• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT (Studi Kasus Wilayah Laut Marunda Jakarta Utara) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT (Studi Kasus Wilayah Laut Marunda Jakarta Utara) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
265
0
0

Teks penuh

(1)

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999

TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN

DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

(Studi Kasus Wilayah Laut Marunda Jakarta Utara)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh

SEPTI ROSMALIA NIM 6661110907

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)

SEPTI ROSMALIA. NIM 6661110907. 2015. Skripsi. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus: wilayah laut Marunda Jakarta Utara). Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I : Leo Agustino Ph.D. dan Pembimbing II : Deden M.Haris M.Si

(3)

SEPTI ROSMALIA. NIM 6661110907. 2015. Thesis. Implementation of Government Regulation No. 19 of 1999 on pollution control and / or destruction of the Sea (Case study: the area of North Jakarta Marunda sea). Department of Public Administration. Faculty of Social Science and Political Science. Sultan Agung University Tirtayasa. Preceptor I: Leo Agustino Ph.D. and Preceptor II : Deden M.Haris M.Si

Keywords:Policy, Implementation, Marine Pollution Control

(4)
(5)
(6)
(7)

‘’Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: 'Lakukanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)" (Ar-Rum 41-42)’’

(8)

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan inayah-Nya, Alhamdulilah penulis dapat menyelesaikan skripsi tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut (Studi kasus wilayah Laut Marunda Jakarta Utara). Puji syukur yang tak terhingga ini belum sebanding dengan nikmat yang telah kita terima sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan-Nya.

Ucapan Terimakasih penulis sampaikan kepada pihak yang telah memberikan pengajaran, bantuan, serta dorongan dalam upaya menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis sampaikan rasa Terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.DR.H.Sholeh Hidayat, M.pd Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

2. Bapak Dr.Agus Sjafari S.Sos M.Si Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

3. Bapak Kandung Sapto Nugroho S.Sos M.si wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Ibu Mia Dwianna S.Sos M.Ikom wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Bapak Ismanto.S.Sos MM. Selaku wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Ibu Rahmawati S.Sos M.Si Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

7. Bapak Leo Agustino Ph.D Dosen Pembimbing 1 skripsi. Terima kasih dengan sangat atas bimbingan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi.

8. Bapak Deden M. Haris M.Si. Dosen Pembimbing II skripsi. Terima kasih dengan sangat atas bimbingan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi.

(9)

telah membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini. 11.Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, terumata

Seksi.Perikanan dan Kelautan. Terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini.

12.Kesbangpol Jakarta Utara, terutama Ibu Nadia. Terima Kasih sudah membantu penulis dalam izin rekomendasi penelitian.

13.WALHI, KIARA dan LSM Lingkungan Hidup yang lain yang turut membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini.

14.Para nelayan, Industri dan masyarakat pesisir laut Marunda, Terima kasih selama ini yang turut membantu dan memberikan pengetahuan selama penulis menyusun skripsi ini.

15. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini. 16. Terima kasih kepada kedua orang tua ku tercinta dan kakak adik ku yang

senantiasa memberikan doa dan semangatnya yang tak pernah putus selama ini.

17. Terima kasih kepada Ahmad Ibrahim Hardianto, Ryan Chandra Ardyanto, atas bantuan dan semangatnya. Anak-anak kosan Bu Nining Blok A2 No.13 serta sahabat dan teman-teman Administrasi Negara 2011 khususnya Reguler kelas A atas dukungan dan motivasinya.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Serang, 2015

(10)

LEMBAR PERNYATAAN ORISIONALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 17

1.3 Batasan Masalah... 17

1.4 Rumusan Masalah... 18

1.5 Tujuan Penelitian... 18

1.6 Manfaat Penelitian... 18

1.7 Sistematika Penulisan... 21

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Landasan Teori... 22

2.1.1 Definisi Kebijakan... 24

2.1.2 Definisi Publik... 26

(11)

2.1.6 Model Implementasi Kebijakan... 32

2.1.7 Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut... 41

2.1.8 Deskripsi Kebijakan... 45

2.2 Penelitian Terdahulu... 46

2.3 Kerangka Pemikiran... 51

2.4 Asumsi Dasar... 52

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian... 53

3.2 Ruang Lingkup/Fokus Penelitian... 54

3.3 Lokasi Penelitian... 55

3.4 Variabel Penelitian... 56

3.5 Instrumen Penelitian... 59

3.6 Informan Penelitian... 68

3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 70

3.8 Jadwal Penelitian... 75

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian... 76

4.1.1 Profil Wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara... ... 76

4.1.1.2 Potensi Kota Administrasi Jakarta Utara... 78

4.1.1.3 Profil Wilayah Kecamatan Cilincing... 80

4.2 Deskripsi Data dan Analisis Data Hasil Penelitian... ... 84 4.2.1 Implementasi Peraturan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999

(12)

Utara)... ... 88

4.2.1.2 Tingkat Kepatuhan (Complience)... ... 89

4.2.1.3 Lancarnya Pelaksanaan Aktivitas Fungsi... ... 101

4.2.1.4 Kinerja dan Dampak yang dikehendaki... 114

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian... 119

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 127

5.2 Saran... 129 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(13)

1.1 Waktu dan lokasi peristiwa kematian masal ikan di Teluk Jakarta... 4

1.2 Tingkat Pencemaran Teluk Jakarta... 10

3.4 Pedoman Wawancara Penelitian... 60

3.6 Deskripsi Informan Penelitian... 64

3.7 Analisis Data Miles dan Huberman... 66

3.8 Jadwal Penelitian... 75

4.1 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013... 78

4.2 Kepadatan penduduk dan sex ratio menurut kecamatan tahun 2013... 82

4.3 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013... 83

4.4 Deskripsi Informan Penelitian Setelah Observasi... 93

4.5 Rekapan Data Produksi Ikan Tangkap Suku Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Jakarta Utara... 102

4.6 Hasil Penelitian dan Hambatan... 129

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian... 51 Gambar 3.7 Proses Analisis data Prasetya Irawan... 71 Gambar 4.1 Peta Administrasi Kota Jakarta Utara... 77 Gambar 4.2 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun

2013... 78 Gambar 4.3 Peta wilayah Cilincing Jakarta Utara... 81 Gambar 4.4 Struktur Organisasi Suku Dinas Peternakan,Perikanan dan kelautan

(15)
(16)

Lampiran 1 : Surat Izin Penelitian Lampiran 2 : Dokumentasi Penelitian Lampiran 3 : Pedoman Wawancara Lampiran 4 : Transkrip Data Lampiran 5 : Koding Data Lampiran 6 : Kategorisasi Data

Lampiran 7 : Lembar Catatan Bimbingan Skripsi Lampiran 8 : Data-data Dokumen Penelitian Lampiran 9 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia. Salah satu bagian dari lingkungan hidup adalah laut. Laut memiliki peran besar dalam penyediaan sumber daya alam yang tidak terbatas bagi manusia. Pengelolaan sumber daya di laut memberikan manfaat yang besar bagi manusia, namun dalam pengelolaan lingkungan laut tersebut, tentunya memiliki dampak terhadap laut itu sendiri. Memberikan perhatian dalam perlindungan dan pelestarian wilayah lingkungan laut adalah salah satu cara untuk tetap mempertahankan dan melestarikan sumber daya tersebut. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa laut, sumber daya alam dan segala fungsinya dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perlu diingat bahwa laut dan potensi kekayaan yang ada, jika dikelola dan dimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab dan tanpa memperhatikan batas kemampuan alam, maka akan menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut.

(18)

daerah pertanian dan limbah rumah tangga, dari atmosfer, sampah dan bahan buangan dari kapal, tumpahan minyak dari kapal tanker dan pengeboran minyak lepas pantai, dan masih banyak lagi bahan yang terbuang ke lautan.

Lautan juga melarutkan dan menyebarkan bahan-bahan tersebut sehingga konsentrasinya menjadi menurun, terutama di daerah laut dalam. Kehidupan laut dalam juga terbukti lebih sedikit terpengaruh daripada laut dangkal. Daerah pantai, terutama daerah muara sungai, sering mengalami pencemaran berat, yang disebabkan karena proses pencemaran yang berjalan sangat lambat. (Darmono 2010:47)

Pencemaran adalah salah satu masalah terbesar dalam pelestarian lingkungan laut. Pencemaran laut (perairan pesisir) di definisikan sebagai

‘’dampak negatif’’ (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota,

(19)

Awalnya pencemaran yang sedikit mungkin tidak akan terlalu menjadi masalah bagi negara maupun negara lain, hal ini dikarenakan laut masih memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri, dengan tetap mempertahankan fungsi dari laut itu sendiri. Dewasa ini seiring dengan meningkatnya teknologi dan industri membuat pemakaian laut semakin tinggi dan berakibat masuknya zat-zat baru ke dalam laut, ditambah zat-zat yang sebelumnya telah ada mengakibatkan penumpukan yang membuat laut menjadi kotor dan berkurang kualitasnya sehingga berpengaruh kepada daya guna serta fungsi dari laut itu sendiri.

(20)

Komponen-komponen yang menyebabkan pencemaran laut seperti partikel kimia, limbah industri, limbah pertambangan, limbah pertanian dan perumahan, atau penyebaran organisme invasif (asing) di dalam laut yang berpotensi memberi efek berbahaya. Pencemaran laut ini terjadi hampir di seluruh pesisir lautan di Indonesia.

(21)

Tabel 1.1

Waktu dan lokasi peristiwa kematian masal ikan di Teluk Jakarta

Sumber : BPLHD DKI Mei 2005 Hal 2

Tanggal Kondisi Lokasi

07 April 2004 Air laut berwarna kemerahan

Pantai Ancol meluas ke P.Nirwana, P.Bidadari,

P.Domar, P.Onrus 30 November 2004 Air laut tenang (Pasang

duduk) dan malamnya

13 April 2005 Air laut keruh Hotel Horison, Pantai Festival, Pulau H.Mecure, Pulau Bandar

Jakarta, Pantai Karnaval 15 Juni 2005 Air laut keruh dan pada

saat itu terjadi hujan lebat

Pantai Marina, Pantai Festival, H.Mecure, Pulau Bandar Jakarta,

Pantai Karnaval 05 Agustus 2005 Air laut berwarna coklat

kemerahan, dimana sample air laut di pinggir pantai berwarna coklat, di

16 Oktober 2005 Air laut keruh, pada sore (15/10) terjadi hujan

deras

(22)
(23)
(24)

pemerintah Indonesia dapat mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP tersebut dengan tetap menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah Australia dan Thailand.(Ahdiat 2012:3)

Status pencemaran laut di Indonesia, terutama di daerah padat penduduk, kegiatan industri, pertanian intensif dan lalu lintas pelayaran seperti di Teluk Jakarta, Selat Malaka, Semarang, Surabaya, Lhoksumawe dan Balikpapan sudah memprihatinkan. Konsentrasi logam berat Hg di di perairan Teluk Jakarta pada tahun 1977-1978 berkisar antara 0.002-0,35 ppm (BATAN,1979:32). Kemudian pada tahun 1982 tercatat antara 0,005-0,029 ppm (LONLIPI,1983:12). Sementara itu baku mutu lingkungan dalam KEPMEN KLH No.02/1988 adalah sebesar 0,003 ppm1. Dengan demikian kondisi perairan Teluk Jakarta tercemar logam berat. Hal ini terjadi juga parameter BOD (Biological Oxygen Demand), COD

(Chemical Oxygen Demand), dan kandungan minyak di tiga stasiun pengamatan

sekitar perairan Pelabuhan Tanjung Priok, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 1992, juga menunjukan status tercemar (PPLH-IPB,1992). Nilai BOD berkisar antara 39-312 ppm dengan baku mutu lebih kecil dari 45 ppm. Nilai COD berkisar antara 419-416 ppm, dengan baku mutu lebih kecil daripada 80 ppm. Sedangkan kandungan minyak dipermukaan perairan berkisar antara 41,5-87,5 ppm, dengan baku mutu lebih kecil dari 5 ppm.(Rokhmin Dahuri,2008:10)

Dampak dari pencemaran laut dan limbah telah mengakibatkan penurunan hasil tangkapan nelayan di sejumlah kawasan di Indonesia. Pencemaran perairan mempengaruhi kegiatan perikanan, karena secara tidak langsung mengurangi jumlah populasi, kerusakan habitat dan lingkungan perairan sebagai media hidupnya. Kondisi yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan di antaranya menurunnya kandungan oksigen dalam perairan (anoxic) yang akan menyebabkan pembatasan habitat ikan, khususnya ikan dasar dekat pantai. Eutrofikasi perairan yang menyebabkan pertumbuhan alga yang tidak terkendali (blooming alga),

contohnya pada peristiwa red tides yang menimbulkan keracunan pada ikan, dan terakumulasinya limbah logam berat beracun (Hg) akan menimbulkan kematian

PPM atau “Part per Million” jika dibahasa Indonesiakan akan menjadi “Bagian per Sejuta Bagian” adalah

(25)

pada ikan. Bila kondisi ini tidak dikendalikan, akan dapat mengurangi potensi sumber daya perikanan. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan bahwa Bpk.Kubil selaku ketua nelayan Marunda menyebutkan dalam wawancaranya pada 13 Desember 2014 bahwa dampak yang kita rasakan hanya menurunnya hasil tangkapan ikan, rajungan dan sebagainya, padahal kalau saja tidak tercemar kita dapat 10-20kg tetapi jika laut dirasa sedang tercemar paling banyak dapat 1kg.

Pencemaran limbah ke dalam perairan dapat mempengaruhi keamanan dalam mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan. Masalah ini terjadi, akibat terkontaminasinya limbah rumah tangga yang bersifat patogen dan berbahaya (contohnya tipoid, logam beracun dan pestisida) dengan biota perairan seperti ikan dan kerang. Sektor pariwisata pesisir dan laut Indonesia juga menerima dampak dari pencemaran laut ini.

Melihat pencemaran laut di Indonesia yang masih sangat tinggi terutama terjadi di kawasan laut sekitar dekat muara sungai dan kota-kota besar. Maka dibutuhkan suatu alat yang dapat mengontrol pihak yang melakukan pengelolaan lingkungan laut. Antara lain adalah dengan diadakannya suatu perangkat hukum yang isinya mengatur dan membantu pelestarian lingkungan laut tersebut Tingkat pencemaran laut ini telah menjadi ancaman serius bagi laut Indonesia dengan segala potensinya.

(26)

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Maka jika telah terjadi pencemaran terhadap laut kebijakan tersebut telah mengatur dari mulai pencegahan, penanggulangan, pengawasan hingga ke pembiayaan. Seperti dalam pasal 16 ayat 1 setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dari /atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang sebagaimana dimaksudkan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab. Peraturan tersebut juga menyebutkan setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya.

Jika dilihat dari pasal 25 dijelaskan bahwa tata cara perhitungan biaya atas ganti rugi pencemaran ditetapkan oleh Menteri yang berwenang dalam hal ini kita mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam konteks penegakan hukum harus ditekankan pada pengawasan dan penerapan atau dengan ancaman, penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penaatan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual.

(27)

kemudian sering tindak pidana lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan masalah standar baku lingkungan yang sangat minim dalam penegakan hukum selama ini.

Pasal 1 butir 13 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) disebutkan bahwa baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Pasal 1 butir 15 juga disebutkan bahwa kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.

(28)

Perairan Teluk Jakarta terletak pada 1060 21'-107o03' BT dan 5 o10'- 6o10' LS dibatasi oleh Tanjung Pasir di sisi barat dan Tanjung Karawang di sisi timur. Teluk ini memiliki luas kawasan laut 514 Km2 dengan panjang garis pantai 76 km, serta ke dalaman rata-rata 18 m. Terdapat 13 sungai (Sungai Angke, Bekasi, Cakung, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Cimancuri, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang Krukut dan Sunter) yang bermuara ke Teluk Jakarta dan membawa lebih kurang 1400 m3 /hari limbah padat, di mana 1100 m3 /limbah padat langsung masuk ke teluk ini (Suhendar I.S dan Heru D.W 2007: 3).

Tabel 1.2

Sumber: BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2014)

(29)

tingkat presentasi 42% dan tidak ada yang tidak tercemar. Kondisi pencemaran Teluk Jakarta ini memberikan dampak negatif untuk lingkungan sekitarnya. Dari segi lingkungan, dampak penurunan kualitas perairan Teluk Jakarta ini telah dirasakan hingga ke perairan Kepulauan Seribu yang berjarak lebih dari 50 km dari Teluk Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta menyebutkan kualitas perairan Teluk Jakarta dirasa sangat buruk terutama pada perairan yang dekat dengan pantai (5 km dari pantai).

(30)

2014 dari 10 pantai diberbagai negara pantai Marunda masuk dalam kategori pantai yang tak layak kunjung karena kontaminasi sampah dan limbah.

Badan Pengelola lingkungan Hidup Jakarta yang dilansir dalam Kompas pada tanggal 11 Mei 2014 menyebutkan kandungan amoniak, merkuri, dan fenol di perairan pantai utara dan sekitarnya telah melebihi ambang batas baku mutu yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup. Pencemaran air di area teluk Jakarta juga semakin meluas, hal ini dilihat dari kandungan amoniak tertinggi mencapai 1,06 mg sedangkan normalnya untuk biota laut hanya 0,03 mg/1 dan untuk kawasan bahari 0. Kandungan merkuri tertinggi mencapai 0,056 mg dari batas normal baku mutu 0.02/1 untuk wisata bahari dan 0,001 untuk biota laut, kandungan fenol mencapai 0,010 mg/1 padahal batas normalnya untuk biota laut hanya sebesar 0,002 mg ) berdasarkan hasil uji laboratorium BPLHD penyebab kematian ikan-ikan yang merugikan para nelayan ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu fenomena alam pasang merah dan pencemaran limbah industri yang ditandai dengan adanya kandungan amoniak dan fenol yang tinggi.

(31)

Peneliti juga melihat kondisi airnya tidak lebih baik dari daratannya, banyaknya sampah yang mengotori perairan ditambah dengan limbah industri yang berada di wilayah ini mengakibatkan air yang berada di permukaan dan air tanahnya sudah tidak layak untuk kehidupan biota laut. Permasalahan yang terjadi terkait pencemaran diwilayah tersebut sejumlah nelayan di sekitar Cilincing Jakarta Utara, mengeluhkan penurunan hasil tangkapan ikan yang diduga akibat pencemaran. Salah seorang nelayan bermana Bpk.Jumani menyebutkan dalam wawancaranya pada 27 Desember 2014 akibat pencemaran limbah tersebut, ikan, kepiting, udang, dan bahkan kerang hijau yang sengaja dibudidayakan nelayan tidak sedikit yang di temukan mati mengambang.

Air laut ketika sedang tercemar berwarna coklat pekat dan pinggiran pantai Marunda Pulo banyak sampah plastik, kayu, dan kertas yang mengapung di laut. Kadar oksigen terlarut (DO) dan (BOD) mengalami penurunan pada saat pasang sedangkan pada waktu surut kadar BOD cenderung meningkat terutama di muara Cilincing, Marunda dan Bekasi. Sementara DO hampir tidak ada perubahan kecuali di beberapa tempat seperti seperti Muara Karang, Angke dan Cengkareng. Secara umum kondisi DO dan BOD di muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta berada di bawah baku mutu dan tidak layak untuk mendukung kehidupan ikan dan biota laut didalamnya, maka tidak mengherankan dikawasan pantai dalam radius kurang dari 5km sering terjadi kematian ikan massal.

(32)

dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pencemaran secara khusus yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap orang, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran/kerusakan laut. Selain itu, PP Nomor 19 Tahun 1999 juga mengisyaratkan bahwa setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak hanya wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan, namun wajib pula melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya, melakukan pemulihan mutu laut tersebut.

Ketentuan pidana pada UU PPLH merupakan tidak pidana kejahatan, salah satunya tindak pidana baku mutu lingkungan diatur dalam pasal 98 yakni:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(33)

Pasal diatas memberi makna bahwa lingkungan hidup yang ada ini harus dilakukan upaya perlindungan dan pengelolan, dengan memperhatikan batas atau kadar baku mutu lingkungan yang ada, supaya daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan seimbang, sehingga pada akhirnya tercipta pembangunan berkelanjutan lingkungan hidup dalam menjaga keberlangsungan kehidupan manusia serta makhluk lain.

Hal ini dikarenakan berbagai pihak tersebut tidak lepas dari ketidakmampuan dalam mengkoordinasikan pengelolaan terpadu lintas batas

(transboundary management). Dengan berbagai persoalan yang terjadi dalam

pembahasan sebelumnya yaitu :

Pertama terkait dengan kurang optimalnya perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian laut untuk mempertahankan mutu laut sehingga kerusakan pesisir dan laut semakin meluas akibat rusaknya hutan mangrove, penumpukan sampah limbah rumah tangga dilaut, warna air laut yang berubah karena tercemar. Kerusakan semakin luas, disebabkan laut dan pesisir juga tercemar berbagai limbah seperti limbah organik, limbah anorganik, surfaktan, pestisida, zat kimia beracun, dan sedimentasi. Jumlah dan jenis pencemaran cenderung bertambah. Kawasan pesisir dan laut yang tinggi tingkat kerusakan dan pencemarannya adalah kawasan industri, pelabuhan, dan wisata.

(34)

Ketiga lemahnya penegakan hukum dari pihak yang berwenang sehingga dengan tidak tegasnya pemerintah dalam menindak pelaku pengerusakan sumber daya alam menyebabkan pencegahan terhadap kerusakan sumber daya alam sulit dilakukan.

Keempat kurangnya sosialisasi kebijakan pengendalian pencemaran yang dilakukan kepada masyarakat. Seperti pelaksanaan edukasi, pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pada hakikatnya sumber daya alam harus dijamin kelestariannya antara lain dengan tetap mempertahankan lingkungan laut, kondisi yang menghubungkan bagi hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya alam yang ada. Maka dengan hal itu dengan masalah yang telah diungkapkan dalam latarbelakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana

’Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang

(35)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Kurang optimalnya perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian laut untuk mempertahankan mutu laut. Sehingga terjadi penurunan kualitas air laut dari ringan, sedang hingga berat.

2. Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam mencegah pencemaran dan/atau perusakan laut

3. Lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran yang menyebabkan pencemaran laut terus berulang.

4. Kurangnya sosialisasi kebijakan pengendalian pencemaran yang dilakukan kepada masyarakat. Seperti pelaksanaan edukasi, pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

1.3 Batasan Masalah

(36)

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan pendahuluan di atas dan dengan memperhatikan fokus penelitian pada batasan masalah, maka hal yang menjadi kajian peneliti

yaitu ‘’Bagaimanakah Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut di lokasi penelitian kawasan pesisir laut Marunda Jakarta Utara.’’

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian harus ditentukan tujuan yang ingin dicapai sebab tanpa adanya tujuan yang jelas dan tegas maka seorang peneliti akan mengalami kesulitan. Sesuai dengan latar belakang rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian

yang ada yaitu ‘’Mengetahui Implementasi Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut di lokasi penelitian kawasan pesisir laut Marunda Jakarta Utara.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

(37)

b. Selain itu karena penelitian ini tentang Implementasi kebijakan publik maka dapat bermanfaat juga untuk pengembangan ilmu yang berkaitan dengan kebijakan publik khususnya dalam studi penanggulangan pencemaran laut.

2. Secara Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara dan Suku Dinas Peternakan,Pertanian dan Kelautan Jakarta Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DKI Jakarta dalam memecahkan permasalahan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. b. Selain itu karya ilmiah ini diharapkan dapat berguna untuk

pengembangan kemampuan dan penguasaan ilmu-ilmu yang pernah diperoleh peneliti selama mengikuti program pendidikan di Program Studi Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dan juga, karya peneliti ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi tambahan bagi pembaca atau peneliti selanjutnya.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan garis besar penyusunan penelitian ini yang berujuan untuk memudahkan dalam memahami secara keseluruhan isi dari penyusunan penelitian ini. Adapun sistematika penulisan penelitian

mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19

(38)

(Studi kasus wilayah Laut Marunda Jakarta Utara)”, tersusun atas sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Identifikasi Masalah 1.3. Batasan Masalah 1.4. Rumusan Masalah 1.5. Tujuan Penelitian 1.6. Manfaat Penelitian 1.7.Sistematika Penulisan BAB II DESKRIPSI TEORI 2.1. Deskripsi Teori

2.2. Penelitian Terdahulu 2.3. Kerangka Berpikir 2.4. Asumsi Dasar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian 3.2. Ruang Lingkup Penelitian

3.3. Lokasi Penelitian 3.4. Instrumen Penelitian 3.5. Informan Penelitian

(39)

BAB IV Hasil Penelitian 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.2 Deskrpsi Data

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian BAB V PENUTUP

(40)

BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

Teori dalam administrasi/manajemen mempunyai peranan yang sama dengan teori yang ada dalam ilmu fisika, kimia, atau biologi yaitu berfungsi untuk menjelaskan dan panduan dalam penelitian. Seperti yang dikemukakan oleh Hoy & Miskel (dalam Sugiyono 2004:55)

Theory in administration, however has the same role as theory in physics, chemistry, or biology that is providing general explanations and guiding research.

Selanjutnya di definisikan bahwa teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi.

(41)

Dalam administrasi atau manajemen, teori secara spesifik berguna untuk menentukan cara atau strategi agar kegiatan administrasi dapat di kelola secara efektif dan efisien. Dengan teori, akan dapat ditemukan cara-cara yang tepat untuk mengelola sumber daya, cara yang termudah dalam mengerjakan pekerjaan, dana yang termurah, untuk membiayai pekerjaan, waktu yang tersingkat untuk melaksanakan pekerjaan, alat yang tepat untuk memperingan beban dan memperpendek jarak dalam melaksanakan pekerjaan.

(42)

2.1.1 Definisi Kebijakan

Istilah Policy (Kebijakan) seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar.

‘’Menurut Perserikatan bangsa-bangsa, kebijakan itu diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Sedangkan Anderson merumuskan kebijakan perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor

dalam bidang kegiatan tertentu.’’ (Wahab:2005:1)

Dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dalam tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku Negara pada umumnya. Dalam kaitan inilah maka mudah dipahami jika kebijakan itu acapkali diberikan makna sebagai tindakan politik. Makna kebijakan sebagaimana kita kemukakan tadi akan makin jelas bila kita ikuti pandangan seorang ilmuwan politik, Friedrich (dalam Wahab 2005:3) yang menyatakan bahwa :

‘’Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang

diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan

(43)

Mirip dengan definisi Friedrich diatas, Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya maslah atau persoalan tertentu yang dihadapi.

Asal usul Estimologis kata policy sama dengan dua kata penting isinya

policy dan politics. Inilah salah satu alasan mengapa banyak bahasa-bahasa

modern, misalnya Jerman dan Rusia, hanya mempunyai satu kata (politik,

politika) untuk dua pengertian policy dan politics. Ini juga merupakan salah satu

faktor yang saat ini menimbulkan kebingungan seputar batas disiplin ilmu politik administrasi Negara, dan ilmu kebijakan, semuanya menaruh perhatian besar pada studi politik (politics) dan kebijakan (policy). (Dunn 2003:51)

(44)

2.1.2 Definisi Publik

Pengertian publik dalam rangkaian kata public policy memiliki tiga konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat, dan umum (Abidin 2012:7). Hal ini dapat dilihat dalam dimensi subjek, objek, dan lingkungan dari kebijakan. Dalam dimensi subjek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah, sehingga

salah satu ciri kebijakan adalah ‘’what government do or not to do’’. Kebijakan

dari pemerintahlah yang dapat dianggap sebagai kebijakan yang resmi, sehingga mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya.

2.1.3 Teori Kebijakan Publik

Carl J Federick sebagaimana dikutip Agustino (2008:7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan -kesulitan) dan kesempatan - kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.

(45)

pemahaman bahwa terdapat perbedaan antara apa yang dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah. Lain dari itu Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisin (2003:1) yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya- sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

Konsep kebijakan ini menitikberatkan pada apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau dimaksud. Hal inilah yang membedakan kebijakan dari suatu keputusan yang merupakan pilihan diantara beberapa alternatif yang ada. Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Karena itu, karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut David Easton sebagaimana yang dikutip oleh Muchsin dan Fadillah Putra dalam buku Hukum dan Kebijakan Publik, mendefinisikan kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah (Muchsin dan Fadillah 2002:23).

(46)

terpisah-pisah. Ketiga, kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, ,mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau akan yang akan dikerjakan. Keempat, kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan, secara negatif kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan. Terakhir kelima, kebijakan publik paling tidak secara positif didasarkan pada hukum dan merupakan tidnakan yang bersifat memerintah. Kebijakan publik yang bersifat memerintah kemungkinan besar mempunyai sifat yang memaksa secara sah, yang mana hal ini tidak dimiliki oleh kebijakan-kebijakan organisasi swasta.

(47)

2.1.4 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan suatu proses dalam kebijakan publik yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politik karena adanya intervensi dari berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut, Eugene Bardach, Van Meter Van Horn dan Daniel Mazmanian (dalam Agustino 2008:153) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan sebagai :

‘’adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang

kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogam yang kedengaranya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan semua

orang.’’

Van Meter dan Van Horn (1975:65), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai:

‘’Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijaksanaan.’’

Sedangkan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya Implementation and Public Policy (1983:61) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut:

(48)

diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses

implementasinya.’’

Dari tiga definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut (minimal) tiga hal, yaitu (i) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (ii) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (iii) adanya hasil kegiatan. Berdasarkan uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

2.1.5 Pendekatan-pendekatan dalam Implementasi Kebijakan

(49)

Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa implementasi berlangsung dalam lingkungan pembuat keputusan yang terdesentralisasi. Model ini menyediakan suatu mekanisme untuk bergerak dari level birokrasi paling bawah sampai pada pembuatan keputusan tertinggi di sektor publik maupun sektor

privat.

Dalam pelaksanaannya implementasi kebijakan publik memerlukan model implementasi yang berlainan, karena ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara top-down atau secara bottom-up. Kebijakan-kebijakan yang bersifat top-down adalah kebijakan yang bersifat secara strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara, seperti kebijakan mengenai antiterorisme, berbeda dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara bottom-up, yang biasanya berkenaan dengan hal-hal yang tidak secara langsung berkenaan dengan national security, seperti kebijakan alat kontrasepsi, padi varietas unggul, pengembangan ekonomi nelayan dan sejenisnya.

Dalam implementasi sebuah kebijakan pilihan yang paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisipatif, artinya bersifat top-down dan bottom-up. Model ini biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan dan murah, bahkan dapat juga dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national security.

(50)

implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Nugroho (2011:673), pada dasarnya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalah hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu :

(51)

2. Ketepatan pelaksana. Aktor implementasi tidaklah hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah masyarakat/swasta atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).

3. Ketepatan target implementasi. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu: a) Apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain; b) Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dap apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak; c) Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. 4. Apakah lingkungan implementasi sudah tepat? Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu a) lingkungan kebijakan, merupakan interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dan lembaga lain yang terkait; b) lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan imlementasi kebijakan, interpretive institutions yang berkenaan dengan interprestasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat.

5. Tepat proses. Secara umum implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu: a) policy acceptane, di sini publik memahami kebijakan seb agai sebuah aturan main yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan; b) policy adoption, publik menerima kebijakan sebagai sebuah aturan main yang diperlukan untuk masa depan, disisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan; c)

strategic readiness, publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari

(52)

2.1.6 Model-Model Implementasi Kebijakan

Untuk lebih memahami tentang pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Implementasi kebijakan Model George C. Edward III

Beberapa ilmuan penganut aliran Top Down salah satunya adalah George C. Edward III. Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edward III yang menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan

Direct and Indirect Impact On Implementation dalam Agustino (2008:149)

dimana terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu : (i) Komunikasi, (ii) Sumberdaya, (iii) Disposisi, (iv) Struktur Birokrasi.

1. Komunikasi

(53)

diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.

2. Sumberdaya

Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III dalam Agustino (2008 : 151) dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

a. Staf sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

(54)

c. Wewenang pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana d alam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.

d. Fasilitas fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias.

(55)

Variabel keempat, menurut Edward III, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi

b. Implementasi Kebijakan Model Van Metter dan Van Horn

Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter dan Van Horn sebagaimana dalam Agustino (2008:141) disebut dengan A model of the

Policy Implementation. Dalam teori ini ada enam variabel yang mempengaruhi

kinerja suatu kebijakan, yaitu: 1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realisits dengan sosi-kultur yang mengada pada level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumberdaya

(56)

diperhitungkan juga adalah sumber daya financial dan sumberdaya waktu. Ketiga sumber daya ini akan saling mendukung dalam implementasi sebuah kebijakan. 3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting kerena kinerja implementasi akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/Kecenderungan para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan diimplementasikan adalah

kebijakan “dari atas” yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak

pernah mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana

(57)

suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

C. Model Implementasi menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A.

Rondinelli

Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan suatu program, Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi), mengutip pendapat G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program- program pemerintah yang bersifat desentralistis. Faktor-faktor tersebut diantaranya:

1. Kondisi lingkungan

(58)

2. Hubungan antar organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

3. Sumberdaya organisasi untuk implementasi

Program Implementasi kebijakan perlu didukung sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia

(non human resources).

4. Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik dan kemampuan agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. Cheema dan Rondinelli (dalam Subarsono, 2005:101).

(59)

d. Model Implementasi Ripley dan Franklin

Di dalam bukuya yang berjudul Policy Implementation and Bureaucracy

dalam Yustianus ( 2008: 19), Ripley dan Franklin menyatakan:

“the nation of success in implementation has no single widely accepted definition. Different analists and different actors have very different meanings in mind when they talk about or think about successful implementation. There are three dominant ways of

thingking about successful implementation”

Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa tidak ada definisi yang sama yang dapat diterima secara luas tentang bagaimana melaksanakan implementasi kebijakan yang baik. Aktor pelaku kebijakan (implementor) yang berbeda dengan analisa yang berbeda memberikan arti yang berbeda pula tentang faktor yang mempengaruhi berhasilnya suatu implementasi kebijakan dilaksanakan.

Menurut Ripley dan Franklin (dalam Alfatih 2010:51-52) ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu:

1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of

compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan

dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur.

2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine

and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan dapat

ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi.

3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the

desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan

(60)

Ketiga perspektif tersebut digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, sehingga menjadi lebih mudah untuk diidentifikasi. Teori Ripley dan Franklin ingin menekankan tingkat kepatuhan para implementor kebijakan terhadap isi kebijakan itu sendiri. Setelah ada kepatuhan terhadap kebijakan yang ada, pada tahap selanjutnya melihat kelancaran pelaksanaan rutinitas fungsi, serta seberapa besar masalah yang dihadapi dalam implementasi. Pada akhirnya setelah semua berjalan maka akan terwujud kinerja yang baik dan tercapainya tujuan (dampak) yang diinginkan.

Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dipakai untuk mengukur apakah tugas pokok organisasi implementor tersebut telah berjalan dengan lancar atau belum. Fungsi selanjutnya dapat untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, yang dapat menghambat lancarnya implementasi sebuah kebijakan.

2.1.6 Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut

(61)

kerusakan laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Dalam sebuah kasus pencemaran, banyak bahan kimia yang berbahaya berbentuk partikel kecil yang kemudian diambil oleh plankton dan binatang dasar, yang sebagian besar adalah pengurai ataupun filter feeder (menyaring air). Dengan cara ini, racun yang terkonsentrasi dalam laut masuk ke dalam rantai makanan, semakin panjang rantai yang terkontaminasi, kemungkinan semakin besar pula kadar racun yang tersimpan. Pada banyak kasus lainnya, banyak dari partikel kimiawi ini bereaksi dengan oksigen, menyebabkan perairan menjadi anoxic.

Sebagian besar sumber pencemaran laut berasal dari daratan, baik tertiup angin, terhanyut maupun melalui tumpahan.

Pencemaran air tidak hanya menimbulkan dampak negatif terhadap

makhluk hidup, tetapi juga mengakibatkan ‘’gangguan’’ secara estetika, seperti air

yang mengandung minyak atau bahan lain yang mengapung. Bahan pencemar yang masuk ke suatu perairan biasanya merupakan limbah suatu aktivitas. (Manik, 2009:146). Menurut sumbernya, limbah sebagai bahan pencemar air dibedakan sebagai :

1. Limbah domestik (limbah rumah tangga, perkantoran, pasar dan pusat perdagangan).

2. Limbah industri, pertambangan, dan transportasi 3. Limbah laboratorium dan rumah sakit

(62)

2.1.7 Upaya Pengendalian Pencemaran di Perairan Laut

Secara keseluruhan, terdapat dua strategi dasar pencegahan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari daratan ( land – based ) maupun dari lautan ( sea – based ) yaitu:

1.Analisis dampak lingkungan/AMDAL (environmental impact

assessment), yang pada dasarnya merupakan proses dan prosedur untuk

menprediksi dampak ekologis dan sosial dari suatu proyek pembangunan sehingga selanjutnya keputusan tentang alternatif proyek dan lokasi serta pilihan desain proyek dapat dibuat.

2.Kajian bahan kimia berbahaya (chemical hazard assessment), yang merupakan pendekatan yang digunakan dalam studi manufaktur dan pengembangan bahan kimia beracun dan berbahaya ( seperti peptisida, dan bahan kimia industri).

Strategi pengendalian pencemaran yaitu:

1. Pengendalian Kualitas Lingkungan Laut (marine environmental quality

controls) Standar kualitas lingkungan laut (marine environmental

quality standards) disusun berdasarkan batasan kualitas air, biodata dan

sedimen yang harus dijaga untuk suatu tingkat pemanfaatan tertentu. 2.Pengendalian emisi atau Sumber Pencemaran (Emission Suorces

Controls)

Penentuan standar emisi (effluent) pada suatu jenis kegiatan sebagai sumber pencemaran umumnya didasarkan pada kemampuan atau ketersediaan teknologi yang dapat digunanakan untuk mengurangi emisi atau effluent kontaminan dari kegiatan tersebut.

3. Pengelolaan limbah (waste Management )

Metode pendekatan dalam pengelolaan limbah dapat bervariasi dari satu jenis limbah dengan jenis limbah lainnya. Berbagai upaya pengelolaan berbagai jenis limbah dapat diuraikan secara singkat berikut ini:

a. Limbah Padat (solid waste)

Limbah padat domestik atau perkotaan umumnya dibuang ke tempat pembuangan terbuka (open dumping). Teknis penanganan yang umumnya digunakan terhadap limbah padat tersebut adalah pembakaran terbuka

(open burning), meskipun teknik ini kurang direkomendasikan. Teknik

penanganan yang direkomendasikan adalah teknik sanitariy landfill,

inceneraor, serta pengomposan . Metoda pembuangan limbah padat yang

(63)

b. Limbah Cair Domestik (Sewage)

Sistem pengolahan limbah cair domestik (sewage treatmen plant) adalah teknik yang direkomendasikan bagi penanganan limbah cair domestik meskipun di Indonesia teknik ini belum banyak diterapkan. c. Limbah Industri (Industrial Waste)

Berbagai teknologi dan metoda penanganan limbah cair industri dapat diterapkan baik secara biologis, kimiawi maupun fisis tergantung pada jenis limbah yang ada. Kemampuan dan ketersediaan teknologi yang ada dalam penanganan limbah cair industri, merupakan dasar dalam penentuan standar baku mutu limbah cair industri yang telah ditetepkan selama ini. d. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Hazardous Waste)

Pengelolalaan terhadap limbah B3 di Indonesia telah dilakukan dengan didirikannya Pusat pengolahan limbah B3 di Cileungsi, Bogor, yang dikelola oleh PT. PPLI dibawah pengawasan Bapedal. Pengolahan limbah dilakukan dengan serangkaian teknik seperti stabilisasi dan landfiling.

Dalam konteks pencegahan, teknologi diarahkan untuk usaha mitigasi pencemaran laut, pemilihan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan dalam proses industri, perencanaan manajemen lingkungan dengan pendekatan up-to-date, pengembangan baku mutu lingkungan, penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan laut, dan pemberlakuan peraturan perundangan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pengendalian pencemaran laut diarahkan untuk memastikan adanya usaha pengendalian limbah-limbah yang dihasilkan oleh proses produksi pada industri dan kegiatan domestik, sebelum akhirnya sisa kegiatan atau limbah tersebut dibuang ke lingkungan laut secara aman.

(64)

dan pembakaran untuk penanggulangan tumpahan minyak di laut (Mukhtasor 2007:43).

2.1.8 Deskripsi Kebijakan

Secara umum Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 mengatur tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dimaksudkan juga untuk melaksanakan tujuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya yang ada kaitannya dengan masalah lingkungan hidup serta melaksanakan misi yang tercantum dalam konvensi internasional yang berkaitan dengan hukum laut atau pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini berkaitan sangat erat pula dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun dan Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pengendalian Dampak Lingkungan ke Daerah. Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 merupakan kegiatan yang mencakup:

a. Inventarisasi kualitas laut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut.

b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang digunakan sebagai tolok ukur utama pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut.

(65)

d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah.

e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk mempertahankan mutu laut agar tetap baik atau memperbaiki mutu laut yang telah tercemar atau rusak.

f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut termasuk penaataan mutu limbah yang dibuang ke laut dan/atau penaataan terhadap kriteria baku kerusakan laut serta penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya.

2.2 Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca diantaranya :

Penelitian yang dilakukan oleh Ferasari Budiawan dalam jurnal dengan

judul penelitian ‘’Analisis Implementasi program dan kegiatan pengelolaan

kawasan pesisir teluk Kendari’’. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi isu

(66)

dilaksanakan dibarengi dengan upaya rehabilitasi daerah hilir dengan cakupan yang luas secara rutin dan berkala.

Penelitian selanjutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Meldi Yanto Abu, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2013. Penelitian berjudul

‘’Sinergitas Upaya penanggulangan pencemaran wilayah pesisir Berdasarkan

UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. (Studi kasus: di kelurahan Muara Sembilag Kec.Samboja

Kab.Kutai Kartanegara)’’. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peran

pemerintah daerah kabupaten Kutai Kartanegara dan masyarakat dalam upaya penanggulangan pencemaran wilayah pesisir kelurahan Muara Sembilang Kecamatan Samboja Kabupatem Kutai Kartanegara. Penelitian ini menggunakan metode Empiris yang mengacu pendekatan perundang-undangan dan observasi. Hasil dari penelitian ini adalah masih banyaknya masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam pengelolaan wilayah pesisir karena minimnya tingkat pendidikan masyarakat sekitar yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan belum adanya peraturan yang tegas dari Pemerintah Daerah. Saran yang dianjurkan peneliti adalah sebagai pengatur kebijakan pemerintah daerah kabupaten kutai kartanegara harus segera menyusun dan menerbitkan peraturan pemerintah tentang pengelolaan wilayah pesisir.

Berdasarkan kedua penelitian terdahulu yang dijadikan acuan peneliti

dalam penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19

(67)

kasus : Laut Marunda Jakarta Utara)”, maka dapat digambarkan persamaan serta perbedaan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan. Persamaan penelitian dalam hal ini adalah peneliti meneliti obyek yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu implementasi pengendalian pencemaran di laut. Dalam hal ini tujuan penelitian yang akan dilakukan peneliti juga hampir sama dengan penelitian terdahulu yang dijadikan acuan dalam penelitian ini, yaitu mengetahui bagaimana implementasi Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut yang terjadi di sekitar pesisir pantai dengan mengacu suatu peraturan pemerintah atau perundang-undangan.

Perbedaan yang akan dimunculkan peneliti dalam penelitian ini yaitu dalam kedua penelitian terdahulu belum ditampilkan secara jelas peraturan yang digunakan terhadap kondisi pencemaran serta pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah dan beberapa hal melakukan penelitian bagaimana tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku, lancarnya pelaksanaan rutinitas, sehingga terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki. Untuk itu dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemecahan masalah terutama untuk Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, Kantor Lingkungan Hidup, Suku dinas kelautan dan masyarakat untuk menjadi tinjauan lebih lanjut tentang Pengendalian pencemaran mulai dari pencegahan, penanggulangan serta pemulihan laut.

(68)

menghasilkan gambaran tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian pencemaran dan/atau Perusakan laut di Laut Marunda Jakarta Utara.

2.3 Kerangka Berpikir Penelitian

Kerangka berpikir penelitian adalah kerangka teori dan konsep yang relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga mencerminkan alur pemikiran keseluruhan dari penelitian tersebut. Kerangka berpikir menggambarkan konsep penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran laut dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara”, yang ditujukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian dan mencapai tujuan dari penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Implementasi Menurut Ripley dan Franklin ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu:

1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of

compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi

kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur.

2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine

and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan

dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi.

3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the

desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan

(69)

Teori itulah yang nantinya dijadikan acuan peneliti dalam mengumpulkan data, sehingga data-data yang didapat akan mampu menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan penelitian ini. Berikut adalah alur kerangka pemikiran terkait

penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999

Gambar

Tabel 1.1
Tabel 1.2 Tingkat Pencemaran Teluk Jakarta
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian
Tabel 3.4 Pedoman Wawancara Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi optimum proses transesterifikasi dengan faktor rasio molar metanol terhadap minyak terhadap minyak dan konsentrasi

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang akan diteliti mengenai sampel yang akan diambil. Adapun teknik dalam penelitian sampel yaitu menggunakan purposive

Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal meliputi ketidakteraturan gigi-geligi dalam lengkung rahang seperti gigi berjejal, protrusi, malposisi maupun

Materi atau bahan tersebut kemudian melewati sebuah sistem tertentu, dimana materi atau bahan tersebut membutuhkan energi dari luar berupa panas (-Q) dan kerja (-W) atau

Tahun 1994 bekerja sebagai staf peneliti di Balai Arkeologi Medan, dan pada tahun 1997 sebagai staf peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Meraih

Pada tahap ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan panitia penyeleksian sertifikasi guru dalam penenentuan kelayakan guru untuk pengajuan sertifikasi di Dinas

25 Penafsiran ini dianggap sebagai penafsiran yang paling tepat dalam memahami konstitusi sekaligus sebagai dasar menentukan pertentangan norma hukum, sebab: (1)

Hal ini akan berbeda jika pengujian peraturan perundang-undangan itu dilakukan satu atap, karena kondisi diatas dapat segera diatasi dan ditangani langsung, Mahkamah