• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN

FANARI

YA’AHOWU

DALAM KEBUDAYAAN NIAS

DI KOTA GUNUNGSITOLI

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: CHICAL TEODALI TELAUMBANUA NIM: 060707007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN

FANARI

YA’AHOWU

DALAM KEBUDAYAAN NIAS

DI KOTA GUNUNGSITOLI

OLEH:

NAMA: CHICAL TEODALI TELAUMBANUA NIM: 060707007

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Fadlin, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196102201989031003 NIP 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni

dalam bidang disiplin Etnomuskologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3.Drs. Fadlin, M.A. 4.

(4)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

(5)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap suku bangsa di nusantara ini masing-masing memiliki bentuk-bentuk kesenian tradisional yang khas dan beragam yang sering disebut dengan local culture yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Meskipun masyarakat

pendukungnya mengalami perubahan, kesenian tradisional tersebut berkembang dengan mengikuti dinamika zaman. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan pencerminan dari pola pikir, tingkah laku, dan watak masyarakat pemiliknya. Pada prinsipnya sebuah bentuk kesenian diciptakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar merasa tentram dalam menghadapi tantangan alam.

Salah satu suku bangsa tersebut adalah masyarakat Nias. Secara geografis, Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera (Indonesia). Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang memiliki

(6)

2

Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Oleh karena itu dapat di perkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koentjaraningrat, 1997:4). Kenyataan ini dapat dijumpai dalam etnik Nias yang merupakan salah satu etnik yang berdiam di Provinsi Sumatera Utara.

Masyarakat Nias sangat menghargai setiap unsur budaya yang melekat dalam kehidupan mereka dan menjadikan unsur budaya itu menjadi suatu hal yang sangat sakral dan harus dijalani dan di patuhi oleh setiap masyarakat Nias. Masyarakat Nias memiliki sistem hukum adat yang disebut Fondrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kepada kematian, dan bagi setiap orang yang tidak melaksanakannya akan diberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang mereka perbuat.

Dalam kebudayaan Nias terdapat banyak sekali keragaman budaya. Keragaman budaya tersebut antara lain seperti tarian tradisional, sinunő dan musik tradisional, makanan,dan minuman yang bersifat tradisional. Tarian tradisional, musik dan sinunő di pertunjukan pada setiap upacara-upacara adat, baik itu pernikahan, kematian, penyambutan tamu-tamu adat dan pemerintahan. Pada setiap upacara-upacara adat salah satu unsur yang tidak dapat lepas darinya adalah tarian tradisional serta sinunő (nyanyian) pengiring tari tersebut. Tarian tradisional dan sinunő ini diiringi oleh ensambel musik yang terdiri dari gendra (gendang besar), faritia (canang), dan mamba (gong).

(7)

3

jenis tarian tradisional, antara lain: Tari Maena yaitu tarian ini merupakan tarian

suka cita yang biasa di pertunjukkan pada acara pernikahan, owasa, dan penyambutan tamu yang di hormati, tari Maru yang merupakan tarian yang

dipertunjukkan pada pesta penyambutan tamu dan owasa, tari Mamadaya Saembu atau Folaya Saembu merupakan tarian yang dipertunjukan pada pesta kebesaran untuk meningkatkan derajat seseorang di tengah-tengah masyarakat, tari Moyo yang merupakan tarian yang menyerupai gerakan elang dan biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, tari Perang tarian yang biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, dan festival-festival kebudayaan, tari Ya’ahowu merupakan tarian kreasi baru yang sudah menjadi salah satu tarian

yang paling sering ditampilkan pada acara-acara penyambutan tamu, baik itu tamu adat dan tamu yang hadir pada suatu pesta.

Untuk mempersempit pokok permasalahan, maka dalam hal ini saya sebagai penulis mengambil pokok permasalahan pada tari Ya’ahowu. Tari ya’ahowu ini merupakan sebuah tarian khas kepulauan Nias di mana tarian ini merupakan sapaan khas penduduk Pulau Nias yang dipertunjukkan untuk menyambut tamu yang datang, baik tamu kedaerahan, pemerintahan dan tamu adat. Tarian ini diikuti atau diiringi oleh nyanyian (sinunő) yang merdu dan sahut menyahut yang mengandung makna dan arti tertentu yang dinyanyikan dalam bahasa Nias. Kalau kita mengartikan kata Tari Ya’ahowu jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali lepas dari

(8)

4

Latar belakang terciptanya tari Ya’ahowu ini adalah adanya unsur keinginan masyarakat untuk menciptakan tari yang menggambarkan rasa sukacita dan penyambutan kepada tamu yang datang di Nias terutama di daerah Nias bagian utara. Sebelum terbaginya beberapa wilayah kabupaten dan kota di Nias, tari penyambutan di yang sering dan umum di pertunjukan adalah tari Faluaya (tari perang) dan nyanyiannya vokal yang digunakan pada masa sebelum terbaginya wilayah Nias adalah nyanyian Hoho. Terjadinya pembagian wilayah kabupaten di Nias menjadikan masyarakat Nias menciptakan kesenian tradisional baru yang melambangkan atau menjadi ikon dari daerah itu. Nias Utara dan selatan memiliki perbedaan tradisi yang sangat jauh berbeda, terutama dalam hal tarian dan musik. Nias bagian utara pada tariannya memiliki gerakan yang lebih halus dibandingkan dengan Nias bahagian selatan yang rata-rata gerakannya kesar dan energik. Begitu juga dalam nyanyiannya.

Dari perbedaan wilayah inilah maka Nias bagian utama atau sekarang di kenal dengan daerah kota Gunungsitoli menciptakan tari Ya’ahowu sebagai tari penyambutan tamu adat di daerah ini. Tarian ini pertama sekali diciptakan secara bersama oleh Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Sampai sekarang tarian ini belum didaftarkan ke pihak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Republik Indonesia. Karena penciptanya berkelompok, dalam hal ini Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli, maka sebahagian besar orang Nias memandangnya sebagai karya kelompok bersama bukan perseorangan.

(9)

5

adat, ataupun pemerintahan. Pengertian kedua nyanyian tersebut, dalam konteks kebudayaan Nias adalah sebagai berikiut: (a) Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang tamu memasuki lokasi acara tempat diadakannya pesta penyambutan tamu. (b) Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak sowatő atau orang dalam terhadap tome atau tamu yang datang.

Kedua nyanyian di atas menggunakan syair-syair tertentu, khususnya

Bőlihae yang berisikan pujian-pujian dari masyarakat setempat atau orang dalam kepada pihak tome/ tamu yang datang. Sikap merendahkan hati dan ungkapan peristiwa sukacita saat itu tergambar dari nyanyian (sinunő) yang mereka nyanyikan pada saat itu; sedangkan Fangowai berisikan penghormatan tehadap pihak tamu. Kedua nynyian ini dinyanyikan dengan menitikberatkan pada medium suara manusia. Kedua nyanyian ini juga merupakan suatu nyanyian rakyat yang diaplikasikan pada suatu upacara adat penyambutan tamu pada masyarakat Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian (sinunő) untuk pengiring tari Ya’ahowu membuat Bolihae dan Fangowai diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang. Meskipun tarian Ya’ahowu dan sinunő pengiringnya masih tergolong kreasi baru, tetapi mempunyai posisi yang penting pada kebudayaan Nias. Dalam konteksnya, banyak tarian yang mengadopsi atau mengunakan nyanyian vokal sebagai pengiring dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan tari itu sendiri. Banyak tarian yang mana nyanyian pengiringnya mengandung makna sesuai dengan gerakan tari yang dimainkan oleh penari.

Sinunő atau Nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini mempunyai fungsi yang

(10)

6

dimana konteks dia di pertunjukakan. Tari Ya’ahowu di Nias utara lebih sering dipertunjukan pada acara penyambutan tamu, dan teks yang terkandung dalam

sinunő mengandung makna sapaan, pemberian hormat dan rasa sukacita yang

diberikan kepada tamu. Sedangkan hoho pada kebudayaan Nias selatan hampir di semua acara adat dia di pergunakan. Teks dalam nyanyian hoho ini belum baku dan bisa berubah sesuai dimana ia di mainkan. Di dalam teks hoho ini terdapat mitologi Nias yang berisi berbagai konsep orang Nias tentang alam, adat dan rekigi ataupun filsafah hidup masyarakat Nias. Ere hoho mempunyai peranan penting dalam menyusun ataupun membuat teks hoho yang akan ditampilkan.

Berdasarkan cara menyajikan atau menampilkannya, masyarakat Nias (bagian Selatan) membagi hoho dalam dua jenis, yang pertama adalah Hoho yang

dibawakan untuk mengiringi tari Faluaya. Atau yang menyanyikan hoho membawakan nyanyian itu sambil menarikan tarian Faluaya bersama dengan penari Faluaya lainnya yang jumlahnya bisa mencapai pulihan orang dan biasanya ditampilkan dihalaman kampong atau newali. Sedangkan yang kedua hoho yang ditampilkan tanpa tarian dan ditampilkan sambil duduk di atas daro-daro (kursi tradisional Nias) atau disebut dengan hoho Fetataro. Jadi sinunő pengiring tari Ya’ahowu mempunyai fungsi yang sama dengan hoho, yaitu sama-sama sebagai nyanyian pengiring tari, tetapi cara menyanyikannya, intonasinya, serta teksnya berbeda. Cara bernyanyi di Nias selatan lebih keras disbanding cara bernyanyi masyarakat di Nias utara yang lebih lembut.

(11)

7

teksnya yang berisi kalimat-kalimat yang lembut yang berbeda jauh dari cara masyarakat Nias Selatan yang lebih keras.

Dengan melihat pendapat tersebut, nyanyian (sinunő) pengiring tari Ya’ahowu juga menjadi bagian yang sangat perlu dikaji lebih dalam lagi melalui

analisis tekstual. Berbicara mengenai tekstual, maka akan berbicara mengenai bahasa juga, dimana bahasa juga merupakan salah satu system yang masuk kedalam unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1981:203).

Fenomena linguistik dengan bunyi musikal sudah sangat lama diteliti mengenai hubungannya. Menurut salah satu pakar etnomusikologi Feld dalam Purba (2004:2) mengatakan ada dua masalah yang mendasar sekali dari hubungan inter relasi antara kedua unsur tersebut, yaitu : yang meliputi hubungan tekstual (relasi), sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian; dan yang kedua, music didalam bahasa, yaitu: masalah yang meliputi eksistensi sifat (properties)

ke-musikal-an dari bahasa.

Demikian juga sinunő pengiring tari Ya’ahowu merupakan musik vokal, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan tekstual begitu juga gaya bahasa di dalam struktur nyanyiannya. Sinunő pengiring tari Ya’ahowu memiliki bahasa yang bersifat konotatif (makna yang tidak sebenarnya), jauh dari bahasa sehari-hari dan sering menggunakan pantun-pantung adat atau bahasa-bahasa ynag mengandung makna tersendiri sebagai syair/teks nyanyian. Makna konotatif ini merupakan suatu pesan yang disampaikan dalam bentuk kata dan mungkin hanya dipahami oleh masyarakat Nias itu sendiri.

(12)

8

oleh masyarakat Nias itu sendiri ataupun masyarakat lain di luar kebudayaan Nias. Dengan demikian sinunő tidak hanya sebatas nyanyian yang dinyanyikan pada acara-acara adat ataupun penyambutan tamu dan berfungsi sebagai media komunikasi, hiburan, atau memiliki beberapa fungsi lain.tetapi yang paling inti bahwa sinunő menggambarkan suatu cirri atau kebudayaan masyarakat Nias melalui teks atau syair dan menyampaikan makna yang terkandung di dalam teks atau syair tersebut.

Dengan melihat latar belakang tersebut di atas, maka nyanyian sinunő yang disajikan dalam pertunjukan fanari Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat

Nias di Kota Gunung Sitoli ini, menarik secara keilmuan untuk dikaji melalui disiplin etnomusikologi. Apalagi disiplin ini adalah ilmu yang penulis pelajari dan resapi selama beberapa tahun terakhir ini. Untuk itu perlu penulis uraikan sekilas apa itu etnomusikologi dan bagaimana terapannya untuk penelitian ini.

Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu seni dan siial, disiplin ilmu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan gabungan atau fusi dari dua disiplin ilmu yaitu antropologi (kadangkala disebut juga dengan etnologi dengan musikologi. Fusi antara kedua disiplin ini sendiri telah menimbulkan pengaruh yang sangat kompleks dalam sejarah perkembangan etnomusikologi di seluruh dunia ini.

(13)

9

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).1

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu

1

(14)

10

sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

(15)

11

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.2

Dari definisi etnomusikologi tersebut di atas, maka dalam konteks penelitian ini, sangatlah relevan mengkaji sinunő pada pertunjukan fanari Ya’ahowu di dalam kebudayaan masyarakat Nias di Gunung Sitoli. Alasannya adalah bahwa sinunő adalah musik vokal yang mengandung makna-makna kebudayaan. Nyanyian ini dapat didekati oleh disiplin etnomusikologi yang merupakan hasil fusi dari disiplin antropologi dan musikologi. Sinunő ini dapat dikaji dari aspek

2

(16)

12

strukturalnya melalui musikologi dan dikaji aspek fungsi sosial dan budayanya dari sudut antropologi.

Berdasarkan apa yang diamati dan diteliti oleh penulis, maka penulis tertarik untuk menganalisis sinunő (nyanyian) untuk iringan tari Ya’ahowu karena melihat hal ini baik untuk dibahas dan dituliskan dalam skripsi dengan judul:

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU

DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI.

1.2 Pokok Permasalahan

Adapun pokok permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur sinunő yang digunakan pada pertunjukan fanari

Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunungsitolu?

2. Bagaimana struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu pada acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli?

3. Makna apa yang terkandung di dalam sinunő?

1.3Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur nyanyian/melodi vocal sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota

Gunungsitoli Nias.

(17)

13

3. Untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sinunő fanari ya’ahowu yang dapat berguna sebagai pedoman oleh

masyarakat Nias

1.3.2 Manfaat

Yang menjadi manfaat dalam tulisan ini adalah:

1. Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui secara jelas bagaimana dan sejauh mana sinunő berperan dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.

2. Penelitian ini bermanfaat untuk mendokumentasikan keberadaan seni etnik, khususnya Nias.

3. Penelitian ini juga bermanfaat untuk pengembangan ilmu etnomuskolologi dalam mengkaji kebudayaan etnik yang terdapat di seluruh dunia ini.

1.4Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1997:10). Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya (dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia 1998). Atau

(18)

14

yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya. Struktur adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005).

Sinunő dalam Kamus Bebas Bahasa Nias berarti nyanyian, sedangkan yang bernyanyi artikan Si Manunő. Nyanyian disebut juga dengan musik vokal, yang menggunakan suara manusia sebagai sumber utamanya.

(19)

15

saling berhubungan. Dalam hal ini seni yang terdapat dalam tari Ya’ahowu/fanari Ya’ahowu yaitu seni vokal, musik, dan tari.

Fanari dalam Kamus Bahasa Nias berarti menari atau menarikan. Jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali

tidak lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Haukin mengatakan bahwa

tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasai dan di beri bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan si pencipta (Haukins, 1990:2). Dalam konteksnya, beberapa unsur gerak tari yang tampak meliputi gerak, ritme, dan bunyi musik, serta unsur-unsur pendukung lainnya.

Ya’ahowu dalam Kamus Bahasa Nias (dalam terjemahan bebas bahasa

Indonesia berarti “Semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh

yang maha kuasa. Sedangkan Kota Gunungsitoli adalah, kota terbesar di pulau Nias saat ini,

membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang dari pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias untuk pergi berimigrasi ke kota Gunungsitoli. Di samping itu Kota Gunugsitoli memiliki penduduk yang beragam (heterogen). Hal

(20)

16 1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10).

Sebagai landasan berfikir dalam melihat permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mempergunakan dua teori utama untuk membedah dua permasalahan utama. Untuk mengkaji masalah struktur melodi digunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), dan untuk mengkaji struktur teks (lirik) lagu

digunakan teori semiotik.

Sinuno atau nyanyian berhubungan erat dengan bahasa (tekstual).

Terkadang juga nynyian berhubungan erat dengan musik. Ada 2 faktor yang paling mendasar di dalam hubungan bahasa dan musik, antara lain :

1. Bahasa di dalam musik yang meliputi hubungan tekstual, sifal quistik atau gaya bahasa.

2. Musik di dalam bahasa meliputi masalah eksistensi sikap atau masalah dari bahasa.

Menurut Steven Feld dan Hugo Zemp,vocabulari yang sebelumnya dianggap sebagai tata bahasa saja, tetapi berhubungan dengan kebiasaan masyarakat seperti bentuk musik, nyanyian vokal, nyanyian pengiring dalam sebuah pertunjukan tari.

(21)

17

pendekatan seperti yang ditawarkan Nettl (1963:89), yaitu: (1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu. Dalam hal ini penulis hanya akan menganalisa nyanyian , yaitu sinuno sebagai nyanyian vocal,bagaimana nada-nadanya, interval yang di pakai, bagaimana irama nyanyian itu.

Untuk menganalisis pertunjukan penulis berpedoman pada Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat di dalam pertunjukan, dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji, penyaji dan penonton) diantara variabel-variabel wilayah yang berbeda.

Dari segi tari, penulis mengutip apa yang dikatakan Soedarsono (1972:81-98), mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak tetapi gerak-gerak di dalam tari bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan perasaan manusia, yang didalamnya mengandung maksud-maksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud-maksud-maksud simbolis (abstrak) yang sukar untuk dimengerti, hal ini diperbuat agar makna tari itu berbeda dari apa yang dinamakan “pantonim” yang menggunakan gerakan-gerakan yang mudah dimengerti.

(22)

18

bukan hanya sekedar penyajian musikal, karena setiap peristiwa yang terkait memiliki makna tertentu bagi masyarakat pendukungnya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

Penulis juga menggunakan metode penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam.

Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sach dalam Nettl (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Metode penelitiaan yang digunakan juga memakai metode penelitian deskriptif, merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, dan akibat atau efek yang terjadi (Sukmadinata 2006:72).

(23)

19 1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti.

Penulis juga mempelajari buku-buku tentang asal usul Orang Nias, buku tentang bagaimana Nias di zaman dahulu. Penulis juga mempelajari bagaimana kebudayaan Nias dulu, bagaimana kesenian- kesenian yang terdapat di masa dulu serta kaitannya kepada kebudayaan musik sekarang, serta membaca jurnal-jurnal yang membahas dan berkaitan dengan kebudayaan Nias.

(24)

20 1.5.2 Kerja Lapangan

Penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode pengumpulan data dengan cara wawancara dan perekaman. Sebelum wawancara, penulis menyusun daftar pertanyaan untuk mengarahkan kepada pokok permasalahan yang ingin penulis ketahui. Namun demikian penulis tetap akan mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Penelitian kualitatif menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data/informan yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya.

Selain itu juga penulis mengacu pada pendapat Merriam bahwa dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu meliputi dasar-dasar teoritis yang menjadi acuan bagi teknik penelitin lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam, 1964:39-40).

Penulis juga melakukan pengamatan langsung ke tempat diselengarakannya pertunjukan fanari Ya’ahowu pada sebuah acara penyambutan

(25)

21 1.5.3 Wawancara

Dalam rangka penelitian ini, penulis melakukan wawancara langsung kepada objek yang di teliti, baik penarinya, penyanyinya serta pemusiknya yang berguna untuk mengumpulkan data-data yang akurat untuk penelitian ini. Menurut Moleong wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak-pihak yaitu pewawancara (interviewer) dan

yang diwawancari (interview). Patton (dalam Moleong, 1988:135), mengungkapkan beberapa jenis wawancara, yaitu: (1) wawancara pembicaraan informal, (2) pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan (3) wawancara baku terbuka.

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview).

Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.

1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio

(26)

22

penyambutan tamu dengan langsung merekamnya dengan format video dan mengambil foto-foto tentang pertunjukan itu.

Perekaman data ini di lakukan dengan menggunakan handycam Sony dan menggunakan camera Nikkon. serta merekam nyanyianatau sinuno melalui laptop

yang menggunakan software Nuendo 4.2 dan menyimpannya dalam format mp3. Hasil dari rekaman ini kemudian di edit dan dipilih, sehingga dapat dimuat dalam data skripsi. Data nyanyian atau sinunő tersebut di pindahkan ke dalam satu notasi yang sifatnya visual agar mudah dipelajari.

1.5.5 Kerja Laboratorium

Dari semua data yang diperoleh dari perekaman melalui penelitian langsung, Semua data yang diperoleh di lapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data.

(27)

23

1.5.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Di Nias terdapat banyak sanggar seni, baik itu sanggar seni yang berada di bawah pembinaan atau naungan sekolah, seperti sanggar Sma Xaverius Gunungsitoli, Sanggar SMA Negeri 3 Gunungsitoli, Sanggar Perguruan Pemda (Pemerintah Daerah) Gunungsitoli, dan masih banyak lagi sanggar seni yang ada di bawah naungan sekolah lainnya. Ada juga sanggar seni yang dimiliki oleh instansi-instansi tertentu.

Dalam pemilihan lokasi penelitian, penulis menetapkan Sanggar Bolalahina Sma Negeri 1 Kota Gunungsitoli yang merupakan sanggar pencipta tari Ya’ahowu dan sanggar ini juga merupakan sanggar yang paling banyak di undang untuk mengisi setiap acara-acara yang menampilkan kesenian-kesenian Nias. Sanggar ini di pilih karena di sanggar inilah banyak terdapat informasi-informasi yang berhubungan dengan penelitian yang di kerjakan oleh penulis.

Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal yang mampu membeikan informasi yang penulis butuhkan sebelum melakukan penelitian. Informan pangkal inilah nantinya yang akan membawa atau mengarahkan penulis kepada informan kunci.

(28)

24

(29)

25 BAB II

DESKRIPSI ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS

DI KOTA GUNUNGSITOLI

2.1. Gambaran Umum kota Gunungsitoli

Pulau Nias yang merupakan salah satu pulau yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang disebut Pulau Nias. Luas Kabupaten Nias adalah 3.495,40 Km² atau 4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara, dan merupakan daerah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau. Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0º12’-1º32’LU (Lintang Utara) dan 97º-98ºBT (Bujur Timur) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah:

Sebelah Utara : berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

 Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara;

Sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau Mursala, Kabupaten Tapanuli Tengah;

Sebelah Barat : berbatasan dengan Samudera Hindia.

(30)

26

Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten Nias. Istilah Gunungsitoli itu sendiri secara etimologis dan historis merupakan terjemahan akulturatif bahasa Melayu dengan bahasa Nias, berasal dari istilah “Hili Gatoli”yakni sebuah nama gunung dalam kota Gunungsitoli saat ini (Hili = Gunung; Gatoli= Sitoli). Cikal bakal munculnya istilah Gunungsitoli muncul pada saat diadakan kontrak dagang VOC Belanda (terjadinya interaksi orang Nias dengan Belanda untuk kepentingan dagang VOC), sedangkan alasan penggunaan bahasa Melayu dalam istilah Gunungsitoli karena pada saat itu karena bahasa Melayu telah digunakan secara umum di seluruh Nusantara dan orang Belanda telah menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1755 kota Gunungsitoli menjadi kota Pelabuhan yang dinamakan “Kade”dan pada tahun 1840 kota Gunungsitoli menjadi ibu kota Pemerintahan yang disebut Ina Mbanua.

Ada beberapa pendapat tentang lahirnya kota Gunungsitoli sebagai ibu kotanya pulau Nias. Momentum ini antara lain; Menurut Zebua (1996), ada beberapa peristiwa terdekat yang menjadi pra-momentum lahirnya Kota Gunungsitoli yakni:

a. Pusat kota Gunungsitoli yang sekarang, pada awalnya adalah suatu lokasi dalam teritorial yurisdiksi kerajaan Laraga (yang berpusat di desa Luahalaraga kawasan sungai Idanoi)

(31)

27

c. Ketiga leluhur pemukiman tersebut (Marga Zebua, Harefa, dan Telaumbanua) disebut Sitolu Tua. Menurut Zebua (1996), pada awalnya penduduk dan populasi kota Gunungsitoli adalah bersifat homogen yang disebut Ono Niha (Orang Nias) namun dari sisi Marga (Mado) bersifat heterogen terdiri dari 3 marga yakni Harefa, Zebua, dan Telaumbanua. d. Penduduk pemukiman Sitolu Tua sama-sama menggunakan Luahanou

segera meningkat penggunaan jasanya dan tampak agak ramai. Dengan demikian Luaha Nou menjadi Saota (Pelabuhan) dagang dan menjadi saingan pelabuhan Luaha Idanoi di Luahalaraga.

(32)

28

Proses perkembangan kota Gunungsitoli sejak lahirnya dengan nama Luahanou masa kemerdekaan Republik Indonesia dan masa Daerah Otonomi Baru Saat ini. Perkembangan itu dapat ditinjau dari perkembangan komunitas/etnis maupun perkembangan fisik/ prasarana. Kedatangan etnis lain di Kota Gunungsitoli adalah etnis Aceh dan Minangkabau (1700), Belanda/VOC (1775-140), Cina (1850), Jerman (1865) dan Jepang (1942). Berdasarkan sejarahnya, motif kedatangan etnis asing tersebut adalah berdagang, kecuali Jerman (motif pengembangan agama Kristen) dan Jepang (motif politik dan kekuasaan).

(33)

29

(34)

30

2.1.1 Demografi

Dari hasil survei oleh Badan Pusat Statistik di Kota Gunungsitoli tahun 2010, dimana survei tersebut dihitung berdasarkan jenis kelamin di kota Gunungsitoli menghasilkan data sebagai berikut :

NO TAHUN 2010

1 Jumlah Pria (Jiwa) 61.839

2 Jumlah Waniata (Jiwa) 64.363 3 Total (Jiwa) 126.202 4 Pertumbuhan Penduduk (% ) --- 5 Kepadatan penduduk ( jiwa/km2) 269

2.1.2 Iklim

Pulau Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %. Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan suhu udara berkisar antara 17,0ºC – 32,60ºC.

Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta pegunungan dengan tinggi di atas laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran rendah hingga bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan.

(35)

31

iklim kepulauan Nias pada umumnya di pengaruhi oleh Samudra Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum 31°C. Kecepatan angin rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata maksimum sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara.

Sebagian besar wilayah Nias masih merupakan hutan, sebagian lagi merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Iklim daerah Nias sama dengan iklim wilayah indonesia pada umumnya yaitu iklim tropis denagn curah hujan yang cukup besar yaitu antara 3000 sampai 4000 milimeter pertahun. Karena itu antara musim kemaru dan penghujan memiliki kelelmbaban (humiditas) yang cukup berimbang.

2.1.3 Pemerintahan

(36)

32

Ada beberapa pembagian wilayah Kecamatan di Kota Gunungsitoli, yaitu: Kecamatan Gunungsitoli Utara, Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Selatan, Kecamatan Gunungsitoli Barat, dan Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Masing-masing wilayah kecamatan dipimpin oleh camat yang mempunyai wewenang atas wilayahnya masing-masing.

2.2 Masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli 2.2.1 Agama

Kebudayaan Nias merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang bebas dari pengaruh Hindu-Budha maupun Islam. Orang Nias mengalami banyak perubahan dalam hal kepercayaan dan agamanya. Dahulu kepercayaan orang Nias percaya pada sistem yang bersumber pada kekuatan alam dan roh leluhur. Juga dua kekuatan supernatural di kosmos, yang menampakkan diri sebagai gejala-gejala alam dan arwah leluhur mereka. Kekuatan adikodrati (supernatural) bersumber pada gejala-gejala alam yang memiliki nama sesuai dengan tempat atau sistem kekuatannya.

Para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö, dan sebagainya. Dewa-dewa

(37)

33

Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lain-lain) yang dibuat dari bahan batu atau kayu.

Mereka juga percaya pada leluatan supernatural pada pohon tertentu, misalnya: Fösi, Böwö, Endruo, dan lain-lain. Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap

banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan politeisme.

Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana. Misalnya dukun atau pemimpin agama kuno (ere) sebagai

perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (hoho) atau

mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pemberhalaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya.

Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara Zi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha, dan sebagainya. Sesama manusia juga

di-ilah-kan. Hal ini tergambar dari ungkapan seperti: sibaya ba sadono Lowalani (Lowalangi) ba guli danö. Artinya paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu)

(38)

34

Zaman dahulu para leluhur ono Niha (masyaraakat Nias) mempercayai bahwa seluruh jagat raya dan alam semesta ini diatur oleh dewa, dan dewa tertinggi pada saat ini menurut kepercayaan mereka adalah Dewa Si’Ai. Para leluhur Nias dahulu mempercayai bahwa pada saat-saat tertentu mereka harus memberikan sesajian-sesajian untuk menghormati dewa ini. Mereka mengadakan sebuah upacara dengan berkumpul dibawah pohon besar (pohon fosi atau pohon eho) atau dalam bahasa Niasnya upacara ini disebut sebagai sambua olahoitö.

Dibawah pohon tersebut mereka melakukan upacara dengan mengelilingi pohon tersebut dan manyampaikan keinginan mereka.

Selain dewa Si’ai mereka leluhur Nias dahulu juga mempercayai adanya dewa-dewa lain di antaranya: Luo Lowalangi sebagai Dewa Pencipta Alam Semesta; Lature Sobawi Sihono atau Dewa Pemilik dan Penguasa Ternak Babi; Uwu Gere atau Dewa Pelindung dan Penguasa; Uwu Wakhei atau Dewa

Penguasa Tanaman-tanaman; Gazo Tuha Zangarofa Dewa Penguasa Air, dan lainnya.

(39)

35

persembahan–persembahan atau sesajian dan melakukan ritual dengan cara mengelilingi pohon-pohon besar atau batu besar.

Dalam sistem religi terutama sebelum masuknya ajaran agama Islam dan Kristen, masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut dengan Sanomba Adu. Kata-kata ini secara etimologis sanomba berarti menyembah, dan adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu yang dipercayai sebagai media roh bersemayam. Adu atau patung di tempatkan di Osali bȍrȍnadu, yaitu bagunan tempat ibadah untuk penyembah patung (sonomba adu).

Pada abad-19 masuklah ajaran agama kristen di Pulau Nias yang pertama kali dibawa oleh Denninger tahun 1865 tepatnya di Kota Gunungsitoli. Sebelumnya ia sudah belajar bahasa Nias dan bergaul dengan orang Nias yang ada di Padang. Orng Nias yang berjumlah kurang lebih 3000 jiwa ini merupakan pendatang. Dari mereka inilah Denninger banyak mempelajari kebiasaan-kebiasaan orang Nias, adat istiadatnya sehingga ia tertarik untuk datang ke Nias untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran Kristen yang ternyata berhasil dengan baik ia sebarkan.

Misi selanjutnya dilanjutkan oleh Thomas yang datang ke Nias pada tahun1873. Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen tersebut terjadi antara tahun 1915-1930 dan tahun ini disebut sebagai tahun pertobatan (fangesa dȍdȍ sebua).

Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa SebuaFangesa Sebua (Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak

(40)

benda-36

benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal).

Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan orang Nias, yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan membuang atau menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya mereka jadikan sebagai dewa. Sangsi-sngsi hukum adat dengan hukum badan, poligami, penyembahan patung, penyembuhan penyakit memalui dukun sudah semakin berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias beragam kristen (S. Zebua 1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan 1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63).

(41)

37

memiliki perbedaan kepercayaan, masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup dengan harmonis dan rukun, serta saling menghormati antar umat beragama.

2.2.2 Bahasa

Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia yang telah menulis disertasi doktoralnya tentang bahasa Nias Selatan berjudul “A grammar of Nias Selatan”, mengatakan dalam suatu wawancara: “Barangkali misteri terpenting, dan yang paling menarik bagi para ahli bahasa, adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia.”

Bahasa Nias termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vokal yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa Nias mempunyai huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu yang bunyinya hampir sama dengan e pepet atau eu dalam bahasa Sunda. Berdasarkan analisis, di identifikasi bahwa fonem bahasa Nias hanya berjumlah 20, yakni: b, d, f, g, h, k, l, m, mb, n, ndr, r, rn, s, t, w, bw, x, y, z.

(42)

38

Selatan yaitu di daerah pedalaman dengan intonasi yang lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih sering. Penggunaan imbuhan berupa awalan, akhiran dan sisipan terbatas. Penggunaan morfologi lebih banyak terjadi karena ada perubahan bunyi secara sintaksis bukan semantik.

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a, e, i, u, o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam").

Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Nias seharusnya memiliki fungsi-fungsi three in one. Bahasa Nias tidak saja merupakan bagian, indeks, dan simbol budaya Nias. Bahasa Nias juga merupakan media untuk memenuhi kebutuhan menyampaikan atau menanggapi suatu informasi, baik mengenai masa lampau, mengenai masa kini, maupun mengenai masa depan. Ini sejalan dengan pendapat Grimes (2002), yang menyatakan bahwa bahasa berkembang bersama lingkungan masyarakat dan mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Bahasa digunakan untuk menuturkan cerita, menceritakan masa lampau, mengungkapkan rencana masa depan, mengungkapkan sastra (baik lisan maupun tertulis), dan mewariskan cara hidup. Ini menunjukkan betapa penting peranan bahasa Nias.

(43)

39

juga masih menggunakan bahasa Nias ketika berkomunikasi dengan sesama warga asal Pulau Nias. Akan tetapi, ada beberapa fenomena yang memberi petunjuk bahwa kehidupan bahasa Nias memerlukan lebih banyak perhatian berbagai pihak.

Dalam beberapa tahun terakhir, interferensi bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) ke dalam bahasa Nias cenderung menjadi semacam invansi atau “penjajahan” bahasa. “Serangan” bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) terhadap bahasa Nias tidak saja menyangkut kosakata, melainkan juga meliputi elemen-elemen lain. Elemen-elemen lain bahasa Indonesia, misalnya, tidak lagi mengikuti kaidah yang berlaku dalam bahasa Nias. Salah satu hal yang menarik perhatian penulis mengenai penyusupan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Nias tersebut adalah kenyataan bahwa bahasa Indonesia menyusup, bahkan menggeser bahasa Nias, melalui orang Nias.

Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan:

 Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda pemisah (') contoh kata: Ga'a

 Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal.

Beberapa kosa kata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Ya'ahowu = biarlah engkau diberkati, bisa juga digunakan sebagai ucapan salam

(44)
(45)

41

laluo = siang ono = anak

ono alawe = anak perempuan Hezo möi'ö? = Mau kemana? Manörö-nörö = jalan-jalan

Gambar 3:

Seorang Ibu Sedang Berbicara dalam Bahasa Nias

2.2.3 Organisasi Mayarakat

(46)

42

bahkan bersatu di dalam setiap kegiatan organisasi yang ada di tengah masyarakat.

Salah satu organisasi masyarkat di Kota Gunungsitoli adalah dalam segi organisasi keagamaan, seperti organisasi Persatuan Masyakat Muslim Se-Kepulauan Nias yang sudah banyak mengadakan acara-acara seperti pada acara memperingati Maulid Nabi Muhamad SAW. Ketua MUI Kota Gunungsitoli, H. Abdul Hadi Caniago, S.H. di halaman Masjid Al-Falah Tohia mengatakan, saat ini pihaknya memperhatikan BKPRM (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia) telah banyak melakukan berbagai kegiatan positif, khususnya dalam sendi-sendi kehidupan umat Islam di wilayah Kota Gunungsitoli dan Nias. Pihaknya juga mengharapkan kepada semua umat Islam untuk terus menggunakan mesjid sebagai tempat ibadah secara kolektif, sesuai dengan tujuan dan fungsi masjid itu sendiri sehingga masjid dapat dipandang dengan baik di mata semua umat. Momentum peringatan Maulid Nabi dapat dijadikan sebagai rasa hormat dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil alamin. Untuk itu pihaknya mengharapkan kepada generasi muda untuk dapat terus meneladani Nabi Muhammad sAW. Terlebih saat ini meningkatnya berbagai kegiatan negatif yang dapat menjerumuskan para kader-kader pemuda Islam.

(47)

43

Idanȍ Gawo, Lahewa, Sirombu, Nias Selatan dan Pulau-pulau Batu dan lainnya. Ada juga organisasi masyarakat berdasarkan marga (mado), seperti Persatuan

marga Telaumabnua, Zalukhu, Zega, Gulȍ, Ziliwu dan lainnya.

2.2.4 Mata pencaharian

Kota Gunungsitoli saat ini merupakan kota yang sangat berkembang di Pulau Nias dan Kota Gunungsitoli ini juga merupakan Kota yang menjadi tujuan orang dari perkampungan atau pelosok untuk bermigrasi, mengadu nasib, dan mencari lahan pekerjaan akibat ketertarikan akan banyaknya lahan kerja yang ada di kota Gunungsitoli. Masyarakat dari perkampungan yang ke kota Gunungsitoli ini menyebar keberbagai wilayah di kota, ada yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, menjadi petani, nelayan karyawan swasta atau bahkan ada yang jadi tukang becak dan buruh lepas.

Mata pencaharian orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada umumnya bercocok tanam yakni di ladang (sabae’e) dan di sawah (laza).

Lahan di Pulau Nias tergolong memiliki daya guna yang besar bila sistem pendayagunaan dikembangkan. Hal ini di sebabkan oleh iklim di daerah Nias sangat menunjang untuk lahan pertanian karena memiliki curah hujan yang tingg sehingga banyak juga orang Nias yang hidup dari bertani.

(48)

44

penduduk antara lain berupa minyak nilam, kopi, kopra dan minyak kelapa. Minyak nilam dari Nias juga diekspor setelah diproses di Medan sebagai bahan kosmetik. Sedangkan kpra dan kopi dipasarkan keluar pulau Nias namun masih dalam jumlah yang kecil karena keterbatasan sarana dan prasarana angkutan (distribusi barang yang terbatas).

Selain masyarakat nias sendiri yang bermigrasi,ada juga masyarakat dari etnis lain di luar Nias seperti Minangkabau (Padang), Aceh, Melayu, Cina yang mencari nafkah di kota Gunungsitoli dengan cara berdagang. Arang Padang, Aceh, dan Melayu sebagian besar berjualan emas. Ada juga yang jualan pakaian jadi, serta ada yang berjualan bahan bagunan dan elektronik.

2.2.5 Teknologi Tradisional

Orang Nias yang berkebudayaan megalitik sudah mengenal teknologi mengenai pertukangan logam sejak zaman prasejarah. Misalnya, pandai membuat jenis-jenis pedang dan golok perang yang disebut seno gari dan telogu. Dari segi

ketajaman, keampuahan, dan keindahan bentuk, senjata-senjata tajam buatan Nias tidak kalah dengan mandau yang dibuat oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Orang Nias juga memiliki keahlian dan keterampilan dalam seni membangun pemukiman, seni ukir, dan seni tari sangat khas. Keahlian orang Nias yang khas ini diwariskan secara turun temurun sehingga keasliannya masih dapat dipertakankan sampai saat kini.

(49)

45

kerajinan anyaman, topi, tikar, karung dan bagian ornamen untuk bagian-bagian rumah. Industri lainnya berupa industri perkakas logam seperti pedang, tombak, golok, dan cangkul.

2.2.6 Adat Istiadat dan Filsafat Hidup

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kemudian bagi siapa saja yang melanggar hukum tersebut akan di kenakan sanksi sesuai dengan apa yang dilakukannya, bahkan ada sanksi yang sampai kepada kematian.

Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus

(50)

46

Umumnya pesta dilangsungkan dengan menari dan menyanyikan hoho. Menari adalah mencipta ruang. Dalam tindakan menari dan menyanyikan hoho itu tatanan semesta (banua) dipentaskan ulang. Semua anggota komunitas

berpartisipasi dalam tarian sesuai peran dan kedudukan dia di dalamnya. Desa dan anggotanya pada peristiwa itu sungguh-sungguh menjadi banua, karena istilah banua itu sendiri selain bermakna langit, semesta, juga desa dan orang-orangnya. Di dalam peristiwa menari dan menyanyi ini dibagikanlah (commune) dan setian peraturan (fondrakhö) yang berlaku dan yang sudah diatur di tengah-tengah

masyarakat. Masyarakat Nias mempercayai bahwa apa yang diamanahkan oleh leluhur itu adalah “Hukum” dan barang siapa yang melanggarnya akan dikenakan sanksi yang berat atau kutukan dari arwah leluhur yang mengakibatkan hidup diatas dunia ini tidak bahagia, tidak aman serta dilanda oleh kesengsaraan hidup sampai ke anak cucu. Amaedola (pepatah) Nias mengatakak afatö gahe zanaö, aköi döla hulu zanuri arö yang artinya patah kaki yang melanggar hukum dan

bengkok punggung yang menyeruaknya.

(51)

47

- Selalu mempercayai segala yang diamanahkan oleh orang tua atau leluhur agar tidak terkena kutukan.

- Tetap mematuhi semua amanah leluhur baik dalam segi kehidupan sehari-hari baik dari segi persatuan, kesatuan, dan alam sekitar terlebih di dalam keluarganya.

- Seluruh warga mengetahui bahwa yang lebih berkuasa adalah yang disebut sobawi (dewa yang dapat memberikan kebahagiaan dah dapat memberikan

kesengsaraan dan kesusahan juga bagi setiap orang yang tidak mematuhi aturan yang digariskan oleh leluhur.

- Tetap memelihara dan menyambungkan semua amanah itu kepada anaknya sampai kepada cucu-cunya.

-. Menyadari bahwa adat dan hukumnya itu adalah satu sumber pengaturan kehidupan agar tenteram, damai dan bahagia serta dapat mempersatukan warga dalam wadah yang baik.

Contoh seseorang yang memandang remeh, tidak menghormati, tidak menghormati orang tuanya, pamannya, mertuanya, tidak mengasihi istri dan anak-anaknya, tidak sopan santun dalam berbicara, maka dalam adat istiadat Nias ini tindakan ini disebut dengan silo mangila huku (tidak tahu adat). Akibat dari perbuatannya ini, maka dia, keluarganya dan keturunanya akan mendapatkan hukuman baik dari dewa dan roh leluhur.

(52)

48

Kemudian filsafat rumput ilalang di tengah tanaman padi sebagai pesan khusus kepada pilar Nias. Rumput ilalang sangat dibenci oleh petani karena

sangat membahayakan dan merusak tanaman padi. Menanam padi secara

musiman di ladang (area tanah keras) bukan sawah (area tanah datar yang berair)

memiliki banyak kelemahan yaitu selalu mudah ditumbuhi oleh ilalang dan jenis

tanaman rumput lainnya. Rumput ilalang tumbuh diantara padi dan sulit sekali

dideteksi karena jenis daunnya hampir sama. Lebih hebatnya lagi, ilalang bisa

menyesuaikan diri dengan tingkat kehijauan daun padi. Rumput ilalang sangat

kuat dalam memperebutkan makanan dari tanah, justru ilalang kelihatan

lebih subur dan kadang daunnya menghalangi daun padi. Rumput ilalang merusak

padi dan membuatnya menjadi tidak menghasilkan buah yang maksimal. Cerita di

atas mengungkap Filsafat Nias dalam pepatah yang jarang diungkapkan sekarang

ini, yaitu:

Ada juga filsafat hidup hulo mbua go’o, bagotalua mbua wakhe, oroma zowua faya i’ohe angi, ba oroma zowua sindruhu tola mubasi. Artinya, seperti

buah ilalang di tengah buah tanaman padi, kelihatan buah kebohongan dibawa angin dan kelihatan buah kebenaran dapat dinikmati atau dipanen.

Sekalipun rumput ilalang berusaha menyembunyikan diri dari komunitas

tanaman padi, namun pada akhirnya mereka pasti tertangkap dari hasil kerja yang

mereka buahi. Akhir dari semuanya itu adalah “buah” yang langsung kelihatan

mana yang benar dan mana yang penuh dengan kefasikan. Sekalipun rumput ilalang mengubah wajahnya, berusaha seakan-akan seperti padi yang baik hati, namun suatu hari dia tertangkap dalam “hasil kerja yang dibuahkannya.”

(53)

49

Tanaman Padi. Misi yang pertama ini sudah ketahuan bahwa pemikirannya hanya bersifat short term. Sangat bersifat pendek dan sesaat. Sifat inilah yang sangat membahayakan organisasi di manapun, ada orang-orang yang berpikir pendek memakai kata “mumpung ada kesempatan.”

Akibatnya aboto mbanua karena ilalang kelihatannya persis tanaman padi,

mukanya sangat polos seakan-akan buahnya kelak sama dengan buahnya padi, semua orang dilingkungannya menganggap dia saudara, sahabat, dan mitra yang baik. Hati sebagian tanaman padi menjadi condong kepadanya, karena belas kasihan namun akan diuji oleh waktu bahwa ketika tiba saatnya akan kelihatan siapa yang akan memberi hasil yang baik dan siapa yang hanya memberi buah kosong, ada penyesalan namun sudah terlambat.

Akibat lainnya jika petani sang pengelola ladang terlambat mendeteksi rumput ilalang dalam ladang itu, maka rumput ilalang sangat cepat sekali menyebar ke seluruh areal ladang. Padi pun menjadi kurus kering dan mati, hidupnya terancam akhirnya jika bertahan hidup, sekalipun tentu tidak menghasilkan buah yang maksimal, pasti hasilnya tidak sesuai dengan harapan.

Apa yang harus di lakukan? Cabut rumput ilalang sampai keakar-akarnya dan buang ke bara api untuk dibakar sampai jadi debu. Jangan ada belas kasihan padanya, karena dia dilahirkan sebagai perusak. Tidak akan mungkin dia menghasilkan buah padi sampai kapan pun. Rumput ilalang tetap menghasilkan buah ilalang. Di manapun ilalang tumbuh dia adalah trouble maker, samoto banua, dan pembuat penderitaan bagi tanaman padi.

(54)

50

ladang yang telah disiapkan untuk kehidupan dan peradaban manusia. Itulah arti dari apa yang saya sampaikan bahwa kita harus mengabdikan diri bagi kemanusiaan, mendatangkan kebaikan dan mampu mebedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Ketika kita memisahkan rumput ilalang dari tanaman padi harus benar-benar super hati-hati, supaya tanaman padi lainnya jangan ikut tercabut dan turut terbawa ke bara api yang mematikan itu. Namun segala sesuatu ada resikonya.

Saudara, kita membutuhkan profesionalisme yang tinggi meminimalis resiko apapun. Namun ada harga yang harus dibayar jika memang demikian keadaanya di lapangan. Sekalipun beresiko besar bagi tanaman padi yang akan turut tercabut posisinya karena ketika sang ilalang dicabut dengan tangan yang kokoh, yang mengakibatkan tanaman padi dilingkungannya turut tercabut. Itu adalah resiko dan harga yang harus dibayar dalam menyelamatkan ladang padi yang lebih besar yang telah disiapkan untuk menghasilkan padi demi keluhuran manusia dan demi kebaikan kita bersama. Filsafat buah ilalang, padi, dan ladang ini, sangat dipegang teguh oleh masyarakat Nias hingga hari ini. Inti dari filsafat hidup ini adalah jangan mengganggu orang lain, hiduplah untuk kebijakan dan bermanfaat bagi orang lain.

2.2.7 Kesenian

Kesenian masyarakat Nias meliputi seni musik, seni lukis, tari, seni kerajinan, seni pahat seperti memahat patung. Nias memiliki budaya yang sangat menarik. Lompat batu (hombo batu) merupakan salah satu contoh budaya yang

(55)

51

kedewasaan seorang pria, para pengunjung dapat menyaksikan lompat batu tersebut di Desa Bawomatolua, Hilisimaetano, atau di desa-desa sekitarnya. Lompat batu dilakukan untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria. Walaupun hal ini sangat berbahaya tetapi menjadi sebuah olahraga yang menyenangkan serta menjadi daya tarik pariwisata di pulau Nias.

Gambar 4: Atraksi Lompat Batu Nias

Tarian perang tradisional Nias juga sangat menarik tetapi jangan takut karena tarian ini bukan untuk menunjukkan perang yang sebenarnya. Para penari mengenakan pakaian tradiional, pakaian yang terbuat dari sabut ijuk dan serat kulit kayu dan kepala mereka dihiasi dengan bulu burung. Dengan tangannya

mereka membawa tombak dan perisai.

(56)

52

Gambar 5 : tari perang

Di dalam kebudayaan Nias, tarian tradisional merupakan hal penting dan masih ada sampai sekarang, contohnya adalah sebagai berikut.

1. Maluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di bahagian utara

namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat. Maluaya ini di Pulau-pulau Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di Pulau-pulau Batu para wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas, penguburan, dan pesta untuk menyambut pendatang baru. 2. Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang ditarikan oleh

wanita dan pria, biasanya ditarikan pada uapacara pernikahan.

(57)

53

4. Foere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan bentuk dari penyembahan untuk berakhirnya kematian dan bencana.

5. Fanarimoyo (tarian perang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias

Selatan dan Utara oleh 20 penari wanita. Kadang-kadang di dalam lingkaran ditarikan oleh penari pria. Di bagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan. Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya. Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang.

6. Foluaufaulu adalah upacara yang manandakan kedudukan status seseorang pada zaman megalitikum. Dalam upacara ini ditarikan kedua tarian Maluaya dan Foere.

7. Famadaya Hasijimate (Siulu) adalah sebuah upacara pemakaman bagi keturunan raja di Nias Selatan. Di dalam upacara ini, tarian Maluaya ditarikan dibawah pimpinan desa Shaman, peti mati diukir dari batang kayu pohon dan ukiran kepalanya dihiasi dengan sebuah batang kayu untuk memperlihatkan dasarnya setelah itu zenajah tersebut dikuburkan. 8. Mandau Lumelume adalah sebuah tarian dengan tujuan untuk memanggil

roh. Tarian ini hanya ada di Pulau-pulau Batu.

(58)

54

bawah menarikan tarian Boli-boli. Tarian ini ditarikan didalam gedung,

dengan tujuan agar tamu tidak erasa bosan. Tarian ini hanya ada di Pulau-pulau Batu.

10. Tari Tuwu adalah tarian yang menampilkan seorang penari wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk menghormati para pemimpin.

11. Fadabu adalah sebuah upacara untuk mempertunjukkan kekebalan seseorang. Sebuah pertunjukkan yang menikam dirinya sendiri dengan benda tajam. Di dalam bahasa Indonesia namanya dabus dan banyak dijumpai di Indonesia seperti di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Banten, kawasan-kawasan budaya Melayu, dan lain-lainnya.

12. Silat Nias adalah sebuah bentuk seni perang tradisional yang lebih menekankan kepada sisi seninya daripada sisi perangnya. Masyarakat Aceh dan Pesisir memperkenalkn tarian ini ke Nias. Ada banyak jenis nama-nama tarian ini: Starla, Aleale, Sangorofafa, Famosioshi, dan lain-lainnya.

Gambar

Gambar 1:Peta Wilayah Kota Gunungsitoli
Gambar 2: Peta Keseluruhan Pulau Nias
                        Gambar 3:        Seorang Ibu Sedang Berbicara dalam Bahasa Nias
Gambar 4: Atraksi Lompat Batu Nias
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan akhir dari penelitian pengembangan ini adalah menghasilkan produk berupa buku yang berisikan model pembelajaran renang gaya bebas (crawl) bagi siswa usia

Pemeliharaan SDG tanaman obat yang dilakukan belum sebanding de- ngan penyusutan populasi dari jenis yang harus di- selamatkan, Oleh sebab itu upaya pelestarian SDG dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan Early Warning System (EWS) yang diwakili oleh rasio likuiditas, rasio retensi sendiri, rasio beban, dan rasio investasi

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik kualitas perairan kolong kaolin dan hubungannya terhadap kelimpahan fitoplankton untuk

Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Ahmad Fuadi, M.Pd.I mata kuliah ilmu Pendidikan Islam yang telah memberikan tugas Makalah ini

ferlihafc bahwit relskcaei jane disebabkan oleh Oof- feine lebih beear daripada Ooxnplawin tetapi lebih Jcet,1il daripada ABinopfaylline, Sedangkaa relakaasi jang disebabkan

Ketika pemilik persil baru yang mendapatkan peralihan hak kepemilikan persil dari jual beli dengan cara pelelangan tersebut bermaksud untuk mengajukan

Produksi televisi adalah tahapan setelah pra produksi dan sebelum pasca produksi dimana bagian divisi produksilah yang berperan penting, untuk mengerjakan