• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokrawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokrawi"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

EMMANUEL MANANGKALANGI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi

Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis, Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai

Aimasi, Manokwari” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan

dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2009

(3)

ABSTRACT

EMMANUEL MANANGKALANGI.

Food, Growth and Reproduction of Rainbow

Arfak (

Melanotaenia arfakensis

Allen) in Nimbai and Aimasi Streams, Manokwari

.

Under direction of SULISTIONO, M. F. RAHARDJO and DJADJA S. SJAFEI.

Research aimed to study on food, growth, and reproduction of arfak rainbowfish

(Melanotaenia arfakensis) in Nimbai and Aimasi streams, in Prafi river systems

conducted from June to December 2007. Samplings were collected out monthly using

hand net in four different habitat types. During June to September which had low flow,

especially in slow and medium littoral habitats, abundance of plankton, benthic and

drifting macroinvertebrates were high, and temperature was warm. Gut content dominated

by insect groups, i.e. Diptera, Ephemeroptera, Coleoptera, and Trichoptera. There were

trends of food electivity to natural abundance conditions. Intestinal length was relatively

shorter compared to standard length, ranged 0.31-0.62. Male fish grew faster than female,

so attained earlier maturation stage. There was no different proportion in both sexes, with

habitat type and time. This species has relative low fecundity, producing 23-1,351 eggs

with relative larger diameter (0.5-1.3 mm). Large egg diameter that distributed in

posterior of ovarium, 2-3 modes, and presence of atretic eggs indicating that the fish was

multiple spawner. Based on gonado-somatic index (GSI), condition factor, presence of

eggs and larvae in limited period, spawning season in both location occurred from June to

September, with low flow condition. The consentration of reproduction to the dry season

ensured that larvae were produced during a period of relatively stable and benign physical

conditions. In addition, during this periods, both of streamside habitats supported food

abundance, warmer temperature, and availability of submerged vegetation, so were essensial

for spawning and nursering. In order to maintain the population of this species, both of these

streams as their natural habitats must be reserved, thereby its life cycles could go on.

(4)

Pelangi Arfak (

Melanotaenia arfakensis

Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi,

Manokwari

. Dibimbing oleh SULISTIONO, M. F. RAHARDJO dan DJADJA S. SJAFEI.

Ikan pelangi arfak (M. arfakensis) adalah salah satu sumberdaya hayati yang endemik

di beberapa sungai di Manokwari, dan statusnya saat ini sudah berada dalam kategori rentan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi makanan, pertumbuhan dan reproduksi ikan

pelangi arfak secara temporal di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Pada kedua

lokasi penelitian ditetapkan empat tipe habitat untuk pengambilan contoh organisme dan

parameter lingkungan, yaitu daerah lubuk (L), daerah beraliran deras (AD), tepi sungai

beraliran sedang (TAS), dan tepi beraliran lambat (TAL). Pengambilan contoh ikan pelangi,

plankton dan makroavertebrata serta pengukuran parameter perairan dilakukan setiap bulan

yang dimulai dari Juni-Desember 2007.

Kecepatan aliran air pada tipe habitat di bagian tepi sungai (TAL dan TAS) lebih

lambat dibandingkan dua tipe habitat lainnya (AD dan L). Rata-rata kecepatan aliran air yang

rendah terjadi selama Juni-Oktober. Debit air berkisar 0,987-2,192 di S. Nimbai dan

5,924-13.417 m

3

/detik di S. Aimasi. Konsentrasi oksigen terlarut secara keseluruhan berkisar

4,73-7,41 mg/l di S. Nimbai dan 5,09-7,98 mg/l di S. Aimasi. Tipe habitat TAL dan TAS

menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah. Nilai pH pada semua tipe habitat

bersifat basa (7,91-8,65). Nilai kekeruhan berkisar 0,16-2,97 NTU di S. Nimbai dan 0,97-5,03

NTU di S. Aimasi. Nilai rata-rata kekeruhan tertinggi ditemukan selama Agustus, November

dan Desember. Beberapa vegetasi riparian (I. cylindrica,

S. spontaneum,

C. diffusa,

C. ternatea, dan

Mikania

sp.) ditemukan dalam kondisi sebagian terendam pada tipe habitat

TAL dan TAS.

Kelimpahan plankton yang ditemukan pada kedua lokasi relatif rendah (<1,04

individu/liter) dan didominasi oleh kelompok Chlorophyta dan Bacillariophyta. Kelimpahan

plankton yang lebih tinggi ditemukan pada habitat di bagian tepi. Makroavertebrata yang

ditemukan terutama dari kelompok Insekta (tahap larva dan pupa). Kelimpahan

makroavertebrata bentik yang tinggi ditemukan pada tipe habitat beraliran lambat (TAL dan

TAS) dan pada saat kondisi debit air yang rendah. Dua kelompok Insekta yang ditemukan

lebih melimpah pada semua tipe habitat dan waktu yaitu Diptera dan Ephemeroptera.

Beberapa kelompok makroavertebrata juga ditemukan dalam kondisi hanyut dan

kelimpahannya yang tinggi ditemukan pada saat kondisi aliran rendah (Juli-Oktober) pada

habitat di daerah tepi (TAL dan TAS).

Tahap perkembangan ikan pelangi arfak yang ditemukan meliputi telur, larva, juvenil,

individu muda dan dewasa. Tahap perkembangan awal ditemukan hanya di bagian tepi (TAL

dan TAS), sedangkan individu muda dan dewasa ditemukan pada semua tipe habitat.

Isi lambung ikan pelangi arfak di kedua lokasi didominasi oleh kelompok insekta,

yaitu Diptera, Ephemeroptera, Coleoptera, dan Trichoptera. Juga terdapat kecenderungan

pemilihan makanan yang ditemukan dalam kondisi melimpah di alam. Panjang usus relatif

berkisar di antara 0,31-0,62.

Individu jantan tumbuh lebih cepat dan ditandai dengan koefisien pertumbuhan (K)

yang lebih besar di kedua lokasi. Nilai rata-rata faktor kondisi yang relatif lebih tinggi

ditemukan selama periode Juni-September di S. Nimbai dan Juli-September di S. Aimasi.

(5)

berkisar 0,275-0,69 dan 0,60-1,95, sedangkan di Sungai Aimasi berkisar 0,43-0,90 dan

0,57-1,94. Nilai rata-rata IKG yang tinggi pada individu jantan dan betina di S. Nimbai ditemukan

selama Juni-Agustus, sedangkan di lokasi Aimasi ditemukan selama Juli-Agustus.

Jumlah telur yang dihasilkan berkisar 23-1351 butir. Koefisien korelasi (r) di antara

fekunditas dan panjang baku cukup tinggi. Diameter telur berkisar di antara 0,5 dan 1,3 mm.

Rata-rata diameter telur di bagian posterior ovari lebih besar, sebarannya terdiri atas 2-3

modus, dan kehadiran telur-telur matang sisa (atretic) menjadi indikasi tipe reproduksi

pemijah bertahap. Berdasarkan nilai rata-rata IKG, faktor kondisi, keberadaan telur dan larva

mengindikasikan aktivitas pemijahan yang lebih tinggi selama Juni-September pada kondisi

debit air yang relatif lebih rendah. Konsentrasi upaya reproduksi selama periode ini adalah

suatu adaptasi agar larva sedikit mungkin mangalami pemindahan secara fisik atau mortalitas

yang tinggi. Selama periode ini juga, khususnya di bagian tepi sungai ditemukan kelimpahan

makanan (plankton dan makroavertebrata) yang lebih tinggi serta suhu air yang lebih hangat

sehingga memungkinkan metabolisme dan pertumbuhan larva menjadi lebih cepat.

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya.

Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan,

penelitian,

penulisan

karya

ilmiah,

penyusunan

laporan,

penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak

merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

MAKANAN, PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI

IKAN PELANGI ARFAK (

Melanotaenia arfakensis

ALLEN)

DI SUNGAI NIMBAI DAN SUNGAI AIMASI, MANOKWARI

EMMANUEL MANANGKALANGI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

rahmat-Nya sehingga laporan penelitian dengan judul “Makanan, Pertumbuhan

dan Reproduksi Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis

Allen) di Sungai

Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari” dapat diselesaikan. Tujuan penelitian ini

adalah mengkaji kondisi makanan, pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi

arfak sebagai dasar bagi upaya menjaga kelestarian populasinya pada habitat

alami.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sulistiono,

M.Sc., Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA. dan Dr. Ir. Djadja S. Sjafei selaku komisi

pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati telah membimbing dalam

penyusunan laporan penelitian ini, serta kepada Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA

selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Ungkapan terima kasih pula

disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Perairan IPB beserta staf, Rektor

UNIPA beserta staf, Ditjen Dikti yang telah memberikan dana BPPS, Depdiknas

melalui Program Beasiswa Unggulan P3SWOT, Program Mitra Bahari-Coremap

II dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan dana bantuan

penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kepada kedua

orang tua, istri, dan seluruh keluarga atas dukungan doa, material, dan kasih

sayang mereka. Juga penulis menyampaikan terima kasih kepada teman-teman

yang telah membantu kegiatan di lapangan maupun di laboratorium, yaitu Simon

P.O. Leatemia, S.Pi., Luky Sembel, S.Ik., Agustinus Lebang, S.Pi., Benyamin

Mandosir, S.Pi., Hengky Kaiway, S.Pi., Novalius S. Leatemia, S.P., M.Si.

Demikian juga penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir. Fadly Y Tantu,

M.Si., Ir. Yusri Nilawati, M.Sc. dan Muslih, S.Pi. yang telah memberi bantuan

literatur dan motivasi hingga bisa selesainya laporan ini, serta kepada semua pihak

lainnya yang telah membantu kegiatan penelitian ini.

Bogor, Juli 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 dari Ayah

Judson Bowohiabe Makasunggal dan Ibu Dorothea Lamoyer Manangkalangi.

Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi dan lulus tahun

1998. Selanjutnya pada tahun 1999-2002, penulis mengabdi sebagai dosen luar

biasa di almamaternya.

Semenjak tahun 2002, penulis bekerja sebagai staf

pengajar pada Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Negeri Papua. Pada tahun 2005 penulis diberi kesempatan

mengikuti program magister sains di Program Studi Ilmu Perairan IPB atas

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

1. PENDAHULUAN ...

1

1.1 Latar Belakang ...

1

1.2 Perumusan Masalah ...

1

1.3 Tujuan dan Manfaat ………..……..

2

1.4 Hipotesis ...

2

2. TINJAUAN PUSTAKA ..……….…..…...

4

2.1 Tipologi Perairan Sungai Bagian Ritral ………..…

4

2.2 Bioekologi Ikan Pelangi ...

4

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Pelangi Arfak ...

4

2.2.2 Distribusi dan Habitat ...

6

2.2.3 Pertumbuhan ...

6

2.2.4 Reproduksi ...

7

3. METODE ………...………..….. 11

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………..……….... 11

3.2 Metode dan Desain Penelitian ... 11

3.2.1 Penentuan Tipe Habitat ………..…………...……… 11

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 13

3.2.3 Analisis Data ... 15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian …....………...……… 19

4.1.1 Hidrologi ... 19

4.1.2 Suhu Air ... 20

4.1.3 Oksigen Terlarut ... 20

4.1.4 Nilai pH ... 21

4.1.5 Kekeruhan ... 22

4.1.6 Vegetasi ... 23

4.1.7 Komposisi dan Kelimpahan Biota ... 24

4.2 Pertumbuhan Ikan Pelangi Arfak …………...……… 31

4.2.1 Tahap Perkembangan dan Karakteristik Seksual ... 31

4.2.2 Distribusi Spasial Tahap Perkembangan dan Ukuran Ikan ... 33

4.2.3 Makanan ... 35

4.2.4 Komposisi Ukuran Panjang Tubuh, Berat Tubuh dan Pertumbuhan ... 37

4.2.5 Faktor Kondisi ... 40

4.3 Reproduksi Ikan Pelangi Arfak ... 41

4.3.1 Perbandingan Kelamin ... 41

4.3.2 Perkembangan Gonad ... 41

4.3.3 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad ... 47

4.3.4 Fekunditas ... 48

4.3.5 Diameter Telur ... 49

4.3.6 Musim Pemijahan dan Strategi Reproduksi ... 51

(12)

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Simpulan ………...……… 56

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ………..………... 57

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel

Teks

Halaman

1.

Persamaan pertumbuhan pada ikan pelangi ...

6

2.

Ukuran panjang baku (PB) ikan pelangi saat matang gonad ...

7

3.

Fekunditas dan diameter telur pada beberapa ikan pelangi ...

9

4.

Posisi geografis dan ketinggian setiap tipe habitat di lokasi penelitian ... 11

5.

Debit air, jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan tahun 2007 ... 20

6.

Komposisi plankton pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 24

7.

Komposisi makroavertebrata pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan

S. Aimasi ... 27

8.

Persentase kelimpahan famili makroavertebrata bentik yang dominan ... 29

9.

Jumlah individu setiap tahap perkembangan awal ikan pelangi arfak

berdasarkan waktu penangkapan di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 32

10.

Indeks bagian terbesar makanan ikan pelangi arfak yang dominan

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 36

11.

Indeks pilihan makanan ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 36

12.

Panjang usus relatif ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 37

13.

Ukuran panjang baku (PB) dan berat tubuh ikan pelangi arfak

berdasarkan tahap perkembangan dan jenis kelamin di S. Nimbai dan

S. Aimasi ... 37

14.

Indeks kematangan gonad ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan

S. Aimasi ... 47

15.

Ukuran panjang baku pertama kali matang gonad ikan pelangi arfak

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 48

16.

Fekunditas ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 48

17.

Ukuran diameter telur ikan pelangi arfak berdasarkan bagian gonad

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 50

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Teks

Halaman

1.

Diagram alir pendekatan dan pemecahan masalah ...

3

2.

Dimorfisme dan dikromatisme seksual pada

M. arfakensis

...

5

3.

Telur-telur yang menempel pada tumbuhan air (Allen 1995) dan

beberapa tahap perkembangannya (Humphrey

et al.

2003) ...

9

4.

Morfologi larva beberapa jenis ikan pelangi ... 10

5.

Lokasi penelitian (Sumber: dimodifikasi dari Bakorsurtanal 2006),

sistem ordo dan daerah tangkapan air serta skema tipe habitat di lokasi

(a) S. Nimbai dan (b) S. Aimasi ……... 12

6.

Kecepatan aliran air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 19

7.

Suhu air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai

dan S. Aimasi ... 20

8.

Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap tipe habitat dan waktu

pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 21

9.

Nilai pH pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai

dan S. Aimasi ... 22

10.

Tingkat kekeruhan air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 23

11.

Kelimpahan plankton pada setiap tipe habitat dan waktu pengambilan

contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 25

12.

Kelimpahan makroavertebrata bentik pada setiap tipe habitat dan

waktu pengambilan contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 28

13.

Kelimpahan makroavertebrata hanyut pada setiap tipe habitat dan

waktu pengambilan contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 30

14.

Kumpulan telur ikan pelangi arfak yang ditemukan pada habitat tepi

beraliran lambat di S. Aimasi ... 31

15.

Larva ikan pelangi arfak (a) PB 4,03 mm dan (b) PB 6,14 mm yang

ditemukan pada habitat tepi beraliran lambat di S. Nimbai ... 32

16.

Juvenil ikan pelangi arfak (PB 11,08 mm) yang ditemukan pada

habitat beraliran lambat di S. Aimasi ... 32

17.

Perbandingan tinggi tubuh terhadap panjang baku individu jantan

dan betina ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 33

18.

Pemanfaatan tipe habitat oleh setiap tahap perkembangan ikan pelangi

arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 34

19.

Sebaran panjang baku individu jantan dan betina ikan pelangi arfak

(15)

20.

Sebaran panjang baku individu jantan dan betina ikan pelangi arfak

di S. Aimasi ... 38

21.

Kurva pertumbuhan ikan pelangi arfak berdasarkan jenis kelamin

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 39

22.

Faktor kondisi ikan pelangi arfak berdasarkan jenis kelamin dan

waktu penangkapan di (a) S. Nimbai dan (b) S. Aimasi ... 40

23.

Struktur morfologis testes dan ovari ikan pelangi arfak berdasarkan

TKG ... 43

24.

Tahap perkembangan struktur histologis testes ikan pelangi arfak ... 44

25.

Tahap perkembangan struktur histologis ovari ikan pelangi arfak ... 45

26.

Persentase jumlah individu ikan pelangi arfak pada berbagai TKG

berdasarkan waktu penangkapan di (a) S. Nimbai dan (b) di S. Aimasi ... 46

27.

Hubungan fekunditas dan panjang baku ikan pelangi arfak

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 49

28.

Sebaran diameter telur ikan pelangi arfak pada tingkat kematangan

gonad IV dan V di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 51

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Teks

Halaman

1.

Skema fiksasi contoh gonad ... 65

2.

Skema pewarnaan sediaan histologis gonad ... 66

3.

Tipe habitat pada lokasi penelitian ... 67

4.

Jenis plankton yang ditemukan di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 68

5.

Jenis makroavertebrata yang ditemukan di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 70

6.

Jenis vegetasi riparian di bagian tepi S. Nimbai dan S. Aimasi ... 81

7.

Rata-rata, kisaran panjang baku dan jumlah individu ikan pelangi arfak

pada setiap tipe habitat dan waktu penangkapan di S. Nimbai ... 82

8.

Rata-rata, kisaran panjang baku dan jumlah individu ikan pelangi arfak

pada setiap tipe habitat dan waktu penangkapan di S. Aimasi ... 83

9.

Komposisi makanan, indeks bagian terbesar (I) dan indeks pilihan

makanan (E) ikan pelangi arfak di S. Nimbai ... 84

10.

Komposisi makanan, indeks bagian terbesar (I) dan indeks pilihan

makanan (E) ikan pelangi arfak di S. Aimasi ... 85

11.

Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak jantan di S. Nimbai

dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 86

12.

Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak betina di S. Nimbai

dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 87

13.

Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak jantan di S. Aimasi

dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 88

14.

Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak betina di S. Aimasi

dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 89

15.

Perbandingan kelamin ikan pelangi arfak pada lokasi S. Nimbai ... 90

16.

Perbandingan kelamin ikan pelangi arfak pada lokasi S. Aimasi ... 91

17.

Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu jantan ikan

pelangi arfak di S. Nimbai berdasarkan waktu penangkapan ... 92

18.

Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu betina ikan

pelangi arfak di S. Nimbai berdasarkan waktu penangkapan ... 93

19.

Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu jantan ikan

pelangi arfak di S. Aimasi berdasarkan waktu penangkapan ... 94

20.

Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu betina ikan

pelangi arfak di S. Aimasi berdasarkan waktu penangkapan ... 95

(17)

22.

Analisis pendugaan ukuran pertama kali matang gonad individu

betina ikan pelangi arfak di S. Nimbai menggunakan metode

Spearman-Karber ... 98

23.

Analisis pendugaan ukuran pertama kali matang gonad individu

jantan ikan pelangi arfak di S. Aimasi menggunakan metode

Spearman-Karber ... 100

24.

Analisis pendugaan ukuran pertama kali matang gonad individu

betina ikan pelangi arfak di S. Aimasi menggunakan metode

Spearman-Karber ... 102

25.

Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey diameter oosit ikan

pelangi arfak di S. Nimbai berdasarkan bagian ovari ... 104

26.

Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey diameter oosit ikan

(18)

1.1 Latar Belakang

Ikan

pelangi

arfak

(Melanotaenia

arfakensis)

adalah

salah

satu

sumberdaya hayati yang endemik di perairan tawar Papua, khususnya pada

beberapa sungai di Manokwari.

Jenis ini memiliki potensi sebagai ikan hias

karena warna tubuhnya yang cemerlang dan ukuran yang relatif kecil. Selain itu,

di daerah Kebar, ikan yang dikenal dengan nama ”Wadjen” ini juga ditangkap

untuk dikonsumsi oleh masyarakat setempat (Manangkalangi & Pattiasina 2005).

Keberadaan jenis ikan pelangi arfak saat ini cukup banyak mengalami

tekanan, dan statusnya sudah berada dalam kategori rentan (vulnerable) dengan

kriteria A2ce (IUCN 2006) sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konservasi.

Selain penyebarannya yang sangat terbatas (hanya pada beberapa sungai di

Manokwari), menurut Allen (1995) dan Polhemus

et al.

(2004) hal ini berkaitan

dengan perubahan habitat alaminya yang disebabkan oleh aktivitas penebangan

hutan

untuk

perkebunan

kelapa

sawit

dan

pertanian

serta

pemukiman

transmigrasi. Juga, kelompok ikan ini mudah tersaingi atau dimangsa oleh

ikan-ikan introduksi (Allen 1991; Polhemus

et al. 2004), misalnya

Clarias batrachus

seperti yang dilaporkan di lokasi Prafi (Allen 1995).

Walaupun telah ada informasi mengenai aspek taksonomi dan distribusi

(Allen 1991; 1995), morfologi (Tapilatu & Renyaan 2005), parasit (Sabariah

et al.

2005), makanan (Sabariah

et al. 2006), serta reproduksi dan pertumbuhan

(Manangkalangi & Pattiasina 2005), namun informasi ini masih relatif terbatas.

Mengingat banyaknya

gangguan terhadap

populasi ikan ini dan untuk

kelestariannya maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aspek biologi

dan ekologinya sebagai dasar bagi upaya pengelolaan sumberdaya hayati ini.

1.2 Perumusan Masalah

Populasi ikan pelangi arfak yang terdapat di bagian hulu Sungai Nimbai

dan Sungai Aimasi diperkirakan akan mengalami degradasi. Penurunan populasi

ikan ini diduga disebabkan oleh perubahan habitat alaminya akibat aktivitas

penebangan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit, pertanian dan

(19)

sungai (peningkatan intensitas banjir) yang mengakibatkan peningkatan erosi di

bagian tepi sungai dan masukan partikel tersuspensi ke dalam kolom air sungai,

berkurangnya habitat insekta sebagai sumber makanan serta berkurangnya habitat

pemijahan bagi ikan pelangi arfak. Perubahan kondisi habitat alami ini selanjutnya

bisa berdampak pada terganggunya proses pertumbuhan dan reproduksi ikan

pelangi arfak. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aspek

pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi arfak secara spasial dan temporal.

Kerangka pendekatan dan pemecahan masalah yang digunakan dapat dilihat pada

Gambar 1.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi makanan, pertumbuhan

dan reproduksi ikan pelangi arfak secara temporal pada beberapa tipe habitat di

Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Diharapkan melalui penelitian ini

dapat ditentukan waktu dan tipe habitat yang sesuai bagi pertumbuhan dan

reproduksinya, sehingga proses siklus hidup ikan pelangi arfak (M. arfakensis)

yang endemik ini dapat berlangsung dengan baik dan terjaga kelestariannya.

1.4 Hipotesis

Pertumbuhan somatik ikan pelangi arfak ditentukan oleh tingkat

kelimpahan makanan, dan pertumbuhan reproduktif sebagai kelanjutannya sangat

ditentukan oleh kondisi hidrodinamika sungai. Oleh karena itu, apabila pada suatu

periode waktu tersedia cukup makanan dan habitat pemijahan maka pertumbuhan

ikan pelangi arfak akan menjadi lebih baik sehingga potensial untuk matang

(20)

Hidro- –

dinamika

Tipe +

Adaptasi Habitat

?

Spasial & Temporal

Dinamika Pertumbuhan + +

Populasi -Reproduktif Makanan TKG

- Somatik ? ?

Input

Proses

Output

Gambar 1. Diagram alir pendekatan dan pemecahan masalah

Hidrologi

- Kec. Aliran air - Debit air

Struktur Populasi

Kelestarian ikan pelangi arfak Substrat reproduksi

(makrofita) Kualitas Air

Makanan - Plankton

- Makroavertebrata

Ikan pelangi arfak

Habitat

(21)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tipologi Perairan Sungai Bagian Ritral

Bagian

ritral

ditujukan pada sungai-sungai berukuran kecil (stream) dan

anak-anak sungai (tributary) yang terdapat di pegunungan atau perbukitan dengan

kemiringan lebih dari 0,15% (Angelier 2003). Bagian ini dimulai pada

sungai-sungai dari saluran ordo 2, yaitu pertemuan sungai-sungai pada

hypocrenal

sampai sungai

ordo 4 (hyporhithral). Sungai bagian

ritral

dicirikan dengan arus yang cepat dan

bergolak (turbulent), substrat kasar yang terdiri atas batuan, batuan berukuran lebih

kecil (rubble), kerikil (pebbles), dan kerikil berukuran lebih kecil (gravel), serta

dengan konsentrasi oksigen terlarut yang sama dengan kejenuhan (Angelier 2003).

Pada perairan sungai terdapat dua tipe habitat yang umumnya jelas, yakni

tipe habitat mengalir dan tenang. Walaupun demikian, kedua tipe ini bisa dibagi lagi

secara spesifik berdasarkan kedalaman dan kecepatan arusnya, kedalaman dan ada

atau tidaknya pergolakan air (Hawkins

et al. 1993). Beberapa contoh tipe habitat ini

di antaranya adalah daerah sungai beraliran deras (run), lubuk (pool), daerah tepi

sungai (littoral) dan daerah limpasan (backwater). Copp (1992) membagi habitat

tepi menjadi tiga berdasarkan kecepatan aliran air, yaitu: habitat tepi yang tenang

(still littoral) dengan kecepatan aliran air 0-0,02 m/detik; habitat tepi beraliran

lambat (slow littoral) dengan kecepatan 0,07-0,22 m/detik; dan habitat tepi beraliran

sedang (medium littoral) dengan kecepatan 0,17-0,47 m/detik.

2.2 Bioekologi Ikan Pelangi

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Pelangi Arfak

Klasifikasi ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis

Allen) menurut

Allen (1991) dan Nelson (2006) sebagai berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Osteichthyes

Ordo : Athriniformes

Famili : Melanotaeniidae

Subfamili : Melanotaeniinae

Genus :

Melanotaenia

(22)

Deskripsi

M. arfakensis

berdasarkan Allen (1991; 1995) dan Nelson

(2006) sebagai berikut. Bentuk tubuh pipih menyamping (compressed); terdapat

dua sirip punggung yang terpisah oleh celah yang sempit di antaranya,

D

1

. IV-VI; D

2

. I.12-16; P. 13-15; A. I.22-25; sisik di bagian depan sirip punggung

15-18; sisik di bagian pipi 13-17; perbandingan tinggi tubuh yang paling tinggi

pada individu jantan terhadap panjang baku 34,0-38,7%; warna secara umum

lembayung muda dengan garis kebiru-biruan di bagian sisi tengah tubuh, terdapat

garis-garis tipis berwarna kuning-oranye di antara setiap barisan sisik yang

membujur dan pada dasar sirip ekor sebagian besar berwarna kekuningan. Sirip

punggung kedua dengan bagian tepi berwarna hitam dan dibatasi dengan warna

putih; tepi bagian atas dan bawah sirip ekor dengan lintasan berwarna hitam.

Ukuran panjang baku maksimum sampai sekitar 80 mm.

Karakter seksual sekunder pada ikan pelangi meliputi karakter dimorfisme

dan dikromatisme seksual. Kedua karakter ini sangat jelas terlihat, terutama pada

individu yang berukuran cukup besar. Individu jantan memiliki tubuh yang lebih

tinggi dan berwarna lebih cerah dibandingkan individu betina (Gambar 2) (Allen

1991; 1995).

(23)

2.2.2 Distribusi dan Habitat

Penyebaran jenis ini pada awalnya diketahui hanya terbatas pada anak

sungai dari Sistem Sungai Prafi, dekat Manokwari (Allen 1991), misalnya

S. Warmare, S. Madrad, S. Subsay, S. Aimasi (Tapilatu & Renyaan 2005), dan

S. Nimbai (Sabariah

et al. 2006).

Selain itu, ikan ini juga ditemukan pada

beberapa sungai lainnya, yaitu di Sungai Nuni (Sabariah

et al. 2005) dan Sungai

Asiti, S. Appi, dan S. Atai di Distrik Kebar (Manangkalangi & Pattiasina 2005).

Sungai-sungai pada sistem Sungai Prafi mengalir melalui hutan hujan

tropis dan lahan-lahan perkebunan (terutama kelapa sawit) pada dataran

alluvial

yang datar (Allen 1991). Hasil penelitian King (2004) mengenai habitat ikan

pelangi lainnya, yaitu

M.s. fluviatilis

di Sungai Broken (timur laut Victoria,

Australia) menunjukkan bahwa beberapa tahap ontogeni (preflexion,

postflexion,

metalarva, juvenil dan dewasa) ikan ini terutama mendiami daerah limpasan,

daerah tepi yang tenang dan daerah tepi dengan aliran lambat.

2.2.3 Pertumbuhan

Pertumbuhan yang digambarkan melalui persamaan von Bertalanffy pada

M. s. fluviatilis

dan

M. arfakensis

ditunjukkan pada Tabel 1. Milton dan

Arthington (1984) menunjukkan bahwa ikan jantan

M. s. fluviatilis

tumbuh lebih

cepat dan mencapai ukuran yang lebih besar daripada betina. Hal ini berkaitan

dengan alokasi energi individu jantan yang relatif lebih besar pada pertumbuhan

jaringan somatik dibandingkan jaringan reproduksinya (Milton & Arthington

1984).

Tabel 1. Persamaan pertumbuhan pada ikan pelangi

Jenis Persamaan Lokasi

M. arfakensis1 Lt= 82,23 [1-e-0,2027 (t - 0,1942)] Sungai Appi, Atai, Asiti (Manokwari Papua) Lt= 82,6 [1-e-0,016 (t – 0,02)]

M.s. fluviatilis2

Lt= 76,8 [1-e-0,013 (t + 0,16) ]

Enoggera Creek

(24)

2.2.4 Reproduksi

2.2.4.1 Perkembangan Gonad dan Musim Pemijahan

Kematangan

secara

seksual

ikan

famili

Melanotaeniidae

mulai

berlangsung pada akhir tahun pertama masa hidupnya (Allen

et al. 2000). Kisaran

dan rata-rata ukuran tubuh ikan pelangi saat matang gonad dapat dilihat pada

Tabel 2.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Manangkalangi dan Pattiasina

(2005) menemukan bahwa

M. arfakensis

mulai matang gonad pada kisaran umur

0,97-1,19 tahun pada individu jantan dan 1,13-1,43 tahun pada individu betina,

sedangkan

M. s. fluviatilis

mulai matang gonad pada kisaran umur 10-12 bulan

(Milton & Arthington 1984) dan

M. s. splendida

pada umur berkisar di antara

6-12 bulan (Beumer 1979).

Tabel 2. Ukuran panjang baku (PB) ikan pelangi saat matang gonad

PB (mm)

Jenis

Jenis

kelamin

Kisaran

Lokasi

M. s. fluviatilis ♀ 30,8 Enoggera Creek, Queensland bag. tenggara1

♀ 38,0 Queensland2

♂ 48

M. s. splendida

♀ 38

♂ 49

M. eachamensis

♀ 37

Lembah Sungai Johnstone (Queensland bagian utara)3

♂ 23,65

♀ 27,55 Sungai Appi (Kebar, Manokwari) 4

♂ 24,35

♀ 25,40 Sungai Atai (Kebar, Manokwari) 4

♂ 26,15 M. arfakensis

♀ 28,75 Sungai Asiti (Kebar, Manokwari) 4

Ket.: 1Milton dan Arthington (1984);2Beumer (1979);3Puseyet al. (2001);4Manangkalangi dan Pattiasina (2005).

Informasi tahap perkembangan gonad dan indeks gonadosomatik (IGS)

menunjukkan bahwa

M. s. fluviatilis

memiliki siklus reproduksi musiman di

Enoggera Creek dengan puncak aktivitas pemijahan berlangsung pada akhir bulan

September sampai awal bulan Oktober (Milton & Arthington 1984). Pada

M.

s.

splendida,

M.

eachamensis

dan

C.

rhombosomoides,

walaupun

memperlihatkan periode puncak aktivitas reproduksi yang hampir sama dengan

(25)

pemijahan berlangsung sepanjang tahun. Waktu pemijahan yang lama ini juga

dibuktikan dengan kehadiran larva sepanjang tahun pada beberapa lokasi di

Sungai Johnstone dan dengan kelimpahannya yang paling besar ditemukan pada

periode puncak pemijahan (Pusey

et al. 2001).

2.2.4.2 Aktivitas Pemijahan dan Perkembangan Awal

Populasi ikan

M. arfakensis

yang ditemukan pada beberapa daerah aliran

sungai dalam kawasan lindung Pegunungan Arfak (Tapilatu & Renyaan 2005) dan

di beberapa sungai di Kebar (Manangkalangi & Pattiasina 2005) menunjukkan

perbandingan kelamin 1:1. Demikian juga ikan

M. s. fluviatilis,

M. s. splendida

dan

M. eachamensis, terdapat perbandingan yang proporsional di antara kedua jenis

kelamin (Milton & Arthington 1984; Pusey

et al. 2001).

Pemijahan kelompok ikan ini berlangsung secara berpasangan pada daerah

perairan yang terdapat vegetasi (Allen

et al. 2000) dan biasanya terjadi pada

waktu pagi hari (Allen 1995). Ikan pelangi umumnya memiliki fekunditas yang

kecil dengan ukuran diameter telur cukup besar (Tabel 3). Telur-telur yang telah

dibuahi (Gambar 3) diletakkan pada tumbuhan air dengan menggunakan benang

perekat (Allen

et al. 2000) pada kedalaman sekitar 10 cm dari permukaan dan

dalam kondisi berkelompok di antara 3-10 (Milton & Arthington 1984).

Pada suhu 26-27ºC, telur-telur akan menetas dalam 6-7 hari pada ikan

M.s. fluviatilis

(Backhouse & Frusher 1980, diacu dalam Milton & Arthington

1984) dan 7-12 hari pada ikan

M.s. splendida

(Beumer 1979). Morfologi dan

ukuran larva pada saat baru menetas sampai berumur 21 hari ditunjukkan pada

Gambar 4. Juvenil akan tetap tinggal di sekitar tumbuhan air selama sekitar dua

hari dan selanjutnya berenang bebas setelah sembilan hari (Munro 1980, diacu

dalam Milton & Arthington 1984). Oleh karena itu, tersedia waktu yang cukup

bagi telur dan larva untuk berkembang sehingga bisa melewati periode yang

rentan terhadap kekeringan atau gangguan yang disebabkan fluktuasi permukaan

(26)

Tabel 3. Fekunditas dan diameter telur pada beberapa ikan pelangi

Fekunditas (butir)

Diameter Telur (mm)

Jenis

Kisaran

x SE

Kisaran

x SE

35 - 333

131,8 ± 9,02

-

1,41 ± 0,32

1

-

-

0,93 - 0,95

0,94

2

*

M. s. fluviatilis

-

-

0,98 - 1,07

1,015

3

*

M. duboulayi

-

-

0,88 - 0,93

0,91

2

*

-

-

0,55 - 0,75

1,49

4

M. s. splendida

370 - 1.655

-

-

1,124 ± 0,008

5

M. s. inornata

-

-

-

0,88

6

*

M. s. nigrans

-

-

-

1,05

6

*

M. s. australis

-

-

-

1,07

6

*

M. eachamensis

206 - 2.126

-

1,207 - 1,324 1,238 ± 0,022

5

G. multisquamatus

-

-

-

0,69 ± 0,052

7

C. rhombosomoides

131 - 737

-

1,091 ± 0,019

5

Ket.: 1Milton dan Arthington (1984);2Crowleyet al. (1986);3Reid dan Holdway (1995);4Beumer (1979); 5Pusey et al. (2001); 6 Ivantsoff et al. (1988), diacu dalam Reid dan Holdway (1995);7Coates (1990); * Diameter telur yang telah dibuahi.

(27)
(28)

3. METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada dua sungai dalam sistem Sungai Prafi, yaitu

Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi (Gambar 5). Lokasi penelitian pada kedua lokasi

ini terletak di daerah

ritral, yaitu di antara ordo 2 dan 3. Pengambilan contoh ikan

pelangi, plankton dan makroavertebrata serta pengukuran parameter perairan

dilakukan setiap bulan yang dimulai dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007.

Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Perikanan, Fakultas Peternakan

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua dan Laboratorium Kesehatan

Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Metode dan Desain Penelitian

3.2.1 Penentuan Tipe Habitat

Pada kedua lokasi penelitian ditetapkan empat tipe habitat untuk

pengambilan contoh organisme dan parameter lingkungan. Keempat tipe habitat

ini meliputi daerah lubuk (L), daerah beraliran deras (AD), tepi sungai beraliran

sedang (TAS) dan tepi beraliran lambat (TAL) (Tabel 4, Gambar 5, Lampiran 3).

Tabel 4. Posisi geografis dan ketinggian setiap tipe habitat di lokasi penelitian

Lokasi

Tipe

Habitat

Lintang Selatan

Bujur Timur

Ketinggian

(m dpl)

TAL

00 56'01,8"

133 51'52,8"

117

TAS

00 56'02,3"

133 51'51,7"

117

L

00 55'55,0"

133 51'49,7"

115

S. Nimbai

AD

00 56'05,4"

133 51'53,2"

117

TAL

00 55'17,0"

133 48'28,3"

133

TAS

00 55'17,5"

133 48'28,4"

134

L

00 55'17,6"

133 48'28,4"

134

S. Aimasi

(29)
(30)

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan contoh organisme dan pengukuran parameter lingkungan

dilakukan dalam satu hari yang dimulai dari jam 09.00-11.30 di Sungai Aimasi

dan jam 13.00-16.30 di Sungai Nimbai. Penangkapan contoh ikan pada setiap

tipe habitat dilakukan dengan menggunakan alat

hand net

(panjang 3 m, tinggi 2

m dan ukuran mata jaring 1 mm). Frekuensi penangkapan pada setiap habitat

dilakukan sebanyak 8-10 kali. Contoh ikan yang telah dikumpulkan berdasarkan

lokasi dan tipe habitat selanjutnya diawetkan dengan larutan formalin 4%, kecuali

30 ekor untuk melihat perkembangan gonad secara histologis yang mewakili

berbagai ukuran dari kedua jenis kelamin diawetkan dalam larutan Bouin dan

dilanjutkan dengan beberapa tahap fiksasi dan pewarnaan (Lampiran 1 dan 2).

Pengumpulan contoh plankton dilakukan menggunakan plankton net

(ukuran mata jaring 40

μ

m) dan volume air sungai yang disaring sebanyak 50

liter, sedangkan pengumpulan contoh makroavertebrata hanyut dengan jaring

hanyut berukuran luas permukaan 0,25 m

2

(ukuran mata jaring 200 µm) yang

diletakkan selama 30 menit dengan posisi berlawanan dengan arah aliran sungai,

dan makroavertebrata bentik dengan alat

surber

berukuran 0,25 m

2

. Contoh dari

ketiga kelompok organisme ini selanjutnya diawetkan dengan larutan formalin 4

%; namun untuk contoh makroavertebrata, larutan pengawet ini diberi larutan

pewarna Rose Bengal untuk memudahkan pemilahannya dari partikel sedimen

(Hauer & Resh 2007).

Di laboratorium, setelah satu hari diawetkan, contoh ikan selanjutnya

dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%. Setiap contoh ikan dilakukan

penimbangan berat tubuh dengan menggunakan timbangan berketelitian 0,001 gram

dan pengukuran karakter morfometrik (yaitu panjang baku dan tinggi tubuh) dengan

menggunakan kaliper digital berketelitian 0,01 mm. Selanjutnya gonad dan saluran

pencernaan dikeluarkan. Gonad ditimbang dengan timbangan berketelitian 0,001 g.

Penentuan jenis kelamin dilakukan melalui pengamatan karakter jenis

kelamin sekunder (dimorfisme dan dikromatisme seksual) dan/atau struktur

morfologis gonad dengan bantuan miskroskop. Tingkat kematangan gonad

ditentukan dengan mengamati bentuk dan warna gonad mengikuti petunjuk Pusey

(31)

(2004); dan Nasution (2004). Pada individu betina dengan tingkat kematangan

gonad IV dan V ditentukan fekunditas dan dilakukan pengukuran diameter oosit

pada bagian anterior, tengah dan posterior dengan menggunakan mikroskop yang

dilengkapi dengan mikrometer okuler. Pada ketiga bagian ovari diukur sebanyak

lima buah oosit.

Fekunditas total ditentukan dengan menghitung oosit secara

keseluruhan di dalam ovari.

Makanan dari lambung dikeluarkan dan dihitung jumlah individunya.

Identifikasi organisme makanan yang terdapat dalam lambung, plankton dan

makroavertebrata dilakukan dengan menggunakan mikroskop mengikuti petunjuk

Davis (1955); Needham dan Needham (1963); McCafferty (1983); Carver

et al.

(1996); Colless dan McAlpine (1996); Greenslade (1996); Lawrence dan Britton

(1996); Naumann (1996); Neboiss (1996); Nielsen dan Common (1996); Peters dan

Campbell (1996); Watson dan O’Farrell (1996); Bouchard (2004); Pescador dan

Richard (2004); dan Pescador

et al. (2004) sampai tingkatan taksa terdekat. Sebagai

informasi penunjang tentang kebiasaan makanan ikan ini dilakukan pengukuran

panjang usus.

Penentuan panjang usus relatif dilakukan dengan menggunakan

metode Herper (1988), diacu dalam Utojo

et al. (1999), yaitu panjang usus dibagi

panjang tubuh (dalam penelitian ini digunakan panjang baku, PB).

Pada setiap tipe habitat dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap

waktu sampling dengan tiga ulangan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi

suhu air, oksigen terlarut (DO meter), pH (pH meter), dan kekeruhan (HI 93703

microprocessor turbidity meter). Kecepatan aliran sungai diukur dengan

menggunakan

basic handheld stream flowmeter Ward’s

berketelitian 0,1 m/det.

Selain itu juga dilakukan pengukuran lebar genangan dan kedalaman air pada

segmen sungai di sekitar tipe habitat. Penentuan debit air di lokasi Sungai Nimbai

dilakukan pada segmen di sekitar habitat lubuk, sedangkan di Sungai Aimasi

dihitung berdasarkan rata-rata debit air pada segmen di sekitar lubuk, tepi

beraliran lambat, tepi beraliran sedang dan ditambah dengan debit air pada

segmen di daerah beraliran deras (Gambar 5). Untuk menentukan debit air, maka

dilakukan pengukuran lebar dan kedalaman air pada segmen sungai sekitar tipe

habitat lubuk di S. Nimbai, sedangkan pada S. Aimasi dilakukan pada semua tipe

(32)

3.2.3

Analisis Data

3.2.3.1 Dinamika Hidrologi

Debit air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Umaly &

Cuvin 1988):

V x D x W R 

dengan R = debit air (m

3

/detik), W = lebar dari segmen sungai (m),

D = kedalaman dari segmen (m), dan V = kecepatan arus rata-rata (m/detik).

3.2.3.2 Dinamika Kelimpahan Plankton dan Makroavertebrata

Kelimpahan

plankton

dihitung

dengan

Sedgewick-Rafter

Cell

menggunakan rumus sebagai berikut (Umaly & Cuvin 1988):

S

x

W

x

D

x

L

C

plankton

Kelimpahan

,

dengan C = jumlah plankton yang dihitung, L = panjang

strip

(50 mm),

D = kedalaman

strip

(1 mm), W = lebar

strip

(1 mm), dan S = jumlah

strip

yang

dihitung.

Kelimpahan makroavertebrata bentik dihitung berdasarkan jumlah individu

yang terdapat dalam luasan

surber, sedangkan kelimpahan makroavertebrata hanyut

dihitung menggunakan rumus (Smock 2007) sebagai berikut:

V

x

H

x

W

x

t

N

hanyut

ebrata

makroavert

Kelimpahan

,

dengan N = jumlah makroavertebrata dalam contoh air yang tersaring, t = waktu

jaring hanyut diletakkan dalam air, W = lebar bukaan jaring hanyut, H = tinggi

bukaan jaring hanyut, dan V = kecepatan air rata-rata (m/detik) di depan jaring

hanyut.

3.2.3.3 Makanan

Untuk mendapatkan gambaran makanan secara kuantitatif digunakan indeks

bagian terbesar (index of preponderance). Indeks ini dimodifikasi dari Natarajan dan

Jhingran (1961) yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan

metode jumlah menggunakan rumus sebagai berikut:

x100
(33)

dengan I

i

sebagai indeks bagian terbesar jenis makanan ke-i; N

i

sebagai persentase

jumlah jenis makanan ke-i; F

i

sebagai persentase kejadian jenis makanan ke-i, dan

N

i

x F

i

sebagai total perkalian dari persentase volume dan persentase frekuensi

kejadian semua jenis makanan.

Pemilihan terhadap jenis makanan tertentu diukur menggunakan indeks

pilihan (Ivlev 1961) sebagai berikut:

i i

i i

p

r

p

r

E

,

dengan E = indeks pilihan, r

i

= proporsi dari mangsa taksa ke-i dalam

perbandingan, dan p

i

= proporsi dari taksa ke-i dalam lingkungan.

Nilai indeks pilihan bisa berkisar dari -1,000 (pemanfaatan yang sedikit

dari suatu taksa mangsa) sampai + 1,000 (pemilihan kesukaan untuk suatu taksa

mangsa). Nilai 0,000 menunjukkan bahwa suatu taksa mangsa dikonsumsi dalam

proporsi yang sama dengan yang terdapat dalam lingkungan.

3.2.3.4 Pertumbuhan

Untuk penentuan kelompok umur (kohort) digunakan analisis distribusi

frekuensi panjang yang dilanjutkan dengan pemisahannya menggunakan metode

Bhattacharya dalam program FiSAT II (ver 1.1.3).

Pertumbuhan diduga

menggunakan persamaan von Bertalanffy (Sparre & Venema, 1992), yaitu:

)

e

(1

L

L

t K(tt0)

,

dengan L

t

= panjang waktu ke-t, L

= panjang infiniti, K= koefisien pertumbuhan,

dan t

0

= umur teoritis saat panjang ikan sama dengan 0.

Selanjutnya pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K), panjang infiniti

(L

) dan t

0

dilakukan dengan menggunakan metode Ford-Walford dengan

persamaan garis lurus:

t K K 1

t

L

(1

e

)

e

L

L

Dalam metode ini dipetakan (L

t + 1

) terhadap L

t

dengan sudut kemiringan garisnya

(b) sama dengan e

- K

(ln b = - K; maka K = - ln b). Jadi logaritma natural dari

kemiringan garis Ford Walford dengan tanda yang berlawanan merupakan

penduga koefisien pertumbuhan (K). Apabila panjang ikan pada umur tertentu

(34)

(L

t

), maka akan dihasilkan suatu garis lurus dengan kemiringan lebih kecil dari

satu atau mempunyai sudut lebih kecil dari 45

. Dengan metode ini dapat diduga

panjang asimptot (L

) yaitu perpotongan antara garis dari data yang dipetakan

dengan garis transformasi Ford Walford (sudut 45

o

).

Parameter t

0

diduga dengan persamaan von Bertalanffy yang dibuat dalam

bentuk persamaan garis lurus dengan memetakan ln (L

- L

t

) terhadap t, dengan

sudutnya = - K dan intersepnya = ln L

+ K t

0

, yaitu:

t

K

t

K

L

ln

)

L

(L

ln

t

0

Dengan memetakan ln (L

- L

t

) terhadap t maka dapat diperoleh nilai a (intersep),

dan t

0

dapat dihitung dari a = ln L

+ K t

0

sehingga t

0

= (a - ln L

)/K.

3.2.3.5 Faktor Kondisi

Perhitungan faktor kondisi (K) dilakukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut (Effendie 1979):

3 5

L

W

10

K

,

dengan K = faktor kondisi, W = berat tubuh (gram), L = panjang baku (mm),

a dan b = konstanta.

3.2.3.6 Nisbah Kelamin

Perbandingan antara jumlah ikan jantan dan ikan betina yang terdapat pada

setiap lokasi dan waktu pengambilan sampel yang dihitung menggunakan rumus :

F M X 

,

dengan X = nisbah kelamin, M = jumlah ikan jantan (ekor), dan F = jumlah ikan

betina (ekor).

Untuk menguji apakah perbandingannya sama (1 : 1) di antara kedua

kelamin atau tidak, maka digunakan uji statistik Chi-kuadrat (

2

) sebagai berikut

(Gasperz 1991).

E E O χ

2 hitung

2

,

(35)

3.2.3.7 Struktur Kematangan Gonad

Struktur kematangan gonad disusun berdasarkan tingkat kematangan

gonad (TKG) dan indeks kematangan gonad (IKG). Indeks kematangan gonad

(IKG) dihitung menggunakan rumus (Effendie 1979), sebagai berikut:

100 x Bt Bg

IKG 

,

dengan IKG = indeks kematangan gonad, Bg = bobot gonad (g), dan Bt = bobot

tubuh (g). Nilai rata-rata IKG setiap bulan selanjutnya diuji dengan analisis sidik

ragam dan Uji Tukey (Gasperz 1991).

3.2.3.8 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ditentukan dengan

menggunakan metode Spearman-Karber (Udupa 1986, diacu dalam Najamuddin

et al. 2004), sebagai berikut:

 

 ) (X p )

2 X ( X

m k i

,

dengan m = logaritma panjang ikan saat pertama kali matang gonad,

X

k

= logaritma nilai tengah kelas panjang yang terdapat 100% ikan matang gonad,

X = selisih logaritma nilai tengah kelas, X

i

= logaritma nilai tengah kelas ke-i,

p

i

= proporsi dari ikan yang matang gonad dalam kelas panjang ke-i, r

i

= jumlah

ikan matang gonad dalam kelas panjang ke-i, n

i

= jumlah ikan dalam kelas

panjang ke-i, p

i

= r

i

/n

i

, q

i

= 1-p

i

.

1

n

q

p

X

Ragam

i i i 2

Selang kepercayaan 95% yaitu:

ragam

Z

m

α/2

3.2.3.9 Hubungan Fekunditas dan Panjang Tubuh

Hubungan di antara fekunditas total dan panjang ikan dinyatakan dalam

persamaan berikut:

b

L

a

F

,

(36)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian

4.1.1 Hidrologi

Kecepatan aliran air di kedua sungai sangat bervariasi berdasarkan tipe

habitat dan waktu pengukuran. Kecepatan aliran air pada tipe habitat di bagian

tepi sungai (TAL dan TAS) lebih lambat dibandingkan dua tipe habitat yang

berada di bagian tengah sungai (L dan AD). Berdasarkan waktu, secara umum

rata-rata kecepatan aliran air yang rendah terjadi pada bulan Juni-Oktober dan

paling tinggi terjadi pada bulan November dan Desember (Gambar 6).

S. Nimbai 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan K ec . A li ra n (m /d et .) TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan

Gambar 6. Kecepatan aliran air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di

S. Nimbai dan S. Aimasi

Curah hujan yang tinggi untuk daerah Manokwari dan sekitarnya (BMG

2007) terjadi pada bulan Agustus dan Desember, sedangkan paling rendah

ditemukan pada bulan Juni dan September (Tabel 5). Pola debit air pada kedua

lokasi penelitian juga menunjukkan kecenderungan yang hampir sama dengan

curah hujan. Debit air meningkat sampai bulan Agustus, paling rendah pada bulan

September dan Oktober, selanjutnya meningkat kembali pada bulan November dan

Desember. Variasi debit air pada kedua lokasi penelitian berkisar 0,987-3,083

m

3

/detik (S. Nimbai) dan 4,685-17,271 m

3

/detik (S. Aimasi). Walaupun kedua

lokasi pengambilan contoh berada pada tingkatan ordo yang relatif sama, namun

kondisi debit air yang lebih tinggi pada Sungai Aimasi diduga berkaitan dengan

daerah tangkapan air yang lebih besar di bagian hulunya (Gambar 5).

(37)

Tabel 5. Debit air, jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan tahun 2007

Debit Air (m3/det.) Bulan

S. Nimbai S. Aimasi

Jumlah Hari Hujan1

Curah Hujan (mm)1

Januari - - 22 245

Februari - - 18 248

Maret - - 17 137

April - - 15 145

Mei - - 13 96

Juni 1,197 - 12 49

Juli 1,423 8,248 13 89

Agustus 2,248 12,756 19 121

September 1,018 5,342 7 26

Oktober 0,987 4,685 18 85

November 2,306 17,271 13 99

Desember 3,083 13,587 15 152

Ket.: 1sumber dari BMG Manokwari, - tidak dilakukan pengukuran.

4.1.2 Suhu Air

Hasil pengukuran suhu air berdasarkan tipe habiat dan waktu ditunjukkan

pada Gambar 7. Suhu air yang berbeda di antara kedua lokasi penelitian diduga

berkaitan dengan perbedaan waktu pengukuran dan kondisi naungan vegetasi

riparian. Perbedaan suhu air juga terlihat di antara tipe habitat, dan terdapat

kecenderungan bahwa tipe habitat di bagian tepi (TAL dan TAS) memiliki suhu

yang lebih tinggi dari pada dua tipe habitat lainnya di bagian tengah (L dan AD).

S. Nimbai 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

[image:37.595.116.512.100.289.2]

Bulan S u h u ( o C ) TAL TAS L AD Rata-Rata

Gambar 7. Suhu air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai

dan S. Aimasi

4.1.3 Oksigen Terlarut

Hasil pengukuran oksigen terlarut secara keseluruhan berkisar 4,73-7,41

mg/l di Sungai Nimbai dan 5,09-7,98 mg/l di Sungai Aimasi. Konsentrasi rata-rata

S. Aimasi 22 23 24 25 26 27 28 29 30
(38)

oksigen terlarut paling tinggi ditemukan pada bulan Oktober-Desember dan paling

rendah pada bulan September (Gambar 8). Namun jika berdasarkan tipe habitat,

menunjukkan bahwa pada tipe habitat yang beraliran lambat (TAL dan TAS)

cenderung menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah. Variasi

konsentrasi oksigen terlarut berdasarkan tipe habitat dan waktu diduga berkaitan

dengan kondisi hidrologi sungai.

Angelier (2003) mengemukakan bahwa pada

anak sungai yang dangkal di daerah

ritral, gejala turbulensi membantu pertukaran

gas pada permukaan di antara air-udara, dan proses pertukaran ini lebih dominan.

Oksigen terlarut sangat memengaruhi kehidupan dalam perairan (Eriksen

et al. 1996, diacu dalam Hauer & Hill 2007) dan bisa menjadi faktor pembatas

selama perkembangan dan pertumbuhan embrio dan larva ikan (Carlson & Siefert

1974). Namun demikian, beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ikan

yang berukuran kecil lebih toleran terhadap kondisi oksigen terlarut yang rendah

(Burleson

et al. 2001; Robb & Abrahams 2003) sehingga bisa menempati daerah

dengan konsentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah (Burleson

et al. 2001).

S. Nimbai 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan O k si g en T er la ru t (m g /l TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

[image:38.595.119.508.401.593.2]

Bulan

Gambar 8. Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap tipe habitat dan waktu

pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi

4.1.4 Nilai pH

Nilai pH pada semua tipe habitat menunjukkan bahwa kondisi perairan Sungai

Nimbai dan Aimasi bersifat basa, yaitu dengan kisaran 7,91-8,65 (Gambar 9). Sifat

basa pada lokasi penelitian diduga disebabkan oleh kadar kalsium yang cukup tinggi

dari sedimen berkapur di bagian hulu. Robinson

et al. (1990) melaporkan bahwa

beberapa daerah di sekitar dataran tinggi Arfak atas dari batuan kapur.

(39)

Hasil penelitian sebelumnya (Tapilatu & Renyaan 2005) menemukan

bahwa ikan pelangi arfak hidup pada perairan dengan dengan kisaran nilai pH di

antara 6,27-7,10 pada beberapa anak sungai dalam sistem Sungai Prafi. Walaupun

umumnya ditemukan pada kisaran pH perairan yang normal (Allen 1995),

beberapa jenis ikan pelangi juga ditemukan pada perairan dengan kisaran pH yang

cukup lebar dan bersifat basa.

Melanotaenia boesemani

yang terdapat di Danau

Ayamaru dan beberapa anak sungai di sekitarnya, hidup pada kondisi perairan

yang bersifat basa (pH > 8) (Allen 1995).

S. Nimbai 7,0 7,2 7,4 7,6 7,8 8,0 8,2 8,4 8,6 8,8 9,0

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan p H TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 7,0 7,2 7,4 7,6 7,8 8,0 8,2 8,4 8,6 8,8 9,0

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan

Gambar 9. Nilai pH pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai

dan S. Aimasi

4.1.5 Kekeruhan

Nilai kekeruhan di lokasi Nimbai dan Aimasi secara berturut-turut berkisar

0,16-2,97 NTU dan 0,97-5,03 NTU. Nilai rata-rata kekeruhan tertinggi terutama

ditemukan pada bulan Agustus, November dan Desember (Gambar 10). Tingginya

nilai kekeruhan pada periode waktu tersebut diduga berkaitan dengan kondisi

debit air yang tinggi sehingga meningkatkan masukan bahan tersuspensi yang

berasal dari sedimentasi di bagian hulu sungai. Selain itu juga, kondisi kekeruhan

yang tinggi bisa disebabkan melimpahnya mikroorganisme dalam kolom air.

Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan pelangi arfak

ditemukan pada kondisi perairan yang relatif jernih, namun ikan ini juga

ditemukan pada kondisi yang agak keruh. Tapilatu dan Renyaan (2005)

melaporkan bahwa jenis ikan ini juga ditemukan pada kisaran kekeruhan

24,6-58,1 FTU di beberapa anak sungai dalam sistem Sungai Prafi. Meskipun demikian

(40)

beberapa jenis ikan akan cenderung menghindari perairan yang keruh karena tidak

bisa mencari makan

secara efektif. Terdapat sejumlah penelitian

yang

mengindikasikan bahwa tingkat kekeruhan yang tinggi akan mengurangi jarak

reaktif secara visual mencari makan ikan (Barrett 1992, diacu dalam Rowe &

Dean 1998) atau dapat menurunkan kecepatan ikan dalam mencari makan (Rowe

& Dean 1998). Kondisi ini akan berakibat pada penurunan laju pertumbuhan dan

gangguan pernapasan melalui mekanisme penjarangan tapis insang (Sutherland

dan Meyer 2007).

S. Nimbai 0 1 2 3 4 5 6

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan K ek er u h an (N T U ) TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 0 1 2 3 4 5 6

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan

Gambar 10. Tingkat kekeruhan air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran

di S. Nimbai dan S. Aimasi

4.1.6 Vegetasi

Vegetasi riparian umumnya masih ditemukan pada bagian tepi segmen

sungai di kedua lokasi penelitian. Namun hanya beberapa di antaranya yang

ditemukan dalam kondisi sebagian terendam dalam kolom air pada tipe habitat

TAL dan TAS. Vegetasi tersebut di antaranya, yaitu alang-alang (Imperata

cylindrica), gelagah (Saccharum spontaneum), aur-aur (Commelina diffusa),

kembang telang (Clitoria ternatea), dan mikania (Mikania

sp.). Vegetasi yang

ditemukan sebagian terendam pada bagian tepi sungai dapat dilihat pada

Lampiran 6. Keberadaan vegetasi di bagian tepi sungai, selain menurunkan

kecepatan aliran air sehingga membentuk habitat yang relatif tenang (Green 2005),

juga berperan menyediakan makanan, tempat perlindungan terhadap predasi (Rozas

& Odum 1988; Grenouillet

et al. 2002) dan tempat menempelkan telur bagi ikan

pelangi (Allen 1995; Allen

et al. 2000).

(41)

4.1.7 Komposisi dan Kelimpahan Biota

4.1.7.1 Plankton

Plankton yang ditemukan terdiri atas kelompok Chlorophyta, Bacillariophyta,

Cyanophyta, Protozoa, Rotifera, Cladocera, dan Arachnida (Tabel 6, Lampiran 4).

Namun di antara beberapa kelompok ini, anggota Chlorophyta dan Bacillariophyta

mendominasi komposisi plankton. Kelimpahan berdasarkan tipe habitat dan waktu

ditunjukkan pada Gambar 11. Kelimpahan plankton yang ditemukan pada kedua

lokasi relatif rendah (<1,04 individu/liter).

Di antara tipe habitat, kelimpahan

[image:41.595.114.511.292.733.2]

plankton tertinggi ditemukan pada daerah tepi beraliran lambat (TAL dan TAS).

Tabel 6. Komposisi plankton pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi

S. Nimbai

S. Aimasi

Kelas

Genus

TAL TAS L

AD TAL TAS L

AD

Fitoplankton

Diatoma

+

+

+

Melosira

+

+

+

+

+

+

+

+

Navicula

+

+

+

Nitzschia

+

+

+

+

Rhizosolenia

+

+

+

+

+

Bacillariophyta

Thalassiothrix

+

+

+

+

Actinastrum

+

+

+

+

Closterium

+

+

+

+

Cosmarium

+

Docidium

+

+

+

Draparnaldia

+

+

+

+

Microspora

+

+

+

Mougeotia

+

+

+

+

+

+

+

+

Pleurotaenium

+

+

+

Chlorophyta

Spirogyra

+

+

+

Anabaena

+

Cyanophyta

Spirulina

+

+

+

+

+

+

Fitoplankton sp1

+

+

+

Fitoplankton sp2

+

+

+

+

Fitoplankton sp3

+

Zooplankton

Difflugia

+

+

+

+

+

+

+

+

Protozoa

Paramecium

+

Rotifera

Keratella

+

+

+

Cladocera

Daphnia

+

Arachnida

Diplodontus

(larva)

+

+

Zooplankton sp4

+

+

Zooplankton sp5

+

+

+

(42)
[image:42.595.118.513.85.698.2]

Gambar 11. Kelimpahan plankton pada setiap tipe habitat dan waktu pengambilan

contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi

Ket.: TAL = tepi sungai beraliran lambat, TAS = tepi sungai beraliran sedang, L = daerah lubuk, dan AD = daerah aliran deras. Angka di bagian atas menunjukkan kelimpahan total. TAL 0,00 0,40 0,80 1,20

0,30 0,34 0,26

0,14 0,16 0,08

Sungai Aimasi

TAS 0,00 0,40 0,80 1,20

0,20 0,24 0,18 0,30 0,26 0,04 0,18 TAL 0,00 0,40 0,80 1,20 0,34 0,60 0,68 1,04 0,84 0,16 0,50

Sungai Nimbai

TAS 0,00 0,40 0,80 1,20

0,16 0,12 0,12

0,30 0,08 0,06 L 0,00 0,40 0,80 1,20 0,12 0,18 0,32 0,50 0,20 0,14 0,46 L 0,00 0,40 0,80 1,20 0,08 0,24 0,12 0,22 0,02 0,02 AD 0,00 0,40 0,80 1,20

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan

0,08 0,24 0,34 0,24 0,20 AD 0,00 0,40 0,80 1,20

Juli Agt Sep Okt Nov Des

(43)

4.1.7.2 Makroavertebrata

Makroavertebrata yang ditemukan terdiri atas empat kelas, yaitu Insekta,

Arachnida, Oligochaeta, dan Gastropoda (Lampiran 5). Makroavertebrata yang

umumnya ditemukan termasuk dalam kelas Insekta, khususnya dalam tahap

perkembangan larva dan pupa.

Namun di antaranya juga ditemukan insekta

terrestrial, yaitu Formicidae (semut), Pisauridae (laba-laba), dan Onychiuridae

(Collembola) dalam kondisi hanyut.

Komposisi makroavertebrata berdasarkan

tipe lokasi ditunjukkan pada Tabel 7.

Kelimpahan makroavertebrata bentik sangat bervariasi berdasarkan tipe

habitat dan waktu pengambilan contoh (Gambar 12). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa umumnya kelimpahan makroavertebrata yang tinggi

ditemukan pada tipe habitat beraliran lambat (TAL dan TAS) dan pada saat

kondisi debit air yang rendah (Juni-Oktober). Giller dan Malmqvist (1998), diacu

dalam Brown

et al. (2006) mengemukakan bahwa kondisi hidrologi dan

fisikokimia habitat yang berbeda-beda pada lingkungan sungai berperan penting

dalam menentukan komposisi dari komunitas makroavertebrata berdasarkan

waktu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di antara beberapa kelompok

makroavertebrata bentik, Diptera dan Ephemeroptera selalu ditemukan pada

semua tipe habitat dan waktu dengan kelimpahan yang lebih tinggi (Gambar 12).

Kelompok Diptera terutama didominasi oleh Chironomidae dan Ceratopogonidae,

sedangkan Ephemeroptera terutama didominasi oleh Baetidae, Caenidae dan

Leptoplebiidae (Tabel 8).

Hasil penelitian Jowett

et al. (1991) pada beberapa sungai di Selandia Baru

menunjukkan bahwa larva Chironomidae menyukai perairan yang dangkal dengan

kecepatan aliran dari lemah-sedang. Kelompok ini ditemukan sangat melimpah saat

musim hujan dan kemarau di Sungai Macaé Brasil (ordo 2 dan 3) (Silveira

et al.

2006). Berg dan Hellenthal (1992) mengemukakan bahwa Chironomidae berperan

penting

sebagai

sumber

energi

pada

lingkungan

akuatik,

demikian

juga

Ephemeroptera (Covich

et al. 1999). Yan dan Li (2008) menemukan kelimpahan

paling tinggi Ephemeroptera berlangsung dalam dua interval waktu (Juni-September

(44)
[image:44.595.115.508.101.722.2]

Tabel 7. Komposisi makroavertebrata pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi

S. Nimbai S. Aimasi

Taksa Tahap Tipe

TAL TAS L AD TAL TAS L AD

Insecta

Ephemeroptera

Baetidae L B, H + + + + + + + +

Caenidae L B, H + + + + + + + +

Leptophlebiidae L B, H + + + + + + + +

Trycorythidae L B, H + + + + + +

Tidak teridentifikasi L B, H +

Gambar

Gambar 7. Suhu air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbaidan S. Aimasi
Gambar 8. Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap tipe habitat dan waktupengukuran di S
Tabel 6. Komposisi plankton pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi
Gambar 11. Kelimpahan plankton pada setiap tipe habitat dan waktu pengambilancontoh di S
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peri- laku Hidup Bersih dan Sehat pada penelitian ini mayoritas berada pada kategori sehat purnama dengan persentase 40%, dengan

Sehat adalah keadaan seseorang yang tidak sakit badan dan jiwa, cukup makanan bergizi, hidup di lingkungan bersih serta perilaku dan interaksi sesuai dengan etika

15 Untuk itu, konsespi Islam dalam membina keluarga Muslim dengan tiga solusi, sebagaimana telah dipaparkan di atas, perlu diketengahkan dan didengungkan, agar keluraga Muslim

Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan- kekeliruan

Since the research focuses on the figurative languages as the object of the study, the researcher most likely analysis the sentence on the English novel entitled “The

Masyarakat dapat mengurus perizinan dimana dan kapan saja dengan mengisi formulir pendaftaran izin dan memasukkan data pelangan dengan mengaskes di website BPPTPM Kota

ABSTRAK: Dalam proses pembelajaran banyak hal yang harus diperhatikan oleh guru salah satunya adalah pendekatan yang digunakan, karena pendekatan, metode maupun

Pada wanita TB dengan menyusui obat anti tuberkulosis (OAT) masih dapat diberikan, walaupun OAT dapat masuk ke dalam air susu ibu (ASI) tetapi konsentrasinya kecil dan tidak