• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah PERUBAHAN BUNYI DARI BAHASA JAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah PERUBAHAN BUNYI DARI BAHASA JAWA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah

PERUBAHAN BUNYI DARI BAHASA JAWA KAWI

KE BAHASA JAWA BARU (NGOKO DAN KROMO)

Mata Kuliah: Linguistik Historis Komparatif Dosen Pengampu: Dr. Inyo Yos Fernandez

Disusun Oleh: Astri Arni Murdasari Dewi

13/350829/PSA/7437

PROGRAM MAGISTER ILMU LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(2)

Makalah

PERUBAHAN BUNYI PADA BAHASA JAWA KAWI

KE BAHASA JAWA BARU (NGOKO DAN KROMO)

A. Pendahuluan

Dari satu waktu ke waktu bahasa berkembang dan tumbuh seiring dengan perkembangan manusia. Keraf (1984:23) memberikan definisi ‘bahasa adalah suatu alat pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara bersama-sama’. Dari definisi ini dapat kita katakan bahwa bahasa digunakan oleh manusia untuk menanggapi peristiwa-peristiwa yang dapat berupa suatu perkembangan dalam suatu masyarakat. Karena manusia memiliki kecenderungan untuk berkembang demikian pula masyarakat yang sebagai akibatnya, bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menanggapi setiap peristiwa oleh manusia pun ikut berkembang. Crowley (1992:31) menyatakan bahwa perubahan bahasa merupakan suatu hal yang alami dan merupakan aspek lain dari tindak tanduk manusia di kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi pada bahasa ada yang dapat dilihat dan masih meninggalkan bukti tetapi ada juga yang tidak menyisakan bukti sama sekali.

Linguistik historis adalah suatu kajian yang mengkaji perubahan bahasa. Kajian ini, secara sekaligus memberikan suatu pemahaman mengenai bagaimana bahasa berubah, bagaimana proses bahasa, bagaimana bagian-bagian pada bahasa dapat saling melengkapi dan pas satu sama lain, dan secara umum apa yang membuat bahasa menjadi satu kesatuan (Campbell, 1998:1). Dengan menggunakan linguistic historis akan dapat digambarkan bagaimana suatu proses perkembangan bahasa itu terjadi.

(3)

ngoko dan kromo. Di masyarakat kedua raga mini pun masih dibagi lagi sesuai dengan kondisi masyarakat yang menggunakan bahasa ini.

Perubahan bahasa pada bahasa Jawa kuno atau kawi ke bahasa Jawa saat ini masih banyak meninggalkan jejak dan dapat dilihat pada bagian apa yang telah berubah. Salah satu aspek bahasa yang sering mengalami perubahan adalah bunyi. Bunyi merupakan realisasi fonetis dari penggunaan bahasa. dalam perubahan bahasa, bunyi sering kali mengalami perubahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai mengapa bahasa berubah, sebagai akibat dari perubahan bahasa bunyi pun turut mengalami perubahan. Contoh yang dapat kita ambil dari bahasa Jawa ada pada kata hawu ‘abu’ [hawu] > [awu], dari kata ini terjadi perubahan di mana bunyi h hilang dari kata awal dan menjadi bentuk baru yang dipakai saat ini.

Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk membuat suatu hipotesa kasar mengenai proses perubahan bahasa yang terjadi di bahasa Jawa kawi ke bahasa Jawa baru ragam ngoko dan kromo. Hipotesa didasarkan pada jenis-jenis perubahan bunyi di dalam buku

Historical Linguistics karya Lyle Campbell dan An Introduction to Historical Linguistics

karya Terry Crowley. Di sini penulis memilih bahasa Jawa baru ragam ngoko dan kromo dikarenakan kata-kata bahasa Jawa kawi tidak hanya terefleksi di salah satu ragam saja, tetapi di kedua ragam tersebut. Sehingga dirasa perlu untuk meneliti kedua ragam ini.

(4)

B. Linguistik Historis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, linguistik historis mengkaji perubahan bahasa. yang oleh karena itu, linguistik historis seering juga disebut sebagai linguistik diakronis atau diachronic linguistiks (berasal dari bahasa latin dia- ‘melalui’, chromos

‘waktu’ dan –ic ‘ilmu’), karena ilmu ini mengkaji perubahan pada bahasa atau bahasa dari waktu ke waktu (Campbell, 1998:4). Ini berbeda dengan linguistik sinkronis atau synchronic linguistiks yang mengkaji bahasa dari aspek bahasa di satu waktu, seperti jika pada penelitian mengenai tata bahasa bahasa Inggris saat ini di suatu komunitas tertentu. Tetapi linguistic diakronis dan sinkronis saling berhubungan, di mana metode penelitian pada linguistic sinkronis dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian diakronis, seperti pada penelitian perubahan bunyi dimana bunyi bahasa dikaji berdasarkan kajian fonetis dan fonologisnya.

Linguistik historis juga disebut sebagai linguistik komparatif atau comparative linguistics karena ilmu ini mempelajari perubahan bahasa yang timbul dalam membandingkan bahasa yang terkait. Bahasa saling berhubungan satu sama lain jika diturunkan dari satu bahasa awal, misalnya bahasa-bahasa romawi modern (Italian, prancis, spanyol, dan lainnya) diturunkan dari bahasa Latin. Pada mulanya, area utama linguistik historis adalah ‘bagaimana’ bahasa berubah dan percaya bahwa pertanyaan ‘mengapa’ bahasa berubah adalah suatu hal yang sangat jauh untuk diungkap. Tetapi pada sekitar tahun 1960, telah terjadi suatu perkembangan yang signifikan dimana linguistik historis dapat menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ bahasa berubah.

C. Perubahan Bunyi

Dapat dikatakan hampir seluruh area yang dipelajari di linguistik historis adalah perubahan bunyi. Berkali-kali, bunyi suatu bahasa cenderung untuk berubah. Perubahan bunyi adalah suatu proses dimana bunyi suatu bahasa berubah dari bunyi awal menjadi bunyi lain. Bunyi-bunyi yang berubah secara bertahap bergeser menuju bunyi lain dengan ada yang masih meninggalkan jejak berupa fitur-fitur bunyi atau sudah berudah sama sekali menjadi bunyi lain.

(5)

berdampak hanya pada beberapa kata dan tidak diterapkan pada seluruh bagian suatu bahasa secara umum, yaitu perubahan bahasa yang disadari sebagai perubahan yang sporadis adalah jika perubahan yang terjadi tidak dapat diprediksi pada kata apa perubahan ini berpengaruh. Contohnya seperti pada kata spræc dari bahasa Inggris kuno menjadi speech di bahasa Inggris baru dimana hilangnya bunyi r adalah suatu hal yang tidak biasa pada konteks ini seperti pada kasus spring, sprig, dan spree yang tetap memiliki bunyi r.

Perubahan yang teratur (regular) secara umum muncul berulang-ulang kali dan terjadi dimanapun lingkungan fonetis dimana perubahan itu terjadi. Perubahan bunyi yang teratur mendapatkan lebih banyak perhatian pada linguistik historis karena perubahan ini sangat penting terhadap metode dan teori mengenai perubahan bahasa. Faktanya, asumsi dasar yang paling penting dalam linguistik historis adalah perubahan bunyi teratur, sebuah prinsip dasar dengan implikasi yang luas untuk penerapan suatu metode linguistik historis. Untuk mengatakan bahwa suatu perubahan bunyi adalah perubahan bunyi yang teratur adalah jika perubahan terjadi kapanpun bunyi atau bunyi-bunyi yang mendasari perubahan ditemukan di keadaan atau lingkungan yang mengkondisikan perubahan. Misal, p awal menjadi b diantara dua vokal di bahasa Spanyol (p > b /V_V), maksudnya adalah setiap bunyi p awal yang jika berada di antara dua vokal akan berubah menjadi b. Jika sebuah bunyi dapat berubah pada kondisi yang berubah-ubah dan cara yang tidak terprediksi, maka perubahan ini bukan perubahan yang teratur; tetapi perubahan bunyi adalah suatu hal yang teratur.

Ini disebut dengan the regularity principle atau the neogrammarian hypothesis yang artinya prinsip keteraturan (Campbell, 1998:17-18). Prinsip ini mulai pada sekitar tahun 1876 di Jerman, yang kemudian menjadi sangat berpengaruh dalam pemikiran umum mengenai perubahan bahasa, dan mengenai perubahan bunyi secara khusus.

Neogrammarians adalah sebuah grup sarjana muda yang menentang pemikiran para pendahulunya. Slogan mereka adalah sound laws suffer no exception yang artinya hukum bunyi berlaku tanpa pengecualian. Istilah keteraturan hukum bunyi menjadi dasar metode komparatif. Hukum bunyi yang dimaksud adalah perbahan bunyi, tetapi mereka mengacukannya pada hukum karena mereka menghubungkan ilmu bahasa dengan ilmu pasti yang memiliki hukum atau kaidah atau semacam pernyataan hukum.

(6)

bunyi secara umum muncul dan tidak bergantung pada konteks fonetik dimana perubahan itu muncul, tidak bergantung atau terbatasi apapun oleh bunyi didekatnya, perubahan ini termasuk dalam perubahan mutlak. Perubahan bunyi mutlak memodifikasi bunyi pada seluruh konteks dimana perubahan terjadi, tanpa memperhatikan bunyi lain yang ditemukan pada kata yang mengandung bunyi yang berubah, atau dengan kata lain perubahan terjadi tanpa tergantung dengan kontek fonologikal dimana bunyi yang berubah ditemukan. Di lain pihak, saat perubahan terjadi hanya pada konteks tertentu, saat bergantung pada bunyi disekitarnya, berada pada posisi tertentu dalam suatu kata, atau aspek lain dari tata bahasa; perubahan ini disebut dengan perubahan bersyarat. Perubahan bersyarat lebih terbatas dan hanya berdampak pada bebeapa bunyi yang muncul pada konteks tertentu, tetapi tidak pada kemunculan lain di luar lingkungan di mana perubahan terjadi. Contohnya, seperti pada contoh yang telah disebutkan di bahasa Spanyol, bunyi p hanya berubah menjadi b jika diantara vokal dan selain itu tidak berubah.

(7)

(1998:17-43) serta dari buku An Introduction to Historical Linguistics karya Terry Crowley (1992:38-59). Secara garis besar jenis-jenis perubahan yang ada antara dua buku ini sama, hanya berbeda pada pengurutannya saja. Sehingga untuk mempermudah diambil salah satu urutan dan penulis mengambil urutan dari Campbell.

1. Perubahan Non-Fonemis atau Allofon

Perubahan non-fonemis disadari sebagai perubahan yang tidak terlalu penting, mungkin dikarenakan oleh karena perubahan ini tidak merubah urutan struktur bunyi. a. Perubahan non-fonemis mutlak

Contohnya seperti pada bahasa Inggris, u > (vokal bulat tengah), yang padaʉ dialek lain bahkan menjadu y, seperti pada kata shoe [ u] > [ ], dan bahkan menjadiʃ ʃʉ [ y]. Perubahan ini terjadi tanpa ada lingkungan atau konteks tertentu yang harusʃ disertakan. Perubahan ini juga tidak merubah bentuk ciri pembeda pada fonem dasar, sehinggal ini adalah perubahan non-fonemis dan mutlak.

b. Perubahan non-fonemis bersyarat

Banyak dialek bahasa Inggris telah mengalami perubahan di mana vokal secara fonetis dipanjangkan sebelum konsonan hambat bersuara, seperti pada /b d/ > [b :d]ɛ ɛ

bed.

2. Perubahan Fonemis

Terdapat dua prinsip dasar perubahan ini, yaitu merjer dan split. a. Merjer (A, B > B, atau A, B > C)

Merjer adalah suatu perubahan di mana dua fonem atau lebih yang berbeda bergabung menjadi satu, meninggalkan sedikit ciri pembeda pada inventaris fonologikal dibandingkan dengan sebelumnya.

b. Split (A > B, C)

(8)

c. Perubahan fonemis mutlak

Perubahan bunyi di mana perubahan terjadi secara mutlak tanpa bersyarat. d. Perubahan fonemis bersyarat

Ini adalah perubahan bunyi yang mengacu pada perubahan bunyi yang hanya terjadi pada konteks tertentu, keadaan tertentu atau lingkungan tertentu.

3. Jenis Umum Perubahan Bunyi a. Assimilasi

Assimilasi adalah bahwa suatu bunyi menjadi lebih sama atau mirip dengan bunyi lain, sebuah perubahan pada suatu bunyi yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan bunyi, yang biasanya berdekatan. Perubahan assimilatori sangat umum, mungkin yang paling sering dan kategori paling penting pada perubahan bunyi. Perubahan assimilatori dibedakan berdasarkan tiga pembagian dikotomi, yaitu total-sebagian, berdekatan-berjauhan, dan regresif-progresif. Perubahan total adalah perubahan yang merubah seluruh ciri bunyi menjadi bunyi lain yang mengassimilasi. Perubahan yang sebagian adalah jika bunyi yang terassimilasi mendapatkan sebagian atau beberapa ciri bunyi lain, tetapi tidak menjadi benar-benar sama dengan bunyi yang mengassimilasi. Perubahan regersif (antisipatori) adalah perubahan di mana bunyi yang berubah muncul lebih dulu di kata (lebih dekat dengan awal kata, lebih ke kiri) dari pada bunyi yang menyebabkan assimilasi. Sedangkan perubahan progresif mempengaruhi bunyi yang muncul belakangan (lebih dekat dengan akhir kata, lebih ke kanan) dari pada lingkungan yang merubah.

Ketiga parameter diatas berinteraksi dangan satu sama lain dan menghasilkan kombinasi-kombinasi perubahan assimilasi.

(1) Assimilasi regresif berdekatan total (2) Assimilasi progresif berdekatan total (3) Assimilasi regresif berdekatan sebagian (4) Assimilasi progresif berdekatan sebagian (5) Assimilasi jauh (tidak berdekatan)

(9)

atau konsonan di suku kata yang berikutnya cukup umum. Jenis perubahan ini dapat terjadi secara sebagian atau keseluruhan, dan regresif atau progresif.

b. Dissimilasi

Dissimilasi, lawan dari assimilasi, adalah perubahan di mana bunyi menjadi semakin tidak mirip dengan bunyi yang mempengaruhi. Assimilasi jauh lebih umum terjadi dibandingkan dengan dissimilasi. Dissimilasi jauh lebih jaranf dan biasanya sporadis, walaupun terkadang juga dapat terjadi dengan teratur. Dissimilasi sering kali terjadi secara berjauhan, tetapi dissimilasi yang berdekatan juga tidak jarang. 4. Jenis Perubahan Bunyi Umum

a. Delesi (Penghapusan)

Delesi adalah perubahan yang mengacu pada dihapusnya atau hilangnya suatu bunyi pada kata.

(1) Sinkop (atata > atta)

Hilangnya (delesi) vokal di dalam kata (bukan di awal atau akhir) disebut sebagai sinkop; seperti menghapus vokal disebut ‘syncopated’ (sinkopasi). Sinkop adalah istilah yang sering digunakan. Selain vokal, penghapusan konsonan juga terjadi pada perubahan ini.

(2) Apokop ( tata > tat)

Apokop mengacu pada hilangnya bunyi, biasanya vokal, di akhir kata. (3) Afaeresis (atata > tata)

Afaeresis mengacu pada perubahan yang menghilangkan bunyi awal (biasanya vokal) pada kata.

b. Epenthesis atau penyisipan (asta > asata)

Berlawanan dengan delesi, epenthesis adalah perubahan yang memasukkan atau menyisipkan bunyi pada kata.

(1) Prosthesis (tata > atata)

Prosthesis adalah jenis epenthesis di mana bunyi disisipkan di awal kata. (2) Anaptiksis (atsa > atasa)

(10)

(3) Ekskressens (amra > ambra; anra > andra; ansa > antsa)

Perubahan ini mengacu pada penyisipan konsonan diantara dua konsonan atau klaster.

(4) Paragoge (tat > tata)

Perubahan jenis ini berupa penambahan bunyi (biasanya vokal) di akhir kata. c. Kompensasi pemanjangan (tast > ta:t)

Perubahan bunyi jenis ini bunyi yang hilang digantikan dengan pemanjangan vokal. d. Rotasism (VsV > VrV)

Rotasisim mengacu pada perubahan bunyi di mana bunyi s (atau z) berubah menjadi r, biasanya berada di antara dua vokal atau semi vokal.

e. Metathesis (asta > atsa; asata > atasa)

Methatesis adalah perpindahan bunyi, ini adalah perubahan di mana bunyi berpindah posisi.

f. Haplologi (tatasa > tasa)

Pada jenis ini terjadi perubahan di mana urutan bunyi berulang disederhanakan menjadi tunggal.

g. Pemecahan

Pemecahan mengacu pada diftongisasi vokal pendek pada konteks tertentu. 5. Perubahan bunyi lain

a. Tidak menyuarakan bunyi akhir

Ini adalah perubahan yang menyangkut tidak menyuarakan bunyi stop pada posisi akhir kata, beberapa bahasa tidak menyuarakan bunyi sonoran (l, r, w, j,

nasal) dan beberapa tidak menyuarakan vokal di kahir kata. b. Menyuarakan antar vokal (dan menyarakan secara umum)

(11)

c. Assimilasi nasal

Terjadi sangat umum untuk nasal berubah menyesuaikan dengan poin artikulasi bunyi hambat yang berikutnya (beberapa bahasa dengan konsonan apapun berikutnya): np > mp, mt > nt, nk > ŋk dan lain sebagainya.

d. Palatalisasi

Perubahan ini sering terjadi sebelum atau sesudah bunyi i dan j atau sebelum bunyi vokal depan lainnya, bergantung pada bahasanya. Perubahan ini dapat terjadi secara teratur seperti pada perubahan dari bunyi velar atau alveolar ke bunyi palate alveolar, seperti k > č, t > č, s > ʃ, dan lain sebagainya.

e. Diftongisasi

Diftongisasi mengacu pada setiap perubahan di mana bunyi vokal tunggal awal berubah menjadi urutan segmen dua vokal yang secara bersama-sama menempati posisi nucleus pada satu silabel.

f. Monoftongisasi

Monoftongisasi adalah perubahan di mana diftong awal berubahn menjadi vokal tunggal.

g. Vokal naik

Perubahan di mana vokal rendah berubah menjadi vokal tengah atau tinggi, atau vokal tengah ke tinggi, umum terjadi. Terutama, vokal panjang atau bertekanan sering naik. Terkadang perubahan ini dapat melibatkan hampir seluruh perubahan di sistem vokal, yang di kenal sebagai pergeseran vokal, seperti pada pergeseran vokal di bahasa Inggris.

h. Vokal turun

Kebalikan dari vokal naik, di perubahan ini vokal tinggi menjadi vokal tengah atau rendah, atau vokal tengah menjadi vokal rendah.

i. Nasalisasi

Terjadi perubahan vokal menjadi ternasalisasi di lingkungan konsonan nasal. j. Lenisi (pelemahan)

(12)

menjadi semi konsonan, terkadang bunyi tidak bersuara menjadi bunyi bersuara di lingkungan tertentu, dan lain sebagainya. Lenisi juga dapat berupa hilangnya seluruh bunyi.

k. Penguatan

Perubahan ini mengakibatkan terjadinya bunyi menjadi lebih kuat pada artikulasi dibandingkan dengan bunyi awal.

l. Geminasi

Ini merupakan perubahan berupa penggandaan konsonan, yaitu perubahan yang memproduksi konsonan yang identic.

m. Degeminasi

Saat dua konsonan identic berkurang menjadi konsonan tunggal merupakan perubahan degeminasi.

n. Afrikasi

Perubahan ini mengacu pada bunyi yang biasanya hambat, terkadang frikatif, berubah menjadi afrikatif. Misal, t > ts /__i, dan k > č /__i, e.

o. Frikatifisasi (spirantisasi)

Tidak terjadi secara umum, bunyi afrikat menjadi lebih lemah yaitu mejadi bunyi frikatif atau hambat menjadi frikatif.

p. Deafrikasi

Saat bunyi affrikatif menjadi bunyi frikatif, ini adalah perubahan deafrikasi. q. Pemanjangan

Pemanjangan mengacu pada perubahan bunyi, biasanya vokal, menjadi lebih panjang pada beberapa konteks.

r. Pemendekan

(13)

D. Perubahan Bunyi dari Bahasa Jawa Kawi ke Bahasa Jawa Baru (Ngoko dan Kromo) Sebagai bahasa yang telah mengalami sejarah yang cukup panjang, bahasa Jawa mengalami perubahan bahasa yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan adanya banyak perubahan-perubahan bunyi yang terjadi di bahasa Jawa. Salah satu proses perubahan yang terjadi di bahasa Jawa terjadi pada bahasa Jawa kawi ke bahasa Jawa baru dalam ragam ngoko dan kromo. Berikut ini penjelasan hipotesis kasar jenis-jenis perubahan bunyi dari bahasa Jawa kawi ke bahasa Jawa baru ragam ngoko dan kromo beserta contohnya. Untuk mempermudah penjelasan, berikutnya bahasa Jawa kawi akan disingkat menjadi BJK dan bahasa Jawa baru ngoko menjadi BJBn serta untuk ragam kromo menjadi BJBk

1. Perubahan Fonemis a. Merjer

Merjer yang terjadi di bahasa Jawa terlihat pada fonem konsonan-konsonan aspirat. Pada bahasa Jawa kawi terdapat deretan konsonan aspirat dan tidak aspirat, seperti /gh, g/, /bh, b/, dan /ph,p/. Pada bahasa Jawa baru konsonan-konsonan ini mengalami merjer menjadi gh, g > g; bh, b > b; dan ph, p > p. Seperti pada kata [megha] > [mega] ‘awan’, [bhabhaq] > [babaq] ‘memar’, dan [phaphaq] > [papaq] ‘rata’.

b. Split

Terdapat aksioma di mana split mengikuti merjer. Ketika merjer ada belum tentu ada split, tetapi split pasti ada karena merjer. Dalam bahasa Jawa kawi fonem /k/ memiliki dua allofon yaitu [q] pada posisi koda dengan konsonan aspirat di posisi onset dan [k] untuk selain itu. Karena ada merjer pada fonem /bh/ dan /b/ serta /ph/ dan /p/, alofon ini mengalami split dan menjadi fonem.

Fonemik: /bhaktha/ ‘makanan’ /baktha/ ‘buah tangan’

Fonetik: [bhaqtha] [baktha]

Karena adanya merjer bh, b, > b, kedua bentuk fonetik bertahan yang kemudian alofon [q] dan [k] mengalami split dan menjadi fonem karena menjadi kontras dalam pasangan minimal. Contoh pasangan minimal yang lainnya untuk /k/ dan /q/ pada bahasa Jawa baru seperti /babak/ dan /babaq/ yang memiliki arti ‘seri’ dan ‘memar’.

(14)

a. Assimilasi

Beberapa contoh perubahan assimilasi pada bahasa Jawa dapat dilihat seperti pada proses perubahan kata dari BJK gading ‘kuning’ yang berubah menjadi kuning

‘kuning’ di BJBn. Pada proses perubahan bunyi kata ini, pertama terjadi pelemahan yaitu pada fonem /g/ bersuara menjadi /k/ tidak bersuara: [gadiŋ] > [kadiŋ]. Kemudian diikuti dengan assimilasi regresif sebagian jauh pada fonem /d/ yang dipengaruhi oleh /ŋ/, sehingga /d/ mengambil sebagian ciri dari /ŋ/ dan menjadi fonem /n/: [kadiŋ] > [kaniŋ]. Terakhir terjadi perubahan vokal /a/ menjadi lebih tinggi, /u/: [kaniŋ] > [kuniŋ].

b. Dissimilasi

Contoh untuk perubahan dissimilasi terlihat pada proses perubahan kata BJK

wwad menjadi oyod ‘akar’ di BJBn. Proses yang pertama terjadi dissimilasi pada fonem /w/ menjadi /y/: [wwad] > [wyad]. Kemudian diikuti dengan perubahan semi vokal /w/ menjadi vokal / /: [wyad] > [ y d].ɔ ɔ ɔ

3. Jenis Perubahan Bunyi Umum a. Delesi

Delesi adalah perubahan yang mengacu pada dihapusnya atau hilangnya suatu bunyi pada kata. Terdapat beberapa jenis pada perubahan ini yang dapat dilihat di bahasa Jawa. Contohnya adalah:

(1) Sinkop

BJK [karw ] > [kar ] ‘dengan’ dimana /w/ hilang pada BJBn.ɔ ɔ (2) Apokop

BJK [r ŋ h] > BJBn [riŋi] ‘dengar’: /h/ di posisi akhir kata hilang.ə ə (3) Afaeresis

Fonem /a/ hilang pada BJK [abalaŋ] > BJBn [balaŋ]. b. Epenthesis atau penyisipan

(1) Prosthesis

BJK BJBn arti

[w ŋ]ɔ [uw ŋ]ɔ ‘orang’

(15)

Di contoh pertama terdapat penambahan bunyi /u/ pada awal kata, sehingga ini termasuk dalam perubahan epenthesis prosthesis. Demikian pula dengan contoh yang kedua, terapat penambahan bunyi /c/ dan merubah kata menjadi [c ndh k].ə ɛ (2) Anaptiksis

BJK BJBn arti

[wrUh] [w rUh]ə ‘tahu’

[jro] [j ro]ə ‘dalam’

Pada perubahan ini, perubahan terjadi berupa penyisipan di tengah kata. Pada contoh pertama terdapat penambahan bunyi vokal / / sehingga merubah kata. Diə contoh kedua juga terdapat penyisipan vokal / /.ə

(3) Ekskressens

BJK BJBn arti

[d :kuŋ]ə [d ŋkUl]ə ‘lutut’

Pada perubahan ini terdapat penyisipan konsonan /ŋ/ di tengah kata, dan merubah kata menjadi [d ŋkUl].ə

(4) Paragoge

BJK BJBn arti

[bapa] [bapak] ‘ayah’

BJK BJBk arti

[jalu] [jal r]ə ‘lelaki’

Untuk kata bapa ‘ayah’, terdapat penambahan konsoan /k/ sehingga yang semula dalam BJK [bapa] > [bapak]. Kemudian pada contoh kedua terdapat penambahan bunyi /r/ pada akhir kata sehingga termasuk dalam jenis perubahan epenthesis paragoge.

c. Metathesis

BJK BJBn arti

[hamuber] [mebur] ‘terbang’

(16)

d. Haplologi

BJK BJBn arti

[bubuh n]ə [abUh] ‘bengkak’

[sathithik] [sithik] ‘sedikit’

Haplologi adalah penghapusan silabel indentik ganda sehingga silabel ganda berkurang dan menjadi satu, seperti yang dapat dilihat di contoh diatas.

4. Perubahan bunyi lain a. Palatalisasi

BJK BJBn arti

[wini] [wiji] benih

Pada perubahan ini terjadi perubahan bunyi alveolar nasal suara /n/ menjadi palatal frikatif bersuara /j/. Sehingga perubahan ini termasuk dalam perubahan palatalisasi. b. Diftongisasi

‘peras’ dalam BJK adalah [p h]. kata ini mengalami proses yang panjangɔ sebelum akhirnya menjadi [p ras] dalam BJBn. Pertama terjadi pemanjangan: [p h]ə ɔ > [pa:h], kemudian terjadi vokal naik dan lenisi: [pa:h] > [p :s], di mana glottalə fricative bersuara /h/ > alveolar fricative tidak bersuara /s/. kemudian terjadi diftongisasi: [p :s] > [p as] dan yang terakhir adalah penyisipan fonem /r/: [p as] >ə ə ə [p ras].ə

c. Vokal naik

BJK BJBk arti

[astu] [ stu]ɛ ‘baik’

[ala] [ l ]ɔ ɔ ‘buruk’

[ike] [niki] ‘ini’

Pada contoh-contoh diatas terdapat perubahan vokal pada kata-kata di BJK menjadi lebih tinggi di BJBk. Seperti vokal rendah /a/ menjadi vokal tengah / /.ɛ

d. Vokal turun

BJK BJBk arti

[jalu] [jal r]ə ‘laki-laki’

(17)

Berbeda dengan perubahan yang diatas, pada perubahan ini terdapat perubahan penurunan vokal seperti pada contoh pertama bunyi vokal tinggi /u/ turun menjadi vokal tengan / /.ə

e. Lenisi (pelemahan)

Proses lenisi Nampak pada proses perubahan kata poh pada BJK ‘peras’, terjadi saat ada perubahan vokal naik dan lenisi: [pa:h] > [p :s], di mana glottalə fricative bersuara /h/ > alveolar fricative tidak bersuara /s/. kemudian terjadi diftongisasi: [p :s] > [p as] dan yang terakhir adalah penyisipan fonem /r/: [p as] >ə ə ə [p ras] dalam BJBn saat ini.ə

f. Penguatan

BJK BJBn arti

[ndi] [endhi] ‘di mana’

BJK BJBk ‘arti’

[dawUh] [dhawah] ‘jatuh’

Pada perubahan ini terdapat perubahan penguatan konsonan. Pada kedua contoh ini terlihat kesamaan adanya penguatan dari bunyi /d/ tidak aspirat menjadi bunyi aspirat yaitu /dh/.

g. Pemanjangan

Perubahan jenis ini juga terjadi pada proses perubahan kata BJK poh [p h]ɔ menjadi [pa:h] yang artinya ‘peras’.

h. Pemendekan

BJK BJBn ‘arti’

[t lu:]ə [t lu]ə ‘tiga’

[hili:] [ili] ‘alir(me)

Pada perubahan ini, bunyi vokal panjang menjadi lebih pendek, seperti pada [hili:] > [ili].

E. Kesimpulan

(18)

bahasa Jawa kawi yang kini telah berubah menjadi bahasa Jawa baru dengan ragam yang berbeda seperti ngoko dan kromo. Jenis perubahan yang terjadi di bahasa Jawa adalah merjer, split, assimilasi, dissimilasi, delesi: sinkop, apokop, afaeresis; epenthesis: prosthesis, anaptiksis, ekskressens, paragoge; metathesis, haplologi, palatalisasi, vokal naik, vokal turun, lenisi, penguatan, pemanjangan, pemendekan.

Dalam makalah ini, analisa hanya sebuah hipotesis kasar. Diharapkan pada penelitian yang selanjutnya dapat diperoleh hasil yang lebih baik dengan cakupan data yang lebih luas.

BIBILOGRAFI

Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistiks. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical Linguistics. Oxford: Oxford University Press.

Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT. Gramedia.

Prawiroadmodjo, S. 1988. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Sumukti, Rukmantoro Hadi. 1971. Javanese Morphology and Morphophonemics. Michigan: Xerox Company

Referensi

Dokumen terkait

Thank you for using www.freepdfconvert.com service!. Only two pages

Media yang paling efektif dalam memperpanjang daya simpan benih jengkol adalah media arang sekam yang dapat mempertahankan viabilitas benih jengkol sampai dengan 6

dari pusat layanan kesehatan rujukan persalinan, rendahnya pengetahuan dan sikap masyarakat, serta masih banyaknya kasus persalinan muda (di bawah usia 18 tahun) sangatlah

Sesuai dengan hasil penelitian dan keterbatasan penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah: (1) Bagi investor diharapkan sebelum mengambil keputusan inventasi

Masa  manfaat  dari  masing‐masing  aset  tetap  Entitas  diestimasi  berdasarkan  jangka  waktu  aset  tersebut  diharapkan  tersedia  untuk  digunakan. 

Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan infromasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data

N Minimum Maximum Mean Std. Hasil ini menunjukan bahwa variabel dependen atau tingkat pengungkapan ISR dipengaruhi oleh kelima variabel independen yakni profitabilitas,

Guna meningkatkan kualitas Polmas perlu dilakukan analisa dan evaluasi secara periodik dan berlanjut terhadap pelaksanaan Polmas sehingga dapat