• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU

DI KOTA BOGOR

NURUL ANISYAH DESDYANZA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor. Dibimbing oleh ALINDA FM ZAIN.

Perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia sangat pesat. Suatu kota pada dasarnya merupakan cerminan dari kondisi alam, manusia, dan kebudayaan. Aktivitas dan perkembangan kota akan menimbulkan berbagai macam permasalahan lingkungan seperti ketidakseimbangan antara pertumbuhan kawasan perkotaan dan peningkatan kualitas lingkungan. Kondisi seperti ini membuat kota tidak nyaman untuk dihuni. Untuk menciptakan kota yang nyaman, aman dan selaras dengan alam salah satu caraya adalah dengan cara menerapkan konsep Kota Hijau. Kota Hijau merupakan suatu konsep dari kota yang sehat, yang mempertimbangkan aspek ekologi. Dalam penelitian ini menggunakan Gap Analysis untuk mengetahui perbandingan kondisi aktual di Kota Bogor dengan kondisi ideal dari konsep Kota Hijau yang selanjutnya dilakukan evaluasi dengan menggunakan metode skoring. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kota Bogor saat ini telah memiliki rencana pengembangan dan pembangunan ke arah kota berkelanjutan, namun penerapannya belum maksimal. Persebaran penerapan belum merata di seluruh wilayah kota dan hasil penerapan belum dapat menyelesaikan permasalahan perkotaan yang ada di Kota Bogor.

Kata kunci: gap analysis, kota hijau, lanskap kota

ABSTRACT

NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluation of Implementation Green City Concept in Bogor City. Supervised by ALINDA FM ZAIN.

Development of urban areas in Indonesia is very rapid. City is a reflection of local environment condition, citizen behavior and local culture. Activity and development of the city will cause of various environmental problems like the imbalance between urban growth and the improvement of environmental quality. It bring about the city become not liveable. Because of that is very important to create a comfortable city with safety guarantee and be the one with nature by applying the concept of green city. Green city is a concept of a healthy city, considering ecological aspects. This research use Gap Analysis to find out the actual condition of Bogor City and compare it with the ideal condition of green city concept and evalauate the implementation with scoring method. The results of this research showed that Bogor has had a city development plan towards sustainable city, but the implementations still have not been maximized. The implementations not been spread through the region and have not been solve the urban problems of Bogor City.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU

DI KOTA BOGOR

NURUL ANISYAH DESDYANZA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor Nama : Nurul Anisyah Desdyanza

NIM : A44090052

Disetujui oleh

Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

(10)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu, rahmat, dan hidayah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini. Judul skripsi yang dipilih adalah “Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor”. Skripsi penelitian ini berisi tentang hasil penelitian untuk mengetahui pencapaian penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi selaku pembimbing skripsi dan Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku pembimbing akademik yang sudah memberi banyak dukungan dan masukan dalam pembuatan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Kota Bogor yang telah memberi izin penulis untuk mengambil data. Terimakasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada orangtua yang sudah memberikan motivasi dan doa dalam proses pembuatan penelitian ini, teman–teman ARL 46 khususnya teman satu bimbingan (Amira, Damaria, Elsya) dan seluruh pihak yang telah memberikan doa, bantuan serta dukungannya.

Demikian skripsi penelitian ini dibuat, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak Pemerintah Kota Bogor dan pihak lain yang memerlukan.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pikir Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 4

Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan 4

Konsep Kota Hijau 5

Green Planning and Design 6

Green Open Space 6

Green Building 6

Green Waste 7

Green Transportation 8

Green Water 8

Green Energy 9

Green Community 9

Ruang Terbuka Kota 9

Ruang Terbuka Hijau 10

Gap Analysis 10

Perencanaan Lanskap 11

METODOLOGI 12

Lokasi dan Waktu Penelitian 12

Alat dan Bahan Penelitian 12

Batasan Penelitian 13

Metode Penelitian 13

(12)

Analisis 14

Evaluasi 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 27

Kondisi Umum Kota Bogor 27

Kondisi Fisik Lingkungan 27

Iklim 27

Topografi dan Kelerengan 28

Penduduk 29

Perekonomian 29

Penggunaan Lahan 29

Pola Sebaran Kegiatan 31

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor 31

Green Planning and Design 33

Kondisi Ideal Green Planning and Design 33

Kondisi Aktual Kota Bogor 34

Analisis dan Evaluasi 38

Green Open Space 40

Kondisi Ideal Green Open Space 41

Kondisi Aktual Kota Bogor 42

Analisis dan Evaluasi 49

Green Building 51

Kondisi Ideal Green Building 52

Kondisi Aktual Kota Bogor 53

Analisis dan Evaluasi 54

Green Waste 55

Kondisi Ideal Green Waste 55

Kondisi Aktual Kota Bogor 57

Analisis dan Evaluasi 60

Green Transportation 62

Kondisi Ideal Green Transportation 62

Kondisi Aktual Kota Bogor 64

(13)

Green Water 68

Kondisi Ideal Green Water 68

Kondisi Aktual Kota Bogor 69

Analisis dan Evaluasi 71

Green Energy 72

Kondisi Ideal Green Energy 72

Kondisi Aktual Kota Bogor 75

Analisis dan Evaluasi 75

Green Community 76

Kondisi Ideal Green Community 77

Kondisi Aktual Kota Bogor 77

Analisis dan Evaluasi 78

Hasil Evaluasi Penerapan Indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor 79

Green Planning and Design 80

Green Open Space 81

Green Building 81

Green Waste 81

Green Transportation 82

Green Water 82

Green Energy 83

Green Community 83

PENUTUP 84

Simpulan 84

Saran 84

DAFTAR PUSTAKA 85

(14)

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan penelitian 12

2 Jenis dan sumber data penelitian 13

3 Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design 15

4 Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space 17

5 Batasan penentuan skoring indikator Green Building 20

6 Batasan penentuan skoring indikator Green Waste 20

7 Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion 22

8 Batasan penentuan skoring indikator Green Water 23

9 Batasan penentuan skoring indikator Green Energy 24

10 Batasan penentuan skoring indikator Green Community 26

11 Luas Wilayah administrasi Kota Bogor menurut Kecamatan 27

12 Ketinggian Kota Bogor menurut Kecamatan 28

13 Kemiringan lereng Kota Bogor menurut Kecamatan 28

14 Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor (2000–2007) 29

15 Jenis dan Intensitas Penggunaan Lahan di Kota Bogor (2007) 30

16 Evaluasi penerapan Green Planning and Design di Kota Bogor 38

17 Lokasi TPU yang dikelola oleh Dinas Pemakaman Kota Bogor 47

18 Rencana pengembangan dan pembangunan RTH Kota Bogor 49

19 Evaluasi penerapan Green Open Space di Kota Bogor 49

20 Rencana penambahan jumlah RTH di Kota Bogor 51

21 Evaluasi penerapan Green Building di Kota Bogor 54

22 Proyeksi timbulan sampah Kota Bogor 2009–2031 58

23 Lokasi tempat pembuangan sampah sementara di Kota Bogor 59

24 Evaluasi penerapan Green Waste di Kota Bogor 61

25 Evaluasi penerapan Green Transportation di Kota Bogor 66

26 Air baku di Kota Bogor 70

27 Evaluasi penerapan Green Water di Kota Bogor 71

28 Evaluasi penerapan Green Energy di Kota Bogor 75

29 Evaluasi penerapan Green Community di Kota Bogor 78

30 Hasil evaluasi penerapan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor 79

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir 3

2 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor 12

3 Suhu udara Kota Bogor tahun 2011 27

4 Kelembaban udara Kota Bogor tahun 2011 28

5 Peta wilayah administrasi Kota Bogor 32

6 Peta rencana struktur ruang Kota Bogor 36

7 Peta rencana sistem pusat pelayanan Kota Bogor 37

8 Rencana pembangunan jaringan jalan dan St. Sukaresmi berbasis TOD 39

9 Denah rencana pembangunan Stasiun Sukaresmi 40

10 Ilustrasi kondisi perspektif Stasiun Sukaresmi berbasis TOD 40

11 Taman Kencana Kota Bogor 43

(15)

13 Taman Sempur Kota Bogor 44

14 Taman Peranginan Kota Bogor 44

15 Taman Topi 44

16 Taman median jalan Kota Bogor 45

17 RTH jalur pejalan kaki Kota Bogor 45

18 Taman pulau jalan Kota Bogor 45

19 RTH sempadan sungai Kota Bogor 46

20 RTH Hutan Kota Cifor 46

21 Peta rencana RTH Kota Bogor 48

22 Tahapan mewujudkan green building 53

23 Kondisi beberapa tempat pembuangan sampah di Kota Bogor 59

24 Konsep TPA Nambo (kiri); proses pembangunan TPA Nambo (kanan) 60

25 Ilustrasi alur proses pengelolaan sampah di TPST Kayumanis 60

26 Fasilitas yang diperlukan untuk bersepeda 63

27 Pedestrian di sekitar pusat Kota Bogor 65

28 Kondisi Pedestrian Nyi Raja Permas Kota Bogor 65

29 Kondisi pedestrian di ruas–ruas jalan di Kota Bogor 65

30 Kondisi jalur sepeda di Kota Bogor 65

31 Bis transpakuan (kiri) dan bis APTB (kanan) 66

32 Lubang resapan biopori 71

33 Proses produksi energi dari sampah 74

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan dan pembangunan kota yang sangat cepat sudah terjadi di negara–negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Kota–kota di Indonesia seperti halnya Kota Bogor sudah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Kota Bogor merupakan salah satu kota berkembang yang letaknya tidak jauh dari pusat pemerintahan Ibukota Jakarta. Letaknya yang sangat strategis, berada pada jalur lintasan regional yang menghubungkan Jakarta–Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi (Jabodetabek), Bogor–Puncak–Cianjur (Bopunjur), dan Jakarta–Sukabumi, serta sekaligus memiliki peran sebagai wilayah penyangga kota Jakarta, menyebabkan Kota Bogor mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dan urbanisasi menjadi salah satu penyebabnya. Tjiptoherijanto (1999) menyatakan bahwa secara umum urbanisasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dari pedesaan menuju perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk pun akan mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang tercantum pada Kota Bogor Dalam Angka (2011), hasil sensus penduduk menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2010 sudah mencapai 967 398 jiwa dan Kabupaten Bogor memiliki presentasi distribusi penduduk yang tertinggi di daerah Jawa Barat sebesar 11.8%. Pertumbuhan Kota Bogor yang cukup pesat akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan fisik kota, dimana jika pembangunan tidak disesuaikan dengan daya dukung lingkungan tentunya akan mengakibatkan degradasi lingkungan.

Dari segi pola penggunaan lahan Kota Bogor, dengan luas wilayah Kota Bogor sebesar 11 850 Ha, secara garis besar Kota Bogor dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kawasan terbangun dan kawasan belum terbangun. Kawasan terbangun di kota Bogor sebesar 4 411.85 ha atau sekitar 37.27% dari luas Kota Bogor dan kawasan belum terbangun sebesar 7 438.14 ha atau sekitar 62.77% dari luas Kota Bogor. Untuk mengatasi permasalahan perkotaan yang sedang terjadi saat ini seperti pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti dengan pembangunan fisik kota serta kapasitas daya dukung, maka pengembangan kota sebaiknya perlu memperhatikan keselarasan dengan lingkungan. Kondisi lingkungan kota yang sehat dapat meningkatkan kenyamanan bagi para penghuninya. Ada beberapa konsep pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah dengan menggunakan konsep Kota Hijau yang menjadikan kota selaras dengan alam (Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2012). Menurut Widiantono (2012) kota berkelanjutan merupakan konsep kota yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial–budaya, dan lingkungan hidup. Keseimbangan pada keberlanjutan suatu kota merupakan hal yang penting bagi pemanfaatan sumberdaya yang ada, yaitu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga di masa yang akan datang.

(18)

2

buatan, serta berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip–prinsip pembangunan berkelanjutan yang dapat menyelaraskan kebutuhan kota dengan menjaga kelestarian ligkungan. Untuk mewujudkan kota hijau, setiap kota dapat menerapkan delapan indikator kota hijau secara bertahap yang meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2) peningkatan jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan bangunan hijau (green building), 4) usaha pengurangan dan pengolahan limbah (green waste), 5) pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (green transportation), 6) efisiensi pemanfaatan sumberdaya air (green water), 7) pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan (green energy), serta 8) pengembangan jaringan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (green community).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. bagaimana perkembangan dan penataan Kota Bogor saat ini, dan

2. seperti apa penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor dalam pembangunan dan pengembangan kotanya.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merencanakan konsep pengembangan kota hijau berdasarkan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. mengidentifikasi perkembangan dan penataan konsep kota hijau di Kota Bogor, dan

2. mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi peneliti, serta dapat dijadikan alternatif dan rekomendasi bagi pihak pengembang dan pembangunan kota, khususnya sebagai pertimbangan kepada pemerintah daerah setempat untuk menentukan langkah lebih lanjut dalam proses pengembangan kota yang menerapkan konsep kota hijau. Dengan menerapkan konsep ini diharapakan pengembangan dan pembangunan kota selanjutnya akan lebih berbasis lingkungan dan terjaga kelestariannya guna memperbaiki kualitas lingkungan, serta meningkatkan kenyamanan kota untuk dihuni oleh masyarakat.

Kerangka Pikir Penelitian

(19)

3

green water, green energy, dan green community. Tahapan yang dilakukan selanjutnya yaitu melakukan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode Gap Analysis, yaitu analisis yang digunakan untuk membandingkan kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota. Kemudian dihasilkan data yang akan dianalisis secara deskriptif dan menghasilkan perbandingan kondisi Kota Bogor saat ini dengan penerapan ideal dari konsep kota hijau. Adapun kerangka pikir pada penelitian dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

Gambar 1 Kerangka Pikir

Permasalahan Kota Bogor terkait penerapan Konsep Kota Hijau

Kota Bogor

Identifikasi permasalahan terkait penerapan delapan indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor

Gap Analysis

Evaluasi penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor

Green Planning and Design

Perencanaan dan perancangan kota kurang berbasis

lingkungan

Green Open Space

Menurunnya luas dan kualitas ruang

terbuka hijau (RTH)

Green Waste

Sampah perkotaan tidak ditangani

dengan baik

Green Water

Kualitas air tanah menurun

Green Community

Kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam

melestarikan lingkungan

Green Building

Perencanaan dan perancangan bangunan kurang

ekologis

Green Transportation

Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi

Green Energy

Penggunaan energi fosil tinggi, perlu penggunaan energi

(20)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan

Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang merupakan daerah perkotaan. Wilayah kota secara administratif tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun perkotaan (urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang berciri perdesaan (rural). Wilayah administratif pemerintahan kota dikelola oleh pemerintah kota yang bersifat otonom. Misalnya kota–kota ibukota kabupaten atau kota kecamatan tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, tetapi merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten (Sadyohutomo 2008).

Menurut Irwan (2008) kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataanya kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Kota juga merupakan sebuah sistem yaitu terbuka, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara.

Kota merupakan tempat para warga melangsungkan berbagai aktivitasnya, sehingga pengembangannya seharusnya diarahkan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan fisik dan spiritual. Tetapi kenyataannya banyak ditemukan suatu kota yang perencanaannya dilakukan secara kurang memadai sehingga menjadi lesu, sakit, dan semrawut. Langkah Pemerintah Kota saat ini dengan upaya mengembangkan Hutan Kota yang termasuk kedalam salah satu bentukan ruang terbuka hijau (RTH) perlu mendapat apresiasi. Dengan dibentuknya ruang–ruang terbuka hijau tersebut, dapat disusun suatu jaringan ruang terbuka hijau kota yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, bersih, sehat, dan indah (Samsoedin 2007).

Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

(21)

5

Konsep Kota Hijau

Kota Hijau dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga dapat dikatakan sebagai kota sehat, artinya adalah bahwa adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Kota sehat juga merupakan kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor terkait, dan sinkronisasi dengan perencanaan kota.

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), Kota Hijau juga dapat disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco–city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan dirancang dengan mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Kota Hijau dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara.

Kota Hijau pada dasarnya adalah green way of thinking dimana perlu ada perubahan pola pikir manusia terhadap keberlanjutan lingkungan. Perubahan pola pikir akan mengarah pada perubahan kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya akan menghasilkan perubahan budaya menjadi lebih ramah lingkungan (Rustiadi 2009). Konsep Kota Hijau sejalan dengan usaha untuk menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan perencanaan kota–kota baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari pengembangan kota, yang selanjutnya juga dapat memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.

Terdapat beberapa aspek legal mengenai pengembangan Kota Hijau di Indonesia diantaranya tertera pada Undang–Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 29 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) yang wajib ada pada wilayah perkotaan adalah paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu terdapat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), untuk mewujudkan kota hijau, setiap kota dapat menerapkan delapan indikator (atribut) kota hijau secara bertahap yang meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2)peningkatan jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan bangunan hijau (green building), 4) usaha pengurangan limbah dan pengolahan limbah (green waste), 5) pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan (green transportation), 6) efisiensi pemanfaatan sumberdaya air serta zero runoff

(22)

6

Green Planning and Design

Green planning and design dapat diartikan sebagai suatu perencanaan dan perancangan wilayah, kota atau kawasan yang memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang, mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam rangka mewujudkan kualitas ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Perencanaan dan pembangunan kota harus sesuai dengan peraturan Undang–undang yang berlaku, seperti UU No. 24/2007 mengenai Penanggulangan Bencana (kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), UU No. 26/2007 mengenai Penataan Ruang, serta UU No. 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk mengarahkan pengalokasian ruang agar tercapai keseimbangan antara ruang sosial, ekonomi, dan lingkungan (lingkungan alami dan terbangun) untuk mewujudkan ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Green Open Space

Green open space adalah bagian dari ruang–ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik atau introduksi guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung yang dihasilkan oleh ruang terbuka hijau (RTH) dalam kota tersebut, yaitu seperti keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Menurut Purnomohadi (1995) pengertian ruang terbuka hijau (RTH) adalah suatu bentang lahan terbuka tanpa bangunan yang memiliki ukuran, bentuk, dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun yang didalamnya terdapat tumbuhan hijau berkayu dan tahunan, dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rumput, serta penutup tanah) sebagai tumbuhan pelengkap serta benda–benda lain sebagai bahan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan.

Ruang terbuka hijau memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah fungsi ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi planologis, fungsi ekonomi dan fungsi estetika. Selain memiliki fungsi yang beragam, RTH juga dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk taman lingkungan, taman kota, hutan kota, dan lain–lain. Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan (2002) disepakati bahwa luasan mimimal dari RTH suatu wilayah adalah 30% dari total luas wilayahnya. Ruang terbuka hijau seluas 30% dari luas kota dapat diciptakan dengan komposisi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain meningkatkan jumlah RTH, peningkatan kualitas pun perlu dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi ekologis.

Green Building

(23)

7 meningkatkan rancangan dan konstruksi dari suatu bangunan sehingga bangunan yang kita bangun hari ini akan bertahan lebih lama, biaya operasional yang lebih hemat, dan tidak akan membahayakan kesehatan pekerja dan penduduk.

Konsep green building merupakan konsep untuk bangunan berkelanjutan dan memiliki syarat tertentu yaitu lokasi, sistem perencanaan dan perancangan, renovasi dan pengoperasian, hemat energi serta harus berdampak positif bagi lingkungan, ekonomi dan sosial. Terdapat tiga tujuan dasar green building

diantaranya adalah: 1) melestarikan sumberdaya alam, 2) meningkatkan efisiensi energi, serta 3) meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Menurut Green Building Council Indonesia (GBCI 2009), green building adalah bangunan baru ataupun bangunan lama yang direncanakan dibangun dan dioperasikan dengan memperhatikan faktor–faktor keberlanjutan lingkungan. Menurut Redaksi Buletin Tata Ruang (2011), terdapat tiga konsep utama dalam mendirikan green building

diantaranya adalah:

a. life cycle assessment (Uji Amdal)

Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya dilakukan dahulu kajian Amdal, apakah dalam pengadaan suatu bangunan dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun alam sekitarnya. Jika dengan adanya keberadaan bangunan memberikan pengaruh negatif yang cukup besar maka bangunan tersebut sudah menyalahi konsep dasar green building.

b. efisiensi desain struktur

Dasar dalam setiap proyek bermula pada tahap konsep dan desain. Tahap konsep merupakan salah satu langkah utama dalam proyek yang memiliki dampak besar pada kinerja proyek. Tujuan utama merencanakan bangunan dengan konsep green building adalah untuk meminimalkan dampak yang akan disebabkan oleh bangunan itu sendiri, baik selama proses pelaksanaan dan penggunaan. Perencanaan bangunan yang tidak efisien dalam struktur juga memberikan efek buruk terhadap lingkungan, yaitu pemakaian bahan bangunan yang sangat banyak sehingga terjadi pemborosan.

c. efisiensi energi

Green building sering kali mencakup langkah–langkah untuk mengurangi konsumsi energi, baik yang diperlukan untuk kehidupan segari–hari seperti kondisi bangunan yang memudahkan angin dan sinar matahari mudah masuk kedalam bangunan. Selain itu dari segi pelaksanaan juga harus diperhatikan, seperti penggunaan kayu dalam pembangunan gedung akan menghasilkan energi pembuangan yang lebih rendah dibandingkan dengan bangunan yang menggunakan batu bata, beton ataupun baja.

Green Waste

Green waste adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R yaitu mengurangi sampah atau limbah (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan meningkatkan nilai tambah dengan cara daur ulang (recycle). Pengelolaan sampah yang baik pun akan meningkatkan kualitas kesehatan di perkotaan. Tujuan dari green waste

(24)

8

terhadap pengelolaan sampah sendiri agar volume sampah yang selama ini menjadi beban kota dapat berkurang, ancaman banjir dan penyakit dapat diatasi, kesuburan dan kualitas tanah meningkat, serta membangkitkan kota yang kreatif melalui penggunaan ulang. Salah satu penanganan sampah perkotaan yang ada adalah dengan menerapkan bank sampah. Bank sampah adalah salah satu strategi penerapan 3R dalam pengelolaan sampah pada sumbernya di tingkat masyarakat. Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah suatu rekayasa sosial (social engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah. Pelaksanaan bank sampah dapat memberikan output nyata bagi masyarakat berupa kesempatan kerja dalam melaksanakan manajemen operasi bank sampah dan investasi dalam bentuk tabungan (Kementerian Lingkungan Hidup 2011).

Sebagaimana diketahui, tumpukan sampah menghasilkan gas metana. Gas ini berbahaya bagi manusia. Karena itu tumpukan sampah ditimbun dengan tanah dan ditutupi dengan membran (plastik), agar gas metan tidak keluar. Kemudian di bawah tumpukan sampah itu dipasang saluran gas, sehingga gas metana yang keluar dapat dialirkan dan menggerakkan mesin yang dapat menghasilkan listrik. Untuk menghasilkan listrik dari sampah, ada tiga teknologi yang digunakan. Pertama, landfill gasification yaitu menangkap gas–gas yang dihasilkan sampah kemudian dijadikan sebagai penggerak mesin yang dapat menghasilkan listrik. Kedua, teknologi thermal process and gasification, yaitu dengan cara memisahkan sampah kemudian diproses di ruang hampa atau tertutup. Teknologi yang ketiga, yaitu anaerobic gasification, yaitu dengan cara menggunakan sampah organik kemudian difermentasi (Dewan Energi Nasional 2010).

Green Transportation

Green transportation diartikan sebagai suatu usaha pembangunan dan pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan, efisiensi penggunaan bahan bakar, dan berorientasi pada manusia yang meliputi pengembangan jalur–jalur khusus pejalan kaki dan sepeda, pengembangan angkutan umum massal yang memanfaatkan energi alternatif terbarukan yang bebas polusi dan ramah lingkungan, serta mempromosikan gaya hidup sehat dalam bertransportasi. Tujuan dari program

green transportation ini adalah untuk meningkatkan jumlah penggunaan kendaraan umum dan menurunkan jumlah penggunaan kendaraan pribadi dengan menggunakan transportasi massal dan menciptakan jaringan transportasi yang aman, nyaman dan efisien. Selain itu perlu dilakukan pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalur sepeda dan koridor hijau sehingga mendorong masyarakat untuk berjalan kaki atau bersepeda pada jarak yang dekat. Secara garis besar terdapat tiga langkah utama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan green transportation yaitu: 1) mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sistem transportasi yang ada, 2) merumuskan sasaran untuk pengurangan penggunaan kendaraan bermotor pada kadar maupun pada tingkat emisi, dan 3) memilih kombinasi yang sesuai dari berbagai pilihan transportasi.

Green Water

(25)

9 untuk meminimalkan efek yang terjadi pada lingkungan dan memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada, dimana pada akhirnya dapat menghemat uang yang dikeluarkan dalam proses pengelolaan air. Salah satu upaya dalam meningkatan efisiensi penggunaan dan pengelolaan sumberdaya air adalah dengan menerapkan konsep zero run off dan ekodrainase, yaitu upaya mengelola kelebihan air dengan cara diresapkan ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya. Menurut FAO 1997, green water adalah air hujan yang langsung digunakan dan dievaporasikan oleh lahan kering tanpa irigasi, ladang pengembalaan dan lahan hutan. Secara teoritis green water adalah air yang diperlukan oleh tanaman.

Green Energy

Green energy merupakan energi yang dihasilkan dari sumber–sumber yang ramah lingkungan atau menimbulkan dampak negatif yang sedikit bagi ekosistem lingkungan maupun siklus hidup yaitu tanah, air dan udara. Konsep green energy

ini berkembang karena adanya dampak negatif yang luar biasa akibat dari penggunaan energi fosil. Tujuan dari green energy adalah untuk menemukan sumber–sumber energi alternatif selain energi fosil yang dapat meminimalkan dampak negatif bagi lingkungan. Energi alternatif yang sudah dikembangkan berupa pemanfaatan energi angin, matahari, air, pasang surut, dan lain–lain. Manfaat dari green energy diantaranya adalah: 1) tersedianya energi alternatif yang mampu memenuhi ketersediaan energi nasional, 2) terjaganya kelestarian lingkungan hidup, 3) terciptanya lapangan kerja baru bagi masyarakat, serta 4) terwujudnya kesadaran terhadap peran penting keberadaan energi fosil yang terbatas jumlahnya. Undang–Undang (UU) terkait definisi energi tertera pada UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Green Community

Green community dapat diartikan sebagai sebuah komunitas atau kelompok warga yang peduli terhadap masalah lingkungan dan sosial budaya. Dalam mewujudkan kota hijau pemerintah bekerja sama dengan masyarakat, dapat melalui penyuluhan dan partisipasi aktif masyarakat serta bermitra dengan masyarakat dalam mengadakan tanaman hijau di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini green community ditujukan sebagai usaha untuk: 1) meningkatkan public awareness tentang pentingnya kota hijau, 2) membangun networking untuk kekuatan baru dan dalam satu kesatuan, serta 3) merawat dan memelihara sehingga mampu menuju sustainable development.

Green community juga merupakan salah satu indikator penting dalam mewujudkan kota hijau, karena masyarakat dipercaya dapat menjadi motor penggerak gerakan hijau pada suatu kota serta menjamin keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial–budaya dimasa mendatang. Green community dapat dibentuk melalui partisipasi masyarakat dan komunitas warga.

Ruang Terbuka Kota

(26)

10

menampung aktivitas tertentu baik secara individu atau secara berkelompok di luar bangunan. Ditinjau dari segi aktivitasnya maka ruang terbuka terdiri dari ruang terbuka aktif dan ruang terbuka pasif. Menurut Simonds (1983), ruang terbuka berhubungan langsung dengan penggunaan struktur sehingga dapat mendukung fungsi struktur tersebut. Salah satu yang termasuk ruang terbuka adalah ruang terbuka hijau (RTH).

Ruang Terbuka Hijau

Menurut Purnomohadi (1995) pengertian RTH adalah: 1) suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu), dan 2) sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda– benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan.

Pengertian RTH berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kawasan perkotaan dengan proporsi 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Fungsi, manfaat, klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan menjadi sangat penting, karena fungsi dan manfaat RTH tidak dapat digantikan dengan unsur–unsur ruang kota lainnya karena sifatnya yang alami. Menurut

Urban Planning and Design Criteria (1975), dalam sistem ruang terbuka, RTH merupakan bagian dari ruang terbuka. Klasifikasi RTH terdiri atas RTH lindung (Wilderness areas, Protected areas, dan Natural park area) dan RTH binaan (Urban park area, Recreational areas, dan Urban development open spaces).

Gap Analysis

(27)

11 input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan prioritas anggaran di masa yang akan datang. Gap analysis merupakan salah satu langkah yang sangat penting dilakukan dalam tahapan perencanaan maupun tahapan evaluasi kinerja.

Gap analysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui kinerja dari suatu program yang sedang berjalan dengan sistem standar. Gap analysis tidak hanya diterapkan dalam suatu instansi atau lembaga, namun dapat juga diterapkan dalam evaluasi kinerja dari pemerintah. Gap analysis merupakan metode analisis yang mempunyai pendekatan bottom up yang dapat memberikan masukan berharga bagi pemerintah, terutama dalam perbaikan dan peningkatan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Dalam penelitian ini, Gap analysis

digunakan untuk mengetahui kesenjangan yang terjadi antara kondisi ideal dari suatu konsep kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota yang menerapkan konsep kota hijau. Gap analysis juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan sarana dan prasarana kota dalam mewujudkan konsep kota hijau di suatu kota. Sehingga dapat diketahui permasalahan terkait pengembangan konsep kota hijau dan solusi pengembangan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Perencanaan Lanskap

Menurut Gold (1980), perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Perencanaaan lanskap merupakan suatu bentuk produk utama dari suatu kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan kegiatan penataan lahan berdasarkan pada lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai. Simonds dan Starke (2006) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu kemampuan untuk memahami dan menganjurkan adanya suatu perubahan dari yang mungkin atau tidak mungkin pada saat menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan dari perencanaan adalah untuk menentukan tempat yang sesuai dengan daya dukung lahan dan keadaan umum masyarakat di sekitarnya.

(28)

12

Tabel 1 Alat dan bahan penelitian

Alat Kegunaan

Kamera Digital Pengambilan gambar di tapak

Bahan Kegunaan

Peta Kota Bogor Mengetahui kondisi aktual Kota Bogor

RTRW Kota Bogor Mengetahui rencana pengembangan Kota Bogor

Bahan Pustaka Studi literatur

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia (Gambar 2). Kota Bogor terletak ± 56 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya berada di tengah–tengah wilayah Kabupaten Bogor. Luas keseluruhan wilayah Kota Bogor adalah mencapai 11 850 ha dengan jumlah penduduk sekitar 967 398 jiwa (Kota Bogor Dalam Angka 2011). Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari 2013 hingga bulan September 2013.

Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Bahan yanh digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung di lapang, dan data sekunder adalah data–data pendukung lain yang sesuai dan valid. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung yaitu:

Gambar 2 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor

(29)

13

Batasan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi evaluasi mengenai konsep kota hijau di Kota Bogor, dimana penelitian ini untuk mendukung program pengembangan kota hijau di seluruh kota di Indonesia. Selain itu penelitian ini dilakukan demi pembangunan Kota Bogor yang berbasis lingkungan, berkelanjutan, dan terjaga kelestariannya. Penelitian ini dibatasi oleh:

a. pengamatan terhadap kondisi aktual Kota Bogor saat ini dalam pengembangan kotanya. Aspek yang diamati berdasarkan indikator kota hijau, serta

b. melakukan kajian terhadap penerapan konsep kota hijau dengan menggunakan

Gap analysis, dimana analisis ini lebih menekankan pada perbandingan kondisi aktual Kota Bogor terhadap kondisi idealnya suatu kota yang menerapkan konsep kota hijau sehingga dapat terlihat indikator apa saja yang sudah diterapkan di Kota Bogor.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah metode survei lapang mengenai penerapan indikator kota hijau di Kota Bogor. Metode survei lapang merupakan metode yang memusatkan diri pada survei langsung ke tapak untuk mengetahui kondisi penerapan indikator kota hijau di Kota Bogor. Aspek yang diamati terdiri dari delapan indikator kota hijau. Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini diawali dengan melakukan tahapan inventarisasi, analisis, dan evaluasi terhadap penerapan delapan indikator kota hijau. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap tahapan penelitian yang dilakukan:

Inventarisasi

Tahapan inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang dibutuhan baik data primer maupun data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari narasumber maupun yang dapat diambil langsung di tapak, seperti data hasil wawancara dan data hasil observasi lapang. Sedangkan data sekunder adalah data yang didapat dari sumber–sumber literatur yang membantu peneliti dalam mengolah data dengan cara desk study, yaitu metode pengumpulan data berupa laporan–laporan hasil studi pustaka yang dapat diperoleh dari skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, artikel, maupun jurnal. Aspek data yang diamati terdiri dari kondisi fisik dan biofisik Kota Bogor, serta data–data terkait delapan indikator kota hijau. Berikut ini adalah tabel jenis dan sumber data yang digunakan (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian

No Data Jenis Data Sumber Data Cara

Pengambilan

1

Kondisi Umum Kota Bogor

Letak, luas, batas tapak

Sekunder

Bappeda Kota Bogor, RTRW Kota Bogor

Studi Pustaka Geologi

Topografi Iklim

(30)

14

Analisis

Tahapan analisis dimulai dengan merumuskan konsep ideal dari suatu kota hijau dari hasil desk study dengan pendekatan delapan indikator kota hijau, yang dilanjutkan dengan mengidentifikasi kondisi eksisting dari delapan indikator konsep kota hijau yang ada di Kota Bogor dengan menggunakan Gap analysis

secara deskriptif. Dalam penelitian ini gap analysis adalah metode analisis yang digunakan untuk membandingkan kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan kondisi aktual dari Kota Bogor, sehingga dapat diketahui implementasi konsep kota hijau yang sudah dicapai oleh Kota Bogor dan dijelaskan secara deskriptif.

Evaluasi

Penelitian ini menghasilkan evaluasi terhadap kondisi penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor. Pada tahap ini dilakukan penilaian atau skoring untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana pencapaian penerapan dari ke–delapan indikator kota hijau. Skoring dilakukan dengan memberikan skor 0, 1, 2, 3, dan 4 pada setiap model penerapan dari ke–delapan indikator kota hijau yang ada dengan melihat dan mengacu pada batasan–batasan penilaian bagi setiap indikator (Tabel 3–10). Setelah dilakukan skoring terhadap model penerapan setiap indikator untuk mengetahui pencapaiannya di Kota Bogor, maka tahap selanjutnya adalah menentukan persentase dari setiap indikator dengan rumusan:

ilai enerapan otal t n

Dimana: X1 = persentase bentuk penerapan indikator 1 Xn = persentase bentuk penerapan indikator ke–n

Xt = nilai penerapan total bentuk penerapan setiap indikator Lanjutan Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian

No Data Jenis Data Sumber Data Cara

Pengambilan

2

Indikator Kota Hijau

Green planning and design

Primer, sekunder

Survei, Bappeda Kota Bogor, RTRW Kota Bogor

Survei lapang, Studi pustaka

Green open space

Green building Green waste Green

transportation Green water Green energy Green Community

3 Aspek

Sosial Jumlah penduduk Sekunder

Dinas

kependudukan

(31)

15 Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap nilai maksimal dari setiap indikator serta menghitung persentase dari penerapan setiap indikator dengan rumusan sebagai berikut:

ilai aksimal ma jumlah model penerapan poin skoring maksimal

ersentase enerapan ndikator nilai penerapan total t nilai maksimal ma

Setelah tahapan skoring ini dilakukan, maka dapat diketahui indikator apa saja yang sudah diterapkan dengan baik dan indikator apa saja yang belum diterapkan dengan baik di Kota Bogor. Sehingga dapat diketahui perlakuan atau rencana yang akan dilakukan selanjutnya untuk menciptakan kota hijau yang ideal di Kota Bogor. Berikut ini adalah tabel dari batasan–batasan dari setiap indikator yang dapat menjadi acuan untuk menentukan skor dari setiap model penerapan.

Tabel 3 Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design

Penerapan

1.Sudah ada arahan untuk

(32)

16

Lanjutan Tabel 3 Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design

1.Sudah ada arahan untuk

2.Terdapat di pusat kota dengan

1.Sudah ada rencana untuk

pengembangan kawasan pejalan kaki yang tertera dalam RTRW.

2.Terdapat di pusat kota dengan

1.Sudah ada arahan untuk

(33)

17

Tabel 4 Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space Penerapan

1.Sudah ada arahan untuk

1.Sudah ada arahan untuk

(34)

18

Lanjutan Tabel 4 Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space Penerapan

3.Fungsi RTH jalur hijau yang ada

(35)

19

Lanjutan Tabel 4 Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space Penerapan

(36)

20

Tabel 6 Batasan penentuan skoring indikator Green Building Penerapan

1.Sudah ada rencana untuk

pembangunan

green building yang

tertera dalam

Tabel 5 Batasan penentuan skoring indikator Green Waste

Penerapan

1.Sudah ada arahan penerapan konsep 3R, namun belum tertera dalam RTRW.

1.Sudah ada rencana untuk penerapan konsep 3R yang tertera dalam RTRW.

(37)

21

Lanjutan Tabel 6 Batasan penentuan skoring indikator Green Waste

Penerapan

1.Sudah ada arahan penerapan bank sampah, namun belum tertera dalam RTRW.

1.Sudah ada rencana penerapan bank sampah yang tertera dalam RTRW.

1.Sudah ada rencana penerapan bank sampah yang tertera dalam RTRW.

1.Sudah ada rencana penerapan bank

1.Sudah ada arahan pengolahan limbah

1.Sudah ada rencana penerapan

1.Sudah ada rencana penerapan

1.Sudah ada arahan pengolahan

1.Sudah ada rencana pengolahan

1.Sudah ada rencana pengolahan

(38)

22

Tabel 7 Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion Penerapan

4.Penempatan site

furniture yang

(39)

23

Lanjutan Tabel 7 Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion Penerapan

(40)

24

Lanjutan Tabel 8 Batasan penentuan skoring indikator Green Water

Penerapan

Tabel 9 Batasan penentuan skoring indikator Green Energy

(41)

25 Lanjutan Tabel 9 Batasan penentuan skoring indikator Green Energy

Penerapan

(42)

26

Tabel 10 Batasan penentuan skoring indikator Green Community

(43)

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Kota Bogor

Kota Bogor secara geografis terletak pada 6º3 ’3 ”–6º4 ’ ” Lintang Selatan dan 1 6º43’3 ”– 6º5 ’ ” Bujur imur dengan jarak ± 56 km dari Ibukota Jakarta. Wilayah administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, yang didukung oleh satuan lingkungan setempat sebanyak 780 Rukun Warga (RW) dan 3 479 Rukun Tetangga (RT), dengan luas wilayah keseluruhan 11 850 Ha (Kota Bogor Dalam Angka 2011). Secara administratif, wilayah Kota Bogor berbatasan langsung dengan:

a. Utara : Kec. Sukaraja, Kec. Bojong Gede, Kec. Kemang, Kab. Bogor. b. Barat : Kec. Ciomas dan Kec. Dramaga, Kab. Bogor.

c. Selatan : Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kab. Bogor. d. Timur : Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kab. Bogor.

Berikut ini adalah tabel mengenai luas wilayah administrasi Kota Bogor menurut kecamatan tahun 2011, diantaranya adalah:

Kondisi Fisik Lingkungan

Iklim

Pada tahun 2011, suhu rata–rata Kota Bogor dalam satu tahun adalah 25.7⁰C. Sedangkan untuk rata–rata kelembaban udara Kota Bogor dalam satu tahun adalah 80 %. Berikut grafik data suhu dan kelembaban udara dalam tahun 2011.(Gambar 3 dan 4)

Tabel 11 Luas Wilayah administrasi Kota Bogor menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas (ha) %

1 Bogor Utara 1 772 14.95

2 Bogor Barat 3 285 27.72

3 Bogor Timur 1 015 8.57

4 Bogor Selatan 3 081 26

5 Bogor Tengah 812 6.86

6 Tanah Sereal 1 884 15.90

Jumlah 11 850 100

Sumber: Bappeda Kota Bogor

Gambar 3 Suhu udara Kota Bogor tahun 2011

Sumber: BMKG Darmaga Bogor

26.5 27 27.5 28 28.5 29 29.5

J F M A M J J A S O N D

Su

h

u

Ud

ar

a

(o

C

)

Bulan

(44)

28

Topografi dan Kelerengan

Aspek topografi wilayah Kota Bogor pada dasarnya bervariasi antara datar dan berbukit (100 mdpl sampai > 300 mdpl). Kemiringan lereng di Kota Bogor sebagian besar berada pada klasifikasi datar dan landai (15%) seluas 9 855.21 Ha dan seluas 1 109.89 Ha berada pada klasifikasi lahan agak curam (15–25%). Lahan yang berada pada klasifikasi curam dan sangat curam (25%) hanya seluas 884.9 Ha. Kondisi topografi dan kemiringan lereng tersebut menjadikan Kota Bogor memiliki variasi pola pengembangan dalam pemanfaatan ruangnya, pada beberapa lokasi memiliki pemandangan yang indah dan udara yang sejuk.

Gambar 4 Kelembaban udara Kota Bogor tahun 2011

Sumber: BMKG Darmaga Bogor

65 70 75 80 85 90

J F M A M J J A S O N D

Kele

m

b

ab

an

Ud

ar

a

(o

C

)

Bulan

Kelembaban Rata-Rata

Tabel 12 Ketinggian Kota Bogor menurut Kecamatan

No Kecamatan Ketinggian (Ha) Jumlah (Ha)

0–200 201–250 251–300 >300

1 Bogor Utara 869.18 853.68 49.14 0.00 1 772.00

2 Bogor Timur 0.00 46.00 348.00 620.00 1 015.00

3 Bogor Selatan 0.00 24.00 480.00 2 577.00 3 081.00

4 Bogor Tengah 0.00 317.33 491.27 4.40 813.00

5 Bogor Barat 1 639.80 1 318.96 326.24 0.00 3 285.00

6 Tanah Sareal 1 519.13 364.84 0.00 0.00 1 884.00

Jumlah 4 028.11 2 924.81 1 694.65 3 201.40 11 850.00

Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2011

Tabel 13 Kemiringan lereng Kota Bogor menurut Kecamatan

No Kecamatan

Kemiringan Lereng (Ha)

Jumlah (Ha) 0–2%

(Datar)

2–15 % (Landai)

15–25% (Agak Curam)

25–40% (Curam)

>40% (Sangat Curam)

1 Bogor Utara 137.85 1 565.65 0.00 68.00 0.50 1 772

2 Bogor Timur 182.30 722.70 56.00 44.00 10.00 1 015

3 Bogor Selatan 169.10 1 418.40 1 053.89 350.37 89.24 3 081

4 Bogor Tengah 125.44 560.47 0.00 117.54 9.55 813

5 Bogor Barat 618.40 2 502.14 0.00 153.81 10.65 3 285

6 Tanah Sareal 530.85 1 321.91 0.00 31.24 0.00 1 884

Jumlah 1 763.94 8 091.27 1 109.89 764.96 119.94 11 850

(45)

29

Penduduk

Jumlah penduduk Kota Bogor hingga tahun 2010 adalah sekitar 967 398 jiwa, yang terdiri dari 493 761 laki–laki dan 473 637 perempuan dengan luas wilayah 11 850 Ha. Rata–rata kepadatan penduduk Kota Bogor tahun 2010 adalah sebesar 8 164 jiwa/km². Wilayah paling padat penduduknya adalah Kecamatan Bogor Tengah yang mencapai 12 564 jiwa/km². Sedangkan daerah dengan kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Bogor Timur yang kepadatannya sekitar 5 893 jiwa/km² (Kota Bogor Dalam Angka 2011).

Perekonomian

Potensi sektor–sektor ekonomi dapat dilihat dari kontribusi sektor–sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor. Dari data tersebut terlihat kecenderungan meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor industri. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Kontribusi sektor industri meningkat dari 20.74% pada tahun 1992 menjadi 24.13% pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sebesar 28.75% pada tahun 1993 kemudian menjadi 41.08%.

Data PDRB dari tahun 1993–2006 memperlihatkan bahwa komponen penyumbang PDRB Kota Bogor terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan presentase per tahunnya mencapai kisaran 28.75–41.08% terhadap PDRB. Sektor industri pengolahan menempati posisi kedua kontribusinya terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata–rata kontribusi per tahun 20.74–24.13%. Dari data tersebut, maka jelas bahwa Kota Bogor memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran.

Penggunaan Lahan

Dari segi penggunaan lahan, Kota Bogor dengan luas wilayah sebesar 11850 Ha secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian wilayah, yaitu meliputi:

a. Kawasan terbangun dengan luas total sebesar 4 411.86 Ha (37.23%) dari luas total Kota Bogor, yang berupa lahan perdagangan, permukiman, perumahan terencana, komplek militer, istana, industri, terminal, dan gardu. Kawasan

Tabel 14 Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor (2000–2007)

No Kec. 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Bogor

Selatan 136 152 150 300 154 622 160 007 163 295 166 745 170 909 176 094

2 Bogor

Timur 77 257 77 025 80 747 83 924 83 907 86 978 89 237 91 609

3 Bogor

Utara 110 569 136 294 138 370 144 590 148 107 149 578 153 843 161 562

4 Bogor

Tengah 103 414 92 436 95 690 99 790 101 162 103 176 106 075 109 039

5 Bogor

Barat 164 222 166 853 175 342 181 995 189 150 193 421 195 808 198 296

6 Tanah

Sareal 123 098 137 421 144 652 150 401 150 686 155 187 163 266 168 532

Kota Bogor 714 712 760 329 789 423 820 707 836 307 855 085 879 138 905 132

(46)

30

terbangun di wilayah Kota Bogor didominasi oleh kawasan permukiman sebesar 3 135.79 Ha (26.46%) yang di dalamnya terdapat fasilitas kesehatan, pendidikan peribadatan, serta perkantoran.

b. Kawasan belum terbangun dengan luas total 7 438.14 Ha (62.77%) dari luas total kota Bogor, yaitu berupa situ, sungai, kolam, RTH, tanah kosong non RTH, dan lain–lain yang tidak teridentifikasi. Kawasan belum terbangun di Kota Bogor didominasi oleh RTH seluas 6 088.58 Ha (51.38%) yang didalamnya terdapat hutan kota, jalur hijau jalan, jalur hijau SUTET, kawsan hijau, kebun raya, lahan pertanian kota, lapangan olahraga, sempadan sungai, TPU, taman kota, taman lingkungan, taman perkotaan, dan taman rekreasi.

Tabel 15 Jenis dan Intensitas Penggunaan Lahan di Kota Bogor (2007)

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) %

1 Perdagangan 81.02 0.68

2 Permukiman termasuk: 3 135.79 26.46

a. Fasilitas Kesehatan – –

b. Fasilitas Pendidikan – –

c. Perkantoran – –

d. Fasilitas Peribadatan – –

3 Perumahan 1 020.08 8.61

4 Komplek Militer 73.96 0.62

5 Istana 1.17 0.01

6 Industri 92.59 0.78

7 Situ 14.40 0.12

8 Sungai 124.59 1.05

9 Kolam 81.84 0.69

10 Terminal 5.41 0.05

11 Gardu 1.84 0.02

12 RTH 6 088.58 51.38

a. Hutan Kota 57.62 0.49

b. Jalur Hijau Jalan 138.02 1.16

c. Jalur Hijau SUTET 14.36 0.12

d. Kawasan Hijau 1 963.92 16.57

e. Kebun Raya 72.12 0.61

f. Lahan Pertanian Kota 3 117.27 26.31

g. Lapangan Olah Raga 151.51 1.28

h. Sempadan Sungai 181.79 1.53

i. TPU 134.64 1.14

j. Taman Kota 3.19 0.03

k. Taman Lingkungan 90.49 0.76

l. Taman Perkotaan 123.57 1.04

m. Taman Rekreasi 40.08 0.34

13 Tanah Kosong Non–RTH 984.38 8.31

14 Lain–lain (Tidak Teridentifikasi) 144.35 1.22

Jumlah 11 850 100

(47)

31

Pola Sebaran Kegiatan

Sebaran kegiatan di Kota Bogor berpusat di pusat kota. Hal ini terlihat dari dominasinya keberadaan pusat Kota Bogor (berada di wilayah Kecamatan Bogor Tengah) untuk kegiatan utama kota seperti perdagangan dan jasa, perkantoran, pemerintahan, dan fasilitas transportasi, semua berada pada kawasan ini. Deliniasi pusat Kota Bogor saat ini adalah sekitar Kebun Raya yang dikelilingi oleh Jalan Pajajaran, Jalan Jalak Harupat, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Oto Iskandardinata, melebar ke jalan Surya Kencana, Jalan Kapten Muslihat, Jalan Sudirman, Jalan RE Martadinata.

Pusat kota ini berperan sebagai pusat pemerintahan kota dengan adanya Balai Kota dan beberapa kantor pemerintah lainnya, Istana Bogor dan beberapa kantor pelayanan masyarakat dan kantor swasta. Kegiatan perdagangan dan jasa tidak kalah dominasinya pada kawasan ini yaitu keberadaan pasar, pusat perbelanjaan dan Factory Outlet (FO) sebagai salah satu tujuan wisata Kota Bogor dan jasa akomodasi seperti hotel dan restauran. Pusat kota ini dilengkapi pula dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan skala kota yang masih menjadi tujuan pelayanan masyarakat.

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor

Tujuan penataan ruang merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kota yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Tujuan disusun berdasarkan visi dan misi kota, karakteristik wilayah (potensi, masalah, isu strategis), dan peran dan fungsi kota. Kota Bogor, dalam RPJPD (Rencana Pembangunan jangka Panjang Daerah) Kota Bogor 2005–2025, memiliki visi sebagai Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan yang Amanah. Rencana tat ruang wilayah (RTRW) Kota Bogor ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan pada asas manfaat, keseimbangan dan keserasian, kelestarian, keterbukaan, dan keberlanjutan. Kedudukan RTRW Kota Bogor adalah sebagai pedoman dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah dareah (RPJMD), rencana kerja pemerintah daerah (RJPD), penyusunan rencana rinci tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di daerah, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis, perwujudan keserasian pembangunan antar sector atau urusan, serta perwujudan keterpaduan dan pemerataan pembangunan di setiap wilayah pelayanan.

(48)

32

Gambar 5 Peta wilayah administrasi Kota Bogor

(49)

33

Green Planning and Design

Perencanaan dan perancangan merupakan aspek penting dalam menata suatu kawasan perkotaan. Perencanaan dan perancangan yang baik akan menciptakan kota yang nyaman untuk dihuni. Perencanaan memiliki ruang lingkup yang luas sedangkan perancangan lebih kepada pengaturan aspek yang paling sederhana dari suatu perencanaan. Idealnya sebuah kota harus memiliki perencanaan dan perancangan kota yang berbasis kepada tiga hal, yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Ketiga hal tersebut merupakan prinsip pengembangan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kota yang berbasis lingkungan dan berkelanjutan.

Green planning and design dalam konteks hirarki penataan ruang yang berlaku di Indonesia pada dasarnya memberikan nuansa atau warna terhadap isi atau konten yang ada dalam dokumen rencana yang dibuat oleh daerah yang bersangkutan, mulai dari rencana umum sampai dengan rencana rinci. Tingkatan rencana yang harus ada pada suatu green planning and design yang dibuat dalam suatu rencana terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), Detail Engineering Desain (DED), serta Masterplan RTH. Dimana di setiap rencana tersebut memuat konsep pengembangan green planning and design yang akan dilakukan di setiap kota.

Kondisi Ideal Green Planning and Design

Bentuk atau model dari Green Planning and Design yang idealnya dapat diterapkan pada suatu kota diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Compact City

Menurut Cowan (2004) dalam Kustiwan (2006), compact city

didefinisikan sebagai suatu pendekatan perencanaan kota yang didasarkan pada pengembangan secara intensif dalam kawasan perkotaan eksisting atau pada kota dengan kepadatan yang relatif tinggi, dengan membatasi pertumbuhannya. Menurut Kustiwan (2006) model compact city dinilai sebagai bentuk perkotaan yang paling berkelanjutan karena paling sesuai dengan prinsip anti–sprawl. Konsep ini menekankan pada usaha untuk mengurangi atau mengendalikan perluasan area kota yang diakibatkan oleh

urban sprawl.

Menurut J. Arbury (2005), compact city merupakan sebuah model pengembangan kota yang terfokus pada intensifikasi perkotaan, menetapkan batas pertumbuhan kota, mendorong pengembangan campuran (mixed used) dan mengedepankan peran angkutan umum dan kualitas desain perkotaan. Selain itu konsep ini pun mengusahakan untuk melakukan simbiosis antara alam dan populasi tinggi, misalnya dengan pengembangan bangunan vertikal sehingga kebutuhan akan RTH dapat dipenuhi. Beberapa negara maju yang yang telah menerapkan konsep ini adalah Jepang di kota Tokyo dan Kobe. Di kota tersebut telah dibuktikan bahwa untuk satu node compact city dapat direduksi sekitar 30% dampak dari permasalahan urban sprawl.

2. Mixed–Use Development

(50)

34

kawasan tersebut dibangun minimal dua fungsi kawasan. Konsep ini lebih kepada usaha pengembangan produk property (produk perkantoran, hotel, tempat tinggal, komersial, dll) yang dikembangkan menjadi satu kesatuan atau minimal dua produk properti yang dibangun dalam satu kesatuan. Mixed–Use Development perlu dikembangkan untuk mengurangi waktu dan mobilisasi kendaraan untuk pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Dengan demikian jumlah kendaraan di jalan dapat dikurangi sehingga dapat mengurangi kemacetan, selain itu secara pribadi dapat mengurangi penggunaan bahan bakar, menghemat waktu, serta menggurangi emisi.

3. Kawasan Pejalan Kaki

Kawasan pejalan kaki adalah suatu kawasan khusus bagi pejalan kaki, biasanya ditempatkan di kawasan tempat bermain anak, di pusat perbelanjaan yang sebelumnya dibuka untuk lalu lintas kendaraan kemudian ditutup untuk lalu lintas kendaraan. Pada kasus–kasus tertentu ada kawasan pejalan kaki yang membolehkan bus atau trem untuk tetap bisa masuk. Kawasan pejalan kaki biasanya dilengkapi dengan kursi, patung, taman atau fasilitas pejalan kaki lainnya.

4. Transit Oriented Development (TOD)

Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran serta memaksimalkan penggunaan angkutan massal seperti busway (BRT), kereta api kota (MRT), kereta api ringan (LRT), serta dilengkapi jaringan pejalan kaki atau sepeda. Dengan demikian perjalanan akan didominasi dengan menggunakan angkutan umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan. Berdasarkan penerapan TOD di beberapa kota besar menunjukkan penurunan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi, karena adanya pilihan yang cepat, murah dan mudah mencapai tujuan dengan hanya berjalan kaki, menggunakan angkutan umum, masyarakat tidak perlu repot mencari tempat parkir, membayar biaya parkir yang tinggi, dan biaya operasi yang tinggi pula.

Kondisi Aktual Kota Bogor

Gambar

Tabel 3  Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design
Tabel 4  Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space
Tabel 6  Batasan penentuan skoring indikator Green Building
Tabel 7  Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang terdapat dalam aspek kuantitatif merupakan data terukur dari kondisi umum di Kota Tangerang Selatan dan dapat menjadi acuan untuk menentukan upaya yang

Dengan adanya suatu acuan format standar kebutuhan data dasar perencanaan pembangunan Kota Semarang, maka diharapkan dapat menyusun suatu perencanaan pembangunan

Konsep pembangunan hijau dan pembangunan berkelanjutan diperlukan dalam perencanaan wilayah dan kota karena mampu menjawab tantangan degradasi lingkungan dan sosial

komunitas dan institusi swasta dalam perwujudan pengembangan kota hijau Melalui model pengelolaan RTH menuju pembangunan kota hijau diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

 Menguasai konsep dan prinsip-prinsip: perancangan dan pembangunan perangkat lunak dengan metode perencanaan, rekayasa kebutuhan, perancangan,

Metode yang dilakukan dalam perancangan kawasan terpadu di Jalur Lingkar Utara Kota Surakarta ini adalah dengan mengolah desain kawasan terpadu berlandaskan

Program Pengembangan Kota Hijau adalah upaya untuk kota yang berkelanjutan dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota/Kabupaten dalam rangka

Marthen Mirah, 2020 Thesis, Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Pengembangan Smart city Kota Manado dalam Konteks Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi