Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi KA dalam Budidaya Ikan Di KJA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mendukung usaha
pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan. Selain memenuhi persyaratan
untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan yang dipelihara, juga sarana dan
prasarana pendukung harus tersedia secara memadai serta sosial ekonomi
masyarakat yang kondusif.
Permintaan ikan-ikan karang khususnya kerapu dan lobster terus meningkat
seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya minat
masyarakat untuk mengkonsumsi ikan-ikan karang. Harga yang cukup tinggi dan
akses pasar yang cukup lancar, mendorong usaha penangkapan ikan-ikan karang
berkembang demikian pesat. Namun demikian, rendahnya penguasaan teknologi
dan sarana penangkapan yang dimiliki nelayan, mengakibatkan hasil tangkapan
sangat rendah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan hasil
tangkapan, di antaranya melalui peningkatan intensitas tangkap, penggunaan bahan
peledak, racun sianida dan tindakan-tindakan destruktif lainnya. Intensitas
penangkapan yang tinggi disertai penggunaan bahan-bahan berbahaya dan
beracun, tidak hanya menimbulkan tekanan pada populasi ikan yang terdapat di
alam, melainkan juga dapat merusak lingkungan, seperti rusaknya terumbu karang
dan padang lamun yang menjadi habitatnya, sehingga kapasitas daya dukung
Berkembangnya usaha pembesaran ikan dalam KJA selain berpengaruh
pada aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, juga berdampak pada aspek
lingkungan baik yang bersifat positif maupun negatif, langsung maupun tidak
langsung. Walaupun ikan-ikan karang termasuk sumberdaya dapat pulih (renewable
resources), tidak berarti bahwa sumberdaya ini dapat dieksploitasi secara
berlebihan, apalagi dengan cara-cara yang merusak. Ketika upaya eksploitasi
(fishing effort) lebih besar dari pada tangkapan optimum (Maximum Sustainable
Yield, MSY), akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan (over exploitated). Gejala
tangkap lebih (overfishing) yang disertai menurunnya daya dukung lingkungan dapat
mengancam kapasitas keberlanjutan ikan-ikan ekonomis dan bahkan dapat terjadi
kepunahan. Gejala tangkap lebih umumnya terjadi di wilayah pesisir yang padat
penduduknya dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya
pesisir dan laut.
Kerusakan wilayah pesisir juga dapat disebabkan oleh berbagai aktivitas
nelayan maupun proses-proses alamiah baik yang terdapat di lahan atas (upland
areas) maupun laut lepas (oceans). Sifat sumberdaya pesisir yang merupakan
sumberdaya milik bersama (common proverty resources), aksesnya bebas dan
terbuka. Sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dieksploitasi secara
bebas oleh semua orang (open access), sehingga wilayah pesisir sangat rentan dari
kerusakan.
Untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan
berkelanjutan, perlu didukung dengan kebijakan yang mampu memperbesar dampak
positif dan sekecil mungkin dampak negatif.
Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring
yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA yang
meliputi :
- Kesesuaian lokasi,
- Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
- Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
- Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha
pembesaran ikan dalam KJA.
B. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring
apung (KJA) bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA meliputi :
· Kesesuaian lokasi
· Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
· Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
· Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha
pembesaran ikan dalam KJA
Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat:
· Sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan investasi, skim kredit,
infra struktur, kelembagaan dan hukum serta penelitian dan penyuluhan
· Bahan acuan bagi masyarakat dan swasta dalam mengembangkan sistem usaha
pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan
· Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengetahui kelayakan
suatau perairan untuk budidaya KJA di laut.
BAB II PEMBAHASAN
Guna memperoleh suatu perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di
laut memerlukan pemilihan lokasi yang tepat dengan memperhatikan beberapa
aspek antara lain :
A. Aspek Resiko
Adapun faktor-faktor resiko yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi
untuk kegiatan budidaya KJA di lau antara lain:
1. Faktor Pencemaran
Dalam memilih lokasi yang tepat untuk kegiatan budidaya KJA di laut harus
memperhatikan faktor pencemaran baik dari kegiatan budidaya itu sendiri maupun
kegiatan lain yang akan menimbulkan pencemaran sehingga akan mengganggu
aktifitas budidaya di KJA.
Dalam dunia perikanan, yang dimaksud dengan pencemaran perairan adalah
menyebabkan perubahan kualitas air sehingga mengurangi atau merusak nilai guna
air dan sumber air perairan tersebut.
Bahan pencemar yang biasa masuk kedalam suatu badan perairan pada
prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pencemar yang sulit
terurai dan bahan pencemar yang mudah terurai. Contoh bahan pencemar yang sulit
terurai berupa persenyawaan logam berat, sianida, DDT atau bahan organik sintetis.
Contoh bahan pencemar yang mudah terurai berupa limbah rumah tangga, bakteri,
limbah panas atau limbah organik. Kedua jenis bahan pencemar tersebut umumnya
disebabkan oleh kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penyebab kedua adalah keadaan alam seperti : banjir atau gunung meletus.
Jika lokasi budidaya mengandung bahan pencemar maka akan berpengaruh
terhadap kehidupan ikan yang dipelihara didalam wadah budidaya ikan tersebut.
2. Faktor Keamanan (savety)
Lokasi budidaya KJA di laut harus terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan gangguan keamanan baik pencurian maupun gangguan dari hama
seperti hama competitor (penyaing), predator (pemangsa), dan perusak yang dapat
mengganggu keamanan biota budidaya.
Selain itu lokasi KJA juga harus aman dari kondisi gelombang yang besar
karena jika gelombang terlalu besar maka akan menimbulkan kerusakan pada KJA.
Lokasi yang memiliki gelombang yang tidak terlalu besar saperti pada daerah teluk.
Adanya arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut, tiupan
angin terus menerus diatas permukaan laut dan pasang-surut terutama di daerah
pantai (Raharjo dan Sanusi, 1983 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Pasang surut
juga dapat menggantikan air secara total dan terus menerus sehingga
Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan.
Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan jazad hidup akibat pengikisan atau
teraduknya substrat dasar berlumpur yang berakibat pada kekeruhan sehingga
terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang lain, manfaat dari arus adalah menyuplai
makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan penghilangan CO2 maupun
sisa-sisa produk biota laut (Beverige, 1987 ; Romimohtarto, 2003). Kenyataan yang
tidak dapat ditoleransi terhadap kuat maupun lemahnya arus akan menghambat
kegiatan budidaya laut (Ghufron dan Kordi, 2005). Arus juga sangat penting dalam
sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan padatan tersuspensi (Dahuri, 2003), serta
dapat berdampak pada keberadaan organisme penempel (Akbar et al, 2001).
Kecepatan arus perairan untuk budidaya keramba jaring apung di laut tidak boleh
lebih dari 100 cm/detik (Gufron dan Kordi, 2005) dan kecepatan arus bawah 25
cm/dt.
4. Kedalaman perairan keramba jaring apung
Menurut Wibisono, (2005) menyatakan bahwa kedalaman suatu perairan
didasari pada relief dasar dari perairan tersebut. Perairan yang dangkal kecepatan
arus relatif cukup besar dibandingkan dengan kecepatan arus pada daerah yang
lebih dalam (Odum, 1979). Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh
pasang surut, yang mana daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut mempunyai
tingkat kekeruhan yang tinggi. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap jumlah
plankton. Dalam kegiatan budidaya variabel ini berperanan dalam penentuan
instalasi budidaya yang akan dikembangkan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kegiatan tersebut.
Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam kegiatan baik
terhadap organisme yang membutuhkan kedalaman rendah sampai cukup dalam.
Beberapa biota seperti rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam
dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu dan tiram mutiara. Ikan kerapu sangat
tergantung dari pakan buatan (artificial food), maka untuk menjaga terakumulasinya sisa pakan pada dasar perairan, diharapkan ada perbedaan jarak antara dasar
perairan dengan dasar jaring. Akumulasi yang terjadi berupa proses dekomposisi
dari sisa pakan yang menghasilkan senyawa organik. Kedalaman yang dianjurkan
adalah berkisar 5-25 meter (Deptan, 1992 ; DKP, 2002)
5. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan. Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan konflik
dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan (penangkapan ikan,
pemasangan bubu, dan bagan) serta kegiatan bukan perikanan (pariwisata,
perhubungan laut, industri dan taman laut) dapat dipengaruhi negative terhadap
aktifitas budidaya laut.
6. Dasar Perairan
Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air
diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh
arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling) yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi
membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa
metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya
apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi keramba
serta dapat menyebebkan stress pada ikan, selera makan ikan akan berkurang dan
energi banyak yang terbuang (Achmad 2008).
Substrat dasar berpengaruh terhadap jenis hewan dasar yang hidup pada
daerah tersebut. Kehidupan biota sesuai dengan habitatnya, dimana pada substrat
yang keras dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan pada substrat yang lunak
dihuni oleh organisme yang mampu membuat lubang (Odum, 1979). Substrat dasar
suatu lokasi bervariasi dari bebatuan sampai lumpur dapat berpengaruh terhadap
instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil metabolisme dan kotoran
(Rejeki, 2001).
Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa substrat juga berperan dalam
menjaga stabilitas sedimen yang mencakup perlindungan dari arus air dan tempat
pengolahan serta pemasukan nutrien. Jenis dan ukuran substrat merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi bentos.
Semakin halus tekstur tersebut semakin tinggi kemampuan untuk menjebak bahan
organik (Nybakken, 1992).
Substrat dasar perairan yang baik untuk lokasi budidaya adalah gugusan
wilayah perairan yang sesuai habitat masing- masing organisme. Substrat dasar
yang cocok untuk budidaya tiram adalah gugusan terumbu karang atau karang
berpasir. Sedangkan untuk ikan kerapu dan rumput laut akan cocok pada substrat
berpasir dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996; Radiarta et al, 2003).
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi
dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya.
Termasuk didalamnya akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun
pada masa sekarang seperti reklasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan
akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam Faktor-faktor sosial
dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Harjowigeno dan
Widiatmaka 2001).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan
penggunaan lahan seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang
rumput, kehutanan atau daerah rekreasi. Perkembangan penguasaan dan
penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan
tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya.
Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan
terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah tersebut merupakan
pulau kecil. Dalam aktivitas budidaya laut istilah kesesuaian lahan dipadankan
dengan kesesuaian perairan, secara umum kualitas perairan untuk budidaya laut
dan pariwisata dianalisis dengan menggunakan pedoman pada baku mutu air laut
yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri
Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya
6 Nitrat Mg/l 0,008
7 Fosfat Mg/l 0,015
8 BOD5 Mg/l 20
9 TSS Mg/l Coral:>20 e)
mangrove; 80e)
lamun: >20e)
Sumber : Kepmen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 Keterangan:
Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat(siang,
malam dan musim).
a) = Diperbolehkanterjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH
b) = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
c) = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <20C dari suhu alami
d) = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
(lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis)
e) = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10 % konsentrasi rata-rata
musiman.
Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang
bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada di dalamnya tidak
karena setiap sistem miliki ambang batas atau kemampuan mendukung atau daya
dukung yang ada di suatu sistem tertentu.
8. Daya Dukung Lingkungan
Konsep daya dukung perairan telah cukup lama dikenal dan dikembangkan
dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman
akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas
produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya
perikanan, nilai daya dukung dimasukan sebagai faktor penting untuk dapat
menjamin siklus produksi dalam waktu yang lama (Poernomo 1997).
Pengertian daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan
erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan
sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau
komponen (parameter) dalam suatu kesatuan ekosistem (Poernomo 1997). Daya
dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain dan keseimbangan
antar keduanya (Undang-Undang nomor 32. Tahun 2009). Menurut Clark (1996)
daya dukung merupakan konsep yang tepat dalam memanfaatkan sumberdaya
secara terbatas. Untuk menentukan batas pembangunan sumberdaya dan kontrol
pengembangan yang sangat objektif, digunakan metode analisis daya dukung.
Daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di KJA
dan merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa jumlah ikan
pada lokasi budidaya yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan
unit keramba jaring apung yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah
ditentukan. Ha tersebut berlaku juga pada terapan budidaya rumput laut.
Daya dukung lingkungan dibagi menjadi 2, yakni (1) daya dukung ekologis
(ecological carring capacity) dan (2) daya dukung ekonomis (economic carring capacity) Scones (1993) diacu dalam Soselisa (2006). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa
mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan dan tanpa terjadinya kerusakan
lingkungan secara permanen. Daya dukung ekologis ditentukan oleh faktor-faktor
lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (Skala usaha) yang
memberikan keuntungan maksimum secara ekonomi.
Dalam hal ini digunakan parameter-perameter kelayakan usaha secara
ekonomi. Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan
perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala
usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem
budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan
Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989). Ketika wilayah (perairan) dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan
bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas daya
asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu
jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan
atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Komar 1983).
9. Produktifitas Perairan
Produktifitas perairan adalah tingkat kesuburan yang dimiliki oleh suatu
dikelompokkan menjadi perairan dengan tingkat kesuburan rendah (oligotropik),
sedang (mesotropik) dan tinggi (eutropik). Jenis perairan yang sangat baik untuk
digunakan dalam budidaya ikan di jaring terapung dengan sistem intensif adalah
perairan dengan tingkat kesuburan rendah hingga sedang.Jika perairan dengan
tingkat kesuburan tinggi digunakan dalam budidaya ikan di jaring terapung maka hal
ini sangat beresiko tinggi karena pada perairan eutropik kandungan oksigen terlarut
pada malam hari sangat rendah dan berpengaruh buruk terhadap ikan yang
dipelihara dengan kepadatan tinggi.
B. Faktor Kemudahan
Faktor kemudahan seperti dekat dengan prasarana perhubungan darat,
pelelangan ikan (sumber pakan), dan pemasok sarana dan prasarana yang
diperlukan (listrik, telpon) serta ketersedian tenaga kerja yang propesional.
C. Faktor Teknis
Adapun faktor teknis yang harus diperhatikan dalam kegiatan budidaya KJA di
danau antara lain:
1. Cara Pemantauan Kualitas Air
Pemantuan kualitas air dilakukan dengan cara melakukan pengamatan pada
lokasi yang akan dipilih dengan cara melakukan pengukuran nilai kualitas air.
2. Mengidentifikasi Parameter Kualitas Air
Menurut Ismoyo (1994) kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik,
keperluan tertentu, seperti kualitas air untuk air minum, pertanian dan perikanan,
rumah sakit, industri dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan persyaratan kualitas
air berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Mc Gauhey (1968) beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan kualitas air:
Ø Tingkat pemanfaatan dari penggunaan air
Ø Faktor kualitas alami sebelum dimanfaatkan
Ø Faktor yang menyebabkan kualitas air bervariasi
Ø Perubahan kualitas air secara alami
Ø Faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kualitas air
Ø Persyaratan kualitas air dalam penggunaan air
Ø Pengaruh perubahan dan keefektifan kriteria kualitas air
Ø Perkembangan teknologi untuk memperbaiki kualitas air
Ø Kualitas air yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
a. Parameter Fisika Air
Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik,
dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual,
penciuman, peraba dan perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air
dapat diketahui secara visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya
perubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air,
selanjutnya rasa tawar, asin dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah (indera
hanya dapat dijadikan indikasi awal karena bersifat subyektif, bila diperlukan untuk
menentukan kondisi tertentu, misal kualitas air tersebut telah menurun atau tidak
harus dilakukan analisis pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis
yang telah ditentukan.
Adapun parameter fisika air yang harus diperhatikan dalam memilih lokasi
perairan yang layak untuk budidaya KJA di laut antara lain:
Ø Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang, ketinggian dari
permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi
perairan. Peningkatan suhu udara disekitar perairan mengakibatkan peningkatan
viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga
menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2,
CH4 dan sebagainya (Effendi 2003). Suhu perairan sangat penting didalam
memepengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Suhu optimal untuk pertumbuhan
kerapu sekitar antara 27-290C (Akbar dan Sudaryanto 2002).
Secara umum suhu perairan nusantara mempunyai perubahan suhu baik
harian maupun tahunan, biasanya berkisar antara 27°C – 32ºC dan ini tidak
berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Kenaikan suhu mempercepat reaksireaksi
kimia, yang menurut hukum Van’t Hoff kenaikan suhu 10ºC akan melipat gandakan
kecepatan reaksi (Romimohtarto, 2003). Pada kondisi tertentu, suhu permukaan
perairan dapat mencapai 35 ºC atau lebih besar. Akan tetapi ikan biasanya akan
berenang menjauhi permukaan perairan (Boyd dan Lichtkoppler, 1982).
Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat
maksimum dan minimum (Efendi, 2003). Ikan merupakan hewan poikiloterm, yang
mana suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan (Brotowidjoyo et al,
1995), sebab itu semua proses fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungan
(Hoar et al, 1979). Suhu perairan berpengaruh terhadap respon tingkah laku ikan
(Bal and Rao, 1984), proses metabolisme, reproduksi (Hutabarat dan Evans, 1985 ;
Efendi, 2003), ekskresi amonia (Wheathon et al, 1994) dan resistensi terhadap
penyakit (Nabib dan Pasaribu, 1989).
Boyd dan Lichtkoppler (1982) menyatakan bahwa suhu yang optimal bagi
pertumbuhan ikan tropis berkisar antara 25°C – 32ºC. Semakin tinggi suhu semakin
cepat perairan mengalami kejenuhan akan oksigen yang mendorong terjadinya
difusi oksigen dari air ke udara, sehingga konsentrasi oksigen terlarut dalam
perairan semakin menurun. Sejalan dengan itu, konsumsi oksigen pada ikan
menurun dan berakibat menurunnya metabolisme dan kebutuhan energi.
Peningkatan suhu perairan sebesar 10ºC, menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.
Perubahan suhu juga berakibat pada peningkatan dekomposisi bahanbahan organik
oleh mikroba (Effendi, 2003).
Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa
air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap
perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau
pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk
budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C (Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et
Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air,
memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan
daya racun suatu polutan terhadap organisme
perairan (Brown dan Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan
bahwa suhu air berkisar antara 35 – 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan
organismen yang dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat
berkisarantara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara
12,8 0C sampai 30 0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian tempat
dari atas permukaan laut.
Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara
disekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi
pengembangan budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik et al.,2005).
Ø Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat diperairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi
oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan
organik telah dioksidasi (Effendi, 2003).
Sedangkan Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa salinitas
adalah berat garam dalam gram per kilogram air laut serta merupakan ukuran
keasinan air laut dengan satuan pro mil %0, salinitas merupakan parameter penunjuk
jumlah bahan terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air laut yang membentuk
garam adalah:
- Unsur utama : Khlorida (Cl), Natrium/ Sodium (Na), Oksida Sulfat (SO4) dan
- Gas terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas Oksigen (O2).
- Unsur hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor (P).
- Unsur runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Air Raksa/ Merkuri (Hg).
Menurut Holiday (1967), salinitas mempunyai peranan penting untuk
kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, disamping faktor lingkungan maupun
faktor genetik spesies ikan tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air
sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan
pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira
setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Lapisan
dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada
lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang
menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji,
2007).
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan
dimana garam-Salinitas yang tidak sesuai dapat menghambat perkembangbiakan
dan pertumbuhan. Kerang hijau, kerang darah dan tiram adalah jenis-jenis kerang
yang hidup di daerah estuaria. Kerapu dan beronang dapat hidup di daerah estuaria
maupun daerah terumbu karang. Ikan kakap hidup di perairan pantai dan muara
sungai. Pada umumnya salinitas alami perairan terumbu karang di Indonesia 31 psu
(Romimohtarto, 1985).
Salinitas air laut bebas mempunyai kisaran 30-36 ppt (Brotowidjoyo et al, 1995). Sedangkan daerah pantai mempunyai variasi salinitas yang lebih besar.
Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada perairan yang mempunyai
Toleransi terhadap salinitas tergantung pada umur stadium ikan. Salinitas
berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi, lama hidup serta orientasi migrasi.
Variasi salinitas pada perairan yang jauh dari pantai akan relatif kecil dibandingkan
dengan variasi salinitas di dekat pantai, terutama jika pemasukan air air sungai.
Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku ikan atau
distribusi ikan tetapi pada perubahan sifat kimia air laut (Brotowidjoyo et al, 1995) Ikan air laut mengatasi kekurangan air dengan mengkonsumsi air laut
sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah terjadinya
dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam harus dibatasi dengan jalan
mengekskresi klorida lebih banyak lewat insang dan ekskresi lewat urine yang
isotonik (Hoar et al., 1979). Ikan mengatur ion plasmanya agar tekanan osmotic didalam cairan tubuh sebanding dengan kapasitas regulasi.
Ø Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tersuspensi ( > 1 μm), yangӨ
tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0.45 μm. Keberadaan muatan
padatan tersuspensi di perairan dapat berupa pasir, lumpur, tanah liat, koloid serta
bahan-bahan organik seperti plankton dan organisme lain. ( Effendi, 2003 ; Alaerts
dan Santika, 1987 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Konsentrasi dan komposisi MPT bervariasi secara temporal dan spatial tergantung pada faktor-faktor fisik yang
mempengaruhi distribusi MPT terutama adalah pola sirkulasi air, pengendapan
gravitional, deposisi dan resuspensi sedimen. Faktor yang paling dominan dalah
sirkulasi air (Chester, 1990 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Padatan tersupensi dalam air umumnya diperlukan untuk penentuan produktivitas dan mengetahui
norma air yang dimaksud dengan jalan mengukur dengan berbagai periode. Suatu
(Sastrawijaya, 2000). Pergerakan air berupa arus pasang akan mampu mengaduk
sedimen yang ada (Satriadi dan Widada, 2004).
Effendi (2003) melaporkan bahwa muatan padatan tersuspensi bagi
kepentingan perikanan diklasifikasikan sebagai berikut:
Table 2. Kadar Muatan Padatan Tersuspensi dan Pengaruhnya padaKelangsungan Hidup Ikan.
Nilai (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan
< 25 Tidak berpengaruh
25 - 80 Sedikit berpengaruh
81 - 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan
> 400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan
Sumber: Alabaster dan Lioyd, 1982
Ø Intensitas Cahaya dan Kecerahan
Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan
jasad termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas
perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang sangat
menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber energi dalam proses
fotosintesis (Boyd, 1982).
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas
cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi), diatas nilai
tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi).
Sedangkan semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang
sama dengan respirasi (Cushing, 1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson et
al.,1984; Neale , 1987). Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama
dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi
biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh
intensitas cahaya yang mengalami penetrasi dipermukaan air.Kedalaman
kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga
berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendi, 2003). Cahaya merupakan sumber
energi utama dalam ekosistem perairan. Di perairan, cahaya memiliki dua fungsi
utama (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003) antara lain adalah:
- Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan
selanjutnya menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air. Perubahan
suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat suatu
organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum
dan maksimum bagi kehidupannya.
- Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air.
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara visual
dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter,
nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan
padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran.
Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003).
Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m
(KLH, 2004; Akbar 2001).
Ø Kekeruhan
Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan
matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu
banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna
dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur,
bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil
tersuspensi lainnya.
Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman
pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat
sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat
besar pada metabolism makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk
berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup
pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto,
2005; Alaerts dan Santika, 1987).
Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin
tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan
tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air
laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya
tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha
budidaya perikanan laut adalah 5 – 25 mg/l (KLH, 2004). Padatan tersuspensi
menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang
menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat dilihat
bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih (diukur sebagai total
suspended solids – TSS) memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap
kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui
beberapa mekanisme berikut ini:
- Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya;
- Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena
terlapisi oleh padatan;
- Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa
- dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding;
- Gangguanterhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena
padatan menghalangi sinar yang masuk;
- Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.
Ø Warna Perairan
Pada umunakan dalam kegiatan budidaya umnya warna perairan yang baik
digunakan dalam kegiatan budidaya KJA dilaut adalh perairan yang memiliki warna
yang tidak terlalu pekat atau sewajarnya saja (kecokelatan/biru laut)
b. Parameter Kimia Air
Parameter kimia didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat kimia yang
keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air seperti :
Ø DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut
digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu,
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup
didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut
di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak
mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hardjojo dan 0,0-15,0
mg/l (Hadic dan Jatna, 1998).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan
sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,
konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang
secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen
terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995;
Akbar, 2001).
Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami,
sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen
(Brotowidjoyo et al., 1995). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen
perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar
oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air,
pergerakan masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke
badan air (Effendi, 2003). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua
kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005).
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat menghambat aktivitas ikan.
Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh. Kebutuhan akan oksigen antara
tiap spesies tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan struktur molekul sel
darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan partial oksigen dalam air dan
Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil sehingga tidak
menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo et al, 1995). Keberadaan oksigen di
perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan.
Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi
berbagai organisme perairan (Dahuri et al, 2004). Dalam situasi tertentu ikan akan
berenang menjauhi air yang kadar oksigennya rendah, terutama melampaui batas
yang diinginkan. Pada prinsipnya insang merupakan organ yang dipergunakan ikan
untuk proses respirasi. Insang berfungsi untuk mengekstrak sebagian oksigen dalam
air (Brown and Gatzek,
1980). Kemampuan bertahan terhadap perubahan oksigen untuk setiap spesies
tidak sama. Beberapa jenis ikan dapat bertahan pada kondisi oksigen yang sangat
ekstrim. Hal ini disebabkan beberapa ikan memiliki pernapasan tambahan yang
mampu mengambil oksigen langsung dari udara, misalnya, ikan lele (Clarias sp)
memiliki arborescent organ, atau jenis ikan blodok (Periopthalmus) yang dapat
menggunakan kulitnya (Fujaya, 2004).
Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan
dalam Effendi (2003) sebagai berikut :
Tabel 3. Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya pada Kelangsungan Hidup Ikan
<03 Hanya sedikit yang bertahan
0.3 – 1.0 Akan menyebabkan kematian pada ikan jika
berlangsung lama.
1.0 – 5.0 Ikan akan hidup pada kisaran ini tetapi pertumbuhannya
akan lambat, bila berlangsung lama.
>5.0 Pada kisaran ini, hampir semua organisme akuatik
menyukainnya. Sumber : Modifikasi Swingle dalam Boyd, 1988.
Ø pH
pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam
air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran
pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang
masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7
disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan pH < 4
merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk
hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat
menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan.
Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam
kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh
kapasitaspenyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat
yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).
Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik
terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen
terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup
mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral
yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974). pH air yang tidak optimal
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan
tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil
metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut
dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka
pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang
apabila air mengandung garam CaCO3 (Choliketal., 2005).
Ø Fosfat
Tumbuhan dalam air laut memerlukan N dan P sebagai ion PO4 – untuk
pertumbuhan yang disebut nutrient atau unsur hara makro (Brotowidjoyo et al.,
1995). Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari batas toleransi dapat berakibat
terhambatnya pertumbuhan. Kandungan fosfat 0,1011 μg/l - 0,1615 μg/l merupakan
batas yang layak untuk normalitas kehidupan organisme budidaya. (Winanto, 2000).
Dalam perairan fosfat berbentuk orthofosfat, organofosfat atau senyawa
organik dalam bentuk protoplasma, dan polifosfat atau senyawa organik terlarut
(Sastrawijaya, 2000). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal dengan orthofosfat dan
merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan dan fitoplankon. Oleh
karena itu, dalam hubungan dengan rantai makanan diperairan ortofosfat terlarut
sangat penting (Boyd, 1981).
Fosfat terlarut biasanya dihasilkan oleh masukan bahan organik melalui darat
yang sudah mati (Hutagalung dan Rozak, 1997). Seperti variable oksigen dan
salinitas, ortofosphat juga berada dalam nilai-nilai yang alami dalam suatu perairan
atau biolimited element (Brotowidjoyo et al, 1995).
Ø Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme
dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama
pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk
amonia,amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya.
Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat
(NO3 – N) dan ammonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N
dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala
kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen
rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi
nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980). Senyawa ammonia, nitrit,
nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan
industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme
hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar
ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1
mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan
Sartika, 1987).
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organic
berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah
mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah
ammonifikasi (Effendi, 2003). Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang
sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit
bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara
ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan
proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).
Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat
merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan
dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh
ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia untuk
keperluan budidaya laut adalah ” 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk nitrat
adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).
Ø Karbondioksida (CO2) Bebas
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang
terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil
proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi
organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 pada perairan dapat mengakibatkan
terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO2 bebas 12 mg/l dapat
menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan
pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,
sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua
Ø COD (Chemical Oxygen Demand)
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical
Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan
oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD.
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik
yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD
dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di
dalam perairan (A. Laerst dan Sartika, 1987).
Ø BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau
mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang
ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan
bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat
diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD
yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan
menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi
mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20
Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat
berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 4).
Tabel 4. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5
Kisaran BOD5 (mg/l) Kriteria Kualitas Perairan
” 2,9 Tidak tercemar 3,0 – 5,0 Tercemar ringan
5,1 – 14,9 Tercemar sedang
• 15,0 Tercemar berat Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).
Tabel 4 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai
BOD.Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya dengan berbagai
sistem budidaya.
c. Parameter Biologi Air
Secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi apakah
kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini
dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam
perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).
Secara singkat dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih
Ø Plankton
Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau bergerak
mengikuti arus (Bal and Rao, 1984), terdiri atas dua tipe yakni fitoplankton dan
zooplankton. Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem di laut, karena
menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut (Nontji, 1993 ; Nybakken,
1992).
Menurut Newell and Newell (1963) daur hidupnya plankton digolongkan atas:
- Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik
- Meroplankton merupakan organisme akuatik yang sebagian dari daur
hidupnya bersifat planktonik.
Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai sinar yang
cukup, sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau
daerah-daerah yang kaya akan nutrien (Hutabarat dan Evans, 1995). Produktifitas
fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara nitrat dan fosfat serta
makrophite (Boyd, 1981). Fitoplankton sebagai pakan alami mempunyai peran
ganda, yakni berfungsi sebagai penyangga kualitas air dan dasar dalam rantai
makanan di perairan atau yang disebut produsen primer (Odum, 1979).
Distribusi fitoplankton menjadi penting karena kemampuan beradaptasi dari
jenis-jenis fitoplankton tersebut. Perubahan komposisi jenis dan kepadatan terjadi
karena pengaruh faktor-faktor berupa perubahan musim, jumlah konsentrasi cahaya
dan temperatur. Perubahan-perubahan kandungan meneral, salinitas, run off, dan aktifitas di darat dapat juga merubah komposisi fitoplankton di laut (Basmi, 2000
Sifat- sifat plankton yaitu memiliki pigmen yang lengkap mulai dari klorofil-a
hingga klorofil-c, sehingga kadang diberi nama berdasarkan warnanya. Kesuburan
perairan, salah satu indikatornya dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Basmi,
2000). Kandungan klorofil-a pada setiap jenis dalam kelas, berbeda berdasarkan
kemampuan menyerap dan membiaskan panjang gelombang cahaya yang diterima.
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil, mampu
melaksanakan reaksi fotosintesa menghasilkan senyawa organik. Pigmen klorofil-a
merupakan pigmen yang paling besar dan dominan dibandingkan dengan klorofil-b
atau klorofil-c. Kandungan klorofil-a berbeda berdasarkan lokasi (Nontji, 2005), dan
mempunyai hubungannya positif antara total fitoplankton dan klorofil-a (Akbulut,
2003)
Secara singkat kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan sistem
keramba jaring apung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 5. Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budidaya dengan sistem KJA Parameter yang Diukur Kisaran Nilai
Parameter Yang Diukur Kisaran Nilai
Arus 20 – 30 cm/det
Suhu 25 – 32 0C (untuk wilayah
tropis)
Kecerahan >3 m
Salinitas 28 – 32 ppt
DO 5 – 10 mg/l
Ph 7,0 – 8,5
Nitrogen < 0,5 mg/l
Posfat 10 – 110 mg/l
Tabel 5 menampilkan parameter kunci yang dianggap paling berpengaruh
dalam keberlanjutan usaha budidaya sistem keramba jarring apung.
d. Produktivitas Primer Perairan
Produktivitas merupakan daya produksi bahan organik oleh organisme
produsen. Produktivitas primer atau dasar dari suatu ekosistem adalah laju
perubahan energi matahari menjadi bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat
digunakan sebagai bahan pangan (Odum, 1996 :54). Sedangkan Menurut Watzel
dan Linkens (2000), produktivitas adalah semua yang menyangkut tentang jumlah
kenaikna pertumbuhan dari semua hal yang berhubungan dengan specimen atau
bagian dari populasi. Pengukuran produktivitas primer dalam suatu perairan
digunakan sebagai salah satu cara mengetahui tingkat kesuburan perairan, karena
produktivitas primer fitoplankton menggambarkan masukan terbesar materi organik
baru keperairan, menunjukkan tersedianya nutrisi bagi pertumbuhan fitoplankton
(Wetzel, 2001 : 376). Pengukuran produktivitas primer dapat dilakukan dengan
beberapa metode seperti metode harvest, metode botol gelap-terang, metode klorofil
dan metode fiksasicarbon-14 (Michael, 1984 : 235-238).
Menurut Odum (1996 : 55), produktivitas primer dibagi menjadi dua tahapan
yaitu produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih. Produktivitas primer
bersih yaitu laju total dari fotosintsis, termasuk bahan organik yang habis digunakan
pada proses respirasi selama masa pengukuran. Hal ini dikenal juga sebagai
fotosintesi total. Produktivitas primer bersih yaitu laju penyimpanan kelebuhan bahan
organik pada tubuh organisme dari penggunaan respirasi oleh organisme selama
jangka waktu pengukuran.
Produktivitas primer diestimasi sebagai jumlah karbon yang terrdapat di
yang dihasilkan dalam 1 meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari atau jumlah
gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari)
(Levinton, 1982; Tubalawony, 2007:7). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi
rendahnya produktivitas primer perairan dapat dilakukan dengan melakukan
pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a (Valiela,
1984; Tubalawony, 2007: 7).
Cahaya yang berasal dari matahari penting untuk kehidupan mahkluk hidup,
hampir semua energi yang menggerakkan dan mengontrol metabolisme di perairan
berasal dari energi matahari yang dikonversi secara biokimia melalui proses
fotosintesis menjadi energi kimia potensial. Laju fotosintesis akan tinggi bila
intensitas cahaya tinggi dan akan menurun bila intensitas cahaya menurun. Oleh
karena itu cahaya berperan sebagai faktor pembatas utama dalam fotosintesis atau
produktifitas primer yang dilakukan oleh fitoplankton. Dalam rantai makanan di
perairan, kehidupan fitoplanton dipengaruhi oleh biota lannya seperti zooplankton
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan kami mengenai pemilihan lokasi perairan yang layak
untuk kegiatan budidaya KJA di laut adalah:
Dalam memilih lokasi KJA di laut tidak terlepas dari beberapa aspek yang
meliputi :
- Aspek resiko yang meliputi pencemaran, keamanan (savety), arus, kedalaman
perairan, konflik kepentingan, dasar perairan, kesesuaian lingkungan, daya dukung
lingkungan, dan produktifitas perairan.
- Aspek kemudahan yang meliputi kemudahan transportasi dan komunikasi,
kemudahan memperoleh benih dan pakan, dekat dengan saran pemasaran, dan
ketersediaan tenaga kerja yang propesional.
- Aspek teknis seeperti parameter-parameter kualitas air
B. Saran
Dalam memilih lokasi KJA di laut harus benar-benar memperhatikan faktor
resiko kemudahan, dan teknis. Selain itu kita juga harus memperhatikan jenis biota
yang akan dibudidayakan dan menyesuaikannya dengan kondisi lingkungan yang
telah disurvey apakah telah sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh biota
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati(2001). Indikator
---,1979 Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri
Herper,b. and Y Prugnin. 1984. Commercial Fish Farming, With The Special Reference To Fish Culture In Israel. Jhon Wiley and sons. New York
Karyawan parangin Angin.2008. Modul Pembesaran Ikan. PPPTK pertanian Cianjur
M. Ghufra H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan, Bhnineka Cipta. Poernomo A.1997. Peranan Tata Ruang, Desain Interior Kawasan Pesisir Dan
PengelolaannyaTerhadap Kelestarian Budidaya Tambak. Dalam majalah Techner, No 29, tahun VIJakarta
www.damandiri.or.id/file/pramahartamiipbbab2.pdf ( Akses: 15-08-2009). http://www.deptan.go.id, Maret 2001.
Agoes. E. R. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut Perspektif Hukum Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Akbar, S dan Sudaryanto. (2001). Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Akbulut, A. 2003. The Relationship Between Phytoplantonic Organisms and Chlorophyll a in Sultan Sazligi. Journal. Hacettepe University.
American Public Healt Association (APHA). 1976. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 14 th edition, Washington D.C
APHA, AWWA, WPCF. 1989. Standar Methods. For The Examination of Water and Waste Water. L. S. Clesceri., A. E. Greenberg, R. R. Trussel (ed). 17 th Edition, Washington D.C.
Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin Kupang-Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong.
Bappeda NTT, 2004. Draf Zonasi Teluk Kupang. Kerjasama Bappeda NTT dan Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian Univ. Nusa Cendana, Kupang. Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas
Perairan. Makalah, Fakultas Perikanan Instistut Pertanian Bogor, Bogor. 1999. Ekosistem Perairan : Habitat dan Biota. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Instistut Pertanian Bogor, Bogor.
Beveridge. M. 1987. Cage Aquaculture. Fishing News Books Ltd, Farnhan Surrey.
Biro Pertanian, Perikanan dan Kelautan. 1999. Pedoman Perencanaan dan Pengembangan. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir di Indonesia. Badan Perencanan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Black, J. A. 1986. Oceans and Coastal : An Introduction to Oceanography. W. M. Brown Publisher, IOWA.
Boyd, C.E. 1981. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Auburn University, Auburn. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agriculture Experimental Station.
Auburn University, Auburn
Boyd, C. E. And F. Lichtkoppler. 1982. Water Quality Management in Pond Fish Culture. Auburn University, Auburn.
Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Brown. E. E and J. B. Gratzek. 1980. Fish Farming Handbook. AVI Publishing Company INC, New York.
Budiyanto. E. 2005. Pemetaan Kontur dan Pemodelan Spatial 3 Dimensi Surfer. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut ; Aset Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais., S. P. Ginting., M. J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Edisi revisi. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Deptan. 1992. Budidaya Beberapa Hasil Laut. Penerbit Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian, Jakarta.
. 2004. Modul Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang, Lau, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau-Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1982. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Ditjen Perikanan, Jakarta.
Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan : Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Ghufron. M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Gimin, R. 2001. Peluang dan Hambatan Pengembangan Akuakultur di Propinsi NTT. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Kajian Dosen UPT Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDANA, Kupang.
Ghozali. H. I. 2005. Analisis Multivarite dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Hartoko, A., 2000. Teknologi Pemetaan Dinamis Sumberdaya Ikan Pelagis Melalui Analisis Terpadu Karakter Oseanografi dan Data Satelit NOAA, Landsat_TM dan SeaWIFS_GSFC di Perairan Laut Indonesian. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional, Jakarta.
Hartoko, A dan M. Helmi. 2004. Development of Digital Multilayer Ecological Model for Padang Coastal Water (West Sumatera). Journal of Coastal Development. Vol 7.No 3 hal 129-136.
Haumau, S. 2005. Distribusi Spatial Fitoplankton di Perairan Teluk Haria Saparua, Maluku Tengah. Ilmu Kelautan Indonesian Journal Of Marine Science, UNDIP. Vol 10. No 3. hal 126 – 136.
. 1997. Penentuan Kadar Fosfat. Metode Analisis Air Laut , Sedimen dan Biota. H. P Hutagalung, D. Setiapermana dan S. H. Riyono (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Jakarta.
Hutahaen, W., S. Wouthuyzen., T. Wenno dan Madasaeni. 1996. Kondisi Oceonagrafi Wilayah Pesisir Kupang dan Sekitarnya. Sam Wouthuyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.
Krenkel. P. A and Novotny. 1980. Water Quality Management. Academi Press. A Subsidiary of Harcourt Brance Javonovich Publishers, New York.
LIPI. 1996. Status Ekosistem Wilayah Pesisir Teluk Kupang dan Sekitarnya. Sam Wouthuyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.
Lee (1987) dalam Sukardiono (1987). Disolved Oksigen Dalam suatu perairan. Universita Diponegoro, Semarang.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Meneg. KLH No 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004, Jakarta.
Meske. C. 1985. Fish Aquaculture Technology and Experiments. First Edition, F. Vogt (ed). Pengamon Press, London.
Meyers. W. L., Ronald and Shelton. 1980. Survey Methods for Ecosystem Management. Departament of Resources Departament. Michigan State University- A Willey-Interscience Publication.
J. Willey and Sons, Michigan. Milne, P. H. 1979. Fish and Shellfish Farming in Coastal Waters. Fishing News Book Ltd, Farnham Surrey.
Muir. J. F and J. M. Kapetsky. 1988. Site Selection Decisions and Project Cost. The Case of Brackish Water Pond System. Aquaculrure Engeneering Technogies for The Future. IChemE Symposium Series No. 111, EFCE Publication Series No 66, Scotland.
Nabib, R dan F. H. Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Naulita, Y. 2001. Karakteristik Massa Air pada Perairan Lintas ARLINDO (The Characteristics of Water Masses in Passage of Indonesian Throughflow). Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Vol 1 No. 4 hal 57 – 74.
Newell, G. E. and R. C. Newell. 1963. Marine Plankton a Practical Quide. 1st Edition.
Hutchinson Educational LTD, London.
Nurdjana, M. L. 2001. Prospek Sea Farming di Indonesia. Teknologi Laut dan Pengembangan Sea farming Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan JICA, Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. PT. Gramedia, Jakarta.
Odum, E. P. 1979. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Oreginal English Edition. Fundamental of Ecology Thurd Edition, Yokyakarta.
Pillay, T. V. R. 1990. Quality Criteria for Water. US Enviromental Protection Agency, Washington DC.
Purnomo. A. 1992. Site Selection for Sustainable Coastal Shrimp Ponds. Central Reseach Institute for Fishery. Agency for Agriculture and Development Minstry of Agriculture. Jakarta-Bandung.
Pusat Pengembangan Geologi Bandung. (1996). Survei Tematik Kelautan Terintegrasi dan Inventarisasi Sumberdaya Geologi dan Geofisika Kelautan di Wilayah Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Budidaya Jakarta. Vol 9 no 1, hal 67 – 71.
Radiarta, I. Ny., A. Saputra., O, Johan. 2005. Pemetaan Kelayakan Lahan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis di Perairan Lemito, Propinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Vol.11 No 1 hal 1-13.
Rejeki, S. 2001. Pengantar Budidaya Perairan. Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Romimohtarto, K dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI, Jakarta.
Romimohtarto, K. 2003. Kualitas Air dalam Budidaya Laut. www.fao.org/docrep/field/003. Rosen, B. H. 1990. Microalgae Identification for Aquaculture. 1st Edition, Florida Aqua
Farms, Florida.
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.