PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu jenis penyakit menular yang hingga saat ini masih perhatian ba-nyak negara di dunia adalah peba-nyakit demam Chikungunya. Peba-nyakit demam chi-kungunya telah teridentifikasi di 60 negara yang tersebar di benua Asia, Afrika, Eropa dan Amerika (WHO, 2015). Pada bulan Februari 2005, dilaporkan chiku-ngunya mewabah dengan luar biasa di pulau-pulau Samudera Hindia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara juga terpengaruh (WHO, 2015). Sejak tahun 2005, In-dia, Indonesia, Maladewa, Myanmar dan Thailand telah melaporkan lebih dari 1,9 juta kasus penyakit demam chikungunya (WHO, 2015). Pada April 2015, lebih dari 1,379,788 kasus chikungunya telah tercatat di kepulauan Karibia, negara Amerika Latin, dan Amerika Serikat. Selain itu 191 kematian juga dikaitkan dengan penyakit ini selama periode yang sama (WHO, 2015).
Istilah chikungunya berasal dari bahasa suku Swahili, suatu suku bermu-kim di dataran tinggi Makonde Provinsi Newala Tanzania (Dirjen PPPL, 2012). Istilah tersebut mempunyai arti ’yang tertekuk’, yang menggambarkan penampilan bungkuk dari seseorang yang terkena virus chikungunya (WHO, 2009). Kata chi-kungunya sendiri pertama kali digunakan untuk menamai virus yang diisolasi dari serum darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di negara tersebut.
Penyakit dengan gejala panas, bercak kemerahan serta sakit pada persendian yang menyerupai gejala demam chikungunya telah dilaporkan sejak tahun 1770-an (PAHO, 2011). Sejak pertama kali diidentifikasi di T1770-anz1770-ania pada awal tahun 1952, penyakit ini telah menyebabkan wabah periodik di Asia dan Afrika sejak
1960-an. Di Indonesia sendiri sesuai yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda, telah ada sejak abad ke-18 (Dirjen PPPL, 2012). Infeksi virus chikungunya pada saat itu menimbulkan penyakit yang dikenal dengan nama penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) atau demam sendi (knokkel koorts) (Dirjen PPPL, 2012).
KLB penyakit demam chikungunya di Indonesia dilaporkan sudah terjadi sejak tahun 1973 di Samarinda provinsi Kalimantan Timur dan Jakarta (Dirjen PPPL, 2012). Setelah itu pada tahun 1982 dilaporkan di Kuala Tungkal provinsi Jambi dan tahun 1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 KLB chikungunya pernah dilaporkan di setiap daerah Indonesia. Pada awal tahun 2015 dilaporkan kejadian KLB chikungunya di kecamatan Kangayan pulau Kangean, Sumenep, Madura, Ja-wa Timur, yang dalam tiap harinya, tidak kurang dari 30 orang diserang penyakit menular itu (Udin dan Zai, 2015). Selain itu pada bulan Februari 2015 dilaporkan 46 warga Dukuh Geritan, desa Kayugeritan, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, terserang penyakit demam chikungunya (Febrianto, 2015). Secara epi-demologis hampir seluruh wilayah di Indonesia begitu berpotensi untuk timbulnya KLB chikungunya.
Penyakit demam chikungunya mekanisme penularannya memerlukan vek-tor. Vektor merupakan artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber penularan penyakit terhadap manusia (Menkes RI, 2010). Adapun vektor utama vektor utama penyakit ini sama dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegyptidan Aedes albopictus (PAHO, 2011).
Fokus utama di dalam pencegahan penyakit demam chikungunya adalah pe-ngendalian terhadap vektor-nya yakni nyamuk. Pepe-ngendalian vektor, bertujuan me-mutuskan rantai penularan dan dapat dilakukan terhadap jentiknya maupun terha-dap nyamuk dewasa. Pengendalian vektor, nyamuk Aedes terha-dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah kontrol fisik dan mekanik, penggunaan agen bio-tik serta pengendalian secara kimiawi (Menkes RI, 2010). Kontrol fisik dan meka-nik dapat berupa modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan, pema-sangan kelambu, memakai baju lengan panjang dan pemapema-sangan kawat k . Adapun
metode pengendalian dengan agen biotik dilakukan dengan menggunakan predato-r/pemangsa, parasit, bakteri, dan ikan pemakan jentik (Dirjen PPPL, 2012). Pengen-dalian secara kimiawi sendiri dapat berupa larvasida dan adultisida (WHO, 2015). Larvasida merupakan insektisida untuk nyamuk yang masih berada dalam fase la-rva atau jentik. Adultisida sendiri diperuntukkan untuk nyamuk dewasa yang dia-plikasikan dengan cara pengabutan panas (fogging) dan pengabutan dingin (ULV) (Dirjen PPPL, 2012).
Salah satu upaya yang dapat digunakan agar pengendalian vektor tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien adalah adanya representasi dari pola penye-baran virus chikungunya. Melalui hal itu maka akan dapat lebih mudah di dalam memahami, memprediksi dan pertimbangan pengambilan keputusan dalam pena-nganan polemik penyakit demam chikungunya. Pemodelan matematika adalah sa-lah satu cara di dalam merepresentasikan pola dari penyebaran virus chikungunya. Domunt dkk. pada 2008 melakukan pemodelan matematika terhadap penyebaran virus chikungunya yang merupakan rujukan utama di dalam beberapa penelitian mengenai penyebaran virus chikungunya serta demam berdarah. Mereka mengem-bangkan model untuk menggambarkan penularan yang terjadi di pulau Reunion. Domunt dkk. (2008) menggunakan model SEIR (Susceptible, Exposed, Infected, Recovered) untuk populasi manusia dan LSEI (Larva, Susceptble, Exposed, Infec-ted) untuk populasi nyamuk. Pada tahun 2010 Domunt dkk. meneliti lebih rinci terhadap pengendalian vektor penyakit ini, mereka menambahkan parameter pe-ngaruh pengendalian mekanik, pengendalian dengan menggunakan larvasida serta adultisida.
Pada tahun 2010 Moulay dkk. juga mengembangkan suatu model untuk menggambarkan dinamika populasi nyamuk dan penularan virus chikungunya ke populasi manusia. Dalam modelnya itu Moulay dkk. (2010) populasi nyamuk diba-gi ke dalam kelompok telur, larva dan dewasa yang terdiri atas kelompok nyamuk yang rentan dan terinfeksi, sedangkan untuk populasi manusia dibagi ke dalam ke-lompok rentan, terinfeksi dan sembuh. Dalam penelitiannya Moulay dkk. (2010) mengemukakan bahwa pemberantasan penyakit bisa dicapai jika populasi nyamuk
dibasmi. Selanjutnya Naowarat dan Tawarat (2011) melakukan penelitian menga-cu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Domunt dkk. (2010). Naowarat dan Tawarat (2011) meneliti penyebaran virus chikungunya dengan penerapan aduli-tisida dengan model SIR-SI. Kemudian Kurniasari (2013) melakukan penelitian mengenai model penyebaran virus chikungunya dengan penerapan adultisida yang merupakan pengembangan berdasarkan penelitian Naowarat dan Tawarat (2011). Berbeda dengan Naowarat dan Tawarat (2011), penelitian yang dilakukan oleh Kur-niasari (2013) memperkenalkan parameter baru yang merupakan probabilitas nya-muk yang berinteraksi dengan manusia, dengan adanya parameter tersebut maka pengaruh dari penggunaan adultisida lebih terlihat.
Model penyebaran virus chikungunya dalam penelitian ini berbeda dengan yang telah dikemukakan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Salah satu dian-taranya yakni asumsi yang digunakan pada penelitian sebelumnya bahwa jika se-seorang telah terkena virus chikungunya maka orang tersebut tidak akan terjangkit kembali, sedangkan di dalam penelitian ini tidak digunakan asumsi tersebut. Asum-si bahwa seseorang yang terkena penyakit demam chikungunya tidak bisa terkena kembali berdasarkan pada karakteristik dari penyakit demam chikungunya itu se-belumnya yakni jika seseorang terinfeksi virus chikungunya akan diikuti dengan terbentuknya imunitas jangka panjang (long-lasting immunity) di dalam tubuh pen-derita (PAHO, 2011). Fakta pada saat ini telah ditemukan kasus seorang yang sebe-lumnya pernah terkena penyakit chikungunya dapat terkena penyakit ini kembali. Di daerah Cianjur dilaporkan ada warga yang telah mengalami penyakit deman chikungunya untuk kali kedua (Susan, 2013). Selain itu pada tahun berikutnya ju-ga dilaporkan hal serupa terjadi di daerah Solo (Suryono, 2014). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dibentuk suatu model dengan memperhatikan fakta bahwa jika seseorang yang telah sembuh dari penyakit demam chikungunya dapat terjangkit kembali yang sebelumnya belum pernah dikembangkan.
Dalam suatu populasi nyamuk kadang kala ada nyamuk yang berasal da-ri luar populasi yang masuk ke dalam populasi. Dalam penelitian ini hal tersebut digambarkan dengan adanya laju rekruitmen dari nyamuk dan hal ini yang
menja-di hal baru lainnya jika menja-dibanmenja-dingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Di samping itu pada penelitian ini juga dengan mengembangkan penelitian dari Kur-niasari (2013) yang menambahkan parameter yang merepresentasikan probabilitas nyamuk yang berinteraksi dengan manusia pada populasi manusia, maka dalam pe-nelitian ini parameter tersebut juga diterapkan pada populasi nyamuk. Penambahan parameter tersebut juga merupakan hal yang baru jika dibandingakn dengan pene-litian sebelumnya. Dengan demikian model kejadian epidemi demam chikungunya dalam suatu daerah dalam penelitian ini makin mendekati kenyataan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang akan dilakukan adalah pemodelan matematika penyebaran virus chikungunya dengan memperhatikan pengaruh pengendalian vek-tordan larvasida.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari model penyebaran virus chikungunya dengan memperhatikan pengaruh pengendalian vektor dan me-libatkan larvasida di suatu wilayah guna mencegah penularannya. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan model penyebaran virus chikungunya dengan penerapan pengendalian vektor dan melibatkan larvasida pada populasi manusia dan populasi nyamuk berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada.
2. Melakukan analisa terhadap model berkaitan dengan titik ekuilibrium dan kestabilannya.
3. Melakukan simulasi terhadap model penyebaran virus chikungunya. 1.3 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat
1. Menjadi salah satu tolak ukur di dalam pemberantasan penyakit demam chi-kungunya di suatu daerah.
2. Menjadi salah satu rujukan bagi peneliti lain yang tengah mengembangkan model penyebaran virus chikungunya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Model matematika dari penyebaran virus chikungunya telah menjadi perha-tian banyak peneliti dan beberapa diantaranya adalah Kurniasari (2013), Domunt dkk. (2008,2010), Naowarat dan Tawarat (2011 dan Moulay dkk. (2010) yang ke-mudian menjadi rujukan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis.
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2013) mengacu pada peneliti-an Naowarat dpeneliti-an Tawarat (2011) ypeneliti-ang memberikpeneliti-an model penyebarpeneliti-an virus chi-kungunya pada populasi manusia dan nyamuk yang homogen. Penelitian tersebut meninjau penerapan adultisida pada evolusi yang termporal dari penyakit chiku-ngunya dan efektivitas dari adultisida terhadap pencegahan penyebarannya. Kurni-asari (2013) menambahkan parameter yang merepresentasikan probabilitas nyamuk yang berinteraksi dengan manusia. Penambahan parameter ini berhubungan dengan banyaknya nyamuk dari keseluruhan nyamuk dewasa yang direkrut, dari penam-bahan parameter tersebut dan keampuhan adultisida maka efektivitasnya terhadap pencegahan penyebaran nyamuk dapat terlihat. Kurniasari (2013) juga membahas mengenai kestabilan global dari titik ekuilibrium non endemik yang sebelumnya tidak dibahas dalam penelitian Naowarat dan Tawarat (2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Naowarat dan Tawarat (2011) mengacu pa-da penelitan yang dikembangkan oleh Domunt dkk. (2008). Domunt dkk. (2008) menggunakan model SEIR-LSEI (Susceptible, Exposed, Infected, Recovered - La-rva, Susceptble, Exposed, Infected) untuk menggambarkan transmisi penyakit ini di pulau Reunion. Di samping melakukan analisis terhadap titik ekuilibriumnya, Domunt dkk. (2008) juga melakukan simulasi numerikal dan mengkomparasikan-nya dengan data real. Dari penelitianmengkomparasikan-nya mereka menemukan bahwa penyemprotan masal dan kontrol mekanikal dapat berpengaruh dalam mengontrol penyebaran in-feksi chikungunya. Pada tahun 2010, Domunt dkk. melakukan penelitan lebih lanjut dengan menambahkan parameter kematian akibat larvasida, adultisida dan kontrol
mekanikal. Mereka menggunakan model SEIR-ASEI (Susceptible, Exposed, Infec-ted Recovered - Aquatic Phase, Susceptble, Exposed, InfecInfec-ted). Selain itu Domunt dkk. (2010) juga melakukan analisis kestabilan global dan lokal serta simulasi nu-merik dari model yang telah mereka kembangkan tersebut.
Moulay dkk. (2010) dalam penelitiannya terhadap penyebaran virus chi-kungunya menggunakan model ELA (Egg, Larva, Adult) untuk populasi nyamuk. Nyamuk dewasa (Adult) dibagi lagi ke dalam kelompok SI (Susceptible, Infected) dan selanjutnya untuk populasi manusia menggunakan model SIR (Susceptible, In-fected, Recovered). Penelitian tersebut mengasumsikan populasi manusia dan po-pulasi nyamuk tidak konstan. Popo-pulasi manusia diasumsikan naik secara ekspo-nensial dan adanya laju kematian populasi manusia yang spesifik. Berbeda dengan penelitian lainnya pada penelitian Moulay dkk. (2010) laju kelahiran dan laju ke-matian pada populasi manusia tidak diasumsikan sama. Di dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap kestabilan lokal maupun global dari modelnya terse-but. Di samping itu dalam penelitiannya, Moulay dkk. (2010) melakukan analisis numerik dan bifurkasi terhadap model yang telah mereka kembangkan.
Penelitian ini merupakan pengembangan pada model yang telah dikembang-kan oleh Kurniasari (2013) dan Domunt dkk. (2010). Untuk model pada populasi manusia, model ini menggembangkan model yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Kurniasari (2013). Berbeda dengan yang telah dikembangkan oleh Kurniasari (2013), pada model ini populasi manusia tidak dianggap konstan lagi. Di samping itu yang membedakan pula dengan Kurniasari (2013) laju kematian dan kelahiran dari populasi manusia yang diamati memiliki parameter yang berbeda.
Fakta lain yang mencuat bahwa orang yang menderita penyakit chikungu-nya yang sudah sembuh dapat terinfeksi virus chikunguchikungu-nya kembali seperti yang dilaporkan oleh Susan (2013) dan Suryono (2014). Berdasarkan hal tersebut peneli-tian ini tidak menggunakan asumsi seseorang ketika sudah terjangkit penyakit maka tidak akan terjangkit lagi seperti halnya yang dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya tetapi pemodelan pada penelitian ini berdasarkan fakta seseorang bisa terjangkit virus chikungunya kembali.
Selanjutnya untuk populasi dari nyamuk penelitian ini mengacu pada pene-litian yang dilakukan oleh Domunt dkk. (2010) yang memakai model ASEI. Akan tetapi pada penelitian ini populasi nyamuk untuk kelas laten (exposed) diabaikan sebab hanya terjadi dalam waktu yang singkat.
Pemodelan dari populasi nyamuk juga memperhatikan penelitian yang di-lakukan oleh Kurniasari (2013) yang telah memperkenalkan parameter baru yang merupakan probabilitas nyamuk yang berinteraksi dengan manusia. Pada penelitian Kurniasari (2013) parameter tersebut hanya terdapat pada diagram transfer dari ke-las manusia yang rentan ke keke-las manusia yang terinfeksi sedangkan pada nyamuk tidak. Pada penelitian ini menempatkan parameter tersebut pada diagram transfer dari kelas nyamuk yang rentan ke kelas nyamuk yang terinfeksi. Adanya parameter ini merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
Pembentukan model dari populasi nyamuk juga dengan memperhatikan fak-ta di lapangan bahwa adanya nyamuk yang berasal dari luar populasi kemudian ma-suk ke dalam populasi. Hal ini digambarkan dengan adanya suatu parameter yang merepresentasikan laju rekruitmen dari nyamuk. Adanya laju rekruitmen ini men-jadi hal baru jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik yang telah dikembangkan Kurniasari (2013), Domunt dkk. (2008,2010), Naowarat dan Tawarat (2011 dan Moulay dkk. (2010).
Setelah dikembangkan model penyebaran penyakit demam chikungunya yang juga didasarkan pada fakta-fakta yang telah dikemukakan oleh Dirjen PPPL (2012 dan PAHO (2011, maka diperoleh suatu sistem persamaan diferensial nonlinear. Konsep dari sistem persamaan diferensial mengacu pada Verhulst (1990) dan Per-ko (2001). Teorema eksistensi dan ketunggalan dari sistem persamaan diferensial dalam Perko (2001) menjamin sistem persamaan diferensial tersebut mempunyai solusi dan tunggal. Teorema tersebut berkaitan dengan konsep fungsi diferensibel kontinu yang mengacu pada Thomson dkk. (2013) dan Rudin (1976).
Selanjutnya sistem persamaan diferensial dari model penyebaran penyakit demam chikungunya dianalisis dengan melihat perilaku dari solusinya dan salah satu solusi khusus dari sistem tersebut adalah titik ekuilibriumnya. Konsep titik
ekuilibrium pada penelitian ini mengacu kepada Wiggins (2003). Untuk menyelidi-ki perilaku solusi di semenyelidi-kitar titik ekuilibrium sistem nonlinear dapat dilakukan de-ngan melihat perilaku persamaan diferensial bersesuaian yakni dede-ngan melakukan linearisasi. Dasar teori mengenai linearisasi dalam penelitian ini menggunakan kon-sep yang dikemukakan di dalam Wiggins (2003), Perko (2001), dan Olsder (2003). Selanjutnya, kestabilan titik ekuilibrium sistem linear mengacu pada Perko (2001) dapat ditunjukkan dari nilai eigen matriks Jacobiannya. Adapun himpunan invarian yang merupakan salah satu bagian yang digunakan untuk penentuan kestabilan glo-bal dari titik ekuilibrium mengacu kepada Wiggins (2003) dan Luenberger (1979). Kestabilan global asimtotik dari titik ekuilibrium bebas penyakit sendiri merujuk pada Kamgang dan Sallet (2005, 2008) Selanjutnya untuk konsep dari bifurkasi merujuk kepada Kuznetsov (1998) dan Verhulst (1990). Konsep mengenai parame-ter ambang batas yang berkaitan dengan penentuan parame-terjadinya epidemi pada suatu populasi mengacu kepada Diekmann dkk. (1990), Ma dan Li (2009), dan Van den Driessche dan Watmough (2002).
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan melakukan studi literatur mengenai penyebar-an virus chikungunya. Dari studi literatur dikumpulkpenyebar-an sejumlah informasi me-ngenai etiologi dan epidemi penyakit demam chikungunya, vektor penyakit dan penanggulangan yang dilakukan khususnya program pemerintah Indonesia. Pene-liti juga melakukan studi terhadap beberapa penePene-litian terdahulu mengenai model matematika dari penyebaran virus chikungunya.
Berdasarkan fakta dari informasi yang diperoleh dibuat asumsi-asumsi un-tuk dapat mengembangkan model penyebaran virus chikungunya. Setelah itu dilan-jutkan dengan membentuk diagram transfer yang mengambarkan penyebaran virus chikungunya. Kemudian dilakukan perumusan model matematika yang berbentuk sistem persamaan diferensial berdimensi 6. Sistem persamaan diferensial yang te-lah dibentuk tersebut kemudian ditentukan titik ekuilibriumnya. Berdasarkan per-hitungan yang dilakukan maka ditemukan 3 titik ekuilibrium yang eksis dan terdiri
dari 2 titik ekuilibrium bebas penyakit dan 1 titik ekuilibrium endemik. Linearisa-si di sekitar titik ekuilibrium untuk melihat kestabilan lokal dari titik ekuilibrium dan diperoleh suatu persamaan karakteristik. Adapun analisis kestabilan global dari titik ekuilibrium bebas penyakit menggunakan penerapan matriks Metzler.
Selanjutnya dilakukan analisis bifurkasi untuk ekuilibrium bebas penyakit dan endemik. Setelah itu dilanjutkan dengan simulasi numerik dengan mengguna-kan MATLAB untuk melihat trayektori dan potret fase dari setiap titik ekuilibrium baik yang bebas penyakit maupun yang endemik.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut BAB I PENDAHULUAN
Bab ini diawali dengan latar belakang dari masalah yang akan diteliti, kemudian tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diakhiri oleh sistematika penulisan.
BAB II DASAR TEORI
Bab ini berisi fungsi diferensiabel, sistem persamaan diferensial, titik ekuilibrium, linearisasi untuk sistem persamaan non linear, himpunan invarian, bifurkasi, para-meter ambang batas dan kestabilan global ekuilibrium bebas penyakit.
BAB III PEMBAHASAN MODEL PENYEBARAN VIRUS CHIKUNGUNYA Pada bab ini diawali dengan formulasi dari model penyebaran chikungunya. Pada bab ini juga berisi analisis model penyebaran virus chikungunya diantaranya titik ekuilibrium, parameter ambang batas serta kestabilan dari setiap titik ekuilibrium serta analisis bifurkasi.
BAB IV SIMULASI MODEL PENYEBARAN VIRUS CHIKUNGUNYA Pada bagian ini memberikan simulasi model penyebaran virus chikungunya dengan memperhatikan pengendalian vektor dan larvasida. Simulasi dilakukan terhadap se-tiap titik ekuilibrium baik bebas penyakit maupun endemik.
Bab ini memberikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan beserta saran untuk penelitian-penelitian berikutnya.