ACUAN ALOKASI RISIKO
KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA DI INDONESIA
i
Memahami kebutuhan akan dukungan fiskal Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, khususnya
dalam skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau
Public Private Partnership
(
PPP
), Pemerintah telah mendirikan PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (Persero) / PT PII untuk menyediakan penjaminan terhadap kewajiban finansial dari institusi Pemerintah
yang berkontrak (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama / PJPK) dengan pihak swasta (Badan Usaha), sehubungan dengan adanya
kejadian risiko yang dipicu oleh tindakan atau tiadanya tindakan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama
antara PJPK dan Badan Usaha.
Telah merupakan suatu keputusan Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan Kebijakan Satu Pelaksana (
Single Window Policy
)
dalam pemrosesan pemberian penjaminan Pemerintah, yaitu melalui PT PII, untuk setiap proyek infrastruktur KPS yang tercakup
dalam Peraturan Presiden No. 78 tahun 2011 tentang “Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur”. Dengan demikian, PII akan menjadi pemroses
tunggal untuk mengevaluasi Usulan Penjaminan, menyusun struktur penjaminan, serta mengelola penjanjian penjaminan dan
memproses klaim atas jaminan yang diberikan.
Melalui PT PII diharapkan keseluruhan proses pemberian dan pengelolaan penjaminan infrastruktur oleh PII dapat dilaksanakan
secara profesional, transparan dan konsisten yang akan dapat memberikan tingkat kenyamanan dan kepastian yang lebih kepada
sektor swasta, baik investor dan kreditur, serta suatu proses yang lebih baik dan akuntabel bagi Pemerintah.
Selain proses yang baik dan akuntabel, Pemerintah juga memiliki kepentingan bahwa penjaminan infrastruktur disediakan setelah
mempertimbangkan alokasi risiko yang adil dan wajar dalam Perjanjian Kerjasama, yang sesuai dengan praktik-praktik di pasar,
guna memastikan struktur yang
bankable
sehingga dapat meningkatkan kepastian keberhasilan implementasi proyek KPS.
Untuk pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Peraturan Menteri Keuangan No. 260 Tahun 2010 tentang “Petunjuk
Pelaksanaan Penjaminan infrastruktur Dalam Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha” (PMK No. 260/2010)
mengamanatkan PT PII untuk menyusun dan menerbitkan acuan kategori dan alokasi risiko infrastruktur sebagai referensi bagi PT
PII dalam menilai Usulan Penjaminan dari PJPK. Acuan ini juga akan merupakan rujukan bagi PJPK ketika menyetujui jenis risiko
yang dijanjikan akan diberi kompensasi dalam Perjanjian Kerjasama antara PJPK dengan Badan Usaha. Juga, diharapkan dengan
adanya Acuan ini, para pemangku kepentingan kunci lainnya dalam proyek KPS di bidang infrastruktur dapat memperoleh
pemahaman yang lebih baik mengenai struktur dasar dari alokasi risiko dalam Perjanjian KPS di Indonesia, guna mendorong
percepatan pembangunan infrastruktur melalui skema KPS.
ii
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih atas terpenuhinya ketentuan dalam PMK No. 260/2010 oleh PT PII. Pembuatan dan
penerbitan Acuan Alokasi Risiko ini merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas PT PII sebagai pelaksana
Single Window Policy
dalam pemberian jaminan Pemerintah. Selanjutnya, Kementerian Keuangan berkeyakinan bahwa PT PII akan senantiasa
mengupayakan penyempurnaan atas Acuan ini dan juga terhadap keseluruhan mekanisme dan proses pemberian jaminan
Pemerintah.
Agus D.W. Martowardojo
Menteri Keuangan Republik Indonesia
iii
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)/PII dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai suatu institusi yang dapat
mendukung percepatan penyediaan infrastruktur melalui skema KPS/PPP di Indonesia. Peran utama PT PII yang diharapkan adalah:
Sebagai penyedia dukungan fiskal kontinjen untuk proyek infrastruktur KPS melalui penyediaan penjaminan atas risiko
kontraktual terkait tindakan Pemerintah;
Meningkatkan kualitas transaksi KPS; dan
Mendorong pendekatan yang baku dan akuntabel untuk implementasi KPS, dengan keberadaannya sebagai pemroses tunggal
bagi penyediaan penjaminan infrastruktur.
Melalui PII, penjaminan disediakan dengan tujuan untuk memberikan kepastian lebih dalam mencapai
financial closing
proyek,
melalui peningkatan kelayakan kredit atau
bank ability
dari proyek-proyek KPS. Model bisnis PT PII sangat terkait erat dengan
kerangka regulasi KPS dan penjaminan saat ini, yang harus menekankan pada:
Kelayakan proyek (teknis, legal, ekonomi, finansial, sosial dan lingkungan);
Kesiapan Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk implementasi skema KPS; dan
Kemampuan PJPK untuk mengelola risiko proyek yang dialokasikan secara wajar kepada mereka.
Sehubungan dengan penekanan pada alokasi risiko yang wajar, keberadaan Acuan Alokasi Risiko ini menjadi sangat penting
sebagai referensi utama dalam mengevaluasi dan mengalokasikan risiko untuk keperluan penyediaan penjaminan infrastruktur,
sesuai amanat regulasi. Acuan ini juga dimaksudkan untuk menjadi referensi utama bagi:
PJPK dalam menyiapkan Perjanjian KPS dan Usulan Penjaminan (UP) yang akan dievaluasi PII untuk perolehan penjaminan; dan
Investor dan penyedia dana dalam mengevaluasi potensi investasi dan pembiayaan untuk proyek-proyek KPS di Indonesia.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa dalam penerapannya, beberapa alokasi risiko dapat berbeda dari apa yang ada dalam Acuan
ini, mengingat adanya kondisi spesifik suatu proyek atau sektor tertentu, atau terkait posisi komersial yang disepakati para pihak.
Acuan ini selanjutnya akan senantiasa disempurnakan dan ditinjau secara periodik, paling sedikit setiap 12 bulan, dengan
menggalang masukan dari berbagai pemangku kepentingan utama, sebagaimana telah dilakukan pada saat menyusun Acuan ini,
antara lain: Kementerian Keuangan, Kementerian sektor, BKPM, Bappenas, BPPSPAM, BPJT, Pemda, Investor dan Pengembang,
Perbankan, Lembaga Multilateral, serta Konsultan dan Tenaga Ahli di bidang risiko infrastruktur.
Sinthya Roesly
Direktur Utama
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)
iv
DAFTAR ISI
SAMBUTAN MENTERI KEUANGAN RI ………..………..………..………..i
PENGANTAR – DIREKTUR UTAMA, PT PENJAMINAN INFRASTRUKTUR INDONESIA ………..……..……..……….…….………...…iii
DAFTAR ISI …..………..………..…………..………...………..…..……….v
DAFTAR GAMBAR..………..………..……..………..………..……...vii
DAFTAR TABEL………..………..……..………..………..……...viii
RIWAYAT DOKUMEN DAN TABEL REVISI ….……….…..……….………..………..….…….…..ix
DEFINISI DAN ISTILAH UMUM ……….………..………..……….………….x
PRAKARSA PEMERINTAH UNTUK PERCEPATAN IMPLEMENTASI KPS/PPP ... 1
1
KERANGKA REGULASI PENJAMINAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA ... 1
2
STRUKTUR PROYEK KPS DI INDONESIA ... 2
2.1
S
TRUKTURP
ROYEKKPS
SECARAU
MUM... 3
2.1.1
Struktur berbasis-penggunaan layanan infrastruktur (Usage-based PPP) ... 3
2.1.2
Struktur berbasis-ketersediaan layanan infrastruktur (Availability-based PPP) ... 4
2.1.3
Kontrak Operasi dan Pemeliharaan (O&M contract) ... 5
2.2
S
TRUKTURKPS
PADA MASING-
MASINGS
EKTORI
NFRASTRUKTUR... 6
2.2.1
Struktur KPS sektor Air Minum ... 6
2.2.1.1. Struktur Konsesi Penuh Air Minum ... 6
2.2.1.2. Struktur BOT Air Minum ... 7
2.2.2
Struktur KPS sektor Pengelolaan Limbah ... 8
2.2.2.1. BOT Persampahan ... 8
2.2.2.2. BOT Pengelolaan Air Limbah... 9
2.2.3
Struktur KPS Sektor Jalan Tol ... 10
2.2.3.1. Struktur Konsesi Penuh Jalan Tol ... 10
v
2.2.4
Struktur KPS Sektor Perkeretaapian ... 12
2.2.4.1. Konsesi Penuh Perkeretaapian ... 13
2.2.4.2. O&M Perkeretaapian ... 14
2.2.5
Struktur KPS Sektor Ketenagalistrikan ... 14
2.2.5.1. BOT Ketenagalistrikan ... 15
2.2.5.2. BOT Mulut Tambang ... 16
2.2.6
Struktur KPS Sektor Kepelabuhanan ... 17
2.2.6.1. Konsesi Penuh Kepelabuhanan ... 17
2.2.7
Struktur KPS Sektor Kebandaraan ... 18
2.2.7.1. Konsesi Penuh Kebandaraan ... 19
2.2.7.2. O&M Kebandaraan ... 20
3
PENILAIAN ASPEK ALOKASI RISIKO UNTUK PROYEK KPS DANPENYEDIAAN PENJAMINAN INFRASTRUKTUR ... 21
3.1
A
LOKASIR
ISIKO DALAM KONTEKSM
ANAJEMENR
ISIKO... 21
3.2
P
RINSIPA
LOKASIR
ISIKO DALAM KONTEKSI
MPLEMENTASIP
ROYEKKPS ... 21
3.2.1.1. Implementasi Alokasi Risiko dalam Penyiapan dan Transaksi Proyek KPS ... 22
3.2.1.2. Implementasi Alokasi Risiko dalam Proses Penyediaan Penjaminan Proyek KPS oleh PII ... 25
4
ACUAN ALOKASI RISIKO INFRASTRUKTUR ... 26
4.1
K
ATEGORIR
ISIKOKPS ... 26
4.2
M
ATRIKSR
ISIKOKPS
PERS
EKTOR... 30
4.2.1
Matriks Risiko KPS sektor Air Minum ... 30
4.2.1.1. BOT Air Minum ... 30
4.2.1.2. Konsesi Penuh Air Minum ... 36
4.2.2
Matriks Risiko KPS sektor Pengelolaan Limbah ... 42
4.2.2.1. BOT Persampahan ... 42
vi
4.2.3
Matriks Risiko KPS sektor Jalan Tol ... 53
4.2.3.1. Konsesi Penuh Jalan Tol ... 53
4.2.3.2. O&M Jalan Tol ... 61
4.2.3.3. Kombinasi Konsesi Penuh dan O&M ... 63
4.2.4
Matriks Risiko KPS sektor Perkeretaapian ... 72
4.2.4.1. Konsesi Penuh Perkeretaapian ... 72
4.2.4.2. O&M Perkeretaapian ... 78
4.2.5
Matriks Risiko KPS sektor Ketenagalistrikan ... 83
4.2.5.1. BOT Ketenagalistrikan ... 83
4.2.5.2. BOT Mulut Tambang ... 84
4.2.6
Matriks Risiko KPS sektor Kepelabuhanan ... 90
4.2.6.1. Konsesi Penuh Kepelabuhanan ... 90
4.2.7
Matriks Risiko KPS sektor Kebandaraan ... 100
4.2.7.1. Konsesi Penuh Kebandaraan ... 101
4.2.7.2. O&M Kebandaraan ... 101
vii
Gambar 1.Struktur berbasis-penggunaan (
Usage-based PPP
atau
wholesale infrastructure
) ... 3
Gambar 2. Struktur berbasis-ketersediaan (
Availability-based PPP
atau
retail infrastructure
) ... 4
Gambar 3. Struktur Konsesi Penuh Air Minum ... 7
Gambar 4. Struktur BOT Air Minum ... 8
Gambar 5. Struktur KPS Pengelolaan Sampah ... 9
Gambar 6. Struktur KPS Pengelolaan Air Limbah ... 10
Gambar 7. Struktur Konsesi Penuh Jalan Tol ... 10
Gambar 8. Struktur O&M Jalan Tol ... 102
Gambar 9. Struktur Konsesi Jalan Tol ... 12
Gambar 10. Struktur Konsesi Penuh Perkeretaapian ... 13
Gambar 11. Struktur O&M Perkeretaapian ... 105
Gambar 12. Struktur BOT Ketenagalistrikan ... 15
Gambar 13. Struktur BOT Mulut Tambang ... 167
Gambar 14. Struktur Konsesi Penuh Kepelabuhanan ... 178
Gambar 15. Struktur Konsesi Penuh Kebandaraan ... 20
Gambar 16. Struktur O&M Kebandaraan ... 201
Gambar 17. Tahapan Proses Pengelolaan Risiko ... 22
Gambar 18. Kerangka Pengelolaan Risiko Proyek KPS ... 234
Gambar 19. Ilustrasi Alokasi Risiko dalam suatu Perjanjian KPS ... 25
Gambar 20. Kaitan Acuan Risiko PT PII & Kerangka Regulasi Penjaminan Infrastruktur ... 246
6
7
8
9
10
...
..
...
..
...
...
.
.
..
...
.
..
..
..
.11
12
14
16
17
19
20
21
23
24
25
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Fitur-fitur dari Opsi Struktur KPS/PPP ... 5
Tabel 2. Matriks Risiko untuk BOT Air Minum ... 32
Tabel 3. Matriks Risiko untuk Konsesi Penuh Air Minum ... 38
Tabel 4. Matriks Risiko untuk BOT Persampahan ... 444
Tabel 5. Matriks Risiko untuk BOT Pengelolaan Air Limbah ... 5050
Tabel 6. Matriks Risiko untuk Konsesi Penuh Jalan Tol ... 566
Tabel 7. Matriks Risiko untuk O&M Jalan Tol ... 62
Tabel 8. Matriks Risiko untuk Kombinasi Konsesi Penuh dan O&M Jalan Tol ... 677
Tabel 9. Matriks Risiko untuk Konsesi Penuh Perkeretaapian ... 72
Tabel 10. Matriks Risiko untuk O&M Perkeretaapian ... 78
Tabel 11. Matriks Risiko untuk BOT Ketenagalistrikan ... 83
Tabel 12. Matriks Risiko untuk BOT Mulut Tambang ... 899
Tabel 13. Matrik Risiko untuk Konsesi Penuh Kepelabuhanan ... 955
Tabel 14. Matriks Risiko untuk Konsesi Penuh Kebandaraan ... 101
Tabel 15. Matriks Risiko untuk O&M Kebandaraan ... 107
Tabel 16. Ringkasan Matriks risiko untuk Semua Sektor dan Struktur KPS ... 11212
56
67
89
95
112
.
...
..
.
.
.
....
.
.
.
.
30
36
42
48
54
59
63
69
74
79
85
91
96
. ...
101
106
ix
Versi
Deskripsi
Catatan
Maret
2011
Edisi pertama Masukan diperoleh dari para pemangku kepentingan salah satunya melalui suatu lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal
25-26 Februari 2011
April
2012
Edisi kedua
Masukan diperoleh dari para pemangku kepentingan salah satunya melalui suatu lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal
14-15 Maret 2012. Penyempurnaan terhadap versi sebelumnya termasuk :
-
pemutakhiran regulasi KPS (sebagaimana terbitnya Peraturan Presiden 56/2011)
-
tambahan diagram yang menggambarkan framework implementasi alokasi risiko proyek KPS (juga penjaminan) dan
framework yg berkaitan dengan proses manajemen risiko
-
pemutakhiran dan penambahan kolom “Kondisi Spesifik terkait Alokasi Risiko) pada matriks risiko
-penambahan struktur KPS (dan matriks risiko terkait):
o
Listrik: BOT minemouth
o
Jalan tol: Kombinasi Konsesi Penuh dan O&M
oPengelolaan Limbah: BOT Pengolahan Air limbah
April
2013
Edisi ketiga
Berdasarkan masukan yang terkumpul melalui diskusi-diskusi (tatap muka, surat formal, email dan laman), penyempurnaan terhadap
risiko sebelumnya termasuk:
-
penambahan dan penajaman) peristiwa risiko dan strategi mitigasi untuk matriks risiko, antara lain:
o
risiko status lahan (duplikasi kepemilikan tanah)
orisiko budaya lokal
o
risiko operasional – kegagalan pengelolaan proyek (oleh Badan Usaha/BU)
o
risiko operasional – kegagalan pengendalaian dan pemantauan proyek (oleh BU atau oleh PJPK)
Maret
2014
Edisi keempat Masukan diperoleh dari para pemangku kepentingan salah satunya melalui suatu lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal 20-21
Maret 2014. Penyempurnaan terhadap versi sebelumnya termasuk:
-
pemutakhiran regulasi KPS (sebagaimana terbitnya Peraturan Presiden 66/2013 dan regulasi VGF)
-
penyempurnaan uraian skema kerjasama untuk sektor Air Minum, Persampahan, Jalan Tol, Perkeretaapian, Pelabuhan dan
Kebandaraan
-
penambahan (dan penajaman) peristiwa risiko dan strategi mitigasi untuk matriks risiko, antara lain:
o
risiko keterbatasan ruang kerja (untuk proyek yang kebutuhan lokasinya memanjang)
orisiko budaya lokal
risiko sosial dan budaya lokal
o
risiko ‘hit & run’ dan risiko keusangan teknologi: sektor Kebandaraan
o
risiko terkait tarif: perlunya regulasi yang mendukung (Perda untuk proyek PJPK daerah)
orisiko terkait permintaan dan pendapatan: program sosialisasi dan dukungan kelayakan
x
DEFINISI DAN ISTILAH UMUM
BOO
Build Operate Own
- suatu kontrak KPS/PPP dimana pihak swasta bertanggung jawab terhadap desain, konstruksi,
operasi dan memiliki suatu fasilitas infrastruktur, baik selama kontrak maupun setelah kontrak tersebut berakhir.
BOT
Build Operate Transfer
– suatu kontrak KPS/PPP dimana pihak swasta bertanggung jawab terhadap desain, konstruksi
dan operasi suatu fasilitas infrastruktur, termasuk transfer kepemilikan setelah kontrak tersebut berakhir dari pihak
swasta ke pihak Pemerintah.
BU
Badan Usaha; Badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), dan koperasi, yang merupakan mitra PJPK/
CA
dalam perjanjian KPS. Juga dikenal sebagai
Project
Company (PC)
.
Financial Close
Suatu tanggal dimana semua perjanjian dan dokumentasi finansial proyek ditandatangani para pihak, dan prasyarat
(
conditions precedent
) untuk penarikan pinjaman telah dipenuhi.
IIGF
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund
atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) – suatu entitas
berbentuk BUMN yang berdasarkan regulasi bertanggung jawab dalam penyediaan penjaminan infrastruktur
Konsesi Penuh
Suatu kontrak KPS dimana pihak swasta bertanggung jawab terhadap desain, konstruksi dan operasi suatu fasilitas
infrastruktur dan pihak pelanggan retail/pengguna akhir (publik) membayar layanan infrastruktur secara langsung
kepada pihak BU yang oleh PJPK diberikan izin pengusahaan selama jangka waktu tertentu.
KPS
Kerjasama Pemerintah Swasta; Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama atau pemberian
Izin Pengusahaan antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha, yang meliputi pekerjaan
konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan
infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Juga dikenal
sebagai
Public-Private Partnership
(
PPP
)
Off-taker
Pembeli layanan infrastruktur dalam suatu perjanjian KPS (biasanya berupa suatuperusahaan utilitas sektor publik)
PJPK
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama; Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah, atau BUMN/BUMD dalam hal
berdasarkan peraturan perundang-undangan, penyediaan infrastruktur diselenggarakan atau dilaksanakan oleh
BUMN/BUMD. Dikenal juga sebagai
Contracting Agency
(
CA
) atau
Public Authority (PA)
atau
Implementing Agency (IA)
x
DEFINISI DAN ISTILAH UMUM
BOO
Build Operate Own
- suatu kontrak KPS/PPP dimana pihak swasta bertanggung jawab terhadap desain, konstruksi,
operasi dan memiliki suatu fasilitas infrastruktur, baik selama kontrak maupun setelah kontrak tersebut berakhir.
BOT
Build Operate Transfer
– suatu kontrak KPS/PPP dimana pihak swasta bertanggung jawab terhadap desain, konstruksi
dan operasi suatu fasilitas infrastruktur, termasuk transfer kepemilikan setelah kontrak tersebut berakhir dari pihak
swasta ke pihak Pemerintah.
BU
Badan Usaha; Badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), dan koperasi, yang merupakan mitra PJPK/
CA
dalam perjanjian KPS. Juga dikenal sebagai
Project
Company (PC)
.
Financial Close
Suatu tanggal dimana semua perjanjian dan dokumentasi finansial proyek ditandatangani para pihak, dan prasyarat
(
conditions precedent
) untuk penarikan pinjaman telah dipenuhi.
IIGF
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund
atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) – suatu entitas
berbentuk BUMN yang berdasarkan regulasi bertanggung jawab dalam penyediaan penjaminan infrastruktur
Konsesi Penuh
Suatu kontrak KPS dimana pihak swasta bertanggung jawab terhadap desain, konstruksi dan operasi suatu fasilitas
infrastruktur dan pihak pelanggan retail/pengguna akhir (publik) membayar layanan infrastruktur secara langsung
kepada pihak BU yang oleh PJPK diberikan izin pengusahaan selama jangka waktu tertentu.
KPS
Kerjasama Pemerintah Swasta; Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama atau pemberian
Izin Pengusahaan antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha, yang meliputi pekerjaan
konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan
infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Juga dikenal
sebagai
Public-Private Partnership
(
PPP
)
Off-taker
Pembeli layanan infrastruktur dalam suatu perjanjian KPS (biasanya berupa suatuperusahaan utilitas sektor publik)
PJPK
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama; Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah, atau BUMN/BUMD dalam hal
berdasarkan peraturan perundang-undangan, penyediaan infrastruktur diselenggarakan atau dilaksanakan oleh
BUMN/BUMD. Dikenal juga sebagai
Contracting Agency
(
CA
) atau
Public Authority (PA)
atau
Implementing Agency (IA)
PRAKARSA PEMERINTAH UNTUK PERCEPATAN IMPLEMENTASI KPS/PPP
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur. Dengan anggaran Pemerintah yang terbatas, ratusan triliun
rupiah diharapkan akan datang dari sektor swasta dalam beberapa tahun kedepan untuk mendukung pembangunan infrastruktur.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan tekad dan semangat untuk mengatasi tantangan ini, terutama dengan menyediakan
kerangka peraturan dan kelembagaan untuk menarik minat dari sektor swasta dalam berpartisipasi di proyek-proyek infrastruktur
dengan skema kerjasama Pemerintah dan badan usaha (KPS).
Beberapa dari inisiatif yang telah dilakukan Pemerintah adalah pembentukan lembaga-lembaga utama yang dapat mengatasi
permasalahan infrastruktur KPS melalui pemberian dukungan fiskal. Pada bulan Desember 2009, Pemerintah mendirikan PT.
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) atau PT PII, yang juga dikenal sebagai
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund
(
IIGF
),
sebuah badan usaha milik negara/BUMN yang diberi tugas menyediakan penjaminan untuk mengurangi eksposur sektor swasta
terhadap risiko kontraktual dari pihak Pemerintah dalam proyek infrastruktur KPS.
Risiko kontraktual tersebut pada dasarnya adalah kewajiban finansial pihak Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) sebagai entitas
sektor publik di bawah kontrak KPS/PPP yang mencakup pelanggaran kontrak serta perubahan peraturan dan perundangan. PT PII dan
penjaminan infrastruktur ditujukan untuk membawa kenyamanan bagi investor swasta dan pemberi pinjaman, yang pada akhirnya
diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan proyek KPS di Indonesia.
1
KERANGKA REGULASI PENJAMINAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
Dalam rangka meningkatkan kelayakan kredit (
creditworthiness
) proyek infrastruktur sebagai upaya mendorong partisipasi sektor
swasta dalam pembangunan infrastruktur, Jaminan Pemerintah dapat diberikan kepada proyek infrastruktur yang dilaksanakan
berdasarkan skema kerjasama antara Pemerintah dengan badan usaha (KPS) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No.67
tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha
juncto
Peraturan Presiden No. 13 tahun 2010
juncto
Peraturan
Presiden no. 56 tahun 2011
juncto
Peraturan Presiden No. 66 tahun 2013 (“Regulasi KPS”). Sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan-undangan tersebut, pemberian jaminan Pemerintah dapat diberikan oleh Menteri Keuangan melalui BUMN yang didirikan
oleh Pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan penjaminan infrastruktur (Badan Usaha Penjaminan
Infrastruktur/BUPI). Berdasarkan PP No.35/2009, PT PII didirikan sebagai BUPI melalui penanaman modal negara dengan tujuan
menyediakan penjaminan untuk proyek-proyek infrastruktur dengan pola KPS.
Pemberian penjaminan infrastruktur melalui PT PII diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden No.78 tahun 2010 tentang Penjaminan
Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur
2 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
(“Perpres 78/2010”), dan Peraturan Menteri Keuangan No.260/PMK.011/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur
dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (“PMK 260/2010”). Dalam buku ini, kedua regulasi tersebut kemudian
disebut sebagai “Regulasi Penjaminan Infrastruktur”. Selanjutnya, saat ini Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan
No.223/PMK.011/2012 telah menerbitkan regulasi tentang penyediaan dukungan kelayakan (
viability gap fund
) sebagai salah satu
bentuk dukungan Pemerintah terhadap proyek yang memiliki kelayakan ekonomi yang baik namun kelayakan finansialnya terbatas.
PMK 260/2010 pasal 11 mengamanatkan diterbitkannya suatu acuan mengenai kategori dan distribusi Risiko Infrastruktur antara
sektor publik dan swasta (“Acuan Kategori dan Distribusi Risiko Infrastruktur” atau singkatnya “Acuan”), sebagai rujukan utama bagi
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (“PJPK”) dalam membuat Perjanjian KPS, mengajukan Usulan Penjaminan (“UP”) untuk Proyek KPS
kepada PT PII, serta rujukan bagi Badan Usaha untuk ikut menanamkan modal dan perbankan untuk mendanai Proyek KPS.
Acuan Alokasi Risiko Infrastruktur ini disusun melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan utama (
key stakeholders
)
antara lain Kementerian Keuangan, Bappenas, BKPM, PJPK terkait (Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah),
investor/pengembang, perbankan, lembaga multilateral, dan pihak-pihak lain yang mempunyai kompetensi di bidang Risiko
Infrastruktur. Acuan ini juga merupakan bagian dari rangkaian publikasi oleh PT PII dan melengkapi Acuan Penyediaan Penjaminan
Infrastruktur yang juga menjadi referensi utama bagi PT PII dalam penyediaan penjaminan infrastruktur untuk proyek KPS di Indonesia.
2
STRUKTUR PROYEK KPS DI INDONESIA
Identifikasi risiko-risiko infrastruktur dalam Acuan Alokasi Risiko Infrastruktur ini mengacu kepada struktur kerjasama Pemerintah dan
badan usaha (Struktur KPS) yang dapat berlaku menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian, selain dari
Struktur KPS secara umum yang dapat berlaku lintas sektor, diidentifikasi pula secara spesifik sektor-sektor KPS yang termasuk dalam
Acuan Alokasi Risiko Infrastruktur ini. Sektor-sektor tersebut termasuk:
1.
Sektor Air Minum
2.
Sektor Jalan Tol
3.
Sektor Pengelolaan Limbah
4.
Sektor Perkeretaapian
5.
Sektor Ketenagalistrikan
6.
Sektor Kepelabuhanan
7.
Sektor Kebandaraan
2.1
Struktur Proyek KPS secara Umum
Berdasarkan Regulasi KPS, PJPK adalah Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah, dan dalam hal peraturan perundang-undangan
penyediaan infrastruktur publik diselenggarakan atau dilaksanakan oleh BUMN/BUMD, maka PJPK proyek sektor tersebut adalah
BUMN/BUMD. Untuk keperluan penyusunan acuan ini, struktur KPS diklasifikasikan berdasarkan sifat dari pelayanan dan pembagian
risiko yang termuat dalam kontrak KPS. Kedua kategori utama yang juga merupakan struktur proyek KPS dasar adalah struktur
berbasis-penggunaan layanan infrastruktur (
Usage-based PPP)
dan struktur berbasis-ketersediaan layanan infrastruktur (
Availability-based PPP
), dimana aplikasinya berdasarkan suatu kajian opsi skema kerjasama untuk merumuskan suatu
business case
terhadap
lingkup proyek.
2.1.1
Struktur berbasis-penggunaan layanan infrastruktur (
Usage-based PPP
)
Dalam struktur ini, lingkup penyediaan infrastruktur yang dikerjasamakan meliputi seluruh peran atau pekerjaan yang sebelumnya
menjadi tanggung jawab sektor publik. Sebagaimana terlihat dalam diagram di bawah ini, BU secara langsung menyediakan layanan
infrastruktur kepada pelanggan retail/pengguna akhir, dimana Pemerintah lebih berperan sebagai regulator.
Gambar 1.Struktur berbasis-penggunaan (
Usage-based PPP
atauwholesale infrastructure
)Kontrak KPS PJPK Konsesi Lenders Sponsor Proyek Badan Usaha Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close
Konstruksi dan Operasi
Pengguna Konsultan Desain Transaksi sesuai Tarif Sektor Publik selain
4 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
Struktur ini kerap disebut juga sebagai model Konsesi Penuh (di Indonesia dikenal luas sebagai model “Konsesi”) dan umumnya
digunakan di sektor perhubungan (misal jalan tol, kereta api) dan sektor utilitas (misal air minum). Dan seperti terlihat dalam diagram
di atas, PJPK secara kontraktual sepakat untuk memberikan suatu hak pengusahaan/konsesi untuk penyediaan layanan infrastruktur
secara keseluruhan selama periode kontrak yang disepakati.
2.1.2
Struktur berbasis-ketersediaan layanan infrastruktur (
Availability-based PPP
)
Dalam struktur ini, lingkup penyediaan infrastruktur yang dikerjasamakan hanya meliputi sebagian dari seluruh peran atau pekerjaan
yang sebelumnya menjadi tanggung jawab sektor publik. Kebanyakan dari layanan jenis ini mencakup penyediaan unit
pembangkit/pemroses (‘fasilitas’), dan sebagian dari lingkup dapat mencakup penyediaan transmisi bahan baku untuk fasilitas atau
konstruksi dan operasi dari fasilitas, atau distribusi
output
fasilitas menuju jaringan utama ke pelanggan.
Gambar 2. Struktur berbasis-ketersediaan (
Availability-based PPP
atauretail infrastructure
))Seperti terlihat pada diagram, BU menerima pembayaran berkala dari PJPK selama periode kontrak atas ketersediaan layanan
infrastruktur (termasuk biaya operasional yang ‘diteruskan’ atau
pass-through
ke PJPK). Karenanya, biasanya entitas yang menjadi
PJPK adalah instansi utilitas publik (misalnya PLN untuk sektor listrik atau Kepala Daerah untuk sektor air minum).
Kontrak KPS PJPK
Kontrak BOT Perjanjian Jual Beli
Lenders Sponsor Proyek Badan Usaha Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close
Konstruksi dan Operasi
Pengguna Konsultan
Desain Sektor Publik selain
Skema kontraktual tipe ini bisa berupa skema
Build Operate Transfer (BOT)
atau
Build Operate Own (BOO)
atau modifikasi keduanya
.
Dalam skema tersebut, BU biasanya bertanggung jawab atas desain, konstruksi, pembiayaan dan operasional dan pemeliharaan (O&M)
dari fasilitas yang
output
nya digunakan/dibeli oleh PJPK. Perbedaan dari keduanya adalah, berlawanan dengan BOO, skema BOT
mengharuskan pihak swasta (BU) untuk mengalihkan kepemilikan aset ke sektor publik setelah kontrak KPS berakhir.
2.1.3
Kontrak Operasi dan Pemeliharaan
(O&M contract
)
Sebagai tambahan terhadap 2 struktur dasar proyek KPS/PPP, mengacu juga ke Regulasi KPS dan terkait potensi implementasi
khususnya di sektor transportasi, kontrak Operasi dan Pemeliharaan (
O&M contract
) juga akan didiskusikan lebih jauh dalam acuan ini.
Karena skema ini tidak mencakup pelaksanaan dan pembiayaan konstruksi fasilitas (biasa disebut sebagai proyek
brownfield
), kontrak
O&M dapat mengacu pada suatu kontrak dimana BU adalah pihak yang diberikan hak untuk mengelola (dalam kasus tertentu:
menyewa) fasilitas dengan tanggungjawab untuk pengoperasian, pemeliharaan dan peremajaan tertentu dari fasilitas infrastruktur
tersebut.
Selama kontrak berlangsung, pihak swasta (BU)-lah yang menyediakan layanan infrastruktur, namun kepemilikan dari fasilitas
tersebut berada pada sektor publik sebagai pihak yang melakukan investasi modal (
capital investment
). Di negara lain, Kontrak O&M
dapat berbentuk sebagai
affermage contract
dan
lease contract
.
Berikut ini ringkasan fitur-fitur struktur KPS/PPP dasar yang dibahas di atas.
Tabel 1. Fitur-fitur dari Opsi Struktur KPS/PPPKegiatan
Availability-based
Usage-based
O&M
Kepemilikan Pemerintah Pemerintah Pemerintah
Investasi Swasta Swasta Pemerintah
Produksi √ √ √/-
Distribusi ke Pelanggan retail/pengguna akhir
- / sebagian (selama swasta tidak menanggung risiko permintaan)
√ √/-
Pemeliharaan √ √ √/-
Penagihan ke pelanggan - √ √/-
Horison Waktu (tipikal) 20-30 tahun 20-30 tahun 5-15 tahun
Pelanggan Pembeli tunggal/Pemerintah Pelanggan ritel Pembeli tunggal/PJPK atau Pelanggan Sumber Arus Kas Pembayaran oleh instansi utilitas Pembayaran dari pelanggan Bagian dari revenue dari tarif
6 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
2.2
Struktur KPS pada masing-masing Sektor Infrastruktur
2.2.1
Struktur KPS sektor Air Minum
Struktur KPS di sektor air minum mengacu kepada Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU 7/2004), Peraturan
Pemerintah No.16 tahun 2005 (PP 16/2005), serta Regulasi KPS. Struktur KPS dapat melibatkan PDAM sebagai perusahaan utilitas
Pemerintah daerah, untuk menjadi PJPK (dengan persetujuan dari Badan Pengawas sebagaimana pasal 37 dari PP 16/2005). Jika proyek
mencakup wilayah diluar wilayah pelayanan PDAM, maka akan melibatkan Kepala Daerah untuk memasuki perjanjian KPS dengan BU
(sesuai pasal 64 dari PP 16/2005). Sejalan dengan regulasi dan implementasi proyek saat ini, ada dua jenis struktur KPS yang
merupakan turunan dari struktur KPS generik di atas, yaitu: struktur Konsesi Penuh (struktur berbasis penggunaan), dan struktur
konsesi sebagian (BOT) (struktur berbasis ketersediaan). Deskripsi dan diagram masing-masing struktur diuraikan sebagai berikut.
2.2.1.1.
Struktur Konsesi Penuh Air Minum
Gambar 3. Struktur Konsesi Penuh Air Minum
Kontrak KPS Kepala Daerah sebagai PJPK Konsesi Lenders Sponsor Proyek Badan Usaha Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Pemda
Konstruksi dan Operasi
PDAM DPRD Badan Regulator Pelanggan Konsultan Desain •Perjanjian Sambungan
Struktur Konsesi Penuh untuk sektor air minum meliputi (hampir) seluruh lingkup yang mungkin untuk diserahkan ke pihak swasta,
yaitu Transmisi, Produksi, Operasi dan Pemeliharaan, Distribusi dan Penagihan ke Pelanggan. Biasanya opsi ini digunakan untuk proyek
baru yang membutuhkan investasi yang signifikan bagi PDAM (sebagai pengelola sektor air minum eksisting). Risiko pasar dan risiko
kenaikan tarif merupakan jenis risiko yang paling sering dikuatirkan oleh pihak swasta dalam implementasi proyek dengan struktur ini.
2.2.1.2.
Struktur BOT Air Minum
Dalam struktur BOT, kredibilitas PJPK memegang peranan penting dalam kesuksesan implementasi proyek. Pihak swasta biasanya
hanya bertanggung jawab terhadap masing-masing dari Transmisi, Produksi, Operasi dan Pemeliharaan, Distribusi atau setiap
kombinasi dari masing-masing, tetapi tidak menanggung tugas penagihan biaya ke pelanggan. Dalam konteks Perjanjian Jual Beli Air
(
Water Purchase Agreement
/
WPA
), air hasil dari proses yang dilakukan oleh BU kemudian dijual ke PDAM sebagai
off-taker
(umumnya
pembeli tunggal) yang nantinya akan didistribusikan dan dijual ke pelanggan retail/pengguna akhir oleh PDAM.
Gambar 4. Struktur BOT Air Minum Kontrak KPS
Kepala Daerah sebagai PJPK
Bangun Guna Serah (BOT/Built Operate Transfer)
Lenders Sponsor Proyek Badan Usaha Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Pemda
Konstruksi dan Operasi
PDAM DPRD Badan Regulator Pelanggan Konsultan Desain •Perjanjian Sambungan
8 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
Dengan demikian, untuk kesuksesan transaksi proyek dengan struktur ini, pihak swasta (terutama
lender
) perlu diyakinkan bahwa
PDAM memiliki kelayakan kredit yang baik untuk melakukan pembayaran periodik sebagai
off-taker
selama masa kontrak.
2.2.2
Struktur KPS sektor Pengelolaan Limbah
Dalam sektor pengelolaan limbah, baik itu persampahan maupun pengelolaan air limbah, struktur proyek dapat menggunakan skema
KPS berbasis ketersediaan atau struktur BOT. Sebagaimana dalam sektor air minum, mengacu pada regulasi, pihak yang dapat menjadi
PJPK dalam sektor ini adalah Pemerintah Daerah (misal Pemerintah kabupaten, kota atau provinsi).
2.2.2.1.
BOT Persampahan
Mengacu pada Regulasi KPS saat ini, ruang lingkup yang dapat dikerjasamakan adalah pengolahan sampah. Artinya, BU dapat
mencakup pembangunan dan pengelolaan fasilitas pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), namun biasanya tidak
termasuk pengumpulan sampah maupun penagihan ke pelanggan retail/pengguna akhir. Mengacu pada arah kebijakan, lingkup
pengangkutan sampah memiliki potensi untuk dikerjasamakan, namun lingkup tersebut belum termasuk dalam pengaturan dalam
Regulasi KPS.
Pemerintah Daerah selaku PJPK (umumnya selaku penyedia sampah yang mengumpulkan pembayaran dari pelanggan retail/pengguna
akhir dan lokasi lainnya) memberikan pembayaran atas pelayanan yang diberikan BU baik dalam pengangkutan maupun di TPA berupa
tipping fee
. Bergantung kepada pemilihan teknologi yang diterapkan pada proyek,
output
dari proses yang dilakukan oleh BU dapat
dimanfaatkan atau dijual untuk menghasilkan pendapatan tambahan kepada BU (misalnya penjualan listrik ke PLN selaku utilitas listrik
atau penjualan hasil olahan berupa kompos atau batako). Pada akhir masa kontrak BOT, kepemilikan dari TPA dialihkan kepada PJPK
yang akan melanjutkan pengoperasian TPA sampai akhir usia aset tersebut.
2.2.2.2.
BOT Pengelolaan Air Limbah
Sebagaimana sektor persampahan, proyek pengelolaan air limbah dapat dilaksanakan dengan struktur BOT. Dalam hal ini BU hanya
bertanggung jawab dalam pembangunan dan operasi tempat pengolahan dan jaringan pengumpul air limbah, namun biasanya tidak
termasuk tugas pengumpulan air limbah dari dan/atau penagihan ke pelanggan retail/pengguna akhir.
Gambar 6. Struktur KPS Pengelolaan Air Limbah
Pemerintah Daerah selaku PJPK memberikan pembayaran atas pelayanan yang diberikan fasilitas BU. Pada akhir masa kontrak BOT,
kepemilikan dari fasilitas dialihkan kepada PJPK sebagai operator fasilitas sampai akhir usia aset tersebut.
Kontrak KPS Kepala Daerah sebagai PJPK Lenders Sponsor Proyek Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Pemda
Konstruksi dan Operasi
DPRD Badan Regulator
Konsumen Residensial/Industri
Bangun Guna Serah
(BOT/Built Operate Transfer)
Konsultan Desain
Badan Usaha
Perusahaan Utilitas Daerah
10 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
2.2.3
Struktur KPS Sektor Jalan Tol
Pada sektor jalan tol di Indonesia, sejauh ini KPS dapat dilakukan melalui skema berbasis penggunaan. PJPK dalam sektor ini adalah
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum.
2.2.3.1.
Struktur Konsesi Penuh Jalan Tol
Pada struktur Konsesi Penuh jalan tol, pelanggan retail/pengguna akhir membayar atas pelayanan jalan tol langsung kepada BU selaku
pemegang (hak) Konsesi Penuh yang juga bertanggung jawab untuk melakukan desain, konstruksi, operasi dan perawatan fasilitas
hingga akhir masa Konsesi Penuh. Konsesi Penuh biasanya diberikan kepada BU sektor swasta menggunakan struktur BOT.
Gambar 7. Struktur Konsesi Penuh Jalan Tol
Sebagaimana dapat terlihat dalam struktur di bawah ini, mirip dengan struktur Konsesi Penuh pada sektor lain, risiko permintaan dan
risiko terkait tarif adalah risiko-risiko yang menjadi fokus perhatian BU.
Kontrak KPS
Badan PengaturJalan Tol (BPJT) sebagai PJPK a/n Menteri PU
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri PU sebagai Badan Regulator
Konstruksi dan Operasi Pengguna (Kendaraan) Konsultan Desain Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha
2.2.3.2.
O&M Jalan Tol
Dalam struktur ini, lingkup KPS umumnya adalah untuk proyek
brownfield
dimana pekerjaan desain, konstruksi dan pembiayaan
fasilitas jalan tol tersebut tidak menjadi lingkup pekerjaan BU. Struktur ini dapat dipilih pada kasus dimana suatu ruas jalan tol tidak
mampu mencapai kelayakan secara komersial yang baik jika biaya investasi termasuk kedalam lingkup KPS yang ditawarkan.
BU selaku operator (dalam kontrak operasi dan pemeliharaan ini) akan memelihara fasilitas dan menerima pembayaran atas layanan
jalan tol sesuai tarif dari pelanggan retail/pengguna akhir atas nama Pemerintah (sebagai pemilik jalan tol). Dalam praktiknya, BU
dapat membayar suatu
concession fee
kepada PJPK dan menyimpan sisa pendapatan dari tarif yang sudah diterima, sebagai insentif
kepada BU dalam menjaga kualitas pelayanan.
Gambar 8. Struktur O&M Jalan Tol
2.2.3.3.
Kombinasi Konsesi Penuh dan O&M
Struktur kombinasi ini bisa diaplikasikan sebagai suatu solusi terhadap suatu jaringan jalan tol yang terdiri dari ruas yang dibangun
dan dibiayai dari berbagai sumber pendanaan terkait profil kelayakan finansial yang berbeda. Dalam struktur ini, lingkup pekerjaan
Kontrak KPS
Badan PengaturJalan Tol (BPJT) sebagai PJPK a/n Menteri PU
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Operator Kontrak operasi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri PU sebagai Badan Regulator
Konstruksi fan Operasi Pengguna (Kendaraan)
Transaksi sesuai
Tarif Badan Usaha
12 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
yang dikerjasamakan dibedakan berdasarkan ruas, namun menjadi lingkup kontrak untuk seluruh jaringan. Dengan demikian profil
risiko para pihak akan sangat berbeda tergantung ruas mana yang menjadi perhatian.
Gambar 9. Struktur Konsesi Jalan Tol
2.2.4
Struktur KPS Sektor Perkeretaapian
Seperti halnya dalam sektor transportasi (darat) lainnya, KPS dapat dilakukan melalui infrastruktur dengan skema berbasis
penggunaan. Sesuai regulasi yang berlaku, PJPK dalam sektor ini adalah Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan
/Kemenhub).
Kontrak KPS
Badan PengaturJalan Tol (BPJT) sebagai PJPK a/n Menteri PU
Kontrak Konsesi dan O&M
Lenders Sponsor Proyek
Operator
ruas A dan B Kontrak
operasi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri PU sebagai Badan Regulator
Konstruksi fan Operasi Pengguna (Kendaraan) Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha Kontraktor
Konstruksi ruas A Kontrak konstruksi Konsultan Desain ruas A Kontrak desain Kontraktor
Konstruksi ruas B Kontrak konstruksi Konsultan
Desain ruas B
Kontrak desain
2.2.4.1.
Konsesi Penuh Perkeretaapian
Dalam struktur Konsesi Penuh, Pemerintah dapat memberikan kewenangan bagi BU untuk mengumpulkan pendapatan langsung dari
pelanggan retail/pengguna akhir. Lingkup kerja BU dapat meliputi, penyediaan dan pengoperasian layanan dan infrastruktur
perkeretaapian terhadap aset
rolling stock
(kereta api dan gerbong pengangkut), stasiun atau
track
(jalur kereta) saja.
Gambar 10. Struktur Konsesi Penuh Perkeretaapian
Terkait besarnya biaya investasi dan tarif yang diatur
(regulated)
, pengalaman di negara lain menunjukkan proyek akan sangat sulit
memenuhi kelayakan finansial bila menggunakan konsesi perkeretaapian yang mencakup aset
rolling stock
, stasiun dan
track
sekaligus, kecuali menyertakan lingkup pemanfaatan komersial untuk area sekitar stasiun atau konsep
transit-oriented development
(TOD).
Kontrak KPS
Dirjen Perkeretaapian sebagai PJPK a/n Menhub
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri Perhubungan sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pengguna Akhir (Penumpang/Kargo) Konsultan Desain Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha
14 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
2.2.4.2.
O&M Perkeretaapian
Serupa dengan struktur O&M di proyek jalan tol, skema KPS ini umumnya dirancang untuk proyek
brownfield
dimana pekerjaan
desain, konstruksi dan pembiayaan fasilitas jalur kereta tersebut tidak menjadi lingkup pekerjaan BU.
Gambar 11. Struktur O&M Perkeretaapian
Operator akan memelihara fasilitas dan menerima pembayaran atas layanan sesuai tarif dari pelanggan retail/pengguna akhir atas
nama Pemerintah (sebagai pemilik jalur kereta). Pendapatan kemudian dihitung sebagai porsi dari tarif yang sudah diambil.
2.2.5
Struktur KPS Sektor Ketenagalistrikan
Di sektor listrik, KPS telah diterapkan hanya untuk lingkup pembangkitan tenaga listrik, melalui skema Pembangkit Listrik Independen
(Independent Power Producer
atau “IPP”), dan tidak termasuk penyediaan layanan infrastruktur lainnya (seperti transmisi, distribusi,
dan penagihan tarif). Meskipun secara struktur, kontrak IPP dapat menggunakan skema BOT dan BOO, sebagai proyek KPS di Indonesia
Kontrak KPS
Dirjen Perkeretaapian sebagai PJPK a/n Menhub
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Operator Kontrak operasi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri Perhubungan sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pengguna Akhir (Penumpang/Kargo) Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha Kontraktor Konstruksi Kontrak konstruksi Konsultan Desain Kontrak desain
struktur yang cenderung digunakan adalah struktur BOT saja dimana kepemilikan aset pembangkit ditransfer ke sektor publik (PLN)
setelah berakhirnya kontrak KPS (dimana selama masa kontrak pembangkit tersebut dimiliki oleh pihak IPP swasta).
2.2.5.1.
BOT Ketenagalistrikan
Secara kontraktual, badan usaha swasta atau IPP bertanggung jawab atas desain, konstruksi, pembiayaan serta operasi dan
pemeliharaan dari fasilitas pembangkit tenaga listrik (pembangkit). Tenaga listrik yang dihasilkan kemudian dijual oleh IPP kepada PLN
sebagai badan usaha milik negara (juga sebagai PJPK) melalui sebuah perjanjian pembelian listrik (
Power Purchase Agreement
atau
“PPA”). Seperti struktur BOT lainnya, pembangkit akan diserahkan kepada PJPK pada akhir masa kerjasama.
Gambar 12. Struktur BOT Ketenagalistrikan
PLN sebagai pembeli tunggal listrik (
single off-taker)
akan membayar atas listrik dari IPP secara berkala dengan dasar pembayaran
ambil-atau-bayar (
take-or-pay)
selama masa perjanjian pembelian listrik. Sehingga kemampuan PLN dalam memenuhi kewajiban
finansialnya ini selalu menjadi risiko utama yang perlu diperhatikan untuk skema ini.
Kontrak KPS
PT PLN sebagai PJPK Jual Beli Listrik (BOT/Built Operate Transfer)
Lenders
Sponsor Proyek Badan Usaha
(Independent Power Producer) Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Kementerian ESDM sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pelanggan Konsultan
Desain
•Perjanjian Sambungan
16 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
2.2.5.2.
BOT Mulut Tambang
Proyek pembangkit listrik mulut tambang adalah proyek PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap/batubara) dengan fitur berikut:
-
Dibangun dengan alasan utama untuk meminimalkan risiko ketidakpastian suplai dan risiko kenaikan harga batubara;
-
Komponen biaya transportasi batubara yang relatif rendah karena lokasi tambang batubara dekat dengan pembangkit;
-
Kualitas batubara yang dipasok relatif rendah sehingga dibutuhkan fasilitas/teknologi yang dapat meningkatkan kualitas batubara
tersebut yang mengakibatkan biaya kontruksi pembangkit yang relatif tinggi dibandingkan dengan PLTU lainnya; dan
-
Lokasi pembangkit relatif terpencil dari jalur transmisi utama sehingga membutuhkan biaya untuk fasilitas transmisi tambahan
Sebagai suatu proyek KPS, variasi terhadap skema alokasi risiko dalam pembangkit mulut tambang ini tidak hanya tergantung dari
struktur KPS yang dipilih (BOT atau BOO) saja. Faktor kepemilikan tambang batubara, penentuan lokasi tambang dan pembangkit
sangat menentukan bagaimana risiko dialokasikan pada proyek jenis ini.
Sebagai ilustrasi dalam menyusun matriks risiko, opsi struktur proyek yang dipilih adalah jenis kontrak BOT (karena pertimbangan
teknologi yang relatif tinggi) dan dimana lokasi tambang pemasok batu bara pembangkit swasta ditentukan oleh (dan kemudian
dimiliki oleh) PLN yang juga sebagai PJPK.
Gambar 13. Struktur BOT Mulut Tambang
Kontrak KPS
PT PLN sebagai PJPK
Jual Beli Listrik
(BOT/Built Operate Transfer)
Lenders
Sponsor Proyek
Badan Usaha (Independent Power Producer)
Kontraktor Konstruksi Operator
Pembangkit Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Kementerian ESDM sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pelanggan
Konsultan Desain
•Perjanjian Sambungan
•Transaksi sesuai tarif
Badan Usaha Pemasok Batubara Kontrak desain Kontrak Suplai Batubara Kepemilikan Operator Tambang Kontrak operasi
Seperti terlihat dari struktur di atas, lingkup pekerjaan yang dikerjasamakan tidak berbeda dengan tipikal struktur BOT yaitu pekerjaan
detail desain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan fasilitas pembangkit dalam rangka penyediaan listrik untuk kemudian dibeli secara
berkala dan didistribusikan oleh PLN ke pelanggan. Perbedaan utamanya adalah pada profil risiko bagi para pihak, terutama risiko
ketidakpastian suplai dan kenaikan harga batubara (selain risiko dalam akuisisi dan pengoperasian tambang bagi PLN dalam opsi ini).
2.2.6
Struktur KPS Sektor Kepelabuhanan
Dalam sektor ini, kerangka regulasi sektor pelabuhan di Indonesia memungkinkan struktur KPS berbasis penggunaan (atau Konsesi
Penuh), dimana PJPK pada sektor ini adalah Otoritas Pelabuhan (OP) di bawah Kemenhub.
2.2.6.1.
Konsesi Penuh Kepelabuhanan
Dalam struktur Konsesi Penuh, pelanggan retail/pengguna akhir dari KPS ini dapat merupakan penumpang, perusahaan pelayaran, dan
/ atau perusahaan ekspedisi barang (kargo atau kontainer).
Gambar 14. Struktur Konsesi Penuh Kepelabuhanan Kontrak KPS
Otoritas Kepelabuhanan sebagai PJPK a/n Menhub
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri Perhubungan sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pengguna (Penumpang/Kargo) Konsultan Desain Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha
18 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
Dalam sektor ini, belum ada proyek yang telah berhasil dilaksanakan saat ini dengan skema berdasarkan Regulasi KPS. Mengacu pada
model bisnis yang lazim sebagai skema KPS di sektor ini, skema yang cenderung akan dijadikan acuan regulasi adalah model LPA
(Landlord Port Authority)
dimana Pemerintah dapat menyewakan lahan
(greenfield)
atau mendapatkan
concession fee
atas pelabuhan
yang sudah ada beserta fasilitasnya
(brownfield)
kepada BU swasta. Dalam hal ini, BU dapat membangun atau mengembangkan
infrastruktur kepelabuhanan yang ada untuk meningkatkan layanan infrastruktur dalam pengoperasiannya, dan mendapatkan
pembayaran dari pelanggannya atas pelayananan di pelabuhan.
Dalam skema ini, dimana risiko permintaan umumnya akan diserap oleh swasta. Pemerintah (sebagai ‘
landlord’
) dapat menerima
pembayaran atas sewa tersebut atau
concession fee
dari BU sehingga dapat dimanfaatkan untuk memulihkan sebagian atau seluruh
biaya pengadaan tanah dan fasilitas pendukung (misalnya
break water
, akses jalan dan fasilitas pendukung lainnya) yang merupakan
kewajiban Pemerintah dalam mempersiapkan proyek KPS. Besarnya sewa atau
concession fee
tersebut biasanya menjadi kriteria
penentuan pemenang lelang KPS; dengan kata lain, ditentukan oleh seberapa besar minat para investor.
2.2.7
Struktur KPS Sektor Kebandaraan
Dalam sektor ini, belum ada proyek yang telah berhasil dilaksanakan saat ini dengan skema berdasarkan Regulasi KPS. Mengacu pada
UU No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pasal 235, pelayanan jasa kebandarudaraan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Bandar
Udara (BUBU) berdasarkan konsesi dan atau bentuk lainnya (termasuk BOT dan kontrak manajemen). PJPK dari sektor ini adalah
Direktur Jenderal Perhubungan Udara (“Ditjen Hubud”), Kemenhub.
Sebagai gambaran, secara garis besar lingkup pekerjaan dan jenis infrastrukturnya dapat terbagi menjadi:
Infrastruktur bandara, terdiri atas:
o
Air-side
: landasan pacu,
taxyway, apron, air traffic control
(ATC)
o
Land-side
: terminal
o
Area komersial sekitar bandara
Infrastruktur akses transportasi
o
Akses kereta api
o
Akses jalan
Terhadap opsi kerjasama melalui skema KPS, karena jenis infrastruktur tertentu sifatnya tidak komersial (khususnya
Air-side
), perlu
evaluasi terhadap kebutuhan peran BU swasta, baik untuk area
brownfield
(terhadap bandara yang sudah beroperasi) atau area
greenfield
(bandara di lokasi baru). Sebagai contoh, untuk melibatkan BU swasta dalam area
greenfield
, Pemerintah perlu terlebih dulu
menyiapkan infrastruktur akses transportasi yang memadai termasuk membangun infrastruktur
Air-side
melalui sumber pendanaan
lain.
2.2.7.1.
Konsesi Penuh Kebandaraan
Dalam struktur Konsesi Penuh, KPS pada sektor kebandaraan dapat meliputi penyediaan dan pengoperasian layanan dan infrastruktur.
Pemerintah dapat memberikan kewenangan bagi BU untuk memperoleh pendapatan langsung dari pelanggan retail/pengguna akhir
yaitu penumpang, maskapai penerbangan dan/atau perusahaan ekspedisi barang seperti kargo.
Gambar 15. Struktur Konsesi Penuh Kebandaraan
Konsesi penuh biasanya diberikan kepada BU sektor swasta menggunakan struktur BOT, khususnya dalam konteks ekspansi di area
brownfield.
Lingkup kerja dari BU, seperti yang diatur dalam peraturan yang berlaku, adalah mengembangkan dan mengoperasikan
baik prasarana bandara maupun jasa-jasa yang ada sehingga juga dimungkinkan untuk menyertakan lingkup pemanfaatan komersial
untuk area bandara kepada BU. Untuk area
greenfield
, skema KPS lebih dimungkinkan untuk tidak menyertakan pembangunan
infrastruktur
Air-side
sebagai lingkup yang dikerjasamakan dengan BU.
Kontrak KPS
Dirjen Perhubungan Udara sebagai PJPK a/n Menhub
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri Perhubungan sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pengguna (Penumpang/Kargo) Konsultan Desain Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha
21 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
2.2.7.2.
O&M Kebandaraan
Serupa dengan struktur O&M di proyek transportasi lainnya, skema KPS ini umumnya dirancang untuk proyek
brownfield
dimana
pekerjaan desain, konstruksi dan pembiayaan fasilitas kebandaraan tersebut tidak menjadi lingkup pekerjaan BU.
Gambar 16. Struktur O&M Kebandaraan
Operator akan memelihara fasilitas dan menerima pembayaran atas layanan sesuai tarif dari pelanggan retail/pengguna akhir atas
nama Pemerintah (sebagai pemilik infrastruktur). Pendapatan kemudian dihitung sebagai porsi dari tarif yang sudah diambil.
.RQWUDN .36 Dirjen Perkeretaapian sebagai PJPK a/n Menhub
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Operator Kontrak operasi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri Perhubungan sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pengguna Akhir (Penumpang/Kargo) Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha Kontraktor Konstruksi Kontrak konstruksi Konsultan Desain Kontrak desain
20 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
menyiapkan infrastruktur akses transportasi yang memadai termasuk membangun infrastruktur
Air-side
melalui sumber pendanaan
lain.
2.2.7.1.
Konsesi Penuh Kebandaraan
Dalam struktur Konsesi Penuh, KPS pada sektor kebandaraan dapat meliputi penyediaan dan pengoperasian layanan dan infrastruktur.
Pemerintah dapat memberikan kewenangan bagi BU untuk memperoleh pendapatan langsung dari pelanggan retail/pengguna akhir
yaitu penumpang, maskapai penerbangan dan/atau perusahaan ekspedisi barang seperti kargo.
Gambar 15. Struktur Konsesi Penuh Kebandaraan
Konsesi penuh biasanya diberikan kepada BU sektor swasta menggunakan struktur BOT, khususnya dalam konteks ekspansi di area
brownfield.
Lingkup kerja dari BU, seperti yang diatur dalam peraturan yang berlaku, adalah mengembangkan dan mengoperasikan
baik prasarana bandara maupun jasa-jasa yang ada sehingga juga dimungkinkan untuk menyertakan lingkup pemanfaatan komersial
untuk area bandara kepada BU. Untuk area
greenfield
, skema KPS lebih dimungkinkan untuk tidak menyertakan pembangunan
infrastruktur
Air-side
sebagai lingkup yang dikerjasamakan dengan BU.
.RQWUDN .36 Dirjen Perhubungan Udara
sebagai PJPK a/n Menhub
Konsesi Lenders Sponsor Proyek Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri Perhubungan sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pengguna (Penumpang/Kargo) Konsultan Desain Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha
20 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko
menyiapkan infrastruktur akses transportasi yang memadai termasuk membangun infrastruktur
Air-side
melalui sumber pendanaan
lain.
2.2.7.1.
Konsesi Penuh Kebandaraan
Dalam struktur Konsesi Penuh, KPS pada sektor kebandaraan dapat meliputi penyediaan dan pengoperasian layanan dan infrastruktur.
Pemerintah dapat memberikan kewenangan bagi BU untuk memperoleh pendapatan langsung dari pelanggan retail/pengguna akhir
yaitu penumpang, maskapai penerbangan dan/atau perusahaan ekspedisi barang seperti kargo.
Gambar 15. Struktur Konsesi Penuh Kebandaraan
Konsesi penuh biasanya diberikan kepada BU sektor swasta menggunakan struktur BOT, khususnya dalam konteks ekspansi di area
brownfield.
Lingkup kerja dari BU, seperti yang diatur dalam peraturan yang berlaku, adalah mengembangkan dan mengoperasikan
baik prasarana bandara maupun jasa-jasa yang ada sehingga juga dimungkinkan untuk menyertakan lingkup pemanfaatan komersial
untuk area bandara kepada BU. Untuk area
greenfield
, skema KPS lebih dimungkinkan untuk tidak menyertakan pembangunan
infrastruktur
Air-side
sebagai lingkup yang dikerjasamakan dengan BU.
Kontrak KPS Dirjen Perhubungan Udara
sebagai PJPK a/n Menhub Konsesi Lenders Sponsor Proyek Kontraktor Konstruksi Operator Kontrak operasi Kontrak konstruksi Sektor Publik Sektor Swasta Pembiayaan Pinjaman Pembiayaan Ekuitas Pembiayaan Financial Close Menteri Perhubungan sebagai Regulator
Konstruksi dan Operasi
Pengguna (Penumpang/Kargo) Konsultan Desain Transaksi sesuai Tarif Badan Usaha
3
PENILAIAN ASPEK ALOKASI RISIKO UNTUK PROYEK KPS DAN PENYEDIAAN PENJAMINAN INFRASTRUKTUR
3.1
Alokasi Risiko dalam konteks Manajemen Risiko
Dalam konteks proses pengelolaan risiko secara umum, prinsip alokasi risiko merupakan konsep yang digunakan dalam proses
penanganan risiko
(risk treatment)
.
Secara garis besar, penanganan risiko termasuk: menanggung risiko; menghindari risiko; memitigasi risiko dan mengalihkan
atau mengalokasikan risiko kepada pihak lain.
Gambar 17. Tahapan proses pengelolaan risiko
Dalam menentukan dan merumuskan upaya penanganan risiko melalui cara mengalokasikannya baik kepada pihak lain maupun
menanggung risiko tersebut, dibutuhkan suatu prinsip yang dapat digunakan menjadi landasan bagaimana, sejauhmana dan
kepada pihak mana risiko sebaiknya tersebut dialokasikan.
3.2
Prinsip Alokasi Risiko dalam konteks Implementasi Proyek KPS
Dalam konteks transaksi proyek KPS, penentuan kewajiban PJPK dalam Perjanjian Kerjasama proyek KPS (yang dilakukan setelah
melakukan analisis risiko sebagai bagian dari studi kelayakan proyek) perlu memenuhi prinsip Alokasi Risiko. Upaya
menghasilkan suatu skema alokasi risiko yang optimal penting demi memaksimalkan value for money.
Prinsip yang lazim diterapkan untuk alokasi risiko adalah bahwa,
“Risiko sebaiknya dialokasikan kepada pihak yang relatif lebih mampu mengelolanya atau dikarenakan memiliki biaya terendah
untuk menyerap risiko tersebut. Jika prinsip ini diterapkan dengan baik, diharapkan dapat menghasilkan premi risiko yang
rendah dan biaya proyek yang lebih rendah sehingga berdampak positif bagi pemangku kepentingan proyek tersebut.”
Identifikasi Risiko
Evaluasi
Risiko
Pemantauan
Risiko
menanggung risiko;
menghindari risiko;
memitigasi risiko; atau
mengalokasikan risiko
22 KPS di Indonesia: Acuan Alokasi Risiko