikut:

1) Pengevaluasian dan penyeleksian hibrida introduksi untuk menghasilkan varietas padi hibrida introduksi

2) Pengidentifikasian galur R dari program pemuliaan padi nasional yang sesuai bagi galur GMJ introduksi untuk menghasilkan varietas padi hibrida yang relatif lebih adaptif dibandingkan dengan hibrida introduksi

3) Pembuatan galur GMJ dan galur R dengan memanfaatkan plasma nutfah nasional untuk menghasilkan padi hibrida yang lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia

4) Pembuatan varietas hibrida dengan materi pemuliaan padi tipe baru (PTB) sehingga diharapkan potensi hasilnya 10-20 persen lebih tinggi dari Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) terbaik

5) Penerapan bioteknologi untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi pemuliaan padi hibrida.

Padi Varietas Unggul Nonhibrida/Inbrida 1) Varietas Unggul Nasional

Padi varietas unggul nasional dihasilkan oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor sampai dengan tahun 1969 dengan daya produksi sedang. Varietas ini terdiri dari Bengawan, Si gadis, Remaja, Jelita, Dara, Syntha, Dewi Tara, Arimbi, Batara, dan Dewi Ratih.

2) Varietas Unggul Baru

(26)

14

mempunyai daya produksi yang tinggi dan responsif terhadap pemupukan tinggi (high yielding variety).

3) Varietas Unggul Tipe Baru

Kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik postur tanaman tegap, berdaun lebar dan berwarna hijau tua, beranak sedikit (< 15 tunas per rumpun), berumur 100 sampai 135 HSS, bermalai lebat (± 250 butir gabah per malai), dan berpotensi hasil lebih dari 8 ton gabah kering giling per hektar.

4) Varietas Unggul Lokal

Varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai negara. Varietas ini tidak termasuk Varietas Unggul Nasional (UNGNAS), tetapi di daerah tertentu mampu menghasilkan padi lebih tinggi atau menyamai padi UNGNAS.

Tinjauan Penelitian Terdahulu Kajian Empiris Mengenai Padi Hibrida

Abdurachman (2011) melakukan penelitian mengenai sikap dan kepuasan petani terhadap benih padi hibrida di Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil analisis deskriptif tentang karakteristik responden, paling banyak petani berada pada kelompok usia ≥ 42 tahun, berjenis kelamin laki-laki, menikah, tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian pada motivasi petani terhadap benih padi hibrida varietas Intani 2 sebagian besar petani responden tidak termotivasi untuk menanam kembali benih padi hibrida varietas Intani 2 sebesar 50.90 persen.

Hasil analisis Cochran menunjukkan bahwa terdapat sembilan atribut yang dianggap penting dalam memilih benih padi untuk ditanam, yaitu benih bersertifikat, rasa nasi, tahan rebah tanaman, ketersediaan benih, pemasaran hasil panen, ketahanan terhadap hama dan penyakit, produktivitas, harga benih, dan yang terakhir harga jual gabah (GKP). Hasil analisis multiatribut Fishbein menunjukkan total nilai sikap yang diperoleh benih padi hibrida varietas Intani 2 dan benih padi inbrida varietas Ciherang ialah sebesar -7.59 dan 9.88. Hasil analisis Costumers Satisfaction Index (CSI) menunjukkan bahwa benih padi hibrida varietas Intani 2 memperoleh skor sebesar 49.59 persen yang dianggap termasuk dalam kategori biasa atau netral. Sedangkan CSI pada benih padi inbrida varietas Ciherang ialah 75.87 persen atau termasuk kedalam kategori puas.

(27)

15 yang tinggi, memiliki jumlah anakan produktif yang tinggi, tahan rebah, karakteristik batang yang besar dan kuat, warna daun hijau tua, memiliki jumlah gabah per malai yang tinggi, ukuran benih besar, bentuk gabah ramping, tingkat kepatahan beras rendah, beras putih berkapur, tekstur nasi pulen, dan aroma nasi wangi.

Berdasarkan analisis senstivitas harga, Indifferent Pricing Point (IPP) atau tingkat harga minimum untuk benih padi hibrida berada pada tingkat harga Rp29 000 per kg. Optimum Pricing Point (OPP) atau tingkat harga optimum berada pada tingkat harga Rp35 000 per kg. Marginal Cheap Price Point (MCP) atau tingkat harga terendah berada pada tingkat harga Rp20 000 per kg. Marginal Expensive Price Point (MEP) atau tingkat harga tertinggi berada pada tingkat harga Rp42 500 per kg. Rentang harga benih yang dapat diterima konsumen yaitu antara harga minimum Rp29 000 per kg dan harga optimum Rp35 000 per kg. Kajian Empiris Mengenai Usahatani

Penelitian Basuki (2008) dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani Padi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani untuk Menanam Padi Hibrida (Studi Kasus Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat) bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani padi inbrida dan padi hibrida, serta mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani pada lokasi penelitian untuk menggunakan benih padi hibrida.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi hibrida yang dilaksanakan oleh petani Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada Musim Rendeng 2006/2007 memberikan keuntungan yang lebih kecil daripada usahatani padi inbrida pada waktu dan tempat yang sama. Pendapatan atas biaya dibayarkan usahatani padi inbrida dan padi hibrida adalah Rp6 152 080.57 dan Rp4 384 536.55. R/C atas biaya dibayarkan pada usahatani padi inbrida adalah 2.10 dan R/C atas biaya dibayarkan pada usahatani padi hibrida adalah 1.62. Hasil analisis regresi logistik untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi benih padi hibrida menunjukkan bahwa ada empat variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerapan benih padi hibrida di Kecamatan Cibuaya yaitu luas lahan, status lahan, rasio pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan total, dan umur.

(28)

16

Usahatani kedua varietas padi tersebut layak untuk diusahakan dilihat dari nilai R/C rasio. R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total usahatani padi Pandan Wangi lebih besar daripada Varietas Unggul Baru. Saluran pemasaran beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru di daerah penelitian berbeda. Pemasaran beras Pandan Wangi terdiri dari dua saluran, sedangkan pemasaran beras Varietas Unggul Baru terdiri dari tiga saluran.

Rachmiyanti (2009) melakukan penelitian mengenai perbandingan usahatani padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) dengan padi konvensional kasus Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi konvensional. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI (Rp1.98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani padi konvensional, yaitu Rp2.46. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp1.54 sedangkan petani padi konvensional lebih besar dari petani padi organik tersebut, yakni sebesar Rp2.16. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.

Penelitian Nafis (2011) yang berjudul Analisis Usahatani Padi Organik dan Sistem Tataniaga Beras Organik di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa usahatani padi organik tersertifikasi mengeluarkan biaya total usahatani padi organik yaitu sebesar Rp43 992 389 per hektar per tahun, nilai tersebut lebih besar dibanding dengan biaya total yang dikeluarkan pada usahatani padi organik non-sertifikasi yaitu Rp32 830 582 per hektar per tahun. Namun, pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima oleh petani padi organik tersertifikasi yaitu Rp24 459 481 lebih besar dibanding pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima oleh petani padi organik nonsertifikasi yaitu sebesar Rp10 342 868.

Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh kedua kelompok responden menguntungkan. Hal ini terlihat pada nilai rasio R/C atas biaya tunai petani padi organik tersertifikasi sebesar 3.03, sedangkan rasio R/C atas biaya tunai petani padi organik non-sertifikasi besarnya 2.30. Rasio R/C atas biaya total petani padi organik tersertifikasi sebesar 1.56 dan petani padi organik non-sertifikasi sebesar 1.32. Sistem tataniaga beras organik tersertifikasi terdiri dari empat saluran tataniaga, sedangkan pada sistem tataniaga beras organik non-sertifikasi terdiri dari dua saluran.

Keterkaitan Kajian Empiris terhadap Penelitian

(29)

17 dengan penelitian Abdurachman dan Firohmatillah dalam hal komoditas yang diteliti yaitu padi hibrida, namun berbeda dalam metode analisis yang digunakan. Persamaan dengan penelitian Basuki, penelitian ini juga menghasilkan perhitungan pendapatan usahatani padi hibrida yang lebih kecil daripada pendapatan usahatani padi inbrida. Penelitian ini menganalisis perbandingan pendapatan usahatani padi hibrida dengan padi inbrida berdasarkan keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, dan analisis R/C Rasio di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual Konsep Usahatani

Menurut Suratiyah (2006), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani di dalamnya mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin.

Menurut Soekartawi (1995), ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Menurut Rivai (1980) yang diacu dalam Hernanto (1988) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat geneologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya.

Terdapat empat unsur pokok yang biasa disebut sebagai faktor-faktor produksi dalam usahatani (Hernanto 1988) yaitu:

1) Tanah

(30)

18

2) Tenaga Kerja

Tenaga kerja usahatani merupakan faktor produksi kedua. Jenis tenaga kerja dibedakan menjadi tiga, yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan usahatani. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam maupun luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga biasanya diperoleh dengan cara upahan, sedangkan tenaga kerja dalam keluarga umumnya oleh para petani tidak diperhitungkan dan sulit pengukuran penggunaannya. Dalam prakteknya digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total mulai dari persiapan hingga pemanenan dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu diubah dalah bentuk hari kerja total (HK total). Untuk teknis perhitungan dapat menggunakan konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0.7 HKP; 1 ternak = 2 HKP dan 1 anak = 0.5 HKP.

3) Modal

Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian. Pada kegiatan usahatani, yang dimaksud dengan modal adalah tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, ikan di kolam, bahan-bahan pertanian, piutang di bank, dan uang tunai. Berdasarkan sifatnya, modal dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) modal tetap, meliputi tanah bangunan dan 2) modal bergerak yang meliputi alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, ternak, dan ikan di kolam yang habis atau dianggap habis dalam satu periode proses produksi. Besarnya modal bergerak biasanya dapat digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat usahatani. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/tetangga/keluarga), hadiah, warisan, usaha lain, ataupun kontrak sewa.

4) Pengelolaan atau Manajemen

(31)

19 antara lain: a) penentuan perkembangan harga, b) kombinasi cabang usaha, c) tataniaga hasil, d) pembiayaan usahatani, e) pengolongan modal dan pendapatan, serta f) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim dipergunakan lainnya. Pengelolaan dalam usahatani disebut juga sebagai faktor produksi tidak langsung (Suratiyah 2006).

Dalam usahatani terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani, yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal adalah faktor yang dapat dikendalikan oleh petani itu sendiri yang terdiri dari petani pengelola, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan jumlah keluarga. Sedangkan faktor ekternal adalah faktor-faktor di luar usahatani yang dapat berpengaruh terhadap berhasilnya suatu usahatani. Adapun yang termasuk ke dalam faktor-faktor ekternal adalah ketersediaan sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, saprodi), fasilitas kredit dan sarana penyuluhan bagi petani.

Klasifikasi usahatani menurut Suratiyah (2006) dapat dibedakan menurut: 1) corak dan sifat, dibagi menjadi komersial dan subsistence, 2) organisasi, meliputi tiga macam yaitu individual, kolektif dan koperatif, 3) pola, dibagi menjadi tiga yaitu khusus, tidak khusus dan campuran, serta 4) tipe, yang dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan komoditas yang diusahakan. Dalam melakukan kegiatan usahatani, petani dihadapkan pada kondisi untuk dapat memaksimalkan keuntungan usahatani dengan mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki dengan biaya seefisien mungkin. Untuk menganalisis usahatani, data yang diperlukan yaitu penerimaan, biaya, dan pendapatan.

a. Penerimaan Usahatani

Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani disebut penerimaan tunai usahatani. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TR = P x Q

Keterangan:

TR = Total penerimaan P = Harga output (Rp/Kg) Q = Jumlah output (Kg) b. Biaya Usahatani

(32)

20

Menurut Hernanto (1988), biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, seperti pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau bajak, pemeliharaan pompa air, traktor dan lainnya. Tenaga kerja keluarga dapat dikelompokkan pada biaya tetap bila tidak ada biaya imbangan dalam penggunaannya. Biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya sangat tergantung pada biaya skala produksi, seperti biaya untuk pupuk, bibit, obat pembasmi hama dan penyakit, buruh atau tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya pengolahan tanah baik yang berupa kontrak maupun upah harian, dan sewa tanah. Pembagian biaya atas dasar biaya tunai dan tidak tunai juga penting dilakukan. Biaya tunai sebagai biaya yang dikeluarkan petani secara tunai termasuk bunga kredit, sedangkan biaya tidak tunai (biaya yang diperhitungkan) untuk menghitung pendapatan kerja petani jika modal, sewa lahan dan tenaga kerja dalam keluarga dan biaya bibit milik sendiri diperhitungkan. Modal yang dipergunakan petani dihitung sebagai modal pinjaman, meskipun modal tersebut milik petani sendiri. Tenaga kerja keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku pada waktu anggota keluarga menyumbang kerja pada usahatani tersebut. Lahan yang digunakan petani diperhitungkan sebagai lahan sewa yang besarnya berdasarkan rata-rata biaya sewa lahan per hektar di daerah tersebut (Ridwan 2008).

Pengeluaran total usahatani menurut Soekartawi et al. (1986) didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Seharusnya pengeluaran yang dihitung dalam tahun pembukuan itu adalah yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk dalam tahun pembukuan tersebut. Dalam praktek, pemisahan pengeluaran ini terkadang tidak mungkin dilakukan karena pembukuan yang tidak lengkap. Alasan lain adalah adanya biaya bersama (joint cost) dalam produksi yang tidak mudah dipisahkan.

c. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran (Soekartawi 1995). Pernyataan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

π = TR – TC

π atas biaya tunai = TR - biaya tunai

π atas biaya total = TR – TC

Keterangan :

π = Pendapatan usahatani (Rp) TR = Total penerimaan usahatani (Rp) TC = Total biaya usahatani (Rp)

(33)

21 pembukuan, tidak dimasukkan ke dalam pendapatan kotor. Pendapatan kotor usahatani mencakup pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak tunai.

Pendapatan kotor tunai atau penerimaan usahatani adalah nilai uang yang diterima dari usahatani yang berbentuk benda. Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang seperti hasil panen yang dikonsumsi atau yang digunakan untuk bibit pada musim tanam berikutnya.

Pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani.

Rasio Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)

R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Nilai R/C rasio atas biaya tunai dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu. Nilai R/C rasio atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

R/C rasio atas biaya tunai = TR / biaya tunai R/C rasio atas biaya total = TR / TC

Analisis R/C rasio menunjukkan berapa rupiah penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani tersebut. Semakin besar nilai R/C rasio, maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan.

Usahatani dapat dikatakan layak apabila nilai R/C rasionya lebih besar dari satu, yang berarti pada setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya usahatani dikatakan tidak layak apabila nilai R/C rasionya lebih kecil daripada satu, yang berarti pada setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan apabila nilai R/C rasio sama dengan satu, memiliki arti pada setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang sama dengan tambahan biaya sehingga memperoleh keuntungan normal.

Kerangka Pemikiran Operasional

(34)

22

masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap beras pada pengeluaran rata-rata setiap bulannya.

Komoditas beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia perlu dijaga ketersediaannya di dalam negeri. Selama ini pemerintah melakukan impor beras untuk menjaga kestabilan persediaan dan mencukupi kebutuhan beras masyarakat. Kebutuhan beras dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 persen pada tahun 2010, apabila diproyeksikan hingga tahun 2020 jumlah penduduk akan berada pada angka 261 juta jiwa. Dengan konsumsi beras rata-rata per kapita sebesar 139 kg, maka jumlah total konsumsi beras Indonesia pada tahun 2020 diproyeksikan mencapai 36.28 juta ton.

Kondisi peningkatan kebutuhan akan beras menjadi dasar penting bagi pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional. Peningkatan produktivitas padi nasional dapat ditempuh melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Salah satu upaya pemerintah dalam intensifikasi pertanian padi yaitu melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Operasionalisasi dari strategi peningkatan produktivitas diwujudkan melalui introduksi model PTT, penanaman padi hibrida, dan perbaikan intensifikasi padi melalui bantuan sarana produksi berupa bantuan subsidi pupuk termasuk pupuk organik serta benih varietas unggul baru padi hibrida dan inbrida.

Penerapan strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN selama ini dilakukan di sentra-sentra produksi padi nasional, terutama di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau dimana sebaran areal lahan sawah padi paling banyak terkonsentrasi dan memiliki angka produksi beras tertinggi di Indonesia. Dari sebanyak enam provinsi yang terdapat di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki angka tertinggi dalam produksi padi di Pulau Jawa. Salah satu kabupaten yang menjadi sentra produksi padi di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor yang juga memiliki potensi untuk pengembangan padi hibrida di Jawa Barat, dengan luas areal potensial yang terus meningkat mulai tahun 2008 hingga 2010, menunjukkan bahwa program penanaman padi hibrida di Kabupaten Bogor berpotensi untuk dikembangkan.

Penelitian padi hibrida di Indonesia telah diinisiasi sejak tahun 1983 dengan tujuan menjajaki prospek dan kendala penggunaan padi hibrida. Hingga tahun 2009, terdapat 37 varietas padi hibrida yang telah dilepas sejak tahun 2001, terdiri atas 6 padi hibrida publik yang dilepas oleh BALITPA dan BB Padi serta 31 padi hibrida swasta. Padi hibrida di Indonesia pada umumnya bila ditanam di lingkungan yang sesuai mampu menghasilkan gabah 1.0-1.5 ton per hektar lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida terbaik di daerah setempat. Hal tersebut memberikan bukti bahwa padi hibrida memiliki potensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional apabila disertai dengan penanganan budidaya yang baik.

(35)

23 luas panen, produktivitas, dan produksi tertinggi, masing-masing sebesar 950 ha, 6.2 ton per hektar, dan 5 890 ton, sehingga dapat disimpulkan bahwa Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan dan Kabupaten Bogor.

Terdapat satu Gabungan Kelompok Tani di Desa Ciasmara bernama Gapoktan Asmara Jaya, yang terdiri dari delapan kelompok tani. Selama ini benih padi yang digunakan oleh sebagian besar petani di Desa Ciasmara yaitu varietas Ciherang. Dalam melaksanakan usahatani, Gapoktan Asmara Jaya dan petani yang tergabung di dalamnya memperoleh pelatihan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) sejak tahun 2008. Pada bulan Oktober 2012, Desa Ciasmara memperoleh program adopsi benih padi hibrida dengan bantuan benih langsung padi hibrida yang diperoleh secara gratis.

Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk penggunaan benih padi hibrida berbeda menurut karakteristik agroekosistem. Paket teknologi yang diujicoba di lahan penelitian suatu tempat belum tentu memberikan hasil serupa bila diterapkan di sentra-sentra produksi padi lain. Adopsi benih padi hibrida di Indonesia masih memiliki kendala, diantaranya yaitu produktivitas masih sangat beragam dan tidak mantap, yang salah satunya disebabkan oleh serangan hama penyakit dan ketidaktepatan penerapan tekonologi budidaya. Selain permasalahan kecocokan agroekosistem, perolehan benih padi hibrida dengan harga yang mahal juga menjadi permasalahan bagi petani.

Begitu pula dengan benih padi hibrida yang ditanam di Desa Ciasmara. Pemanenan bulan Februari 2013 merupakan pemanenan perdana dari hasil musim tanam yang dimulai sejak bulan Oktober 2012. Hasil produksi yang diperoleh menjadi suatu tolak ukur apakah penggunaan padi hibrida di Desa Ciasmara lebih menguntungkan atau tidak apabila dibandingkan dengan padi inbrida yang biasa ditanam oleh petani yaitu varietas Ciherang. Apabila ternyata pendapatan usahatani yang dihasilkan dengan menanam padi hibrida lebih rendah daripada padi inbrida, terdapat kemungkinan petani enggan menanam kembali padi hibrida karena adanya berbagai pertimbangan dari sudut pandang petani.

(36)

24

 Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras

 Beras perlu dijaga dan ditingkatkan ketersediaannya seiring dengan peningkatan

kebutuhan masyarakat akan beras di dalam negeri

 Kebijakan pemerintah meningkatkan produktivitas nasional diantaranya melalui

intensifikasi pertanian

 Intensifikasi pertanian melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN),

dalam langkah operasionalisasinya menggunakan benih padi hibrida di daerah sentra produksi padi, salah satunya Kabupaten Bogor

 Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk penggunaan benih

padi hibrida berbeda antar daerah menurut karakteristik agroekosistem

 Harga pembelian benih padi hibrida mahal apabila harus dibeli sendiri oleh petani

 Bagaimana keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor ?

 Bagaimana pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor ?

 Bagaimana imbangan antara penerimaan dan biaya (R/C Rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor ?

Analisis Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat

Analisis Kualitatif Analisis Kuantitatif

 Analisis keragaan

usahatani

 Analisis pendapatan

usahatani

 Analisis R/C rasio

Rekomendasi kepada petani padi untuk meningkatkan pendapatan usahatani Perbandingan antara usahatani padi hibrida dan padi

inbrida di Kabupaten Bogor

Gambar

Tabel 2  Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor beras di
Tabel 3  Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun 2008-2012a
Tabel 4  Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi Jawa
Tabel 5  Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

dipakai Metode Penelitian Hasil Penelitian Ali Sakti, 2009 Mekanisme Transmisi Syariah pada Sistem Moneter Ganda di Indonesia - Finc : Total Pinjaman yang diberikan oleh

Pada tanggal 13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah Perairan Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir

Pada bulan Juni 2016, NTPT mengalami kenaikan sebesar 0,49 persen apabila dibandingkan bulan Mei 2016 yaitu dari 97,96 menjadi 98,44 , hal ini terjadi karena laju indeks

Penyebab kegagalan dapat dicari menggunakan suatu analisis kejadian dengan mengkonstruksi setiap penyebab kegagalan ke dalam fault tree sehingga penyebab terjadinya

67,70, dan tindakan III nilai rata-rata aktivitas menulis karangan narasi siswa adalah 73,95. Nilai rata-rata yang dicapai tersebut menunjukan bahwa aktivitas

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya serta memberikan petunjuk, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

Pandangan Ki Bagus Hadikusumo mengenai hubungan agama dan negara, bahwa antara agama dan negara itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain, pemikiran Ki

Hal yang demikian juga dikemukakkan oleh Jarolimek, (1976:120) yang mengatakan ba hwa “ often demonstrations are developed on the spur of the moment when the teacher