i
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG
YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Katarina Yulita Simanulang 091224076
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG
YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Katarina Yulita Simanulang 091224076
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
iii SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG
YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Katarina Yulita Simanulang
091224076
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 18 Desember 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ...
Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...
Anggota 1 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ...
Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ...
Anggota 3 : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...
Yogyakarta, 18 Desember 2013
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada:
Tuhan Yesus yang senantiasa mengatur dan memberi berkat dalam setiap langkah saya
Kedua orang tua saya, Parman Simanullang dan Lucia Sumiatun Adik-adikku, Nandus, Erli, dan Ana
yang selalu mendoakan, memberi kasih sayang, dan mendukung setiap pilihan hidup saya
Pria spesial dalam hidup saya, David Verdyan
yang tiada hentinya menemani, mendukung, dan menyemangati dengan cintanya
Teman sepayung dalam cinta, Tina, Clara, Idang, Erni kerja sama kalian luar biasa
Terakhir, konco kenthel dan sahabat penyakit PBSI yang luar biasa memberi semangat
v MOTTO
Manusia tanpa suatu tujuan adalah ibarat sebuah kapal tanpa kemudi – anak terlantar, hal sia-sia, bukan siapa-siapa.
(Thomas Carlyle)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 18 Desember 2013
Penulis
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Katarina Yulita Simanulang
Nomor Mahasiswa : 091224076
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA PEDAGANG
YANG BERDAGANG DI PASAR BESAR BERINGHARJO YOGYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 18 Desember 2013
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam interaksi anggota keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik berbahasa, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta dengan data berupa tuturan lisan yang tidak santun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan. Metode pengumpulan data yakni, pertama, metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan kedua, metode cakap yang disejajarkan dengan metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode kontekstual, yakni dengan memerantikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi, diklasifikasi, dan ditipifikasikan.
ix ABSTRACT
Simanulang, Katarina Yulita. 2013. Linguistics and Pragmatics Impoliteness at the Scope of Trader Family Work in Beringharjo Market, Yogyakarta.
Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discusses linguistics and pragmatics impoliteness in language at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta. The aims of the research are (1) to describe the forms of linguistics and pragmatics, (2) to describe the signs of linguistics and pragmatics in language, and (3) to describe the basic meaning of the speakers when using the forms of language which are impolite at the scope of trader family work in Beringharjo Market, Yogyakarta.
Type of this research is descriptive qualitative. The source of the research is the trader family work in Beringharjo Big Market, Yogyakarta with the data of impolite spoken language. The instrument used is interview guideline (lists of questions, bait, and case list) and observation checklist. Data gathering technique are; first, listening method with noting and recording technique, and second, speaking method which is balanced with interview which is done with bait technique. In the data analysis, the research uses contextual method, with using the context dimensions in interpreting the identified, clarified, and typificated data.
The summary of the research are; (1) the form of linguistic impoliteness showed in impolite spoken language between the trader family who are divided in breaking the norm categorization (subcategory refusing and opposing), threatening face unilaterally (subcategory angry, commanding, teasing, reminding, and threatening), face humiliating (subcategory angry, teasing, mocking, opposing, refusing, and reminding), omitting the face (subcategory mocking, reminding, teasing, angry, and humiliating), and rising conflict (subcategory threatening, mocking, reminding, and angry); the form of pragmatics impoliteness showed in the way speakers deliver the speaking which following every impolite spoken language, (2) impolite linguistics signs are in the form of diction, fatis word, tone, stress, and intonation; impolite pragmatics signs are in the form of context which participated in spoken language, and (3) the aims of the impoliteness of the speaker in breaking the norm category are postponing, protest, and angry; threatening face unilaterally showed anger, protest, chasing away, good manners, reminding, and kidding; face threatening showed commanding, jumping the queue, anger, commenting, frightening, mocking, good manners, teasing, reminding, and forbidding; omitting the face showed perceiving, kidding, forbidding, reminding, teasing, good manners, commenting, chasing away, anger, and protest; and rising conflict means frightening, mocking, protest, forbidding, reminding, and anger.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa
memberi berkat dan kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga
Pedagang yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo Yogyakarta”. Skripsi ini
disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS),
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma.
2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma.
3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan,
pendampingan, saran, dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membantu dan
mendukung penulis.
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang dengan
bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan,
memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik,
xi
dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai
selesai.
7. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar
memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan
berbagai urusan administrasi.
8. Dinas Pengelola Pasar Bringharjo beserta staf yang telah membantu
pelaksanaan penelitian ini.
9. Seluruh keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Bringharjo yang telah
membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
10.Teman-teman seperjuangan (Valentina Tris Marwati, Clara Dhika Ninda
Natalia, Catarina Erni Riyanti, dan Nuridang Fitra Nagara) yang bersedia
berjuang dan bekerja sama dengan penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
11.Kika Ayu, Rosalia Desinta, Yohana Maria, Agatha Wahyu, Mikael Jati,
Ambrosius Bambang, Rosalina Anik, Cicilia Verlit, Yuli Astuti, Bernadeta
Febri, Risa Ferina, Ade Henta, Yudha Hening, Ignatius Satrio, Reinardus
Aldo, Yohanes Marwan, dan semua sahabat PBSID angkatan 2009, yang
berdinamika bersama selama menjalani perkuliahan di PBSI.
12.Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 18 Desember 2013
Penulis
xii DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR BAGAN xvii
DAFTAR TABEL xviii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1Latar Belakang Masalah 1
1.2Rumusan Masalah 5
1.3Tujuan Penelitian 6
1.4Manfaat Penelitian 7
1.5Batasan Istilah 7
1.6Sistematika Penelitian 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 10
2.1Penelitian yang Relevan 10
2.2Pragmatik 15
2.3Fenomena Pragmatik 17
2.3.1 Praanggapan 17
xiii
2.3.3 Implikatur 20
2.3.4 Deiksis 21
2.3.5 Kesantunan 22
2.3.6 Ketidaksantunan 23
2.4Teori-teori Ketidaksantunan 25
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Locher 25
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Bousfield 27
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Culpeper 28
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Terkourafi 30
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan
Locher and Watt 31
2.5Konteks 34
2.6Unsur Segmental 44
2.6.1 Diksi 44
2.6.2 Gaya Bahasa 51
2.6.3 Kategori Fatis 52
2.7Unsur Suprasegmental 54
2.7.1 Tekanan 54
2.7.2 Intonasi 55
2.7.3 Nada 55
2.8Teori Maksud 56
2.9Kerangka Berpikir 59
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 61
3.1Jenis Penelitian 61
3.2Data dan Sumber Data 62
xiv
3.4Instrumen Penelitian 65
3.5Metode dan Teknik Analisis Data 65
3.6Sajian Hasil Analisis Data 67
3.7Trianggulasi Data 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 69 4.1 Deskripsi Data 69
4.1.1 Melanggar Norma 71
4.1.2 Mengancam Muka Sepihak 72
4.1.3 Melecehkan Muka 73
4.1.4 Menghilangkan Muka 74
4.1.5 Menimbulkan Konflik 75
4.2 Analisis Data 76
4.2.1 Melanggar Norma 76
4.2.1.1Subkategori Menolak 77
4.2.1.2Subkategori Menentang 79
4.2.2 Mengancam Muka Sepihak 81
4.2.2.1Subkategori Kesal 82
4.2.2.2Subkategori Memerintah 85
4.2.2.3Subkategori Menyindir 87
4.2.2.4Subkategori Memperingatkan 89
4.2.2.5Subkategori Mengancam 92
4.2.3 Melecehkan Muka 94
4.2.3.1Subkategori Kesal 94
4.2.3.2Subkategori Menyindir 97
4.2.3.3Subkategori Mengejek 100
4.2.3.4Subkategori Menentang 103
4.2.3.5Subkategori Menolak 104
4.2.3.6Subkategori Memperingatkan 106
4.2.4 Menghilangkan Muka 109
xv
4.2.4.2Subkategori Memperingatkan 112
4.2.4.3Subkategori Menyindir 115
4.2.4.4Subkategori Kesal 118
4.2.4.5Subkategori Meremehkan 120
4.2.5 Menimbulkan Konflik 123
4.2.5.1 Subkategori Mengancam 124
4.2.5.2 Subkategori Mengejek 127
4.2.5.3 Subkategori Memperingatkan 129
4.2.5.4 Subkategori Kesal 131
4.3 Pembahasan 135
4.3.1 Melanggar Norma 135
4.3.1.1Subkategori Menolak 136
4.3.1.2Subkategori Menentang 137
4.3.2 Mengancam Muka Sepihak 141
4.3.2.1Subkategori Kesal 142
4.3.2.2Subkategori Memerintah 145
4.3.2.3Subkategori Menyindir 147
4.3.2.4Subkategori Memperingatkan 150
4.3.2.5Subkategori Mengancam 153
4.3.3 Melecehkan Muka 155
4.3.3.1Subkategori Kesal 156
4.3.3.2Subkategori Menyindir 159
4.3.3.3Subkategori Mengejek 162
4.3.3.4Subkategori Menentang 165
4.3.3.5Subkategori Menolak 167
4.3.3.6Subkategori Memperingatkan 169
4.3.4 Menghilangkan Muka 172
4.3.4.1Subkategori Mengejek 172
4.3.4.2Subkategori Memperingatkan 176
4.3.4.3Subkategori Menyindir 178
xvi
4.3.4.5Subkategori Meremehkan 185
4.3.5 Menimbulkan Konflik 187
4.3.5.1Subkategori Mengancam . 188
4.3.5.2Subkategori Mengejek 192
4.3.5.3Subkategori Memperingatkan 194
4.3.5.4Subkategori Kesal 197
BAB V PENUTUP 202
5.1Simpulan 202
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan 202
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan 203
5.1.2.1 Melanggar Norma 204
5.1.2.2 Mengancam Muka Sepihak 204
5.1.2.3 Melecehkan Muka 205
5.1.2.4 Menghilangkan Muka 205
5.1.2.5 Menimbulkan Konflik 205
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan 206
5.2Saran 207
5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan 207
5.2.2 Bagi Keluarga 208
DAFTAR PUSTAKA 209
LAMPIRAN 212
xvii
DAFTAR BAGAN
Hal.
xviii
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan 69
Tabel 2 Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori
Ketidaksantunan 70
Tabel 3 Melanggar Norma 72
Tabel 4 Mengancam Muka Sepihak 72
Tabel 5 Melecehkan Muka 73
Tabel 6 Menghilangkan Muka 74
1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi uraian (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah,
(3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) sistematika penyajian.
Berikut adalah uraian dari kelima hal tersebut.
1.1 Latar Belakang Masalah
Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial yang senantiasa akan hidup
berdampingan dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu akan
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Manusia dapat berinteraksi
dengan baik apabila ia mampu berkomunikasi dengan baik pula. Masyarakat
manusia, apa pun bentuknya, selalu memerlukan alat atau cara untuk
berkomunikasi antar sesama warganya (Sumarsono, 2004:53). Alat komunikasi
utama untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama manusia adalah
bahasa. Fungsi bahasa yang terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau
berkomunikasi di dalam kehidupan manusia bermasyarakat (Chaer, 2011:2).
Bahasa yang kita gunakan sehari-hari merupakan suatu sarana untuk
menyampaikan gagasan, pikiran, konsep, dan perasaan. Manusia akan
bersosialisasi dengan sesamanya melalui aktivitas berbahasa yang dapat
diungkapkan baik secara lisan maupun tertulis.
Ilmu yang mengkaji tentang bahasa adalah linguistik. Sosok linguistik
manusia, tidak saja aspek-aspek internal tetapi juga bagian-bagian eksternalnya, di
dalam perkembangannya memiliki beberapa cabang atau ranting-ranting ilmu
(Rahardi, 2003:9). Salah satu cabang ilmu linguistik yang bersifat eksternal adalah
pragmatik.
Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa
yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan
pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal
“ekstralingual’ yang dibicarakan (Verhaar, 1996:14). Rahardi (2003:16)
mengatakan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud
penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu. Karena
pragmatik mengkaji maksud penutur sesuai konteks dan lingkungan sosialnya,
bidang kajian pragmatik tentu berkaitan dengan kesantunan dan ketidaksantunan
berbahasa. Kesantunan berbahasa adalah bidang kajian pragmatik yang sudah
banyak diteliti dan dikaji secara mendalam oleh para peneliti. Sementara
ketidaksantunan merupakan kajian yang baru mulai dikembangkan.
Ketidaksantunan dalam berbahasa merupakan fenomena pragmatik yang
baru. Fenomena pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tentu tidak akan
bermanfaat banyak bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik.
Ketidaksantunan berbahasa ini dapat dikaji dalam berbagai bidang, yaitu bidang
pendidikan, keluarga, dan agama. Ketidaksantunan perlu dikaji untuk
mempertimbangan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari
dalam praktik berkomunikasi. Kajian ini akan dapat memperkuat pendidikan
merupakan faktor sangat penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter
bangsa.
Ranah keluarga adalah salah satu bidang kajian ketidaksantunan berbahasa
yang menarik untuk dikaji. Keluarga merupakan satuan atau kelompok terkecil
dalam masyarakat. Keluarga menjadi titik awal seseorang mulai berkomunikasi.
Tidak dapat dipungkiri, komunikasi dalam keluarga adalah salah satu faktor
penting pembentukan karakter seseorang. Keluarga adalah tempat bagi seorang
anak mengenal bahasa untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu, kekhasan bahasa
dalam keluarga akan sangat berpengaruh dalam perkembangan kebahasaan
orang-orang yang ada di dalam keluarga tersebut. Begitu pula jika di dalam keluarga
kurang memperhatikan bahasa yang santun dalam praktik berkomunikasi tentu
akan sangat mempengaruhi perkembangan karakter anggota keluarga tersebut
terutama anak yang masih dalam masa perkembangan.
Kehidupan sebuah keluarga tentu tidak pernah lepas dari status sosialnya.
Cara berkomunikasi dalam kelompok masyarakat terkecil yang tidak lain adalah
keluarga sangat erat kaitannya dengan status sosial yang telah melekat pada
keluarga itu sendiri. Status sosial ini membagi keluarga dalam kelas-kelas sosial
sesuai dengan lingkup pekerjaan dan lingkungannya. Secara umum, strata sosial
di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu
atas (Upper Class), menengah (Midlle Class), dan bawah (Lower Class). Kelas
atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas.
Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja,
bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan
semacamnya. Secara khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan
khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik
berlaku pada lingkungan itu. Content varian lebih banyak menyangkut variasi
strata dalam satu lingkungan yang membedakannya dengan strata pada
lingkungan lainnya (Bungin, 2006:49−50).
Fenomena komunikasi yang terjadi dalam setiap keluarga tentu
berbeda-beda. Komunikasi sosial baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga tentu
harus disesuaikan dengan konteks sosialnya. Fenomena komunikasi keluarga
pedagang tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan komunikasi dalam
keluarga pendidik atau keluarga berstatus sosial lainnya. Bagaimana anggota
keluarga pedagang berbahasa tentu tidak luput dari pengaruh lingkungannya.
Lingkungan yang tidak jauh dari dunia jual beli tentu akan membawa dampak
tersendiri bagi komunikasi dalam keluarga ini. Dunia jual beli memberi efek
tersendiri bagi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa keluarga yang berlatar
belakang sebagai pedagang.
Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang tidak lepas
dari peristiwa tawar menawar. Ketika menjajakan dagangannya, si penjual tentu
akan menggunakan berbagai cara agar dapat menarik perhatian pembeli, salah
satunya menggunakan suara dengan volume yang cukup keras. Volume yang
keras ini menimbulkan kesan kasar pada bahasa yang digunakan oleh si penjual.
Karena sudah menjadi bahasa sehari-hari si pedagang ketika menjajakan
keluarganya, bahkan menjadi kekhasan bahasa sehari-hari dalam keluarga. Oleh
karena itu, pedagang yang berdagang di Pasar Beringharjo memberikan daya tarik
tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji lebih jauh bagaimana ketidaksantunan
berbahasa pada keluarga pedagang di pasar yang sangat terkenal di Yogyakarta
tersebut.
Pasar Beringharjo dipilih oleh peneliti karena pasar tersebut merupakan
pasar yang terbesar di Yogyakarta dengan komoditi perdagangan yang sangat
bervariasi. Berbagai macam komoditi, baik sandang maupun pangan, dijual di
pasar ini. Pedagangnya pun bermacam-macam, baik daerah asal maupun sukunya.
Selain pedagangnya yang bermacam-macam, pembeli yang datang ke pasar ini
pun berasal dari berbagai daerah dengan beraneka bahasa. Dengan kondisi pasar
yang demikian, sangat dimungkinkan terjadinya komunikasi yang terkesan kasar
atau kurang santun. Dengan demikian, kemungkinan besar bahasa khas ala pasar
yang kurang santun tersebut akan terbawa ketika si pedagang berada di rumah
atau berkomunikasi dengan keluarganya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud mengkaji
ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di
Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta yang ditinjau dari kajian linguistik dan
pragmatik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian
1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat
dalam ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo,
Yogyakarta?
2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
digunakan oleh keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar
Beringharjo, Yogyakarta?
3) Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang
berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam
ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo,
Yogyakarta.
2) Mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam
ranah keluarga pedagang yang berdagang di Pasar Besar Beringharjo,
Yogyakarta.
3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan
bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pedagang yang
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai
pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Manfaat Teoretis
Kajian-kajian yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat
memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang
ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik yang baru.
2) Manfaat Praktis
a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para penutur dalam ranah
keluarga untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan
berbahasa yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam
ranah keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang
berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.
1.5 Batasan Istilah
1) Ketidaksantunan berbahasa
Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur.
2) Linguistik
Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas,2008:832)
3) Pragmatik
Ilmu bahasa yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan
4) Ketidaksantunan linguistik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu
tuturan.
5) Ketidaksantunan pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang
menyertai suatu tuturan.
6) Keluarga
Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi
tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat
(Depdiknas, 2008:659).
7) Pedagang
Orang yang kerjanya berdagang (Depdiknas, 2008:285)
8) Keluarga pedagang
Satuan kekerabatan terkecil dalam masyarakat yang kerjanya berdagang.
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.
Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa.
Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1)
ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur
suprasegmental, (8) teori maksud dan (9) kerangkan berpikir.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan
diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik
pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data,
(6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi data.
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan
saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi pemaparan penelitian yang relevan, landasan teori, dan
kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik
sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang
teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penlitian ini yang terdiri
atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, ketidaksantunan berbahasa, konteks,
unsur segmental, dan unsur suprasegmental. Kerangka berpikir berisi tentang
acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu dan teori
yang relevan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.
2.1 Penelitian yang Relevan
Ketidaksantunan berbahasa dalam kajian ilmu pragmatik merupakan
fenomena baru yang belum dikaji secara mendalam. Oleh karena itu, penelitian
pragmatik yang mendalami kajian ketidaksantunan berbahasa belum banyak
ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa penelitian
sebelumnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa sebagai penelitian
yang relevan. Penelitian-penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa yang
ditemukan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita
Yuliastuti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013), Agustina Galuh
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa yang dilakukan oleh
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti
menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat
berdasarkan tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa
tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam
muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik
dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur,
situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan
tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan
nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat
dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur,
situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna
ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur
kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka
yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi
jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang
disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur,
tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni
terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra
tutur di depan banyak orang.
Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga pernah dilakukan
oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari
penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan
wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan
berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di
Universitas Sanata Dharma.Peneliti menggunakan dua mtode dalam penelitan ini,
pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik
lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap
dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik
lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita
Yuliastuti (2013), yakni (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari
tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono,
mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana,
tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan
linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda
penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan
tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: a) melecehkan
muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b)
memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, c)
kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka,
mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka,
menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Agustina Galuh Eka
Noviyanti (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran
2012/2013. Jenis penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti
ini serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian deskriptif kualitatif.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan
instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan),
pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Data dalam penelitian ini dianalisis
dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini menjawab tiga masalah
tentang (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja
yang digunakan oleh antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, (b) penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan
antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, dan (c) apakah makna penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan antarsiswa di
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan pula
oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program
Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan
dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
ketiga peneliti di atas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa
panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini
juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumny, yakni pertama, wujud
ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan
pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda
ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda
pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi,
dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa
meliputi 1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur,
2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3)
kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan
mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila
candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, 4) menghilangkan muka yakni
penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan 5) mengancam
muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang
Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji tentang
ketidaksantunan berbahasa dalam, khususnya ketidaksantunan berbahasa dalam
ranah pendidikan. Keempat penelitian di atas menemukan tiga hal penting tentang
masalah ketidaksantunan, yakni wujud, penanda, dan makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa. Dengan mengacu dari keempat penelitian
tersebut, peneliti akan mengkaji lebih dalam tentang ketidaksantunan berbahasa,
secara khusus ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga pedagang.
2.2 Pragmatik
Pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan
konteks penutur dan lingkungannya. Dalam sebuah komunikasi atau percakapan,
penutur dan mitra tutur tidak dapat meluputkan konteks situasi tuturan. Mitra tutur
tidak hanya memahami maksud dari tuturan penutur, tetapi juga harus memahami
konteks tuturan tersebut. Hal itu penting dalam kelancaran komunikasi. Dengan
demikian, pragmatik adalah ilmu bahasa yang terikat konteks.
Ilmu bahasa pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik, sesungguhnya
baru mulai mencuat dan kemudian berkembang hingga menjadi benar-benar
berkumandang dalam percaturan linguistik Amerika Serikat sejak tahun 1970-an.
Pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya pada tahun 1930-an, linguistik masih
dianggap hanya mencakup bidang-bidang tradisional saja seperti misalnya fonetik,
morfologi, dan fonemik. Sementara, istilah ilmu bahasa pragmatik, yang semula
disebut dengan pragmatika, sebenarnya sudah mulai dikenal sejak masa hidupnya
pemikirannya, sosok pragmatik lalu dapat dikatakan mulai terlahir di dunia, dan
mulai bertengger di atas bumi linguistik dan hingga kini kian terbukti, bahwa
sosok ilmu bahasa pragmatik berkembang secara amat signifikan dan menjadi
bagian dari ilmu bahasa yang tidak dapat diabaikan (Rahardi, 2003:3−8).
Huang (2007:2) menuturkan bahwa “pragmatics is the systematic study of
meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang
mendefinisikan pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang
berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa. Kemudian, Cruse
(2000:16) dalam Cummings (2007:2) memaparkan bahwa pragmatik dapat
dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui
bahasa yang tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam
bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, tetapi yang juga muncul secara alamiah
dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvesional
dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.
Seperti yang sudah dicantumkan pada bagian sebelumnya, pragmatik
merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk
struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan
sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual’ yang
dibicarakan (Verhaar, 1996:14). Rahardi (2003:16) mengatakan bahwa ilmu
bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks
situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu.
Selanjutnya, Yule (2006:3−6) merangkum empat ruang lingkup yang
penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Ketiga,
pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan
daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari
jarak hubungan. Pragmatik semakin menarik karena melibatkan bagaimana orang
saling memahami satu sama lain secara linguistik, tetapi pragmatik dapat juga
merupakan ruang lingkup studi yang mematahkan semangat karena studi ini
mengharuskan orang untuk saling memahami apa yang ada dalam pikiran mereka.
Dari definisi beberapa ahli di atas, dapatlah dikatakan bahwa pragmatik
merupaka ilmu kebahasaan yang mengkaji maksud sebuah tuturan dengan
mengacu dari unsur luar bahasa, dalam hal ini adalah konteks situasi dan
lingkungan di mana tuturan itu lahir. Dengan demikian, jelaslah bahwa pragmatik
adalah ilmu yang terikat konteks. Sebagai cabang ilmu linguistik, pragmatik
sangatlah penting dalam kajian ilmu kebahasaan. Tidak mungkin tidak pragmatik
diluputkan dalam studi kebahasaan.
2.3 Fenomena Pragmatik
Pragmatik sebagai ilmu bahasa yang terikat konteks mengkaji enam
fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, kesantunan, an
ketidaksantunan. Berikut pemaparan dari keenam fenomena tersebut.
2.3.1 Praanggapan
Praanggapan atau presupposisi merupakan unsur penting yang harus saling
bahwa terdapat informasi tertentu yang sudah diketahui oleh mitra tuturnya
berkenaan dengan tuturan yang akan disampaikan oleh penutur. Oleh karena itu,
informasi tersebut tidak perlu dikatakan meskipun informasi tersebut merupakan
bagian yang harus dipahami oleh mitra tutur bersama dengan tuturan si penutur.
Yule (2006:43) memaparkan bahwa presupposisi adalah sesuatu yang
diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.
Presupposisi ini dimiliki oleh penutur, bukan kalimat. Dalam analisis tentang
bagaimana asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, presupposisi sudah
diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur.
Berdasarkan hal tersebut, Yule (2006:46) membagi presupposisi menjadi enam
jenis, yaitu presupposisi eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi leksikal,
presupposisi nonfaktif, presupposisi struktural, presupposisi faktual tandingan
atau konterfaktual.
2.3.2 Tindak Tutur
Tindak tutur adalah fenomena pragmatik yang berkenaan dengan tindakan
penutur yang ditunjukkan melalui tuturan. Diperjelas oleh Yule (2006:82−84)
bahwa tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak
tutur. Tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan
mengandung tiga tindak yang saling berhubungan. Pertama, tindak lokusi, yang
merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang
bermakna. Kedua, tindak illokusi. Penutur membentuk tuturan dengan beberapa
komunikatif suatu tuturan. Ketiga, tindak perlokusi. Tentu penutur tidak secara
sederhana menciptakan tuturan yang memiliki fungsi tanpa memaksudkan tuturan
itu memiliki akibat.
Tindak tutur diklasifikasikan menjadi 5 jenis fungsi umum, yaitu deklaratif,
representatif, ekspresif, direktif, dan komisif (Yule, 2006:92–94). Deklarasi
adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Contoh 1: Pastor
: Sekarang saya menyebut Anda berdua suami-istri. Seperti contoh tersebut
menggambarkan, penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam
konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu
menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.
Jenis tindak tutur selanjutnya adalah representatif. Representatif merupakan
jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan.
Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Contoh :
Bumi itu datar. Itu merupakan contoh dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh
penutur yang menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah
representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).
Selanjutnya, tindak tutur ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang
menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan
pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan,
kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Contoh: Sungguh,
saya minta maaf. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang
dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman
Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh
orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi
keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan,
pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif. Contoh
1: Berilah aku secangkir kopi. Buatkan kopi pahit. Contoh 2: Jangan menyentuh
itu! Pada waktu menggunakan direktif, penutur berusaha menyesuaikan dunia
dengan kata (lewat pendengar).
Jenis tindak tutur yang terakhir adalah komisif. Jenis tindak tutur ini adalah
jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengaitkan dirinya terhadap
tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa
saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji,
ancaman, penolakan, dan ikrar. Contoh : Saya akan kembali. Pada waktu
menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan
kata-kata (lewat penutur).
2.3.3 Implikatur
Ketika terjadi sebuah tuturan, sesungguhnya penutur dan mitra tutur harus
memiliki pemahaman yang sama tentang latar belakang pengetahuan dari topik
yang dituturkan oleh penutur. Hal itulah yang akan memperlancar terjadinya
komunikasi. Grice (1975) via Rahardi (2005:43) menyatakan bahwa sebuah
tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari
Yule (2006:61) juga memaparkan implikatur secara kompleks. Jika seorang
pendengar mendengar suatu tuturan, pertama-tama dia harus berasumsi bahwa
penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan
informasi. Informasi itu tentunya (memiliki makna) lebih banyak daripada sekedar
kata-kata itu. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan, yang
disebut dengan implikatur. Dengan mengatakan suatu tuturan, penutur berharap
pendengar akan mampu menentukan implikatur yang dimaksud dalam konteks
berdasarkan pada apa yang sudah diketahui.
2.3.4 Deiksis
Deiksis adalah fenomena pragmatik tentang apa yang ditunjuk oleh penutur
berkaitan dengan konteks tuturannya. Yule (2006:13−14) menjabarkan bahwa
deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar
yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa.
Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut
ungkapan deiksis. Ketika seseorang menunjuk suatu objek dan bertanya, “Apa
itu?”, maka ia telah menggunakan ungkapan deiksis (“itu”) untuk menunjuk
sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba. Ungkapan-ungkapan deiksis
kadang-kala juga disebut indeksikal.
Masih oleh Yule, dijelaskan pula bahwa ungkapan-ungkapan itu berada di
antara bentuk-bentuk awal yang dituturkan oleh anak-anak yang masih kecil dan
dapat digunakan untuk menunjuk orang dengan deiksis pesona (‘ku’, ‘mu’), atau
menunjuk waktu dengan deiksis temporal (‘sekarang’, ‘kemudian’). Untuk
menafsirkan deiksis-deiksis itu, semua ungkapan bergantung pada penafsiran
penutur dan pendengar dalam konteks yang sama. Jelas sekali bahwa deiksis
mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yang dibedakan secara
mendasar antara ungkapan-ungkapan deiksis’dekat penutur’ dan ‘jauh dari
penutur’.
2.3.5 Kesantunan
Fenomena kelima yang dikaji oleh pragmatik adalah kesantunan. Bahasa
yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri. Melalui
bahasa pula, orang lain dapat menilai harkat dan martabat seseorang. Seseorang
yang mampu berbahasa secara santun menunjukkan kepribadiannya yang santun
pula. Inilah mengapa, memperhatikan kesantunan dalam berbahasa menjadi suatu
hal penting pula dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial.
Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh
penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca.
Ketika menggunakan bahasa dalam bersosialisasi, penutur harus memperhatikan
kaidah berbicara dengan baik dan benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang
dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Begitu juga ketika seseorang sedang
menulis cerpen, mereka menggunakan kaidah bahasa sesuai dengan peran tokoh
yang sedang diperankan. Namun, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Masih ada
Pranowo (2009:14−15) juga menyebutkan tiga alasan berbahasa secara
santun dalam interaksi penutur dan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan
dapat memahami maksud yang diampaikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra
tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang
lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain (orang
ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antara
penutur dengan mitra tutur.
2.3.6 Ketidaksantunan
Dalam perkembangan pragmatik, kelima fenomena yang telah dipaparkan di
atas ternyata kurang menjawab semua permasalahan bahasa yang terdapat dalam
kehidupan sosial masyarakat. Terdapat fenomena baru yang perlu dikaji secara
mendalam di dalam kajian pragmatik. Fenomena baru ini muncul berdasarkan
konteks dan lingkungan penutur yang selalu berkembang. Fenomena baru yang
muncul seiring perkembangan kajian pragmatik ini adalah ketidaksantunan
berbahasa. Tidak jauh berbeda dengan kelima fenomena yang telah dikaji secara
mendalam sebelumnya, ketidaksantunan tentulah tidak lepas dari konteks.
Ketidaksantunan berbahasa muncul dengan melihat realita di masyarakat
bahwa berbahasa secara santun masih jauh dari harapan. Penggunaan bahasa yang
santun tampaknya kurang mendapat perhatian. Banyak individu yang merupakan
bagian dari masyarakat tidak mengindahkan pentingnya berbahasa secara santun.
mampu menggunakan bahasa yang baik dan benar, tetapi juga harus mampu
berbahasa secara santun.
Pranowo (2009:72−73) menyebutkan empat faktor yang menyebabkan
adanya ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang yang memang
tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Kedua, faktor
pemerolehan bahasa. Kebanyakan kesantunan berbahasa Indonesia masyarakat
Indonesia dikuasai secara alamiah. Mereka berbahasa secara santun, tetapi tidak
dapat menjelaskan kaidah kesantunan apa yang digunakan. Ketiga, ada orang
yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga
masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia) (interferensi).
Keempat, karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang suka berbicara tidak
santun di hadapan publik.
Pranowo (2009:68−71) menunjukkan beberapa fakta dalam berkomunikasi
yang tidak santun. Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur
menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Ketika bertutur, penutur
didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah
kepada mitra tutur. Selain itu, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap
pendapatnya ketika bertutur. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur
tidak dipercaya oleh pihak lain. Fakta lain, dapat pula penutur sengaja ingin
memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Dengan demikian, mitra tutur menjadi
tidak berdaya. Tuturan menjadi tidak santun dengan fakta jika penutur terkesan
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan
Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power
in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) seperti
yang telah dikutip dan dibahasakan oleh Rahardi (2012) dalam presentasinya
“Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa
dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”, tampak bahwa beberapa ahli telah
menelaah fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai
ketidaksantunan berbahasa.
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
Miriam A Locher (2008) berpendapat bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating
in a particular context.’ Intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada
perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Perilaku melecehkan muka itu
sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang
ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and
Levinson (1987), atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi
konsep muka Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009).
Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap
ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang
Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan
muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Locher ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Ketika liburan tiba, sang anak yang sedang kuliah di Jogja pulang ke kampung halamannya di Lampung dan bercakap-cakap dengan ibunya.
Wujud Tuturan:
Anak : “Bu, aku pulang ni. Hehe.” (berbasa-basi dengan ibu dengan nada riang).
Ibu : “Eh, anakku udah pulang. Lho, katanya kuliah di Jogja, tapi kok pulang-pulang kulitmu jadi kayak kulit orang utan, item kayak gak keurus gitu.”
Anak : “Ibu ni lho.” (langsung masuk kamar dengan wajah tertunduk).
Dari percakapan di atas, tuturan sang ibu menunjukkan bahwa ia mengejek
kulit anaknya yang hitam seperti tidak dirawat. Hal itu ditunjukkan pada tuturan
kulitmu jadi kayak kulit orang utan. Tuturan tersebut menunjukkan tuturan
seorang ibu yang tidak santun meskipun diucapkan dengan nada santai dan
berjanda. Namun, tuturan tersebut justru mengakibatkan sang anak tersinggung.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan berbahasa oleh penutur
yang memiliki maksud menyinggung perasaan mitra tutur dengan melecehkan
muka atau memain-mainkan muka.
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield
Dalam pandangan Bousfield (2008), ketidaksantunan dalam berbahasa
dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive
face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan
penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’(gratuitous), dan konfliktif (conflictive)
dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi apabila perilaku berbahasa
seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan
secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono
demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan
tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu
merupakan realitas ketidaksantunan.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Bousfiled ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Pada sebuah keluarga, seorang ayah sedang menerima dua orang tamu yang cukup penting. Mereka berbincang-bincang di ruang tamu. Namun, dalam sela-selan perbincangan itu, anak si pemilik rumah yang berusia 8 tahun berlari-lari dengan seorang temannya melintasi ruang tamu. Hal itu dilakukannya berulang kali, sehingga ayah dan dua orang tamunya terganggu dengan situasi itu.
Wujud Tuturan:
Ayah : “Nak, kamu tu apa ndak bisa mainnya di luar aja? Bapak tu lagi ada tamu ni lho. Kalau ada tamu tu mbok dihargai.”
Anak : “Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak. Di luar panas.” (masih sambil berlari-lari di ruang tamu).
Berdasarkan percakapan di atas, sang ayah menegur anaknya agar
menghargai orang lain yang sedang bertamu. Namun, sang anak justru memjawab
secara sembrono dengan tuturan Ih, wong aku seneng mainnya di sini kok, Pak.
Jawaban sang anak tersebut merupakan tuturan yang tidak santun, karena ia
bukannya menuruti kata-kata ayahnya, justru membantah dengan menjawab
demikian. Tuturan tersebut justru semakin menimbulkan konflik dan membuat
sang ayah marah.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang memiliki maksud adanya sebuah kesembronoan yang akhirnya menimbulkan
adanya koflik antara penutur dan mitra tutur.
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper
Pemahaman Culpeper (2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah,
‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to
cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia
memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau
dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka). Jadi ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu
merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk
membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Culpeperr ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Pada suatu kesempatan, terdapat sebuah pertemuan keluarga besar. Mereka memperbincangkan suatu masalah keluarga yang cukup serius. Setelah perbincangan serius itu selesai, mereka berbasa-basi satu sama lain.
Wujud Tuturan:
Paman : “Gimana kuliahmu, Nduk? Lancar tow?” (seorang paman berkata dengan keponakannya yang masih kuliah).
Keponakan : “Lancar kok, Paman.”
Bibi : “Loh, Nduk, kamu tu kan Cuma ngambil D3, kok udah 4 tahun gak lulus-lulus. Nek gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah. Kayak gitu kan malah lumayan bisa ngasih makan sekeluarga.”
Semua keluarga tertawa mendengar tuturan sang bibi.
Keponakan : (diam saja, tertunduk malu dan tersinggung dengan tuturan bibinya).
Dari percakapan di atas, jika dilihat dari konteks situasi tuturan,
sebenarnya sang bibi bertutur dengan nada bercanda. Namun, dengan tuturan Nek
gitu sih mending sana kamu bantuin ibumu mepe gabah yang dimaksud oleh sang
bibi bukan hanya candaan, melainkan juga sebuah sindiran. Candaan sang bibi
tersebut diikuti dengan tawa dari semua keluarga yang hadir dalam pertemuan
keluarga tersebut. Tuturan yang diungkapkan oleh sang bibi merupakan tuturan
yang tidak santun karena mengakibatkan keponakannya tersinggung dan
tertunduk malu.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang memiliki maksud mempermalukan mitra tuturnya.
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi
Terkourafi (2008) memandang ketidaksantunansebagai, ‘impoliteness
occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is
attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam
pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)
merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur
(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Terkourafi ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Pada suatu kesempatan dalam sebuah kamar, tiba-tiba dari luar kamar seorang adik masuk dan menepuk pundak kakaknya yang sedang rebahan di tempat tidur.
Wujud Tuturan:
Adik : “Baaaaaaaa, kakak liat bajuku yang baru dibelikan ibu gak:” (sambil menepuk pundak kakaknya).
Kakak : “Ih, apaan si kamu. Dasar, kurang kerjaan.” (dengan nada tinggi dan membentak).
Dari ilustrasi di atas, tuturan adik menunjukkan bahwa ia ingin
mendapatkan respon dari kakaknya dengan nada tanya dan menepuk pundak
kakak merasa tidak nyaman dengan disentuh pundaknya. Adik berkata dengan
intonasi normal, tetapi si kakak menjawab dengan intonasi tinggi dan membentak.
Dari percakapan antara kakak dan adik di atas, dapat diketahui bahwa kakak
menanggapi adiknya dengan rasa kesal yang mengancam muka si adik secara
sepihak. Hal tersebut mengakibatkan si adik sebagai mitra tutur merasa terancam
dan malu dengan tanggapan kakaknya.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur
yang memiliki maksud mengancam muka sepihak mitra tuturnya, tetapi di sisi lain
penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts
Locher and Watts (2008) berpandangan bahwa perilaku tidak santun
adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked
behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti
untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning).
Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,
‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan
Locher and Watts ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Pada suatu malam pukul 22.00 WIB, seorang ibu menegur anaknya yang pulang terlambat. Sebelum pergi, si anak sudah menyetujui akan pulang pukul 21.00 WIB sesuai dengan aturan dari ibunya. Namun, sang anak justru baru pulang pukul 22.00 WIB.
Wujud Tuturan:
Ibu : “Udah puas mainnya?” (ibu menyambut kepulangan anaknya dengan nada sinis).
Anak : “Apa to, bu? Wong baru jam segini kok.” (menjawab pertanyaan ibunya dengan nada santai)
Ibu : “Oalah, Nduk. Wong udah telat, kok masih ngomong baru jam segini.” (berlalu dengan nada semakin sinis).
Anak : “Ibu ki gak tau anak zaman sekarang.”
Dari ilustrasi tersebut, tuturan ibu menunjukkan bahwa ia menegur
anaknya yang pulang terlambat, tidak sesuai dengan kesepakatan sebelum pergi.
Namun, si anak justru tidak merasa bersalah telah melanggar aturan yang telah
disepakati. Hal itu mengakibatkan sang ibu semakin jengkel dan sinis menanggapi
tuturan anaknya. Tuturan sang ibu yang semakin sinis justru tetap tidak dihiraukan
oleh sang anak dengan tuturan ibu ki gak tau anak zaman sekarang. Tuturan sang
anak tersebut merupakan tuturan yang tidak sopan kepada ibunya karena telah
mengacuhkan dan melanggar kesepakatan yang telah disepakatinya sebelum
pergi.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts lebih