ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDITAS
BANK SYARIAH
(Studi Kasus Bank Syariah Mandiri)
Oleh :
SHOPY NADIA
106081002495
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii
ABSTRACT
The purposes of this research to analyze which variables of liquidity buffer
in banks. This research applied multiple regression model to analyze relevant
variables. This research took a case study in PT. Bank Syariah Mandiri during
2007-2009. Dependent variable is liquidity buffer, while independent variables are
deposit, availability of liquid assets, loan growth, intern bank money market and
other sources of fund, current liabilities, and profit. The result showed that there
were all variables that simultaneously statistically significant which are deposit,
availability of liquid assets, loan growth, intern bank money market and other
sources of fund, current liabilities, and profit. Partially five variables has negative
correlation with bank liquidity buffer. Other variables (current liabilities)
statistically do not show significant correlation with liquidity buffer.
iv
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap likuiditas bank dalam bentuk
buffer
likuiditas. Penelitian dilakukan
menggunakan model regresi berganda untuk menganalisis variabel-variabel yang
diteliti, dengan studi kasus pada PT. Bank Syariah Mandiri pada periode tahun
2007-2009. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah likuiditas bank berupa
buffer
likuiditas. Sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah jumlah dana
pihak ketiga, ketersediaan asset siap konversi menjadi kas, pertumbuhan
pembiayaan, akses pasar antar bank, kewajiban lancar, dan keuntungan bank. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel secara simultan signifikan
terhadap tingkat buffer likuiditas bank yaitu jumlah dana pihak ketiga, ketersediaan
asset siap konversi menjadi kas, pertumbuhan pembiayaan, akses pasar antar bank,
kewajiban lancar, dan keuntungan bank. Secara parsial tardapat lima variabel
memiliki korelasi negatif terhadap
buffer
likuiditas. Sedangkan variabel lainnya
(kewajiban lancar) secara statistik tidak signifikan mempengaruhi tingkat
buffer
likuiditas bank.
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………...i
LEMBAR PERNYATAAN ………..ii
ABSTRACT ………..iii
ABSTRAK ……….iv
KATA PENGANTAR………..……….. v
DAFTAR ISI ………. vi
DAFTAR GAMBAR ……… viii
DAFTAR TABEL ……….. ix
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Perumusan Masalah……… 14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 16
A. Sejarah Singkat Perbankan……….. 16
B. Islam dan Perbankan……… 16
C. Sejarah Perbankan Syariah……… 18
D. Pengertian Bank dan Perbankan Syariah………... 19
E. Hubungan ALMA dan Likuiditas ……… 23
F. Pengelolaan Likuiditas……… 23
G. Pengertian Likuiditas………... 26
H. Bank Sebagai Penjamin Likuiditas……….. 28
vii
J. Kerangka Teori Buffer Likuiditas……… 33
K. Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen….. 35
L. Penelitian Terdahulu……… 43
M. Kerangka Berpikir... 48
N. Hipotesis... 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 51
A. Ruang Lingkup Penelitian ……….. 51
B. Metodologi Penentuan Sampel ……… 51
C. Metode Pengumpulan Data……….. 52
D. Metode Analisis Data………... 52
E. Operasional Variabel Penelitian………... 53
F. Uji Asumsi Klasik ………... 55
G. Analisis Regresi Linier Berganda ………. 57
H. Uji Hipotesis………. 58
BAB IV PENEMUAN DAN PEMBAHASAN ... 63
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian……… 63
B. Penemuan dan Pembahasan……… 65
BAB V PENUTUP ... 78
A. Kesimpulan……… 78
B. Saran……….. 78
DAFTAR PUSTAKA ... 80
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Dampak likuiditas yang dipengaruhi keputusan manajemen bank 25
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ……… 49
Gambar 4.1 Scatterplot ……….. 68
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ………. 66
Tabel 4.2 Model Summary (Koefisien Determinasi (R2) ) ………... 71
Tabel 4.3 ANOVA (Uji F) ……….. 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan bank syariah yang pesat terasa sejak pemerintah dan Bank
Indonesia memberikan komitmen besar dan menempuh berbagai kebijakan untuk
mengembangkan bank syariah dengan serius, khususnya dengan perubahan UU
Perbankan no. 10 tahun 1998. Berbagai kebijakan tersebut tidak hanya menyangkut perluasan jumlah kantor dan operasi bank syariah untuk
meningkatkan sisi penawaran, tetapi juga sisi permintaan. Perkembangan yang
pesat terutama tercatat sejak dikeluarkannya ketentuan Bank Indonesia yang
member ijin kepada bank konvensional untuk mendirikan Unit Usaha Syariah
(UUS). Sejak itu kantor dan operasi bank syariah tumbuh dimana-mana.
Pentingnya sistem finansial termasuk di dalamnya sektor perbankan dalam
sebuah perekonomian sudah banyak dibahas. Namun, mengingat jumlah BUS dan
UUS, besaran pangsa pasar DPK, pembiayaan (kredit), komposisi dana dan
pembiayaan, serta rasio FDR, maka manajemen asset dan liability (Assets and
Liability Management - ALM) bank syariah di Indonesia menjadi masalah yang
menarik untuk dikaji. ALM adalah sebagai proses manajemen untuk mendapatkan
penetapan kebijakan di bidang pengelolaan permodalan, pemupukan dana dan penggunaan dana yang saling terkait dalam mencapai tingkat laba yang optimal
dengan tingkat risiko yang telah diperhitungkan (Riyadi, 2004:21). ALM suatu
2 Sebagaimana dikemukakan oleh Dimond dan Dybvig (1983), satu kunci
mengapa bank merupakan institusi yang rapuh adalah karena peran bank dalam mentransformasi maturity dan menyediakan jaminan terhadap kebutuhan
likuiditas potensial deposannya. Meski begitu, hampir tidak ada usaha yang
dicurahkan untuk menganalisis salah satu kunci agar bank menjadi institusi yang
lebih aman yaitu asset likuid yang dipegang bank. Seberapa banyak likuiditas
yang bank mesti pegang sebagai alat pengaman dirinya saat ada kebutuhan
likuiditas mendadak? Berapa besar ukuran buffer likuiditas yang dapat
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal bank? (Aspachs, 2005:3).
Bila dibahas dari faktor internal, maka bank syariah sebagaimana bank
konvensional merupakan institusi yang menghimpun dana dari masyarakat,
mentransformasikan dana tersebut menjadi asset produktif dan menjamin
likuiditas dana yang disimpan bagi masyarakat. Likuiditas dana merupakan
jaminan bagi masyarakat untuk dapat menarik dananya kapanpun dan dalam
jumlah berapapun diperlukan. Pada sisi lain aktiva produktif bank yang berupa
pinjaman atau kredit tidak dapat setiap saat ditarik / dibayarkan. Hal ini
menjadikan bank rentan terhadap gejolak likuiditas yang bersumber dari sisi pasiva bank. Bila bank menghadapi penarikan dana dalam jumlah besar, bisa jadi
bank harus menjual asetnya yang tidak likuid. Apabila penjualan asset yang tidak
likuid jumlahnya sangat signifikan bagi bank, hal ini dapat menyebabkan kondisi
insolven (Aspachs, 2005:3).
Sedangkan bila dikaitkan dengan faktor eksternal berupa system moneter
3 perbankan terutama pasar uang antar bank dan instrumen moneter berupa
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Bank menjadi kuat tidak hanya karena kondisi bank itu sendiri, tetapi juga sebagaimana sistem perbankan dan sistem investasi
yang ada mampu memenuhi kebutuhan suatu bank untuk melakukan ekspansi
pasif dan aktif. Adapun instrumen moneter berupa Treasury bills pada bank
sentral atau berupa SBI di Indonesia merupakan instrumen likuiditas sekaligus
alat investasi. Bahkan akhir-akhir ini di Indonesia, ada perubahan paradigma
bahwa SBI telah menjadi alternatif pilihan investasi perbankan (Nurwadono,
2006:21).
Likuiditas mempunyai pengertian sebagai sumber pendanaan yang cukup
tersedia untuk memenuhi semua kewajiban, mempunyai uang ketika dibutuhkan,
kemampuan untuk menjamin tersedianya dana untuk memenuhi komitmen pada
tingkat harga yang pantas setiap saat.
Likuiditas suatu aset berasal dari salah satu dari dua sumber yaitu daya cair
asset itu sendiri (Self contained liquidity) dan daya jualnya (Marketability) (Arifin,
2002:143). Self contained liquidity menggambarkan jatuh temponya asset, sedangkan marketability adalah kemampuan untuk menukarkan asset menjadi
uang melalui penjualan asset tersebut kepada investor lain di pasar sekunder
(secondary market). Karena itu obligasi berjangka panjang dapat dipandang lebih
likuid dibandingkan kredit jangka pendek, karena meskipun jangka waktu obligasi
lebih lama dari pada kredit, bank dapat menjualnya di pasar sekunder. Jadi
likuiditas asset tergantung pada tingkat kemudahannya untuk dikonversikan
4 Aspachs (2005:10-11) menunjukkan bahwa likuiditas juga dipengaruhi oleh
tingkat profitabilitas pada periode berjalan yang menjadi sumber likuiditas bank pada periode berikutnya.
Pengukuran likuiditas pada bank adalah pengukuran yang bersifat dilematis,
karena di satu sisi usaha bank yang utama adalah memasarkan dan atau memutar uang para nasabahnya untuk mendapatkan keuntungan. Artinya bisnis perbankan
harus memaksimalkan pemasaran uangnya dan sekecil mungkin mencegah uang
menganggur (idle money). Disisi lain, untuk dapat memenuhi kewajibannya
terhadap para deposan dan debitur yang sewaktu-waktu menarik dananya dari
bank, bank dituntut selalu dalam posisi siap membayar, yang artinya bank harus
mempunyai cadangan uang menganggur yang cukup. Secara spesifik, maka alat
likuid dalam bentuk cadangan uang menganggur adalah kas dan setara kas seperti
giro pada bank sentral dan giro pada bank lain, ditambah dengan investasi lain
yang mudah dicairkan seperti surat berharga.
Keadaan tersebut merupakan dilema yang dihadapi oleh perbankan, karena
antara kebutuhan likuiditas dan tingkat keuntungan yang akan dicapai mempunyai
sisi yang bertolak belakang. Semakin tinggi tingkat likuiditas berarti akan
semakin banyak uang yang menganggur berarti pemasaran uang tidak maksimal
dan akhirnya bank tidak bisa memaksimalkan keuntungan (Judisseno, 2002:138).
Penyediaan likuiditas berarti pengeluaran biaya berupa biaya karena
5 meliput risiko apabila kekurangan likuiditas (risk of insufficient liquidity) (Yamin,
193:25).
Untuk memenuhi likuiditas, bank harus memiliki non-earning assets dalam
bentuk uang tunai / cash equivalent. Likuiditas dan profitabilitas dalam
manajemen likuiditas selalu berlawanan, dalam arti apabila menahan alat likuid yang terbatas, maka biaya likuiditas dapat ditekan, namun resiko gangguan
likuiditas menjadi besar. Apabila menahan alat likuid yang cukup besar, maka
biaya likuiditas menjadi besar, namun resiko gangguan likuiditas menjadi kecil
(Yamin, 1993:25-26).
Bank menghadapi resiko likuiditas yaitu risiko likuiditas pendanaan dan
risiko likiditas trading-related (Norman, 2005:5). Risiko likuiditas pendanaan
adalah kemampuan suatu institusi untuk memperoleh dana guna membayar
kewajiban, menghimpun dana, collateral requirement dari counterparty dan
kemampuan memenuhi penarikan dana nasabahnya. Sedangkan risiko likuiditas
trading-related adalah risiko ketika bank tidak mampu mengeksekusi sebuah
transaksi pada harga pasar yang berlaku. Jika transaksi tidak bisa ditunda, maka eksekusi yang dilakukan akan mengakibatkan substantial lost (kerugian besar).
Risiko pendanaan dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu maturity liabilities (jatuh
tempo kewajiban), termin pembiayaan besarnya dana yang dihimpun, kemampuan
untuk mengakses pasar uang, penarikan dan oleh nasabah dan keadaan dimana
6 Dari pengertian diatas, maka rasio likuiditas bank dapat meliputi beberapa
ukuran seperti (Aspachs, 2005:10, Antariksa, 2006:1, Judisseno, 2002:139) :
Pengukuran jumlah asset likuid bank dibandingkan dengan total asset yang dimiikinya yang menunjukkan proporsi asset likuid dalam neraca bank. Rasio ini
juga disebut dengan LTA (rasio of liquid assets to total assets). Pengukuran
jumlah asset likuid dibandingkan dengan total dana pihak ketiga yang
menunjukkan buffer aset likuid terhadap perhitungan maturity mismatch. Rasio ini
juga disebut dengan LAD (rasio of likuid assets to deposits). Pengukuran
kemampuan bank membayar kembali kewajibannya dengan harta lancar (cash
assets) yang dimilikinya, disebut quick ratio. Pengukuran kemampuan bank
membayar kembali kewajibannya dengan surat berharga, disebut juga dengan
istilah investing policy ratio. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali
kewajibannya dengan menarik kembali kredit-kredit yang pernah dicairkan oleh bank, disebut dengan banking ratio. Pengukuran kemampuan bank untuk
memenuhi permintaan kredit dengan harta bank yang tersedia, disebut loan to
assets ratio. Pengukuran tingkat likiditas penanaman dana dalam surat berharga,
disebut dengan istilah investment portofolio ratio. Pengukuran kemampuan bank
membayar kembali kewajibannya yang sudah jatuh tempo dengan harta lancar
yang dimilikinya, disebut dengan istilah cash ratio.
Esensi manajemen likuiditas ketika adanya trade off antara likuiditas dan
profitabilitas, sehingga ada mismatch antara kebutuhan dan penyediaan aset
7 digunakan sebagai cadangan pada dana likuiditas, menjadikan bank harus
membuat investasi setelah mempunyai likuiditas cukup. Bank tidak mempunyai kontrol terhadap sumber dana tetapi bank dapat mengontrol penggunaan dana
terhimpun dengan mengatur prioritas likuiditas bank dalam alokasi dana yang
tersedia. Hal ini sebenarnya merupakan sifat umum perbankan dimana pinjaman
atau piutang memiliki yield yang tinggi namun merupakan aset yang tidak likuid.
Makin tinggi derajat likuiditas suatu portofolio maka makin rendah yield yang
dihasilkan.
Manfaat pengukuran likuiditas bagi bank adalah mempertinggi kepercayaan
masyarakat dan pemerintah. Walaupun kriteria mengenai baik buruknya tingkat
likuiditas bank sulit disimpulkan, masyarakat sangat berkepentingan dengan
likuiditas bank untuk mengetahui sampai sejauh mana bank dapat memberikan
keleluasaan bagi nasabah jika sewaktu-waktu menarik dananya yang tersimpan. Salah satu indikator yang menjadi pegangan masyarakat untuk mengetahui baik
buruknya likuiditas tercermin pada produk dan jasa yang ditawarkan oleh bank.
Semakin canggih suatu sistem penarikan dana dan jasa lalu lintas pembayaran,
misalnya dengan menggunakan ATM, Internet banking, dan mobile banking,
secara tidak langsung mencerminkan likuiditas bank semakin baik. Sedangkan
bagi bank sendiri untuk dapat mengukur baik buruknya tingkat likuiditas harus
dapat memperhatikan faktor-faktor sejarah pengalaman perbankan yang kualitatif
seperti situasi kondisi perekonomian pada lokasi operasional bank, peraturan dan
8 dananya, jenis pekerjaan dan usaha nasabah serta kondisi perekonomian dan
politik pada umumnya.
Selain memperhatikan kondisi-kondisi kualitatif diatas, bank dalam menentukan kebijakan likuiditasnya harus memperhatikan ketetapan yang
dikeluarkan oleh regulator seperti Legal reserve requirement atau cash ratio yaitu
cadangan kas yang harus dimiliki oleh bank. Working capital requirement yaitu
kebutuhan penyediaan aktiva lancar. Short term liquidity requirement yaitu
penyediaan aktiva lancar yang perlu di pertahankan untuk mengantisipasi
kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo. Cyclical and secular liquidity yaitu
penyediaan harta lancar untuk menghadapi fluktuasi ekonomi. (Judisseno,
2002:140)
Meski tidak disebutkan secara khusus untuk bank syariah, otoritas perbankan sangat memperhatikan risiko likuiditas. Likuiditas ini diatur BCBS
dalam Basel II dimana likuiditas dianggap sebagai hal penting untuk
kelangsungan usaha dari tiap organisasi perbankan. Posisi modal bank dapat
mempengaruhi kemampuan mereka memperoleh likuiditas, terutama pada saat
kritis. Setiap bank harus memiliki sistem yang mengendalikan risiko likuiditas.
Bank harus mengevaluasi kecukupan modal berdasarkan profil likuiditas mereka
dan likuiditas pasar dimana mereka beroperasi (BCBS, 2006:232). Sedangkan BI
sebagai bank sentral di Indonesia mengatur likuiditas bank melalui kebijakan
menyangkut giro wajib minimum (GWM), GWM dan Rasio LDR, Pasar uang
9 Industri perbankan global melalui Basel Committee on Banking Supervision
(BCBS) dari Bank for International Settlements (BIS) pertama kali mengatur masalah likuiditas melalui A Framework for Measuring and Managing Liquidity
yang di publikasikan September 1992. Framework tersebut membahas model
manajemen likuiditas yang digunakan oleh bank-bank besar berskala internasional
baik dalam kondisi normal sehari-hari maupun dalam skenario krisis. Secara
umum topik yang dibahas adalah model kerangka pengukuran dan manajemen
likuiditas yang memasukkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif.
Seiring dengan perkembangan inovasi teknologi dan finansial, maka
Framework September 1992 diperbaharui pada Februari 2000 melalui publikasi
berjudul Sound Practice for Managing Liquidity in Banking Organization.
Perubahan yang terjadi dalam kurun waktu 8 tahun adalah terutama pada
pergerakan deposito dan dana yang mengakibatkan krisis keuangan global pada tahun 1997-1998. Hal-hal yang dibahas dalam publikasi Februari 2000 adalah
struktur pengelolaan likuiditas, pemantauan kebutuhan dana, akses pasar
likuiditas, rencana kontijensi (contigency), pengelolaan valuta asing, pengawasan
internal, pengungkapan pada publik dan peran dari otoritas perbankan. Secara
spesifik, BIS juga mempublikasikan tulisan berjudul The Management of Liquidiy
Risk in Financial Groups pada May 2006. Tulisan ini berisi hasil kajian mengenai
praktek manajemen risiko likuiditas pendanaan (funding) pada sektor perbankan,
sekuritas, dan asuransi. Pembahasannya antara lain adalah model manajemen
risiko likuiditas, dampak peraturan dari otoritas, permasalahan yang timbul, stress
10 Dengan terpenuhinya kriteria mengenai likuiditas bank secara kualitatif dan
kuantitatif, suatu bank dapatlah disebut “sehat”, dalam pengertian mendapat pengakuan dan kepercayaan dari pemerintah dan pengguna jasa bank lainnya.
Besar kecilnya masing-masing rasio menentukan likuid dan tidaknya suatu bank.
Namun bukan berarti semakin besar rasio likuiditas otomatis menunjukan hasil
yang baik, melainkan tergantung kepada masing-masing pengukuran dan
kepentingan rasio itu sendiri. Misal pada pengukuran likuiditas dengan rasio Loan
to assets, hasil yang semakin rendah menunjukkan tingkat yang lebih baik
(Judisseno, 2002:139-140).
Bank syariah dengan pangsa pasar kecil yang berkembang pesat memiliki
instrumen likuid dan investasi yang terbatas, tetap harus mampu likuiditasnya
sehingga bank tetap mampu memiliki kas untuk kewajiban jangka pendek dengan
menjaga tingkat keuntungan yang optimal. Sebagaimana bank pada umumnya, inti ALM adalah bank harus menjaga antara rentabilitas dan likuiditas (Wijaya,
1991:vii). Likuiditas suatu bank mengharuskan kemampuan suatu bank untuk
memenuhi seluruh kewajibannya. Jika bank syariah tidak mampu memenuhi
kewajiban likuiditasnya maka akan dapat menimbulkan fenomena individual bank
runs yang dapat mengarah pada public distrust. Karena itu sangat menarik untuk
membahas likuiditas bank, terutama bank syariah.
Bank syariah dalam mengendalikan likuiditasnya berhadapan dengan
perbedaan karakteristik dengan bank konvensional. Hal ini sejalan dengan prinsip
11 bentuk transaksi, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis
pada perolehan keuntungan yang sah menurut syariah. (Arifin, 2005:12)
Keuntungan bank konvensional, bank dapat mengharapkan keuntungan tinggi bila mengambil bunga tinggi dan menerima likuiditas (Arifin, 2002:141).
Penerimaan bank dihubungkan dengan tingkat bunga dan risiko likuiditas
sehingga bank harus menyesuaikan strateginya melalui siklus tingkat suku bunga.
Sedangkan bank syariah dalam pengelolaan likuiditasnya tidak saja berhadapan
dengan trade off antara risk vs return, namun juga berhadapan dengan prinsip
yang berlaku dan kepercayaan masyarakat. Prudential banking dalam perbankan
syariah adalah hal pokok karena merupakan prinsip dasar (amanah) sebagaimana
terdapat dalam cetak biru perbankan syariah dan tata prilaku (code of conduct)
perbankan syariah sangat diatur oleh Dewan Pengawas Syariah (Norman, 2005:3).
Meskipun belum memiliki mekanisme manajemen likuiditas baku, perbankan syariah harus mampu mengidentifikasi permasalahan tersebut sebagai
kerangka dalam membangun mekanisme likuiditas. Risiko bank syariah dalam
aspek likuiditas adalah adanya batasan fiqh terhadap sekuritisasi aset yang ada
dari bank syariah, dimana aset tersebut di dominasi oleh pembiayaan. Hal ini
mengakibatkan aset bank syariah tidak lebih likuid bila dibandingkan bank
konvensional. Bank syariah kurang dapat memperoleh dana secara cepat dari
pasar karena lambatnya perkembangan instrumen keuangan syariah. Hal ini
diperburuk oleh tidak adanya pasar uang antar bank syariah. Belum adanya
12 hingga saat ini. Hal ini seharusnya mendorong pembuatan instrumen keuangan
syariah yang menggunakan dana idle dari bank syariah.
Secara umum bank konvensional dapat menjaga likuiditasnya sesuai ketentuan regulator, namun bank syariah memiliki kelebihan likuiditas. Padahal
terdapat potensi yang besar bagi bank syariah untuk mengembangkan instrumen
keuangan di pasar uang dan pasar modal, sehingga bank syariah dapat
memaksimalkan kelebihan dana untuk menaikan pendapatan. Akhirnya bank
syariah membiarkan diri untuk kehilangan kesempatan di pasar uang dan
menyimpan dananya di bank konvensional tanpa menerima bunga sebagai
imbalan yang diterimanya (Arifin, 2002:180). Lebih lanjut, likuiditas bank syariah
dipengaruhi beberapa hal yaitu volatilitas dari simpanan nasabah, ketersediaan
aset yang dikonversi menjdi kas, akses pasar uang antar bank dan sumber dana
lain termasuk fasilitas LOLR dari bank sentral, serta komitmen bank kepada nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan
investasi.
Ahmed (2001:15) dikutip dari Aji Erlangga menjelaskan bahwa bank
syariah menghadapi masalah serius dengan likuiditas berupa kelebihan atau
kekurangan cash dalam jangka pendek. Dalam studinya, bank syariah seringkali
memegang idle cash dalam jumlah besar karena tidak dapat menginvestasikan nya
pada penempatan atau surat berharga yang menghasilkan bunga. Lebih lanjut,
ditemukan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan perbedaan berarti dalam surat
13 jatuh tempo jangka pendek atau jangka panjang. Secara khusus, Ahmed
menyebutkan bahwa aset yang likuid berarti obyek investasi dimana bila bank ingin mengkonversinya menjadi cash, maka dapat dilakukan dengan segera dan
tidak mengalami kerugian. Kemudian surat berharga dimana penjualannya pada
volume tertentu di pasar tidak mengubah harga pasar secara signifikan, dan aset
likuid (kas / setara kas).
Dari uraian diatas, tampak bahwa bank syariah memiliki persoalan
sebagaimana bank konvensional dalam pengelolaan likuiditas bank. Pada satu sisi
kekurangan likuiditas dapat mengganggu jalannya operasional bank, namun pada
sisi lain kelebihan likuiditas akan memiliki biaya dan opportunity cost of return
yang hilang. Untuk dapat mengelola likuiditas, maka bank perlu mengetahui
faktor yang mempengaruhi likuiditas sehingga dapat mengelola
14
B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini disusun pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh antara jumlah dana pihak ketiga, keuntungan
perusahaan, loan growth, aset siap konversi menjadi kas, akses pasar antar
bank dan sumber dana lainnya, kewajiban lancar terhadap tingkat buffer
likuiditas BSM?
2. Variabel independen (Dana Pihak Ketiga, Profit Bank, Pembiayaan, Aset
Siap Konversi Menjadi Kas, Akses Pasar, Kewajiban Lancar) manakah
yang paling dominan mempengaruhi tingkat buffer likuiditas BSM?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C.1 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel manakah
yang dominan pengaruhnya terhadap tingkat likuiditas bank syariah.
1. Menganalisis pengaruh jumlah Dana Pihak Ketiga, keuntungan
perusahaan, loan growth, aset siap konversi menjadi kas, akses pasar
antar bank dan sumber dana lainnya, kewajiban lancar terhadap tingkat
likuiditas BSM.
2. Menganalisis Variabel independen (Dana Pihak Ketiga, Profit Bank,
Pembiayaan, Aset Siap Konversi Menjadi Kas, Akses Pasar, Kewajiban
15 C.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan memberi kontribusi :
1. Bagi Perusahaan
Perusahaan dalam hal ini Bank Syariah Mandiri dapat mengetahui apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas dan membantu dalam
rangka mengambil keputusan.
2. Bagi Akademisi
Memberi masukan kepada akademisi sebagai bahan diskusi,
memperluas pengetahuan dan untuk penelitian lebih lanjut.
3. Bagi Pemerintah
Memberikan masukan dalam rangka penyusunan kebijakan bagi
regulator perbankan yaitu Bank Indonesia (BI)
4. Bagi peneliti
Manfaat bagi peneliti sendiri adalah menambah wawasan, pengetahuan,
pengalaman dan referensi baru mengenai tema faktor-faktor yang
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Singkat Perbankan
Kegiatan Perbankan mulai dikenal pada zaman Babylonia, kemudian
berkembang ke zaman Yunani kuno serta zaman Romawi. Pada saat itu kegiatan
utama bank baru sebatas sebagai tempat tukar menukar uang oleh para pedagang valuta asing (money changer).
Dalam perkembangannya, perkembangan perbankan tidak terlepas dari
perkembangan perdagangan. Seiring dengan perkembangan perdagangan dunia, maka perkembangan perbankan pun semakin pesat. Perkembangan perdagangan
yang semula hanya berkembang di daratan Eropa akhirnya menyebar ke Asia
Barat. Bank-bank yang sudah terkenal pada saat itu di Benua Eropa adalah Bank
Venesia tahun 1171, kemudian menyusul Bank of Genoa dan Bank of Barcelona
tahun 1320, sebaliknya, perkembangan perbankan di daratan Inggris baru dimulai
pada abad ke 16. Namun karena Negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis,
Belanda, Spanyol, atau Portugis begitu aktif mencari daerah perdagangan yang
kemudian menjadi daerah jajahannya, maka perkembangan perbankan pun ikut
dibawa ke Negara jajahannya. (Kasmir, 2004:15).
B. Islam dan Perbankan
Islam adalah kata bahasa arab yang terambil dari kata Salima yang berarti
17 Pencipta seluruh alam semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian, Islam berarti
penyerahan diri kepada Allah SWT.
Islam secara bahasa yang berarti selamat merupakan agama samawi yang
mengatur seluruh kehidupan saat ini (dunia) dan kehidupan selanjutnya (akhirat).
Islam sebagai way of life merupakan agama yang memberikan petunjuk melalui Rasulnya, petunjuk itu segala sesuatu yang berupa akidah, akhlak, dan syariah.
Kaidah dan akhlak bersifat konstan, artinya tetap tidak mengalami perubahan
apapun dengan berbedanya perubahan waktu dan tempat.
Syariah Islam mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan yang lain. Syariah Islam bersifat komprehensif (menyeluruh) dan universal.
Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik
ritual (ibadah) maupun sosial (mualmalah) (Antonio, 2001:4). Ibadah bertujuan
untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya
(hablu mina Allah). Muamalah bertujuan untuk menjaga hubungan harmonisasi
dengan alam sekitar diantaranya dengan manusia itu sendiri (hablu mina An-nas).
Universal bermakna syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan
tempat sampai akhir nanti (Antonio, 2001:4). Universal terefleksikan dalam
muamalat yang tidak membedakan antara muslim dan non muslim. Selain itu
universal berarti mempunyai cakupan yang luas dan fleksibel.
Salah satu cabang syariah Islam adalah muamalah yang apabila ditelusuri
kebawahnya, maka muamalah ada yang mengatur tentang perbankan. Bank
18 syariah juga mengadopsi dari perbankan konvensional selama itu tidak
berbenturan dengan prinsip dan akidah Islam. Bank syariah yang merupakan bank yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Al
Hadits. Bank syariah berbeda dengan bank konvensional, bank syariah
mempunyai karakteristik yang unik yaitu dalam pengambilan keuntungannya
bukan dari bunga melainkan dari nisbah bagi hasil. Tujuan utama dari bank
syariah adalah untuk mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah
dan tradisinya kedalam transaksi keuangan dan perbankan. Prinsip utama yang
diikuti oleh bank syariah itu adalah (Arifin, 2006:2) :
1. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi,
2. Melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan
keuntungan yang sah,
3. Memberikan zakat.
C. Sejarah Perbankan Syariah
Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan Al-Amin dipercaya oleh
masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir
sebelum Rasul hijrah ke Madinah beliau meminta Sayyidina Ali r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. Dalam konsep ini,
yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut.
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin Al-Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman.
Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda : Pertama, dengan
19 memanfaatkannya. Kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban
mengembalikannya utuh.
Sahabat lain Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kuffah.
Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke
adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak (Karim, 2004:18).
Berkembangnya bank-bank dengan landasan syariah Islam di berbagai
Negara pada dekade 1970-an, berpengaruh pula ke Indonesia. Pada awal 1980-an,
diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan.
Sejumlah tokoh yang terlibat dalam diskusi itu antara lain : Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefuddin, M. Amin Aziz, dan
beberapa tokoh lainnya.
Namun prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam baru
dilakukan pada 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah melalui satu
lokakarya, akhirnya membentuk satu kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan
MUI. Tim itu bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
terkait. Hasil tim kerja tersebut akhirnya melahirkan Bank Muamalat Indonesia.
Akte pendirian bank itu ditandatangani pada 1 November 1991. Namun baru pada tanggal 1 Mei 1992 BMI mulai beroperasi dengan modal awal sekitar Rp. 106
miliar. (Nasution, 2006:294).
D. Pengertian Bank dan Perbankan Syariah
Bank bersal dari kata banque dalam bahasa Prancis dan kata banco dari
20 sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, uang, berlian,
dan sebagainya. Bank merupakan lembaga keuangan depository atau depository intermediary, maksudnya lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat yang
kelebihan dana (unit surplus) baik berupa tabungan, deposito, ataupun tabungan
dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. Unit surplus
dapat berupa perusahaan, pemerintahan dan rumah tangga yang memiliki
kelebihan pendapatan setelah dikurangi kebutuhan untuk konsumsi (Siamat,
2004:6).
Pengertian bank menurut UU No.7 Tahun 1993 tentang perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 adalah (Siamat,
2004:87) :
1. Bank dalah badan usaha yang menhimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup masyarakat banyak.
2. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
3. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Nama lain yang digunkan untuk sebutan bank syariah adalah bank Islam.
21 berbeda. Syariah berarti tata cara atau aturan sedangkan Islam artinya salam,
damai, selamat, berserah diri. Tetapi secara teknis untuk penyebutan bank syariah dan bank Islam mempunyai pengertian yang sama.
Menurut ensiklopedi Islam, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan jasa kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip-prinsip Syariat Islam (Sumitro, 2004:5)
Berdasarkan pengertian diatas maka, bank syariah merupakan bank yang
prosedur operasionalnya berdasarkan pada prosedur muamalat secara Islam, yaitu merujuk kepada kaidah-kaidah Al Qur’an dan Al Hadits. Sedangkan pengertian
muamalat adalah kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara sesama manusia
(hblu mina An-nas). Bidang Muamalat meliputi kegiatan bunga (riba), jual beli
(ba’i), gadai (rahn), memindahkan utang (hiwalah), mudharabah, musyarakah,
sewa (ijarah).
Didalam operasionalnya bank Islam harus mengikuti dan atau berpedoman
kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah bentuk-bentuk
usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagi hasil dari ijtihad para ulama atau cendikiawan
muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Al Qur’an dan Al Hadits (Sumitro,
1996:6).
22 tertentu, seiring dengan naik turunnya peradaban umat muslim. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang asing bagi umat muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang
sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang
dilakukan insya Allah akan menjadi lebih mudah. (Karim, 2007:27)
Bank Islam akan memperoleh pendapatan dari pembiayaan investasi
al-Mudharabah dan al-Musyarakah berupa bagi hasil usaha, dari pembiayaan
pengadaan barang al Murabahah, al Bai bitsaman ajil, dan al ijarah berupa mark
up dan sewa. Dari pemberian pinjaman berupa biaya administrasi, dan dari
penggunaan fasilitas berupa fee. Semua pendapatan ini dikumpulkan dalam
”pendapatan bagi hasil bank untuk dibagikan”. (Perwataatmadja, 1992:43).
Pada sisi pengerahan dana profil Bank Syariah ditampilkan dalam bentuk
kebersamaan memperoleh bagi hasil dari usaha bank, baik pada waktu
perekonomian nasional sedang bergairah maupun perekonomian nasional sedang
lesu. Transparansi secara otomatis diperoleh para pemegang rekening tabungan
mudharabah dan deposito mudharabah dengan mengikuti naik turunnya
pendapatan, bersamaan dengan naik turunnya hasil usaha bank karena situasi
perekonomian yang berlaku pada waktu itu. (Perwataatmadja, 2007:216)
Peranan utama Bank Indonesia dalam pengembangan bank syariah adalah
dalam mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan bank syariah yang
sehat dan konsisten (Istiqomah) terhadap prinsip-prinsip syariah. Atau lebih
23 menggerakkan sektor riil melalui kegiatan pembiayaan berbasis ekuitas dalam
kerangka tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan umat (Bank Indonesia, 2003: 194-195).
E. Hubungan ALMA dan Likuiditas
Asset – Liability Management (ALMA) merupakan fungsi manajemen
bank yang paling utama dalam menata portofolio pada kedua sisi neraca bank.
Pengaturan ini di tujukan untuk mencapai pendapatan yang optimal setelah
dilakukan perhitungan risiko yang mungkin timbul. Kemampuan ALMA yang
tinggi pada bank tertentu akan menampilkan kondisi bank yang baik, sebaliknya
keputusan dan pengawasan ALMA yang lemah dapat mengakibatkan kehancuran
bank tertentu.
Terdapat empat fungsi utama dalam ALMA, yaitu (1) Pengelolaan
Likuiditas, (2) Pengelolaan GAP, (3) Pengelolaan Valuta Asing, serta (4)
Pengelolaan investasi dan pendapatan.
F. Pengelolaan Likuiditas.
Pegelolaan Likuiditas dilakukan agar bank memiliki kemampuan mendapatkan sumber dana yang tepat dalam memenuhi seluruh kewajiban yang
jatuh tempo dan juga memenuhi kebutuhan operasinya sesuai dengan kebijakan
perusahaan. Kebutuhan dana tersebut meliputi minimum cash ratio sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia dan kebutuhan dana untuk mencukupi kebutuhan kas
24 Hal penting yang harus diperhatikan bank adalah bahwa likuiditas dan
profitabilitas (kemampuan mengahasilkan keuntungan) bank tidak selalu berjalan searah. Likuiditas yang berlebihan dapat menekan profitabilitas. (Arthesa,
2006:190).
Alma adalah manajemen struktur neraca bank dengan tujuan untuk
memaksimalkan pendapatan mengendallikan biaya dalam batas batas resiko
tertentu (Rivai dkk, 2007:375). Risiko likuiditas adalah risiko dalam perbankan
yang biasanya timbul dengan cara bank mengelola Primary dan Secondary reserve
serta pendanaannya sehari-hari (Rivai dkk, 2007:376).
a.) Risiko yang ada dalam pengelolaan Primary reserve dapat berupa berikut ini:
1.) Reserve yang dipelihara terlalu tinggi dari yang dibutuhkan. Keadaan ini
berakibat pada pengorbanan tingkat suku bunga.
2.) Reserve requirement tidak dapat dipenuhi, sehingga berakibat dikenakan
pinalti oleh Bank Indonesia serta timbulnya masalah bagi bank sendiri.
Risiko yang terdapat dalam pengelolaan dana sehari-hari bisa berupa risiko
berikut ini.
1.) Kemungkinan bank harus membayar bunga yang terlalu tinggi untuk
likuiditas yang dibelinya jika kebutuhan dana tidak diidentifikasikan
secara tepat waktu hingga dealer dipaksa masuk ke pasar pada waktu yang
tidak menguntungkan.
2.) Kelebihan likuiditas mungkin terpaksa ditempatkan dengan rate yang tidak
25 tersebut, hingga dealer tidak mempunyai kesempatan untuk menjual atau
menawarkannya pada waktu yang tepat (Rivai, 2007:376)
Gambar. 2.1
Dampak likuiditas yang dipengaruhi keputusan manajemen bank
Keputusan / Tindakan Dampak Terhadap Likuiditas
Likuiditas jangka pendek akan membaik dengan jangka waktu yang lebih panjang lebih menarik
Bank menaikkan bunga deposito jangka waktu 3 dan 6 bukan.
Diperkirakan akan ada kenaikan tingkat bunga, bank memilih posisi GAP positif untuk jangka waktu 1 sampai 30 hari
Sejalan dengan harta jangka pendek yang naik setara dengan kewajiban jangka pendek, likuiditas jangka pendek juga meningkat.
Suatu obligasi jangka panjang dalam jumlah besar dicairkan dan hasilnya ditempatkan overnight untuk jangka waktu sampai 1 minggu
Likuiditas jangka pendek bank terutama “basic surplus” nya akan naik.
Bank mengalihkan sebagian besar dari paket kredit untuk pembiayaan proyek ke paket kredit jangka pendek (3-6 bulan).
Postur likuiditas bank akan menjadi lebih konservatif dan likuiditas jangka menengah akan meningkat.
Kredit jangka panjang dalam jumlah besar untuk jangka waktu 3 tahun di belanjai dengan dana jangka pendek 3 bulan
26 Posisi likuiditas bank secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh
keputusan yang dibuat dan tindakan yang diambil oleh manajemen bank serta kegiatan yang dilaksanakan oleh unit-unit usahanya. (Rivai dkk, 2007:377).
G. Pengertian Likuiditas
Manajemen likuiditas merupakan kegiatan monitoring secara terus
menerus akan kebutuhan kas yang seketika dihadapi bank baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam melakukan kegiatan bank manajemen likuiditas
bank memegang peranan yang sangat penting, karena sesuai dengan data empiris
bahwa sebagian besar bank dananya berasal dari Pihak Ketiga dan Pihak Kedua, yang berasal dari Modal tidak lebih dari 10% dari seluruh sumber dana bank
(Riyadi, 2004:27).
Likuiditas menurut Van Greuning dari World Bank (1999:157) yaitu
kemampuan bank untuk mampu memenuhi atau komitmennya saat jatuh tempo.
Pada waktu yang sama bank mentransformasi sisi liabilities mereka untuk
mendapatkan berbagai macam maturities pada sisi aset. Suatu bank dikatakan
likuid apabila bank yang bersangkutan dapat membayar kewajiban
hutang-hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya serta dapat memenuhi semua permintaan pembiayaan kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan.
Untuk meminimumkan risiko likuiditas, pengelolaan likuiditas bank merupakan
masalah yang cukup kompleks dalam kegiatan operasional bank. Sulitnya
pengelolaan tersebut disebabkan karena dana yang dikelola bank sebagian besar
27 memperhatikan seakurat mungkin kebutuhan likuiditas untuk jangka waktu
tertentu. Perkiraan kebutuhan likuiditas tersebut sangat dipengaruhi oleh perilaku penarikan nasabah, sifat dan sumber dana yang dikelola.
A bank’s money position, especially the size of its legal reserve account at
the central bank in its nation or district, is influenced by a long list of factors,
some of which are included in the following table. Among the most important of
these factors are the volume of checks cleared each day, the amount of currency
and coin shipments back and forth between each bank and the central bank’s
vault, purchases and sales of government securities, and borrowing and lending
in the federal funds (interbank) market. Some of these factors are largely
controllable by bank management, while others are essentially noncontrollable,
and management needs to anticipate and react quicly to them.(Rose, 2002).
Fungsi utama likuiditas dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas wajib minimum
2. Untuk menjaga agar saldo rekening yang ada pada bank koresponden selalu
berada pada jumlah yang ditentukan
3. Untuk memenuhi penarikan dana oleh nasabah.
Menurut Van Greuning (1999:164), bahwasannya likuiditas bank dapat
diukur melalui :
1. Loan to Deposit Ratio (LDR)
28 Sedangkan menurut Munawir (1991:69) menambahkan indikator empat
macam lagi disamping yang sudah ada yaitu :
1. Rasio kas
2. Periode rata-rata pengumpulan piutang
3. Periode rata-rata persediaan tersimpan di gudang 4. Perputaran modal kerja.
The most famous of these ratio is the volatile liability dependency ratio :
(Hempel, 1994)
Volatile Liabilities – Liquid Asset
Earning Assets
H. Bank Sebagai Penjamin Likuiditas
Titik awalnya adalah peran bank dalam menyediakan jaminan likuiditas.
Bank mengumpulkan dana dari masyarakat dan menginvestasikannya dalam aset
jangka panjang dan likuid, seperti pembiayaan (Aspachs, 2005:4). Likuiditas
merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh bank. Bank yang salah satu
fungsinya adalah sebagai institusi penyimpanan dana masyarakat (pools of
liquidity) menjamin jaminan ketersediaan likuiditas bagi para deposannya,
jaminan ketersediaan likuiditas yang diberikan berupa penarikan dana yang disimpan setiap saat. Atas dasar the law of large numbers, dana yang disediakan
untuk bisa ditarik setiap saat tidaklah sejumlah total dana yang disimpan
29 When a liquidity deficit arises, the bank can usually borrow funds from
any of the following sources (Rose, 2002).
Hal penting bagi bank adalah menjalankan sesuai kepentingan para
deposan. Deposan memiliki kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang.
Untuk kepentingan jangka pendek mereka menyimpan dananya di bank, sedangkan untuk kepentingan jangka panjang mereka melakukan investasi, baik
melalui lembaga keuangan maupun tidak, dengan harapan ada return yang lebih
baik dari pada hanya menyimpan uangnya di bank. Pada sisi lain, pembiayaan
pada umumnya tidak dapat dicairkan setiap saat. Pembiayaan juga tidak mudah
untuk dijual dalam waktu cepat karena adanya informasi penilaian yang biasanya
hanya dimiliki oleh bank yang mencairkan pembiayaan awal. Dikarenakan
alasan-alasan inilah bank menjadi sangat rentan terhadap guncangan likuiditas yang
terutama timbul dari sisi pasiva neraca. Apabila terjadi penarikan dana deposan
dalam jumlah besar, bank harus melikuidasi asetnya yang tidak likuid. Likuidasi
ini akan mengakibatkan kerugian bank akibatnya pencairan aset tidak likuid
mengakibatkan kehilangan nilai, maka kekurangan likuiditas ini akan menjadi
masalah Solvency bagi bank (Aspachs, 2005:4).
The traditional way to measure a bank’s liquidity position was to look at
static liquidity ratios, trying to increase liquidity needs and liquidity sources. For
example, a bank would separate its assets into liquid (easily convertible into cash
30
I. Likuiditas Bank Syariah
Masalah pengelolaan likuiditas adalah masalah yang penting dalam hal
operasional bank sehari-hari. Kelebihan likuiditas akan mengakibatkan bank
mengorbankan profitabilitasnya. Sementara kekurangan likuiditas akan
mengakibatkan kerugian bagi bank karena tidak dapat memenuhi kewajiban yang harus segera dipenuhinya sehingga akan menyulitkan bank itu sendiri. Seperti
yang diungkapkan Dewatripoint (1999:110) bank akan menghadapi masalah bank
runs phenomenon ketika tidak mampu memenuhi permintaan penarikan dana dari
depositornya, pada keadaan tersebut bank menghadapi dilema apakah harus
menginvestasikan dalam jangka pendek dan tidak menggunakan fungsi
transformasi asetnya yang bersifat inefisiensi. Atau menghadapi bank runs ketika
menginvestasikan dalam aset jangka panjang yang likuid. Dampak yang lebih jauh
adalah bank akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan pemerintah (dalam
hal ini Bank Sentral).
Upaya menjaga likuiditas bank berarti sebagai proses pengendalian
alat-alat likuid yang mudah difungsikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang
harus segera dibayar seperti:
1. Rekening wesel
2. wesel-wesel (transfer) yang jatuh tempo
3. Call money
4. Deposito berjangka jatuh tempo
31 6. kewajiban yang segera harus dibayar.
Pengendalian likuiditas bank dilakukan setiap saat berupa penjagaan alat-alat likuid yang dapat dikuasai oleh bank, alat-alat-alat-alat likuid bank terdiri dari :
1. Uang tunai (kas)
2. Rekening Koran pada Bank Indonesia (BI) 3. Jaminan kliring pada BI
4. Efek-efek (surat berharga)
Untuk menjaga likuiditas setiap bank harus memelihara perbandingan
tertentu menurut ketentuan BI. Melalui ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM)
BI, setiap bank harus memiliki prosentase tertentu sekurang-kurangnya 5%. Batas
minimum itu untuk mendeteksi kesehatan bank yang dihitung berdasarkan
pembagian jumlah alat likuid dengan kewajiban yang dapat dibayar dalam suatu
masa laporan.
Memperhatikan likuiditas yang tinggi akan memperlancar customer
relationship tetapi profitabilitas / imbal bagi hasil akan menurun karena
banyaknya dana yang menganggur. Dilain pihak likuiditas yang rendah
menggambarkan kurang baiknya posisi likuiditas suatu bank.
Perangkat yang digunakan oleh bank syariah untuk memelihara
likuiditasnya antara lain : surat berharga pasar modal, ba’I dain, Pasar Uang Antar
Bank Syariah (PUAS), Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Islamic Interbank
32 Salah satu ukuran untuk menghitung likuiditas bank adalah dengan
menggunakan Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR yaitu seberapa besar dana bank dilepaskan sebagai perkreditan. Ketentuan BI tentang LDR yaitu perhitungan
antara ratio 80% hingga dibawah 110%. Pemeliharaan kesehatan bank antara lain
dilakukan dengan tetap menjaga likuiditasnya sehingga bank dapat memenuhi
kewajiban kepada semua pihak yang menarik atau mencairkan uangnya. Hal ini
Salah satu kendala operasional bank syariah adalah kesulitan dalam
mengendalikan likuiditasnya secara efisien, dimana gejala adalah tidak
tersedianya kesempatan investasi yang sedang berjalan. Adalah penting bagi
bankir Islam untuk memahami bahwa instrumen likuiditas yang digunakan bank konvensional itu dibangun untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi dalam
sistem keuangan yang bersifat ribawi. Menjadi tantangan dan tanggung jawab
para bankir Islam untuk mempunyai pedoman likuiditas syariah sebagai berikut
(Arifin, 2002:68) :
1. Uang tidak boleh menghasilkan apa-apa. Uang hanya boleh berkembang
jika diinvestasikan dalam bidang ekonomi riil (tangible ecomomic aset).
2. Keberhasilan kegiatan ekonomi diukur dengan return on investment
33 3. Bagian saham dalam perusahaan, kegiatan mudharabah atau kemitraan
musyarakah dapat dibeli atau dijual untuk kegiatan investasi dan bukan untuk tujuan spekulasi atau tujuan perdagangan paper.
4. Piranti keuangan Islam, seperti bagian saham dalam kemitraan atau
perusahaan, dapat dinegosiasikan.
Beberapa alasan yang harus diperhatikan dalam rangka pengelolaan
likuiditas adalah sebagai berikut :
1. Uang tidak boleh dijual untuk memperoleh uang
2. Nilai saham dalam suatu bisnis harus didasarkan pada hasil penelitian
performance yang bersangkutan (fundamental analysis)
3. Transaksi tunai (cash) harus diselesaikan segera setelah kontrak terjadi.
4. Diperbolehkan membeli saham dari bisnis yang mencatat adanya utang
pada neraca mereka, tetapi utang tersebut tidak boleh dominan.
5. Pemilik saham mempunyai hak untuk mengakhiri kepemilikannya, kecuali
apabila diperjanjikan lain secara tegas dinyatakan dalam kontrak
J. Kerangka Teori Buffer Likuiditas
Literatur awal Teori Buffer likuiditas memandang manajemen likuiditas
pada bank dengan menyamakannya dengan masalah persediaan. Biaya memiliki
cadangan aset likuid dalam jumlah tertentu akan ditimbang dengan manfaat bila
kekurangan likuiditas. Pertimbangan utama dari teori ini adalah bahwa ukuran buffer likuiditas harus mencerminkan opportunity cost dari return yang hilang
bila memegang aset likuid dibandingkan dengan menyalurkan ke pembiayaan.
34 dengan volatilitas pendanaan dana pihak ketiga dan biaya untuk mendapatkan
dana dari pasar antar bank yang mudah didapatkan pada jangka pendek. Agenor (2004) menyatakan bahwa permintaan likuiditas berasal dari distribusi penarikan
deposan, biaya pinjaman eksternal dan aturan primary reserve (Aspachs, 2005:5).
Dalam literature awal mengenai likuiditas perusahaan, Keynes (1936) menyatakan bahwa neraca yang likuid akan memungkinkan perusahaan untuk
mengerjakan proyek-proyek yang menguntungkan saat kesempatan muncul. Lebih
lanjut, Keynes juga menyatakan bahwa neraca yang likuid juga bergantung pada
akses perusahaan untuk mendapatkan pendanaan eksternal. Untuk bank, hal ini
berarti bahwa kesempatan mereka untuk berinvestasi pada pembiayaan baru yang
menguntungkan bergantung kepada jumlah dana yang mereka dapat kumpulkan.
Ini merupakan batasan financial yang dimiliki bank. Apabila akses bank terhadap
akses finansial terbatas, misalnya biaya tinggi untuk menambahkan modal baru
atau dana antar bank yang sangat terbatas, hal ini akan membuka kemungkinan
bahwa likuiditas bank tergantung kepada siklus bisnis.
Secara khusus, bank akan menumpuk likuiditasnya pada periode ekonomi
yang menurun, yaitu pada saat kesempatan ekspansi pembiayaan tidak
mendukung. Bank akan mengalami penurunan likuiditas apabila mereka
menyalurkannya ke pembiayaan. Secara umum, bila bank terkena dampak batasan
likuiditas seperti ini, maka akan berakibat pada efektifitas kebijakan moneter. Karena itu biasanya bank sentral akan memberi kebijakan ekonomi untuk
mendorong perkembangan perekonomian pada saat resesi, dimana pada saat itu
35 bila perkonomian cenderung membaik sehingga bank akan melakukan hal yang
berkebalikan dari kondisi diatas, yaitu mengurangi cadangan likuiditasnya dan menyalurkan dana yang dihimpunnya ke pembiayaan (Aspachs,2005:7).
Buffer likuiditas sendiri dapat dilihat dari sisi batasan finansial yang
dimiliki perusahaan. Secara umum, apabila perusahaan memiliki keterbatasan finansial, maka sumber likuiditas internal seperti arus kas masuk dari usaha atau
proyek akan dijadikan sumber cadangan likuiditas. Hal ini bertujuan agar
perusahaan dapat memiliki sumber dana yang dibutuhkan saat ada kesempatan
investasi dimasa depan (Almeida, 2004). Penelitian oleh Aspachs menunjukkan
bahwa perusahaan dengan batasan finansial yang tidak tetap, cenderung tidak
menujukkan hubungan antara arus kas masuk yang diterima dengan cadangan
likuiditasnya. Namun pada perusahaan yang memiliki batasan finansial, maka ada
manfaat saat perusahaan tersebut menumpuk likuiditasnya sehingga dapat
membiayai investasi ketika ada kesempatan. Namun karena menumpuk likuiditas
juga berarti ada opportunity cost nya, maka perusahaan akan menjaganya pada
tingkat yang optimal. Caranya dengan menyisihkan sebagian kas masuk untuk
diinvestasikan di masa depan.
K. Pengaruh Variabel Independen Terhadap Variabel Dependen
Faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas pada bank syariah yang di
teliti pada skripsi ini adalah berdasarkan literature dan penelitian sebelumnya oleh
Hempel (1994), Arifin (2002), Judisseno (2002) dan Aspachs (2005). Pengertian
36
1. Variabel Dependen
Likuiditas yang diteliti adalah tingkat buffer likuiditas dalam bentuk money potition yang dimiliki bank. Money potition ini terdiri (Hempel, 1994:151):
a. Uang tunai, baik uang kertas maupun uang logam. Dapat disimpan di
khasanah bank maupun pada tempat lain di bank. Bila bank memiliki uang
tunai yang berlebih, maka kelebihannya disetorkan ke bank sentral atau
bank lain. Demikian sebaliknya bila bank kekurangan uang tunai sehingga
mengambil di bank sentral atau bank lain.
b. Giro di bank sentral. Giro ini merupakan simpanan bank yang merupakan
gabungan dari ketentuan giro wajib dan selisih kliring setiap hari operasi.
Giro di bank sentral bertambah bila dilakukan setoran, pencairan dari
treasury bills dan peminjaman dari bank sentral. Giro ini berkurang bila
melakukan pembelian treasury bills, penarikan untuk pembayaran dan penarikan dalam bentuk uang tunai.
c. Giro di bank lain. Giro ini merupakan simpanan bank di bank lain yang
bermanfaat untuk penyelesaian pembayaran yang tidak melalui bank
sentral. Contoh transaksi antar bank adalah pinjaman antar bank, transaksi
international banking dan investasi lain.
d. Kas dalam perjalanan. Merupakan posisi kas yang sudah ditarik dari suatu
pihak namun belum diterima bank.
Berdasarkan klasifikasi dari money potition diatas, maka pada penelitian ini
disusun variabel dependen sesuai klasifikasi di Bank Syariah Mandiri, yaitu :
37 Variabel ini terdiri tiga komponen yaitu kas (termasuk kas dalam perjalanan),
giro pada bank sentral dan giro pada bank lain. Uang adalah bentuk yang paling likuid dari defines tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Kas berbentuk uang tunai yang berupa uang kartal berupa uang kertas, uang
logam, commemorative coin & nota, yang dikeluarkan BI atau otoritas
moneter Negara lain sebagai alat pembayaran yang sah. Termasuk dalam
kategori ini adalah bank notes dari Negara lain, misalnya uang kertas USD,
dollar Singapura (SGD) atau riyal Arab Saudi (SAR). Berdasarkan lokasinya,
maka kas dapat berada pada empat tempat yaitu
a) Kas Besar: adalah uang yang digunakan dalam penarikan dan
penyetoran nasabah, dimana pada akhir hari disimpan di dalam ruang
penyimpanan khusus yang disebut khasanah.
b) Kas ATM: adalah uang yang berada dalam mesin-mesin ATM bank. c) Kas Kecil: uang yang dipisahkan dari kas besar dan digunakan untuk
operasional bank dan disimpan dalam cash box.
d) Kas dalam perjalanan: uang yang masih harus diterima oleh cabang
penerima dan baru saja diambil dari BI, bank lain atau cabang lain.
2) Giro pada Bank Indonesia
Adalah simpanan pada Bank Indonesia (primary reserve) selain yang
berbentuk SWBI. Giro ini ada dalam valuta rupiah dan dollar AS. Secara
mendasar, giro rupiah haruslah sejumlah minimum 5% dari dana pihak ketiga
38 Sebagaimana simpanan bank dalam bentuk uang tunai atau kas, giro di BI ini
tidak menghasilkan return.
Ketentuan pemenuhan primary reserve ini harus dipenuhi bank dengan
ancaman sanksi denda oleh BI.
3) Giro pada Bank Lain
Merupakan penempatan pada bank lain selain penempatan pada BI. Giro pada
bank lain dibuka sesuai kebutuhan transaksi bank, sehingga memiliki valuta
yang beragam yaitu IDR (Rupiah), USD, SGD, SAR, Japan Yen, Euro, dan
dollar Australia. Giro pada bank lain bertujuan untuk
a) Memenuhi kebutuhan transaksi dalam negeri. Pada BSM, giro dalam
rupiah pada bank lain memenuhi kebutuhan transaksi seperti
pengelolaan uang tunai (kas besar dan kliring lokal) atau pembayaran
transaksi ATM dengan Bank Mandiri.
b) Memenuhi kebutuhan transaksi luar negeri. Pada BSM, giro yang
dibuka dalam valuta asing adalah pada Bank Mandiri, BCA, Citibank
New York, United Overseas Bank Singapura, Wachovia Bank,
Sumitomo Mitsui Banking, ANZ Bank dan Al Rajhi Banking &
Investment.
2. Variabel Independen
a. Dana pihak ketiga
Dana pihak ketiga merupakan salah satu alasan utama bagi bank untuk menjaga
tingkat likuiditasnya. Dana simpanan nasabah adalah dana yang dihimpun oleh
39 ketersediaan likuiditas bagi para nasabahnya menyebabkan bank harus
menghitung proporsi tertentu dari jumlah dana DPK ini pada kas dan primary reserve di BI. Pada bank syariah, DPK dapat terdiri dari tiga jenis kelompok
yaitu:
1) Simpanan wadiah, terdiri dari giro dan tabungan wadiah.
2) Tabungan mudharabah.
3) Deposito mudharabah.
Tabungan yang menerapkan akad wadiah mengikuti prinsip-prinsip
wadiah yad adh-dhamanah seperti yang dijelaskan diatas. Artinya tabungan ini
tidak mendapatkan keuntungan karena ia titipan dan dapat diambil sewaktu-waktu
dengan menggunakan buku tabungan atau media lain seperti kartu ATM.
Tabungan yang berdasarkan akad wadiah ini tidak mendapatkan keuntungan dari
bank karena sifatnya titipan. Akan tetapi, bank tidak dilarang jika ingin memberikan semacam bonus / hadiah. (Antonio, 2001:156).
Tabungan yang menerapkan akad mudharabah mengikuti prinsip-prinsip
akad mudharabah diantaranya sebagai berikut. Pertama, keuntungan dari dana
yang digunakan harus dibagi antara shahibul maal (dalam hal ini nasabah) dan mudharib (dalam hal ini bank). Kedua, adanya tenggang waktu antara dana yang
diberikan dan pembagian keuntungan, karena untuk melakukan investasi dengan
memutarkan dana itu diperlukan waktu yang cukup. (Antonio, 2001:156).
Bank syariah menerapkan akad mudharabah untuk deposito seperti dalam
40 bank selaku mudharib. Penerapan mudharabah terhadap deposito dikarenakan
kesesuaian yang terdapat diantara keduanya. (Antonio, 2001:157).
b. Aset Siap Konversi menjadi Kas
Porsi terbesar dari fungsi penggunaan dana bank adalah berupa investasi
pada surat-surat berharga. Selain untuk tujuan memperoleh penghasilan, investasi pada surat berharga ini dilakukan sebagai salah satu media pengelolaan likuiditas,
dimana bank harus menginvestasikan dana yang ada seoptimal mungkin, tetapi
dapat dicairkan sewaktu-waktu bila bank membutuhkan tanpa, atau sedikit sekali,
mengurangi nilainya (Riyadi, 2006:39).
Aset bank yang terdiri dari aset yang bersifat likuid atau mudah diubah
menjadi uang (Norman, 2005:23). Perbedaan aset siap konversi menjadi kas
dengan kas dan setara kas adalah aset siap konversi menjadi kas merupakan aset
yang memberikan return, sedangkan kas dan setara kas tidak memiliki return.
Aset ini merupakan cadangan yang berfungsi sebagai penyangga primary reserve,
ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek dan tetap current. Karena
kebutuhan likuiditas seringkali sulit diantisipasi, maka kriteria asset yang siap
dikonversi menjadi kas adalah (Riyadi, 2006:39):
1) Short term atau siap untuk dijual (available for sale)
2) High quality, tidak jatuh nilainya saat dijual.
3) Marketable.
Secondary reserve ini dilakukan untuk memaksimalkan penempatan dana setiap
41 dapat dikonversi melalui pasar uang dan pasar modal. Bentuk pada bank syariah
untuk asset siap konversi menjadi kas adalah:
a) Penempatan pada bank lain berupa Sertifikat Investasi Mudharabah
Antarbank (SIMA).
b) Surat berharga berupa obligasi dan reksadana syariah.
c) Penempatan pada BI berupa SWBI.
c. Akses pasar antar bank dan sumber dana lainnya termasuk LOLR
Dalam aktivitasnya, bank sering membutuhkan dana untuk memenuhi
ketentuan primary reserve, menjaga tingkat saldo pada giro di bank sentral untuk
transaksi, melakukan realisasi pembiayaan atau investasi, membayarkan dana
kepada nasabah deposan maupun memenuhi kewajiban lainnya. Pada posisi bank
membutuhkan dana jangka pendek, bank harus segera memenuhinya baik dari
bank lain, maupun dari BI. Tingkat likuiditas bank antara lain dipengaruhi oleh fasilitas LOLR dari bank sentral (Arifin, 2002:45). Pada penelitian oleh Aspachs
(2005) fasilitas pinjaman dari BI menyebabkan bank menurunkan tingkat
likuiditasnya meskipun terdapat kendala moral hazard berupa bank memegang
buffer likuiditasnya yang lebih rendah dari seharusnya. Sedangkan instrumen
sumber dana lainnya dapat diperoleh bank pada pasar modal berupa saham dan
obligasi (Riyadi, 2006:47). Pada bank syariah di Indonesia, meskipun terdapat
fasilitas jangka pendek bagi bank syariah dari BI (PBI no.5/3/PBI/2003 tentang
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah), pada prakteknya hal ini
tidak dilakkukan oleh BSM. Untuk itu, komponen dalam akses pasar pada