5
II. TELAAH PUSTAKA
A. Mangrove
Mangrove merupakan salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut, yang didominasi tumbuhan pantai berhabitus pohon dan semak. Tumbuhan tersebut terdiri dari perdu seperti (Aegiceras) sampai pohon dengan tinggi mencapai 40 m seperti bakau-bakauan (Rhizophora) dan tanjang (Bruguiera). Mangrove tumbuh di daerah tropis dan subtropis yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan salinitas tinggi (Setyawan et al., 2003). Mangrove memiliki karakter habitat jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat seperti dari sungai dan air payau dengan salinitas 2-22 ppt atau air asin dengan salinitas 38 ppt (Nirarita et al., 1996). Perbedaan tipe habitat pada mangrove, dapat dilihat dari kerapatan vegetasi, jenis dan tekstur tanah liat atau lempung, berpasir dan berdebu (Susiana, 2011). Setiap jenis mangrove berkaitan erat dengan faktor lingkungan, diantaranya tanah, genangan air, pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pasir, fisiografi, kondisi sungai dan aktivitas manusia. Biota-biota yang berada di hutan mangrove juga saling berinteraksi dan bergantung dengan faktor lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Kondisi habitat mangrove juga ditentukan sesuai dengan kemampuan beradaptasi organisme. Berdasarkan hal tersebut, mangrove merupakan ekosistem penting sebagai habitat dari berbagai jenis organisme (Azizah et al., 2005). Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks, karena ekosistemnya selain dipenuhi oleh vegetsi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah yang mempunyai kandungan liat tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan. Mangrove juga bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus, serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya, akan tetapi mangrove juga mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala (Nybakken, 1992) .
B. Biomassa
Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan berat atau luas (Brown, 1997). Sutaryo (2009) menyatakan biomassa adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume tertentu. Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah
6
materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon. Biomassa berfungsi untuk menyediakan informasi penting terkait adanya potensi penyerapan CO2. Biomassa
pada umur tertentu dapat digunakan untuk melakukan estimasi produktivitas hutan. Biomassa hutan sebenarnya menyediakan penafsiran penyimpanan karbon yang cukup besar dalam hutan, karena 50% di dalam hutan mengandung karbon. Biomassa menunjukkan jumlah potensi karbon yang bisa dilepas ke atmosfir ketika hutan mengalami penebangan atau pembakaran. Sebaliknya melalui penafsiran biomassa dapat dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari atmosfir dengan cara melakukan reboisasi atau penanaman kembali (Brown, 1997).
C. Karbon Tersimpan
Mengetahui karbon tersimpan pada vegetasi mangrove, dibutuhkan informasi tentang kondisi vegetasi mangrove. Kondisi vegetasi mangrove dapat dilihat dari kerapatan, kerapatan relatif, frekwensi, frekwensi relatif sampai indeks nilai penting. Penyerapan karbon oleh tumbuhan mangrove bisa mengurangi gas asam arang atau karbondioksida, metana, dan nitrous oksida yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (Hilmi, 2003). Vegetasi mangrove melalui proses fotosintesis menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik serta menyimpannya dalam bentuk biomassa tumbuhan, seperti yang terdapat dalam batang. Fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan, sumber energinya berasal dari matahari dengan proses 6CO2 + 6H2O membutuhkan cahaya matahari dan akan
menghasilkan C6H12O6 + 6O2. Proses penimbunan karbon dalam tubuh tumbuhan
dinamakan dengan proses sekuestrasi. Pengukuran jumlah karbon tersimpan yang ada dalam tubuh tumbuhan pada suatu lahan, dapat menggambarkan banyaknya karbondioksida di atmosfer yang diserap oleh tumbuhan (Sutaryo & Dandun, 2009).
Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terutama bagi wilayah pesisir. Salah satu fungsi ekologis mangrove yang saat ini telah diperbincangkan adalah mangrove sebagai penyerap karbon. Hasil riset dari pusat penelitian kehutanan internasional meneliti kandungan karbon dari 25 hutan mangrove di wilayah Indo-Pasifik diperoleh hasil bahwa hutan mangrove bisa menyimpan sampai empat kali lebih banyak karbon dibandingkan dengan hutan yang ada di darat. Hutan mangrove juga memiliki tingkat penyerapan lima kali lebih cepat terhadap unsur karbon di udara, setiap tahun hutan mangrove dapat menyerap 42 juta ton karbon di udara atau setara dengan emisi gas karbon dari 25 juta mobil. Ekosistem mangrove berperan dalam mitigasi perubahan iklim akibat pemanasan
7
global karena mampu mereduksi CO2 melalui mekanisme sekuestrasi, yaitu
penyerapan karbon dari atmosfer dan penyimpanannya dalam tumbuhan, seresah, dan materi organik tanah. Proses fotosintesis CO2dari atmosfer diikat oleh vegetasi
dan disimpan dalam bentuk biomassa. Karbon berhubungan erat dengan biomassa tegakan. Jumlah biomassa suatu kawasan diperoleh dari produksi dan kerapatan biomassa yang diduga dari pengukuran diameter, tinggi, dan berat jenis pohon (Nybakken, 1992).
D. Restorasi
Kawasan hutan mangrove diinformasikan dari Dirjen Pemda Depdagri dan PKSPL-IPB merupakan satu kawasan hutan mangrove yang mengalami penurunan luasan dengan cepat adalah di Segara Anakan (Pemda TK II Cilacap, 1998 dalam Suryono, 2006). Penurunan luasan hutan mangrove di Segara Anakan juga disertai dengan hilangnya berapa spesies vegetasi mangrove, karena tingginya tingkat aktifitas manusia di wilayah pesisir dan konversi lahan mangrove untuk kepentingan lain. Cepatnya penurunan luasan yang diakibatkan oleh beralih fungsinya lahan menjadi tambak dan lahan pertanian tentunya akan mengubah struktur komunitas maupun pola distribusi mangrove yang ada (Suryono, 2009). Kerusakan hutan mangrove juga menyebabkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon menurun, karena biomassa dan senyawa organik yang tersimpan di dalam hutan akan terlepas ke udara menjadi gas rumah kaca.
Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta diyakini terlibat dalam kegiatan restorasi meskipun jumlahnya relativ terbatas. Contoh restorasi hutan mangrove yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman Rhizophora spp. di sepanjang pantai utara Rembang, khususnya di kecamatan kota.
Tahun 1980, pemerintah setempat bersama para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove pada area dengan panjang sekitar 3000 m, lebar 100-300 m. Saat ini tegakan yang terbentuk sudah dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai penahan gelombang laut, angin dan mencegah pantai dari abrasi. Untuk menjaga kelestarian tumbuhan ini, masyarakat setempat diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani yang memiliki hak untuk memanen ekosistem yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Salah satu kegiatan terkait konservasi yang cukup berhasil adalah pembibitan Rhizophora spp. (Suryono, 2009).
8
Kerusakan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah akibat radiasi cahaya matahari, dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan menurunnya kadar air tanah (Novita & Nisa, 2010). Meminimalisir akibat buruk yang akan terjadi pada hutan mangrove, maka tindakan restorasi sangat tepat dilaksanakan untuk tetap mempertahankan keberadaan mangrove. Restorasi adalah tindakan untuk mengembalikan sesuatu dalam kondisi semula. Restorasi juga merupakan suatu cara untuk mengembalikan lahan yang terdegradasi ke dalam kondisi asli atau mendekati kondisi asli. Tujuan utama dari restorasi mangrove yaitu untuk mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada ekosistem mangrove, serta mencegahnya dari kepunahan yang lebih lanjut. Tujuan lainnya untuk memperkaya dan mempertahankan keberlanjutan produksi sumber daya alam, melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial budaya (Nybakken, 1992).
Terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan restorasi mangrove adalah pemahaman autekologi setiap spesies mangrove meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan pemantapan seedling. Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies mangrove yang diinginkan. Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat mencegah suksesi sekunder secara alami. Restorasi sifat hidrologi bila memungkinkan penggunaan propagul alami. Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen alami tidak mencukupi untuk penyembuhan. Teknik restorasi meliputi introduksi biji atau propagul, anakan pohon, atau pohon yang lebih besar. Penanaman biji atau propagul dapat dilakukan secara langsung di area yang direstorasi, atau disemaikan dahulu hingga setinggi 0,3-1,2 m. Penyemaian biji atau propagul menjadi anakan pohon dapat meningkatkan keberhasilan penanaman dibandingkan menanamnya secara langsung (Suryono, 2009).