68 BAB VII PENUTUP
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka kesimpulan penting dalam penelitian ini guna menjawab tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
Hibua Lamo sebagai institusi adat memuat sederetan nilai hidup bersama, diantaranya O’Dora (Kasih), O‟ Hayangi (Sayang), O’Baliara (Pelihara/Peduli), O’Adili (Keadilan), dan O’Diai (Kebenaran). Muatan nilai dari pada Hibua Lamo ini dapat ditemui dalam pemahaman dan praktek oleh warga masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya. Pemahaman dan praktek tersebut secara konkret dapat ditemui dalam tradisi-tradisi yang dilakukan oleh masyarakat, diantaranya: (a). Tradisi hormat-menghormati melalui „sapaan
salam‟ dalam bahasa Galela; (b) Sapaan nama dalam pergaulan antara anak muda; (c) Tradisi
„babilang’ yang artinya saling menolong (peduli) yang biasanya dipraktekan melalui peristiwa kematian maupun acara pernikahan; (d) Tradisi „Mabari‟ (bahasa Galela) atau „Hirono’ (bahasa Tobelo) yang artinya adalah suatu ajakan untuk melakukan pekerjaan secara bersama-sama. Melalui bentuk-bentuk tradisi inilah, maka pola kehidupan masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya dipandang berjalan secara harmonis.
Namun, pola relasi (interaksi) masyarakat yang harmonis tersebut diperhadapkan oleh suatu kondisi yang sebaliknya (disharmonis). Kuatnya hantaman gelombang konflik dan perpecahan internal gereja (jemaat) serta adanya bentuk-bentuk tindakan kekerasan diantara sesama warga jemaat GMIH menyebabkan adanya ketidakharmonisan diantara warga masyarakat tersebut
69
Dalam konteks perpecahan gereja (jemaat) di Desa Mamuya, ditemukan bahwa pada jemaat ini dampak perpecahan jemaat sangatlah fatal dibandingkan jemaat lainnya di wilayah GMIH. Adapun tindakan-tindakan kekerasan fisik, yaitu perkelahian, kejar-mengejar menggunakan senjata tajam (parang), bahkan pengrusakan rumah, serta adanya motif tindakan pembakaran salah satu rumah merupakan akibat-akibat dari adanya konflik dan perpecahan kehidupan berjemaat. Perpecahan serta bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi antara kedua jemaat tersebut mengakibatkan sebagian warga masyarakatt yang tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya menyatakan sikap untuk keluar (eksodus) dari wilayah administratif Desa Mamuya.
Potret dari pola relasi (interaksi) masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat ini, menstimulus peneliti untuk mencari suatu bentuk sistem kelembagaan lokal masyarakat yang mampu mengakomodir kepentingan bersama. Dengan maksud yang demikian, maka nilai-nilai Hibua Lamo sebagai institusi lokal masyarakat yang mengikat masyarakat tanpa membedakan latar belakang jemaat, mendapatkan tempatnya yang cukup baik dan strategis dalam upaya merekonsiliasi masyarakat pasca perpecahan jemaat.
Adapun posisi dan peran nilai-nilai Hibua Lamo dalam konteks pemulihan (rekonsiliasi) masyarakat mendapatkan respon (sikap) dari berbagai pihak. Beberapa pihak memaknai dan menempatkan peran Hibua Lamo pada tataran struktural organisatoris (Sinodal). Hal ini tidak dimaksudkan oleh peneliti. Namun, maksud dari peneliti adalah sebagaimana yang disikapi oleh sebagian besar pihak, dimana menempatkan Hibua Lamo
dalam perspektif nilai “hidup bersama” yang terbangun melalui jalinan kekeluargaan (adat).
Sehingga, dengan demikian Hibua Lamo memiliki posisi strategis dalam upaya merekonsiliasi relasi masyarakat yang disharmonis tersebut.
70 7.2. Rekomendasi.
Berdasarkan kesimpulannya, maka beberapa hal yang diformulasikan sebagai rekomendasi penelitian ini adalah:
Pertama, untuk Para Pelayan Jemaat di Desa Duma, direkomendasikan untuk tidak
terprovokasi dan terkontaminasi oleh gejolak konflik dan perpecahan ditubuh Sinodal. Perlulah memposisikan diri sebagai Pelayan yang dalam kehadirannya dan keterpanggilannya menyuarakan Suara Kenabian (Provetis). Pada realitanya, jemaat di Desa Duma telah terpecah menjadi tiga jemaat, sehingga masing-masing jemaat (kelompok) membutuhkan seorang Pelayan yang benar-benar menyatakan nilai-nilai Kedamaian itu. Berhentilah mendukung pihak-pihak Sinodal, yang pada realitanya hanya mementingkan ego dan kepentingan kelompoknya, dimana sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda yang sifatnya solutif bagi persoalan GMIH.
Kedua, untuk Para Pelayan Jemaat di Desa Mamuya, direkomendasikan untuk tidak
terprovokasi dan terkontaminasi oleh gejolak konflik dan perpecahan ditubuh Sinodal. Perlulah memposisikan diri sebagai Pelayan yang dalam kehadirannya dan keterpanggilannya menyuarakan Suara Kenabian (Provetis). Pada realitanya, jemaat telah terpecah menjadi dua jemaat, sehingga masing-masing jemaat (kelompok) membutuhkan seorang Pelayan yang benar-benar menyatakan nilai-nilai Kedamaian itu. Berhentilah mendukung pihak-pihak Sinodal, yang pada realitanya hanya mementingkan ego dan kepentingan kelompoknya, dimana sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda yang sifatnya solutif bagi persoalan GMIH.
Ketiga, untuk Kepala Desa Duma, disarankan untuk tetap memposisikan diri sebagai
pihak yang netral, dan tidak terprovokasi oleh situasi gereja (tiga jemaat) yang sementara berlangsung. Sebab kondisi sekarang ini membutuhkan sikap netral dari Pemerintah Desa sebagai bentuk jalan tengah yang mampu meredam resiko-resiko sosial yang kemungkinannya akan kembali meledak.
Keempat untuk Kepala Desa Mamuya, disarankan untuk tetap berbesar hati menerima
71
Mamuya untuk membangun hubungan komunikasi dengan warga jemaat Imanuel Baru Mamuya guna menjalin kembali relasi persaudaraan dan kekeluargaan yang ada.
Kelima, untuk Anggota Jemaat, disarankan untuk saling memaafkan. Saling memaafkan adalah bentuk penghargaan atas hubungan saudara bersaudara dan kekeluargaan. Jangan sekali-kali memberikan ruang atau celah bagi kepentingan pihak luar (elit Sinodal) yang berniat untuk memporak-poranda tatanan hidup bergereja apalagi tatanan hidup kekeluargaan yang telah terbangun lama itu. Berdasar pada hal itulah, maka warga jemaat perlulah mengambil sikap bijak dan kritis dalam memfilter berbagai persoalan kehidupan bergereja, sehingga tidak turut berpengaruh besar terhadap rusaknya jalinan kekeluargaan yang ada.
Keenam, untuk Ketua-Ketua Adat, tetaplah konsisten dan terus menggelorakan spirit
nilai hidup bersama yang merupakan jalinan hidup kekeluargaan, karena hanya melalui
jalinan “kekeluargaan” tersebut, warga jemaat bisa dipertemukan dalam semangat