i
HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA NARKOBA
Tinjauan Etis Kristen dari Pemikiran Malcolm Brownlee
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang
Teologi (S.Si.Teol)
Program Studi Teologi
Oleh:
Yaspis Edgar Nugroho Funay 712013016
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
vi
KATA PENGANTAR
Segala ungkapan syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena melalui berkat dan kasih karunia-Nya yang melimpah, Tugas Akhir ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Campur tangan-Nya yang begitu besar telah nyata dalam penyertaannya di setiap langkah perjuangan penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Pertama, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Papi John, Mama Yetty, Arin, Feril dan Regina, untuk setiap doa, kepercayaan dan motivasi yang selalu menjadi penyemangat terbesar. Salam penuh cinta untuk kalian.
Kedua, terima kasih dan salam hormat kepada kedua dosen pembimbing, Bapak Pdt. Izak Yohan Matriks Lattu Ph.D dan Bapak Pdt. Dr. Nelman A. Weny, atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.
Ketiga, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk wali study, Ibu Pdt. Irene Ludji, MAR dan bapak Pdt. Yusak B. Setyawan Ph.D, yang telah menjadi orang tua yang selalu mengarahkan, membimbing, dan memperhatikan penulis ditanah
perantauan selama masa perkuliahan ini.
Keempat, terima kasih dan hormat bagi seluruh dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, atas seluruh ilmu dan pengalaman yang telah dibagikan untuk membuka wawasan berpikir penulis selama proses perkuliahan yang selalu menginspirasi saya dalam memaknai kehidupan.
Kelima, terima kasih untuk seluruh staff tata usaha Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana (Ibu Budi, Mas Adi, Mas Eko, Mbak Liana) yang sangat membantu penulis dalam mengurus administrasi.
Keenam, salam penuh cinta untuk Dhavid K. Dira Tome, Marcel Leasa, Fajar Pratama Putra, Bobby Nenokeba, Juan Liu, Gian Noach, Jear Nenohai, Andre Sebayang, Alti Howan, dan Yunus Djabumona yang selalu menemani dan memberikan semangat untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.
vii
Kedelapan, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Mohon maaf oleh karena keterbatasannya, penulis tidak dapat disebutkan satu persatu. Kiranya berkat Tuhan selalu melimpah.
Akhir kata penulis berharap agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi sivitas akademika dan pihak-pihak yang membutuhkan. Tuhan memberkati.
Salatiga, 12 September 2017
viii
DAFTAR ISI
Judul ... i
Lembar Pengesahan ... ii
Pernyataan Tidak Plagiat ... iii
Pernyataan Persetujuan Akses ... iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ... v
Kata Pengantar ... vi-vii Daftar Isi ... viii
Motto ... ix
Abstrak ... x
I. Pendahuluan Latar Belakang ... 1-3 II. Hukuman Mati Sebagai Objek Penelitian Etika Etika Kristen Malcolm Brownlee ... 5-9 Beberapa Pemikiran Norman L. Geisler dan J. Verkuyl ... 9-13 III. Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Kaca Mata Etika Kristen Data Kasus Pidana Narkotika ... 13-20 Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Perfektif Etika Kristen ... 20-24 IV. Penutup Kesimpulan ... 24
ix
MOTTO
x Abstrak
Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk menjawab masalah dilema etis “hukuman mati bagi para terpidana narkoba” dengan alasan dan bukti-bukti yang kuat. Dalam penelitian ini saya menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk studi literatur, dalam hal ini saya mengumpulkan data dari sumber buku dan jurnal terkait dengan permasalahan yang saya angkat. Proses penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengertian bahwa penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang
ada untuk kemudian dianalisa dengan menggunakan data yang didapatkan dari hasil pembacaan literatur yang terkait. Saya berpendapat dalam tulisan ini bahwa
hukuman yang tepat untuk terpidana narkoba adalah bukan hukuman mati (retribusi), melainkan rehabilitasi.
1
Pendahuluan
Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjawab permasalahan dilema etis “hukuman mati bagi para terpidana narkoba” dengan alasan dan bukti -bukti yang kuat. Saya mencoba untuk melihat pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkoba melalui perspektif kekristenan dengan mengambil pemikiran Malcolm Brownlee dan akan dilengkapi dengan beberapa pemikiran para ahli lainnya seperti J. Verkuyl dan Norman L Geisler. Munculnya dilema dalam pelaksanaan hukuman mati menjadi sebuah pergumulan tersendiri di kalangan masyarakat, gereja, bahkan penegak hukum yang harus melaksanakan hukuman mati di saat dunia gempar menyerukan tentang Hak Asasi Manusia. Bahaya narkoba sudah merasuk ke dalam kehidupan kita, bahkan telah membahayakan kehidupan bangsa. Ini memang bukan persoalan ringan karena perdagangan narkoba telah memiliki jaringan internasional. Sampai tahun 2000, di Indonesia tercatat dua juta korban dari berbagai usia dan latar belakang. Narkoba berperan besar dalam proses penghancuran sebuah negara. Efeknya sangatlah dasyat sehingga pecandu
narkoba sering disebut sebagai lost generation. Pada saat krisis seperti sekarang ini narkoba menjadi obat penenang sehingga bisa meninabobokan orang. Barang terlarang itu seringkali muncul dalam obat yang mengandung
zat adiktif.1 Di dalamnya juga termasuk narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang termasuk dalam hallucinogen, depresant dan stimulant.2
Seiring berjalannya waktu, hukuman mati bagi terpidana narkoba dihadapkan dengan dilema etis yang terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah hukuman mati sangat berlawanan dengan konsep Hak Asasi Manusia yang selama ini berlaku. Pendukung konsep ini berpendapat bahwa hanya Tuhan yang bisa mengambil nyawa seseorang. Sudah menjadi pengetahuan dikalangan para ahli hukum bahwa “Criminal Justice System is not infallible” atau sistem peradilan pidana tidaklah sempurna. Peradilan pidana dapat saja
1
Clara R. P. Ajisuksmo, Narkoba: Petunjuk Praktis bagi Keluarga untuk Mencegah Penyalahgunaan Narkoba (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), 1.
2
2
keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa penuntut umum, maupun hakim adalah juga manusia yang bisa saja keliru ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal. Orang yang telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun dikemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.3 Pemaparan ini dengan jelas ingin mengatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan pasal 281 ayat (4) UUD 1945.
Jika dihadapkan dengan situasi seperti ini, sudah seharusnya kita harus mempertimbangkan seluruh teori etika yang ada, tidak terkecuali dengan Malcolm Brownlee. Brownlee terkenal dengan etika situasionalnya, sebuah keputusan etis bisa diambil dengan mempertimbangkan situasi yang sedang terjadi, karena dalam pengambilan sebuah keputusan etis sering menyangkut pilihan yang sukar.4 Dalam pengambilan keputusan etis, individu seharusnya diperhadapkan dengan situasi yang dilematis, bukan saja antara benar atau salah, yang baik atau yang buruk, yang tepat atau yang tidak tepat, tetapi juga antara kurang benar dan hampir benar. Keputusan etis tidak selalu
menyangkut yang hitam atau yang putih, tetapi juga yang abu-abu atau yang sering kali disebut the lesser evil 5 (yang paling sedikit buruknya). Sadar atau tidak, dalam berbagai kesempatan kita harus membuat keputusan yang bersifat lesser evil untuk memilih menjunjung hak asasi manusia atau menghukum yang telah melakukan pelanggaran berat. Orang-orang yang memandang etika sebagai pilihan mutlak antara baik dan jahat kurang siap untuk menghadapi keputusan yang sukar seperti ini. pemikiran etis bermaksud untuk menolong mendekati pemilihan itu dengan pikiran yang lebih cerdas.6
Dalam kasus ini pengambil keputusan dihadapkan dengan dua situasi yang masing-masing memiliki landasan yang kuat. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal, hukuman mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang berlaku di negara. Pandangan bahwa hanya Tuhan yang
3
Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati (Jakarta: Kompas, 2009), 43.
4
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 20.
5
Ebenhaizer Nuban Timo dan Irene Ludji, Panorama Etika Kristen (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 73.
6
3
memiliki kuasa penuh akan kelangsungan hidup manusia membuat hukuman mati sangat ditentang oleh prinsip dasar HAM. Sedangkan, disisi lain terdapat pemikiran yang sangat berlawanan dengan pemikiran pertama yaitu bahwa terpidana narkoba sudah sepantasnya dihukum seberat-beratnya karena sudah merugikan banyak pihak bahkan dalam hal ini negara demi kepentingan diri sendiri, hukuman mati menjadi pilihan yang sangat tepat guna memberikan efek jerah kepada oknum yang bersangkutan maupun oknum lain yang akan melakukan kegiatan terlarang ini.
Penelitian ini menjadi sangat penting karena dewasa ini banyak kasus narkoba yang akhirnya hanya menjadi catatan hitam negara dan masyarakat tanpa penyelesaian yang jelas oleh pihak berwajib. Pengambilan keputusan yang tidak jelas dan hukum yang saling berlawanan membuat dilema etis ini akhirnya menemukan jalan buntu. Hukuman mati yang sangat menyita perhatian masyarakat adalah eksekusi bagi terpidana narkoba Feddy Budiman, satu dari empat terpidana narkoba yang dieksekusi tanggal 29 juli 2016, di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Jawa Tengah.
Dalam penelitian ini saya menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk studi literatur, dalam hal ini saya mengumpulkan data dari sumber buku dan jurnal terkait dengan permasalahan yang saya angkat. Proses
penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengertian bahwa penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang ada untuk kemudian dianalisa dengan menggunakan data yang didapatkan dari hasil pembacaan literatur yang terkait. Saya berpendapat dalam tulisan ini bahwa hukuman yang tepat untuk terpidana narkoba adalah bukan hukuman mati (mematikan terpidana), melainkan hukuman yang bersifat memperbaiki terpidana.
Hukuman Mati sebagai Objek Penelitian Etika Kristen
4
Amerika Serikat mendefinisikan, bahwa narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat bahan mentahnya kemudian diolah menjadi morfin, heroin, kodein, hashish, dan kokain. Di dalamnya juga termasuk narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang termasuk dalam hallucinogen, depresant dan stimulant.7
Pada prinsipnya narkoba tidak dilarang jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun demikian, kepemilikannya juga harus mendapatkan izin dari pemerintah. Hal yang dilarang adalah peredaran gelap dan penyalahgunaannya. Sebagaimana yang kita ketahui narkoba banyak ditransaksikan secara sembunyi-sembunyi bahkan terkadang sudah terang-terangan di dalam lingkungan masyarakat untuk dikonsumsi dengan mengambil efeknya berupa kesenangan, padahal kita ketahui dampak negatif dari narkoba sangat berbahaya, serta dapat menimbulkan komplikasi berbagai macam penyakit hingga kematian.8
Penggunaan obat dan narkotika di Indonesia sudah menjadi semacam way of life, khususnya dikalangan artis, yuppies (young urban professionals), dan kelas menengah keatas lainnya.9 Ibarat kanker, jaringan narkotika internasional dari tahun ke tahun terus berkembang menggerogoti sendi-sendi kehidupan manusia dan susah dibasmi. Jaringan produksi dan pemasarannya
pun seperti internet, yaitu tidak mengenal batas negara, jangkauannya luas, dan bisa diakses oleh pengedarnya dimana-mana, tetapi sulit dilacak ujung pangkalnya.10
Terdapat tiga elemen yang tercakup didalamnya yaitu pemilik, pengedar dan pengguna. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9/1976 tentang Narkotika, ketentuan pidana yang akan didapatkan oleh seorang pengguna narkoba adalah berupa pidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000, dan atau mendapatkan pengobatan
7
Wilson Nadeak, Korban Ganja dan Masalah Narkotika (Bandung: Indonesia Publishing House, 1978), 122.
8
Heriadi Willy, Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 2015), 5.
9
Soejono Dirdjosisworo, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates), 236.
10
5
dan rehabilitasi.11 Sedangkan bagi pemilik dan pengedar narkoba akan mendapatkan ganjaran dan ketentuan pidana jauh lebih berat, yaitu berupa pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dan denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000.12 Negara dalam hal ini harus segera mengambil tindakan tegas untuk menghukum setiap orang yang terkait dengan peredaran narkoba. Hukuman yang diberikan haruslah bersifat sangat tegas sehingga memberikan efek jerah bagi sang pelaku maupun orang-orang yang menyaksikan hukuman ini. Akhirnya hukuman mati menjadi salah satu opsi yang dianggap paling ampuh untuk mengatasi hal ini. Hukuman mati dianggap valid karena mengandung keadilan dalam hal pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah diperbuat. Para terpidana narkoba dianggap telah merugikan banyak pihak sehingga pantas untuk dikenakan hukuman mati.13
2.1 Etika Kristen Malcolm Brownlee
Malcolm Brownlee mengemukakan tiga jenis etika, yakni etika akibat, etika kewajiban, dan etika tanggung jawab. Menurutnya, etika akibat adalah etika yang lebih situasional, yang cenderung “melegitimasi akibat” yang
membawa kebaikan terbesar, apa pun dasarnya atau alasan dari setiap tindakan (etika situasi). Disatu lain, etika kewajiban menegaskan bahwa “untuk segala sesuatu ada hukumnya.” Jenis etika ini legalistik (etika legalistik). Namun di lain sisi, etika tanggung jawab memberiruang bagi “tanggung jawab Kristen” dalam membuat setiap keputusan etis. Tanggung jawab etis dalam membuat keputusan ini diberlakukan akan tetapi sambil memperhitungkan kebenaran Allah, iman, keluarga, sesama manusia, situasi, hukum, masyarakat, bahkan orang yang tersangkut dalam pengambilan keputusan etis berlandaskan kebenaran sehingga dapat menghasilkan sebuah tindakan yang membawa kebaikan tertinggi (summum bonum) bagi semua orang.14
Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini, (Yogyakarta: Kanisius,2006), hal 131.
14
6
Lebih rinci dijelaskan bahwa menurut etika akibat, kehidupan etis sama dengan proses membuat sesuatu. Kita memilih tujuan-tujuan atau kita diberi tujuan-tujuan oleh Allah. Kemudian kita mengerjakan hal-hal yang mendekatkan kita kepada tujuan itu. Kita berusaha mencapai tujuan tersebut. Kalau demikian kebaikan atau keburukan perbuatan kita bergantung kepada tujuan atau hasilnya. Suatu tindakan dianggap benar apabila mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada hasil buruk. Suatu tindakan dianggap salah apabila mengakibatkan hasil buruk yang lebih besar daripada hasil baik. Suatu tindakan harus dilaksanakan apabila akan mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada tindakan-tindakan lain yang ada sebagai alternatif.
Mengambil keputusan memang kita perlu memperhatikan tujuan-tujuan dan akibat-akibatnya. Namun demikian, kita akan mengalami persoalan besar jikalau kita hanya memperhatikan tujuan-tujuan dan akibat-akibat saja. Salah satu persoalan dalam membatasi diri kepada teori etika akibat yaitu ketidakmampuan kita untuk menentukan akibat perbuatan-perbuatan kita. Juga sering kali kita kurang mampu menguasai jalan-jalan yang kita pakai untuk
mencapai akibat itu.
Persoalan kedua dalam etika akibat ialah: apakah tidak ada faktor lain selain akibat yang menjadikan perbuatan buruk. Misalnya, apakah orang boleh
melanggar hukum atau memperkosa hak-hak asasi orang lain untuk mencapai akibat yang baik? Pernyataan ini ditujukan kepada etika akibat oleh teori etika yang kedua.15
Cara pengambilan keputusan etis yang kedua adalah etika kewajiban atau deontologis. Etika deontologis adalah cara berfikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip, hukum, norma objektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kondisi apapun juga. Etika deonologis masih bisa dibagi menjadi lagi menjadi dua aliran: deontologis aturan dan deontologis situasi. Deontologis aturan mengandaikan bahwa aturan moral selalu berlaku dalam situasi apapun. Mengenai deontologis situasi adalah satu tindakan etis yang menolak segala macam peraturan moral umum. Menurut deontologis
15
7
situasi setiap orang harus memutuskan sendiri bagaimana dia harus bertindak dalam situasi tertentu.16
Di dalam etika tanggungjawab, kehendak Allah dikenali lewat pekerjaan-pekerjaanNya di dalam kehidupan manusia. Individu yang percaya pada Allah bertanggungjawab untuk menanggapi pekerjaan Allah dalam hidupnya. Dosa terjadi ketika manusia hidup dengan tidak percaya pada pekerjaan Allah dalam hidupnya akibatnya ia berdosa, ia hidup terpisah dari pekerjaan Allah. Bagi manusia yang berdosa, dibutuhkan penyelarasan agar ia menemukan kembali damai sejahtera Allah lewat tindakan pencerahan diri dan penerimaan atas kasih karunia Allah.
Pengambilan keputusan etis yang masuk dalam teori etika yang diusung oleh Malcolm Brownlee memiliki ciri sebagai berikut:
Selalu memiliki pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk. Etika didefinisikan secara sederhana sebagai penyelidikan tentang apa yang baik atau benar atau luhur dan apa yang buruk atau salah atau jahat dalam kelakuan manusia. Etika menaruh
perhatian pada norma-norma yang membimbing perbuatan manusia dan cita-cita yang membentuk tujuan manusia17.
Pengambilan keputusan etis sering kali menyangkut pada pilihan yang
sukar. Seringkali, keputusan kita bukan pilihan antara hitam dan putih, melainkan antara dua corak yang kelabu. Orang-orang yang setuju tentang prinsip-prinsip etis tidak selalu setuju dengan penerapan prinsip-prinsip itu dalam kasus yang nyata. Sayang, orang-orang yang memandang etika sebagai pilihan mutlak antara baik dan jahat kurang siap untuk menghadapi keputusan-keputusan yang sukar. Karena mereka tidak bisa memilih antara kelabu tua dan kelabu muda. Meskipun tekad dan ketetapan hati perlu diperhatikan oleh bidang etika, tetapi etika juga harus menjelaskan persoalan-persoalan yang terlibat dalam pemilihan-pemilihan etis yang sulit. Etika bermaksud untuk menolong mendekati pemilihan itu dengan pikiran lebih cerdas18.
16
Franz Von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral
(Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975), 86.
17
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya, 16.
18
8
Keputusan-keputusan etis tidak mungkin dielakkan. Individu-individu juga kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sering dihadapkan dengan pilihan yang perlu dilakukan. Kerapkali kita harus mengambil keputusan entah yang sukar atau yang mudah. Sewaktu kita dihadapkan dengan pemilihan etis, kita tidak mungkin tidak mengambil keputusan. Kita dapat secara aktif mengambil keputusan kita dengan memikul tanggungjawab diatasnya. Atau secara pasif kita dapat mengambil keputusan itu dengan membiarkan orang-orang dan peristiwa-peristiwa berjalan terus tanpa campur tangan kita19.
Kita hanya bisa memahami pengambilan keputusan etis kalau kita memperhitungkan juga hal-hal yang tidak dipertimbangkan pada saat pengambilan keputusan itu. Keputusan kita tidak hanya dipengaruhi oleh norma-norma yang dipertimbangkan dan pengertian kita tentang situasi, tetapi juga oleh kepercayaan kita, tabiat dan lingkungan sosial kita. Pengambilan keputusan kita dipengaruhi oleh hubungan-hubungan kita dengan Tuhan, orang lain, dan diri sendiri, padahal seringkali kita tidak menyadari pengaruh itu.20
Dalam pengambilan keputusan etis, individu diperhadapkan pada situasi yang dilematis, bukan hanya antara yang benar atau yang salah; yang baik atau yang buruk; yang tepat atau yang tidak tepat; tetapi juga antara yang
kurang benar dan hampir benar. keputusan etis tidak selalu hanya menyangkut yang hitam atau yang putih, tetapi juga yang abu-abu atau yang sering kali disebut the lesser evil (yang paling sedikit buruknya). Sadar atau tidak, dalam banyak kesempatan kita diharuskan untuk membuat keputusan yang sifatnya the lesser evil. Situasi yang dilematis dalam pengambilan keputusan etis adalah ciri keputusan etis yang kedua.21 Dalam kasus-kasus seperti ini kita akan dihadapkan dengan pilihan yang sukar, biasanya antara kejujuran dan white lie (kebohongan putih).22
19
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 23.
20
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 25.
21
Ebenhaizer Nuban Timo dan Irene Ludji, Panorama Etika Kristen (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 73.
22
9
Kadang-kadang kita mendengar orang mengatakan bahwa keputusan-keputusan moral itu relatif. Kata “relatif” mempunyai bermacam-macam arti. Kadang-kadang “relatif” berarti keputusan bukan pilihan antara baik dan buruk secara mutlak melainkan antara campuran-campuran baik dengan buruk. Satu campuran dianggap hanya relatif lebih baik daripada yang lain. Pandangan ini dapat disetujui, tetapi tidak membebaskan kita dari tanggungjawab untuk memilih yang relatif lebih baik dan menolak yang relatif lebih buruk. Pilihan antara campuran-campuran baik dengan jahat masih perlu dinilai benar-salahnya.
Arti lain untuk “relatif”: berhubungan. Kata “relatif” sering dipakai dengan arti ini oleh orang-orang yang berpendapat bahwa keputusan kita berhubungan dengan situasi. Karena itu mereka merasa bahwa tidak ada patokan moral yang berlaku untuk semu situasi. Tentu “berhubungan” adalah arti tepat bagi “relatif”. Namun demikian keputusan-keputusan kita berhubungan bukan dengan situasi saja melainkan juga iman, tabiat, lingkungan sosial, dan norma-norma23.
2.2 Beberapa Pemikiran Norman L. Geisler dan J. Verkuyl
Selain Malcolm Brownlee, ada beberapa tokoh yang juga
mengemukakan teori etika yang lebih khusus menjurus kepada hukuman mati. Beberapa pemahaman tersebut membagi pemikiran tentang hukuman mati menjadi tiga pandangan yaitu, rekonstruksionisme, rehabilitasionisme, dan retrebusionisme.24
Secara singkat menurut Norman L. Geisler, Rekonstruksionisme merupakan pandangan yang menuntut hukuman mati atas semua kejahatan serius; Rehabilitasionisme merupakan pandangan yang tidak mengizinkan hukuman mati atas kejahatan apapun; dan Retribusionisme merupakan pandangan yang menganjurkan hukuman mati atas sejumlah kejahatan (besar). Bentuk-bentuk dari ketiga pandangan inilah yang dianut oleh kaum Kristen.25
23
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 27.
24
Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu Kontemporer (Malang: SAAT, 2015), 238.
25
10
Pertama, Kaum rekonstruksionisme percaya bahwa hukuman mati seharusnya diterapkan untuk semua kejahatan besar atau setiap kejahatan nonseremonial yang disebutkan dalam hukum Musa yang termasuk didalamnya dua puluh pelanggaran berbeda. Kaum rekonstruksionisme percaya bahwa tujuan utama dari keadilan adalah retribusi bukan rehabilitasi. Tujuannya untuk menghukum bukan untuk pembaharuan.26 Pendukung rekonstruksi Greg L. Bahnsen menjelaskan hal ini dalam Theonomy in Christian Ethics; dia berpendapat bahwa “kita harus mengerti ketentuan dari hukuman mati berdasarkan bahwa hukuman mati bagi warga negara adalah kejahatan yang beralasan dimata Allah.”27 Mereka percaya bahwa hukuman mati masih mengikat saat ini. Mereka yakin bahwa pemerintah tunduk pada kewajiban Ilahi untuk melaksanakan hukuman mati. Intinya mereka percaya bahwa hukuman mati perlu diberlakukan pada setiap macam pelanggaran besar, sosial, keagamaan, atau moral.
Kedua, Pendukung pandangan ini adalah orang Kristen dan non Kristen, yang percaya bahwa tujuan keadilan adalah rehabilitasi bukan
retribusi. Keadilan bersifat rehabilitatif bukan retributif. Kita harus berusaha memperbaiki penjahat, bukan menghukumnya, atau setidaknya bukan dengan hukuman mati.28
Ada beberapa pandangan moral yang digunakan oleh kaum rehabilitasionisme untuk menolak hukuman mati, yaitu: hukuman mati diterapkan dengan tidak adil, hukuman mati bukanlah pencegah kejahatan, hukuman mati adalah tindakan yang tidak berprikemanusiaan, para penjahat seharusnya disembuhkan bukan dibunuh, dan hukuman mati mengirim orang-orang yang tidak percaya menuju neraka.29
Ketiga, retrebusi (hukuman mati untuk sejumlah kejahatan besar). Pandangan ini berpendapat bahwa hukuman mati diberlakukan untuk beberapa kejahatan, yaitu, kejahatan-kejahatan besar. Berbeda dengan
26
Geisler, Etika Kristen, 245.
27
Greg L. Bahnsen, Theonomy in Christian Ethics, edisi yang diperluas (Philipsburg, NJ: Presbyterian & Reformate, 1998), 441, ed. Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu Kontenporer (Malang: SAAT, 2015), 245.
28
Geisler, Etika Kristen, 238.
29
11
rehabilitasionisme, retribusionisme tidak percaya bahwa tujuan utama dari hukuman mati adalah untuk menghukum. Berbeda dangan rekonstruksionisme, retribusionisme tidak percaya bahwa pemerintahan sipil saat ini terikat oleh hukum Musa yaitu mengenai hukuman mati. Retribusionisme berpendapat bahwa penjahat tidaklah sakit tetapi berdosa. Pelanggarannya yang utama bukan bersifat patologis tetapi moral. Karena mereka adalah manusia yang bertanggung jawab secara rasional dan moral, mereka lebih tau dank arena itu layak dihukum. Sekalipun hukuman mati bisa mencegah kejahatan, setidaknya oleh para pelaku, bagaimanapun ini bukanlah tujuan utamanya. Tujuan utamanya adalah menghukum orang yang bersalah, bukan melindungi orang yang tidak bersalah.30
Pandangan lainnya yang juga menyoroti masalah hukuman mati adalah J. Verkuyl. Tidak seperti Geisler, Verkuyl secara gamblang menyatakan dua argumentasinya, yaitu alasan untuk tidak menyetujui hukuman mati dan alasan-alasan teologis sebagai dasar hukuman mati.
Alasan untuk Tidak Menyetujui Hukuman Mati
Pertama, dalam abad ini dan abad-abad yang lalu, hak itu telah disalahgunakan dengan cara yang sangat mengerikan. Hak menjatuhkan
hukuman mati kerapkali disalahgunakan untuk memusnahkan ras yang merupakan golongan kecil, sehingga sesudah perang dunia kedua banyak orang berkata: “senjata ini, yakni senjata hukuman mati, tidak boleh lagi berada didalam tangan pemerintah, sebab banyak pemerintah yang telah bermain-main dengan senjata itu secara sangat mengerikan, dan dengan demikian mereka telah kehilangan hak untuk mempergunakan senjata (hukuman mati) itu.” Alasan-alasan itu sungguh sangat berat. Kemarahan dan keberangan orang tentang penyalahgunaan hak menjatuhkan hukuman mati mempunyai nilai kesusilaan yang sangat tinggi.31
Kedua, alasan kedua diambil dari firman keenam yang berbunyi: “jangan membunuh.”, walaupun didalamnya hukum Taurat Israel juga
30
Geisler, Etika Kristen, 256-257.
31
12
memberikan hak kepada pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati guna melindungi hidup dan kehidupan bersama. Kepada pemerintah telah diberikan pedang untuk dipergunakan, justru karena hidup rakyat harus dilindungi.32
Ketiga, menentang hukuman mati berdasarkan perikemanusiaan. Perikemanusiaan memandang kehidupan manusia sebagai nilai tertinggi dan menganggap kehidupan manusia sebagai suatu yang tidak dapat diganggu gugat secara mutlak.33 Karena kehidupan sendiri merupakn pemberiaan langsung dari Tuhan.
Keempat, alasan yang istimewa beratnya datang dari pihak pastoral. Kerapkali ditunjukan bahwa hukuman mati tidak atau sedikit saja memberikan kesempatan untuk bertobat jika seandainya pemerintah dilarang untuk menjatuhkan hukuman mati, tetapi misalnya boleh menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, maka ada lebih banyak kesempatan untuk memberi pengembalaan kepada tawanan tersebut.34
Alasan-alasan Teologis Sebagai Dasar Hukuman Mati
Menurut Verkuyl, banyak ahli teologi yang berpendapat bahwa pemerintah harus diberi hak untuk mengenakan hukuman mati. Alasan-alasan yang mereka ajukan ialah.
Pertama, dalam Kejadian 9:6, Alkitab berkata untuk pertama kalinya tentang tugas pemerintah. Sekalipun sudah tentu bahwa Alkitab tidak dimaksudkan sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana, namun adalah sangat penting artinya bagi hukum pidana, bahwa perbuatan jahat yang menyerang hidup manusia diancam disini dengan hukuman yang terberat oleh Tuhan sendiri.35
Kedua, dalam perjanjian baru disebutkan bahwa pemerintah diberi “kekuasaan pedang” (Rm. 13:4). Pedang dianggap sebagai lambang hukuman mati dan sebagai kemungkinan yang terakhir.36
32
Verkuyl, Etika Kristen, 154.
33
Verkuyl, Etika Kristen, 154.
13
Ketiga, hukuman mati sebagai tanda murka Allah. Walaupun hanya Tuhanlah yang dapat mengadili manusia, tetapi hukuman mati dijadikan antisipasi atau pendahuluan diadilinya dunia ini. Hukuman mati adalah suatu tanda yang menunjuk kepada hukuman yang terakhir yang diberikan kepada manusia di dunia.37
Keempat, hukuman mati hanya dapat diterima sebagai “ultima ratio”, sebagai alasan atau alat terakhir didalam perkara-perkara yang sangat istimewa. Yang sangat mengerikan dalam hal hukuman mati ialah bahwa hukuman itu tidak dapat dibetulkan, ditarik kembali, ataupun dihapuskan apabila kemudian ternyata hukuman itu salah. Karena itu pemerintah baru boleh mengenakan hukuman mati pada taraf yang terakhir. Maka kemungkinan mengenakan hukuman mati perlu juga dicantumkan didalam KUHP dengan menyebutkan pula dalam kejadian-kejadian apakah hukuman itu boleh digunakan. 38
Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Kacamata Etika Kristen
3.1Data Kasus Pidana Narkotika
Upaya pemerintah dalam meletakkan landasan yuridis terhadap peyalahgunaan Narkotika tersebut tidak dapat dipungkiri akibat dari kian meningkatnya pelanggaran atau kasus yang terkait dengan masalah tersebut. Penyalahgunaan narkoba akan menyebabkan ketergantungan fisik, emosional maupun psikir. Berbagai motivasi dalam penyalahgunaan narkoba ternyata menyangkut motivasi yang berhubungan dengan keadaan individu, selain itu penyalahgunaan narkoba merupakan jalan pintas untuk menghadapi beban kehidupan sebagai dampak factor lingkungan.39
Jumlah tersangka kasus narkoba selama tahun 2004 sampai tahun 2006 yang berada di wilayah hukum Kab. Semarang dapat dilihat dari tabel I tentang jumlah tersangka berikut:
37
Verkuyl, Etika Kristen, 155.
38
Verkuyl, Etika Kristen, 156.
39
14
Tabel I
Jumlah Tersangka Kasus Narkoba yang Ditangani Polres Kab.
Semarang Tahun 2004 sampai 2006
Sumber: Data sekunder yang telah diolah
Dari tabel I tentang jumlah tersangka kasus diatas dapat diketahui selama tahun 2004 terdapat 7 (tujuh) tersangka narkotika, tahun 2005 terdapat 15 (lima belas) tersangka kasus narkotika, dan tahun 2006 terdapat 16 (enam belas) tersangka kasus narkotika yang ditangani oleh Polres Semarang. Terhadap 48 (empat puluh delapan) tersangka kasus narkoba yang terjadi selama tahun 2004 sampai 2006, Polres Semarang melakukan tindakan-tindakan penanganan yang meliputi penyelidikan, penyidikan, dan pelimpahan perkara ke penuntut umum. Penanganan kasus narkoba oleh kepolisian didasarkan adanya laporan/pengaduan dari masyarakat, atau mungkin polisi mengetahui sendiri adanya tindak pidana yang berkaitan dengan narkoba yang diterima oleh sentral pelayanan kepolisian. Dari jumlah kasus pertahun tersebut dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun kasus narkotika mengalami kenaikan.40
Data ini menunjukan presentase hasil yang hampir sama dengan data yang pernah dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional tahun 2006.
40
M. Haryanto, S.H., M. Hum dan Shandra Kusumawati, Laporan Penelitian,
15
Tabel II
Data Kasus Pidana Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang di
Indonesia Tahun 2001-2005
Sumber: Dit IV/ Narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN), Februari
2006.41
Data pada tabel II menunjukan kasus narkokotika dan psikotropika secara umum, tanpa membedakan antara produsen, pengedar, dan pemakai (pemakai tidak diancam hukuman mati). Data ini menunjukan bahwa dari tahun ke tahun tindak pidana narkotika terus mengalami kenaikan dengan jumlah rata-rata per tahun 3.984 (tiga ribu Sembilan ratus delapan puluh empat) kasus narkotika.
41
16
Dasar-Dasar Penentuan Hukuman Mati
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hukuman mati (death penalty) merupakan hukuman akhir dan hukuman paling berat yang diberikan kepada seorang tersangka. Seiring dengan perkembangan zaman, hukuman mati mengalami berbagai penyesuaian dan penentuan hukuman mati sudah diatur pelaksanaannya dalam peraturan perundang-undangan masing-masing negara.
Sekalipun ada banyak kritik dan perdebatan dari kelompok yang pro dan kontra mengenai hukuman mati, tetapi setidaknya ada tiga hal besar yang menjadi dasar penentuan hukuman mati yaitu,
Pertama, Hukuman mati hanya diterapkan untuk segala bentuk kejahatan besar (the most serious crimes).42 Dikutip dari putusan MK No 2-3/PUU-V/2007, ketentuan pasal-pasal UU Narkotika tersebut masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 80 ayat (1) huruf a: “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau
menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati…”, pasal 80 ayat (2) huruf a: “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: Ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan
pidana mati…”, pasal 80 ayat (3) huruf a: “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam: Ayat (1) huruf a dilakukan secara
terorganisasi, dipidana dengan pidana mati…”, pasal 81 ayat (3) huruf a:
“Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam: Ayat (1) huruf a
dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati…”, pasal 82 ayat (1) huruf a: “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati…”, pasal 82 ayat (2) huruf a: “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam: Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana
42
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati
17
mati…”, pasal 82 ayat (3) huruf a: “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana
dengan pidana mati…”43
Dilihat dari dampaknya, narkoba juga menyebabkan ratusan nyawa masyarakat Indonesia terutama pemuda yang merupakan generasi bangsa terancam hilang. Kemudian atas keputusan MK ini, dapat dikatakan bahwa kasus narkotika tergolong dalam kejahatan serius yang dihadapi oleh negara.
Kedua, Hukuman mati memberikan efek jera bagi tindak pidana. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa ancaman hukuman mati menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang sangat tinggi. Efek jera hukuman mati tersebut merupakan faktor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana.44 Penerapan hukuman mati bagi para pengedar narkoba diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku pengedar narkoba dan dapat mencegah masyarakat yang berniat untuk menggunakan dan mengedarkan narkoba. Sehingga kasus kematian akibat narkotika di Indonesia dapat ditekan dengan adanya penegakan hukuman mati
ini.
Ketiga, Menurut putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 menyatakan bahwa perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah
memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa diyangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.45
43
Dikutip dari Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007, hal 403-432, Ed. Tudung Mulya Lubis dan Alexsander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, 344.
44
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 65.
45
18
Pro dan Kontra Disekitar Hukuman Mati
Seiring berjalannya waktu hukuman mati terkhusus bagi terpidana narkoba dihadapkan dengan dilema etis yang terjadi dimasyarakat. Hukuman mati tersebut memperoleh berbagai tanggapan dari berbagai kalangan, baik tanggapan yang pro maupun kontra terhadap kebijakan tersebut. Disatu sisi beranggapan bahwa didalam undang-undang narkotika di Indonesia menjadikan hukuman mati sebagai hukuman berat bagi bandar narkoba yang dianggap telah merugikan banyak pihak sehingga pantas untuk dikenakan hukuman mati. Sedangkan disisi lain, terdapat kelompok yang menolak hukuman mati atas nama hukum HAM Internasional sebagai alasan utamanya.
Pro terhadap Hukuman Mati
Saya tidak akan banyak membahas tanggapan kelompok masyarakat yang pro atau setuju dengan pidana mati karena kolompok ini kukuh menggunakan dasar-dasar penentuan hukuman mati (seperti yang dijelaskan sebelumnya) sebagai alasan utama mereka menyetujui hukuman mati.
Negara dalam hal ini harus mengambil tindakan tegas untuk menghukum setiap orang yang terkait dengan peredaran narkoba. Hukuman yang diberikan haruslah bersifat tegas sehingga memberikan efek jera bagi
sang pelaku maupun orang-orang yang menyaksikan hukuman ini. Akhirnya hukuman mati menjadi salah satu opsi yang dianggap paling ampuh untuk mengatasi hal ini. Hukuman mati dianggap valid karena mengandung keadilan dalam hal pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah diperbuat. Para terpidana narkoba dianggap telah merugikan banyak pihak sehingga pantas dikenakan hukuman mati.46
Kontra terhadap Hukuman Mati
Sama halnya dengan pandangan yang mendukung pidana hukuman mati, pandangan yang kontra atau tidak setuju dengan hukuman mati juga memiliki landasan yang kuat. Seperti yang telah dijelaskan dibagian awal, hukuman mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang berlaku
46
19
di negara. Pandangan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kuasa penuh akan keberlangsungan hidup manusia membuat hukuman mati bertentangan dengan prinsip dasar HAM. Beberapa alasan lain yang disampaikan adalah diragukannya efek jera hukuman mati dalam menurunkan jumlah tindak pidana47, dan hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang kejam dan merendahkan martabat manusia.48
“Efek jera hukuman mati tersebut merupakan factor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana”. Secara logika argument ini masuk akal, namun tidak terdapat data statistic (empiris) dan riset yang secara meyakinkan mendukung kesimpulan tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya.49 Sebagai contoh, jumlah tindak pidana narkotika dan psikotropika di Indonesia justru meningkat dari tahun ke tahun walaupun UU narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika memberlakukan hukuman mati. Hal ini cukup membuktikan bahwa ancaman hukuman mati bukanlah faktor utama dan bukan merupakan faktor yang tidak tergantikan dalam upaya mengurangi tindak pidana narkotika dan psikotropika
ataupun tindak pidana lainnya.
Salah satu sebab hukuman mati dihapuskan diberbagai negara didunia adalah kenyataan bahwa hukuman mati dianggap merupakan satu bentuk
hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Kejamnya hukuman mati dilukiskan oleh Mahkama Konstitusi Afrika Selatan ketika menghapus hukuman mati dari sistem hukum Afrika Selatan. Dalam kasus ini Hakim Chaskalson, mendeskripsikan hukuman mati sebagai berikut: kematian adalah sebuah hukuman yang kejam, dan proses-proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau tidak dilakukan hukuman, yang membuat si terpidana menunggu dalam ketidakpastian, semakin menambah kekejaman tersebut. Hukuman mati juga berada diluar
batas perikemanusiaan, karena… ”dengan sendirinya merupakan
pengingkaran terhadap kemanusiaan yang bersangkutan”50
47
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 65.
48
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 338.
49
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati,65-66.
50
20
Fakta ini membuktikan bahwa pada dasarnya permasalahannya terletak pada hakikat hukuman mati itu sendiri sebagai suatu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Upaya mencari metode eksekusi yang lebih “berperikemanusiaan” bukanlah solusinya. Jika terjadi kesalahan pada sistem peradilan pidana hukuman mati, terpidana yang sudah terlanjur dieksekusi sudah tidak bisa dibebaskan kembali. Pada kasus hukuman mati yang telah dieksekusi, kelemahan ini menjadi fatal. Orang yang telah dieksekusi tidak dapat dihidupkan kembali.51
3.2Hukuman Mati Kasus Narkoba dalam Perfektif Etika Kristen
Pada dasarnya setiap kasus pelanggaran narkoba dikarenakan oleh penggunaan narkoba dalam kadar yang tidak wajar dan tidak memiliki izin atau hak dalam menggunakannya. Sebagaimana yang kita ketahui narkoba banyak ditransaksikan secara sembunyi-sembunyi bahkan terkadang sudah terang-terangan dalam lingkungan masyarakat untuk dikonsumsi dengan mengambil efeknya berupa kesenangan, padahal kita ketahui dampak negatif dari narkoba sangat berbahaya, serta dapat menimbulkan komplikasi berbagai macam penyakit hingga kematian.52 Oleh karena itu menurut pandangan saya,
hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah kurangnya pengetahuan mengenai dampak yang akan ditimbulkan oleh narkoba dan barang-barang sejenisnya, menganggap bahwa narkoba merupakan jalan keluar atas masalah kehidupan yang dihadapi, dan yang terakhir adalah narkoba dijadikan gaya hidup zaman sekarang.
Data yang saya kumpulkan berasal dari penanganan kasus narkoba oleh kepolisian resor Semarang yang terangkum dalam tabel I (jumlah tersangka kasus narkoba yang ditangani Polres Kab. Semarang tahun 2004 sampai 2006)53 dan data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional
51
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 339. 52
Heriadi Willy, Berantas Narkoba Tidak Cukup Hanya Bicara (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 2015), 5.
53
21
yang dirangkum dalam tabel II (data kasus pidana narkotika dan obat-obat terlarang di Indonesia)54
Dari penelitian literarur yang dilakukan penulis, dari tahun ke tahun kasus narkotika terus mengalami kenaikan. Pada tabel I tentang jumlah tersangka kasus narkotika yang ditangani oleh Polres Kab. Semarang terdapat total 38 (tiga puluh delapan) kasus narkotika. Hal yang sama juga terlihat pada tabel II dengan total 19.921 (sebilan belas ribu Sembilan ratus dua puluh satu) kasus pidana narkotika dan obat-obatan terlarang di Indonesia.
Berkaitan dengan kenaikan tindak pidana narkoba tiap tahunnya, fakta ini cara tidak langsung membuktikan bahwa hukuman yang diberikan terhadap pelaku tidak terlalu efektif karena tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana narkoba.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang paling berat bagi seorang terpidana. Atas dasar tersebut, hukuman mati jelas membutuhkan alasan yang kuat untuk dikenakan pada seorang terpidana. Pada sistem pelaksanaan hukuman mati harus
benar-benar valid dan tidak boleh ada sedikitpun kesalahan. Karena pada dasarnya hukuman mati adalah hukuman terakhir, orang yang telah dihukum mati tidak dapat dihidupkan kembali (jika nantinya terbukti tidak bersalah).
Menurut Malcolm Brownlee pada dasarnya setiap pengambilan keputusan etis memiliki ciri sebagai berikut: Selalu memiliki pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah, pengambilan keputusan etis sering kali menyangkut pada pilihan yang sukar, keputusan etis tidak mungkin dielakkan, dan kita hanya bisa memahami pengambilan keputusan etis kalau kita memperhitungkan hal-hal yang tidak dipertimbangkan pada saat pengambilan keputusan itu.55
Dari hasil perbandingan data yang telah dikumpulkan dan teori etika Kristen Brownlee, saya dapat jelaskan bahwa memang tindak pidana narkoba jelas merupakan sebuah kejahatan paling serius yang pantas untuk dikenakan
54
Sumber: Dit IV/Narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN), Februari 2006, ed. Todung Mulya Lubis dan Alexsander Lay, Kontroversi Hukuman Mati (Jakarta: Kompas,2009) 66.
55
22
hukuman mati. Tetapi dalam prakteknya, pidana mati harus tetap memperhatikan hal-hal lain sebagai bentuk pertimbangan etis, seperti: umur, kesehatan mental dan fisik, serta kemajuan bentuk tingkah laku dalam masa percobaan.56 Putusan MK tentang syarat penentuan hukuman mati ini sangat jelas, sehingga hukuman mati tidak boleh dilakukan diluar empat poin yang telah ditetapkan. Jika ditemukan kasus yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut, hukuman mati harus ditangguhkan. Selain harus sah dimata hukum, hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukum harus menghasilkan kebaikan yang maksimal bagi seluruh komponen masyarakat.
Hukum dan hukuman mati adalah dua hal yang berbeda. Hukum (law) dapat dimaknai sebagai “norma yuridis legal yang tersistem yang berfungsi sebagai dasar yang mengatur, melindungi, dan mendukung kehidupan masyarakat sebagai entitas sipil dari sebuah negara.” Sedangkan hukuman mati (capitalpunishment , or death penalty) merujuk kepada eksekusi oleh negara atas seseorang yang diyakini (secara yuridis formal) terbukti melakukan jenis kejahatan tertentu.57 Hukuman mati memang salah satu
bentuk hukuman yang banyak mengundang kontroversi dalam setiap pelaksanaannya. Berbagai pandangan turut mewarnai pelaksanaan hukuman mati, ada pandangan yang sejutu dengan diberlakukannya hukuman mati dan
ada pula yang justru menentang pelaksanaan hukuman mati. Secara umum alasan yang diangkat oleh pandangan yang menyetujui hukuman mati adalah bahwa hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang cocok untuk memberikan efek jera bagi terpidana kejahatan serius dan orang-orang yang menyaksikan hukuman ini. Sedangkan disisi lain, pandangan yang kontra terhadap hukuman mati berpandangan bahwa hukuman mati sangat berlawanan dengan konsep HAM yang berlaku.
Jika kita berkaca pada pemikiran Malcolm Brownlee pilihan untuk pro terhadap hukuman mati lebih condong kepada jenis etika akibat yang cenderung “melegitimasi akibat” yang membawa kebaikan terbesar, apa pun dasarnya atau alasan dari setiap tindakan. Suatu tindakan dianggap benar
56
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, xi.
57
23
apabila mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada hasil buruk. Suatu tindakan dianggap salah apabila mengakibatkan hasil buruk yang lebih besar daripada hasil baik. Suatu tindakan harus dilaksanakan apabila akan mengakibatkan hasil baik yang lebih besar daripada tindakan-tindakan lain yang ada sebagai alternatif.58
Hukuman mati dianggap baik karena dapat menghukum terpidana narkoba yang dianggap telah merugikan banyak pihak sehingga pantas untuk dihukum. Hal ini mengesampingkan fakta bahwa si terpidana memiliki hak untuk hidup, dan hanya Tuhan yang bisa mengambil nyawa seseorang. Fakta lain yang mungkin juga terlupakan adalah bahwa yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan tindak pidana, bukan narapidana yang bersangkutan.59
Pandangan yang kontra terhadap hukuman mati lebih condong kepada etika tanggungjawab yang selalu memberiruang bagi “tanggung jawab Kristen” dalam membuat setiap keputusan etis. Tanggung jawab etis dalam membuat keputusan ini diberlakukan akan tetapi sambil memperhitungkan
kebenaran Allah, iman, keluarga, sesama manusia, situasi, hukum, masyarakat, bahkan orang yang tersangkut dalam pengambilan keputusan etis berlandaskan kebenaran sehingga dapat menghasilkan sebuah tindakan yang membawa kebaikan tertinggi (summum bonum) bagi semua orang.60
Atas dasar perbandingan tersebut, menurut saya hak menjatuhkan hukuman mati boleh dimasukan ke dalam perundang-undangan, asalkan diterangkan secara sejelas-jelasnya dalam kejadian yang bagaimana pemerintah boleh mengenakan hukuman mati. Lebih dalam, hukuman mati menurut saya baru boleh dilakukan ketika penegak hukum telah menemukan alasan dan bukti-bukti yang kuat untuk melakukannya. Pemikiran yang tidak kalah penting adalah hukuman mati hanya digunakan sebagai bentuk tindakan yang paling terakhir.61 Karena menurut Todung Mulya Lubis, jika terdapat kesalahan
58
Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, 31.
59
Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, 65.
60
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya, ed. Nelman A. Weny, ALLAH-Pemilik Serta Penguasa Tunggal Atas Kehidupan, 3.
61
24
dalam sistem hukuman mati (salah tangkap atau terbukti tidak bersalah), orang yang sudah dihukum mati tidak dapat dihidupkan kembali.
Penutup
1.1Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat mengemukakan kesimpulan sebagai berikut:
Tindak pidana narkoba jelas merupakan suatu bentuk kejahatan yang serius dan pantas untuk dihukum seberat-beratnya karena telah merugikan banyak pihak didalamnya. Tetapi hukuman mati bukan merupakan pilihan yang etis untuk menghukum terpidana narkoba. Meskipun hukum negara memberikan alasan yang sangat jelas, hukuman mati tidak boleh dijadikan hukuman pokok melainkan hanya sebagai hukuman sekunder terutama dalam jenis kasus pidana narkoba.
Hukuman mati adalah hukuman yang terakhir. Orang yang telah
dihukum mati tidak dapat dihidupkan kembali jika dikemudian hari didapatkan fakta bahwa terpidana ternyata tidak bersalah.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ajisuksmo, Clara R. P. Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk Mencegah Penyalahgunaan Narkoba. Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.
Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Dirdjosisworo, Soejono. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.
Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu Kontemporer. Malang: SAAT, 2015.
Haryanto, M, dan Shandra Kusumawati. Penanganan Kasus Narkoba oleh Kepolisian Resor Semarang. Laporan Penelitian, Salatiga: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007.
Hatta, Moh. Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Higgins, Gregory C. Dilema Moral Zaman Ini. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Lubis, Todung Mulya. Kontroversi Hukuman Mati. Jakarta: Kompas, 2009.
Magnis, Franz Von. Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975.
Nadeak, Wilson. Korban Ganja dan Masalah Narkotika. Bandung: Indonesia Publishing House, 1978.
Nubantimo, Ebenhaizer dan Irene Ludji. Panorama Etika Kristen. Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2015.
Verkuyl, J. Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja, dan Negara. Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Weny, Nelman A. “Allah-Pemilik Serta Penguasa Tunggal Atas Kehidupan: Sebuah Pandangan Teologis Kristen Atas Hukuman Mati”. Kuliah Umum Agama UKSW, Salatiga Jawa Tengah, 23 Juli 2016.”