• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYUAPAN PADA PENERIMAAN ANGGOTA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA LAMPUNG BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYUAPAN PADA PENERIMAAN ANGGOTA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA LAMPUNG BARAT"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYUAPAN PADA PENERIMAAN ANGGOTA SATUAN POLISI

PAMONG PRAJA LAMPUNG BARAT

Oleh BENI PRAMIZA

Penegakan hukum dilaksanakan untuk menjamin bahwa hukum dapat dilaksanakan secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan di dalam pelaksanaannya. Demikian pula halnya dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat.Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat (2) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Pemerintahan Daerah. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

(2)

Beni Pramiza

dengan vonis hakim yaitu menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah: a) Faktor penegak hukum, yaitu adanya profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat; b) Faktor sarana dan fasilitas, yaitu adanya dukungan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam penyidikan sampai dengan putusan pengadilan, seperti peralatan komunikasi, transportasi dan teknologi informasi (komputer, faximili, internet dan sebagainya); c) Faktor masyarakat, yaitu adanya kesadaran masyarakat untuk tidak memberikan sejumlah uang kepada pejabat atau pihak tertentu yang mengaku dapat meluluskan peserta tes Satpol PP dan kesediaan masyarakat menjadi saksi dalam pengadilan. d) Faktor kebudayaan, yaitu adanya nilai dan norma bahwa penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang lain yang harus diberi hukuman setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kerja dalam menangani dan menyelesaikan tindak pidana penyuapan secara cepat, akuntabel dan benar. (2) Kesadaran peran aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membantu kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan, karena tindak pidana penyuapan ini relatif sulit dibuktikan dan sering lolos dari pengawasan, oleh karena itu diperlukan adanya laporan dari masyarakat.

(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Beni Pramiza, dilahirkan di Blambangan Umpu Way Kanan pada tanggal 09 Juli 1992, merupakan putra kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Ra’is Mashur dan Ibu Marlinda.

(7)

PERSEMBAHAN

Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat hidayah-Nya dan dengan segala kerendahan hati,

Kupersembahkan Karya Kecilku ini kepada :

Kedua Orang Tua Tercinta,

Bapak (Ra’is Mashur)

Ibu (Marlinda),

Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukungku, terima kasih untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga aku bisa

menjadi seseorang yang kuat dan konsisten kepada cita-cita

Kakak (Alek Sander)

tersayang yang selalu mendampingi dan membantuku dalam segala hal, Tumbuh besar dalam suatu keluarga membuatku kuat dan mengerti

akan arti hidup sesungguhnya

Seluruh keluarga besar yang memotivasi dan memberikan doa untuk keberhasilanku

Almamater tercinta Universitas Lampung

(8)

MOTO

Dia memberikan hikmah (ilmu yang berguna)

kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Barang siapa yang mendapat hikmah itu

Sesungguhnya ia telah mendapat kebajikan yang banyak.

Dan tiadalah yang menerima peringatan

melainkan orang- orang yang berakal.

(Q.S. Al-Baqarah: 269)

Dan sesunguhnya diantara kami ada orang-orang yang shaleh dan diantara

kami ada pula yang tidak demikian halnya.

Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda

(Q.S. Aj-Jin : 11)

Selalu jadi diri sendiri dan jangan pernah menjadi orang lain

meskipun mereka tampak lebih baik dari Anda

(9)

i

SANWACANA

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Tetapi dengan adanya keterlibatan berbagai pihak yang telah memberikan doa, bantuan, dorongan, bimbingan, petunjuk, kritik dan saran, akhirnya penulis dapat melalui semuanya dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku PD 1 Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

(10)

ii

6. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya membantu, mengkoreksi dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini.

7. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang selalu membantu dan membahas skripsi saya serta untuk selalu mengoreksi skripsi saya selama ini.

8. Ibu Rini Fathonah, SH., MH, selaku Pembahas II yang tiada henti membantu saya sampai saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis yang kelak akan sangat berguna bagi penulis, serta seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

10.Kedua orang tuaku, Bapak Ra’is Mashur dan Ibu Marlinda yang sangat kucintai, kusayangi dan kuhormati, terima kasih atas doa, dukungan, motivasi serta pengorbanan luar biasa yang selama ini diberikan demi kesuksesan dan keberhasilan anaknya. Semoga hati kita selalu dipersatukan sebagai suatu keluarga.

11.Kakakku Alek Sander terima kasih atas motivasi tiada henti, serta memberikan tamparan semangat yang sangat berarti, dukungan dan kasih sayang dengan penuh kesabaran selama ini.

(11)

iii

13.Sahabat terbaikku Ibnu Hajar, Arbie Dharma Saputra, Muhammad Ginti Maya Asmara, Diki Angga Saputra, Merda Andesta, Albert Suharyadi, Nika Yuliyana, Devi Evrita Natalia, Jamiatun Hasanah, Ardiansyah (Iyan) , Edo Andika Pratama, Putri Nika Sari, Mandha Benz, Mamang Rido, Abong Nisya, Koni Aliun, Sepna Abdi Saputra, Arief Ridwan, Desen Saputra, Ardiansyah, Bramesvara Arizona, Loy Santo, Yoan Yuinta, Fransiska Jeni Oemar, Nita Oktami, Hadi Purnomo, Prima Helau Budi, yang menjadi teman berbagi di segala keadaan.

14.Rekan-rekan seperjuangan, Beri Prasetyo, Cahaya Rama Putra, Arief Chandra Gutama, Johan Azis, Yugo Dwi Prasetyo, Dico Primantara, Ardi Saputra, Lukman Hakim, L. Hendi Permana, Andi Asmoro, Adi Pangestu, Alfian Bayhaki, Ardi Muhari, Dani Aji Nugraha, Pandu Utama, Burnawan M Rusdi, Iffan Mustawa, Risky Adya Pratama, Ranu Wibowo, Elvin, Doddy Irwansyah, Indra Sukma, beserta seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas waktu dan bantuan kalian semoga kita semua menjadi orang yang berguna bagi Bangsa dan Negara.

15.Pacarku yang tersayang Emilda terima kasih atas kasih sayang, perhatian, dan kesabaranmu yang telah memberikanku semangat dan inspirasi dalam meneyelesaikan Tugas Akhir ini, semoga engkau pilihan yang terbaik buatku dan masa depanku. Terima kasih

(12)

iv

Semoga segala kebaikan dapat diterima sebagai pahala oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah dan kesalahan adalah milik penulis, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini kedepannya akan bermanfaat. Semoga Allah SWT meridhoi segala langkah hidup kita.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Penegakan Hukum Pidana... 16

B. Tindak Pidana Penyuapan ... 20

C. Satuan Polisi Pamong Praja ... 26

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana ... 30

III METODE PENELITIAN ... 33

A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

E. Analisis Data ... 36

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Karakteristik Narasumber ... 37

B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyuapan pada Penerimaan Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lampung Barat ... 38

(14)

V PENUTUP ... 74 A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 76

(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi) ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan antara lain bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia dan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam implementasinya, penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan, namun demikian dalam perkembangannya, pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.

(16)

2

Upaya pemerintah dalam memberantas segala bentuk korupsi adalah dengan memperkuat landasan hukum yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat mendukung pembentukan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan diperlukan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak hukum dalam penanggulangannya. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelengara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, bebas dari korupsi.

Untuk menjamin penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan.1

Beberapa modus operandi korupsi yaitu sebagai berikut:

1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta kekayaan negara atau keuangan negara untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain.

2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain dengan ditandainya adanya pelakuseperti memaksa seorang secara melaan hukum

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

(17)

3

yang berlaku agar memberikan sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.

3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain ditandai adanya para pelakunya, seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri agar si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit Bank dll. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Manipulasi; bentuk tindak pidana korupsi manipulasi antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark-up proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/kantor, pengeluaran anggaran fiktif.

5) Pungutan Liar; bentuk tindak pidana korupsi pungutan liar antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap seseorang/koorporasi apabila ada kepentingan atau berurusan dengan instansi pemerintah.

6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok politiknya pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan. 2

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa tindak pidana suap atau penyuapan merupakan salah satu modus tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan. Menurut Victor M. Situmorang tindak pidana penyuapan adalah kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri/pejabat dalam pekerjaannya dan kejahatan mana termasuk salah satu perbuatan pidana yang tercantum dalam KUHP sebagai berikut:3

Pasal 209 Ayat (1) KUHP:

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

ke 1 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud untuk membujuknya supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

2

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak

Pidana Korupsi. Fakutals Hukum Universitas Pakuan Bogor. 2009, hlm. 3-4. 3

(18)

4

ke 2 Barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat oleh sebab atau

karena pejabat itu dalam jabatannya sudah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal 210 KUHP:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

ke 1 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan hakim itu tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

ke 2 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan tentang perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bila pemberian atau janji itu dilakukan dengan maksud agar dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pengaturan pidana mengenai penerima suap dalam Pasal 419 KUHP sebagai berikut:

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat: ke 1 yang menerima hadiah atau janji, padahal dia tahu bahwa hadiah atau

janji itu diberikan untuk membujuknya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

ke 2 yang menerima hadiah, padahal dia tahu bahwa hadiah itu diberikan kepadanya karena dia telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

(19)

5

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

Menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, Satpol PP mempunyai fungsi:

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum, ketenteraman dan perlindungan masyarakat;

b. Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah;

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

(20)

6

lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

Setiap pelaku tindak pidana korupsi dengan modus menyalahgunakan jabatan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

(21)

7

keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia.4

Dalam Surat Dakwaan Nomor Reg.Perk: PDS-05/LIWA/1211, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Liwa mendakwa Drs. Farid Wijaya Bin Bahiki selaku Pegawai Negeri Sipil yang dalam hal ini menjabat sebagai Sebagai Kepala Kantor Satuan Polisi Pamong Praja telah meminta uang kepada Saksi Puji Widodo sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), Riza Bangsawan, Rizani dan Damrin sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Terdakwa didakwa melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dapat dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Analisis Penegakan Hukum Pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada Penerimaan Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

4

(22)

8

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat?

b. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Pemerintahan Daerah?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Pemerintahan Daerah. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Liwa dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(23)

9

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Pemerintahan Daerah

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan penegakan hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana penyuapan dan sebagai sumbangan pemikiran bagi para pejabat daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum5. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

5

(24)

10

a. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana adalah upaya aparat penegak hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana6

Penegakan hukum pidana dilaksanakan melalui beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang

6

(25)

11

telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna. 7

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut: 8 (1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan

7

Ibid. hlm. 25-26 8

(26)

12

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. (2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. (5) Faktor Kebudayaan

(27)

nilai-13

nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.9 Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum pidana adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana10

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku11

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

9

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.63 10

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.

11

(28)

14

undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum12

d. Tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

e. Satuan Polisi Pamong Praja menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja adalah bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat (Ayat 1) Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap isinya. Adapun ssecara terperinci sistematika penulisan proposal ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

12

(29)

15

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai bahan pustaka terdiri dari pengertian penegakan hukum pidana, pertanggung jawaban pidana, tindak pidana penyuapan dan satuan polisi pamong praja.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat.

V PENUTUP

(30)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana1

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui

1

(31)

17

penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.2

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan

2

(32)

18

hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control

suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 3

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Secara toeritis penegakan hukum harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu4:

a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber

3

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7. 4

(33)

19

daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut Muladi yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.5

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

5

(34)

20

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan mempengaruhi. Artinya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

B. Tindak Pidana Penyuapan

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 6

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang

6

(35)

21

yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan7

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 8

Menurut Victor M. Situmorang tindak pidana penyuapan adalah kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri/pejabat dalam pekerjaannya dan kejahatan mana termasuk salah satu perbuatan pidana yang tercantum dalam KUHP:9

Pasal 209 Ayat (1) KUHP:

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

ke 1 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud untuk membujuknya supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

ke 2 Barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat oleh sebab atau

karena pejabat itu dalam jabatannya sudah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Sesuai dengan pasal di atas maka diketahui bahwa tindak pidana penyuapan merupakan suatu perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang

(36)

22

pejabat dengan maksud untuk membujuknya supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Selain itu penyuapan juga merupakan perbuatan memberi sesuatu kepada seorang pejabat oleh sebab atau karena pejabat itu dalam jabatannya sudah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban sesuai dengan jabatan atau pekerjaannya.

Pasal 210 KUHP:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

ke 1 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan hakim itu tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

ke 2 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan tentang perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bila pemberian atau janji itu dilakukan dengan maksud agar dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(37)

23

dapat terbebas atau mendapat keringanan atas tuntutan hukum sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan.

Pengaturan pidana mengenai penerima suap dalam Pasal 419 KUHP sebagai berikut:

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat: ke 1 yang menerima hadiah atau janji, padahal dia tahu bahwa hadiah atau

janji itu diberikan untuk membujuknya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

ke 2 yang menerima hadiah, padahal dia tahu bahwa hadiah itu diberikan kepadanya karena dia telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Sesuai dengan pasal di atas maka diketahui bahwa termasuk dalam tindak pidana penyuapan yaitu pejabat yang menerima suap berupa menerima hadiah atau janji, padahal dia tahu bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk membujuknya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Selain itu pejabat yang menerima hadiah, padahal dia tahu bahwa hadiah itu diberikan kepadanya karena dia telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada beberapa kategori suap menyuap, yaitu sebagai berikut:

Pasal 5:

(38)

24

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).

Pasal 6:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud

untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud

dalam Ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).

Berdasarkan pasal-pasal di atas diketahui bahwa dalam perbuatan suap menyuap terdapat unsur pemberian dan maksud pemberian: 10

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu.

(1) Yang termasuk dengan “sesuatu” dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a adalah baik berupa benda berwujud, misalnya mobil, televisi, atau tiket pesawat terbang atau benda tidak berwujud, misalnya hak yang termasuk dalam

10

(39)

25

Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) maupun berupa fasilitas, misalnya fasilitas bermalam di suatu hotel berbintang. Memberi atau menjanjikan sesuatu tersebut dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi sendiri maupun oleh pihak ketiga demi kepentingan pelaku tindak pidana korupsi. (2) Unsur “memberikan sesuatu” atau “menjanjikan sesuatu” dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dapat dilakukan baik oleh pelaku tindak pidana korupsi sendiri maupun oleh pihak ketiga demi kepentingan pelaku

(3) Adapun yang dimaksud dengan “janji” adalah tawaran sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh si pemberi tawaran. Pada waktu menerima “hadiah atau janji”, tidak perlu dilakukan oleh Pegawai Negeri

atau Penyelenggara Negara sendiri, tetapi dapat dilakukan oleh orang lain. b. Maksud suap

(40)

26

kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.

(2) Unsur “menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya“ pada Pasal

12 Huruf a di dalam hukum pidana disebut “maksud selanjutnya” yang

tidak perlu telah tercapai pada waktu pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidana.

C. Satuan Polisi Pamong Praja

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, untuk membantu kepala daerah menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Satpol PP. Pembentukan organisasi Satpol PP ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Menurut Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

(41)

27

masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, Satpol PP mempunyai fungsi:

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum, ketenteraman dan perlindungan masyarakat;

b. Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah;

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

(42)

28

Tantangan yang perlu diwaspadai dan dijabarkan serta dikembangkan baik dalam bentuk kebijaksanaan maupun gerak operasional Polisi Pamong Praja Pemerintah pada dasarnya memiliki kewenangan strategis dalam membenahi ketimpangan dan tidak tepatnya sasaran perencanaan pembangunan kota, melalui pengaturan dan program-program kegiatan perencanaan kota yang bertujuan untuk menciptakan suasana perkotaan yang berkualitas demi kesejahteraan masyarakat.

Menurut Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP berwenang:

a. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;

b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

c. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;

d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran Perda atau peraturan kepala daerah.

(43)

29

Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat tersebut, maka Polisi Pamong Praja dituntut untuk tanggap dan mampu menciptakan suatu kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap dan terkendali, oleh sebab itu perlu dilakukan suatu pembinaan yang meliputi berbagai usaha maupun tindakan dan segala kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, penyusunan, pembangunan, pengarahan serta pengendalian segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban secara berdayaguna dan berhasil guna sehingga peranan Polisi Pamong Praja tersebut akan dapat lebih dirasakan manfaatnya di semua bidang termasuk pembangunan pemerintah dan kemasyarakatan yang tertib aman dan teratur dalam kepedulian terhadap adanya peraturan daerah yang diberlakukan.

Polisi Pamong Praja dituntut untuk memperbaiki dan menyelenggarakan berbagai kinerja yang masih lemah dengan mempertahankan dan meningkatkan serta memelihara yang sudah mantap melalui suatu pola pembinaan yang tepat dan lebih konkret bagi Polisi Pamong Praja, sehingga peranan Polisi Pamong Praja dapat lebih dirasakan manfaatnya disemua bidang termasuk pembangunan pemerintahan dan kemasyarakatan. Menyadari bahwa laju pembangunan di masa mendatang cenderung terus meningkat kapasitas maupun intensitasnya serta semakin komplek masalahnya, maka akan membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat dengan tingkat kebutuhan yang cenderung mengalami peningkatan yang semakin kompleks.

(44)

30

ketentuan peraturan perundang-undangan. Polisi Pamong Praja dapat diberikan tunjangan khusus sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib:

a. Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat;

b. Menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik polisi pamong praja;

c. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

d. Melaporkan kepada kepolisian negara republik indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana;

e. Menyerahkan kepada penyidik pegawai negeri sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga pelanggaran pada perda dan/atau peraturan kepala daerah.

(45)

31

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut: 11

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

11

(46)

32

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. (5) Faktor Kebudayaan

(47)

33

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1

(48)

34

Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

a. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(49)

35

b. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa permasalahan, seperti literatur, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.

C. Narasumber Penelitian

Penelitian ini membutuhkan narasumber untuk memberikan informasi sesuai dengan pokok permasalahan yang dibahas. Narasumber penelian ini adalah sebagai berikut:

1). Penyidik Tipikor pada Kepolisian Daerah Lampung = 1 orang 2). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 orang 3). Jaksa pada Kejaksaan Negeri Liwa = 1 orang 4). Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

(50)

36

2. Prosedur Pengolahan Data

Prosedur pengolahan data dalam penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti. b. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(51)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat meliputi:

a. Formulasi meliputi badan pembuat undang-undang membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan, salah satunya membuat peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana peyuapan oleh Pegawai Negeri Sipil, peraturan perundang-undangan peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan hukum tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat, yaitu Pasal 209 ayat (1) KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(52)

75

Kejaksanaan Negeri dan dituangkan dalam surat dakwaan dengan tuntutan hukum sesuai dengan Pasal Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pengadilan terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat, dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, untuk menegakkan keadilan berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan.

c. Eksekusi meliputi pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Liwa untuk melaksanakan pemidanaan sesuai dengan vonis hakim yaitu menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,-

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah sebagai berikut:

a. Faktor penegak hukum, yaitu adanya profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat.

(53)

76

c. Faktor masyarakat, yaitu adanya kesadaran masyarakat untuk tidak memberikan sejumlah uang kepada pejabat atau pihak tertentu yang mengaku dapat meluluskan peserta tes Satpol PP dan kesediaan masyarakat menjadi saksi dalam pengadilan.

d. Faktor kebudayaan, yaitu adanya nilai dan norma bahwa penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang lain yang harus diberi hukuman setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kerja dalam menangani dan menyelesaikan tindak pidana penyuapan secara cepat, akuntabel dan benar.

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Husein. 2004. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES. Jakarta.

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.2010.

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Arief, Badra Nawawi. 2003. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Halim, Abdul. 2004. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Rajawali Press. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra

Adityta Bakti, Bandung.

Moeljatno, 1983. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia, Rineka Cipta, Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya.

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial

dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Setiadi, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

(55)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden Serta Bekas Presiden dan Bekas Wakil Presiden Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul Pola Distribusi Penyu Lekang ( Lepidochelys olivacea ) Berdasarkan Struktur Genetik di Teluk Cendrawasih, Pulau

Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra, Indonesia, dan Daerah serta Pembimbing II yang berkenan meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga dalam memberikan

(4) Rencana peruntukan lahan daratan dan perairan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) digunakan untuk menentukan kebutuhan penempatan fasilitas dan kegiatan operasional

Promosi pertama kurang efektif karena masih trial and error , hal itu dikarenakan masih minimnya informasi tentang kota, jenis kelamin, serta umur dari masyarakat

menit  sumber Sejarah Buku SMA – (hal 83 – 88)  Peta konsep  OHP  Prinsip- prinsip dasar dalam penelitian sejarah lisan  Melakukan penelitian mengenai

Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh

Pernyataan demikian berdasarkan ketemtuan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut :…”maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang