• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Aspek Lingkungan dan Sosial - DOCRPIJM 095f69139c BAB IVBAB IV ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "4.1 Aspek Lingkungan dan Sosial - DOCRPIJM 095f69139c BAB IVBAB IV ANALISIS"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

4.1

Aspek Lingkungan dan Sosial

4.1.1 Aspek Lingkungan

Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU 24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.

Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.

(2)

bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan, sepertitercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UUtentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.

Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasionaldan daerah melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi,tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.

Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan teknis analisis.

Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.

(3)

Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.

Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.

2. Terkendalinya pencemaran melalui usaha konservasi tanah.

3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.

4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap. 5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003–2020.

7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.

8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.

9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami, dan lainnya).

10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif. 11. Meningkatkan diplomasi internasional.

12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.

2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah. 3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya

secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.

4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan pembangunan.

(4)

6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan

7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.

Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta bencana alam lainnya;

4.1.1.1Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang saratdengan konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam. Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.

(5)

Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secarasistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS (terkait dengansistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.

Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asiadan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian Development Bank.

Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun daerah.

(6)

pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya,baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.

Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.

Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis SEA is a systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of sustainability principles into, strategic decision-making].

KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.

(7)

Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :

1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL

(EIA-Mainframe)

KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.

2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup(Environmental

Appraisal)

KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.

3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated

AssessmentSustainability Appraisal)

KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.

4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam(Sustainable

Natural Resource

Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam.

(8)

mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.

Tabel 4.1 Pengaruh KLHS dalam RTRW

Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda, namun secara generik hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan sebagai berikut :

(9)

Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan atas alasan-alasan : a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

 Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan kerusakan

sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir,

longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara termasuk

ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang berpenduduk padat? dan/atau

 Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk

golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses? dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan

(livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang?

Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.

(10)

Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:

 Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,

 Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.

 Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim

dan bencana lingkungan.

 Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).

Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.

Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.

(11)

(level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan kegiatan masyarakat.

Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.

Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada masing-masing RTRW. Dalam kasus dimana proses perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.

(12)

kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.

4.1.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH

AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :

 Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau

kegiatan;

 Luas wilayah penyebaran dampak;

 Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

 Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;  Sifat kumulatif dampak;

 Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

 Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam

 Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharu  Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,

Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

 Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,

(13)

 Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian kawasan

konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;  Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;

Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia diberlakukan berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986) sebagai realisasi pelaksanaan UU no. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup yang saat ini telah direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat mencegah kerusakan lingkun gan dan menjamin upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek itu sendiri. Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya -upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.

Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :

1. AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.

2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.

(14)

dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.

4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota -kota baru.

Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya menangani studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan , yaitu :

1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan pembangunan.

2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM telah dilibatkan dalam sidang -sidang komisi AMDAL, akan tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima didalam proses pengambilan keputusan.

3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.

4. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya aspek “sosial budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial – budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.

(15)

dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang dengan kondisi budaya dan sosiopolitik berbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :

 Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,  Kekuatan institusi ,

 Pelatihan ilmiah dan profesional,  Ketersediaan data.

Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri. Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat. Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat “ bottom up ”.

Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar, spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut.

(16)

terjadi pada pelaksanaan AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang berada di masing masing sektor kementrian dan propin si bekerja sendiri -sendiri. Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.

Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.

Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya seharusnya menjadi perhatian utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang berbeda.

Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral dan ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara Lingkungan Hidup di mana semua stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan kemajuan penting. Demikian penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Sonny Keraf saat membuka Workshop Nasional "Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di Jakarta. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi Amdal yang menangani proses Amdal di daerah bersangkutan.

(17)

ini mungkin terjadi, di mana sektor lebih menekankan kegiatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .

Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha. Dengan demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi, diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai rekomendasi murni, tidak dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.

Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak ada lagi keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan tanpa memiliki suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Kepala Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses penilaian Amdal. "Desentralisasi kewenangan Amdal merupakan bentuk penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat, penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.

Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di level pemerintah.

Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.

(18)

UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.

Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) selanjutnya disingkat SOP adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur operasional yang berlaku.

4.1.2

Aspek Sosial

Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk memahami upaya pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat. Pelaksanaan upaya pengamanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat dan memastikan bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:

Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan

kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan, pengusulan

kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai dengan tahapan pemanfaatan dan

pemeliharaan.

Menyiapkan usulan kegiatan berdasarkan format standar yang telah disediakan yang memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja, termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.

Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.

Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel kriteria penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan penapisan khusus untuk semua usulan kegiatan masyarakat yang membutuhkan tanah dan perubahan penggunaan air (misal reklamasi, irigasi); proyek ekonomi yang berdampak lingkungan untuk memastikan alignment, air larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.

Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.

Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan pengamanan sosial dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.

(19)

Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.

Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya sudah jelas.

Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.

Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.

Tidak terjadi perselisihan/konflik diantara masyarakat adat selama pelaksanaan program.

Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.

Tidak terjadi /menghindari terjadinya pemukiman kembali.

Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah padat/cair, kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.

Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.

Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.

4.1.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance organisasi.

Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur tanggung jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.

a.

Proteksi Lingkungan

Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak operasionalisasi terhadap lingkungan.

b.

Jaminan Kerja

Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding secara kolektif.

(20)

Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di luar pekerjaan.

d.

Keterlibatan dalam komunitas

Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu, produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.

e.

Standar bisnis

Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan, perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.

f.

Pasar

Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan antara perusahaan dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan produk.

g.

Pengembangan ekonomi dan badan usaha

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal, kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.

h.

Proteksi Kesehatan

Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan.

i.

Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan

Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan menularkan praktek-praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih berada dalam tingkat perekonomian berkembang atau transional.

(21)

Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan. Perusahaan diharapkan dapat menerapkan konsep “respon proaktif” dan memusatkan pada tindakan pencegahan melalui upaya pemberdayaan.

4.1.2.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan hidup, image, dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global, selain kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha.

Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang terkait adalah urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per tahun akibat tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses pengembangan wilayah terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yang lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.

Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk oleh urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada sebelumnya. Demikian juga ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat, terutama masyarakat miskin.

(22)

Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Tantangan pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah menjaga kawasan dan lingkungan hunian yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di Indonesia semakin penting sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang dipicu oleh keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan serius dan sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan di masa mendatang.

Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir belum dilakukan secara baik, sebagaimana ditunjukkan oleh pendanaan infrastruktur yang masih under-investment (< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah-daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.

Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran mutu pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi. Selain itu, tidak dapat diabaikan pula berbagai kesepakatan pembangunan infratruktur bersama, seperti pada kesepakatan kerjasama ekonomi regional: APEC, AFTA, BIMP-EAGA, IMT-GT, SIJORI, Program ASEAN Highway, dan Asia Railway yang akan menuntut upaya sungguh-sungguh dari segenap pelaku pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Karena itu upaya untuk memobilisasi berbagai sumber pembiayaan perlu terus dilakukan dan ditingkatkan dengan mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja sama pemerintah-swasta (KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus infrastruktur, serta dana preservasi jalan.

(23)

Isu lainnya yang juga memerlukan perhatian serius untuk lima tahun yang akan datang adalah pentingnya seluruh jajaran ke-PU-an untuk terus meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang didukung secara optimal oleh jajaran birokrasi melalui reformasi birokrasi yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas birokrasi serta mewujudkan disiplin dan etos kerja yang prima.

Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat. Demikian pula dengan infrastruktur yang berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah diharapkan akan dapat terus mendorong percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial dan kenyamanan lingkungan.

Tantangan umum lainnya yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur, khusunya bidang PU dan permukiman di Indonesia adalah kendala alamiah berupa struktur wilayah geografis; disparitas dan distribusi penduduk di Jawa dan luar Jawa; menurunnya kinerja infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah seperti jalan provinsi/kabupaten/kota; serta sulitnya pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang menyebabkan terhambatnya kelancaran pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya.

Selanjutnya tantangan dan isu strategis masing-masing sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an diuraikKarya-an di bawah ini.

Tantangan pembangunan

 Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk meningkatkan kinerja TPA

yang berwawasan lingkungan di kota metro/besar yang sampai saat ini masih belum menuai hasil yang optimal. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang masih rendah, sementara konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan TPA sampah sampai saat ini masih sering terjadi di samping ketersediaan sarana dan prasarana persampahan masih belum memadai.

 Meningkatkan keterpaduan penanganan drainase dari lingkungan terkecil hingga wilayah

yang lebih luas dalam satu wilayah administrasi maupun antar kabupaten/kota dan provinsi.  Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap aspek kesehatan akan menuntut

(24)

 Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas fasilitas sanitasi

masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa layanan publik dan kesehatan.

 Mendorong dan meningkatkan keterlibatan dunia usaha (swasta) dalam pendanaan

pembangunan prasarana air minum.

 Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam penyediaan air minum baik dalam

pengolahan maupun pembiayaan penyediaan air minum.

 Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru,

rata-rata sekitar 820.000 unit rumah, terdapat backlog perumahan sebesar 6 juta unit.  Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun kebakaran melalui

pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan administrasi/perizinan.

 Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun bangunan gedung

memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga dapat meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan kriminalitas.

 Mendorong penerapan konsep gedung ramah lingkungan (green building) untuk

mengendalikan penggunaan energi sekaligus mengurangi emisi gas dan efek rumah kaca dalam kerangka mitigasi dan adaptasi terhadap isu pemanasan global.

 Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang bagi

permukiman.

 Menyelaraskan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan

kecil mengacu pada sistem pembangunan perkotaan nasional.  Melanjutkan program pengembangan kawasan agropolitan.

Isu strategis sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an

 Keterlibatan swasta dalam penanganan sampah khususnya untuk kawasan perkotaan

sudah cukup tinggi namun pihak swasta lebih mengutamakan mengelola persampahan pada kawasan elit dengan kemampuan membayar dari konsumen yang sudah cukup tinggi. Potensi swasta dan masyarakat yang sangat besar dalam pengembangan kawasan belum dikelola dengan optimal.

Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan persampahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

(25)

Melengkapi peraturan perundang-undangan yang lebih operasional sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di tingkat pusat dan daerah dan meningkatkan law enforcement-nya.

Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggaraan air minum di daerah; perlunya perubahan mindset penyelenggaraan, tugas, dan kewenangan dalam pelayanan air minum; makin sulitnya penyediaan air baku; serta masih rendahnya cakupan dan kualitas pelayanan penyelenggaraan air minum.

Intervensi swasta yang sulit dibendung kadang berakibat pada tidak konsistennya pembangunan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada.

Memperkuat instrumen pengaturan mulai dari perencanaan sampai dengan pengendalian dalam pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan, serta mendorong daerah untuk lebih optimal dalam pengelolaan gedung dan penataan lingkungan dengan melengkapi Perda tentang Bangunan Gedung; Ruang Terbuka Hijau; Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK); Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan; dan pengelolaan sanitasi.

Meningkatkan jumlah bangunan gedung yang andal (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan) serta meningkatkan kualitas pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara.

Meningkatkan jumlah kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional yang direvitalisasi dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk penataan lingkungan.

Tantangan pembangunan sub bidang jasa konstruksi

Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Departemen

PU menerima mandat sebagai pembina jasa konstruksi nasional untuk memenuhi

amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Tantangan ke depan pemerintah perlu lebih serius melaksanakan pembinaan jasa

konstruksi mengingat meningkatnya concern terhadap jasa konstruksi. Sementara

di lain pihak pembinaan jasa konstruksi yang selama ini berjalan ditengarai dan

dipersepsikan lebih menjadi bagian dari tugas Departemen PU semata dan belum

menjadi tanggung jawab semua pihak.

(26)

jasa konstruksi dan pengalokasian APBD untuk pembinaan jasa konstruksi perlu mendapat apresiasi yang positif. Namun unit struktural pembina jasa konstruksi daerah belum jelas dengan berlakunya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah karena tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pembinaan jasa konstruksi masuk dalam rumpun urusan pekerjaan umum. Selain itu, petunjuk teknis mengenai pembentukan unit struktural pembina jasa konstruksi di daerah belum tersedia dan Tim Pembina jasa konstruksi di tingkat pusat sesuai PP 30/2000 yang bertugas untuk mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi antar departemen dan LPND terkait dalam rangka pembinaan jasa konstruksi daerah (provinsi) belum terbentuk.

Asosiasi konstruksi juga masih lebih cenderung mengutamakan kepentingan-kepentingan politis, sementara forum jasa konstruksi belum intens dan kurang maksimal melakukan pembinaan.

Memperkuat pasar konstruksi dan meningkatkan profesionalisme industri konstruksi. Termasuk perlunya memperkuat para pelaku usaha konstruksi kecil dan menengah antara lain karena lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .

Dari sekitar 115 ribu kontraktor di Indonesia hampir semuanya memperebutkan 40% pangsa pasar jasa konstruksi nasional yang umumnya disediakan pemerintah (APBN dan APBD). Sedangkan 60% pasar jasa konstruksi Indonesia lainnya, justru diambil kontraktor luar negeri terutama sektor migas. Sementara permintaan keterlibatan badan usaha/tenaga kerja konstruksi di luar negeri terus meningkat.

Isu strategis sub bidang jasa konstruksi

Kompetensi SDM Konstruksi Indonesia masih harus ditingkatkan dalam bersaing di

tingkat internasional. Pemerintah perlu meningkatkan kemampuan perguruan tinggi

atau lembaga pendidikan agar dapat menghasilkan keluaran (lulusan) yang

memiliki standar internasional.

Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi menuju tenaga ahli bidang konstruksi terampil.

(27)

Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana pelatihan mengacu pada kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi (kondisi prasarana dan sarana pelatihan saat ini sangat jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara tetangga).

Meningkatkan kualitas sertifikasi dan pelatihan tenaga kerja konstruksi.

Penerapan konsep green construction yang merupakan proses konstruksi yang menggunakan bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah lingkungan di bidang pembangunan konstruksi dalam rangka merespon pemanasan global.

Lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .

KKN dalam industri konstruksi nasional masih dominan dalam perilaku bisnis jasa konstruksi. Kondisi ini telah membuat persaingan di industri konstruksi bukan berdasarkan kompetensi tetapi negoisasi atau lobby (oligopolis).

Pasar jasa konstruksi nasional masih terdistorsi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand. Oleh karena itu perlu upaya pembinaan perusahaan jasa konstruksi melalui penerapan kualifikasi atau persyaratan dalam pendirian badan usaha jasa konstruksi.

Globalisasi bisnis konstruksi merupakan suatu keniscayaan. Liberalisasi perdagangan jasa konstruksi merupakan suatu yang akan terjadi. Indonesia sebagai negara anggota WTO akan dihadapkan pada tekanan untuk membuka pasar konstruksi domestik.

Otonomi daerah sebagai instrumen desentralisasi akan menjadi pendorong perdagangan sektor konstruksi nasional menjadi berkembang akibat kebijakan penanaman modal langsung ke daerah.

Tantangan pembangunan bidang penataan ruang

Melengkapi peraturan perundangan dan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria

(NSPK) di bidang penataan ruang untuk mendukung implementasi penataan ruang

di lapangan.

Meningkatkan pemanfaatan RTR secara optimal dalam mitigasi dan penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah, dan pengembangan kawasan.

(28)

mengurangi terjadinya konflik pemanfaatan ruang antarsektor, antarwilayah, dan antarpelaku.

Meningkatkan kepastian hukum dan koordinasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.

Isu strategis bidang penataan ruang

 Perlu segera menyelesaikan peraturan operasionalisasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan bahwa seluruh Peraturan Presiden harus diselesaikan pada tahun 2012, sementara seluruh Peraturan Menteri yang berbentuk NSPK dan RTRW Kabupaten/Kota harus diselesaikan/disesuaikan pada tahun 2010.  Pentingnya menyelesaikan penyesuaian/revisi RTRW Kabupaten/Kota.

 Perlu segera menyelesaikan RTR Kawasan Strategis Nasional seperti Kawasan Ekonomi

Khusus untuk mengantisipasi fenomena ekonomi global sebagaimana diamanatkan oleh RTRWN.

 Melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang dengan melengkapi instrumen hukum

sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

 Meningkatkan kemampuan aparat perencana maupun pelaksana pengendali dan

pengawas pemanfaatan ruang, baik di tingkat pusat maupun di daerah, untuk menjamin pelaksanaan RTR yang semakin berkualitas serta dalam rangka pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang yang efektif.

 Menyelenggarakan upaya-upaya sosialisasi yang lebih memadai guna meningkatkan

dukungan masyarakat terhadap kegiatan penataan ruang, baik dalam perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang.

 Menyelaraskan pola penyusunan RTRW di daerah dalam rangka menjaga keserasian

antardaerah dan antartingkatan RTRW.

4.2 Aspek Ekonomi

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dari sudut ruang perkotaan secara umum, dan penyediaan ketersediaan infrastruktur bidang ke-Cipta Karya-an adalah permasalahan sehari-hari, dan kombinasinya pada tingkat analisis lokal, serta memberikan wawasan segar tentang bagaimana sosialisasi terhadap infrastruktur yang dibangun.

(29)

di tengah masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan pembangunan. Dinilai layak investasi dan dapat diambil suatu keputusan investasi setelah mempertimbangkan seluruh aspek kajian secara hirarki dan proyek dapat dinyatakan bermanfaat bagi masyarakat.

Pengarusutamaan sosial dalam penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta Karya sangat penting untuk mengurangi kesenjangan sosial di dalam memperoleh aksesibilitas, kontrol, partisipasi dan manfaat dari penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta Karya.

Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindaklanjuti adalah isu kemiskinan. Kajian aspek sosial lebih menekankan pada manusianya sehingga yang disasar adalah kajian mengenai penduduk miskin, mencakup data eksisting, persebaran, karakteristik, hingga kebutuhan penanganannya.

Selain itu aspek yang perlu diperhatikan adalah responsivitas kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah kegiatan responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP), Pengembangan Infrasruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang Cipta Karya.

Menindaklanjuti hal tersebut maka diperlukan suatu pemetaan awal untuk mengetahui bentuk responsif gender dari masing-masing kegiatan, manfaat, hingga permasalahan yang timbul sebegai pembelajaran di masa datang di daerah.

Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali.

Permasalahan yang perlu diantisipasi di masa datang :

(30)

serta saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan

2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan. Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.

3. Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek. Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.

Gambar

Tabel 4.1 Pengaruh KLHS dalam RTRW

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan kualitas (degradasi) dan dalam waktu bersamaan alih fungsi lahan pangan menjadi perkebunan kelapa sawit terus berlanjut dan berlangsung secara masif, tidak saja

Semoga Rencana Kinerja Tahun 2017 Dinas Registrasi Kependudukan Aceh ini dapat menjadi dokumen perencanaan yang bermanfaat sebagai pedoman kerja dan bisa dilaksanakan dengan

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung variabel penggunaan informasi sistem akuntansi manajemen (SAM) terhadap hubungan antara

Salah satu karunia dari-Nya adalah terselesaikannya penelitian dan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu prasyarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Mengingat begitu luasnya permasalahan yang berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi impulse buying , agar permasalahan yang diteliti lebih terfokus maka dalam

Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Ainur Rachman (2015) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah,

Lokal Kitab Fathul Qorib dalam Meningkatkan Pemahaman Mata Pelajaran Fiqih (Studi Kasus di MTs NU Miftahul Falah Cendono Dawe Kudus) ”.

6) Membimbing peserta didik dalam melaksanakan praktik interpretasi dan digitasi citra. 7) Melakukan verifikasi hasil praktik interpretasi citra dari masing- masing