• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Botani Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan berumah satu yang termasuk dalam kelompok tanaman diploid dengan jumlah kromosom 2n=2x=22 (Paramathma et al. 2005). Dalam satu tanaman yang sama ditemukan bunga jantan dan bunga betina dengan rasio antara 29 : 1, adakalanya ditemukan juga bunga hermaprodit (monoecious dan protandrous). Rasio bunga jantan dan bunga betina berfluktuasi mengikuti perubahan lingkungan. Hasil evaluasi di kebun induk jarak pagar Pakuwon, Sukabumi menunjukkan rasio bunga jantan dan bunga betina berkisar Bunga jantan dan bunga betina membuka pada saat yang berbeda sehingga tanaman ini cenderung mengalami penyerbukan silang antar tanaman (xenogamy) dengan bantuan serangga. Penyerbukan sendiri (geitonogamy) juga dapat terjadi karena adanya bunga hermaprodit (Raju & Ezradanam 2002), atau adanya aktivitas polinator (Hartati 2007). Beberapa polinator pada jarak pagar mengakibatkan terjadinya perbedaan tipe penyerbukan. Serangga terbang seperti lalat, kumbang dan serangga terbang lainnya mendorong terjadinya xenogamy, sedangkan semut dan serangga merayap mendorong terjadinya geitonogamy (Raju & Ezradanam 2002).

Berdasarkan morfologinya, tanaman jarak pagar termasuk jenis pohon kecil atau semak dengan tinggi dapat mencapai lebih dari 5 m. Selama fase hidupnya tanaman ini mengalami pertumbuhan yang bertahap dan kadang-kadang terhenti (dorman) tergantung kondisi iklim. Hal ini mengakibatkan morfologinya berubah-ubah setiap periode. Jarak pagar memiliki daun yang bertoreh 5 atau 7 dengan ukuran panjang dan lebar 15 cm dan 6 cm (Heller 1996). Dalam kondisi optimal, tanaman jarak pagar mulai berproduksi pada umur 6-8 bulan setelah tanam (Mahmud et al. 2006) dengan produktivitas berkisar 0,3 – 0,6 ton/ha pada tahun pertama (Hasnam 2006a). Produktivitas akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan mulai stabil setelah tahun kelima (Paramathma et al. 2005).

(2)

Asal dan Pusat Penyebaran Jarak Pagar

Menurut Dehgan & Webster (1979), jarak pagar berasal dari Mexico atau Amerika Tengah. Beberapa tulisan melaporkan bahwa tanaman ini banyak ditemukan di Karibia. Dari Karibia, para pelaut Portugis membawa tanaman ini ke berbagai negara di Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Kemampuan tanaman jarak pagar untuk tumbuh dari bagian vegetatif disinyalir berakibat pada rendahnya keragaman genetik tanamannya.

Di Indonesia, tanaman ini dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah kepulauan mulai dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Hal ini dibuktikan dari eksplorasi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) yang berhasil mengumpulkan provenan-provenan dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Sumatra Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan (Mahmud 2006).

Manfaat Jarak Pagar

Bila dibudidayakan dengan baik, tanaman jarak pagar dapat hidup dan berproduksi hingga berumur 50 tahun. Selama ini sesuai dengan namanya, tanaman ini digunakan sebagai pagar pembatas pekarangan atau pagar. Namun demikian, daging biji dari buah tanaman jarak pagar diketahui dapat menghasilkan minyak nabati. Minyak nabati asal jarak pagar telah digunakan sebagai minyak pelumas, campuran untuk pembuatan sabun berkualitas tinggi; digunakan dalam industri insektisida, fungisida dan moluskasida (Jones & Miller 1992, Heller 1996, Lin et al. 2003). Minyak jarak pagar dilaporkan mempunyai bahan aktif yang berpotensi untuk mengendalikan hama ulat Helicoverpa armigera pada kapas, Sesamia calamistis pada sorghum dan kumbang Sitophilus zeamays pada jagung. Sebagai molluskasida, ekstrak minyak jarak pagar dapat digunakan untuk mengendalikan keong mas (Pomacea sp) dan siput penyebar penyakit Schistosomiasis (parasit darah) yang banyak menyerang manusia di daerah tropis dan sub-tropis.

(3)

Nama Jatropha berasal dari bahasa Yunani yaitu jatros yang berarti dokter dan trophé yang berarti makanan. Arti nama ini sangat sesuai mengingat potensinya yang cukup besar sebagai obat. Minyak jarak pagar juga dapat digunakan sebagai obat gatal/sakit kulit dan obat pereda rasa sakit karena reumatik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa curcin yang terkandung dalam biji jarak pagar memiliki efek anti tumor (Lin et al. 2003), Penelitian lain menunjukkan forbol ester yang diisolasi dari minyak biji jarak pagar adalah forbol ester temuan baru yang bersifat sebagai promoter tumor yang memiliki aktivitas lebih lemah dibanding forbol ester lainnya (Hirota et al. 1988).

Meskipun adanya curcin yang terkandung pada J. curcas menyebabkan tanaman ini termasuk kelompok tanaman yang mengandung racun sehingga tidak dapat dimakan, ditemukan satu provenan dari daerah Quintana Roo dan Veracruz Mexico yang bersifat tidak beracun (Makkar et al. 1998). Provenan yang tidak beracun ini berpotensi untuk dimanfaatkan tidak saja sebagai bio-fuel, tetapi hasil sampingnya juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Sebagai tanaman penghasil minyak, jarak pagar berpotensi besar sebagai bahan bakar nabati (BBN) atau bio-fuel, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga (bio-kerosene) (Prastowo 2008 dan Mahmud et al. 2008), maupun bio-diesel (Hamdi 2007). Potensinya sebagai BBN pernah dimanfaatkan oleh Jepang semasa perang dunia II, yaitu untuk minyak pesawat terbang. Disamping itu minyak biji jarakpagar juga sering digunakan sebagai bahan bakar untuk penerangan. Dengan kemajuan teknologi, penggunaan minyak biji jarak pagar mulai ditinggalkan dan digantikan dengan minyak bumi maupun sumber energi lainnya. Adanya isu kelangkaan sumber energi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak terbarukan mengakibatkan tanaman jarak pagar yang merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan (EBT) berubah posisi dari yang tadinya hanya merupakan tanaman yang tidak mendapat perhatian menjadi komoditas yang kembali diperhatikan. Banyak negara mulai melakukan penelitian untuk mengeksplorasi potensi tanaman dan mempelajari peluang untuk mengembangkan tanaman jarak pagar sebagai tanaman penghasil energy alternatif. Cina bahkan melakukan uji coba minyak jarak untuk bahan bakar pesawat Boeing (Leksono 2010).

(4)

Keragaman Genetik Jarak Pagar

Sebagai tanaman yang termasuk dalam kategori neglected crop, belum banyak informasi keragaman tanaman yang telah dilaporkan. Perbanyakan tanaman yang dapat dilakukan secara vegetatif disinyalir berakibat sempitnya keragaman genetik jarak pagar. Analisis provenan yang dilakukan di Senegal menunjukkan bahwa plasma nutfah jarak pagar yang dievaluasi mempunyai keragaman yang tinggi untuk karakter jumlah buah (kapsul), bobot buah, jumlah biji dan bobot biji pertanaman dengan nilai koefisien keragaman (CV) berturut-turut 41 %, 47 %, 47 % dan 48 %. Sementara itu karakter bobot 1000 biji dan persentase tanaman yang menghasilkan biji (tanaman produktif) menunjukkan keragaman yang rendah antar populasi dan individu tanaman dengan nilai CV berturut-turut 5 % dan 10 % (Heller 1996). Keragaman yang tinggi juga telah diamati diantara populasi tanaman jarak pagar yang berasal dari Afrika Barat dan Timur, Amerika Utara dan Tengah serta Asia (Makkar et al. 1997), yang meliputi antara lain: karakter bobot biji bervariasi (0,49 – 0,86 gram/biji), persentase bobot kernel (54 – 64 %), kandungan protein kasar (19 – 31 %) dan kandungan minyak (43 – 59 %). Selain itu juga dilaporkan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan (genotype by environment interaction).

Hasil penelitian terhadap 24 aksesi jarak pagar yang dikoleksi dari berbagai agroklimat yang berbeda di propinsi Haryana India menunjukkan adanya variasi pada ukuran benih, bobot 100 benih dan kandungan minyak. Kandungan minyak bervariasi mulai dari 28 – 38,8 %. Tingginya koefisien korelasi fenotipik dibanding koefisien korelasi genotipik menunjukkan besarnya pengaruh lingkungan. Heritabilitas yang tinggi pada kandungan minyak menunjukkan adanya aksi gen aditif. Bobot benih berkorelasi positif dengan panjang benih dan kandungan minyak (Kaushik et al. 2007).

Di Indonesia, hasil pengamatan awal yang telah dilakukan terhadap provenan jarak pagar di Kebun Induk Jarak Pagar, Pakuwon dan Kebun Induk Jarak Pagar di Asembagus menunjukkan bahwa plasma nutfah jarak pagar yang dikoleksi dari berbagai daerah di Indonesia menunjukkan adanya keragaman untuk warna batang, warna daun, warna pucuk dan tangkai daun, bentuk buah dan

(5)

jumlah biji per buah (Hasnam 2006b), potensi produksi (Hadi-Sudarmo et al. 2007), dan percabangan (Mardjono et al. 2007). Koleksi plasma nutfah juga mempunyai keragaman untuk berbagai karakter yang terkait dengan daya hasil biji, antara lain: umur mulai berbunga dan berbuah, jumlah tandan (infloresen) per tanaman, dan jumlah buah per tandan. Hasil evaluasi awal juga menunjukkan adanya sejumlah nomor koleksi plasma nutfah yang mampu menghasilkan lebih dari 100 buah/tanaman pada tahun I penanaman (Hasnam 2007; Hadi-Sudarmo et al. 2007). Sejumlah nomor koleksi plasma nutfah yang memiliki potensi produksi tinggi tersebut dapat dijadikan calon tetua donor untuk sifat daya hasil tinggi dalam proses perakitan varietas unggul baru tanaman jarak pagar.

Tipe Penyerbukan Tanaman Jarak Pagar

Pengelompokan tanaman berdasarkan tipe penyerbukannya dapat dibedakan atas 3 tipe. Tanaman yang mengalami penyerbukan silang berkisar dari 0-10 % digolongkan tanaman menyerbuk sendiri, tanaman yang mengalami penyerbukan silang berkisar dari 10-20 % digolongkan tanaman cenderung menyerbuk sendiri, sedangkan tanaman yang mengalami penyerbukan silang lebih dari 20 % digolongkan tanaman yang menyerbuk silang (Chahal & Gosal 2006). Berdasarkan letak stamen dan pistil yang terpisah pada bunga jantan dan bunga betina dan berdasarkan saat reseptif kepala putik yang berbeda dengan polen, Dehgan & Webster (1979) mengelompokkan tanaman jarak pagar ke dalam kelompok tanaman menyerbuk silang. Berdasarkan keberadaan serangga penyerbuk, maka potensi menyerbuk silang dan menyerbuk sendiri pada tanaman jarak pagar sama besar (Raju & Ezradanam 2002, Hartati 2007).

Pengelompokan Materi Genetik

Pengelompokan materi genetik pada tanaman jarak pagar perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keragaman genetik populasi yang ada. Analisis gerombol dapat dilakukan untuk mengelompokkan aksesi menjadi beberapa kelompok yang semata-mata didasarkan pada ukuran kedekatan antar aksesi

(6)

berdasarkan pengukuran sifat yang diamati (Johnson & Wichern 1988). Pengelompokan anggota koleksi plasma nutfah kedalam kelompok dengan sifat morfologi yang sama atau secara genetik sama sangat diperlukan yaitu :

1. Bila sedikit sejarah tanaman yang diketahui seperti pada tanaman millet (Hussaini et al. 1977)

2. Bila struktur populasi dalam koleksi tidak diketahui seperti pada plasma nutfah Avena sterillis (Marshall & Brown 1975)

3. Bila akan diterapkan metoda pemuliaan tanaman yang baru misalnya seleksi inbred seperti pada pengembangan hibrida sorghum (Nath et al. 1984)

Peningkatan Produktivitas Tanaman

Pengembangan komoditas selalu membutuhkan bahan tanaman unggul yang memiliki produktivitas tinggi sehingga memberikan keuntungan atau efisiensi ekonomi bagi yang akan mengusahakannya. Demikian juga pada tanaman jarak pagar, masalah produktivitas tanaman saat ini menjadi tuntutan masyarakat yang berminat untuk mengusahakannya. Sebagai tanaman yang menyerbuk silang, maka semua upaya perbaikan genetik harus didasarkan pada populasi (Heller 1996). Seleksi massa merupakan metode pemuliaan yang paling sederhana dimana tanaman yang superior dipilih untuk dievaluasi lebih lanjut. Pada metoda ini pemulia memanfaatkan variasi genetik aditif yang ada dalam populasi tanaman. Seleksi dapat dilakukan berulang dan merupakan metoda yang banyak digunakan pada pemuliaan tanaman pohon. Pada tanaman jarak pagar metoda ini juga mulai digunakan.

Metoda seleksi tersebut telah diterapkan oleh Puslitbang Perkebunan sejak tahun 2006. Seleksi siklus pertama yang dilakukan terhadap sejumlah nomor koleksi plasma nutfah jarak pagar berhasil mengidentifikasi populasi 1A, IP-1M dan IP-1P yang mempunyai daya hasil biji rata-rata sebanyak 88 (± 21), 52 (± 14,7) dan 114 (± 20,0) buah per tanaman (Hasnam 2007). Kriteria seleksi pada siklus pertama adalah tanaman dengan jumlah buah lebih dari 200 buah/tanaman pada tahun pertama dan produktivitas berkisar 0,97-1,06 ton biji kering per hektar

(7)

(Hasnam et al. 2007). Potensi daya hasil biji yang bisa dicapai oleh populasi IP-1A, IP-1M dan IP-1P tersebut pada tahun kedua diperkirakan mencapai 0,9-1,5, ketiga 2,0-3,0, keempat 4,0-4,5, dan kelima 4,5-5 ton biji kering per hektar (Hasnam 2007).

Seleksi siklus kedua dilakukan dengan kriteria seleksi jumlah buah lebih dari 400 buah/tanaman pada tahun pertama. Seleksi ini telah menghasilkan IP-2 dengan target produksi 2 ton pada tahun pertama, 3-3,5 ton pada tahun kedua, 4,5-5 ton pada tahun ketiga, 6-7 ton pada tahun keempat dan mulai stabil sejak tahun kelima hingga kesepuluh (Hasnam et al. 2007). Produktivitas yang sesungguhnya belum diketahui karena pengembangan jarak pagar di Indonesia baru berjalan efektif 2 tahun terhitung mulai awal tahun 2006 bersamaan dengan keluarnya Inpres no 1 tahun 2006 dan Perpres no 5 tahun 2006. Pengembangan tersebut mulai surut karena ketidakjelasan pasar.

Potensi produksi yang telah dicapai oleh populasi tersebut dirasa masih belum menguntungkan. Simulasi untuk menghitung keuntungan usahatani jarak pagar yang dilakukan Kemala (2006) menunjukkan petani yang menanam jarak pagar dengan teknologi rendah (dosis pupuk kandang < 1 kg/tanaman, pupuk buatan < 100 kg/ha, jarak tanam tidak teratur) baru akan memperoleh keuntungan jika varietas jarak pagar yang ditanam mampu menghasilkan biji kering sebesar 2 ton/ha/tahun. Hal tersebut didasarkan pada harga biji kering jarak pagar sebesar Rp700,- - Rp1.000,- per kg, sebagaimana harga yang diterima petani pada saat simulasi dilakukan. Untuk itu, varietas unggul tanaman jarak pagar dengan daya hasil > 2 ton/ha/tahun sejak tahun pertama perlu untuk disediakan karena plasma nutfah tanaman jarak pagar yang ada saat ini belum mampu memenuhi kriteria tersebut. Dengan asumsi populasi per hektar adalah 2.500 tanaman dan faktor koreksi 20 % (Hasnam 2006a), produksi > 2 ton/ha/tahun akan dapat dicapai bila genotipe yang dikembangkan memiliki potensi produksi > 400 buah per tanaman per tahun. Bila setiap infloresen menghasilkan buah rata-rata 10 buah/infloresen, tanaman harus mampu menghasilkan 40 infloresen dalam setahun. Oleh sebab itu tanaman yang akan dirakit harus memiliki potensi produksi minimal 400 buah per tanaman per tahun mulai tahun pertama, artinya harus memiliki potensi produksi lebih tinggi dari IP-1A, IP-1M dan IP-1P dan IP-2 tersebut.

(8)

Meskipun hasil evaluasi awal menunjukkan adanya sejumlah genotipe yang memiliki potensi produksi lebih baik dibanding populasi lainnya, sejumlah laporan menyebutkan bahwa produksi jarak pagar sangat berfluktuasi tergantung kondisi lingkungan. Makkar et al. (1997) melaporkan adanya interaksi genotipe x lingkungan yang nyata untuk karakter-karakter bobot biji, persentase bobot kernel, kandungan protein kasar dan kandungan minyak yang menunjukkan lingkungan memberikan pengaruh yang spesifik pada provenan-provenan tertentu. Adanya interaksi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan merupakan hal yang harus menjadi pertimbangan bagi para pemulia pada saat menyusun program perakitan varietas karena interaksi dengan lingkungan juga mempengaruhi pewarisan karakter tanaman (Baihaki 1999). Dengan demikian dalam melakukan evaluasi pada tanaman jarak pagar yang merupakan tanaman tahun, pengamatan karakter morfologi terutama karakter kuantitatif perlu dilakukan selama beberapa waktu, minimal selama periode pertumbuhan satu tahun. Hasil evaluasi akan memberikan data yang lebih baik pada saat pertumbuhan dan produksi tanaman jarak pagar mulai stabil yaitu pada tahun kelima (Hasnam et al. 2007).

Hibrida

Heller (1996) menyebutkan salah satu alternatif dalam program perbaikan tanaman jarak pagar adalah merakit hibrida. Dalam pemuliaan tanaman, hibrida adalah keturunan yang dihasilkan dari suatu perkawinan atau persilangan (hibridisasi) antara dua individu yang berbeda genotipenya (Singh 1990). Berdasarkan proses pembentukannya, hibrida dapat dibedakan atas 2 macam yaitu (1) persilangan sederhana (simple cross) yaitu persilangan antar 2 tetua, dan (2) persilangan kompleks (complex cross) yaitu persilangan antar lebih dari 2 tetua. Hibrida adalah generasi pertama yang dihasilkan dari persilangan antara galur murni, inbred, varietas bersari bebas, klon atau populasi yang berbeda secara genetik (Singh 1990).

Chahal & Gosal (2006) menyebutkan prinsip dasar dari proses hibridisasi pada tanaman yang berkembang biak secara vegetatif sama dengan tanaman yang berkembang biak secara generatif. Hibrida yang baik akan diperoleh dari tetua

(9)

yang memiliki nilai daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) yang tertinggi. Ada beberapa hal yang mendasari agar hibrida yang dihasilkan memiliki karakter yang diinginkan. Borojevic (1990) mendasarkan pemilihan tetua persilangan pada tiga konsep dasar yaitu (1) konsep varietas, (2) konsep karakter, dan (3) konsep gen. Pada konsep varietas mencakup seleksi dari sejumlah varietas untuk disilangkan dengan asumsi bahwa kombinasi dari sifat-sifat positif akan muncul pada hibrida yang dihasilkan. Konsep ini umumnya digunakan pada program pemuliaan yang masih awal dimana belum tersedia informasi mengenai karakter dan kendali genetik karakter-karakter penting yang akan diperbaiki. Dengan demikian keberhasilan dari proses hibridisasi tergantung dari jumlah kombinasi persilangan. Secara umum, peluang keberhasilan penggunaan konsep varietas sering kurang menggembirakan.

Pada konsep karakter, pemilihan tetua untuk disilangkan didasarkan pada pengetahuan tentang sifat-sifat yang nantinya dapat dikombinasikan dalam varietas baru. Pemuliaan silang balik merupakan salah satu contoh dari pemuliaan tanaman yang pemilihan tetua persilangannya didasarkan pada konsep ini. Konsep karakter lebih banyak dilakukan oleh pemulia tanaman. Pada konsep karakter, peluang keberhasilannya sangat tergantung dari besarnya peluang setiap karakter muncul yang ditentukan oleh nilai heritabilitasnya dan ada tidaknya keterpautan gen. Sebagai contoh jika seorang pemulia akan menggabungkan karakter A dan B dalam satu genotipe, maka bila peluang munculnya A diasumsikan 0,5 dan peluang B adalah 0,25, maka peluang A dan B berkumpul pada satu genotipe adalah 0,5 x 0,25 = 0,125. Artinya untuk mendapatkan genotipe tersebut, jumlah progeni harus cukup banyak sehingga akan diperoleh genotipe yang diinginkan. Semakin banyak karakter yang akan dihimpun dalam satu karakter, semakin kecil peluang terjadinya sehingga harus semakin besar populasi yang diseleksi.

Konsep gen merupakan konsep pemilihan tetua persilangan yang didasarkan pada konstitusi genetik dari sifat-sifat yang diinginkan. Karena seringkali sifat-sifat yang digabungkan tidak saja ditentukan oleh gen minor tetapi juga mayor, maka pemilihan tetua persilangan sebaiknya menggabungkan ketiga konsep diatas.

(10)

Heller (1996) menyebutkan sejumlah komponen yang berkontribusi terhadap kadar minyak tinggi pada tanaman jarak pagar adalah jumlah bunga betina per infloresen, jumlah buah per tanaman, jumlah biji per buah, bobot 1000 biji dan kadar minyak biji. Berdasarkan konsep karakter tersebut diatas, maka karakter-karakter ini dapat dimanfaatkan dalam proses seleksi calon tetua dan dikombinasikan untuk menghasilkan rekombinan baru yang memiliki karakter sesuai yang dibutuhkan.

Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK)

Pada dasarnya, kegiatan pemuliaan adalah memperbaiki nilai rata-rata karakter suatu populasi (Baihaki 1999). Untuk merakit hibrida (F1), informasi daya gabung umum dan daya gabung khusus sangat diperlukan agar pemulia dapat memilih tetua mana yang akan disilangkan untuk menghasilkan hibrida yang diinginkan (Singh 1990; Baihaki 1999). Hibrida yang dikehendaki adalah yang memiliki nilai heterosis tinggi sehingga memiliki keragaan lebih baik dari kedua tetuanya.

Daya gabung menggambarkan nilai pemuliaan tetua untuk menghasilkan hibrida (Basal & Turgut 2003). DGU digunakan untuk menggambarkan rataan dari kombinasi hibrida suatu tetua yang menunjukkan kemampuan menggabungnya dengan tetua lain, sedangkan DGK digunakan untuk menggambarkan suatu kombinasi persilangan yang memiliki penampilan terbaik dibanding rata-rata persilangan (Sprague dan Tatum 1942 dalam Basal & Turgut 2003).

Berdasarkan nilai daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dapat diketahui gen yang berperan. Sprague dan Tatum (1942) dalam Pacheco et al. (1999) menyebutkan DGU menggambarkan besarnya peran gen aditif dari suatu variasi genetik yang dapat diduga melalui pengukuran hibiridanya, sedangkan DGK menggambarkan besarnya peran gen non aditif yang ditunjukkan oleh adanya kombinasi persilangan yang menunjukkan keragaan yang jauh lebih baik atau lebih buruk dari nilai rata-rata hibrida yang dievaluasi.

(11)

Pendugaan DGU maupun DGK dapat dilakukan melalui analisis silang dialel menggunakan pendekatan yang dikemukakan Hayman atau Griffing yang didasarkan pada sejumlah asumsi sebagai berikut: (1) segregasi diploid normal, (2) tidak ada pengaruh maternal (tidak ada perbedaan resiprok), (3) aksi gen-gen yang tidak se alel (non-allelic) bersifat bebas, (4) tidak ada alel ganda (multiple allel), (5) tetua yang digunakan homosigot, (6) gen-gen menyebar bebas diantara tetua, dan (7) koefisien inbreeding hampir sama dengan 1 (Singh & Chaudhary 1979). Penggunaan tetua heterosigot pada analisis dialel dapat mengakibatkan bias pada sejumlah data yang dihasilkan, diantaranya nilai Wr – Vr yang tidak konstan, kemiringan arah garis regresi (b) meskipun tidak ada interaksi non-allelic, dan dominan yang tidak sesuai nilai semestinya.

Heterosis

Heterosis pada hibrida antara lain disebabkan oleh adanya interaksi antar alel dalam satu lokus tertentu dan interaksi antar lokus yang ada dalam kondisi heterosigot. Beberapa teori yang berkaitan dengan heterosis diantaranya adalah teori konvensional yaitu teori dominan yang dikemukakan Davenport (1908), Pellow (1910) dan Bruce 1910) dalam Chahal dan Gosal (2006) dan teori dominan lebih (over dominant) yang dikemukakan oleh Hull (1954) dalam Chahal dan Gosal (2006). Teori dominan menerangkan terjadinya heterosis pada tanaman didasarkan peran gen dimana alel-alel resesif memberikan pengaruh yang merugikan sedangkan alel-alel dominan memberikan pengaruh yang menguntungkan. Gen-gen dominan yang berasal dari kedua tetua terekspresi secara bersama-sama pada F1 yang mengakibatkan ekspresi alel-alel resesif tertekan. Akibatnya karakter yang muncul pada F1 adalah karakter-karakter yang baik sehingga penampilan F1 lebih baik dibanding tetuanya. Sementara itu teori dominan lebih (over dominant) menyebutkan individu dengan kondisi heterosigot lebih superior dibanding kondisi homosigotnya baik homosigot dominan maupun homosigot resesif. Dalam teori ini terjadinya heterosis disebabkan ekspresi dari multiple allel yang bersifat aditif satu sama lain.

(12)

Fenomena heterosis dapat dipelajari dengan pendekatan biometri (Jinks 1983 dalam Chahal dan Gosal 2006). Pendekatan biometri ini memerlukan sejumlah informasi yang meliputi perilaku gen, ada tidaknya linkage, ada tidaknya pengaruh maternal, ada tidaknya pengaruh lingkungan. Kekerabatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fenomena heterosis. Simmonds (1979) mengemukakan efek heterosis yang tinggi dapat diperoleh bila tetua persilangan merupakan genotipe-genotipe yang tidak berkerabat dekat.

Studi keragaman genetik tersebut menjadi lebih diperlukan untuk tanaman tahunan seperti jarak pagar mengingat umur tanamannya yang panjang. Selain itu, keberadaan data tentang adanya keterkaitan antara jarak genetik antar tetua dengan keragaan dari hibrida akan sangat membantu pemilihan calon tetua dalam perakitan hibrida. Tersedianya informasi keragaman genetik plasma nutfah jarak pagar dapat dilakukan untuk studi keterkaitan antara jarak genetik dengan keragaan hibrida.

Heritabilitas

Salah satu parameter genetik yang penting adalah nilai heritabilitas suatu karakter. Nilai heritabilitas merupakan pernyataan kuantitatif peran faktor genetik yang mengukur kemampuan suatu genotipe dalam populasi tanaman untuk mewariskan karakter-karakter yang dimiliki. Pengertian lain menjelaskan bahwa heritabilitas adalah suatu pendugaan yang mengukur sejauh mana variabilitas penampilan suatu genotipe dalam populasi terutama disebabkan oleh peranan faktor genetik. Pemahaman tersebut diperoleh dari pengertian bahwa pendugaan heritabilitas merupakan perbandingan varian genetik dengan varian fenotipik suatu karakter dalam populasi. Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai ratio ragam genotipe dengan ragam fenotip yang dapat dituliskan sebagai G/P

(Allard 1960; Poehlman & Sleper 1995).

Melalui heritabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang timbul dari suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan. Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan peran faktor genetik lebih besar daripada lingkungan dan sebaliknya. Karakter-karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi pada

(13)

umumnya adalah karakter kualitatif yang dikendalikan oleh gen-gen tunggal. Karakter kualitatif seperti warna daun dan bunga, kandungan asam amino biji, bentuk buah dan lain sebagainya relatif menunjukkan nilai yang sama pada berbagai kondisi lingkungan. Karakter kuantitatif seperti hasil biji, total bobot kering, kandungan protein biji, kandungan minyak biji dan lain sebagainya yang memiliki nilai heritabilitas rendah umumnya dikendalikan oleh banyak gen dan sangat dipengaruhi lingkungan sehingga nilainya selalu berubah sesuai kondisi lingkungan (Moreno-Gonzales & Cubero 1993).

Seleksi menggunakan karakter kuantitatif pada generasi awal akan memberikan hasil yang kurang baik karena pada generasi berikutnya nilai karakter akan berubah lagi. Tetapi pada program pemuliaan jarak pagar, fenomena ini dapat diantisipasi dengan melakukan perbanyakan vegetatif pada genotipe yang telah menunjukkan potensi yang baik meskipun masih pada generasi F1.

Evaluasi F1

Evaluasi pewarisan sifat maupun seleksi pada umumnya dilakukan pada generasi F2. Baihaki (1999) mengemukakan variabilitas terbesar dari suatu pasangan persilangan akan dicapai pada generasi F2 baik untuk tanaman menyerbuk sendiri maupun tanaman menyerbuk silang. Dengan demikian, keberhasilan program pemuliaan yang dilakukan sangat tergantung pada jumlah populasi F2 yang dihasilkan. Semakin banyak populasi yang akan diseleksi, semakin besar peluang mendapatkan genotipe yang dikehendaki.

Pada tanaman jarak pagar yang menyerbuk silang, penyerbukan silang antar tetua heterosigot akan menghasilkan populasi F1 yang heterosigot dan heterogen sehingga seleksi dapat dimulai pada generasi F1 karena telah memiliki variabilitas yang tinggi. Untuk memperbaiki karakter kuantitatif yang dikendalikan secara multigenik membutuhkan populasi yang sangat banyak. Hal ini sulit diterapkan pada tanaman jarak pagar yang merupakan tanaman tahunan. Jumlah populasi F1 sangat tergantung pada kemampuan tanaman tetua membentuk biji dan ketersediaan sarana lahan untuk penanamannya. Salah satu pilihan untuk mempersingkat waktu seleksi adalah dengan memilih F1 yang

(14)

berpenampilan terbaik kemudian diperbanyak secara vegetatif seperti pada tanaman kentang, jeruk, karet, teh dan tanaman kehutanan (Baihaki 1999). Metoda ini berpeluang untuk diterapkan pada program pemuliaan tanaman jarak pagar karena selain dapat diperbanyak secara generatif, hasil penelitian menunjukkan tanaman ini dapat diperbanyak secara vegetatif, baik dengan setek, perbanyakan in-vitro, maupun perbanyakan ex-vitro (Tajuddin et al. 2007).

Karakter Sekunder sebagai Karakter Seleksi Tidak Langsung

Dalam penelitian pemuliaan tanaman, pemilihan individu potensial yang akan digunakan sebagai calon tetua biasanya dilakukan dengan melakukan seleksi berdasarkan karakter primer yang akan diperbaiki. Seleksi menggunakan karakter primer sulit dilakukan karena membutuhkan waktu relatif lama, apalagi untuk hasil tanaman. Seleksi menggunakan karakter sekunder (seleksi tidak langsung) yang dapat dilakukan lebih dini merupakan salah satu cara mempersingkat waktu seleksi (Falconer 1972).

Untuk dapat menggunakan karakter sekunder sebagai dasar seleksi memerlukan informasi tentang keterkaitan antar karakter. Informasi ini merupakan data penting yang dapat membantu percepatan tercapainya tujuan pemuliaan tanaman. Keberhasilan mengidentifikasi adanya keterkaitan antara satu karakter dengan karakter lainnya akan dapat membantu pengembangan metode seleksi secara tidak langsung, dengan menggunakan karakter sekunder yang lebih mudah diamati. Sebagai dasar seleksi, karakter sekunder akan memberikan hasil yang baik bila memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dibanding karakter utama (Falconer 1972).

Sejumlah hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya korelasi positif antara bobot biji dengan kandungan protein kasar (Makkar et al. 1997) dan antara bobot 1000 biji dengan persentase kandungan lemak kasar (crude fat). Sebaliknya, bobot 1000 biji berkorelasi negatif dengan persen serat kasar dan kandungan abu (Heller 1996). Biji yang besar identik dengan kandungan abu yang rendah. Berbagai komponen penentu hasil minyak biji jarak pagar adalah: jumlah bunga betina per malai (infloresen), jumlah buah per tanaman, jumlah biji per buah,

(15)

bobot 1000 biji, dan kadar minyak biji (Heller 1996). Tetapi semua karakter yang berkorelasi terhadap hasil yang dilaporkan tersebut baru dapat dideteksi setelah tanaman berumur lebih kurang 6 bulan. Diperlukan karakter lain yang berkorelasi dengan hasil yang dapat dideteksi lebih dini sehingga proses seleksi dapat dilakukan lebih cepat.

Korelasi Fenotipik dan Genotipik

Korelasi dimanfaatkan oleh peneliti di bidang pemuliaan tanaman, selain untuk melihat hubungan antara dua karakter, juga untuk memudahkan proses seleksi. Karakter yang berkorelasi nyata dengan hasil dan didukung oleh nilai heritabilitas tinggi dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk mendapatkan tanaman yang mampu berproduksi tinggi. Seleksi ini biasa disebut dengan seleksi tidak langsung (indirect selection) (Falconer 1972).

Falconer (1989) dalam Baihaki (1999) mengelompokkan korelasi berdasarkan pengaruh pembentuknya yaitu:

1. Korelasi genetik yaitu korelasi antar karakter tanaman yang hanya ditimbulkan oleh komponen faktor genetik total.

2. Korelasi genetik aditif yaitu korelasi antar karakter tanaman yang hanya ditimbulkan oleh faktor genetik aditif.

3. Korelasi fenotipik yaitu korelasi antar dua karakter tanaman yang ditimbulkan oleh pengaruh faktor genetik, lingkungan dan interaksinya. 4. Korelasi lingkungan yaitu korelasi antar dua karakter tanaman yang terjadi

karena adanya perubahan lingkungan.

Seleksi berdasarkan karakter sekunder pada tanaman membiak vegetatif hanya akan efektif bila: (1) karakter sekunder dan karakter primer mempunyai korelasi genetik yang erat dan (2) pengamatan terhadap karakter sekunder relatif mudah, murah dan dapat lebih dini mendeteksinya (Baihaki 1999). Sementara itu Waitt & Levin (1998) melakukan analisis terhadap 32 data hasil penelitian berbagai tanaman meliputi jagung, kedelai, sorgum, tembakau dan sebagainya, dan membandingkan korelasi fenotipik dan genotipik karakter yang dievaluasi. Hasil analisisnya menunjukkan korelasi fenotipik pada tanaman yang dievaluasi

(16)

cukup merefleksikan korelasi genetiknya. Meskipun ketepatannya masih perlu dievaluasi lebih lanjut, korelasi fenotipik dapat dimanfaatkan untuk pendugaan nilai karakter kualitatif terutama bila data genetik sulit diperoleh.

Bunga Hermaprodit

Bunga hermaprodit ditemukan pada sejumlah tanaman termasuk tanaman jarak pagar (Dehgan & Webster 1979). Perannya terhadap daya hasil belum banyak diketahui, demikian pula pewarisannya. Roy (2000) melaporkan ada beberapa mekanisme genetik yang menentukan jenis kelamin pada tanaman: (a) Pada tanaman monoecious, sel yang sama memiliki kemampuan untuk menghasilkan gamet jantan dan betina. Pada tanaman jagung kasusnya agak berbeda dimana gen yang mengendalikan kemunculan bunga jantan adalah gen ts yang pada kondisi homosigot (tsts) akan menghasilkan pistil, sedangkan gen yang mengendalikan kemunculan bunga betina adalah gen sk yang pada kondisi homosigot (sksk) akan menghasilkan staminat. Gen ts bersifat epistasis terhadap gen sk. (b) Pada tanaman dioecious, jenis kelamin dikendalikan oleh gen tunggal yang berbeda. Pada tanaman papaya, jenis kelamin dikendalikan oleh satu lokus dengan 3 alel yaitu M1, M2 dan m. M2m menghasilkan gamet jantan, mm menghasilkan gamet betina dan Mm menghasilkan bunga hermaprodit. M1M1, M2M2 dan M1M2 bersifat letal sehingga tidak dijumpai pada progeni. (c) Kromosom yang berbeda mengendalikan jenis kelamin dimana kromosom XX adalah betina sedangkan XY adalah jantan seperti pada Melandrium. Dilaporkan pula bahwa ekspresi gen pengendali jenis kelamin sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti fotoperiode, suhu dan lain sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Trustindo Prima Karya dengan Sertifikat Nomor 229.SLK.010- IDN yang berlaku sampai dengan tanggal 20 Maret 2017 sehingga telah membubuhkan Tanda V-Legal pada

Nilai rasio odds gingiva kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol adalah 16,4 yang artinya subjek dengan paparan uap belerang mempunyai risiko 16,4 kali

Alat transportasi yang banyak dipakai oleh orang saat ini berupa pesawat karena harganya yang sudah tidak terlalu mahal juga waktu yang ditempuh lebih cepat, dan sekarang

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “PENGARUH

Toisaalta kuten Tiittula 1992: 82 katsoo, voidaan sekä kirjoitetun että puhutun kielen perusyksikkönä pitää myös lausetta: lause vain saa kirjoituksessa ja puheessa hyvin eri

menjadikan anak bahkan setelah dewasa menjadi seorang yang selalu tunduk (submisif). Sadari pula, betapa perilaku asertif akan membawa kita menjadi seseorang yang

Mutu lulusan di pengaruhi setidaknya oleh dua faktor yaitu, pendidik dan proses pembelajaran; pendidik dalam pendidikan kesetaraan dikenal dengan istilah tutor

Strategi memfokus kepada masalah adalah berhubung secara secara positif dan signifikan dengan stail kepimpinan transformasional (r=.35*) tetapi mempunyai