PENGUKURAN INDEKS GLIKEMIK ROTI TAWAR BENGKUANG
(Pachyrhizus erosus)
SKRIPSI
Oleh:
TRISNA RATNA SARI NIM. 121000089
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
Skripsi ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
TRISNA RATNA SARI NIM. 121000089
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klain dari pihak lain terhadap keasliankarya saya ini.
Medan, Oktober 2016 yang membuat pernyataan
Trisna Ratna Sari Nim. 121000089
iii ABSTRAK
Bengkuang merupakan umbi-umbian yang belum dimaksimalkan pengolahannya sebagai bahan makanan alternatif, padahal didalam bengkuang mengandung karbohidrat rendah yaitu 12,8 gram. Karbohidrat yang rendah memungkinkan bengkuang sebagai bahan pangan yang baik bagi penderita diabetes mellitus. Oleh karena itu, bengkuang diolah menjadi tepung dan dimanfaatkan untuk bahan tambahan dalam pembuatan roti tawar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui indeks glikemik bahan pangan roti tawar bengkuang.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan subyek penelitian 8 orang sehat yang dipilih dengan metode purposif sampling. Obyek penelitian adalah roti tawar bengkuang. Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan berdasarkan metode standart (Miller, 1996) dengan pangan acuan berupa roti tawar. Porsi pangan uji dan pangan acuan yang digunakan mengandung 50 g karbohidrat. Kandungan karbohidrat pada roti tawar bengkuang dihitung berdasarkan metode luff schroll. Indeks glikemik dihitung dengan cara membandingkan luas area dibawah kurva pangan uji dengan pangan acuan. Luas area dibawah kuva pangan uji/acuan dihitung dengan menarik garis horizontal dan vertikal sehingga membentuk luas bangun.
Berdasarkan perhitungan tersebut, nilai indeks glikemik roti tawar bengkuang dengan pangan acuan roti tawar yaitu 56%. Indeks glikemik roti tawar bengkuang termasuk dalam katagori sedang (55-70).
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengukuran nilai indeks glikemik pangan olahan lain berbahan umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus) sehingga dapat menambah daftar pangan yang memiliki nilai indeks glikemik.
Kata Kunci: Indeks Glikemik, Roti Tawar Bengkuang, Tepung Bengkuang
carbohydrate allows yam as a food that is good for people with diabetes mellitus.
Therefore, yam processed into flour and used for ingredient in making bread. This study is aimed to comprehend the glycemic index of yam white bread food material.
This study was experimental study with 8 healthy subjects selected by purposive sampling method. Measurement of glycemic index value performed by standard methods (Miller, 1996) with a food standard such as white bread. The portion of the test food and the standard food contained 50 g carbohydrate. The content of carbohydrates in yam white bread was calculated by luff schroll method. GI was calculated by comparing the under kurve area of food test with food standard. Under kurve area of test food/ food standard was calculated by drawing horizontal and vertical lines thus forming wide awakes.
Based on these calculations, the glycemic index value of yam white bread with white bread as a standard food is 56%. GI of yam white bread included in high category (55-70).
Need to do further research on the glycemic index value of other processed foods made from yam (Pachyrhizus erosus) so that it can add to the list of foods that have a glycemic index value.
Keywords : Glycemic Index, Yam White Bread, Yam Flour
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama Lengkap : Trisna Ratna Sari 2. Tempat/ Tanggal Lahir : Stabat/ 25 Maret 1994 3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Status : Belum Menikah
6. Alamat Rumah : Jl.Bakti No.26 Air Hitam, Gebang Kab. Langkat 7. Riwayat Pendidikan :
a. Tahun 1999-2001 : TK Nurul Ida Langkat Indah, Gebang
b. Tahun 2001-2006 : SD Negeri 050770 Paya Bengkuang, Gebang c. Tahun 2006-2009 : SMP Negeri 2 Tanjung Pura
d. Tahun 2009-2012 : SMA Negeri 1 Tanjung Pura
e. Tahun 2012-2016 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan
dan karunia-Nya sehingga tugas skripsi dengan judul: “Pengukuran Indeks Glikemik Roti Tawar Bengkuang (Pachyrhizus erosus)” dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi teladan utama bagi umat manusia.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini terkhusus untuk ayah dan ibu tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing dengan penuh kasih sayang dan selalu mendoakan hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Selama penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor USU
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing Akademik.
3. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si, selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, ilmu, arahan, motivasi, serta dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
4. Prof. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, ilmu, arahan, motivasi, serta dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku dosen penguji I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukkan dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Fitri Ardiani, SKM M.Kes selaku dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukkan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Para Dosen dan Staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan bimbingan.
8. Yang terbaik dan teristimewa untuk kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Siswanto, M.Pd dan Ibunda Maharani Sucitra Ningsih, S.Pd yang telah mendukungku selama ini, memberikan kasih sayangnya, motivasi hidup, perhatian dan doa restu yang tiada henti kepada anaknya yang selama ini berjuang agar dapat menyelesaikan pendidikan tinggi untuk masa depan yang lebih baik.
9. Untuk Kakak dan Abangku Siska Rahayu Ningsih, ST, M.Pd., Marwan Hakim Pulungan, ST., Sismardhika Dwi Setiyanto, ST dan Syukriati Ayu Rahayu, SH serta Adikku M. Siswahyudi Chandra yang selalu memberi semangat agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.
10. Sahabat gandumku Maya, Lanni, Sherli dan Artha yang telah banyak memberikan arti indahnya persahabatan kepada penulis mulai dari
dukungan dan doa yang telah kalian berikan selama ini.
12. Untuk anak kos Sofyan 60 Mbak Mindi, Mbak Dini, Mbak Disa dan Mbak Mutia yang telah memberikan semangat selama ini.
13. Teman-teman peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat (Ulfa, Dwi, Fia, Ewid, Nisa, Denima, Olva, Yosephin) dan teman-teman yang sudah bersedia menjadi subyek penelitian (Karl, Hudson, Yosephin, Christina, Wiwin, Evi, Iana dan Kak Mutiara) terima kasih atas bantuan, dukungan, waktu serta masukan yang diberikan selama peminatan .
14. Teman-teman yang bersama berjuang di Praktek Belajar Lapangan (PBL) di Desa Bertah Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Langkat, Kak Serli, Kak Feni, Bang Dedi, Sherli, Lasna, Citra, Wiwin, Tiwi, Delima, Mira, Riza, Asri, Novi dan teman-teman yang bersama berjuang di Latihan Kerja Peminatan (LKP) di Aerofood ACS Medan, Melisa dan Yolan serta Ibu, kakanda dan abangda Quality Control (Buk Siti, Kak Nursalima, Kak Laurentia, Bang Azzan, Bang Hadi, Bang Niko dan Bang Harry) yang telah mengajarkan banyak hal tentang diluar kampus.
15. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas dukungan, kerja sama dan doanya.
ix
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan menuju yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2016
Penulis,
Trisna Ratna Sari
HALAMAN PENGESAHAN ... i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
HALAMAN PENGESAHAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Tujuan Umum ... 8
1.3.2 Tujuan Khusus ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Bengkuang ... 9
2.2 Kandungan Gizi dan Manfaat Bengkuang ... 11
2.3 Tepung Bengkuang ... 13
2.4 Roti Tawar Bengkuang ... 16
2.5 Indeks Glikemik ... 22
2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik . 24
2.5.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan ... 30
2.6 Kerangka Konsep ... 32
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
3.1 Jenis Penelitian ... 34
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian ... 34
3.3.1 Subyek Penelitian ... 34
3.3.2 Obyek Penelitian ... 35
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 35
3.4.1 Data Primer ... 35
3.4.2 Data Sekunder ... 36
3.5 Defenisi Operasional ... 36
3.6 Alat dan Bahan ... 36
3.6.1 Alat ... 36
xi
3.6.2 Bahan ... 37
3.7 Tahap Penelitian ... 38
3.7.1 Proses Pembuatan Roti Tawar Tepung Bengkuang... 38
3.7.2 Analisis Kandungan Gizi Roti Tawar Tepung Bengkuang ... 41
3.7.3 Pengukuran Indeks Glikemik Roti Tawar Tepung Bengkuang ... 45
3.8 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 46
3.8.1 Metode Pengolahan Data ... 46
3.8.2 Metode Analisis Data ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 48
4.1 Karakteristik Subyek ... 48
4.2 Karakteristik Tepung Bengkuang yang Dihasilkan ... 49
4.3 Karakteristik Roti Tawar Bengkuang ... 49
4.4 Analisis Kandungan Zat Gizi pada Roti Tawar Bengkuang .... 50
4.5 Pengukuran Indeks Glikemik Roti Tawar Bengkuang ... 51
4.6.1 Penentuan Jumlah Porsi Pangan Uji ... 51
4.6.2 Pengukuran Indeks Glikemik ... 52
BAB V PEMBAHASAN ... 58
5.1 Kandungan Zat Gizi Pada Roti Tawar Bengkuang dengan 40% Tepung Bengkuang ... 58
5.2 Indeks Glikemik ... 61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 65
6.1 Kesimpulan ... 65
6.2 Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66 DAFTAR LAMPIRAN
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bengkuang dalam 100 g Bahan ... 12 Tabel 2.2 Syarat Mutu Roti Tawar ... 17 Tabel 2.3 Resep Dasar Roti Tawar ... 17 Tabel 2.4 Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber
karbohidrat ... 24 Tabel 4.1 Karakteristik Subyek ... 48 Tabel 4.2 Kandungan Air, Abu, Protein, Lemak, Serat Kasar dan
Karbohidrat pada Roti Tawar Bengkuang... 50 Tabel 4.3 Jumlah Pangan Uji Setara dengan 50gram Karbohidrat ... 51 Tabel 4.4 Perhitungan Luas Area Persegi Panjang Roti Tawar ... 55 Tabel 4.5 Perhitungan Luas Area Persegi Panjang Roti Tawar Bengkuang ... 56
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Umbi Bengkuang ... 9
Gambar 2.2 Kerangka Konsep... 32
Gambar 3.1 Proses Pembuatan Tepung Bengkuang yang Telah Dimodifikasi ... 38
Gambar 3.2 Pembuatan Roti Tawar Tepung Bengkuang yang Telah Dimodifikasi ... 40
Gambar 4.1 Tepung Bengkuang ... 49
Gambar 4.2 Roti Tawar Bengkuang ... 50
Gambar 4.3 Kurva Roti Tawar dan Roti Tawar Bengkuang ... 52
Gambar 4.4 Kurva Perhitungan Luas Area di Bawah Kurva Roti Tawar ... 54
Gambar 4.5 Kurva Perhitunngan Luas Area di Bawah Kurva Roti Tawar Bengkuang ... 56
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian ... 71 Lampiran 2 Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan ... 72 Lampiran 3 Formulir Informed Consent ... 73 Lampiran 4 Tabel Respons Glukosa Darah terhadap Roti Tawar dan
Roti Tawar Bengkuang ... 74 Lampiran 5 Surat Selesai Penelitian ... 75 Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian ... 76
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan suatu negara ditandai dengan kualitas sumber daya manusianya yang dicerminkan dari Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index. Indikator indeks pembangunan manusia meliputi 3 dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu dimensi kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup, dimensi pendidikan melalui penguasaan ilmu pengetahuan, dan dimensi ekonomi berdasarkan standar kehidupan yang layak. Berdasarkan BPS (2010), indeks pembangunan manusia di Indonesia menempati urutan 108 dari 169 negara. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara-negara lain.
Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia. Indonesia masih dihadapkan oleh permasalahan gizi ganda yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Disatu sisi permasalahan gizi kurang belum dapat diatasi namun sudah timbul permasalahan yang lain yaitu gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurangnya higiene sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sebaliknya, masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan (Almatsier, 2009).
Asupan makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi risiko penyakit degeneratif, terutama pada penderita atau orang dengan risiko penyakit diabetes mellitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain. Menurut WHO (2011) sekitar 3,4 juta orang meninggal akibat konsekuensi dari tingginya gula darah pada orang yang menderita diabetes mellitus dan lebih dari 80% kematian tersebut terjadi di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah (Djuwita, 2012 dalam Na’imah, 2013). Berdasarkan laporan Riskesdas (2013), prevalensi diabetes mellitus yang terdiagnosa dokter dengan gejala adalah 2,1% dari jumlah penduduk usia >15 tahun.
Salah satu pendekatan yang saat ini berkembang dan terkait dengan pengaturan pola makan terutama untuk mencegah obesitas dan penyakit diabetes mellitus adalah konsep indeks glikemik. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), konsep ini menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan kecepatan naiknya kadar glukosa darah setelah pangan tersebut dikonsumsi. Beberapa studi prospektif observasional menunjukkan bahwa diet konsumsi yang berkepanjangan dengan tinggi beban glikemik secara independen dapat mengembangkan penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga kanker.
Indeks glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan glukosa darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah (Foster-Powell 2002). Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara lain cara pengolahan,
3
perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti gizi- pangan (Rimbawan &
Siagan 2004).
Pemilihan jenis makanan dengan indeks glikemik rendah terbukti pada banyak penelitian sebagai proteksi terhadap timbulnya diabetes mellitus pada orang sehat serta pertimbangan dalam penyusunan diet penyandang diabetes mellitus. Diet dengan indeks glikemik yang rendah lebih baik dibandingkan dengan yang tinggi dalam hal pengontrolan glukosa darah dan dalam jangka panjang akan mengurangi komplikasi menahun (Argasasmita, 2008). Saat ini banyak orang non diabetes mellitus juga mengunakan indeks glikemik sebagai cara memilih makanan untuk dikonsumsi bagi kesehatan, penurunan berat badan, dan performa (Barclay et al, 2008 dalam Ningrum, 2011).
Umbi-umbian merupakan salah satu bahan pangan alternatif sumber karbohidrat yang berpotensi memiliki indeks glikemik rendah. Beberapa hasil penelitian yang difokuskan untuk meneliti indeks glikemik umbi-umbian, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2011) menyatakan bahwa umbi sukun kukus, sukun goreng, sukun rebus dan kukis sukun yaitu masing-masing memiliki nilai indeks glikemik sebesar 89, 82, 85 dan 80.
Menurut Lukitaningsih (2012) dalam Sundari (2014), umbi walur memiliki nilai indeks glikemik sangat rendah yaitu 16,9 kemudian diikuti umbi porang dengan nilai indeks glikemik sebesar 20,6 dan umbi gayong sebesar 20,8 sedangkan nilai indeks glikemik umbi uwi dan suweg masing-masing yaitu sebesar 23,1 dan 68,8.
Dari beberapa jenis umbi-umbian yang ada di Indonesia, umbi bengkuang masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit untuk industri bahan pangan.
Potensi gizi umbi bengkuang cukup baik, ini dapat dilihat pada setiap 100 gram bengkuang mengandung energi 55 kkal, protein 1,4 gr, lemak 0,2 gr, karbohidrat 12,8 gr, kalsium 15 mg, fosfor 18 mg, vitamin A 0 SI, vitamin B1 0,04 mg, vitamin C 20 mg dan zat besi 0,6 mg (Kurniawan, 2013 dalam Pratiwi, 2015)
Kadar energinya yang cukup rendah (55 kkal/100 gr) memungkinkan bengkuang untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan yang baik bagi pelaksana diet rendah kalori dan penderita diabetes mellitus. Serta rasa manis pada umbi bengkuang berasal dari suatu oligosakarida yang disebut dengan inulin.
Kandungan vitamin C pada umbi bengkuang juga tinggi yaitu sebesar 20mg/100gram yang sangat berperan sebagai antioksidan yang bermanfaat untuk menangkal serangan radikal bebas penyebab kanker dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, dan stroke.
Pemanfaatan bengkuang dengan basis teknologi yang telah ada yakni bengkuang telah diproses dalam bentuk tepung bengkuang. Menurut hasil penelitian Damayanti (2010) menghasilkan tepung bengkuang dengan kadar air 12.8640%, kadar vitamin C 39.8795 mg/100gr, kadar serat kasar 11.7798%, rendemen 14.8300%, kadar inulin 14.8240%, kadar pati 43.2867%. Berbagai macam makanan produk dari tepung bengkuang yang telah dilakukan diantaranya pembuatan brownies oleh Pratiwi (2015), dan juga tepung bengkuang dikembangkan menjadi tambahan pada pembuatan flakes talas oleh Paramita
5
(2015). Namun dalam penelitian-penelitian yang terdahulu tidak ada yang meneliti tentang indeks glikemik produk masing-masing.
Dewasa ini masyarakat makin banyak mengonsumsi roti sebagai salah satu makanan pokok contohnya saja roti tawar. Produk roti tawar dari tepung terigu dikenal sebagai produk pangan yang tinggi indeks glikemik. Dengan nilai indeks glikemik yang tinggi pangan tersebut dicerna sangat cepat oleh tubuh yang pada akhirnya menghasilkan lebih banyak insulin dan memicu kenaikan gula darah secara drastis. Hal inilah yang memicu naiknya kadar gula darah yang bisa mengarahkan pada risiko penyakit berbahaya seperti diabetes mellitus, dan obesitas. Roti tawar dengan bahan baku non terigu maupun substitusi sebagian bahan baku tepung terigunya dengan komoditi lain bisa menjadi alternatif untuk menurunkan nilai indeks glikemik dan dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes mellitus dan obesitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Arlene (2009) mengganti tepung terigu dengan tepung singkong dan tepung kedelai serta menambahkan 15% gluten dalam pembuatannya. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan Widodo et al (2014) pembuatan roti tawar dengan menggunakan penambahan tepung suweg 10% mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan dengan perbandingan yang lain dan memiliki beban glikemik sebesar 33,03.
Bahan baku tambahan yang dapat digunakan dalam pembuatan roti tawar ini adalah tepung bengkuang. Menurut data produksi tahun 2005-2007, produksi bengkuang rata-rata sekitar 192 kuintal/hektar di Padang dan sekitar 5,020-7,030 ton pertahun di Kebumen (Winarto, 2009 dalam Panggabean, 2013). Salah satu daerah yang potensial bengkuang di Sumatera Utara adalah kota Binjai
menghasilkan sebanyak 7-7,5 ton/ha (Badan SDM Pertanian Binjai, 2011 dalam Hilman, 2012). Bengkuang di Indonesia hanya diolah menjadi rujak, asinan dan isian tekwan serta diolah untuk bahan kecantikan. Namun, bengkuang dapat diolah menjadi tepung dan dimanfaatkan sebagai bahan baku tambahan roti tawar yang memungkinkan nilai indeks glikemiknya lebih rendah dibandingkan dengan roti tawar yang berbahan baku tepung terigu karena kandungan inulin yang ada pada tepung bengkuang sebesar 14.8240%. Inulin merupakan karbohidrat golongan fruktan. Fruktan memiliki efek glikemik yang lebih rendah dibanding fruktosa, sehingga direkomendasikan untuk digunakan sebagai pemanis bagi penderita diabetes. Fruktan ditansportasikan lebih lambat dari fruktosa di saluran pencernaan bagian atas (Rumessen J.Jet al, 1990 dalam Handayani 2014). Selain itu, inulin berfungsi sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh mikroflora kolon (usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses pencernaan (Rimbawan, 2013). Menurut Nishimune, dkk (1991) dalam Rimbawan dan Siagian (2004) menemukan bahwa serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara bermakna.
Berdasarkan percobaan yang peneliti lakukan sebelumnya dalam membuat roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang ditemukan formulasi penambahan tepung bengkuang sebesar 40% dari berat total bahan yang digunakan serta tampilannya juga hampir menyerupai roti tawar standar tanpa penambahan tepung bengkuang. Semakin banyak penambahan tepung bengkuang, tampilannya juga semakin tidak menyerupai roti tawar standar.
7
Pembuatan roti tawar dari tepung bengkuang diharapkan dapat menambah keanekaragaman pangan dan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan pangan impor seperti terigu sehingga dapat memperkuat ketahanan pangan nasional. Selain itu, dengan adanya roti tawar bengkuang ini dapat menjadi pangan fungsional untuk penderita diabetes mellitus dan obesitas.
Nilai indeks glikemik pada makanan dapat meningkat atau menurun sesuai dengan cara pengolahan. Menurut penelitian Sundari (2014), talas belitung memiliki indeks glikemik rendah (IG=50) namun, ketika diolah menjadi cookies dengan acuan roti tawar nilai indeks glikemiknya meningkat menjadi 79,9%.
Perbedaan nilai indeks glikemik pada satu bahan pangan juga dapat terjadi karena perbedaan metode pengujian yang dilakukan. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh varietas tanaman sumber pangan, pengolahan (misalnya penggilingan dan pemanasan), dan pemilihan pangan acuan (roti atau glukosa) (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia. Namun, kajian mengenai nilai indeks glikemik dari olahan pangan lokal alternatif sumber karbohidrat seperti umbi bengkuang masih terbatas.
1.2 Rumusan Masalah
Roti tawar berbahan baku tepung terigu memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi. Penambahan tepung bengkuang menjadi salah satu bahan baku dalam pembuatan roti tawar dimungkinkan dapat menurutkan nilai indeks glikemik.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai indeks glikemik roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang sebesar 40%.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui nilai indeks glikemik bahan pangan olahan roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui kandungan karbohidrat, kadar abu, kadar air, kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar protein dengan penambahan tepung bengkuang (Pachyrhizus erosus)
1.4 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi mengenai nilai indeks glikemik yang terkandung dalam bahan pangan olahan roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang.
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bengkuang
Bengkuang (Pachyrhizus erosus) dikenal dari umbi (cormus) putihnya yang bisa dimakan sebagai komponen rujak dan asinan atau dijadikan masker untuk menyegarkan wajah dan memutihkan kulit. Tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis ini termasuk dalam suku polong-polongan atau Fabaceae. Di tempat asalnya, tumbuhan ini dikenal sebagai xicama atau jícama. Orang Jawa menyebutnya sebagai besusu.
Menurut Van Steenis (2005) dalam Hilman (2012), klasifikasi tanaman bengkuang adalah :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae Genus : Pachyrhizus
Spesies : Pachyrhizus erosusL. Urban
Gambar 2.1 Umbi Bengkuang
Tanaman ini memiliki panjang 2 – 6 m, bentuk daun majemuk, dengan 3 selebaran per daun, banyak bunga dansekali berbunga memiliki panjang hingga 55 cm. Bunga dari jenis polong-polongan ini memiliki kelopak biru atau putih buah legum, dengan panjang 6 – 13 cm dan lebar 8 – 17 mm serta berbulu ketika muda.
Bentuk benih pipih, bulat atau persegi, berwarna cokelat, hijau atau kemerahan.
Ukuran umbi bervariasi sesuai dengan kondisi pertumbuhan (Chooi, 2008 dalam Hilman, 2012).
Walaupun umbinya dapat dimakan, namun bagian bengkuang yang lain seperti biji sangat beracun karena mengandung rotenon, sejenis tuba. Racun ini sering dipakai untuk membunuh serangga atau menangkap ikan. Biji bengkuang yang telah masak kaya akan lipid yaitu lebih kurang 30%, namun tidak dapat dimakan karena mengandung isoflavonoid yang tinggi yaitu rotenon, isoflavanon dan furano-3-fenil kumarin yang sangat beracun bagi manusia (Hilman, 2012).
Apabila senyawa-senyawa beracun tersebut dikeluarkan maka minyak biji bengkuang sebanding dengan kacang tanah yang memiliki komposisi asam palmitat 26,7%, asam stearat 5,7%, asam oleat 33,4% dan asam linoleat 34,2%.
Umbi bengkuang tidak tahan terhadap suhu rendah, sehingga mudah mengalami kerusakan. Karena itulah, umbi sebaiknya disimpan pada tempat kering bersuhu maksimal 16oC. Umbi bengkuang dapat bertahan sekitar dua bulan dengan penyimpanan pada kelembapan dan suhu yang sesuai (Astawan, 2009).
11
2.2 Kandungan Gizi dan Manfaat Bengkuang
Bagian umbi merupakan bagian yang dikonsumsi dari tanaman bengkuang yang mengandung gula, pati dan oligosakarida yang dikenal dengan nama inulin.
Inulin berfungsi sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh mikroflora kolon (usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses pencernaan (Rimbawan, 2013). Inulin bukan hanya serat pangan prebiotik, tapi juga karbohidrat rendah kalori, yaitu 1,5 kkal/gram. Inulin melewati mulut, lambung, dan usus halus tanpa dimetabolisme, sehingga cocok dikonsumsi penderita diabetes (Roberfroid MB, 2005 ; Niness, KR, 1999 dalam Handayani, 2014).
Serat dan inulin dapat memperbaiki kadar glukosa darah karena sama- sama berperan sebagai prebiotik dimana tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh akan tetapi dapat difermentasi oleh usus besar, sehingga waktu transit makanan lebih pendek dan membuat rasa kenyang yang dirasakan lebih lama dan juga serat dan inulin dapat mengikat karbohidrat, sehingga tubuh lambat menghasilkan glukosa darah. Atau bisa juga karena stimulasi hormon inkretin. Hormon inkretin adalah suatu zat yang punya aktivitas humoral yang dihasilkan di usus atas pengaruh makanan salah satu jenis inkretin adalah glucagon-like peptida-1 (GLP- 1), yang disekresi oleh sel L endokrin di mukosa sekum dan kolon. Hormon GLP- 1 berperan penting dalam stimulasi sel βpankreas untuk menghasilkan insulin dan secara langsung menghambat sekresi glukagon, sehingga terjadi penurunan kadar
glukosa darah. Asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) juga berperan dalam peningkatan kadar GLP-1. Komponen SCFA dapat disintesis dari fermentasi komponen karbohidrat tanaman yang tidak dapat dicerna, salah satunya adalah serat dan inulin yang berperan sebagai prebiotik yang terdapat pada umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus) (Anonim, 2011).
Menurut Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992) komposisi bengkuang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bengkuang dalam 100 g Bahan
Komposisi Jumlah
Energi (kkal) 55,00
Protein(g) 1,40
Lemak (g) 0,20
Karbohidrat (g) 12,80
Kalsium (mg) 15,00
Fosfor (mg) 18,00
Besi (mg) 0,60
Vitamin C (mg) 20,00
Vitamin B1 (mg) 0,04
Vitamin A (IU) 0,00
Air (g) 85,10
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992)
Komposisi kimia yang seperti itu memungkinkan umbi bengkuang digunakan sebagai obat, baik obat luar maupun obat dalam. Untuk obat luar, bengkuang dijadikan masker wajah yang memberikan kesegaran pada kulit wajah.
Untuk obat dalam, bengkuang dapat menngatasi penyakit diabetes mellitus, demam, eksim, sariawan dan wasir.
Bengkuang baik dikonsumsi oleh penderita hiperglikemia. Dengan kandungan air yang sangat besar, mengkonsumsi bengkuang akan memberi perasaan kenyang, tapi tidak memberikan sumbangan kalori dimana kandungan kalori pada bengkuang 55 kkal dan tidak berpotensi untuk meningkatkan indeks
13
glikemik. Kandungan air dalam bengkuang sangat baik untuk mempercepat proses pencernaan makanan. Pencernaan yang lancar akan mengurangi penyerapan gula yang harus dihindari oleh penderita hiperglikemia (Hilman, 2012).
Kandungan vitamin C yang cukup tinggi, memungkinkan bengkuang digunakan sebagai sumber antioksidan yang potensial untuk menangkal atau menetralisir serangan radikal bebas yang cenderung meningkat dalam tubuh akibat hiperglikemia (stres oksidatif) sehingga dapat menghambat terjadinya peroksidasi lipid, mencegah penurunan kadar asam askorbat dalam testis dan mencegah penurunan kualitas spermatozoa (Hafiz, 2006 dalam Fithroh dan Sukarjati, 2013).
Umbi bengkuang mengandung isoflavon yang dapat berperan sebagai antioksidan sehingga berguna untuk mencegah kerusakan oksidatif dan membantu penyerapan kalsium lebih kuat ke dalam tulang, sehingga tidak terjadi pengkeroposan tulang atau osteoporosis. Bengkuang merupakan salah satu makanan yang mengandung fitoestrogen, sehingga baik untuk dikonsumsi bagi mereka yang sudah memasuki masa menopause, yang berarti dapat mempertahankan kualitas hidup di usia tua (Lubis, 2012).
2.3 Tepung Bengkuang
Pemanfaatan bengkuang masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit untuk industri bahan pangan. Umur simpan bengkuang yang terbatas juga menjadi kendala dalam pengolahannya. Penyimpanan bengkuang yang terlalu lama menyebabkan umbinya berserat (Anonim, 2009 dalam Damayanti, 2010).
Untuk memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai jual, umbi bengkuang dapat diolah menjadi tepung bengkuang.Tepung memiliki keuntungan yaitu lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), mudah diperkaya dengan zat gizi (difortifikasi), mudah dibentuk, dimasak, dikreasikan dan praktis, mudah diolah menjadi aneka macam olahan, mulai dari olahan tradisional/khas daerah hingga modern, sehingga nilai ekonomisnya semakin meningkat dan diterima masyarakat luas, lebih mudah dalam distribusi dan menghemat ruangan dan biaya penyimpanan dapat menciptakan peluang usaha baru.
Pembuatan tepung bengkuang berdasarkan metode yang dilakukan Dewi (2012) bengkuang dibersihkan dari kotorannya dengan cara dikupas dan dibelah kemudian dicuci hingga bersih. Setelah bengkuang bersih, kemudian dilakukan pengecilan ukuran dengan menggunakan slicer dengan ketebalan ± 1 mm. Setelah itu, di blanching selama 1 menit kemudian dimasukkan ke dalam oven padasuhu 60oC selama 16 jam. Setelah pengeringan bengkuang dikecilkan bengkuang dengan cara digiling dan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh.
Terdapat cara lain dalam pembuatan tepung bengkuang, yang berbeda hanya pada proses perendaman bengkuang dengan natrium metabisulfat 3000 ppm selama 30 menit dan menghasilkan tepung dengan derajat putih 85,98%
(Damayanti, 2010). Selain itu, terdapat modifikasi pembuatan tepung bengkuang Heat Moisture Treatment (HMT) (dengan metode Siwi, 2013 dalam Pangesti et al., 2014 dengan modifikasi pada bahan baku dan suhu HMT) tepung bengkuang yang telah mencapai kadar air 30% selanjutnya ditempatkan petridish dalam keadaan tertutup dan dilapisi alumunium foil. Tepung bengkuang didiamkan
15
dalam refrigerator pada suhu 4-5oC selama satu malam untuk penyeragaman kadar air. Petridish yang berisi tepung bengkuang basah dipanaskan dalam oven bersuhu 80oC, 90oC, 100oC dan 110oC selaam 3 jam. Setelah didinginkan, tepung bengkuang termodifikasi kembali ditempatkan dalam loyang tanpa tutup dan dikeringkan dalam oven selama 5 jam pada suhu 50oC. Tepung yang dihasilkan dilihat dari karakteristik fisik dan fisikokimia mengalami penurunan dibandingkan dengan proses pembuatan tepung bengkuang secara Heat Moisture Treatment (HMT).
Kelebihan dari tepung bengkuang ini dibandingkan dengan tepung terigu adalah kandungan inulin yang terdapat pada tepung bengkuang dengan kadar 14,8240 %. Dimana inulin ini merupakan komponen dalam serat pangan terlarut yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan melainkan oleh bakteri yang ada di usus besar. Menurut Nishimune, dkk (1991) dalam Rimbawan dan Siagian (2004) menemukan bahwa serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara bermakna. Inulin memiliki banyak kegunaan diantaranya digunakan sebagai prebiotik yang bermanfaat bagi kesehatan di dalam usus dengan menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan kekebalan tubuh, melancarkan pencernaan, mengurangi konstipasi, mengurangi resiko kanker usus, serta mengatur konsentrasi hormon insulin dan glukagon (Lestari, 2013)
Inulin merupakan karbohidrat golongan fruktan. Fruktan memiliki efek glikemik yang lebih rendah dibanding fruktosa, sehingga direkomendasikan untuk digunakan sebagai pemanis bagi penderita diabetes. Penelitian menyebutkan
bahwa penambahan inulin ke dalam makanan dapat menurunkan respons glikemik darah. Inulin dapat mengontrol kadar glukosa serum dengan mengurangi kenaikan glukosa serum setelah mengonsumsi makanan dan menunda masuknya glukosa ke darah, serta memperlambat pengosongan lambung dan/atau mempersingkat waktu transit di usus halus dimana hal ini dapat menunda absorpsi karbohidrat, sehingga berefek pada respons insulin dan glikemik postprandial yang lebih rendah. Penelitian lain menunjukkan, penambahan fruktan pada roti gandum menyebabkan kadar glukosa dan insulin serta area di bawah kurva kadar glukosa darah yang lebih rendah dibanding dengan pemberian sukrosa (Dehghan Pet al, 2013 ; RianyYE, 2006 dalam Handayani 2014).
2.4 Roti Tawar Bengkuang
Roti adalah produk makanan yang terbuat dari fermentasi tepung terigu dengan ragi atau bahan pengembang lainnya. Secara umum roti terdiri dari dua macam, yaitu roti tawar dan roti manis, perbedaanya terletak pada penggunaan gula, biasanya roti tawar menggunakan gula di bawah 10% sedangkan roti manis menggunakan gula diatas 20% (Santoni, 2009 dalam Nur’aini 2011).
Roti tawar adalah roti yang dibuat dari tepung terigu berprotein tinggi, air,yeast, lemak dan garam yang difermentasi dengan ragi roti dan dipanggang (Mudjajanto, 2008 dalam Nur’aini 2011). Berdasarkan bahan pengembang yang digunakan roti tawar termasuk dalam yeast raised goods, yaitu adonan yang mengembang karena adanya karbondioksida yang dihasilkan dari proses
17
fermentasi gula oleh yeast. Roti tawar mempunyai rasa yang gurih agak asin, dan mempunyai bentuk khas.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01‐3840‐1995, Syarat Mutu Roti tawar dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel. 2.2Syarat Mutu Roti Tawar
Kriteria Uji Satuan Roti Tawar
Kenampakan - Normal, tidak berjamur
Bau - Normal
Rasa - Normal
Kadar Air %b/b Maksimal 40
Kadar Abu %b/b Maksimal 1
Kadar NaCl %b/b Maksimal 2,5
Serangga - Tidak boleh ada
Sumber : Standar Nasional Indonesia (1995).
Resep dasar pembuatan roti tawar menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004) adalah sebagai berikut:
Tabel. 2.3 Resep Dasar Roti Tawar
Jenis bahan Berat
Tepung terigu (gram) 1000
Gula pasir (gram) 60
Garam (gram) 20
Telur (butir) 1
Susu bubuk (gram) 100
Ragi (gram) 22
Mentega putih (gram) 600
Air (ml) 500
Air hangat (ml) 60
Sumber : Mudjajanto dan Yulianti (2004)
Proses pembuatan roti tawar tersebut pada dasarnya sama saja.
Perbedaannya, hanya pada bahan utamanya yang menggunakan tepung bengkuang. Secara garis besar bahan-bahan untuk pembuatan roti tawar bengkuang meliputi:
1. Tepung Bengkuang
2. Tepung Terigu berprotein tinggi 3. Yeast/ ragi roti
Ragi berfungsi memfermentasi adonan sehingga adonan dapat mengembang dan terbentuk serat atau pori roti.Ada 3 jenis ragi yang umum dikenal, yaitu ragi tapai berbentuk bulat pipih berwarna putih, ragi roti berbentuk butiran, dan ragi tempe berbentuk bubuk. Selain itu menurut Mahsun (2010) dalam Nur’aini (2011) yeast juga berfungsi untuk memberikan aroma yang baik pada produk, mematangkan dan mengempukan gluten dalam adonan sehingga gluten mampu menahan gas.
4. Air
Air berfungsi sebagai media glutein dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat kenyal glutein. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH 6–9.
Makin tinggi pH air maka roti yang dihasilkan baik karena absorbsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2006 dalam Gulo, 2008).
5. Shortening
Shortening adalah lemak padat yang memiliki sifat plastis dan kestabilan tertentu, umumnya berwarna putih sehingga sering disebut mentega putih.
Mentega berfungsi sebagai pelumas untuk memperbaiki remah roti, memperbaiki sifat pemotongan roti, memberikan kulit roti lebih lunak, dan dapat menahan air sehingga shelf life lebih lama. Selain itu lemak juga bergizi, memberikan rasa
19
lezat, mengempukkan, dan membantu pengembangan susunan fisik roti (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
6. Gula
Sangat sedikit roti yang dibuat tanpa pemakaian gula. Pada umumnya gula dipakai untuk memberikan rasa manis pada produk, namun mempengaruhi tekstur dan kenampakan. Gula sangat penting peranannya dalam pembuatan roti, diantaranya sebagai makanan ragi, memberi rasa, mengatur fermentasi, memperpanjang umur roti, menambah kandungan gizi, membuat tekstur roti menjadi lebih empuk, memberikan daya pembasahan pada roti dan memberikan warna cokelat yang menarik pada roti (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
7. Garam
Garam membuat proses fermentasi ragi dapat dikontrol. Jika tidak ada garam, fermentasi berjalan lebih cepat dan gula habis “dimakan” ragi. Akibatnya warna kulit roti menjadi pucat dan berkerut karena tidak ada gula. Selain itu fungsi garam dalam pembuatan roti adalah penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahan-bahan lainnya, pengontrol waktu fermentasi dari adonan beragi, penambahan kekuatan gluten. Syarat garam yang baik dalam pembuatan roti adalah harus 100% larut dalam air, jernih, bebas dari gumpalan-gumpalan dan bebas dari rasa pahit (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
8. Telur
Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004) telur berfungsi sebagai pengembang, pembentuk warna, perbaikan rasa, dan penambah nilai gizi. Jika telur tidak digunakan dalam adonan maka adonan harus ditambahkan cairan
walaupun hasilnya kurang lunak. Roti yang lunak dapat diperoleh dengan penggunaan kuning telur yang lebih banyak. Kuning telur banyak mengandung lesitin (emulsifier). Bentuknya padat, tetapi kadar airnya sekitar 50%. Sementara putih telur, kadar airnya 86%. Putih telur mempunyai sifat creaming yang lebih baik dibandingkan kuning telur.
Peranan utama telur atau protein dalam pengolahan pada umumnya adalah memberikan fasilitas terjadinya koagulasi, pembentukan gel, emulsi dan pembentukan struktur.
9. Susu
Pada pembuatan roti, untuk tepung jenis lunak (soft) atau berprotein rendah, penambahan susu lebih banyak dibandingkan tepung jenis keras (hard)atau berprotein tinggi. Penambahan susu sebaiknya berupa susu padat.
Alasannya, susu padat menambah penyerapan (absorpsi) air dan memperkuat adonan. Bahan padat bukan lemak (BPBL) pada susu padat tersebut berfungsi sebagai bahan penyegar protein tepung sehingga volume roti bertambah (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
Tahapan pembuatan roti tawar menurut Mudjajanto dan Yulianto (2004), yaitu:
1. Pencampuran/mixing
Pencampuran bahan dilakukan supaya semua bahan homogen.
Pencampuran bahan dianggap selesai bila adonan sudah menjadi kalis (lembut, elastis, dan resisten terhadap peregangan/tidak mudah sobek), yaitu pencapaian pengadukan yang maksimum. Pada kondisi tersebut gluten baru terbentuk secara
21
maksimal, sehingga kapasitas gluten sebagai penahan gas juga maksimal. Waktu mixing umumnya selama 8–10 menit atau 10–12menit dengan mixer roti (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
2. Peragian
Tahap peragian sangat penting untuk pembentukan rasa dan volume. Suhu ruangan 35oC dan kelembaban udara 75% merupakan kondisi yang ideal dalam proses fermentasi adonan roti. Semakin panas suhu ruangan maka semakin cepat proses fermentasi dalam adonan roti.
3. Pembentukan adonan
Tahap pembentukan adonan dilakukan dengan cara adonan yang telah diistrahatkan digiling pakai roll pin, kemudian digulung. Adonan yang sudah digulung dimasukkan ke dalam cetakan dengan cara bagian lipatan diletakkan di bawah agar lipatan tidak lepas yang mengakibatkan bentuk roti tidak baik.
Kemudian roti diistirahatkan sebentar sebelum dimasukkan ke dalam oven.
4. Pemanggangan (baking)
Roti dipanggang atau dibakar dalam oven hingga matang dan kulit berwarna kuning kecoklatan. Untuk roti ukuran kecil diperlukan suhu sekitar 180oC selama 12–15 menit. Untuk ukuran roti yang lebih besar, seperti roti tawar, diperlukan suhu 220oC selama 20 -25 menit. Untuk roti yang menggunakan gula banyak waktu pemangganggannya lebih singkat karena gula yang tinggi membuat adonan lebih cepat berwarna kecoklatan.
2.5 Indeks Glikemik
Konsep indeks glikemik pertama kali dikembangkan pada tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada.
Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar gula darah. Jenkins adalah peneliti yang pertama mempertanyakan hal ini dan menyelidiki bagaimana sebenarnya pangan bekerja di dalam tubuh (Rimbawan & Siagan 2004).
Menurut FAO (1998), indeks glikemik didefinisikan sebagai luas area di bawah kurva respon glukosa darah dari 50g karbohidrat dari makanan uji yang dinyatakan sebagai persen terhadap 50g karbohidrat dari makanan standar yang diambil dari subyek yang sama. Indeks glikemik merupakan respons kadar gula darah setelah makan (postprandial) dibandingkan dengan karbohidrat acuan dengan jumlah yang setara. Nilai indeks glikemik dikembangkan untuk membantu mengatur kadar glukosa darah penyandang diabetes (Jenskin et al.
2002 dalam Rimbawan & Siagian 2004).
Nilai indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva respons glikemik pangan uji dengan luas area dibawah kurva respons glikemik pangan acuan. Kurva respons glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran kadar glukosa darah subyek setelah makan dengan interval 30 menit. Kurva akan menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat tubuh merespon dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan (Whitney et al., 1990 dalam Waspadji et al., 2003).
23
Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet. Indeks glikemik membolehkan penderita diabetes memilih jenis karbohidrat yang tepat untuk mengendalikan gula darahnya sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman (Rimbawan dan Siagian, 2004). Selain itu, indeks glikemik juga dapat membantu orang yang sedang berusaha menurunkan berat tubuh dengan cara memilih makanan yang cepat mengenyangkan dan tahan lama. Serta indeks glikemik membantu seorang atlet memilih makanan yang tepat untuk menunjang penampilan menurut jenis olahraga yang ditekuninya (Miller et al., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).
Menurut Miller et al. (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), berdasarkan pengaruh glikemiknya, pangan dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu kategori pangan IG rendah (IG<55), IG sedang (IG = 55-70), dan IG tinggi (IG>70).Menurut Poet (2008) dalam Syadiah (2010), menyebutkan bahwa pangan yang memiliki indeks glikemik rendah berada pada kebanyakan buah- buahan dan sayuran (kecuali kentang, semangka), roti, pasta, polong-polongan, susu, produk sangat rendah karbohidrat (ikan, telur, daging, kacang-kacangan, minyak). Pangan yang memiliki indeks glikemik sedang berada pada seluruh produk gandum, beras lunak, jeruk, ubi jalar, nasi putih. Pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi berada pada corn flakes, baked potato, croissant, semangka, roti putih, glukosa (100). Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat disajikan dalam Tabel 2.4
Tabel 2.4Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat
Peneliti Jenis Produk Olahan Nilai Indeks
Glikemik Tahun
Waspadji et al Singkong Rebus 94,46 2003
Ningrum Sponge Cake Sukun 59,70 2011
Rakhmawati et al Sukun Goreng 82,00 2011
Rakhmawati et al Sukun Rebus 85,00 2011
Rakhmawati et al Sukun Kukus 89,00 2011
Hasan et al Tiwul Garut 40,00 2011
Hasan et al Tiwul Singkong 29,00 2011
Hasan et al Oyek Singkong 30,00 2011
Hasan et al Oyek Garut 41,00 2011
Septiyani Tiwul Konvensional 94,74 2012
Septiyani Tiwul Instan Komersial 96,91 2012 Septiyani Tiwul Instan Tinggi
Protein 71,92 2012
Larasati Snack Bar Beras Hitam 42,20 2013
Larasati Snack Bar Beras Merah 53,81 2013
Larasati Snack Bar Beras Coklat 68,50 2013
Rimbawan Gembili Rebus 85,56 2013
Rimbawan Gembili Goreng 83,61 2013
2.5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik
Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki indeks glikemik berbeda bila diolah atau dimasak dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengujian yang dilakukan dan juga karakter fisik dan kimia dari makanan. Dua makanan yang sama mungkin memiliki bahan yang berbeda atau mungkin telah diproses dengan metode yang berbeda, sehingga terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah karbohidrat dan nilai indeks glikemiknya. Dua merek yang berbeda dari jenis yang sama dari makanan, seperti kue polos, mungkin rasanya terlihat hampir sama, tapi perbedaan jenis tepung yang digunakan, kadar air, dan waktu memasak dapat mengakibatkan perbedaan derajat pati gelatinisasi dan akibatnya nilai indeks glikemiknya berbeda.
25
Perbedaan dalam metode pengujian meliputi penggunaan berbagai jenis sampel darah (kapiler atau vena), periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagian- bagian yang berbeda dari makanan (50 g dari total bukan dari karbohidrat yang tersedia) (Foster-Powellet al., 2002).
Menurut Waspadjiet al.(2002), beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara memasak jenis tepung, kandungan serat, dan efek anti enzim pencernaan mempengaruhi respons glikemik suatu makanan, artinya setiap makanan yang disantap akan menimbulkan peningkatan kadar glukosa darah yang berbeda-beda.
Lemak dan protein juga mempengaruhi pencernaan hingga respons peningkatan kadar glukosa akan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis makanan akan menimbulkan respon yang berbeda meskipun mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sama.
Berbagai faktor dapat menyebabkan perbedaan indeks glikemik pangan yang satu dengan pangan yang lain. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), beberapa faktor yang memengaruhi indeks glikemik pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-gizi pangan.
a. Proses Pengolahan
Pada zaman dahulu, nenek moyang mengonsumsi karbohidrat dalam bentuk kacang-kacangan, sayuran dan serelia yang diolah dengan teknik yang sederhana seperti ditumbuk serta tanpa ada bahan tambahan pangan yang lain.
Sedangkan pada zaman sekarang teknik pengolahan pangan menjadi pangan
tersedia dalam bentuk, ukuran dan rasa yang lebih enak. Proses penggilingan merupakan salah satu teknik pengolahan yang membuat struktur pangan menjadi lebih halus sehingga pangan menjadi lebih cepat diserap dan dicerna dan mengakibatkan cepatnya timbul rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan diserap menaikkan kadar gula darah dengan cepat. Peningkatan kadar gula darah yang cepat ini “memaksa” pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak.
Oleh karena itu, kadar gula darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin (Ostman et al., 2001 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).
Pengolahan bengkuang menjadi tepung dengan pemanasan suhu tinggi menyebabkan molekul granula pati tersusun menjadi lebih rapat sehingga kemampuan membengkak menjadi lebih terbatas karena adanya pembatasan masuknya air ke dalam pati (Pangesti, 2014). Pati dalam makanan mentah berada dalam bentuk granula (butiran kecil) dan ketika dilakukan pemanasan atau pemasakan sebagian besar granula mengembang. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim.
Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat sehingga memiliki indeks glikemik tinggi (Rimbawan dan Siagian, 2004).
b. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Terdapat dua bentuk pati di dalam pangan yaitu amilosa dan amilopektin.
Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Sedangkan amilopektin adalah polimer gula sederhana bercabang memiliki ukuran molekul
27
lebih besar dan terbuka sehingga lebih mudah dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki indeks glikemik tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi dan mudah dicerna. Menurut Pangesti (2014) dalam proses pembuatan tepung bengkuang mengalami gelatinisasi pada suhu 70oC dan tepung bengkuang termodifikasi mengalami gelatinisasi pada suhu 93,7oC-94,1oC. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti, 2008).
c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan
Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik pangan. Gula meja (Sukrosa) memiliki indeks glikemik 65 (Sedang) yang dibentuk oleh satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa diserap langsung ke dalam hati dan diubah secara perlahan menjadi glukosa sehingga respon gula darah terhadap fruktosa murni sangat kecil (IG=23). Hal ini mengakibatkan respon gula darah terhadap 50 g gula meja sekitar setengah dari responnya terhadap pati yang tergelatinisasi penuh (hampir seluruh molekulnya adalah glukosa) (Miller et al., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).
Bengkuang mengandung inulinyang merupakan suatu polisakarida yang dibangunoleh unit-unit monosakarida fruktosa melalui ikatan β-2-1 fruktofuransida yang diawali oleh suatu molekul glukosa (Lunggani dkk, 2010).
Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami terdapat dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai proporsi, terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun strukturnya.
d. Kadar Serat Pangan
Pengaruh serat pada indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Hal ini mengakibatkan proses pencernaan menjadi lambat sehingga respon gula darah lebih rendah.
Keberadaan serat pada pangan ternyata sangat memberikan pengaruh pada kenaikan kadar gula dalam darah (Fernandes et al., 2005 dalam Septiyani, 2012).
Menurut Damayanti (2010) pada tepung bengkuang 100g mengandung 11,7798% serat kasar. Tidak ada definisi tunggal yang berlaku terhadap serat makanan (dietary fiber). Berdasarkan deskripsi fisiologis, serat makanan didefinisikan sebagai komponen dalam tanaman yang tidak terdegradasi secara enzimatis menjadi sub-unit yang dapat diserap oleh lambung dan usus halus (Trowell et al, 1976; Ha et al, 2000 dalam Ribawan dan Siagian, 2004). Seperti halnya inulin yang terkandung pada tepung bengkuang, dimana inulin berfungsi
29
sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh mikroflora kolon (usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses pencernaan (Rimbawan, 2013).
e. Kadar Lemak dan Protein Pangan
Pangan dengan kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Pangan dengan kandungan lemak tinggi cenderung memiliki indeks glikemik lebih rendah dibandingkan dengan jenis pangan yang sejenis berkadar lemak rendah. Bengkuang memiliki kandungan protein dan lemak yang rendah yaitu 1,4g dan 0,2g (Kurniawan, 2013 dalam Pratiwi, 2015). Manusia memerlukan makanan berkadar lemak rendah, bukan berkadar lemak tinggi Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan berindeks glikemik rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana (Rimbawan dan Siagian, 2004).
f. Kadar Anti-Gizi Pangan
Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat yang berpotensi menyebabkan efek merugikan terhadap status gizi disebut anti-gizi. Zat anti-gizi pada biji-bijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, indeks glikemik pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).
2.5.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan
Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan pada pengukuran indeks glikemik, seperti metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subyek dan perhitungan IAUC (Simila, 2012 dalam Sundari 2014)
Menurut FAO (1998), pengambilan sampel darah yang direkomendasikan untuk mengukur indeks glikemik adalah pengambilan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan pembuluh kapiler yang mudah didapatkan. Pangan acuan yang digunakan adalah roti putih atau glukosa murni dan porsi pangan acuan ataupun pangan uji harus mengandung 50g karbohidrat yang sebelumnya dilakukan pengujian karbohidrat pada pangan. Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam pengukuran indeks glikemik dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subyek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respons glukosa darah dari hari ke hari. Untuk mendapatkan respons rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan penngukuran indeks glikemik pangan acuan secara berulang untuk setiap subyek.
Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data indeks glikemik, area dibawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di bawah kurva respons glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan
31
menerapkan aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), luas daerah di bawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon glikemik, tidak hanya satu titik yang diberikan oleh puncak respons glukosa darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area di bawah kurva sebagai angka yang menggambarkan respons glukosa darah secara benar.
Menurut Monro dan Shaw (2008) dalam Sundari (2014), pengukuran nilai indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
= ( )
Dimana ⁄ = ⁄ dengan demikian,
Keterangan:
IG : Indeks Glikemik
IAUC food : Luas area di bawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji
IAUC glucose : Luas area di bawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni (pangan acuan)
Wt : Berat (g)
Menurut Miller, et al (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai beikut:
a. Pangan tunggal yang akan ditentukan indeks glikemiknya (mengandung 50 gram karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya)
b. Selama 2 jam pasca-pemberian (atau 3 jam bila relawan menderita diabetes), sampel darah sebanyak 50µL – finger-prick capillary blood samples method- diambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua yaitu berturut-turut pada menit ke 0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent.
c. Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50g glukosa murni atau white bread) diberikan kepada relawan. Hal ini dilakukan sebanyak 2 kali (dilakukan pada hari lain, minimal 3 hari setelah perlakuan pertama) untuk mengurangi efek keragaman respons gula darah dari hari ke hari
d. Kadar gula darah ( pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu waktu (x) dan sumbu kadar glukosa darah (y)
e. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan.
2.6 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Roti Tawar berbahan baku tepung bengkuang (Pachyrhizus erosus) - Kandungan Gizi (Air, Abu, Lemak,
Protein, Serat kasar, dan Karbohidrat) - Nilai Indeks Glikemik
Roti Tawar Bengkuang (Pachyrhizus erosus)
33
Berdasarkan kerangka konsep diatas, tepung bengkuang akan diolah menjadi roti tawar dengan penambahan 40% tepung bengkuang (Pachyrhizus erosus). Roti tawar bengkuang yang akan diukur indeks glikemiknya terlebih dahulu dianalisis profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan kandungan karbohidrat. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya, relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan roti tawar bengkuang yang mengandung 50g karbohidrat kemudian diukur nilai indeks glikemiknya dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan pangan acuan.
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pembuatan tepung, roti tawar bengkuang dan pemberian pangan uji dan pangan acuan serta pengambilan darah subyek dengan memberikan perlukaan kecil di permukaan kulit dengan menggunakan lancet (alat penusuk) khusus untuk dilihat kadar glukosa darahnya dengan menggunakan alat Easy Touch® GCU dilakukan di Laboratorium Gizi FKM USU. Pengujian zat gizi dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2016-Juni 2016.
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian 3.3.1 Subyek Penelitian
Pemilihan subyek pada penelitian ini dengan metode purposive sampling.
Penarikan subyek dengan metode purposive dilakukan dengan alasan kemudahan dalam penelitian. Purposive sampling merupakan pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Subyek adalah laki- laki dan perempuan, berumur 18-30 tahun (Soh & Miller, 2006 dalam Septiyani, 2012), memiliki indeks massa tubuh normal antara 18,5-22,9 kg/m2(WHO Asia Pasifik, 2000 dalam Septiyani, 2012), mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
35
dalam keadaan sehat, tidak memiliki riwayat DM, tidak sedang mengalami gangguan pencernaan, tidak sedang menjalani pengobatan (Lee, 2009 dalam Septiyani, 2012). Jumlah subyek yang diperlukan sebanyak 8 orang (Siagian, 2006).
Subyek dalam penelitian ini mendapatkan penjelasan rinci mengenai penelitian, yaitu subyek diharuskan puasa ± 10 jam (kecuali air), sampel darah finger-prick capillary blood diambil pada menit ke 0 (saat subyek masih puasa dan sebelum diberikan pangan uji/acuan), kemudian subyek mengonsumsi pangan uji/acuan dan sampel darah subyek diambil. Subyek juga diminta untuk menandatangi formulir informed consent sebagai bukti bersedia menjadi subyek penelitian.
3.3.2 Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah roti tawar dengan pemanfaatan tepung bengkuang (Pachyrhizus erosus) 40%, sesuai dengan percobaan yang peneliti lakukan untuk melihat tampilan roti tawar yang paling baik.
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer
Data diri para subyek yang harus memenuhi persyaratan diperoleh dengan cara wawancara dan data kandungan gizi roti tawar bengkuang.
3.4.2 Data Sekunder
Data mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat diperoleh melalui bagian pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat tempat peneliti melakukan penelitian.
3.5 Defenisi Operasional
1. Indeks glikemik adalah persentase kenaikan kadar gula darah setelah 2 jam pemberian pangan uji roti tawar bengkuang (Pachyrhizus erosus) dibandingkan dengan kenaikan kadar gula darah setelah 2 jam pemberian pangan acuan (roti putih).
2. Tepung bengkuang adalah tepung yang dibuat dari umbi bengkuang yang telah dikupas, dipotong tipis-tipis, dikeringkan, digiling kemudian diayak hingga menjadi tepung.
3. Kandungan gizi adalah kandungan karbohidrat, kadar abu, kadar air, kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar protein.
4. Roti tawar bengkuang adalah roti yang dibuat dari tepung bengkuang, tepung terigu, air, telur, lemak/mentega putih, super soft, gula, garam, susu, dan yeast/ragi roti yang difermentasi dan dipanggang.
3.6 Alat dan Bahan 3.6.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Peralatan membuat roti tawar seperti oven, timbangan, pisau, baskom/wadah, loyang, kompor, blender, mixer, sendok.