• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Perbankan Indonesia

Keberadaan lembaga keuangan sebagai sumber pembiayaan dalam mendukung pembangunan sangat diperlukan. Lembaga keuangan yang terlibat dalam suatu pembiayaan pembangunan ekonomi dibagi menjadi dua, yaitu lembaga keuangan bank (LKB) dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Keduanya merupakan lembaga intermediasi keuangan. Menurut Kasmir (2008:2) pengertian lembaga keuangan yaitu:

“Lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya.”

Peran serta lembaga keuangan bagi pembangunan ekonomi, terutama peranan perbankan sangatlah besar dalam memajukan perekonomian. Lembaga keuangan yang kita sebut bank merupakan lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan yang paling lengkap. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu, saat ini dan di masa yang akan datang dalam menjalankan aktivitas keuangan baik perorangan maupun lembaga, baik sosial atau perusahaan tidak akan terlepas dari dunia perbankan.

2.1.1 Pengertian Bank

Bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan, dan deposito. Selain itu bank adalah suatu tempat untuk melakukan transaksi yang berhubungan dengan keuangan seperti, tempat mengamankan uang, melakukan investasi, pengiriman uang, melakukan pembayaran, atau melakukan penagihan. Menurut Undang-Undang RI No.10 Tahun 1998, yang dimaksud dengan perbankan adalah:

(2)

“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Dan menurut Rosernberg dalam Dictionary of Banking and Financial Service yang dikutip oleh Taswan (2006:4), yang disebut bank sebagai berikut:

“Bank adalah lembaga yang menerima simpanan giro, deposito dan membayar atas dasar dokumen yang ditarik pada orang atau lembaga tertentu, mendiskonto surat berharga, memberikan pinjaman dana, menanamkan dananya dalam surat berharga.”

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya usaha perbankan selalu berkaitan dengan masalah dalam bidang keuangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan utama, yaitu:

1. Menghimpun dana 2. Menyalurkan dana, dan 3. Memberikan jasa bank lainnya. 2.1.2 Fungsi Bank

Secara umum fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan sebagai financial intermediary. Secara spesifik seperti yang dikemukakan oleh Budisantoso (2006:9), bank dapat berfungsi sebagai berikut:

1. Agent of Trust (Jasa dengan kepercayaan)

Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan

(3)

dananya oada debitur atau masyarakat aoabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debitur akan mempunyai kemampuan untuk membayar pada saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.

2. Agent of Development (Jasa untuk pembangunan)

Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut akan selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investas-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang.

3. Agent of Services (Jasa pelayanan)

Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.

Ketiga fungsi bank diatas diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan lengkap mengenai fungsi bank dalam perekonomian, sehingga bank tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary institution), tetapi juga sebagai lembaga moneter (monetary institutions).

(4)

2.1.3 Jenis-Jenis Bank

Dalam praktik perbankan di Indonesia saat ini terdapat beberapa jenis perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Menurut Kasmir (2008:34) perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari:

1. Segi Fungsinya

Dari segi fungsi perbedaan yang terjadi terletak pada luasnya kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawarkan maupun jangkauan wilayah operasinya. Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 jenis perbankan menurut fungsinya terdiri dari:

a. Bank Umum b. Bank Pembangunan c. Bank Tabungan d. Bank Pasar e. Bank Desa f. Lumbung Desa g. Bank Pegawai h. Dana Bank lainnya

Namun setelah keluar Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998, maka jenis perbankan terdiri dari:

a. Bank Umum

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Bentuk Bank Pembangunan dan Bank Tabungan yang semula berdiri sendiri dengan keluarnya Undang-Undang diatas berubah fungsinya menjadi Bank Umum. Sedangkan Bank Desa, Bank Pasar, Lumbung Desa dan Bank Pegawai menjadi Bank Perkredita Rakyar (BPR).

Pengertian Bank Umum menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut:

“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

(5)

Sifat jasa yang diberikan oleh Bank Umum adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan diseluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri (cabang).

Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998, yaitu:

“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

Dari pengertian BPR diatas, artinya adalah bahwa kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum.

2. Segi Kepemilikan

Di samping dapat dilihat dari fungsinya, bank juga dapat dilihat dari segi kepemilikannya. Maksudnya adalah siapa-siapa saja yang memiliki bank tersebut. Kepemilikan ini dapat dilihat dari akte pendirian dan penguasaan saham yang dimiliki bank yang bersangkutan. Jenis bank tersebut sebagai berikut:

a. Bank Milik Pemerintah

Bank milik pemerintah merupakan bank akte pendirian maupun modal bank ini sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, sehingga seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula. Contoh bank milik pemerintah antara lain:

1) Bank Negara Indonesia (BNI) 2) Bank Rakyat Indonesia (BRI) 3) Bank Tabungan Negara (BTN) 4) Bank Mandiri

Disamping itu, terdapat juga Bank Pemerintah Daerah (BPD) yang modalnya sepenuhnya oleh Pemda masing-masing tingkatan, sebagai contoh:

1) BPD DKI Jakarta 2) BPD Jawa Barat

(6)

3) BPD Jawa Tengah 4) BPD Jawa Timur 5) BPD Sumatra Utara 6) BPD Sumatra Selatan 7) BPD Sulawesi Selatan 8) Dan BPD lainnya.

b. Bank Milik Swasta Pemerintah

Bank milik swasta nasional merupakan bank yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional. Hal ini dapat diketahui dari akte pendiriannya didirikan oleh swasta sepenuhnya, begitu pula dengan pembagian keuntungannya untuk swasta pula. Contoh bank milik swasta antara lain:

1) Bank Muamalat 2) Bank Central Asia 3) Bank Bumi Putra 4) Bank Danamon 5) Bank Duta 6) Bank Lippo

7) Bank Nusa Internasional 8) Bank Niaga

9) Bank Universal

10) Bank Internasional Indonesia. c. Bank Milik Koperasi

Bank milik koperasi merupakan bank yang kepemilikan saham-sahamnya dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi. Sebagai contoh adalah Bank Umum Koperasi Indonesia (Bank Bukopin).

d. Bank Milik Asing

Bank milik asing merupakan bank yang kepemiilikannya 100% oleh pihak asing (luar negeri) di Indonesia. Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing. Sebagai contoh dari bank milik asing antara lain:

(7)

1) ABN AMRO Bank 2) Deutsche Bank

3) American Express Bank 4) Bank of America 5) Bank of Tokyo 6) Bangkok Bank 7) City Bank

8) Europan Asian Bank 9) Hongkong Bank

10) Standard Chatered Bank 11) Chase Manhattan Bank e. Bank Milik Campuran

Bank milik campuran merupakan bank yang sahamnya dimiliki oleh 2 belah pihak yaitu negeri dan luar negeri. Artinya, kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Komposisi kepemilikan saham secara mayoritas dipegang oleh warga negara Indonesia. Contoh bank campuran sebagai berikut:

1) Sumitomo Niaga Bank 2) Bank Merincorp

3) Bank Sakura Swadarma 4) Bank Finconesia 5) Mitsubishi Buana Bank 6) Inter Pacific Bank 7) Paribas BBD Indonesia 8) Ing Bank

9) Sanwa Indonesia Bank 10) Bank PDFCI

3. Segi Status

Jenis bank yang ketiga adalah dilihat dari segi status bank tersebut. Artinya, jenis ini dilihat dari segi kemampuannya melayani masyarakat, terutama

(8)

bank umum. Pembagian jenis ini disebut juga pembagian berdasarkan kedudukan atau status bank tersebut. Kedudukan atau status ini menunjukkan ukuran kemampuan bank dalam melayani masyarakat baik dari segi jumlah produk, modal maupun kualitas pelayanannya. Jenis bank dilihat dari segi status, yaitu: a. Bank Devisa

Bank devisa merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan. Contoh transaksi ke luar negeri, travellers cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit (L/C) dan transaksi luar negeri lainnya. Persyaratan untuk menjadi bank devisa ini ditentukan oleh Bank Indonesia. b. Bank Non-Devisa

Bank non-devisa merupakan bank yang sebelum mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi seperti halnya bank devisa. Jadi, bank non-devisa merupakan kebalikan daripada bank devisa, dimana transaksi yang dilakukan masih dalam batas-batas negara (dalam negeri).

4. Segi Cara Menentukan Harga

Dalam menentukan harga, baik harga jual maupun harga beli saat ini bank terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu:

a. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional (Barat)

Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional menggunakan dua metode, yaitu:

1) Menetapkan sebagian harga, untuk produk simpanan seperti giro, tabungan maupun deposito. Demikian pula harga untuk produk pinjamannya (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Penentuan harga ini dikenal dengan istilah spread based.

2) Untuk jasa-jasa bank lainnya pihak perbankan konvensional (barat) menggunakan atau menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau

(9)

presentase tertentu. Sistem pengenaan biaya ini dikenal dengan istilah fee based.

b. Bank yang Berdasarkan Prinsip Syariah (Islam)

Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah dalam penentuan harga produknya sangat berbeda dengan bank berdasarkan prinsip konvensional. Bank berdasarkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya. Dalam menentukan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut:

1) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah);

2) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah); 3) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah); 4) Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan

(ijarah);

5) Atau dengan adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

2.1.4 Dana Bank

2.1.4.1 Pengertian Dana bank

Bank merupakan jantung dan urat nadinya perdagangan dan pembangunan ekonomi suatu negara. Bank baru dapat melakukan operasionalnya jika dananya telah ada. Semakin banyak dana yang dimiliki suatu bank, semakin besar peluangnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, setiap bank selalu berusaha untuk memperoleh sana yang optimal tetapi dengan cost of money yang wajar.

Pengertian sumber dana bank adalah usaha bank dalam menghimpun dana dari masyarakat. Menurut Hasibuan (2005:56) bahwa Dana Bank atau Loanable Fund adalah sejumlah uang yang dimiliki dan dikuasai suatu bank dalam kegiatan operasionalnya. Perolehan dana ini tergantung dari bank itu sendiri, apakah dari simpanan masyarakat atau dari lembaga lainnya. Pemilihan sumber dana bank

(10)

akan menentukan besar kecilnya biaya yang ditanggung. Kebutuhan dana untuk kegiatan utama bank diperoleh dalam berbagai simpanan, sedangkan jika kebutuhan dana digunakan untuk investasi baru atau perluasan usaha maka diperoleh dari modal sendiri. Akan tetapi yang paling penting bagi bank adalah bagaimana memilih dan mengelola sumber dana yang tersedia. Bagi bank pengelolaan sumber dana di mulai dari masyarakat luas, terutama dalam bentuk simpanan, giro, tabungan dan deposito adalah sangat penting.

2.1.4.2 Sumber-Sumber Dana Bank

Sumber-sumber dana bank adalah usaha bank dalam memperoleh dana bank dalam rangka membiayai kegiatan operasionalnya. Sumber dana yang dipilih dapat disesuaikan dengan penggunaan dana. Sumber-sumber dana yang ada dapat diperoleh dari sumber modal sendiri atau modal pinjaman dari masyarakat luas atau lembaga keuangan lainnya. Selanjutnya dana bank yang digunakan sebagai modal operasional dalam kegiatan usaha tersebut, menurut Kuncoro dan Suhardjono (2002:152) dapat bersumber dari:

1. Dana Sendiri (Dana pihak kesatu)

Dana sendiri adalah dana yang berasal dari para pemegang saham bank atau pemilik bank. Pencarian dana yang bersumber dari bank itu sendiri terdiri dari:

a. Modal yang disetor

Yaitu jumlah uang yang disetor secara efektif oleh para pemegang saham pada waktu bank berdiri. Pada umumnya modal setoran pertama dari pemilik bank sebagian digunakan untuk sarana perkantoran, pengadaan peralatan kantor dan promosi untuk menarik minat masyarakat. Selanjutnya modal ini dapat diperbesar lagi dengan cara penambahan modal oleh pemilik bank atau dengan cara melakukan go public.

b. Cadangan-cadangan

Yaitu sebagian dari laba bank yang disisihkan dalam bentuk cadangan modal dan cadangan lainnya yang akan dipergunakan untuk menutup timbulnya risiko dikemudian hari. Cadangan ini dapat diperbesar apabila

(11)

bagian untuk cadangan tersebut ditingkatkan atau bank mampu meningkatkan labanya.

c. Laba yang ditahan (retained earnings)

Yaitu bagian laba yang menjadi milik pemegang saham, akan tetapi oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diputuskan untuk tidak dibagi dan dimasukkan kembali dalam modal bank. Biasanya laba yang ditahan dipergunakan untuk memperkuat posisi cadangan likuiditas (cash reserve) atau untuk penambahan dana yang dapat dipinjamkan (loanable funds).

2. Dana pinjaman dari pihak di luar bank (dana pihak kedua)

Dana pinjaman dari pihak luar bank yang lazim disebut dengan dana pihak kedua adalah dana yang berasal dari pihak yang memberikan pinjaman kepada bank, yang terdiri dari empat pihak, yaitu:

a. Pinjaman dari Bank lain di dalam negeri

b. Pinjaman dari Bank atau Lembaga Keuangan di luar negeri c. Pinjaman dari Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) d. Pinjaman dari Bank Sentral (Bank Indonesia)

3. Dana Masyarakat (dana pihak ketiga)

Dana masyarakat adalah dana-dana yang berasal dari masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha, yang diperoleh bank dengan menggunakan berbagai instrumen produk simpanan yang dimiliki oleh bank. Dana masyarakat tersebut dihimpun dalam bentuk simpanan sebagai berikut: a. Giro (Demand Deposits)

Giro adalah simpanan pihak ketiga kepada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, surat perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemidah bukuan.

b. Deposito (Time Deposits)

Deposito adalah simpanan berjangka yang dikeluarkan oleh bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya. Deposito

(12)

dibedakan menjadi dua, yaitu Deposito Berjangka dan Sertifikat Deposito.

c. Tabungan (Saving)

Tabungan adalah simpanan pihak ketiga yang dikeluarkan oleh bank yang penyetoran dan penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku di masing-masing bank.

2.1.4.3 Pengalokasian Dana

Dana yang berhasil dihimpun oleh bank justru akan menjadi beban apabila dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha alokasi untuk tujuan-tujuan yang produktif. Dana yang telah dihimpun bukanlah dana yang semuanya murah tapi sebagian besar adalah dana dari deposan yang menimbulkan kewajiban bagi bank untuk membayar imbal jasa berupa bunga.

Berdasarkan kebutuhan tersebut dan juga untuk memperoleh penerimaan bank dalam rangka menutup biaya-biaya lain serta mendapatkan keuntungan, maka bank berusaha mengalokasikan dananya dalam berbagai bentuk aktiva dengan berbagai macam pertimbangan (Budisantoso dan Triandaru, 2006:102). Sebelum bank memutuskan untuk memilih suatu bentuk aktiva tertentu dalam pengalokasian dana yang telah berhasil dihimpun, banyak hal yang harus dipertimbangkan, yaitu risiko dan jangka waktu (Susilo, dkk. 2004:67).

Penggunaan atau pengalokasian dana bank menurut Kuncoro dan Suhardjono (2004:217) secara umum dibagi menjadi dua bagian umum, yaitu: 1. Aktiva yang tidak menghasilkan (non earning assets)

Aktiva yang tidak menghasilkan merupakan penempatan dana bank dalam asset yang tidak menghasilkan secara finansial, akan tetapi penempatan tersebut harus dilakukan oleh bank untuk memenuhi kewajiban kepada nasabah dan untuk kepentingan bank sendiri. Penanaman tersebut terdiri dari: a. Primary reserve

(13)

2. Aktiva yang menghasilkan (earning assets)

Aktiva yang menghasilkan merupakan penempatan oleh dana bank dalam asset yang menghasilkan pendapatan untuk menutup biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank. Dari aktiva inilah bank mengharapkan adanya selisih (margin) keuntungan dari kegiatan pengumpulan dan penyaluran dana. Penanaman tersebut umumnya terdiri dari:

a. Secondary reserve

b. Pinjaman yang diberikan (kredit) c. Investasi dana jangka panjang

2.2 Laporan keuangan

Laporan keuangan sangat perlu untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut.

2.2.1 Pengertian Laporan Keuangan

Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan kegiatan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca laporan laba/rugi, laporan perubahan posisi keuangan, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.

Pengertian laporan keuangan sendiri menurut Myer yang diterjemahkan oleh Munawir (2002:5) sebagai berikut:

“Dua daftar yang disusun oleh Akuntan pada akhir periode untuk suatu perusahaan. Kedua daftar tersebut adalah daftar neraca atau daftar posisi keuangan dan daftar pendapatan atau daftar laba-rugi. Pada waktu akhir-akhir ini sudah menjadi kebiasaan bagi perseroan-perseroan untuk menambahkan daftar ketiga yaitu daftar surplus atau daftar laba yang tidak dibagikan (laba yang ditahan).”

Sedangkan Sutrisno (2007:9) menyatakan bahwa:

“Laporan keuangan itu disusun untuk menyediakan informasi keuangan suatu perusahaan kepada pihak-pihak yang

(14)

berkepentingan (manajemen, pemilik, kreditor, investor, dan pemerintah)”.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa laporan keuangan merupakan alat untuk menginformasikan kondisi keuangan pada periode tertentu, yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan posisi kuangan serta catatan atas laporan keuangan yang akan digunakan oleh pemilik perusahaan, calon investor, kreditur, pemerintah dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan untuk melihat kinerja keuangan dan operasional perusahaan.

Para investor maupun para kreditur memerlukan laporan keuangan perusahaan dimana mereka menanamkan modalnya. Mereka ini berkepentingan terhadap prospek keuntungan di masa mendatang dan perkembangan perusahaan selanjutnya untuk mengetahui jaminan investasinya, kondisi kinerja dan kondisi keuangan jangka pendek perusahaan tersebut.

2.2.2 Tujuan Laporan Keuangan

Laporan keuangan dipersiapkan atau dibuat dengan maksud untuk memberikan gambaran atau laporan kemajuan (progress report) secara periodik yang dilakukan oleh pihak manajemen yang bersangkutan.

Menurut IAI (2004:4), tujuan laporan keuangan ada tiga jenis, yaitu: 1. Menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta

perubahan posisi keuangan perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.

2. Laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan.

3. Laporan keuangan menunjukan apa yang telah dilaksanakan manajemen (stewardship), atau pertanggung jawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya.

(15)

Disamping tujuan diatas, laporan keuangan juga memiliki fungsi sebagai pertanggung jawaban bagi manajemen kepada semua pihak yang menanamkan dan mempercayakan pengelolaan dananya dalam perusahaan tersebut terutama kepada pemilik.

2.2.3 Jenis-Jenis Laporan Keuangan

Agar laporan keuangan dapat mencapai tujuannya dalam memenuhi kebutuhan pemakai, cara penyajiannya harus berdasarkan prinsip akuntansi yang diterima umum.

Jenis-jenis laporan keuangan menurut Gitman (2006:46) adalah:

“The four key financial statements required by the SEC for reporting to shareholders are (1) the income statemen, (2) the balance sheet, (3) the statement of stockholders equity, and (4) the statement of cash flows”. Artinya bahwa empat kunci laporan keuangan yang diperlukan oleh SEC untuk dilaporkan kepada pemegang saham adalah (1) laporan laba rugi, (2) neraca, (3) laporan ekuitas pemegang saham, dan (4) laporan arus kas.

Menurut Hanafi dan Halim (2007:49) jenis-jenis laporan keuangan sebagai berikut:

1. Neraca

Salah satu laporan keuangan adalah untuk membantu investor, kreditur dan pihak-pihak lain menaksir besar, waktu serta ketidakpastian aliran kas suatu perusahaan. Tujuan yang lebih spesifik adalah untuk memberikan informasi mengenai sumber daya ekonomi, dan modal sendiri suatu perusahaan. Informasi tersebut diringkas dalam neraca. Neraca meringkas posisi keuangan suatu perusahaan periode tertentu.

2. Laporan laba-rugi

Laporan laba-rugi merupakan laporan hasil kegiatan perusahaan selama periode tertentu. Laporan ini sering dipandang sebagai laporan akuntansi yang paling penting dalam laporan tahunan. Kegiatan perusahaan selama periode tertentu mencakup aktivitas rutin atau operasional di samping aktivitas-aktivitas yang sifatnya tidak rutin dan jarang muncul.

(16)

3. Laporan aliran kas

Tujuan laporan aliran kas adalah untuk memberikan informasi mengenai penerimaan dan pembayaran kas selama periode tertentu, selain itu laporan aliran kas juga memberikan informasi mengenai efek kas dari kegiatan investasi, pendapatan dan operasi perusahaan selama periode tertentu.

2.2.4 Pihak-Pihak yang Berkepentingan terhadap Laporan Keuangan Laporan keuangan tidak dapat menyediakan seluruh informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi, karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian masa lalu dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan. Menurut Kasmir (2004:241) pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap laporan keuangan bank sebagai berikut:

1. Pemegang Saham

Bagi pemegang saham yang sekaligus merupakan pemilik bank, kepentingan terhadap laporan keuangan bank adalah untuk melihat kemajuan bank yang dipimpin oleh manajemen dalam suatu periode. Bagi pemilik dengan adalanya laporan keuangan ini, akan dapat memberikan gambaran berapa jumlah dividen yang akan mereka terima. Kemudian adalah untuk melihat kinerja pihak manajemen dalam menjalankan kepercayaan yang diberikannya

2. Pemerintah

Bagi pemerintah, laporan keuangan baik bagi bank-bank pemerintah maupun bank swasta adalah untuk mengetahui kemajuan bank yang bersangkutan. Kemudian pemerintah juga berkepentingan terhadap kepatuhan bank dalam melaksanakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan. Pemerintah juga berkepentingan sampai sejauh mana peranan perbankan dalam pengembangan sektor-sektor industri tertentu.

3. Manajemen

Laporan keuanagn bagi pihak manajemen adalah untuk menilai kinerja manajemen bank dalam mencapai target-targer yang telah ditetapkan.

(17)

Kemudian juga untuk menilai kinerja manajemen dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Ukuran keberhasilan ini dapat dilihat dari pertumbuhan laba yang diperoleh dan pengembangan aset-aset yang dimilikinya.

4. Karyawan

Bagi karyawan dengan adanya laporan keuangan juga untuk mengetahui kondisi keuangan bank yang sebenarnya.

5. Masyarakat Luas

Bagi masyarakat luas laporan keuangan bank merupakan suatu jaminan terhadap uang yang disimpan di bank. Jaminan ini dapat diperoleh dari laporan keuangan yang ada di laporan keuangan.

2.2.5 Analisis Laporan Keuangan

Suatu laporan keuangan belum dapat memberikan informasi yang berguna, apabila hanya dilihat sepintas saja. Laporan keuangan baru dapat memberikan informasi yang berguna mengenai posisi dan kondisi keuangan suatu perusahaan apabila dipelajari, diperbandingkan, dan dianalisis. Melalui analisis tersebut akan diperoleh semua jawaban yang berhubungan dengan masalah posisi keuangan serta hasil-hasil yang dicapai oleh perusahaan.

Analisis laporan keuangan adalah penelaahan dengan mempelajari hubungan-hubungan untuk menentukan posisi keuangan dan hasil operasional serta perkembangan perusahaan menurut laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan yang bersangkutan. Menurut Harahap (2004:190). Analisis laporan keuangan adalah:

“Menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau mempunyai makna antara satu dengan yang lain, baik antara data kuantitatif maupun data non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat.”

(18)

Sedangkan menurut Syamsudin (2002:37):

“Analisis laporan keuangan pada dasarnya merupakan perhitungan ratio-ratio untuk menilai keadaan keuangan perusahaan dimasa lalu, saat ini dan kemungkinan dimasa depan.”

Kegiatan analisis laporan keuangan berfungsi untuk mengkonversikan data yang berasal dari laporan sebagai bahan mentahnya menjadi informasi yang lebih berguna, lebih mendalam, dan tajam, dengan teknik tertentu. Oleh karena itu, kegunaan atau manfaat analisis laporan keuangan sepenuhnya terletak pada kemampuan dan keterampilan analisisnya dalam menginterpretasikannya.

2.2.4.1 Tujuan Analisis Laporan Keuangan

Tujuan analisis laporan keuangan adalah menggunakan data historis akuntansi untuk membantu memprediksi bagaimana kinerja perusahaan di masa mendatang. Hal ini merupakan hal terpenting dari suatu analisis laporan keuangan. Investor pada prinsipnya sangat memperhatikan tingkat profitabilitas perusahaan yang akan dapat menjamin tingkat keuntungan yang diperoleh. Sedangkan dari sudut manajemen, analisis laporan keuangan berguna sebagai cara untuk mengantisipasi keadaan dimasa mendatang. Menurut Prastowo dan Julianty (2005:57), tujuan dari analisis laporan keuangan adalah:

“Mengurangi ketergantungan para pengambil keputusan pada dugaan murni, tertekan dan intuisi. Mengurangi dan mempersempit lingkup ketidakpastian yang tidak bisa dielakan pada setiap proses pengambilan keputusan. Analisis laporan keuangan tidaklah berarti mengurangi kebutuhan akan penggunaan pertimbanggan-pertimbangan melainkan hanya memberikan dasar yang layak dan sistematis dalam menggunakan pertimbangan-pertimbangan tersebut.”

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil dari analisis laporan keuangan dapat meminimalkan bahkan menghilangkan penilaian yang bersifat dugaan semata, ketidakpastian, pertimbangan pribadi, dan kesalaha proses akuntansi.

(19)

2.3 Tingkat Kesehatan Bank

2.3.1 Pengertian Tingkat Kesehatan Bank

Kinerja suatu bank merupakan ukuran keberhasilan bagi direksi bank tersebut, sehingga apabila kinerja ini buruk bukan tidak mungkin para direksi ini akan diganti. Kinerja ini juga merupakan pedoman hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki dan bagaimana cara memperbaikinya.

Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat. Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan cara bank-bank diharuskan membuat laporan baik yang bersifat rutin maupun berkala mengenai seluruh aktivitasnya. Dari laporan ini dipelajari dan dianalisis, sehingga dapat diketahui kondisi kesehatannya akan memudahkan bank itu sendiri untuk memperbaiki kesehatannya. Sedangkan pengertian tingkat kesehatan bank menurut Taswan (2006:381), sebagai berikut:

“Hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas asset, manajemen, profitabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar, dan dijadikan penilaian kuantitatif atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement.”

Penilaian untuk menentukan kondisi suatu bank, biasanya menggunakan berbagai alat ukur. Salah satu alat ukur yang utama yang digunakan untuk menentukan kondisi suatu bank dikenal dengan nama analisis CAMEL. Analisis ini terdiri dari aspek capital, assets, management, earning, dan liquidity. Hasil dari masing-masing aspek ini kemudian akan menghasilkan kondisi suatu bank.

2.3.2 Penilaian Kecukupan Permodalan (Capital)

Penilaian pertama adalah aspek permodalan (capital) suatu bank. Dalam aspek ini yang dinilai adalah permodalan yang dimiliki bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank.

Kecukupan modal (capital adequacy) adalah kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan

(20)

kemampuan manajemen dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal bank.

Perhitungan Capital Adequacy ini didasarkan atas prinsip bahwa setiap penanaman yang mengandung risiko harus disediakan jumlah modal sebesar presentase tertentu (risk margin) terhadap jumlah penanamannya. Berdasarkan Pakfeb 1991, perbankan diwajibkan memenuhi Kewajiban Penyertaan Modal Minimum atau dikenal dengan CAR (Capital Adequacy Ratio), yang diukur dari presentase tertentu terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Sejalan dengan standar yang ditetapkan Bank of International Settlements (BIS), terhadap seluruh bank di Indonesia diwajibkan untuk menyediakan modal minimum sebesar 8% dari ATMR. Modal yang dimaksud menurut Kasmir (2004:259) terdiri dari:

1. Modal bagi bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia terdiri atas modal inti dan modal pelengkap.

2. Modal kantor cabang bank asing terdiri atas dana bersih kantor pusat dan kantor-kantor cabangnya di luar Indonesia.

2.3.2.1 Pengertian Modal Bank

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, pengertian modal bank dibedakan antara bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia dan kantor cabang bank asing yang beroperasi di Indonesia.

Menurut Dendawijaya (2006:38), modal bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia terdiri atas modal inti atau primary capital dan modal pelengkap atau secondary capital.

1. Modal Inti

Komponen modal inti pada prinsipnya terdiri atas modal disetor dan cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak, dengan perincian sebagai berikut:

(21)

a. Modal disetor

Modal disetor adalah modal yang telah disetor secara efektif oleh pemiliknya.

b. Agio saham

Agio saham adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh bank sebagai akibat dari harga saham yang melebihi nilai nominalnya.

c. Cadangan saham

Cadangan umum adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba ditahan atau laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat anggota sesuai anggaran masing-masing.

d. Cadangan tujuan

Cadangan tujuan adalah bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.

e. Laba ditahan

Laba ditahan adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan.

f. Laba tahun lalu

Laba tahun lalu adalah laba bersih tahun-tahun lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditentukan penggunaannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.

g. Laba tahun berjalan

Laba tahun berjalan adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran utang pajak.

h. Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsilidasikan bagian kekayaan bersih tersebut adalah modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan nilai penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut.

(22)

2. Modal Pelengkap

Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang tidak dibentuk dari laba setelah pajak dan pinjaman yang sifatnya dapat dipersamakan dengan modal. Secara terperinci modal pelengkap dapat berupa sebagai berikut: a. Cadangan revaluasi aktiva tetap

Cadangan revaluasi aktiva tetap adalah cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan dari Direktorak Jendral Pajak.

b. Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasi

Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasi adalah cadangan yang dibentuk dengan caara membebani laba rugi tahun berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat tidak diterimanya kembali, sebagian atau seluruh aktiva produktif. c. Modal kuasi

Modal kuasi adalah modal yang didukung oleh instrumen atau warkat yang memiliki sifat seperti modal.

d. Pinjaman subordinasi

Pinjaman subordinasi adalah pinjaman yang harus memenuhi berbagai syarat, seperti ada perjanjian tertulis antara bank dan pemberi pinjaman mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, minimal 5 tahun dan pelunasan sebelum jatuh tempo harus atas persetujuan Bank Indonesia.

2.3.2.2 Fungsi Modal Bank

Modal bank berfungsi untuk membiayai seluruh kegiatan operasional bank, dan juga untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank tersebut untuk tetap eksis dan menjalankan usahanya dengan baik dan bertanggung jawab. Menurut Taswan (2006:72) fungsi dari modal bank adalah: 1. Untuk melindungi deposan dengan menangkal semua kerugian usaha

perbankan sebagai akibat salah satu atau kombinasi risiko perbankan, misalnya likuidasi bank.

(23)

2. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat berkenaan dengan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo dan memberik keyakinan mengenai kelanjutan operasi bank meskipun terjadi kerugian. 3. Untuk membiayai kebutuhan aktiva tetap seperti gedung, peralatan dan

sebagainya.

4. Untuk memenuhi regulasi permodalan yang sehat menurut otoritas moneter.

2.3.2.3 Kewajiban Penyediaan Modal Minimum

Ketentuan tentang penyediaan modal minimum bank umum yang berlaku di Indonesia mengikuti standar Bank of Settlements (BIS). Sejalan dengan standar tersebut, dalam kerangka Paket Deregulasi tanggal 29 Februari 1991 (Pakfeb 1991), Bank Indonesia mewajibkan setiap bank umum menyediakan modal minimum sebesar 8% dari total aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/1/BPPP Tanggal 29 Mei 1993.

Perhitungan penyediaan modal minimum atau kecukupan modal bank (Capital Adequacy) didasarkan kepada rasio atau perbandingan antara modal yang dimiliki bank dan jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Perincian mengenai modal ATMR yang dimiliki bank telah diuraikan sebelumnya. ATMR merupakan penjumlahan ATMR aktiva neraca (aktiva yang tercantum dalam neraca) dan ATMR aktiva administratif (aktiva yang bersifat administratif).

Berikut ini adalah langkah-langkah perhitungan penyediaan modal minimum bank menurut Dendawijaya (2006:41) sebagai berikut:

1. ATMR aktiva neraca dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal masing-masing aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing-masing-masing-masing pos aktiva neraca tersebut.

2. ATMR aktiva administratif dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal rekening administratif yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing-masing pos rekening tersebut.

3. Total ATMR = ATMR aktiva neraca + ATMR aktiva administratif.

4. Rasio modal bank dihitung dengan cara membandingkan antara modal bank (modal inti + modal pelengkap) dan total ATMR.

(24)

Hasil perhitungan rasio diatas kemudian dibandingkan dengan kewajiban penyediaan modal minimum (yakni sebesar 8%). Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, dapatlah diketahui apakah bank yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan CAR (kecukupan modal) atau tidak. Jika hasil perbandingan antara perhitungan rasio modal dan kewajiban penyediaan modal minimum sama dengan 100% atau lebih, modal bank yang bersangkutan telah memenuhi CAR (kecukupan modal). Sebaliknya, bila hasilnya kurang dari 100%, modal bank tersebut tidak memenuhi ketentuan CAR.

2.3.2.4 Capital Adequacy Ratio (CAR)

Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas harus menyesuaikan diri terhadap perkembangan perbankan internasional untuk dapat menyiapkan perbankan nasional menjadi bank yang siap bersaing. Untuk itu pula maka Bank Indonesia mengeluarkan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang dapat menjadi persyaratan bagi bank dalam mengelola modalnya tanpa mengabaikan risiko. Dimana pengertian Capital Adequacy Ratio (CAR) menurut Menurut Susilo, dkk. (2007:27), sebagai berikut:

“CAR (Capital Adequacy Ratio) yaitu kewajiban penyediaan modal minimum yang harus selalu dipertahankan oleh setiap bank sebagai sesuatu proporsi tertentu dari total aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).”

Sedangkan menurut Dedawijaya (2006:121):

“Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan.”

Maka dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulan bahwa, Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan suatu indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan kerugian didalam kegiatan perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga,

(25)

dengan rasio minimum 8% atas permodalan terhadap aktiva yang mengandung risiko.

Besarnya nilai Capital Adequacy Ratio (CAR) suatu bank menurut Taswan (2006:383) dapat dihitung sebagai berikut:

100%

Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko. Selain itu CAR juga merupakan rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank mengandung risiko (kreedit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank, di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber dari luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang), dan lain-lain.

Dimana Susilo, dkk. (2003:28) menyatakan bahwa, Capital Adequacy Ratio (CAR) didapat dengan cara membagi modal inti ditambah modal pelengkap dibagi ATMR. ATMR adalah nilai total masing-masing aktiva bank setelah dikalikan dengan masing-masing bobot risiko aktiva tersebut. Aktiva yang paling tidak berisiko diberi bobot 0%, dan aktiva yang paling berisiko diberi bobot 100%. Dengan demikian ATMR menunjukkan nilai aktiva berisiko yang memerlukan antisipasi modal dalam jumlah yang cukup.

Dimana perhitungan Capital Adequacy Ratio (CAR) secara lengkap dapat dijelaskan seperti dibawah ini:

a. Dasar perhitungan kebutuhan modal

Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada ATMR. Pengertian aktiva dalam perhitungan ini mencakup aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana yang tercermin pada kewajiban yang masih bersifat kontinjen dan/atau komitmen yang disediakan oleh bank bagi pihak ketiga. Dalam menghitung ATMR terhadap masing-masing pos aktiva diberikan bobot risiko yang didasarkan pada golongan nasabah penjamin, serta sifat anggunan. Dapat ditambahkan bahwa untuk

(26)

kredit-kredit yang penarikannya dilakukan secara bertahap, maka bobot risiko dihitung berdasarkan besarnya penarikan kredit pada tahap yang bersangkutan.

b. Bobot risiko aktiva neraca

Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut diatas, maka rincian bobot risiko untuk semua aktiva neraca bank baik dalam rupiah maupun valuta asing sebagai berikut:

0% : 1) Kas

2) Emas dan mata uang emas

3) Tagihan kepada, atau tagihan yang dijamin oleh, atau surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh:

a) Pemerintah pusat Republik Indonesia b) Bank Indonesia

c) Bank sentral negara lain d) Pemerintah pusat negara lain

4) Tagihan yang dijamin dengan uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, serta giro, depisoto dan tabungan pada bank yang bersangkutan sebesar nilai jaminannya. Jaminan jenis ini dalam laporan bulanan dilaporkan dengan sandi golongan penjamin dari bank yang bersangkutan.

20% : Tagihan kepada atau tagihan yang dijamin oleh, atau surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh:

1) Bank-bank di dalam negeri (termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri)

2) Pemerintah daerah di Indonesia 3) Lembaga non departemen di Indonesia 4) Bank-bank pembangunan multilateral 5) Bank-bank utama (prime bank) di luar negeri

50% : 1) Kredit kepemilikan rumah (KPR) yang dijamin oleh hipotik pertama dengan tujuan untuk dihuni.

(27)

2) Tagihan kepada atau tagihan yang dijamin oleh atau surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh BUMN dan perusahaan milik pemerintah pusar negara lain.

100% : 1) Tagihan kepada atau tagihan yang dijamin oleh atau surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh:

a) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) b) Koperasi

c) Perusahaan swasta d) Perorangan e) Lainnya

2) Penyertaan yang tidak dikonsolidasikan termasuk penyertaan pada bank lain

3) Aktiva tetap dan inventori (nilai buku) 4) Rupa-rupa aktiva

5) Antar kantor aktiva neto yaitu kantor aktiva dikurangi pasiva.

2.3.2.5 Faktor-Faktor yang dapat Mempengaruhi Capital Adequacy Ratio (CAR)

Melihat fungsi dari Bank Capital diatas timbul suatu pertanyaan bagaimana atau beberapa capital suatu bank tersebut telah memadai untuk menunjang kebutuhannya, dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh besar. Menurut Amaliawati (2001:42), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi CAR dapat diartikan sebagai berikut:

1. Tingkat kualitas manajemen bank yang bersangkutan apabila suatu bank dipimpin/dikelola oleh suatu kelompok manajemen yang berkualitas tinggi yang ditinjau dari berbagai aspek, maka hasilnya tentu akan berlainan dengan bank yang dikelola oleh suatu kelompok manajemen yang berkualitas rendah dan tidak kompak.

2. Tingkat likuiditas yang dimilikinya.

Suatu bank yang memiliki alat-alat likuid yang sangat terbatas dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya, akan ada kemungkinan penyediaan

(28)

likuiditas tersebut akan diambil dari permodalannya. Dengan demikian akan dirasakan oleh manajemen bank yang bersangkutan, betapa terbatasnya modal yang dimiliki oleh bank.

3. Tingkat kualitas dari asset

Suatu bank yang banyak memiliki debitur dan non earning assets lainnya yang kurang produktif maka sudah dapat dipastikan bank tersebut tidak melaksanakan kegiatannya secara lancar.

4. Struktur dari depositonya

5. Tingkat Kualitas dari Sistem dan Operating Prosedurnya 6. Tingkat Kualitas dan Karakter dari Para Pemilik Sahamnya

7. Kapasitas untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek maupun jangka panjang 8. Riwayat Pemupukan Modal dan Pertautan Pembagian Laba ynag

Diperolehnya.

2.3.3 Penilaian Kualitas Aktiva Produktif (Assets Quality)

Kualitas aktiva produktif (Assets Quality) ini menunjukkan kualitas aset sehubungan dengan risiko kredit yang dihadapi bank akibat pemberian kredit dan investasi dana bank pada portofolio yang berbeda. Setiap penanaman dana bank dalam aktiva produktif dinilai kualitasnya dengan menentukan tingkat kolektibilitasnya, yaitu apakah lancar, kurang lancar, diragukan atau macet. Pembedaan tingkat kolektibilitas tersebut diperlukan untuk mengetahui besarnya cadangan minimum penghapusan aktiva produktif yang harus disediakan oleh bank untuk menutup risiko kemungkinan kerugian yang terjadi. Berdasarkan Pakfeb 1991, bank wajib membentuk cadangan tersebut sekurang-kurangnya sebesar 1% dari seluruh aktiva produktif ditambah dengan:

1. 3% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar, 2. 50% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan, 3. 100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet.

Menurut Kasmir (2003:259), penilaian tingkat kesehatan aktiva produktif suatu bank didasarkan pada penilaian terhadap kualitas aktiva produktif yang dikuantifikasikan dan didasarkan pada dua rasio sebagai berikut:

(29)

1. Perbandingan aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap jumlah seluruh aktiva produktif,

2. Perbandingan cadangan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva yang diklasifikasikan.

2.3.3.1 Pengertian Aktiva Produktif

Aktiva produktif ini menunjukkan kualitas aset sehubungan dengan risiko kredit yang dihadapi bank akibat pemberian kredit dan investasi dana bank pada protofolio yang berbeda. Setiap penanaman dana bank dalam aktiva produktif dinilai kualitasnya dengan menentukan tingkat kolektibilitasnya, yaitu apakah lancar, kurang lancar, diragukan atau macet. Perbedaan tingkat kolektibilitas tersebut diperlukan untuk mengetahui besarnya cadangan minimum penghapusan aktiva produktif yang harus disediakan oleh bank untuk menutup risiko kemungkinan kerugian yang terjadi.

Aktiva produktif menurut Laporan Bank Indonesia (2004) diartikan: “Penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, penyertaan termasuk komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif.”

Penilaian tingkat kesehatan aktiva produktif suatu bank didasarkan terhadap penilaian kualitas aktiva produktif yang dikuantifikasikan dan didasarkan pada dua rasio sebagai berikut:

1. Perbandingan aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap jumlah seluruh aktiva produktif, dan

2. Perbandingan cadangan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva yang diklasifikasikan.

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.23/12/BPPD Tanggal 28 Februari 1991, yang termasuk ke dalam aktiva produktif sebagai berikut:

1. Surat berharga,

2. Penempatan pada bank lain, 3. Penyertaan,

(30)

4. Kredit yang disalurkan,

5. Transaksi rekening administratif.

2.3.3.2 Non Performing Loan (NPL)

Penentuan tingkat kesehatan kualitas aktiva produktif yang sehat menurut Bank Indonesia sangat erat kaitannya dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) yang boleh dimiliki bank. NPL merupakan salah satu rasio yang digunakan di dalam menilai Kualitas Aktiva Produktif (KAP). Penyesuaian terhadap KAP dilakukan karena di Indonesia hanya Bank Indonesia dan bank yang bersangkutan yang mengetahui tingkat kolektibilitas kualitas aktiva tersebut. Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas asset antara lain dilakukan salah satunya melalui penilaian terhadap komponen Non Performing Loan yaitu membandingkan antara kredit tidak lancar dengan total kredit yang diberikan (Budisantoso dan Triandaru, 2006:53).

Batas aman NPL adalah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu maksimal sebesar 5%. Non Performing Loan (NPL) ini menunjukkan bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Pengertian Non Performing Loan (NPL) menurut Mahmoeddin (2010:2) sebagai berikut:

Non Performing Loan adalah kredit yang tidak menepati jadwal

angsuran sehingga terjadi tunggakan.”

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu kredit dikategorikan sebagai kredit yang bermasalah bila tidak dapat kembali sesuai jangka waktu yang telah disepakati.

Untuk mengetahui besarnya Non Performing Loan (NPL) suatu bank, Bank Indonesia menginstrusikan perhitungan NPL dalam laporan tahunan perbankan nasional sesuai dengan Surat Edaran BI N0.3/33/DPNP Tanggal 14 Desember 2001 tentang Perhitungan Rasio Keuangan yang dirumuskan sebagai berikut:

(31)

2.3.3.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Non Performing Loan (NPL) Non Performing Loan (NPL) merupakan sumber kerugian potensial bagi bank jika pihak bank tidak mampu menanganinya dengan baik. Non Performing Loan (NPL) dapat menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank. Menurut Mahmoeddin (2010:52), faktor-faktor penyebab terjadinya Non Performing Loan (NPL) diuraikan sebagai berikut:

1. Faktor internal perbankan

Faktor internal perbankan yang menyebabkan Non Performing Loan (NPL) ialah adanya kelemahan atau kesalahan dalam bank itu sendiri. Faktor internal perbankan terdiri dari:

a. Kelemahan dalam analisis kredit; b. Kelemahan dalam dokumen kredit; c. Kelemahan dalam supervise kredit; d. Kecerobohan petugas bank;

e. Kelemahan kebijaksanaan kredit; f. Kelemahan bidang agunan; g. Kelemahan sumber daya manusia; h. Kelemahan teknologi; dan

i. Kecurangan petugas bank. 2. Faktor internal nasabah

Faktor internal perbankan yang menyebabkan Non Performing Loan (NPL) terdiri dari:

a. Kelemahan karakter nasabah;

b. Kelemahan kemampuan nasabah;

c. Musibah yang dialami nasabah; d. Kecerobohan nasabah; dan

e. Kelemahan manajemen nasabah.

3. Faktor eksternal

Faktor eksternal yang menyebabkan Non Performing Loan (NPL) terdiri dari: a. Situasi ekonomi yang negatif;

(32)

b. Situasi politik dalam negeri yang merugikan; c. Politik negara lain yang merugikan;

d. Situasi alam merugikan;

e. Peraturan pemerintah yang merugikan. 4. Faktor kegagalan bisnis

5. Ketidak mampuan manajemen

2.3.4 Penilaian Manajemen (Management)

Penilaian manajemen ini menunjukkan kemampuan manajemen bank untuk mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengontrol risiko-risiko yang timbul melalui kebijakan-kebijakan dan strategi bisnisnya untuk mencapai target. Penilaian manajemen menurut penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia No.6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum adalah:

“Penilaian manajemen merupakan penilaian terhadap kemampuan manajerial pengurus Bank untuk menjalankan usahanya, kecukupan manajemen risiko, dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.”

Keberhasilan dari manajemen bank didasarkan pada penilaian kualitatif terhadap manajemen yang mencakup beberapa komponen. Komponen tersebut terdiri dari manajemen permodalan, manajemen kualitas aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas yang keseluruhannya meliputi 250 aspek. Manajemen bank dapat diklasifikasikan sebagai sehat apabila sekurang-kurangnya telah memenuhi 81% dari seluruh aspek tersebut.

Menurut Budisantoso dan Triandaru (2006:53) penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1. Manajemen umum;

2. Penerapan sistem manajemen risiko;

3. Kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.

(33)

2.3.5 Penilaian Profitabilitas (Earning)

Penilaian Rentabilitas atau Profitabilitas (Earning) menunjukkan tidak hanya jumlah kuantitas dan trend earning tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan kualitas earning. Laba atau kurangnya laba mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mendapat pinjaman dan pendanaan ekuitas, posisi likuiditas perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk berubah. Jumlah keuntungan yang diperoleh secara teratur serta kecenderungan atau trend keuntungan yang meningkat merupakan suatu faktor yang sangat penting yang perlu mendapat perhatian penganalisa di dalam menilai profitabilitas suatu perusahaan.

Rentabilitas atau profitabilitas sering digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal dalam suatu perusahaan dengan memperbandingkan antara laba dengan modal yang digunakan dalam operasi, oleh karena itu keuntungan yang besar tidak menjamin atau bukan merupakan ukuran bahwa perusahaan itu rentable (Munawir, 2004:57). Oleh karena itu, bagi manajemen atau pihak-pihak yang lain, rentabilitas yang tinggi lebih penting daripada keuntungan yang besar. Rentabilitas suatu perusahaan diukur dengan kesuksesan perusahaan dan kemampuan menggunakan aktiva secara produktif, dengan demikian rentabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan memperbandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut.

Menurut Budisantoso dan Trianduri (2006:54) penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1. Pengembalian atas aktiva (return on assets / ROA); 2. Pengembalian atas ekuitas (return on equity / ROE); 3. Margin bunga bersih (net interest margin / NIM);

4. Biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO); 5. Pertumbuhan laba operasional;

(34)

7. Penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya; dan 8. Prospek laba operasional.

2.3.5.1 Pengertian Profitabilitas

Profitabilitas bank merupakan kemampuan bank dalam menghasilkan laba. Kemampuan ini dilakukan dalam satu periode. Bank yang sehat adalah bank yang diukur secara profitabilitas atau rentabilitas yang terus meningkat diatas standar yang ditetapkan. Menurut Hasibuan (2005:100), bahwa:

“Rentabilitas atau Profitabilitas bank adalah suatu kemampuan bank untuk memperoleh laba yang dinyatakan dalam presentase.”

Sedangkan menurut Dendawidjaya (2006:118), pengertian profitabilitas adalah:

“Profitabilitas atau Rentabilitas bank adalah alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan.”

Profitabilitas menunjukkan tidak hanya jumlah kuantitas dan tren earning tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan kualitas earning. Hasibuan (2005:100) menyatakan bahwa, Bank Indonesia menilai kondisi profitabilitas perbankan di Indonesia didasarkan pada dua indikator, yaitu:

1. Return on Assets (ROA) atau tingkat pengembalian atas aset, dan 2. Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).

Suatu bank dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi sehat apabila:

1. Rasio tingkat pengembalian atau ROA mencapai sekurang-kurangnya 1,2%; 2. Rasio Biaya Operasional terhadap pendapatan operasional tidak melebihi

93,5%.

2.3.6 Penilaian Likuiditas (Liquidity)

Likuiditas (Liquidity) menunjukkan ketersediaan dana dan sumber dana bank pada saat ini dan masa yang akan datang. Menurut Martono dan Harjito (2002:89) pada aspek likuiditas ini penilaian didasarkan atas kemampuan bank dalam membayar semua hutang-hutangnya terutama simpanan tabungan, giro, dan

(35)

deposito pada saat ditagih dan dapat memenuhi semua permohonan kredit layak yang disetujui.

Pengaturan likuiditas bank terutama dimaksudkan agar bank setiap saat dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus segera dibayar. Berdasarkan Pakfeb 1991, bank wajib memelihara likuiditasnya yang didasarkan pada dua rasio dengan bobot yang sama. Rasio tersebut sebagai berikut:

1. Perbandingan jumlah kewajiban bersih call money terhadap aktiva lancar yaitu kas, giro pada Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia, dan Surat Berharga Pasar Uang dalam Rupiah yang diendors bank lain, dan

2. Perbandingan antara kredit yang diberikan terhadap dana pihak ketiga, termasuk pinjaman yang diterima dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan.

Nilai Kredit Predikat 81-100 66-80 51-66 0 - <51 Sehat Cukup sehat Kurang sehat Tidak sehat Sumber: Kasmir (2004:261)

Menurut Budisantoso dan Triandaru (2006:54) penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:

1. Aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan pasiva likuid kurang dari 1 bulan;

2. One month maturity mismatch ratio;

3. Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio / LDR); 4. Proyeksi arus kas tiga bulan mendatang;

5. Ketergantungan pada dana antarbank dan deposan inti;

6. Kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management / ALMA);

(36)

7. Kemampuan bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasa modal atau sumber-sumber pendanaan lainnya; dan

8. Stabilitas Dana Pihak Ketiga (DPK).

2.3.6.1 Pengertian Likuiditas Bank

Likuiditas bank sangat penting karena besar likuiditas wajib minimum (LWM) atau giro wajib minimum (GWM) bank telah ditetapkan Bank Indonesia selaku bank sentral. Dimana likuiditas bank menurut Hasibuan (2002:94), sebagai berikut:

“Likuiditas (cash ratio) bank adalah kemampuan bank untuk membayar semua utang jangka pendeknya dengan alat-alat likuid yang dikuasai.”

Sedangkan menurut Wahdi yang dikutip oleh Hasibuan (2002:94) sebagai berikut:

“Likuiditas dimaksudkan sebagai perbandingan antara jumlah uang tunai dan aktiva lain yang dapat disamakan dengan uang tunai di satu pihak dengan jumlah utang lancar di lain pihak.”

Likuiditas bank diartikan sebagai kemampuan penyediaan alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus dibayar. Pengukuran suatu rasio antara jumlah kredit yang diberikan bank dan jumlah dana yang diterima merupakan salah satu komponen dalam faktor likuiditas. Menurut Kuncoro dan Suhardjono (2002:280) menyatakan dalam pengelolaan likuiditas bank ada beberapa risiko yang mungkin timbul antara lain sebagai berikut:

1. Risiko Pendanaan (funding risk)

Risiko ini timbul apabila bank tidak cukup dana untuk memenuhi kewajibannya. Beberapa hal yang dapat menyebabkan risiko pendanaan adalah penarikan deposito dan pinjaman dalam jumlah besar yang tidak dapat di duga sebelumnya, atau jatuh tempo (maturity profile) dari aset mauoun liabilitas tidak terdeteksi dan sebagainya.

(37)

Adanya berbagai variasi tingkat suku bunga dalam aset maupun liabilitas dapat menimbulkan ketidakpastian tingkat keuntungan yang diperoleh.

Pengelolaan likuiditas ditujukan untuk memperkecil risiko likuiditas yang disebabkan oleh adanya kekurangan dana, sehingga dalam memenuhi kewajibannya bank tidak perlu harus mencari dana dengan suku bunga yang relatif tinggi di pasar uang atau bank terpaksa menjual sebagian asetnya dengan kerugian yang relatif besar yang akan mempengaruhi pendapatan bank. Apabila keadaan ini terjadi dan terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan terjadi erosi kepercayaan masyarakat terhadap bank.

2.3.6.2 Loan to Deposit Ratio (LDR)

Loan to deposit ratio (LDR) adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.25/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993, termasuk dalam pengertian dana yang diterima bank sebagai berikut:

1. Giro, deposito, dan tabungan masyarakat.

2. Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan, tidak termasuk pinjaman subordinasi.

3. Deposito dan pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan.

4. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan.

5. Modal pinjaman. 6. Modal inti.

Secara formulasi dinyatakan sebagai berikut:

100%

Dimana menurut Kasmir (2003:261) Loan to deposit ratio (LDR) tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan

(38)

sebagai sumber likuiditasnya. Dengan kata lain, seberapa jauh pemberian kredit kepada nasabah kredit dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan kredit.

Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar.

Dalam tata cara penilaian tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia menetapkan ketentuan sebagai berikut:

1. Untuk rasio LDR sebesar 110% atau lebih diberi nilai kredit 0, artinya likuiditas bank tersebut dinilai tidak sehat.

2. Untuk rasio LDR di bawah 110% diberi nilai kredit 100, artinya likuiditas bank tersebut dinilai sehat.

Rasio ini juga merupakan indikator kerawanan dan kemampuan dari suatu bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari loan to deposit ratio suatu bank adalah sekitar 80%. Namun, batas normal toleransi berkisar antara 85% sampai 100% (Dendawijaya, 2005:117).

2.4 Saham

2.4.1 Pengertian Saham

Saham menurut buku panduan pemodal Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah bukti penyertaan modal di suatu perusahaan atau merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan kertas tersebut sesuai dengan proporsi kepemilikannya yang tertera pada saham.

Menurut Budisantoso dan Triandaru (2006:293) saham adalah:

“Saham adalah sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut.

(39)

Selanjutnya menurut Martono dan Harjito (2007:231) bahwa:

“Saham adalah tanda bukti kepemilikan atau penyertaan pemegangnya atas perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut (emiten). Saham juga merupakan bukti pengambilan bagian atau peserta dalam perusahaan yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas).” Dapat disimpulkan bahwa saham adalah tanda bukti keikutsertaan dalam modal perusahaan dan mempunyai hak atas sebagian kekayaan perusahaan itu dan prosporsinya sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham tersebut.

2.4.2 Return Saham

Return merupakan kembalian yang diperoleh seorang investor dalam bertransaksi dalam sebuah bursa. Setiap investor yang menginvestasikan sahamnya disuatu perusahaan tertentu mengharapkan imbalan atas apa yang telah dikorbankannya. Imbalan itu bisa berupa dividen dan capital gain atau dengan kata lain kedua imbalan tersebut merupakan return saham yang akan diterima oleh pemegang saham. Menurut Gitman (2009:228), return saham adalah:

“Tingkat pengembalian (return) adalah keuntungan total atau kerugian yang dialami pada suatu investasi selama periode waktu tertentu. Dihitung dengan membagi distribusi kas aset selama periode tersebut, ditambah perubahan nilai, dengan awal periode dari nilai investasinya.”

Menurut Ross et al (2003:238) return saham yang diterima investor dinyatakan sebagai berikut:

."# ."$ %"&'()

%"&'( 100%

Keterangan:

Ri.t = tingkat keuntungan saham i pada periode t

Pi(t-1) = harga saham i pada periode t-1

Referensi

Dokumen terkait

Waktu paruh dari senyawa kimia boraks adalah sekitar 20 jam, namun pada kasus dimana terjadi knsumsi boraks dalam jumlah yang besar maka waktu eliminasi senyawa

Masalah Akad Syariah, (Bandung: Kaifa, 2011), h.38.. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli

Untuk budidaya tanaman cabai merah agar bebas dari serangan hama kutu daun persik disarankan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari tanaman batrawali,

• Saat tombol D-E-F sudah tetap menyala bersamaan, mesin siap untuk menyajikan susu.... Petunjuk

Faktor Green Brand Knowledge terhadap penerimaan makanan instan Jepang yaitu tidak memiliki pengaruh pada perilaku makanan halal dikarenakan dikaitkan dengan kesenjangan dan

Rasional Agar dapat mencapai misi Politeknik Perkapalan Negeri Perkapalan khusunya misi yang pertama, yaitu melaksanakan program pendidikan vokasi dan penelitian

¾ Sementara itu rencana the Fed yang akan menaikkan suku bunga pada pertengahan tahun 2015 ini tidak perlu diantisipasi dengan menaikkan BI rate untuk meredam gejolak yang

Area ini juga digunakan sebagai ruang pamer untuk koleksi tetap yang termasuk di dalamnya karya seniman Indonesia dan luar negri?. Galeri Sayap (Wing Gallery) Ruang