• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Hygiene Perawat dan Fasilitas Sanitasi dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Hygiene Perawat dan Fasilitas Sanitasi dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU HYGIENE PERAWAT DAN FASILITAS SANITASI DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM

DAERAH PERDAGANGAN KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

SKRIPSI

OLEH :

NIM. 101000311 KARTINI S.H. PANJAITAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERILAKU HYGIENE PERAWAT DAN FASILITAS SANITASI DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM

DAERAH PERDAGANGAN KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

NIM. 101000311 KARTINI S.H. PANJAITAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman yang di dapat selama berada di rumah sakit. Sedangkan perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku memiliki domain yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan perilaku hygiene perawat dan fasilitas sanitasi dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun.

Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif dengan sampel 60 responden. Pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner dan dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui frekuensi, persentase, dan disajikan dengan tabel distribusi frekuensi.

Hasil penelitian perilaku hygiene perawat dan fasilitas sanitasi dalam pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit didapatkan tingkat pengetahuan baik sebesar 66,66%, tingkat pengetahuan sedang sebesar 20% dan tingkat pengetahuan kurang sebesar 13,34%. Penilaian sikap didapatkan kategori baik sebesar 26,64%, kategori sedang sebesar 63,34% dan kategori kurang sebesar 10%, sedangkan untuk tindakan dengan kategori baik sebesar 20%, kategori sedang sebesar 73,34% dan kategori kurang 6,66%. Hasil observasi pada fasilitas sanitasi rumah sakit yaitu tidak dilakukan pemeriksaan kualitas bakteriologis dan kimia pada air bersih, tidak tersedia incenerator dan instalasi pengolahan air limbah, tidak dilakukan pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya, desinfeksi dan sterilisasi tidak selalu menggunakan autoclave dan petugas tidak selalu menggunakan alat pelindung diri.

Disarankan agar diberikan pelatihan tentang pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit kepada perawat dan menyediakan media informasi seperti poster dan leaflet tentang pencegahan infeksi nosokomial serta melengkapi fasilitas sanitasi dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial.

(4)

ABSTRACT

Nosocomial infection is infections caused by bacteria during in hospital. Behavior means the activity or organism activities of the related creature. Behavior has the domain such as knowledge, attitude and action.

The objectives of this research was to know the application of the nurse’s hygiene behavior and sanitation facilities in the prevention of nosocomial infection in local hospital of Perdagangan, Simalungun regency.

This was descriptive research with the sample for 60 responden. Data collection was carried out through observation and interview using the questionnaire and analyzed descriptively to know the frequency, percentage and presented n frequency distribution table.

The results of research showed that nurse’s hygiene behavior and sanitation facilities in the prevention of nosocomial infection was categorized good for 66,66%, medium for 20% and low for 13,34%. The attitude of nurse was categorized good for 26,64%, medium for 63,34% and low for 10%. Whereas, for the action, it was categorized good for 20%, medium for 73,34% and low for 6,66%. The results of observation to the sanitation facilities of the hospital were as follows ; the quality of bacteriology and chemical in clean water was not carried out, the incinerator and waste water management means were not available, insect control and other intruders insects were not carried out, disinfection and sterilization did not always use autoclave and medical staffs did not always individual protective.

It is suggested to give the training about the prevention of nosocomial infection in hospital to nurse and to provide information media such as banners, leaflet and brochures regarding the prevention of nosocomial infection and to provide sanitation facilities.

Key words : Behavior nurses, sanitation facilities, prevention of nosocomial infection

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas Diri

Nama : Kartini Sri Hartati Panjaitan

Tempat/Tanggal Lahir : Porsea, 01 April 1987

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Menikah

Anak ke : 4 dari 6 bersaudara

Alamat : Jln Jambu No 9B Balige

Riwayat Pendidikan

Tahun 1991 – 1992 : TK HKBP Balige

Tahun 1992 – 1998 : SD Negeri 1 No 173520 Balige Tahun 1998 – 2001 : SLTP Negeri 2 Balige

Tahun 2001 – 2004 : SMA Negeri 1 Balige

Tahun 2004 – 2007 : D III Kesehatan Lingkungan POLTEKKES Medan Tahun 2010 – 2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU

Riwayat Pekerjaan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ Perilaku Hygiene Perawat dan Fasilitas Sanitasi dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), Sp. A(K).

Pada kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku dosen pembimbing I serta Bapak dr. Surya Dharma, MPH selaku dosen pembimbing II yang telah banyak member perhatian, bimbingan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terimasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(7)

3. Bapak drg. Amrianto, M.Kes selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun.

4. Bapak Drs. Eddy Syahrial, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Seluruh dosen dan pegawai terutama di Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah banyak memberikan masukan dan berkat ilmu pengetahuan selama perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 6. Teristimewa buat Mama dan Papa tercinta T. Sibarani dan BF. Panjaitan,

yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis selama dalam perkuliahan

7. Saudaraku terkasih buat K’Tetty&abang, B’Agnes&eda, B’Arto, adikq Onra&Sharay serta keponakanku (Christmansyah, Nathanael, Gabriel, Gilbert dan Grisella) yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis.

8. Kristendo Damanik, STh yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis.

9. Sahabatku terkasih Heli Joisen Pardede, SH yang banyak memberikan doa dan motivasi kepada penulis.

10. Anak kos warnet Q-chong jamin ginting 214, kak sriana, Lisma, Solina, dan Vina, terimakasih buat kebersamaan kita.

11. Kak Herany Lora Theresia Simarmata, SKM yang banyak memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis.

(8)

Angelina Sipayung, Fransisca Batubara, Sri Lestari, Harto Pratiwi dan Rista Saragi), kalian adalah sahabat yang luar biasa yang selalu saling mendukung baik suka dan duka, terimakasih buat keceriaan dan kebersamaan yang membuat hari-hariku menjadi indah.

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah penulis terima selama ini. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya bagi kita semua.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi skripsi ini dapat menjadi sumbangan berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Medan, Juli 2012 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstrack ... iii

Daftar riwayat hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Sanitasi ... 8

2.1.1. Hygiene ... 8

2.1.2. Sanitasi …. ... 8

2.2 . Rumah Sakit ... 10

2.2.1. Tugas Rumah Sakit ... 10

2.2.2. Fungsi Rumah Sakit ... 11

2.2.3. Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah ... 12

2.2.4. Jenis Perawatan di Rumah Sakit ... 13

2.3. Infeksi Nosokomial ... 14

2.3.1. Defenisi Infeksi Nosokomial ... 14

2.3.2. Klasifikasi Infeksi Nosokomial ... 16

2.3.3. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial ... 17

2.3.4. Cara Penularan Mikroorganisme ... 20

2.3.5. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial ... 21`

2.3.6. Kelompok Yang Beresiko ... 21

2.4. Kewaspadaan Universal ... 21

2.4.1. Defenisi Kewaspadaan Universal ... 21

2.4.2. Alasan Dasar Penerapan Kewaspadaan ... 22

2.4.3. Kegiatan Pokok Kewaspadaan Universal ... 23

2.5. Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 27

2.6. Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 ... 31

(10)

2.6.2. Fasilitas Toilet dan Kamar Mandi ... 33

2.6.3. Pengelolaan Limbah Padat ... 34

2.6.4. Pengelolaan Limbah Cair ... 45

2.6.5. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Laundry) ... 50

2.6.6. Pengendalian Serangga, Tikus dan Binatang Pengganggu Lainnya ... 51

2.6.7. Dekontaminasi dengan Desinfeksi dan Sterilisasi ... 52

2.7. Perilaku ... 53

2.7.1. Batasan Perilaku ... 53

2.7.2. Perilaku Kesehatan ... 53

2.7.3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ... 54

2.7.4. Domain Perilaku ... 55

2.8. Kerangka Konsep ... 58

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 59

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 59

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 59

3.2.2. Waktu Penelitian ... 59

... 3.3. Populasi dan Sampel ... 59

3.3.1. Populasi ... 59

3.3.2. Sampel ... 59

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 60

3.4.1. Data Primer ... 60

3.4.2. Data Sekunder ... 60

3.4.3. Definisi Operasional ... 60

3.5.Aspek Pengukuran ... 62

3.5.1. Aspek Pengukuran Pengetahuan ... 62

3.5.2. Aspek Pengukuran Sikap ... 63

3.5.3. Aspek Pengukuran Tindakan ... 64

3.5.4. Aspek Pengukuran Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit ... 64

3.6. Analisa Data ... 65

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 66

4.1.1. Sejarah Singkat RSUD Perdagangan Kab.Simalungun ... 66

4.1.2. Letak Geografi RSUD Perdagangan Kab.Simalungun ... 66

4.1.3. Visi dan Misi RSUD Perdagangan Kab.Simalungun ... 67

4.1.4. Tenaga Kesehatan dan Pelayanan di RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun ... 67

4.2. Karakteristik Perawat ... 67

4.3. Data Perilaku ... 68

(11)

4.3.3.Tindakan Perawat ... 71

4.4. Hasil Penilaian Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Perawat ... 72

4.5. Tabulasi silang ... 73

4.5.1. Tabulasi silang Tingkat Pengetahuan Perawat dengan Pendidikan ... 73

4.5.2. Tabulasi silang Lama bekerja dengan Tingkat Pengetahuan Perawat ... 74

4.5.3. Tabulasi silang Tingkat Pengetahuan dengan Sikap Perawat ... 74

4.5.4. Tabulasi silang Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Perawat 75 4.6. Fasilitas Sanitasi RSUD Perdagangan Kab. Simalungun ... 75

BAB 5. PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Perawat ... 79

5.2. Pengetahuan Perawat ... 79

5.3. Sikap Perawat ... 81

5.4. Tindakan Perawat ... 82

5.5. Fasilitas Sanitasi dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit ... 83

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 87

6.2. Saran ... 88

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat sesuai Kategorinya ... 34 Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Karakteristik di Rumah

Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun

Tahun 2012 ... 68 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Tingkat Pengetahuan dalam

Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah

Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ... 69 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Sikap dalam Pencegahan

Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan

Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ... 70 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Tindakan dalam Pencegahan

Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan

Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ... 71 Tabel 4.5. Distribusi Perawat Berdasarkan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan

dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum

Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ... 72 Tabel 4.6. Tabulasi silang Tingkat Pengetahuan dengan pendidikan Perawat

di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ... 73 Tabel 4.7. Tabulasi silang Lama bekerja dengan Tingkat Pengetahuan Perawat

di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ... 74 Tabel 4.8. Tabulasi silang Tingkat Pengetahuan dengan Sikap Perawat di Rumah

Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun

2012 ... 74 Tabel 4.9. Tabulasi silang Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Perawat di

Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012 ... 75 Tabel 4.10. Hasil Observasi Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit Umum Daerah

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Perilaku Hygiene Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012.

Lampiran 2 Lembar Observasi Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012.

Lampiran 3 Data Hasil Penilaian Perilaku Hygiene Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012.

Lampiran 4 Data Hasil Observasi Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012.

Lampiran 5 Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU.

Lampiran 6 Surat Izin Melakukan Penelitian dari Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun.

Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian.

(14)

ABSTRAK

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman yang di dapat selama berada di rumah sakit. Sedangkan perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku memiliki domain yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan perilaku hygiene perawat dan fasilitas sanitasi dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun.

Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif dengan sampel 60 responden. Pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner dan dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui frekuensi, persentase, dan disajikan dengan tabel distribusi frekuensi.

Hasil penelitian perilaku hygiene perawat dan fasilitas sanitasi dalam pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit didapatkan tingkat pengetahuan baik sebesar 66,66%, tingkat pengetahuan sedang sebesar 20% dan tingkat pengetahuan kurang sebesar 13,34%. Penilaian sikap didapatkan kategori baik sebesar 26,64%, kategori sedang sebesar 63,34% dan kategori kurang sebesar 10%, sedangkan untuk tindakan dengan kategori baik sebesar 20%, kategori sedang sebesar 73,34% dan kategori kurang 6,66%. Hasil observasi pada fasilitas sanitasi rumah sakit yaitu tidak dilakukan pemeriksaan kualitas bakteriologis dan kimia pada air bersih, tidak tersedia incenerator dan instalasi pengolahan air limbah, tidak dilakukan pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya, desinfeksi dan sterilisasi tidak selalu menggunakan autoclave dan petugas tidak selalu menggunakan alat pelindung diri.

Disarankan agar diberikan pelatihan tentang pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit kepada perawat dan menyediakan media informasi seperti poster dan leaflet tentang pencegahan infeksi nosokomial serta melengkapi fasilitas sanitasi dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial.

(15)

ABSTRACT

Nosocomial infection is infections caused by bacteria during in hospital. Behavior means the activity or organism activities of the related creature. Behavior has the domain such as knowledge, attitude and action.

The objectives of this research was to know the application of the nurse’s hygiene behavior and sanitation facilities in the prevention of nosocomial infection in local hospital of Perdagangan, Simalungun regency.

This was descriptive research with the sample for 60 responden. Data collection was carried out through observation and interview using the questionnaire and analyzed descriptively to know the frequency, percentage and presented n frequency distribution table.

The results of research showed that nurse’s hygiene behavior and sanitation facilities in the prevention of nosocomial infection was categorized good for 66,66%, medium for 20% and low for 13,34%. The attitude of nurse was categorized good for 26,64%, medium for 63,34% and low for 10%. Whereas, for the action, it was categorized good for 20%, medium for 73,34% and low for 6,66%. The results of observation to the sanitation facilities of the hospital were as follows ; the quality of bacteriology and chemical in clean water was not carried out, the incinerator and waste water management means were not available, insect control and other intruders insects were not carried out, disinfection and sterilization did not always use autoclave and medical staffs did not always individual protective.

It is suggested to give the training about the prevention of nosocomial infection in hospital to nurse and to provide information media such as banners, leaflet and brochures regarding the prevention of nosocomial infection and to provide sanitation facilities.

Key words : Behavior nurses, sanitation facilities, prevention of nosocomial infection

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Sanitasi

2.1.1. Hygiene

Hygiene adalah suatu ilmu kesehatan yang mencakup seluruh faktor yang membantu atau mendorong adanya kehidupan yang sehat baik perorangan maupun melalui masyarakat (Mukono, 2000). Sedangkan menurut Azwar (2000) Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan.

1. Hygiene Petugas Kesehatan

Hygiene petugas kesehatan dilakukan dengan upaya selalu memakai masker ketika bertugas, memakai sarung tangan, mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah menangani pasien, makanan/minuman petugas di ruangan dalam keadaan tertutup, tidak makan/minum sambil menangani pasien, memakai peralatan makan/minum yang bersih, dan sampai di rumah langsung mandi.

Dalam Tietjen (2004), Boyce dan Pittet (2002), menyebutkan bahwa kegagalan untuk melakukan kebersihan dan kesehatan tangan yang tepat dianggap sebagai sebab utama infeksi nosokomial yang menular di pelayanan kesehatan dan penyebaran mikroorganisme multiresisten dan telah diakui sebagai kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah.

2.1.2. Sanitasi

(17)

keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004). Sanitasi sering juga disebut dengan sanitasi lingkungan dan kesehatan lingkungan, sebagai suatu usaha pengendalian semua faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang diperkirakan dapat menimbulkan hal-hal yang mengganggu perkembangan fisik, kesehatannya ataupun kelangsungan hidupnya (Adisasmito, 2006).

Menurut UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air, dan udara, penanganan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi, dan kebisingan, pengendalian faktor penyakit, dan penyehatan atau pengamanan lainnya. Melihat luasnya ruang lingkup kesehatan lingkungan, sangatlah diperlukan adanya multi disiplin kerja agar kegiatannya dapat berjalan dengan baik. Misalnya diperlukan tenaga ahli di bidang air bersih, ahli kimia, ahli biologi, ahli teknik dan sebagainya (Mukono, 2006).

Hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang, 2000). Kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk perbaikan sanitasi lingkungan, pemberantasan penyakit menular, pendidikan kesehatan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

(18)

bersih. Misalnya hygiene sudah baik karena petugas mau mencuci tangan dengan bersih memakai sabun sebelum dan sesudah menangani pasien, tetapi jika keadaan sanitasi lingkungan buruk misalnya karena tidak tersedianya air bersih yang cukup maka mencuci tangan tidak dapat dilakukan dengan baik dan sempurna.

2.2. Rumah Sakit

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persayaratan Kesehatan Lingkungan bahwa rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 340/Menkes/SK/III/ 2010 Tentang Rumah Sakit, menyebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

2.2.1. Tugas Rumah Sakit

(19)

2.2.2. Fungsi Rumah Sakit

Dalam Siregar (2004) disebutkan bahwa rumah sakit memiliki berbagai fungsi, yaitu:

1. Pelayanan Penderita

Pelayanan penderita yang langsung di rumah sakit terdiri atas pelayanan medis, pelayanan farmasi, dan pelayanan keperawatan. Disamping itu, untuk mendukung pelayanan medis, rumah sakit juga mengadakan pelayanan berbagai jenis laboratorium.

2. Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan pelatihan profesi kesehatan, yang mencakup dokter, apoteker, perawat, pekerja sosial pelayanan medik, personal rekam medik, teknisi sinar X, dan laboratorium, teknologi medik, terapis pernafasan, terapis fisik, okupasional, dan administrator rumah sakit.

(20)

untuk meningkatkan hasil terapi yang optimal dengan penggunan obat yang sesuai dan tepat.

4. Penelitian

Rumah sakit melakukan suatu fungsi vital untuk dua maksud utama, yaitu memajukan pengetahuan medik tentang penyakit dan peningkatan atau perbaikan pelayanan rumah sakit. Kedua maksud tersebut ditujukan pada tujuan dasar dari pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi penderita.

5. Kesehatan masyarakat

Tujuan utama dari fungsi rumah sakit keempat yang relatif baru ini ialah membantu komunitas dalam mengurangi timbulnya kesakitan (illness) dan meningkatkan kesehatan umum penduduk. Contoh kegiatan kesehatan masyarakat adalah hubungan kerja yang erat dari rumah sakit yang mempunyai bagian kesehatan masyarakat untuk penyakit menular, partisipasi dalam program deteksi penyakit seperti tuberkolosis, diabetes, hipertensi, dan kanker; partisipasi dalam program inokulasi masyarakat, seperti terhadap influenza dan poliomyelitis, dan lain-lain.

6. Pelayanan Rujukan Upaya Kesehatan

Adalah suatu upaya pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik atau kasus atau masalah yang timbul, baik secara vertikal maupun secara horizontal kepada pihak yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap dan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi.

(21)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 983 / Menkes / SK / XI / 1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum dalam Siregar (2004) disebutkan bahwa Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat dan Daerah diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum kelas A, B, C, dan kelas D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan.

1. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik luas. 2. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik terbatas.

3. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.

4. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar.

2.2.4. Jenis Perawatan di Rumah Sakit

Dalam Siregar (2004) disebutkan bahwa jenis perawatan di rumah sakit terdiri atas:

1. Perawatan Penderita Rawat Tinggal

Dalam perawatan penderita di rumah sakit ada lima unsur tahap pelayanan, yaitu:

(22)

suatu kondisi apabila ia tidak mampu melakukan kebutuhannya sendiri. Ia dirawat dalam ruang perawatan intensif oleh staf medik dan perawat khusus. b. Perawatan Intermediet, adalah perawatan bagi bagi penderita setelah kondisi

fisik membaik, yang dipindahkan dari ruang perawatan biasa. Perawatan intermediet merupakan bagian terbesar dari jenis perawatan dikebanyakan rumah sakit.

c. Perawatan Swarawat, adalah perawatan yang dilakukan penderita yang dapat merawat diri sendiri, yang datang ke rumah sakit untuk maksud diagnostik saja atau penderita yang kesehatannya sudah cukup pulih dari kesakitan intermediet, dapat tinggal dalam suatu unit perawatan sendiri (self-care unit). d. Perawatan Kronis, adalah perawatan penderita dengan kesakitan atau

ketidakmampuan jasmani jangka panjang. Mereka dapat tinggal dalam bagian rumah sakit atau dalam fasilitas perawatan tambahan atau rumah perawatan yang juga dapat dioperasikan rumah sakit.

e. Perawatan Rumah, adalah perawatan penderita di rumah yang dapat menerima layanan seperti biasa tersedia di rumah sakit, dibawah suatu program yang di sponsori oleh rumah sakit.

2. Perawatan Penderita Rawat Jalan.

(23)

Istilah Infeksi nosokomial berasal dari kata Greek nosos (penyakit) dan komeion (merawat). Nosocomion (atau menurut Latin, nosocomium) merupakan arti rumah sakit. Secara umum defenisi infeksi nosokomial yang telah disepakati yaitu setiap infeksi yang didapat selama perawatan di rumah sakit, tetapi bukan timbul ataupun pada stadium inkubasi pada saat masuk dirawat di rumah sakit, atau merupakan infeksi yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit sebelumnya (Soedarmo, dkk, 2008).

Infeksi nosokomial adalah suatu kondisi lokal atau sistemik sebagai reaksi lanjut dari agen infeksi yang ada toksinnya, yang tidak tampak atau dalam masa inkubasinya pada saat masuk rumah sakit (Dirjen PPM dan PL Depkes RI, 2010). Menurut Djojosugito (2004) bahwa Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita tersebut dirawat di rumah sakit, atau pernah dirawat di rumah sakit dan baru menampakkan gejala setelah pulang dari rumah sakit.

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit, atau infeksi yang disebabkan oleh kuman yang di dapat selama berada di rumah sakit dengan ketentuan:

1. Pada saat masuk RS tidak didapat tanda-tanda klinis dan tidak sedang dalam masa inkubasi penyakit tersebut.

2. Infeksi timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak dirawat di RS.

3. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa rawat lebih lama dari masa inkubasi penyakit tersebut. (Dirjend Pelayanan Medik, 2002).

(24)

1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis infeksi tersebut.

2. Tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan.

3. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

4. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi didapat penderita ketika di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial. 2.3.2.Klasifikasi Infeksi Nosokomial

Menurut (David, 2003) ada beberapa klasifikasi infeksi nosokomial berdasarkan tempatnya, adalah sebagai berikut:

a. Community Aquired Infection

Umumnya tiap-tiap rumah sakit telah mempunyai policy untuk menempatkan dan perawatan dari penderita dengan penyakit menular. Problema timbul bila diagnosa tidak segera dapat ditegakkan sesaat si penderita masuk ke rumah sakit, sehingga penderita bisa menularkan penyakitnya pada penderita lain. b. Cross infection (infeksi silang)

Kebanyakan orang menganggap bahwa infeksi silang inilah yang dimaksud dengan infeksi nosokomial. Infeksi ditularkan dari penderita atau anggota staf rumah sakit ke penderita lainnya.

c. Infection Acquired form the Environment

(25)

atau pengobatan. Infeksi atau keracunan dari makanan yang disediakan di rumah sakit.

d. Self Infection (Infeksi diri sendiri)

Ini adalah penyebab infeksi nosokomial yang tersering. Disini kuman-kuman jaringan tubuhnya dan menimbulkan penyakit. Misalnya pada pemberian antibiotik flora usus. Flora usus yang tadinya tidak, oleh karena terjadinya empat komponen yang terlihat dibawah ini merupakan gambaran dari hospital infection. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya infeksi.

2.3.3. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh mikroorganisme patogen (bakteri, virus, fungi dan protozoa). Sering disebabkan oleh bakteri yang berasal dari flora endogen pasien sendiri. Faktor-faktor seperti pengobatan dengan antibiotik, uji diagnostik dan pengobatan yang invasif, penyakit dasar, bersama-sama mengubah flora endogen pasien selama dirawat. Beberapa mikroorganisme seperti basil Gram-negatif, E. coli, spesies enterobacter, klebsiela, pseudomonas aeruginosa, staphilococcus merupakan pathogen nosokomial yang paling sering (Soedarmo, dkk, 2008).

Dalam Soedarmo, dkk, (2008) disebutkan beberapa jenis infeksi nosokomial yang paling sering terjadi dan mikroorganisme penyebabnya, antara lain yaitu:

(26)

Dari laporan penelitian, tercatat infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi, lebih kurang 40% dari seluruh infeksi nosokomial. Saluran kemih merupakan tempat utama masuknya bakteri Gram-negatif kedalam darah. Sepsis pada infeksi saluran kemih pada orang dewasa menyebabkan mortalitas yang tinggi.

2. Infeksi Luka Operasi

Infeksi pada luka operasi menduduki peringkat ke dua dari seluruh kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit umum. Infeksi luka operasi sering kali disebabkan oleh streptococcus, staphylococcus, enterobacteria, pseudomonas.

3. Infeksi Saluran Nafas

Infeksi saluran nafas menempati urutan ke tiga dari seluruh kejadian infeksi nosokomial. Kebanyakan infeksi saluran nafas disebabkan oleh basil Gram-negatif usus (klebsiela, enterobakter, seratia, E. Coli, dan proteus) dan pseudomonas. Basil Gram-negatif lain yang berhubungan dengan air seperti asinetobakter, flavobakterium, dan alkaligenes juga dapat terlibat.

4. Bakteremia dan Infeksi Nosokomial, pada kateter intravena

Bakteri yang paling berperan dalam terjadinya infeksi intravena ialah stafilokokus (S. aureus dan S. epidermis), spesies klebsiela (klebsiela, enterobakter, dan seratia), enterokokus dan pseudomonas aeuroginosa.

(27)

khusus seperti pemeriksaan laboratorium. Secara umum gejala non-spesifik yang dapat dilihat dari seorang yang menderita infeksi nosokomial antara lain, yaitu:

a. Perubahan temperatur atau suhu tubuh (demam) b. Diare atau mencret

c. Mual dan muntah

d. Pneumonia (flu, batuk, dan sebagainya)

2.3.4. Cara Penularan Mikroorganisme

Transmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi dengan berbagai cara, bisa lebih dari satu cara. Menurut (Slack, 2003) ada lima cara terjadinya transmisi mikroorganisme yaitu:

1. Contact Transmision

Kontak transmisi adalah yang paling sering pada infeksi nosokomial, dibagi menjadi dua bagian yaitu secara langsung dan tidak langsung, kontak langsung (direc contac); transmisi mikroorganisme langsung permukaan tubuh seperti saat memandikan, membalikkan pasien, pada saat melakukan kegiatan asuhan keperawatan, menyentuh permukaan tubuh pasien. Kontak tidak langsung (indirect contac) kontak dengan kondisi orang yang lemah melalui peralatan yang terkontaminasi seperti peralatan instrument yang terkontaminasi, jarum, tangan yang terkontaminasi tidak dicuci dan sarung tangan tidak diganti diantara pasien.

(28)

Secara teoritikal merupakan bentuk kontak transmisi, namun mekanisme transfer mikroorganisme. Patogen ke penjamu ada jarak dari transmisi kontak. Droplet transmisi dapat terjadi ketika batuk, bersin, berbicara dan saat melakukan tindakan khusus.

3. Airborne Transmisi (melalui udara)

Transmisi melalui udara yang terkontaminasi dengan mikroorganisme patogen, memiliki partikel kurang yang sama dengan mikron. Transmisi terjadi ketika menghirup udara yang mengandung mikroorganisme patogen. Mikroorganisme dapat tinggal di udara beberapa waktu sehingga penanganan khusus udara dan ventilasi perlu dilakukan. Mikroorganisme yang transmisi melalui udara adalah mycobacterium tubercolosis, rubella, dan varicella verus. 4. Food Borne (melalui makanan)

Transmisi mikroorganisme melalui makanan alat kesehatan dan peralatan yang terkontaminasi dengan mikroorganisme patogen.

5. Blood Borne (melalui darah)

Terjadinya infeksi dapat berasal dari penyakit HIV, Hepatitis B dan C melalui jarum suntik yang telah terkontaminasi.

2.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Secara umum faktor yang mempengaruhi infeksi nosokomial terdiari atas 2 bagian besar, yang dikemukakan oleh (Parhusip, 2005) yaitu:

1. Faktor Endogen

(29)

b. Penyakit penyerta dan kondisi-kondisi lokal seperti adanya luka terbuka. c. Seorang dengan daya tahan tubuh yang rendah beresiko mendapatkan infeksi

nosokomial. 2. Faktor Eksogen

Merupakan faktor yang berasal dari luar diri penderita, seperti: a. Lama penderita dirawat

Semakin lama penderita dirawat, resiko atau kecenderungan untuk terkena infeksi nosokomial akan semakin besar.

b. Kelompok yang merawat

Tenaga kesehatan yang merawat selama dirumah sakit merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang terkena infeksi nosokomial.

c. Alat medis serta lingkungan

Alat-alat yang digunakan dan dilingkungan dapat menjadi media trasmisi masuknya kuman patogen penyebab infeksi nosokomial kedalam tubuh penderita.

2.3.6. Kelompok yang Beresiko

Menurut Zulkarnain (1996) dalam Sjaifoellah, dkk, (1996) adapun kelompok yang beresiko mendapatkan infeksi nosokomial yaitu :

1. Pasien

Seseorang yang mendapatkan perawatan di rumah sakit. 2. Petugas kesehatan

(30)

3. Pengunjung atau penunggu pasien

Seseorang atau sekelompok orang yang datang ke rumah sakit dengan tujuan untuk melihat atau menjaga kerabat yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit.

2.4. Kewaspadaan Universal

2.4.1. Defenisi Kewaspadaan Universal

Defenisi kewaspadaan universal yang direkomendasikan oleh CDC Atlanta (1988) dalam Zuidah (2007) adalah upaya pencegahan infeksi yang menitik beratkan penyebaran melalui cairan tubuh, darah dan jaringan tubuh lainnya secara universal tanpa memandang status infeksi pasien. CDC (1994) mendefenisikan kewaspadaan universal sebagai upaya pencegahan infeksi di sarana kesehatan yang merupakan kewaspadaan yang bersikap umum dan diterapkan pada semua pasien tanpa memandang status diagnosisnya.

(31)

kewaspadaan universal bisa mengurangi resiko penularan penyakit kepada petugas kesehatan dan mencegah penyebaran penyakit melalui pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas.

2.4.2. Alasan Dasar Penerapan Kewaspadaan Universal

Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan merupakan tempat pemeliharaan kesehatan. Pasien mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya atau keluarganya kepada petugas kesehatan. Maka kewajiban petugas kesehatan adalah menjaga sarana kesehatan sebagai tempat penyembuhan, bukan menjadi sumber penyakit infeksi (Zuidah, 2007).

Bahroen (2000) dalam (Zuidah, 2007) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survey tentang upaya pencegahan infeksi di puskesmas, masih ditemukannya beberapa tindakan petugas yang potensial meningkatkan penularan penyakit kepada diri mereka, pasien yang dilayani masyarakat luas, yakni cuci tangan yang tidak benar, penggunaan sarung tangan yang tidak tepat, penutupan kembali jarum suntik secara tidak aman, pembuangan peralatan tajam secara tidak aman, teknik dekontaminasi dan sterilisasi yang tidak tepat, serta praktek kebersihan ruangan yang belum memadai. Hal tersebut dapat saja meningkatkan resiko petugas kesehatan tertular karena tertusuk jarum atau terpajan darah/ cairan tubuh terinfeksi. Sementara pasien dapat tertular melalui peralatan yang terkontaminasi atau menerima darah atau prosuk darah yang mengandung virus.

(32)

Sejak AIDS dikenal, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal dikembangkan. Dalam sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas, praktik dokter, dan sebagainya), penerapan kewaspadaan universal harus diterapkan secara penuh oleh petugas pelayanan kesehatan.CDC Atlanta (1987) dalam Zuidah (2007) menyebutkan bahwa prinsip utama pencegahan infeksi pada pelayanan kesehatan adalah menjaga hygiene individu, hygiene ruangan, dan sterilisasi instrument.

Larson & Lusk (1985) dan Leonard (1986) dalam Zuidah (2007) juga mengemukakan kesalahan teknik mencuci tangan yang tidak tepat. Semua laporan tersebut menekankan kurangnya pelajaran teknik mencuci tangan yang adekuat. Larutan pencuci tangan kloreksidin terbukti merupakan bukti kuat bahwa tangan berperan sebagai jalur utama transmisi infeksi nosokomial.

Zuidah (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kewaspadaan universal, yaitu:

1. Mencuci tangan

Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan/mengurangi mikroorganisme yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan dengan memakai sarung tangan.

Ada tiga cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai kebutuhan, yaitu:

(33)

b. Cuci tangan aseptik, sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik.

c. Cuci tangan bedah (surgical hand scrub), sebelum melakukan tindakan bedah secara aseptik dan sikat steril.

2. Sarana Cuci Tangan

Air mengalir adalah sarana utama untuk cuci tangan dengan saluran pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut atau bak yang memadai, maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mikroorganisme atau kimiawi saat cuci tangan akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit.

Sabun dan detergen, bahan tersebut tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah terbawa oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, namun dilain pihak dengan seringnya menggunakan sabun atau detergen maka lapisan lemak kulit akan menghilang dan membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang untuk timbulnya kembali mikroorganisme.

(34)

Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama kuman transier.

Asepwandi (2008) dalam Latifah (2010), menyebutkan bahwa beberapa jenis sabun ataupun larutan desinfektan yang sering digunakan di rumah sakit antara lain yaitu:

a. Chlorhexidine Glukonat

Merupakan jenis desinfektan yang paling sering digunakan. Larutan pencuci tangan jenis ini sangat praktis dan mudah digunakan karena tidak memerlukan air sebagai pembilas.

b. Phenolic/ Fenol

Fenol merupakan zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Fenol bersifat asam dan merupakan komponen utama pada antiseptik dagang.

c. Chloroxylenol

Merupakan komponen utama pada sabun anti bakteri seperti dettol. d. Thymol

Thymol merupakan desinfektan yang berasal dari tanaman. Thymol sedikit larut dalam air pada pH netral, tetapi sangat larut dalam alkohol. Thymol juga memiliki toksisitas yang minimal pada manusia.

e. Ethanol/ Alkohol

(35)

juga sering dijumpai jenis handsanitiser yang salah satu kandungan utamanya adalah alkohol.

3. Menggunakan Alat Pelindung

Alat pelindung tubuh digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan urin dan semua jenis cairan tubuh, serta kulit yang luka, yang akan mudah terpajan dan potensial terinfeksi. Indikasi pemakaian alat pelindung disesuaikan dengan jenis pelindung tubuh yang dipakai dan tergantung pada jenis tindakan atau kegiatan yang akan dikerjakan.

4. Pengelolaan Alat Kesehatan

Kejadian infeksi yang sering di sarana kesehatan salah satu faktor resikonya adalah pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan desinfeksi yang kurang tepat. Meskipun tidak semua alat kesehatan yang digunakan dalam pelayanan medis kepada pasien harus disterilkan, tetapi pengelolaannya harus dengan cara yang benar dan tepat. Dalam hal ini harus di identifikasi apakah alat perlu dicuci saja atau didesinfeksi atau perlu disterilkan.

5. Desinfeksi Lokasi tindakan

Desinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau semua mikroorganisme dari alat kesehatan dan lokasi tindakan kecuali indesfora bakteri. 2.5. Pencegahan Infeksi Nosokomial

Dalam Tietjen (2004) menyatakan bahwa sebagian besar infeksi ini dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia, secara relatif murah yaitu:

(36)

2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti dengan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi

3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya dimana kecelakaan diperlukan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab infeksi sering terjadi.

4. Pencegahan standar merupakan suatu bentuk tindakan pencegahan terhadap infeksi yang umum dilakukan oleh perawat dalam setiap melakukan tindakan keperawatan kepada pasien. Pencegahan ini merupakan teknik mencuci tangan, menggunakan masker, sarung tangan (hansdscun), pakaian khusus dan penggunaan benda tajam sekali pakai (disposable).

Selain itu infeksi nosokomial dapat dicegah dengan memutuskan mata rantai terjadinya infeksi nosokomial, yaitu dengan cara:

a. Meningkatkan pengetahuan personil rumah sakit tentang infeksi nosokomial. b. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resiko infeksi nosokomial

bagi pasien yang dirawatnya.

c. Melakukan semua standar prosedur kerja dengan benar dan sempurna. d. Identifikasi penyebab infeksi nosokomial.

e. Pemberian pengobatan yang tepat dan rasional.

(37)

g. Memberikan petunjuk praktis pada pengunjung tentang hal-hal yang perlu dijaga/dilakukan/dihindarkan pada waktu pengunjungan melalui papan pengumuman, kertas petunjuk dipintu dan petugas informasi diruangan.

Panjaitan (2006) dalam isolation precaution menulis tentang standar precaution yang harus dilaksanakan untuk semua pasien yang masuk kerumah sakit yaitu:

1. Cuci Tangan

a. Melakukan cuci tangan dengan menggunakan antiseptik pada cuci tangan prosedur. Melakukan cuci tangan dengan menggunakan sabun biasa pada cuci tangan rutin /sosial. Pada kondisi tertentu cuci tangan dapat dilakukan dengan menggunakan “handrubs” (menggosok tangan).

b. Cuci tangan dilakukan setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekresi dan peralatan yang terkontaminasi, walaupun menggunakan sarung tangan segera setelah melepas sarung tangan, jika kontak diantara satu pasien dengan pasien lainnya, diantara prosedur berbeda pada pasien yang sama sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, sebelum dan sesudah melakukan tindakan, setelah tiba dirumah sakit dan sebelum meninggalkan rumah sakit. 2. Sarung Tangan

a. Memakai sarung tangan bersih pada saat menyentuh darah, cairan tubuh dan peralatan yang terkontaminasi dan saat menangani peralatan yang habis dipakai.

(38)

c. Melepaskan sarung tangan segera setelah dipakai, sebelum menyentuh peralatan atau permukaan lingkungan yang tidak terkontaminasi dan sebelum kepasien berikutnya.

3. Masker, Pelindung Mata dan Wajah

a. Memakai masker selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien.

b. Melepaskan masker setelah dipakai dan segera mencuci tangan. 4. Gaun/ Apron

a. Memakai gaun selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien.

b. Segera melepaskan gaun dan mencuci tangan untuk mencegah berpindahnya mikroorganisme ke pasien dan lingkungan.

5. Peralatan Perawatan Pasien

a. Segera melakukan dekontaminasi peralatan yang dipakai setelah dibersihkan dahulu dari noda darah atau cairan tubuh pasien.

b. Membersihkan dan memperoses kembali peralatan yang dipakai ulang sesuai prosedur pembuangan limbah.

6. Pengendalian Lingkungan

(39)

b. Melakukan pembersihan dengan cairan desinfektan setiap hari atau bila perlu pada semua permukaan lingkungan seperti meja pasien, meja petugas, tempat tidur, tempat tidur pasien, standar infus, pegangan pintu.

c. Membersihkan dan mengepel dengan cairan desinfektan dua kali sehari bila perlu.

d. Membatasi jumlah pengunjung pada waktu bersamaan.

e. Membatasi jumlah personil pada waktu yang sama di ruang perawatan. 7. Linen

a. Memisahkan linen ternoda darah atau cairan tubuh dengan linen kotoran tanpa noda.

b. Memisahkan linen kotoran pasien terinfeksi dengan pasien non infeksi. c. Tidak meletakkan linen dilantai dengan mengibas-ngibaskan linen. 8. Penanganan Limbah

Pemisahan limbah sesuai jenisnya diawali sejak limbah tersebut dihasilkan. a. Limbah padat terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh dibuang ketempat

sampah kantong plastik kuning.

b. Limbah padat tidak terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh dibuang ketempat sampah kantong plastik hitam.

c. Limbah benda tajam atau jarum dibuang ke kontainer yang berwarna kuning tahan tusuk dan tahan air (save cup).

(40)

a. Berhati-hati saat menangani jarum, scapel, instrument yang tajam atau alat kesehatan lainnya dengan permukaan tajam.

b. Jangan pernah menutup kembali jarum bekas pakai atau memanipulasikannya dengan dua tangan.

c. Jangan pernah membengkokkan atau mematahkan jarum.

d. Buanglah benda tajam atau jarum bekas pakei kedalam wadah yang tahan tusuk dan air, dan tempatkan pada area yang mudah dijangkau dari area tindakan.

e. Gunakan mouthpleces, resussitasi bags atau peralatan ventilasi lain sebagai alternatif mulut ke mulut.

2.6. Fasilitas Sanitasi Rumah Sakit Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004

2.6.1. Penyediaan Air Minum dan Air Bersih

(41)

sekitar 55 – 60% berat badan orang dewasa terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65%, dan untuk bayi sekitar 80%. (Notoatmodjo, 2003).

Dalam setiap kegiatan air harus memenuhi syarat kesehatan secara kuantitas dan kualitas agar tidak mengakibatkan sumber penyebaran penyakit bagi manusia. Distribusi air bersih harus tersedia disetiap ruangan dengan menggunakan jaringan perpipaan yang mengalir lancar dan tidak ada gangguan yang mengakibatkan gangguan kesehatan.

Jumlah kebutuhan air bersih ditetapkan berdasarkan jumlah pasien, hal ini dipakai sebagai perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan yaitu harus tersedia air bersih sesuai kebutuhan dan memenuhi syarat sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Menkes/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih. Jumlah/ kuantitas air bersih tergantung pada kelas dan berbagai pelayanan yang ada di rumah sakit makin banyak pelayanan yang ada di rumah sakit, semakin besar jumlah kebutuhan atau jumlah yang umum dipakai untuk kebutuhan di rumah sakit.

Adapun syarat kualitas air bersih berdasarkan Permenkes Nomor 416/Menkes/PER/IX/1990 mencakup :

1. Syarat fisik yaitu air untuk minum tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan suhu sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

2. Syarat kimia yaitu air tidak tercemar oleh zat-zat kimia atau mineral yang melebihi nilai ambang batas sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. 3. Syarat biologi yaitu air yang digunakan bebas dari kontaminasi bakteri

(42)

2.6.2. Fasilitas Toilet dan Kamar Mandi

Harus selalu terpelihara, dalam keadaan bersih, lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang dan mudah dibersihkan. Pada setiap unit ruangan harus tersedia toilet (jamban, peturasan dan tempat cuci tangan) tersendiri. Pembuangan air limbah dari toilet dan kamar mandi dilengkapi dengan penahan bau (water seal). Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan dapur dan ruang perawatan, harus terpisah toilet antara pria dan wanita, harus terpisah toilet antara pengunjung dan petugas.

Bagi pasien dan pengunjung harus terletak ditempat yang mudah dijangkau dan ada petunjuk arah serta toilet untuk pengunjung dan pasien harus dengan perbandingan 1 toilet untuk 1 – 20 pengunjung wanita, dan 1 toilet untuk 1 – 30 pengunjung pria, dilengkapi dengan slogan atau peringatan untuk memelihara kebersihan toilet serta tidak terdapat tempat penampungan dan genangan air yang dapat menjadi tempat perindukan serangga dan binatang pengganggu.

2.6.3. Pengelolaan Limbah Padat 1. Jenis Limbah Padat

(43)
[image:43.612.119.533.195.549.2]

Limbah padat non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan diluar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya.

Tabel 2.1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategorinya

a. Limbah Klinis

(44)

yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi dan farmasi serta limbah yang dihasilkan di rumah sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian.

b. Limbah Benda Tajam

Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian yang dapat memotong atau menusuk kulit, perlengkapan intravena, pecahan gelas dan pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun, dan bahan sitotoksis atau radioaktif. Limbah ini dapat menyebabkan infeksi atau cidera karena mengandung bahan beracun . Potensi untuk menularkan penyakit akan sangat besar bila benda tajam tadi digunakan kembali untuk perawatan dan pengobatan pasien.

Limbah benda tajam hendaknya ditempatkan dalam kontainer benda tajam yang dirancang cukup kuat, tahan tusukan dan diberi label dengan benar. Desain dan konstruksi kontainer hendaknya sedemikian untuk mengurangi kemungkinan cidera bagi orang yang menangani pada saat pengumpulan dan pengangkutan limbah benda tajam. Incenerator merupakan metode terbaik untuk pembuangan limbah benda tajam. (Adisasmito, 2008).

c. Limbah Infeksius

(45)

adalah menggunakan autoclave yang membuatnya menjadi tidak infeksius sehingga bisa dibuang ke sanitary landfill, masalahnya adalah volume limbah yang harus di autoclave cukup besar.

d. Limbah Jaringan Tubuh

Jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, plasenta, darah, dan cairan tubuh lain yang dibuang pada saat pembedahan atau aotopsi. Jaringan tubuh yang tampak nyata seperti anggota badan dan plasenta yang tidak memerlukan pengesahan penguburan hendaknya dikemas secara khusus, diberi label, dan dimusnahkan ke incenerator di bawah pengawas petugas berwenang.

e. Limbah Sitotoksis

Limbah sitotoksis adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksis selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksis. Untuk menghapus tumpahan yang tidak sengaja, perlu disediakan absorben yang tepat. Bahan pembersih hendaknya selalu tersedia dalam ruang racikan terapi sitotoksis. Bahan-bahan yang cocok untuk itu, antara lain: sawdust, granula absorbsi yang tersedia di pasar, detergent, atau perlengkapan pembersih lainnya. Semua limbah pembersih harus diperlakukan sebagai limbah sitotoksis.

Pemusnahan limbah sitotoksis hendaknya menggunakan incenerator karena sifat racunnya yang tinggi. Limbah dengan kandungan obat sitotoksis rendah, seperti urin, tinja, dan muntahan, bisa dibuang secara aman di saluran air kotor. Namun harus hati-hati dalam menangani limbah tersebut dan harus diencerkan dengan benar.

(46)

Limbah farmasi berasal dari obat-obatan yang kadaluarsa, obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi yang bersangkutan. Metoda pembuangan dengan pertimbangan prinsip-prinsip bahwa limbah farmasi hendaknya diwadahi dalam kontainer khusus non reaktif, dibakar dengan incinerator.

g. Limbah kimia

Limbah yang dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Pembuangan limbah ke saluran air kotor dapat menimbulkan korosi pada saluran. Limbah bahan kimia yang tidak bisa didaur ulang seperti gula, asam amino, garam tertentu dapat dibuang ke saluran air kotor namun harus memenuhi syarat yang ditetapkan melalui pengelolaan pada IPAL.

Limbah bahan kimia dalam jumlah kecil seperti residu yang dalam kemasan sebaiknya ditimbun (landfill). Limbah bahan kimia dalam jumlah besar dibakar dalam incinerator yang dilengkapi dengan alat pembersih gas. Limbah bahan kimia dapat dikembalikan kepada distributornya yang dapat menanganinya dengan aman untuk diolah. Pembuangannya harus dikonsultasikan kepada instansi yang berwenang.

h. Limbah Radioaktif

(47)

penanganan limbah radioaktif harus dengan aturan kebijakan dan strategi nasional yang menyangkut peraturan, infrastruktur, organisasi pelaksana dan tenaga terlatih.

Bagian radioaktif harus mempunyai tenaga yang terlatih khusus di bidang radiasi. Harus tersedia instrument kalibrasi yang tepat untuk monitoring dosis dan kontaminasi. Limbah radioaktif harus dikategorikan dan dipilah berdasarkan cara pengolahan, penyimpanan dan pembuangan. Kontainer tempat penyimpanan secara jelas diidentifikasi, ada simbol radioaktif, dapat diisi dan dikosongkan dengan aman, kuat dan saniter. Ada informasi yang harus dicatat pada setiap kontainer seperti : nomor identifikasi, asal limbah, angka dosis dan tanggal pengukuran dan orang yang bertanggung jawab. Kontainer harus dibungkus dengan kantong plastik transparan yang dapat ditutup dengan isolasi plastik. Pembuangan berdasarkan persyaratan teknis menurut PP No. 27 tahun 2002 kemudian diserahkan ke BATAN atau dikembalikan kepada distributor. Semua jenis limbah medis dan radioaktif tidak boleh dibuang ke TPA domestik.

2. Proses Pengelolaan Limbah Padat

Pengelolaan limbah padat dapat dilakukan dengan berbagai cara dibawah ini : a. Minimisasi Limbah

(48)

b. Pemilahan dan Pewadahan

Pemilahan limbah harus dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan limbah, pisahkan limbah yang akan dimanfaatkan kembali dari limbah yang tidak dimanfaatkan. Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya. Wadah tersebut harus anti bocor, anti tusuk dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak dapat membukanya. Adapun limbah medis padat yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui proses sterilisasi. Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali, apabila tidak mempunyai jarum yang sekali pakai (disposable). Pewadahan masing-masing limbah harus memenuhi persyaratan dengan penggunaan wadah dan label.

c. Pengumpulan dan Penyimpanan

Pengumpulan limbah medis padat dari setiap ruangan penghasil limbah menggunakan troli khusus yang tertutup dan penyimpanannya harus sesuai jenis dan kategori limbah.

d. Pengangkutan

Pengangkutan limbah ke luar gedung pengelola harus menyediakan tempat khusus dan mengemas pada tempat yang kuat dan pengangkutan menggunakan kendaraan khusus. Demikian pula dengan limbah non medis dikumpulkan ke tempat yang ditetapkan kemudian dibuang ke TPS sebelum diangkut petugas Dinas Kebersihan.

(49)

Limbah medis padat tidak boleh dibuang langsung ke tempat pembuangan akhir limbah domestik. Cara dan teknologi pengolahan atau pemusnahan limbah medis padat disesuaikan dengan kemampuan pengelola dan jenis limbah medis padat yang ada misalnya dengan incinerator.

Limbah padat non medis pengelolaan dapat dilakukan dengan cara: a) Pemilahan dan Pewadahan harus dipisahkan dari limbah medis padat

Tempat pewadahan limbah padat harus dilapisi kantong plastik warna hitam sebagai pembungkus dengan lambang “domestik” warna putih. Limbah domestik akan berhubungan dengan adanya lalat karena adanya sampah basah yang dihasilkan. Apabila kepadatan lalat disekitar tempat limbah padat melebihi 2 (dua) ekor per-block grill, perlu dilakukan pengendalian lalat. b) Pengumpulan, Penyimpanan, dan Pengangkutan

Bila di tempat pengumpulan sementara tingkat kepadatan lalat lebih dari 20 ekor per-block grill atau tikus terlihat pada siang hari, harus dilakukan pengendalian. Dalam keadaan normal harus dilakukan pengendalian serangga dan binatang pengganggu yang lain minimal satu bulan sekali.

c) Pengolahan dan Pemusnahan dilakukan sesuai persyaratan kesehatan. f. Syarat Pengelolaan Sampah yang Baik

(50)

Jenis sampah yang dihasilkan rumah sakit sesuai sifatnya : a. Limbah Infeksius

b. Limbah patologi c. Limbah sitotoksis d. Limbah kimia e. Limbah Farmasi

Pengelolaan sampah yang aman harus diselenggarakan dengan cara menyediakan wadah sebagai berikut :

a. Wadah harus kuat dan tidak mudah rusak

b. Tersedia lokasi/tempat pengumpulan sampah sementara.

c. Sampah harus dipisahkan sesuai dengan jenisnya kedalam kantong plastik dengan lambang dan warna yang telah ditetapkan.

d. Tempat sampah harus tersedia 1 (satu) buah di setiap ruangan dan setiap radius 10 meter serta setiap jarak 20 meter pada ruang tunggu dan ruang terbuka.

e. Lokasi/tempat sampah sementara harus mudah dikosongkan, tidak terbuat dari beton permanen, terletak di lokasi yang mudah dijangkau kenderaan pengangkut sampah dan harus dikosongkan minimal satu kali 24 jam.

(51)

g. Tempat sampah medis dan non medis harus mememenuhi syarat : tidak mudah berkarat, kedap air, bertutup, mudah dibersihkan dan mudah dikosongkan.

h. Pengangkutan sampah dimulai dari mengambil sampah dari tempat penampungan yang ada di setiap ruangan kemudian dibawa dan dikumpulkan di TPS. Alat yang digunakan harus terpisah antara sampah medis dan non medis.

i. Alat untuk mengangkut sampah dapat berupa gerobak/trolly dengan syarat permukaan bagian dalam harus rata dan kedap air, mudah dibersihkan, mudah diisi dan dikosongkan. Sampah yang akan diangkut oleh Dinas Kebersihan dikumpulkan pada tempat penampungan sampah sementara dengan ketentuan mudah dijangkau oleh kendaraan pengangkut sampah, tidak menjadi tempat bersarangnya tikus dan serangga, jauh dari ruang perawatan dan dapur, dan bebas dari kemungkinan adanya banjir.

g. Proses Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbulan, penyimpanan (sementara), pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah ke tempat akhir dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik kesehatan masyarakat (Dirjen PPM & PL, 2002)

(52)

sukar terurai misalnya plastik adalah didasarkan menurut sifat mengurai. Berdasarkan mudah tidaknya terbakar dibagi menjadi sampah yang mudah terbakar misalnya kertas dan sulit tebakar misalnya kaca.

Sistematika Pengelolaan Limbah Padat a. Proses dari Pemilahan dan pengemasan sampah

Limbah harus dipilah dan dikemas berdasarkan jenisnya misalnya limbah padat medis non tajam meliputi kapas, perban dimasukkan ke dalam wadah yang dilapisi kantong plastik warna kuning di dalamnya, hanya limbah padat yang dimasukkan ke dalam wadah limbah padat medis. Wadah harus selalu dalam keadaan tertutup.Setelah dua pertiga penuh, kantong plastik diikat dan dipindahkan ke dalam troli/kontainer beroda khusus limbah medis. Gunakan selalu alat pelindung diri (sarung tangan, masker, pakaian pelindung dan sepatu khusus). Pemilihan dan pengemasan sampah sesuai kategori dan dibuat warna kontainer dengan kantong plastik sesuai lambang sampah serta ada keterangannya.

Untuk limbah padat medis tajam meliputi jarum suntik, botol ampul dimasukkan ke dalam wadah khusus limbah tajam, khusus jarum suntik dapat

PEMILAHAN DAN PENGEMASAN

PENGUMPULAN DAN PENGANGKUTAN

PENAMPUNGAN DAN PENYIMPANAN

PENGOLAHAN DAN PEMUSNAHAN

PENGAWASAN, PENCATATAN &

PELAPORAN

(53)

tiga, wadah dipindahkan ke dalam troli/kontainer beroda khusus limbah medis. Gunakan selalu alat pelindung diri (sarung tangan, masker, pakaian pelindung dan sepatu khusus).

b. Pengumpulan dan Pengangkutan

Kantong plastik warna kuning yang telah diikat, dimasukkan ke dalam troli khusus limbah padat medis. Troli dibawa melaui jalur yang telah ditentukan menuju tempat penyimpanan sementara. Pastikan troli tertutup dengan baik selama perjalanan dan gunakan APD.

c. Penampungan dan Penyimpanan Sementara

Prosedur penyimpanan sementara untuk limbah padat medis yaitu dimulai dari dengan memasukkan kantong plastik warna kuning yang berisi limbah padat medis ke dalam kontainer penyimpanan sementara. Kontainer selalu dalam keadaan tertutup selama-lamanya 2 x 24 jam harus sudah dipindahkan ke alat pengolah limbah dan selalu gunakan APD.

d. Pengolahan dan Pemusnahan

Limbah yang sangat infeksius harus disterilisasi dengan pengolahan panas dan basah seperti autoclave sedini mungkin. Benda tajam harus diolah dengan incenerator. Setelah incenerasi residu dapat dibuang ke tempat sampah pembuangan B3.

(54)

harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada incenerator dan diberi keterangan bahwa obat tersebut sudah kadaluarsa atau tidak lagi dipakai.

e. Pembuangan Sampah

Pembuangan ke TPA khusus untuk sampah domestik. Alat untuk mengangkut sampah dapat berupa gerobak/truk kontainer dengan syarat permukaan bagian dalam harus rata dan kedap air, mudah dibersihkan, mudah diisi dan dikosongkan. Sampah yang akan diangkut oleh Dinas Kebersihan dikumpulkan pada tempat penampungan sampah sementara dengan persyaratan sebagai berikut: mudah dijangkau oleh kenderaan pengangkut sampah, tidak menjadi tempat bersarangnya tikus dan serangga, jauh dari ruang perawatan dan dapur dan bebas dari kemungkinan adanya banjir.

2.6.4. Pengelolaan Limbah Cair a. Kolam Stabilisasi Air Limbah

Menurut Dirjen PPM & PL dan Dirjen Pelayanan Medik tahun 2002 dalam buku pedoman sanitasi rumah sakit di Indonesia dijelaskan bahwa pengelolaan limbah cair rumah sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikro-organisme, bahan kimia beracun, dan radio aktif diolah sesuai dengan kemampuan rumah sakit (Dirjen Pelayanan Medik, 2002).

(55)

Sistem ini hanya terdiri dari bagian-bagian yang cukup sederhana, yaitu: Pump Sump (Pompa air kotor), Stabilization Pond (kolam stabilisasi) biasanya 2 buah, bak klorinasi, control room (ruangan untuk kontrol), inlet, interconnection anrara 2 kolam stabilisasi, out let dari klam stabilisasi menuju ke sistem clorinasi (bak clorinasi).

a) Kolam Oksidasi Air Limbah

Sistim kolam oksidasi ini telah dipilih untuk pengolahan air limbah rumah sakit yang terletak di tengah-tengah kota. Karena tidak memerlukan lahan yang luas, kolam oksidasinya sendiri dibuat bulat atau elip dan air limbah dialirkan secara berputar agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara (aerasi).

Kemudian air limbah dialirkan ke dalam sedimentation tank untuk mengendapkan benda-benda padat dan lumpur lainnya. Selanjutnya air yang sudah nampak jernih dialirkan ke Bak clorinasi sebelum dibuang ke dalam sungai atau badan air lainnya. Sedangkan lumpur yang mengendap diambil dan dikeringkan pada Sludge Drying Bed.

Sistim Oxidation Ditch ini terdiri dari komponen-komponen antara lain: Pump Sump (pompa air kotor), Oxidation Ditch (kolam oksidasi), sedimentation tank (bak pengendapan), Chlorination Tank (Bak Chlorinasi), Sludge Drying Bed (tempat mengeringkan lumpur biasanya 1-2 petak) dan Control Room (ruang kontrol).

(56)

Sistem pengolahan air limbah melalui proses pembusukan anarobik melalui suatu filter/saringan, dimana air limbah tersebut sebelumnya telah mengalami pre-treatment dengan septik tank (Inhoff Tank).

Dari proses Anarobic Filter treatment biasanya akan menghasilkan effluent yang mengandung zat-zat asam organik dan senyawa anorganik yang memerlukan chlor lebih banyak untuk proses oksidasinya, oleh sebab itu sebelum effluent dialirkan ke bak chlorinasi ditampung dulu ke dalam bak/ kolam stabilisasi untuk memberikan kesempatan oksidasi zat-zat tersebut diatas, sehingga akan menurunkan jumlah chlorine yang dibutuhkan pada proses chlorinasi nanti.

Sistim anaerobik treatment terdiri dari komponen-komponen antara lain sebagai berikut: Pump Sump (Pompa Air Kotor), Septik Tank (Inhoff Tank), anaerobic filter, bak stabilisasi, bak chlorinasi, tempat pengeringan lumpur, dan ruang kontrol.

c) Septik-Tank

Septik-tank dipergunakan untuk mengolah air kotor pada rumah tangga, termasuk limbah cair rumah sakit. Dengan mengalirnya semua limbah air ke dalam septik-tank bahaya ini dapat diperkecil. juga dapat diharapkan bahwa dengan lebih banyaknya kotoran yang dapat larut ke dalam air sehingga lumpur yang harus ditampung di dalam septik-tank dapat diperkecil.

(57)

Dasar septik-tank dibuat miring sehingga lumpur dapat berkumpul menyebelah dan kemudian mengalir dengan sendirinya ke dalam ruang lumpur ke dua yang letaknya berdampingan dengan septik-tank. Dengan adanya ruang lumpur kedua ini dapat terjamin bahwa yang dikeluarkan hanyalah lumpur yang betul-betul sudah menjadi busuk dan stabil serta tidak terdapat lagi bakteri pathogen dan dapat diharapkan juga tidak dapat mengandung telur-telur cacing.

Pengelolaan air limbah bertujuan untuk :

1. Perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya terjangkitnya penyakit, karena air limbah merupakan tempat yang baik untuk berkembang biak bermacam-macam bibit penyakit.

2. Melindungi timbulnya kerusakan tanaman, terutama jika air limbah mengandung zat-zat yang membahayakan kelangsungan hidup tanaman.

3. Menjamin apabila air limbah dibuang kelingkungan atau ke badan air tidak merusak badan air.

4. Tidak mengotori sumber air minum seperti sumur penduduk di sekitarnya 5. Tidak mencemarkan alam sekitarnya, misalnya tempat rekreasi, kolam

renang, pemandangan dan tidak menimbulkan bau. d) Sifat Limbah Cair

(58)

laboratorium berbagai macam bahan kimia baik toksik maupun non toksik, dan lain-lain.

Karakteristik kimia, fisik dan biologi limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang, dan jenis sarana yang ada.

e) Langkah-langkah pengolahan limbah cair

Menurut Sugiharto (2000) langkah-langkah pengolahan air limbah rumah sakit.

1. Pengolahan Pendahuluan

Proses ini dilakukan dengan cara pembersihan agar mempercepat dan memperlancar proses selanjutnya. kegiatan berupa pengambilan benda terapung dan pengambilan benda yang mengendap seperti pasir. Tahap ini bertujuan menghilangkan zat padat yang kasar dengan jalan melewatkan air limbah melalui saringan kasar sehingga benda-benda besar bisa diambil. 2. Pengolahan Pertama

Pengolahan ini bertujuan untuk memisahkan lemak dan minyak yang timbul dipermukaan kemudian dipisahkan untuk diambil. Kemudian air yang telah dipisahkan dari benda-benda yang terapung dan minyak seperti di atas dialirkan ke bak pengolahan kedua.

3. Pengolahan Kedua

(59)

mikroorganisme. Umumnya pengolahan ini bersifat aerob karena bakteri membutuhka oksigen untuk dapat menguraikan limbah.

4. Pengolahan Ketiga

Pengolahan ini digunakan apabila pada pengolahan petama dan kedua masih banyak terdapat zat yang berbahaya untuk itu diperlukan pengolahan secara khusus sesuai dengan kandungan zat yang ada di air limbah.

5. Pembunuhan Bakteri

Pengolahan ini bertujuan untuk mengurangi atau membunuh bakteri mikroorganisme patogen yang ada di air limbah contoh yang sering digunaka

Gambar

Tabel 2.1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategorinya
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Karakteristik di
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Tingkat Pengetahuan dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Sikap dalam Pencegahan  Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun Tahun 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan kepala ruangan dapat mengoptimalkan supervisi kepada perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi nosokomial yang sesuai dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial melalui cuci tangan sebanyak 72,5 persen perawat yang memiliki

Hubungan Faktor – faktor Eksogen Dengan Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Bedah RSU Daerah Dr. Pirngadi

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “

Judul Tesis : Hubungan Motivasi Perawat dengan Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.. Nama Mahasiswa :

Judul Tesis : Hubungan Motivasi Perawat dengan Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.. Nama Mahasiswa :

Pada tabel 4.10 dapat dilihat bahwa perawat dengan sikap baik dan melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial (phelibitis) dengan baik sebanyak 23 (76,7%)

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang berada di ruang medic sentral (UGD, ICU, OK ) memiliki sikap positif terhadap pencegahan infeksi nosokomial