• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
315
0
0

Teks penuh

(1)

i

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Katarina Yulita Simanulang 091224076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

Disusun oleh:

Katarina Yulita Simanulang 091224076

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

(3)

iii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

Katarina Yulita Simanulang

091224076

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

pada tanggal 18 Desember 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ...

Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...

Anggota 1 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ...

Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ...

Anggota 3 : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...

Yogyakarta, 18 Desember 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yesus yang senantiasa mengatur dan memberi berkat dalam setiap langkah saya

Kedua orang tua saya, Parman Simanullang dan Lucia Sumiatun Adik-adikku, Nandus, Erli, dan Ana

yang selalu mendoakan, memberi kasih sayang, dan mendukung setiap pilihan hidup saya

Pria spesial dalam hidup saya, David Verdyan

yang tiada hentinya menemani, mendukung, dan menyemangati dengan cintanya

Teman sepayung dalam cinta, Tina, Clara, Idang, Erni kerja sama kalian luar biasa

Terakhir, konco kenthel dan sahabat penyakit PBSI yang luar biasa memberi semangat

(5)

v MOTTO

Manusia tanpa suatu tujuan adalah ibarat sebuah kapal tanpa kemudi – anak terlantar, hal sia-sia, bukan siapa-siapa.

(Thomas Carlyle)

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Desember 2013

Penulis

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Katarina Yulita Simanulang

Nomor Mahasiswa : 091224076

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG

YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan

data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau

media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya

maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 18 Desember 2013

Yang menyatakan

(8)

viii ABSTRAK

Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam interaksi anggota keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik berbahasa, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta dengan data berupa tuturan lisan yang tidak santun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan. Metode pengumpulan data yakni, pertama, metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan kedua, metode cakap yang disejajarkan dengan metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode kontekstual, yakni dengan memerantikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi, diklasifikasi, dan ditipifikasikan.

(9)

ix ABSTRACT

Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Linguistics and Pragmatics Impoliteness at the Scope of Trader Family Work in Beringharjo Market, Yogyakarta.

Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discusses linguistics and pragmatics impoliteness in language at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta. The aims of the research are (1) to describe the forms of linguistics and pragmatics, (2) to describe the signs of linguistics and pragmatics in language, and (3) to describe the basic meaning of the speakers when using the forms of language which are impolite at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta.

Type of this research is descriptive qualitative. The source of the research is the trader family work in Beringharjo Big Market, Yogyakarta with the data of impolite spoken language. The instrument used is interview guideline (lists of questions, bait, and case list) and observation checklist. Data gathering technique are; first, listening method with noting and recording technique, and second, speaking method which is balanced with interview which is done with bait technique. In the data analysis, the research uses contextual method, with using the context dimensions in interpreting the identified, clarified, and typificated data.

The summary of the research are; (1) the form of linguistic impoliteness showed in impolite spoken language between the trader family who are divided in breaking the norm categorization (subcategory refusing and opposing), threatening face unilaterally (subcategory angry, commanding, teasing, reminding, and threatening), face humiliating (subcategory angry, teasing, mocking, opposing, refusing, and reminding), omitting the face (subcategory mocking, reminding, teasing, angry, and humiliating), and rising conflict (subcategory threatening, mocking, reminding, and angry); the form of pragmatics impoliteness showed in the way speakers deliver the speaking which following every impolite spoken language, (2) impolite linguistics signs are in the form of diction, fatis word, tone, stress, and intonation; impolite pragmatics signs are in the form of context which participated in spoken language, and (3) the aims of the impoliteness of the speaker in breaking the norm category are postponing, protest, and angry; threatening face unilaterally showed anger, protest, chasing away, good manners, reminding, and kidding; face threatening showed commanding, jumping the queue, anger, commenting, frightening, mocking, good manners, teasing, reminding, and forbidding; omitting the face showed perceiving, kidding, forbidding, reminding, teasing, good manners, commenting, chasing away, anger, and protest; and rising conflict means frightening, mocking, protest, forbidding, reminding, and anger.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa

memberi berkat dan kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga

Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo Yogyakarta”. Skripsi ini

disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS),

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan

dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sanata Dharma.

2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma.

3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan,

pendampingan, saran, dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membantu dan

mendukung penulis.

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang dengan

bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan,

memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga

bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik,

(11)

xi

dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai

selesai.

7. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar

memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan

berbagai urusan administrasi.

8. Dinas Pengelola Pasar Bringharjo beserta staf yang telah membantu

pelaksanaan penelitian ini.

9. Seluruh keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Bringharjo yang telah

membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

10.Teman-teman seperjuangan (Valentina Tris Marwati, Clara Dhika Ninda

Natalia, Catarina Erni Riyanti, dan Nuridang Fitra Nagara) yang bersedia

berjuang dan bekerja sama dengan penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini.

11.Kika Ayu, Rosalia Desinta, Yohana Maria, Agatha Wahyu, Mikael Jati,

Ambrosius Bambang, Rosalina Anik, Cicilia Verlit, Yuli Astuti, Bernadeta

Febri, Risa Ferina, Ade Henta, Yudha Hening, Ignatius Satrio, Reinardus

Aldo, Yohanes Marwan, dan semua sahabat PBSID angkatan 2009, yang

berdinamika bersama selama menjalani perkuliahan di PBSI.

12.Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam

penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca

dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 18 Desember 2013

Penulis

(12)

xii DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAAN PERSEMBAHAN iv

HALAMAN MOTTO v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR BAGAN xvii

DAFTAR TABEL xviii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang Masalah 1

1.2Rumusan Masalah 5

1.3Tujuan Penelitian 6

1.4Manfaat Penelitian 7

1.5Batasan Istilah 7

1.6Sistematika Penelitian 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 10

2.1Penelitian yang Relevan 10

2.2Pragmatik 15

2.3Fenomena Pragmatik 17

2.3.1 Praanggapan 17

(13)

xiii

2.3.3 Implikatur 20

2.3.4 Deiksis 21

2.3.5 Kesantunan 22

2.3.6 Ketidaksantunan 23

2.4Teori-teori Ketidaksantunan 25

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Locher 25

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Bousfield 27

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Culpeper 28

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Terkourafi 30

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan

Locher and Watt 31

2.5Konteks 34

2.6Unsur Segmental 44

2.6.1 Diksi 44

2.6.2 Gaya Bahasa 51

2.6.3 Kategori Fatis 52

2.7Unsur Suprasegmental 54

2.7.1 Tekanan 54

2.7.2 Intonasi 55

2.7.3 Nada 55

2.8Teori Maksud 56

2.9Kerangka Berpikir 59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 61

3.1Jenis Penelitian 61

3.2Data dan Sumber Data 62

(14)

xiv

3.4Instrumen Penelitian 65

3.5Metode dan Teknik Analisis Data 65

3.6Sajian Hasil Analisis Data 67

3.7Trianggulasi Data 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 69 4.1 Deskripsi Data 69

4.1.1 Melanggar Norma 71

4.1.2 Mengancam Muka Sepihak 72

4.1.3 Melecehkan Muka 73

4.1.4 Menghilangkan Muka 74

4.1.5 Menimbulkan Konflik 75

4.2 Analisis Data 76

4.2.1 Melanggar Norma 76

4.2.1.1Subkategori Menolak 77

4.2.1.2Subkategori Menentang 79

4.2.2 Mengancam Muka Sepihak 81

4.2.2.1Subkategori Kesal 82

4.2.2.2Subkategori Memerintah 85

4.2.2.3Subkategori Menyindir 87

4.2.2.4Subkategori Memperingatkan 89

4.2.2.5Subkategori Mengancam 92

4.2.3 Melecehkan Muka 94

4.2.3.1Subkategori Kesal 94

4.2.3.2Subkategori Menyindir 97

4.2.3.3Subkategori Mengejek 100

4.2.3.4Subkategori Menentang 103

4.2.3.5Subkategori Menolak 104

4.2.3.6Subkategori Memperingatkan 106

4.2.4 Menghilangkan Muka 109

(15)

xv

4.2.4.2Subkategori Memperingatkan 112

4.2.4.3Subkategori Menyindir 115

4.2.4.4Subkategori Kesal 118

4.2.4.5Subkategori Meremehkan 120

4.2.5 Menimbulkan Konflik 123

4.2.5.1 Subkategori Mengancam 124

4.2.5.2 Subkategori Mengejek 127

4.2.5.3 Subkategori Memperingatkan 129

4.2.5.4 Subkategori Kesal 131

4.3 Pembahasan 135

4.3.1 Melanggar Norma 135

4.3.1.1Subkategori Menolak 136

4.3.1.2Subkategori Menentang 137

4.3.2 Mengancam Muka Sepihak 141

4.3.2.1Subkategori Kesal 142

4.3.2.2Subkategori Memerintah 145

4.3.2.3Subkategori Menyindir 147

4.3.2.4Subkategori Memperingatkan 150

4.3.2.5Subkategori Mengancam 153

4.3.3 Melecehkan Muka 155

4.3.3.1Subkategori Kesal 156

4.3.3.2Subkategori Menyindir 159

4.3.3.3Subkategori Mengejek 162

4.3.3.4Subkategori Menentang 165

4.3.3.5Subkategori Menolak 167

4.3.3.6Subkategori Memperingatkan 169

4.3.4 Menghilangkan Muka 172

4.3.4.1Subkategori Mengejek 172

4.3.4.2Subkategori Memperingatkan 176

4.3.4.3Subkategori Menyindir 178

(16)

xvi

4.3.4.5Subkategori Meremehkan 185

4.3.5 Menimbulkan Konflik 187

4.3.5.1Subkategori Mengancam . 188

4.3.5.2Subkategori Mengejek 192

4.3.5.3Subkategori Memperingatkan 194

4.3.5.4Subkategori Kesal 197

BAB V PENUTUP 202

5.1Simpulan 202

5.1.1 Wujud Ketidaksantunan 202

5.1.2 Penanda Ketidaksantunan 203

5.1.2.1 Melanggar Norma 204

5.1.2.2 Mengancam Muka Sepihak 204

5.1.2.3 Melecehkan Muka 205

5.1.2.4 Menghilangkan Muka 205

5.1.2.5 Menimbulkan Konflik 205

5.1.3 Maksud Ketidaksantunan 206

5.2Saran 207

5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan 207

5.2.2 Bagi Keluarga 208

DAFTAR PUSTAKA 209

LAMPIRAN 212

(17)

xvii

DAFTAR BAGAN

Hal.

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan 69

Tabel 2 Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori

Ketidaksantunan 70

Tabel 3 Melanggar Norma 72

Tabel 4 Mengancam Muka Sepihak 72

Tabel 5 Melecehkan Muka 73

Tabel 6 Menghilangkan Muka 74

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi uraian (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah,

(3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) sistematika penyajian.

Berikut adalah uraian dari kelima hal tersebut.

1.1 Latar Belakang Masalah

Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial yang senantiasa akan hidup

berdampingan dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu akan

berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Manusia dapat berinteraksi

dengan baik apabila ia mampu berkomunikasi dengan baik pula. Masyarakat

manusia, apa pun bentuknya, selalu memerlukan alat atau cara untuk

berkomunikasi antar sesama warganya (Sumarsono, 2004:53). Alat komunikasi

utama untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama manusia adalah

bahasa. Fungsi bahasa yang terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau

berkomunikasi di dalam kehidupan manusia bermasyarakat (Chaer, 2011:2).

Bahasa yang kita gunakan sehari-hari merupakan suatu sarana untuk

menyampaikan gagasan, pikiran, konsep, dan perasaan. Manusia akan

bersosialisasi dengan sesamanya melalui aktivitas berbahasa yang dapat

diungkapkan baik secara lisan maupun tertulis.

Ilmu yang mengkaji tentang bahasa adalah linguistik. Sosok linguistik

(20)

manusia, tidak saja aspek-aspek internal tetapi juga bagian-bagian eksternalnya, di

dalam perkembangannya memiliki beberapa cabang atau ranting-ranting ilmu

(Rahardi, 2003:9). Salah satu cabang ilmu linguistik yang bersifat eksternal adalah

pragmatik.

Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa

yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan

pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal

“ekstralingual’ yang dibicarakan (Verhaar, 1996:14). Rahardi (2003:16)

mengatakan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud

penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu. Karena

pragmatik mengkaji maksud penutur sesuai konteks dan lingkungan sosialnya,

bidang kajian pragmatik tentu berkaitan dengan kesantunan dan ketidaksantunan

berbahasa. Kesantunan berbahasa adalah bidang kajian pragmatik yang sudah

banyak diteliti dan dikaji secara mendalam oleh para peneliti. Sementara

ketidaksantunan merupakan kajian yang baru mulai dikembangkan.

Ketidaksantunan dalam berbahasa merupakan fenomena pragmatik yang

baru. Fenomena pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tentu tidak akan

bermanfaat banyak bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik.

Ketidaksantunan berbahasa ini dapat dikaji dalam berbagai bidang, yaitu bidang

pendidikan, keluarga, dan agama. Ketidaksantunan perlu dikaji untuk

mempertimbangan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari

dalam praktik berkomunikasi. Kajian ini akan dapat memperkuat pendidikan

(21)

merupakan faktor sangat penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter

bangsa.

Ranah keluarga adalah salah satu bidang kajian ketidaksantunan berbahasa

yang menarik untuk dikaji. Keluarga merupakan satuan atau kelompok terkecil

dalam masyarakat. Keluarga menjadi titik awal seseorang mulai berkomunikasi.

Tidak dapat dipungkiri, komunikasi dalam keluarga adalah salah satu faktor

penting pembentukan karakter seseorang. Keluarga adalah tempat bagi seorang

anak mengenal bahasa untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu, kekhasan bahasa

dalam keluarga akan sangat berpengaruh dalam perkembangan kebahasaan

orang-orang yang ada di dalam keluarga tersebut. Begitu pula jika di dalam keluarga

kurang memperhatikan bahasa yang santun dalam praktik berkomunikasi tentu

akan sangat mempengaruhi perkembangan karakter anggota keluarga tersebut

terutama anak yang masih dalam masa perkembangan.

Kehidupan sebuah keluarga tentu tidak pernah lepas dari status sosialnya.

Cara berkomunikasi dalam kelompok masyarakat terkecil yang tidak lain adalah

keluarga sangat erat kaitannya dengan status sosial yang telah melekat pada

keluarga itu sendiri. Status sosial ini membagi keluarga dalam kelas-kelas sosial

sesuai dengan lingkup pekerjaan dan lingkungannya. Secara umum, strata sosial

di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu

atas (Upper Class), menengah (Midlle Class), dan bawah (Lower Class). Kelas

atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas.

Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja,

(22)

bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan

semacamnya. Secara khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan

khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik

berlaku pada lingkungan itu. Content varian lebih banyak menyangkut variasi

strata dalam satu lingkungan yang membedakannya dengan strata pada

lingkungan lainnya (Bungin, 2006:49−50).

Fenomena komunikasi yang terjadi dalam setiap keluarga tentu

berbeda-beda. Komunikasi sosial baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga tentu

harus disesuaikan dengan konteks sosialnya. Fenomena komunikasi keluarga

pedagang tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan komunikasi dalam

keluarga pendidik atau keluarga berstatus sosial lainnya. Bagaimana anggota

keluarga pedagang berbahasa tentu tidak luput dari pengaruh lingkungannya.

Lingkungan yang tidak jauh dari dunia jual beli tentu akan membawa dampak

tersendiri bagi komunikasi dalam keluarga ini. Dunia jual beli memberi efek

tersendiri bagi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa keluarga yang berlatar

belakang sebagai pedagang.

Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang tidak lepas

dari peristiwa tawar menawar. Ketika menjajakan dagangannya, si penjual tentu

akan menggunakan berbagai cara agar dapat menarik perhatian pembeli, salah

satunya menggunakan suara dengan volume yang cukup keras. Volume yang

keras ini menimbulkan kesan kasar pada bahasa yang digunakan oleh si penjual.

Karena sudah menjadi bahasa sehari-hari si pedagang ketika menjajakan

(23)

keluarganya, bahkan menjadi kekhasan bahasa sehari-hari dalam keluarga. Oleh

karena itu, pedagang yang berdagang di Pasar Beringharjo memberikan daya tarik

tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji lebih jauh bagaimana ketidaksantunan

berbahasa pada keluarga pedagang di pasar yang sangat terkenal di Yogyakarta

tersebut.

Pasar Beringharjo dipilih oleh peneliti karena pasar tersebut merupakan

pasar yang terbesar di Yogyakarta dengan komoditi perdagangan yang sangat

bervariasi. Berbagai macam komoditi, baik sandang maupun pangan, dijual di

pasar ini. Pedagangnya pun bermacam-macam, baik daerah asal maupun sukunya.

Selain pedagangnya yang bermacam-macam, pembeli yang datang ke pasar ini

pun berasal dari berbagai daerah dengan beraneka bahasa. Dengan kondisi pasar

yang demikian, sangat dimungkinkan terjadinya komunikasi yang terkesan kasar

atau kurang santun. Dengan demikian, kemungkinan besar bahasa khas ala pasar

yang kurang santun tersebut akan terbawa ketika si pedagang berada di rumah

atau berkomunikasi dengan keluarganya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud mengkaji

ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di

Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta yang ditinjau dari kajian linguistik dan

pragmatik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian

(24)

1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat

dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo,

Yogyakarta?

2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang

digunakan oleh keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar

Beringharjo, Yogyakarta?

3) Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk

kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang

berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam

ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo,

Yogyakarta.

2) Mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam

ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo,

Yogyakarta.

3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan

bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang

(25)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai

pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Manfaat Teoretis

Kajian-kajian yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat

memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang

ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik yang baru.

2) Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para penutur dalam ranah

keluarga untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan

berbahasa yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi.

b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam

ranah keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang

berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.

1.5 Batasan Istilah

1) Ketidaksantunan berbahasa

Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur.

2) Linguistik

Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas,2008:832)

3) Pragmatik

Ilmu bahasa yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan

(26)

4) Ketidaksantunan linguistik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu

tuturan.

5) Ketidaksantunan pragmatik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang

menyertai suatu tuturan.

6) Keluarga

Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi

tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat

(Depdiknas, 2008:659).

7) Pedagang

Orang yang kerjanya berdagang (Depdiknas, 2008:285)

8) Keluarga pedagang

Satuan kekerabatan terkecil dalam masyarakat yang kerjanya berdagang.

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang

berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.

Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis

masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa.

Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1)

(27)

ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur

suprasegmental, (8) teori maksud dan (9) kerangkan berpikir.

Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur

yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan

diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik

pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data,

(6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi data.

Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)

pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan

saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan

(28)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi pemaparan penelitian yang relevan, landasan teori, dan

kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik

sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang

teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penlitian ini yang terdiri

atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, ketidaksantunan berbahasa, konteks,

unsur segmental, dan unsur suprasegmental. Kerangka berpikir berisi tentang

acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu dan teori

yang relevan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian yang Relevan

Ketidaksantunan berbahasa dalam kajian ilmu pragmatik merupakan

fenomena baru yang belum dikaji secara mendalam. Oleh karena itu, penelitian

pragmatik yang mendalami kajian ketidaksantunan berbahasa belum banyak

ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa penelitian

sebelumnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa sebagai penelitian

yang relevan. Penelitian-penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa yang

ditemukan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita

Yuliastuti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013), Agustina Galuh

(29)

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa yang dilakukan oleh

Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan

Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti

menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat

berdasarkan tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa

tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam

muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik

dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur,

situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan

tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan

nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat

dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur,

situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna

ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur

kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka

yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi

jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang

disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur,

tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni

(30)

terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra

tutur di depan banyak orang.

Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga pernah dilakukan

oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan

Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID

Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari

penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan

wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda

ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan

berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di

Universitas Sanata Dharma.Peneliti menggunakan dua mtode dalam penelitan ini,

pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik

lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap

dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik

lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari penelitian ini tidak jauh

berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita

Yuliastuti (2013), yakni (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari

tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono,

mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan

pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana,

tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan

linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda

(31)

penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan

tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: a) melecehkan

muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b)

memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, c)

kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka,

mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka,

menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Agustina Galuh Eka

Noviyanti (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik

Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran

2012/2013. Jenis penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti

ini serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian deskriptif kualitatif.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan

instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan),

pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Data dalam penelitian ini dianalisis

dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini menjawab tiga masalah

tentang (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja

yang digunakan oleh antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, (b) penanda

ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan

antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, dan (c) apakah makna penanda

ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan antarsiswa di

(32)

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan pula

oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan

Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program

Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan

dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan

penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

ketiga peneliti di atas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa

panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini

juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumny, yakni pertama, wujud

ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan

pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda

ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda

pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi,

dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa

meliputi 1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur,

2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3)

kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan

mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila

candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4) menghilangkan muka yakni

penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5) mengancam

muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang

(33)

Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji tentang

ketidaksantunan berbahasa dalam, khususnya ketidaksantunan berbahasa dalam

ranah pendidikan. Keempat penelitian di atas menemukan tiga hal penting tentang

masalah ketidaksantunan, yakni wujud, penanda, dan makna ketidaksantunan

linguistik dan pragmatik berbahasa. Dengan mengacu dari keempat penelitian

tersebut, peneliti akan mengkaji lebih dalam tentang ketidaksantunan berbahasa,

secara khusus ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga pedagang.

2.2 Pragmatik

Pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan

konteks penutur dan lingkungannya. Dalam sebuah komunikasi atau percakapan,

penutur dan mitra tutur tidak dapat meluputkan konteks situasi tuturan. Mitra tutur

tidak hanya memahami maksud dari tuturan penutur, tetapi juga harus memahami

konteks tuturan tersebut. Hal itu penting dalam kelancaran komunikasi. Dengan

demikian, pragmatik adalah ilmu bahasa yang terikat konteks.

Ilmu bahasa pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik, sesungguhnya

baru mulai mencuat dan kemudian berkembang hingga menjadi benar-benar

berkumandang dalam percaturan linguistik Amerika Serikat sejak tahun 1970-an.

Pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya pada tahun 1930-an, linguistik masih

dianggap hanya mencakup bidang-bidang tradisional saja seperti misalnya fonetik,

morfologi, dan fonemik. Sementara, istilah ilmu bahasa pragmatik, yang semula

disebut dengan pragmatika, sebenarnya sudah mulai dikenal sejak masa hidupnya

(34)

pemikirannya, sosok pragmatik lalu dapat dikatakan mulai terlahir di dunia, dan

mulai bertengger di atas bumi linguistik dan hingga kini kian terbukti, bahwa

sosok ilmu bahasa pragmatik berkembang secara amat signifikan dan menjadi

bagian dari ilmu bahasa yang tidak dapat diabaikan (Rahardi, 2003:3−8).

Huang (2007:2) menuturkan bahwa “pragmatics is the systematic study of

meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang

mendefinisikan pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang

berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa. Kemudian, Cruse

(2000:16) dalam Cummings (2007:2) memaparkan bahwa pragmatik dapat

dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui

bahasa yang tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam

bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, tetapi yang juga muncul secara alamiah

dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvesional

dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.

Seperti yang sudah dicantumkan pada bagian sebelumnya, pragmatik

merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk

struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan

sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual’ yang

dibicarakan (Verhaar, 1996:14). Rahardi (2003:16) mengatakan bahwa ilmu

bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks

situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu.

Selanjutnya, Yule (2006:3−6) merangkum empat ruang lingkup yang

(35)

penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Ketiga,

pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan

daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari

jarak hubungan. Pragmatik semakin menarik karena melibatkan bagaimana orang

saling memahami satu sama lain secara linguistik, tetapi pragmatik dapat juga

merupakan ruang lingkup studi yang mematahkan semangat karena studi ini

mengharuskan orang untuk saling memahami apa yang ada dalam pikiran mereka.

Dari definisi beberapa ahli di atas, dapatlah dikatakan bahwa pragmatik

merupaka ilmu kebahasaan yang mengkaji maksud sebuah tuturan dengan

mengacu dari unsur luar bahasa, dalam hal ini adalah konteks situasi dan

lingkungan di mana tuturan itu lahir. Dengan demikian, jelaslah bahwa pragmatik

adalah ilmu yang terikat konteks. Sebagai cabang ilmu linguistik, pragmatik

sangatlah penting dalam kajian ilmu kebahasaan. Tidak mungkin tidak pragmatik

diluputkan dalam studi kebahasaan.

2.3 Fenomena Pragmatik

Pragmatik sebagai ilmu bahasa yang terikat konteks mengkaji enam

fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, kesantunan, an

ketidaksantunan. Berikut pemaparan dari keenam fenomena tersebut.

2.3.1 Praanggapan

Praanggapan atau presupposisi merupakan unsur penting yang harus saling

(36)

bahwa terdapat informasi tertentu yang sudah diketahui oleh mitra tuturnya

berkenaan dengan tuturan yang akan disampaikan oleh penutur. Oleh karena itu,

informasi tersebut tidak perlu dikatakan meskipun informasi tersebut merupakan

bagian yang harus dipahami oleh mitra tutur bersama dengan tuturan si penutur.

Yule (2006:43) memaparkan bahwa presupposisi adalah sesuatu yang

diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.

Presupposisi ini dimiliki oleh penutur, bukan kalimat. Dalam analisis tentang

bagaimana asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, presupposisi sudah

diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur.

Berdasarkan hal tersebut, Yule (2006:46) membagi presupposisi menjadi enam

jenis, yaitu presupposisi eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi leksikal,

presupposisi nonfaktif, presupposisi struktural, presupposisi faktual tandingan

atau konterfaktual.

2.3.2 Tindak Tutur

Tindak tutur adalah fenomena pragmatik yang berkenaan dengan tindakan

penutur yang ditunjukkan melalui tuturan. Diperjelas oleh Yule (2006:82−84)

bahwa tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak

tutur. Tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan

mengandung tiga tindak yang saling berhubungan. Pertama, tindak lokusi, yang

merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang

bermakna. Kedua, tindak illokusi. Penutur membentuk tuturan dengan beberapa

(37)

komunikatif suatu tuturan. Ketiga, tindak perlokusi. Tentu penutur tidak secara

sederhana menciptakan tuturan yang memiliki fungsi tanpa memaksudkan tuturan

itu memiliki akibat.

Tindak tutur diklasifikasikan menjadi 5 jenis fungsi umum, yaitu deklaratif,

representatif, ekspresif, direktif, dan komisif (Yule, 2006:92–94). Deklarasi

adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Contoh 1: Pastor

: Sekarang saya menyebut Anda berdua suami-istri. Seperti contoh tersebut

menggambarkan, penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam

konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu

menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

Jenis tindak tutur selanjutnya adalah representatif. Representatif merupakan

jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan.

Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Contoh :

Bumi itu datar. Itu merupakan contoh dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh

penutur yang menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah

representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

Selanjutnya, tindak tutur ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang

menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan

pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan,

kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Contoh: Sungguh,

saya minta maaf. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang

dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman

(38)

Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh

orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi

keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan,

pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif. Contoh

1: Berilah aku secangkir kopi. Buatkan kopi pahit. Contoh 2: Jangan menyentuh

itu! Pada waktu menggunakan direktif, penutur berusaha menyesuaikan dunia

dengan kata (lewat pendengar).

Jenis tindak tutur yang terakhir adalah komisif. Jenis tindak tutur ini adalah

jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengaitkan dirinya terhadap

tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa

saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji,

ancaman, penolakan, dan ikrar. Contoh : Saya akan kembali. Pada waktu

menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan

kata-kata (lewat penutur).

2.3.3 Implikatur

Ketika terjadi sebuah tuturan, sesungguhnya penutur dan mitra tutur harus

memiliki pemahaman yang sama tentang latar belakang pengetahuan dari topik

yang dituturkan oleh penutur. Hal itulah yang akan memperlancar terjadinya

komunikasi. Grice (1975) via Rahardi (2005:43) menyatakan bahwa sebuah

tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari

(39)

Yule (2006:61) juga memaparkan implikatur secara kompleks. Jika seorang

pendengar mendengar suatu tuturan, pertama-tama dia harus berasumsi bahwa

penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan

informasi. Informasi itu tentunya (memiliki makna) lebih banyak daripada sekedar

kata-kata itu. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan, yang

disebut dengan implikatur. Dengan mengatakan suatu tuturan, penutur berharap

pendengar akan mampu menentukan implikatur yang dimaksud dalam konteks

berdasarkan pada apa yang sudah diketahui.

2.3.4 Deiksis

Deiksis adalah fenomena pragmatik tentang apa yang ditunjuk oleh penutur

berkaitan dengan konteks tuturannya. Yule (2006:13−14) menjabarkan bahwa

deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar

yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa.

Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut

ungkapan deiksis. Ketika seseorang menunjuk suatu objek dan bertanya, “Apa

itu?”, maka ia telah menggunakan ungkapan deiksis (“itu”) untuk menunjuk

sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba. Ungkapan-ungkapan deiksis

kadang-kala juga disebut indeksikal.

Masih oleh Yule, dijelaskan pula bahwa ungkapan-ungkapan itu berada di

antara bentuk-bentuk awal yang dituturkan oleh anak-anak yang masih kecil dan

dapat digunakan untuk menunjuk orang dengan deiksis pesona (‘ku’, ‘mu’), atau

(40)

menunjuk waktu dengan deiksis temporal (‘sekarang’, ‘kemudian’). Untuk

menafsirkan deiksis-deiksis itu, semua ungkapan bergantung pada penafsiran

penutur dan pendengar dalam konteks yang sama. Jelas sekali bahwa deiksis

mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yang dibedakan secara

mendasar antara ungkapan-ungkapan deiksis’dekat penutur’ dan ‘jauh dari

penutur’.

2.3.5 Kesantunan

Fenomena kelima yang dikaji oleh pragmatik adalah kesantunan. Bahasa

yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri. Melalui

bahasa pula, orang lain dapat menilai harkat dan martabat seseorang. Seseorang

yang mampu berbahasa secara santun menunjukkan kepribadiannya yang santun

pula. Inilah mengapa, memperhatikan kesantunan dalam berbahasa menjadi suatu

hal penting pula dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial.

Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh

penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca.

Ketika menggunakan bahasa dalam bersosialisasi, penutur harus memperhatikan

kaidah berbicara dengan baik dan benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang

dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Begitu juga ketika seseorang sedang

menulis cerpen, mereka menggunakan kaidah bahasa sesuai dengan peran tokoh

yang sedang diperankan. Namun, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Masih ada

(41)

Pranowo (2009:14−15) juga menyebutkan tiga alasan berbahasa secara

santun dalam interaksi penutur dan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan

dapat memahami maksud yang diampaikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra

tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang

lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain (orang

ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antara

penutur dengan mitra tutur.

2.3.6 Ketidaksantunan

Dalam perkembangan pragmatik, kelima fenomena yang telah dipaparkan di

atas ternyata kurang menjawab semua permasalahan bahasa yang terdapat dalam

kehidupan sosial masyarakat. Terdapat fenomena baru yang perlu dikaji secara

mendalam di dalam kajian pragmatik. Fenomena baru ini muncul berdasarkan

konteks dan lingkungan penutur yang selalu berkembang. Fenomena baru yang

muncul seiring perkembangan kajian pragmatik ini adalah ketidaksantunan

berbahasa. Tidak jauh berbeda dengan kelima fenomena yang telah dikaji secara

mendalam sebelumnya, ketidaksantunan tentulah tidak lepas dari konteks.

Ketidaksantunan berbahasa muncul dengan melihat realita di masyarakat

bahwa berbahasa secara santun masih jauh dari harapan. Penggunaan bahasa yang

santun tampaknya kurang mendapat perhatian. Banyak individu yang merupakan

bagian dari masyarakat tidak mengindahkan pentingnya berbahasa secara santun.

(42)

mampu menggunakan bahasa yang baik dan benar, tetapi juga harus mampu

berbahasa secara santun.

Pranowo (2009:72−73) menyebutkan empat faktor yang menyebabkan

adanya ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang yang memang

tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Kedua, faktor

pemerolehan bahasa. Kebanyakan kesantunan berbahasa Indonesia masyarakat

Indonesia dikuasai secara alamiah. Mereka berbahasa secara santun, tetapi tidak

dapat menjelaskan kaidah kesantunan apa yang digunakan. Ketiga, ada orang

yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga

masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia) (interferensi).

Keempat, karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang suka berbicara tidak

santun di hadapan publik.

Pranowo (2009:68−71) menunjukkan beberapa fakta dalam berkomunikasi

yang tidak santun. Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur

menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Ketika bertutur, penutur

didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah

kepada mitra tutur. Selain itu, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap

pendapatnya ketika bertutur. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur

tidak dipercaya oleh pihak lain. Fakta lain, dapat pula penutur sengaja ingin

memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Dengan demikian, mitra tutur menjadi

tidak berdaya. Tuturan menjadi tidak santun dengan fakta jika penutur terkesan

(43)

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan

Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power

in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) seperti

yang telah dikutip dan dibahasakan oleh Rahardi (2012) dalam presentasinya

“Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa

dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”, tampak bahwa beberapa ahli telah

menelaah fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai

ketidaksantunan berbahasa.

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher

Miriam A Locher (2008) berpendapat bahwa ketidaksantunan dalam

berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating

in a particular context.’ Intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada

perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Perilaku melecehkan muka itu

sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang

ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and

Levinson (1987), atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi

konsep muka Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009).

Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap

ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya

bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang

(44)

Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan

muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan

Locher ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Ketika liburan tiba, sang anak yang sedang kuliah di Jogja pulang ke kampung halamannya di Lampung dan bercakap-cakap dengan ibunya.

Wujud Tuturan:

Anak : “Bu, aku pulang ni. Hehe.” (berbasa-basi dengan ibu dengan nada riang).

Ibu : “Eh, anakku udah pulang. Lho, katanya kuliah di Jogja, tapi kok pulang-pulang kulitmu jadi kayak kulit orang utan, item kayak gak keurus gitu.”

Anak : “Ibu ni lho.” (langsung masuk kamar dengan wajah tertunduk).

Dari percakapan di atas, tuturan sang ibu menunjukkan bahwa ia mengejek

kulit anaknya yang hitam seperti tidak dirawat. Hal itu ditunjukkan pada tuturan

kulitmu jadi kayak kulit orang utan. Tuturan tersebut menunjukkan tuturan

seorang ibu yang tidak santun meskipun diucapkan dengan nada santai dan

berjanda. Namun, tuturan tersebut justru mengakibatkan sang anak tersinggung.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini

menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan berbahasa oleh penutur

yang memiliki maksud menyinggung perasaan mitra tutur dengan melecehkan

muka atau memain-mainkan muka.

(45)

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Dalam pandangan Bousfield (2008), ketidaksantunan dalam berbahasa

dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive

face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan

penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’(gratuitous), dan konfliktif (conflictive)

dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi apabila perilaku berbahasa

seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan

secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono

demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan

tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu

merupakan realitas ketidaksantunan.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan

Bousfiled ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada sebuah keluarga, seorang ayah sedang menerima dua orang tamu yang cukup penting. Mereka berbincang-bincang di ruang tamu. Namun, dalam sela-selan perbincangan itu, anak si pemilik rumah yang berusia 8 tahun berlari-lari dengan seorang temannya melintasi ruang tamu. Hal itu dilakukannya berulang kali, sehingga ayah dan dua orang tamunya terganggu dengan situasi itu.

Wujud Tuturan:

Ayah : “Nak, kamu tu apa ndak bisa mainnya di luar aja? Bapak tu lagi ada tamu ni lho. Kalau ada tamu tu mbok dihargai.”

Anak : “Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak. Di luar panas.” (masih sambil berlari-lari di ruang tamu).

(46)

Berdasarkan percakapan di atas, sang ayah menegur anaknya agar

menghargai orang lain yang sedang bertamu. Namun, sang anak justru memjawab

secara sembrono dengan tuturan Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak.

Jawaban sang anak tersebut merupakan tuturan yang tidak santun, karena ia

bukannya menuruti kata-kata ayahnya, justru membantah dengan menjawab

demikian. Tuturan tersebut justru semakin menimbulkan konflik dan membuat

sang ayah marah.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield lebih

menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur

yang memiliki maksud adanya sebuah kesembronoan yang akhirnya menimbulkan

adanya koflik antara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

Pemahaman Culpeper (2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah,

Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to

cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia

memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau

dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’

(kehilangan muka). Jadi ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu

merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk

membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang

(47)

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan

Culpeperr ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada suatu kesempatan, terdapat sebuah pertemuan keluarga besar. Mereka memperbincangkan suatu masalah keluarga yang cukup serius. Setelah perbincangan serius itu selesai, mereka berbasa-basi satu sama lain.

Wujud Tuturan:

Paman : “Gimana kuliahmu, Nduk? Lancar tow?” (seorang paman berkata dengan keponakannya yang masih kuliah).

Keponakan : “Lancar kok, Paman.”

Bibi : “Loh, Nduk, kamu tu kan Cuma ngambil D3, kok udah 4 tahun gak lulus-lulus. Nek gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah. Kayak gitu kan malah lumayan bisa ngasih makan sekeluarga.”

Semua keluarga tertawa mendengar tuturan sang bibi.

Keponakan : (diam saja, tertunduk malu dan tersinggung dengan tuturan bibinya).

Dari percakapan di atas, jika dilihat dari konteks situasi tuturan,

sebenarnya sang bibi bertutur dengan nada bercanda. Namun, dengan tuturan Nek

gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah yang dimaksud oleh sang

bibi bukan hanya candaan, melainkan juga sebuah sindiran. Candaan sang bibi

tersebut diikuti dengan tawa dari semua keluarga yang hadir dalam pertemuan

keluarga tersebut. Tuturan yang diungkapkan oleh sang bibi merupakan tuturan

yang tidak santun karena mengakibatkan keponakannya tersinggung dan

tertunduk malu.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

(48)

menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur

yang memiliki maksud mempermalukan mitra tuturnya.

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi

Terkourafi (2008) memandang ketidaksantunansebagai, ‘impoliteness

occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of

occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is

attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam

pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)

merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur

(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan

Terkourafi ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada suatu kesempatan dalam sebuah kamar, tiba-tiba dari luar kamar seorang adik masuk dan menepuk pundak kakaknya yang sedang rebahan di tempat tidur.

Wujud Tuturan:

Adik : “Baaaaaaaa, kakak liat bajuku yang baru dibelikan ibu gak:” (sambil menepuk pundak kakaknya).

Kakak : “Ih, apaan si kamu. Dasar, kurang kerjaan.” (dengan nada tinggi dan membentak).

Dari ilustrasi di atas, tuturan adik menunjukkan bahwa ia ingin

mendapatkan respon dari kakaknya dengan nada tanya dan menepuk pundak

(49)

kakak merasa tidak nyaman dengan disentuh pundaknya. Adik berkata dengan

intonasi normal, tetapi si kakak menjawab dengan intonasi tinggi dan membentak.

Dari percakapan antara kakak dan adik di atas, dapat diketahui bahwa kakak

menanggapi adiknya dengan rasa kesal yang mengancam muka si adik secara

sepihak. Hal tersebut mengakibatkan si adik sebagai mitra tutur merasa terancam

dan malu dengan tanggapan kakaknya.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi lebih

menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur

yang memiliki maksud mengancam muka sepihak mitra tuturnya, tetapi di sisi lain

penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts

Locher and Watts (2008) berpandangan bahwa perilaku tidak santun

adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked

behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam

masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti

untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning).

Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,

‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much

(50)

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan

Locher and Watts ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

Situasi:

Pada suatu malam pukul 22.00 WIB, seorang ibu menegur anaknya yang pulang terlambat. Sebelum pergi, si anak sudah menyetujui akan pulang pukul 21.00 WIB sesuai dengan aturan dari ibunya. Namun, sang anak justru baru pulang pukul 22.00 WIB.

Wujud Tuturan:

Ibu : “Udah puas mainnya?” (ibu menyambut kepulangan anaknya dengan nada sinis).

Anak : “Apa to, bu? Wong baru jam segini kok.” (menjawab pertanyaan ibunya dengan nada santai)

Ibu : “Oalah, Nduk. Wong udah telat, kok masih ngomong baru jam segini.” (berlalu dengan nada semakin sinis).

Anak : “Ibu ki gak tau anak zaman sekarang.”

Dari ilustrasi tersebut, tuturan ibu menunjukkan bahwa ia menegur

anaknya yang pulang terlambat, tidak sesuai dengan kesepakatan sebelum pergi.

Namun, si anak justru tidak merasa bersalah telah melanggar aturan yang telah

disepakati. Hal itu mengakibatkan sang ibu semakin jengkel dan sinis menanggapi

tuturan anaknya. Tuturan sang ibu yang semakin sinis justru tetap tidak dihiraukan

oleh sang anak dengan tuturan ibu ki gak tau anak zaman sekarang. Tuturan sang

anak tersebut merupakan tuturan yang tidak sopan kepada ibunya karena telah

mengacuhkan dan melanggar kesepakatan yang telah disepakatinya sebelum

pergi.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts lebih

Gambar

Tabel 2 Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori
Tabel 1 Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan
Tabel 2 Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori Ketidaksantunan
Tabel 4 Mengancam Muka Sepihak
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sumber unggas yang dijual di pasar unggas Beringkit, Kumbasari dan Kediri berasal dari daerah asal pedagang itu sendiri dan juga didatangkan dari berbagai daerah di luar daerah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, narasumber mempunyai jawaban yang berva- riasi yang menghambat narasumber melaku- kan pengobatan TB, yaitu merasa sudah sehat, merasa

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh aktivitas melalui TATO terhadap nilai perusahaan pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-

Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel-variabel bebas yang meliputi tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang

pembelajaran kimia materi unsur transisi sebagai sumber belajar mandiri peserta didik kelas XII SMA/MA, diharapkan peserta didik/pembaca dapat.6. 4 memperoleh

Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin.. Huruf Dhad pada ayat berikut, boleh dibaca dengan harakat fathah atau dhammah dengan tetap memperhatikan

yang normal atau gen atau gen yang telah dimodifikasi kedalam yang telah dimodifikasi kedalam genom genom sel sel-sel germinal. Gen yang telah diinsersikan ini

Senyawa karbon turunan alkana adalah senyawa karbon yang dianggap berasal dari senyawa alkana yang satu atau lebih atom H-nya diganti dengan atom atau gugus atom lain (gugus