• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB II"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Dalam bab ini, konsep-konsep penting akan dibahas dan diulas secara berurutan,

yakni: (1) Konsep Kelembagaan; (2) Konsep Peran; (3) Konsep Peran Kelembagaan; (4)

Konsep Rekonsiliasi; (5) Hibua Lamo sebagai Katup Penyelamat (Savety Valve) dalam Perspektif Teori Lewis Coser; (6) Hibua Lamo Sebagai Lembaga Adat Pemersatu Masyarakat di Halmahera Utara.

2.1. Konsep Kelembagaan.

Menurut Norman Uphoff (1986), kelembagaan adalah “suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama”.

Selain itu, istilah kelembagaan memberi tekanan pada lima hal, diantaranya; Pertama,

kelembagaan berkenaan dengan seuatu yang permanen. Ia menjadi permanen, karena

dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam kehidupan (Cooley dalam Soemardjan

dan Soemardi, 1964: 75). Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap tersebut berada dalam

suatu kelembagaan. Sejalan dengan itu, Uphoff juga menyatakan bahwa kelembagaan

berkenaan dengan sesuatu yang telah berjalan lama. Namun, Uphoff tidak menyebut sesuatu

yang bersifat tetap tersebut adalah norma (norm) dan prosedur (procedurs), melainkan norma

(norm) dan perilaku (behavior) (Uphoff, 1986: 9).

Kedua, kelembagaan berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku. Sesuatu yang abstrak tersebut merupakan sesuatu yang kompleks. Hal yang abstrak

ini sama dengan apa yang disebut Cooley (1909) dengan “public mind”, atau oleh Koentjaraningrat (1964) disebut sebagai “wujud ideel kebudayaan”, atau “cultural” menurut Johnson (1960). Secara garis besar, hal yang dimaksud terdiri dari nilai, norma, hukum,

peraturan-peraturan, pengetahuan, ide-ide, bellief, dan moral. Kumpulan dari hal-hal yang abstrak tersebut, terutama norma sosial, diciptakan untuk melaksanakan fungsi masyarakat

(Taneko, 1993). Ketiga, kelembagaan berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan dimasyarakat (establish way

of behaving). Sebagaimana yang diartikan oleh Hebding et al. (1994), bahwa institusi sosial merupakan sesuatu yang selalu ada pada semua masyarakat, karena berguna untuk

mempertemukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dinilai penting. Jika masyarakat

(2)

8

Keempat, kelembagaan juga menekankan kepada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi. Kelima, kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk memecahkan

masalah. Hebding et al (1994: 407) menyatakan bahwa institusi sosial adalah nilai-nilai yang

melekat pada masyarakat yang menyediakan stabilitas dan konsistensi di masyarakat, yang

berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku.

Dari kelima tekanan pengertian tersebut, terlihat bahwa „kelembagaan‟ memiliki perhatian utama kepada seperangkat nilai dan norma yang terpola serta memiliki kemampuan

untuk mengatur pola perilaku masyarakat. Kelembagaan berpusat pada tujuan-tujuan, nilai

atau kebutuhan sosial utama.

Berdasarkan uraian dari pada konsep kelembagaan tersebut, maka alasan peneliti

memilih konsep kelembagaan adalah dengan maksud untuk mengaitkannya dengan

kelembagaan lokal masyarakat Halmahera Utara, yaitu Hibua Lamo. Hibua Lamo yang diartikan sebagai “rumah besar” adalah payung adat yang mengatur tatanan kehidupan sosial masyarakat di Halmahera Utara. Hibua Lamo dalam konteks ini tidak hanya dipandang sebagai rumah atau bangunan fisik, namun merupakan suatu institusi sosial yang memuat

sederetan nilai hidup bersama serta terwariskan (mendarah daging) dalam diri setiap orang

Halmahera Utara. Seperti yang diungkapkan oleh Kuat (2009) bahwa falsafah hidup

masyarakat Hibua Lamo tertuang dalam nilai-nilai ideal, seperti; O Dora (saling mengasihi);

O Hayangi (saling menyayangi); O Baliara (sikap saling “memelihara” atau saling “peduli”); O Adili (prinsip keadilan dalam kehidupan bermasyarakat); dan O Diai (menjunjung nilai kebenaran). Kelima nilai Hibua Lamo ini telah terlembaga dalam perilaku hidup masyarakat

serta bertujuan untuk mengatur pola sikap dan relasi masyarakat di Halmahera Utara.

2.2. Konsep Peran

Ahmadi (1982) mengemukakan bahwa peran adalah tindakan atau perilaku yang

dilakukan oleh seseorang yang menempati suatu posisi di dalam status sosialnya. Thoha

(1997) mengungkapkan bahwa syarat-syarat peran mencakup tiga hal, yaitu: (1) Peran

meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam

masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang

membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan; (2) Peran adalah suatu konsep

perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai

(3)

9

sosial masyarakat; (3) Peran adalah suatu pola rangkaian tindakan yang teratur yang

ditimbulkan karena suatu jabatan.

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok.

Dalam kehidupan berkelompok akan terjadi interaksi antara anggota masyarakat yang satu

dengan anggota masyarakat yang lainnya. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat itulah

muncul apa yang dinamakan peran (role). Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan

kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan

suatu peranan.

Kaitannya dengan penelitian ini, yang dimaksudkan dengan peran adalah setiap orang

ataupun kelompok yang hidup di Halmahera Utara melangsungkan kehidupannya senantiasa

didasarkan atas keyakinanannya terhadap nilai-nilai dari pada Hibua Lamo itu. Sebagai suatu

kearifan lokal (local wisdom), Hibua Lamo yang memuat sederetan nilai hidup bersama dipandang memiliki posisi yang siginifikan dan strategis dalam perannya memulihkan

kondisi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat.

2.3. Konsep Peran Kelembagaan

Peran kelembagaan merupakan gabungan antara kata “peran” dan “kelembagaan”. Kata kelembagaan (institution) dalam konteks ini ditekankan pada norma-norma, prilaku,

nilai budaya dan adat istiadat yang mengatur hubungan dalam bermasyarakat (Uphoff; 1986).

Sedangkan peran adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang yang menempati suatu posisi didalam status sosialnya (Ahmadi, 1982).

Kaitannya dengan penelitian ini, maka Hibua Lamo yang memuat sederetan nilai hidup bersama, diantaranya O’Dora, O’Hayangi, O’Baliara, O’Adili, dan O’Diai merupakan intitusi sosial budaya (adat) yang bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan setiap orang

atau setiap kelompok masyarakat di Halmahera Utara. Sehingga, dalam konteks penelitian

ini, peneliti hendak menggunakan konsep Hibua Lamo dengan maksud untuk menggambarkan peran kelembagaan lokal – yaitu peran nilai adat Hibua Lamo dalam upayanya merekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan

jemaat.

2.4. Konsep Rekonsiliasi.

(4)

10

rekonsiliasi mengandaikan suatu proses yang dimaksud dengan sengaja, dimana pihak-pihak yang saling berseteru bertemu satu sama lain “dalam dewan” guna membahas pandangan mereka yang berbeda dan mencapai kesepakatan bersama (Muller dan Fahrenholz : 2005).

Walaupun secara umum dipahami sebagai cara untuk mengakhiri konflik, rekonsiliasi

sebagai istilah dan konsep tidak diartikan secara sama oleh para ilmuwan dan praktisi.

Beberapa definisi, misalnya, mengartikan rekonsiliasi sebagai suatu peristiwa (event)

Sebagian lagi menyatakan rekonsilasi sebagai proses dan hasil sekaligus. Beberapa peneliti

lainnya beranggapan rekonsiliasi lebih tepat dipandang sebagai pemulihan hubungan (Hamdi:

2011).

Hamdi (2011) menyatakan bahwa rekonsiliasi merupakan salah satu bentuk dari

resolusi konflik (conflict resolution) yang dianggap sebagai suatu mekanisme yang cukup

berhasil dalam memulihkan kondisi pasca konflik. Hamdi menegaskan pula bahwa sebagai

bagian atau satu cara untuk menuntaskan konflik, rekonsilasi diperlukan agar

persoalan-persoalan pasca konflik dapat dituntaskan. Rekonsiliasi dapat juga disejajarkan pengertiannya

dengan upaya transformasi konflik, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi damai.

Ralf Dahrendrof sebagaimana dikutip dalam Bakri (2015) mengungkapkan bahwa

penyelesaian konflik yang efektif sangat bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak

harus mengakui kenyataan dan situasi konflik diantara mereka. Kedua, kepentingan yang

diperjuangkan harus terorganisir sehingga masing-masing pihak memahami tuntutan pihak

lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main yang menjadi landasan dalam hubungan

interaksi diantara mereka.

Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah diulas secara teoritis diatas,

harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman

budaya. Setiap budaya memiliki kearifannya tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup

yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.

Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai Kearifan-kearifan lokal (local wisdom)

(Konjtaraningrat 1993:31). Korten (1985:14) menambahkan bahwa cara penyelesaian konflik

lebih tepat jika menggunakan model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah

serta budaya setempat. Ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari

masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya

(5)

11

Senada dengan pandangan Konjtaraningrat (1993) dan Korten (1985) tersebut, maka

Hibua Lamo (Rumah Besar) sebagai payung adat pemersatu masyarakat di Halmahera Utara yang memuat sederetan nilai hidup bersama dipandang mampu dijadikan sebagai basis dalam

upaya merekonsiliasi masyarakat di Halmahera Utara terkhususnya masyarakat Desa Duma

dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat.

Peran nilai adat Hibua Lamo dalam upaya merekonsiliasi masyarakat pasca perpecahan jemaat bukanlah hal yang mustahil atau tidak bisa untuk dilakukan. Peneliti

berasumsi bahwa perpecahan jemaat yang terjadi di Desa Duma dan Desa Mamuya yang

memperlihatkan tindakan-tindakan kekerasan tersebut tidak hanya berakibat fatal pada ruang

lingkup internal gereja (jemaat) semata, tetapi keluar batas hingga melibas pada dimensi

hubungan sosial kemasyarakatan di Halmahera Utara. Oleh karena itu, nilai adat Hibua Lamo

sebagai institusi sosial yang terwariskan dalam diri setiap orang dan kehidupan sosialnya

dipandang memiliki posisi penting serta berperan secara strategis dalam upaya merekonsiliasi

masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat tersebut.

2.5. Hibua Lamo Sebagai Katup Penyelamat (Savety Valve) dalam Perspektif Teori Lewis Coser.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser dalam Ritzer (2014) lewat katup

penyelamat itu, permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi

penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu:

mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang

sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, membendung

kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.

Katup Penyelamat (Savety Valve) adalah suatu mekanisme khusus yang dapat di pakai

untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat

membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik

membantu membersihkan suasana. Coser (1956:41) melihat bahwa katup penyelamat

demikian berfungsi sebagai jalar keluar yang meredamkan permusuhan, yang tanpa

hubungan-hubungan diantara pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian

Katup penyelamat merupakan sebuah lembaga pengungkapan rasa tidak puas atas

sebuah sistem atau struktur.

Dalam konteks pasca perpecahan jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya,

(6)

12

bermakna lagi. Hal ini dikarenakan berbagai penyelesaian masalah yang pernah dilakukan

belum benar-benar berjalan dengan baik, sehingga untuk menciptakan hubungan baik antar

pihak yang saling berkonflik ini masih sering mengalami kesulitan. Kekisruhan yang telah

terjadi, meninggalkan rasa ketakutan tersendiri dan biasanya orang akan melakukan segala

cara untuk mempertahankan dirinya agar berada diposisi aman. Peristiwa ini yang juga

dialami oleh warga jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya, yakni bagaimana mereka terus

membela kelompoknya sendiri.

Kaitannya dengan penelitian ini, dengan berdasar pada kondisi masyarakat pasca

perpecahan jemaat maka rekonsiliasi sangatlah diperlukan. Dalam konteks masyarakat di

Halmahera Utara, ketika agama baik Kristen maupun Islam, langsung maupun tidak dianggap

terlibat dalam kerusuhan, maka nilai-nilai budaya kembali digali dan dicari sebagai wadah

dalam melakukan proses rekonsiliasi. Nilai-nilai budaya yang masih dipegang sebagai

falsafah hidup bersama dalam masyarakat di Halmahera Utara adalah Hibua Lamo. Demikian

pula dalam permasalahan hidup berjemaat (bergereja) ini, dimana Hibua Lamo yang merupakan institusi lokal masyarakat di Halmahera Utara dengan muatan sistem nilai hidup

bersama dipandang berfungsi sebagai katup penyelamat.

2.6. Hibua Lamo Sebagai Lembaga Adat Pemersatu Masyarakat Halmahera Utara.

Kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal merupakan bagian dari kebudayaan

nasional dan memiliki posisi yang sama antara daerah yang satu dengan yang lain di

Indonesia. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa kebudayaan nasional

merupakan puncak kebudayaan daerah. Oleh karena itu, kebudayaan daerah maupun

kebudayaan nasional harus memiliki daya perekat bagi anggota masyarakat dan bangsa,

memiliki kekuatan integrasi, mendorong kemajuan, dan mengembangkan kesetaraan antara

anggota masyarakat dan antarbangsa (Ajawaila, 2009).

Hibua Lamo yang adalah rumah adat masyarakat di Halmahera Utara memiliki empat unsur warna dengan arti dan maknanya masing-masing. Ke-empat warna itu adalah merah,

kuning, hitam, dan putih. Warna merah mencerminkan semangat perjuangan masyarakat

Canga. Warna kuning berarti kecerdasan, kemegahan, dan kekayaan. Warna hitam

melambangkan solidaritas, sedangkan warna putih melambangkan kesucian. Adapun ciri

khas arsitektur Hibua Lamo adalah berbentuk delapan sudut dengan pintu masuk mengarah

(7)

13

dan korehara (pintu bagian Selatan). Keempat pintu yang menghadap ke keempat arah mata angin tersebut melambangkan keterbukaan kepada siapa saja yang datang (Namotemo, 2009).

Adapun fungsi dari pada Hibua Lamo adalah sebagai pusat O’Higaro (tempat pertemuan) yang dipilah menjadi dua fungsi, yakni: (1) Sebagai tempat untuk mengatur

berbagai hal menyangkut kepentingan masyarakat adat, dan; (2) Sebagai tempat tinggal

sementara bagi siapa saja yang datang berkunjung dan ingin menetap1.

Sejalan dengan pandangan di atas, Hibua Lamo sebagai payung budaya daerah turut menyumbang bagi pengembangan kehidupan bermasyarakat di Halmahera Utara. Secara

fisik, Hibua Lamo dibangun sebagai tempat pertemuan masyarakat masa lalu dan menjadi tempat tinggal bagi mereka yang mengikuti pertemuan-pertemuan adat yang kampungnya

terletak jauh dari tempat Hibua Lamo tersebut. Seiring dengan perkembangan pemahaman masyarakat, maka istilah Hibua Lamo juga mengalami perkembangan dan dipahami bukan saja sebagai bangunan fisik tetapi dipahami sebagai masyarakat itu sendiri (Nanuru, 2011).

Sebelum ada sistem pemerintahan yang modern seperti sekarang ini, masyarakat

Halmahera Utara telah memiliki sistem adat yang mengatur hampir keseluruhan kehidupan

masyarakat. Semua masalah dan hal-hal yang dipikir penting akan dibicarakan di dalam

Hibua Lamo dan masyarakat taat terhadap putusan yang telah dibuat. Hibua Lamo penting bagi masyarakat Halmahera Utara karena menyatukan masyarakat dalam satu kebudayaan,

dan berfungsi sebagai pelengkap komunitas serta berupaya untuk melestarikan adat yang

relevan dengan kondisi zaman. Selain itu, Hibua Lamo penting karena menampung komunitas yang berbeda agama dalam satu lembaga yang diikat oleh ikatan kekeluargaan.

Secara sosiologis, kesatuan sosial yang mengakar tersebut telah menjadi semacam kontrak

sosial yang mengikat masyarakat Halmahera Utara. Sebagai suatu kontrak sosial, konsensus

bersama menjadi dasar berpijak untuk hidup bersama sebagai masyarakat Halmahera Utara

(Mesdila, 2005).

Berangkat dari pemahaman bahwa Hibua Lamo sebagai lembaga adat pemersatu masyarakat yang mampu menyelesaikan berbagai macam konflik sosial yang terjadi di

Halmahera Utara, maka dalam konteks permasalahan ini, sederetan nilai adat Hibua Lamo juga diandaikan mampu digunakan sebagai basis rekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan

Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat GMIH.

1

(8)

14 2.7. Penelitian Terdahulu

Anselmus Puasa (Agustus 2013) melakukan penelitian dan menerbitkan tulisannya

dalam Jurnal Universitas Halmahera (UNIERA) Volume 2 Nomor 2; tentang Jum’at Kelabu

Berlabuh di GMIH: Gereja terkadang kehilangan jati dirinya yang membuat ia terpuruk. Keterpurukan gereja itu disebabkan oleh para pemimpin gereja yang telah kehilangan muka

atau telah kehilangan integritas dan komitmen pelayanannya. Kondisi seperti itulah yang

dialami oleh gereja di Halmahera saat ini. Dimana para petinggi gereja dianggap telah

menyelewengkan konstitusi (Tata Gereja) dan bahkan telah memanfaatkan jabatan dan posisi

kepemimpinan mereka demi mengeruk keuntungan mensejahterakan diri sendiri. Salah satu

cara yang paling vulgar yang kerap dipertontonkan adalah berselingkuh dengan partai politik.

Mencermati kondisi para pemimpin gereja seperti itu, membuat umat yang dipimpinnya

menjadi marah. Dan kemarahan itu diwujudkan dengan melakukan demonstrasi dan

pemalangan kantor sinode. Tentu saja dengan tindakan itu, diharapkan para pemimpin gereja sadar dan berubah, agar „perahu‟ yang bernama GMIH itu tidak tenggelam. Akan tetapi yang terjadi, justru para pemimpin gereja hanya berdalih dan mencari kambing hitam untuk dipersalahkan”.

Engelbert K. Samloy (2014) melakukan penelitian dalam Skripsi Sosiologi; Universitas Kristen Satya Wacana tentang “Reformasi Gereja: Studi Sosiologis Tentang Konflik dan Perpecahan Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera Versi Sidang Sinode

Istimewa GMIH di Tobelo 2013”. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mendiskripsikan alasan-alasan yang melatar belakangi terbentuknya BPHS versi SSI di Tobelo 2013; (2)

Mendiskripsikan pola interaksi Jemaat Wari pendung BPHS baru dan Jemaat Wari

pendukung BPHS lama.

Markus, Dawa (2010) melakukan penelitian dengan judul Konflik Dalam Gereja Dari

Perspektif Teori-Teori Konflik. Konflik di dalam gereja atau di dalam lembaga-lembaga pelayanan Kristen tidak terlepas dari struktur sosial yang di dalamnya anggota-anggota gereja

hidup dan bergerak. Singkatnya, konflik terjadi bukan melulu karena ada orang-orang yang

bermasalah atau orang-orang yang belum dewasa,tetapi juga karena ada struktur sosial gereja

atau struktur sosial lembaga Kristen yang memang bermasalah. Melalui uraian teori konflik

secara sosiologis, penulis hendak tunjukkan bahwa konflik dalam gereja dan

lembaga-lembaga Kristen tidak bisa dipisahkan dari aspek-aspek sosiologis gereja dan lembaga-lembaga

Kristen sebagai sebuah struktur sosial dalam masyarakat. Karena itu, resolusi konflik yang

(9)

15

sosiologis lebih memperhatikan struktur sosial dalam mana konflik terjadi dan pelaku konflik

sebagai aktor-aktor sosial yang berkepentingan.

Penelitian-penelitian sebelumnya belum menjelaskan secara spesifik dan substantif

tentang peraninstitusi adat, khususnya nilai-nilai adat Hibua Lamo dalam upaya merekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat.

Dalam penelitian ini, peneliti memakai beberapa konsep-konsep kunci yang membedakannya

dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yakni; Konsep Kelembagaan, Konsep Peran,

Konsep Peran Kelembagaan, Konsep Rekonsiliasi, Hibua Lamo sebagai katup penyelemat (savety valve) dalam perspektif teori Lewis Coser, dan Hibua Lamo sebagai lembaga adat pemersatu masyarakat di Halmahera Utara.

Uniknya dalam penelitian ini, peneliti mengambil dua lokasi (desa), yakni jemaat di

Desa Duma maupun di Desa Mamuya untuk menggambarkan variasi dari pada bentuk

perpecahan serta tindakan kekerasan yang terjadi antara sesama warga jemaat GMIH.

2.8. Kerangka Pikir Penelitian

Bagan 2.8

Kerangka Pikir Penelitian

Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) diperhadapkan dengan dualisme

kepemimpinan serta perpecahan ditubuh Sinode GMIH yang ditandai dengan terbentuknya

dua Badan Pengurus Harian (BPHS) Sinode GMIH, yakni BPHS Sinode GMIH Lama

GEREJA MASEHI INJILI

DI HALMAHERA (GMIH)

PERPECAHAN GMIH

JEMAAT PRO BPHS GMIH BARU JEMAAT PRO

BPHS GMIH LAMA

NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI BASIS

REKONSILIASI PEMAHAMAN DAN PRAKTEK

NILAI HIBUA LAMO OLEH MASYARAKAT SEBELUM PERPECAHAN JEMAAT

(10)

16

maupun BPHS Sinode GMIH Pembaharuan. Konflik dan perpecahan pada tingkatan elit

Sinode tersebut berimbas pula pada perpecahan ditingkatan warga jemaat. Hal ini juga

dirasakan oleh Jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya. Bukan hanya perpecahan saja,

adapun tindakan-tindakan kekerasan baik secara fisik maupun non fisik terjadi diantara

sesama warga jemaat GMIH. Akibatnya hubungan sosial antara jemaat (kelompok) tidak lagi

terjalin dengan baik. Terjadi pro-kontra, saling memprovokasi terus meningkat, memanas,

dan mengganas sehingga terjadilah kekerasan fisik serta kekisruhan yang berkepanjangan.

Adapun konflik kehidupan bergereja ini turut serta memporak-poranda relasi-relasi sosial

kekeluargaan diantara sesama masyarakat.

Berbagai upaya rekonsiliasi telah digiatkan oleh berbagai pihak, baik oleh Pemerintah

Daerah (Forkompimda) maupun Pemerintah Desa setempat, namun tidak menuai hasil yang baik. Oleh karena itu, dalam konteks penelitian ini, „Hibua Lamo‟ (rumah bersama) sebagai institusi lokal yang memuat sederetan nilai hidup bersama, yaitu: “O Dora (Kasih), O Hayangi (Sayang), O Baliara (Pelihara/Peduli), O Adili (keadilan), O Diai (Kebenaran)” memiliki posisi dan peran yang strategis bagi masyarakat dalam upayanya memulihkan

(rekonsiliasi) relasi-relasi sosial masyarakat yang tidak lagi harmonis tersebut.

Dengan berdasar pada permasalahan yang terjadi, maka peneliti memfokuskan tujuan

dilakukannya penelitian ini, dengan; mendeskripsikan pemahaman dan praktek nilai-nilai

Hibua Lamo oleh masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya dalam kehidupan sehar-hari, mendeskripsikan pola relasi (interaksi) masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca

perpecahan, serta menjelaskan nilai-nilai Hibua Lamo yang diandaikan mampu dijadikan sebagai basis rekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan

Referensi

Dokumen terkait

Isu adalah suatu hal atau trending topic yang sedang di bicarakan saat ini yang bersifat kekinian, atau sementara tetapi jika di respon dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan

Ada beberapa hambatan dalam upaya penanggulangan kejahatan kasus pemalsuan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor(BPKB). Diantaranya kurangnya pemahaman Lembaga Penjaminan

It indicates that neither big four nor non-big four can significantly detect the existence of earnings management undertaken by manager through the audit they

berpendapat bahwa demokrasi memiliki kesamaan dan keselarasan dengan asas musyawarah dalam Islam, tetapi sebgaian yang lain berpendapat bahwa demokrasi merupakan hal yang

Dalam melaksanakan penelitian hal yang harus diperhatikan adalah (a) Tanggung jawab, tanggung jawab terhadap profesi adalan bagaimana mengambangkan suatu penelitian yang

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan Nilai Perusahaan diproksikan dengan Price Earning Ratio, Profitabilitas diproksikan dengan Return On Equity, Likuiditas

Lantas, pada pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya. Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak tersebut, dengan kata suami dan istri, memperjelas bahwa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibu hamil trimester III di Puskesmas Galur II mayoritas memiliki pengetahuan tentang IMD dalam kategori kurang (51,4%), oleh