BAB II
IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG
2.1 Pengertian
Ijime
Istilah ijime berasal dari kata ijimeru (苛める) yang memiliki arti harafiah sebagai tindakan, memarahi, dan mencaci maki. Kata tersebut kemudian
berkembang menjadi sebuah istilah sosial yang digunakan untuk menggambarkan
salah satu bentuk tindakan penganiayaan yang terjadi dalam masyarakat Jepang.
Para sosiolog Jepang secara sederahana mendefinisikan ijime sebagai tindakan
penganiaayaan yang terjadi di dalam kelompok masyarakat Jepang
Penganiayaan atau ijime seperti dikenal di Jepang adalah masalah manusia
yang akan terus berlangsung hingga entah kapan. Segala jenis penindasan,
hardikan di sekolah, gangguan atau diskriminasi di dalam masyarakat. Itu semua
adalah ijime (Uchida, 1993 : 1).
Sementara menurut Akiko Digakunai (2005 : 2), ijime diartikan secara
harfiahnya sebagai masalah kenakalan anak – anak sekolah di tingkat pendidikan
paling dasar dan menengah berupa penganiayaan, penghinaan, penyiksaan baik
segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.
Definisi tersebut membuat masyarakat internasional sering mengidentikkan
ijime dengan tindakan bullying yang kerap terjadi di negara-negara Barat. Akan
tetapi, kata bullying yang memiliki arti sebagai tindakan menganiaya, tidak
sehingga tindakan bullying di negara-negara Barat umumnya mengacu pada
segala bentuk tindakan yang bertujuan untuk menyiksa secara fisik korban.
Faktor banyaknya kasus ijime yang terjadi di Jepang tidak lepas dari
kebudayaan yang membentuk masyarakat Jepang karena wujud lain kebudayaan
dapat berupa sistem sosial karena yang berbentuk tindakan ada pada diri manusia.
Sistem sosial ini terdiri dari kegiatan – kegiatan manusia dalam berinteraksi antar
individu dan kelompok dari waktu ke waktu dengan pola tertentu.
Nojuu Shinsaku (1989 : 44) dari Pusat Penelitian Bimbingan Kehidupan
Anak di Jepang mengatakan tentang apa yang disebut ijime sebagai berikut :
Yang disebut ijime berbeda dengan perkelahian, tetapi merupakan suatu
perbuatan seseorang yang mempunyai kekuatan dalam beberapa bentuk
untuk dapat melakukan penyerangan searah terhadap yang manjadi
lawannya. Orang yang berada dalam posisi yang kuat menyerang orang
yang berada dalam posisi yang lemah baik secara fisik maupun mental dan
mempunyai ciri bahwa yang melakukan itu merasa senang apabila melihat
lawannya menderita dan menjadi kesal. Ijime mempunyai ciri bukan
dilakukan dengan berakhir satu kali perbuatan seperti halnya dalam suatu
perkelahian, tetapi dilakukan dalam masa yang panjang.
Ijime berbeda dengan apa yang disebut perkelahian karena perkelahian
biasanya dilakukan oleh satu lawan satu tetapi ijime kelihatannya semacam
perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok besar orang terhadap sekelompok
kecil orang atau oleh beberapa orang terhadapa satu orang. Selain itu, ijime tak
hanya dilakukan satu kali perbuatan tetapi dilakukan berkali – kali dalam masa
yang panjang.
Ijime biasanya terjadi di dalam konteks sekolah, berhubungan teman sebaya
mengandung beberapa pengertian seperti menggangu, melecehkan, merendahkan,
mengintimidasi dan menganiaya. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang
melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan waktu
yang pendek. Ijime biasanya terjadi secara berkelanjutan selama jangka waktu
yang lama, sehingga korban secara terus – menerus berada dalam keadaan cemas
dan terintimidasi. Ijime dapat berbentuk tindakan langsung maupun tidak
langsung. Ijime langsung mencakup pelecehan fisik terhadap korbannya
sementara ijime tidak langsung terdiri atas berbagai strategi yang menyebabkan
korban terasing dan terkucil secara sosial.
Beberapa penelitian masalah ijime mengatakan antara ijime di Jepang dan di
Barat itu sedikit berbeda. Persepsi orang untuk menyamakan karena arti ijime jika
diartikan ke dalam bahasa Inggris memang paling mendekati arti “bullying”. Para
peneliti Jepang lebih cocok memakai definisi Morita (2001) yang menyebut
bahwa ijime adalah sebuah tingkah laku agresif yang dilakukan oleh seseorang
yang memiliki posisi dominan di dalam proses interaksi sebuah grup melalui
tindakan disengaja atau serangkaian tindakan yang menimbulkan penderitaan
mental dan/atau fisik orang lain yang berada di dalam grup yang sama. Jadi bukan
pada penekanan kekuatan fisik dan ketidakseimbangan kekuatan (Taki, 2003). Ini
mengindikasikan bahwa pelecehan dengan kekerasan fisik di Jepang jauh lebih
rendah dari negara lain dari survey Morita (2001).
Meski punya sikap dan arti yang mirip dengan ‘ijiwaru’ dan ‘iyagarase’
tetapi dijelaskan oleh Smith, dkk. (2002), istilah ijime tetap dipakai karena
mengandung unsur fisik yang terendah dan lebih menyerang mental (terdapat pula
lebih terimplementasikan kearah terputusnya hubungan sosial). Dari keterangan
ini, diindikasikan adanya definisi terpisah antara ijime (bullying) dan boryoku
(violence, kekerasan) dalam keseluruhan pembicaraan untuk masalah sosial
kejiwaan di Jepang. Ditambahkan oleh Morita (2001) bahwa pergeseran sistem
masyarakat Jepang dari publik (ooyake) ke privat (watakushi, uchi) juga rentan
terhadap masalah ijime ini.
Ijime di Jepang lebih mirip dengan bullying yang dilakukan di negara Barat,
yakni tekanan pada menyakiti perasaan korban yang dilakukan oleh orang – orang
dalam satu kelompok komunitas/kelompok (saling mengenal). Sedang kekerasan
(boryoku) lebih fiskal dan tujuannya merampas atau membuat sakit secara fisik
korban yang dilakukan mungkin oleh orang yang tidak dikenal. Taki (2003)
selanjutnya mengidentifikasikan beberapa kondisi penting dari ijime itu adalah
pertama, korban sudah merasa menjadi bagian dari kelompok, adanya
ketidakseimbangan pengaruh atau kekuatan (non fisik) lain, dan ketiga adalah
intensitas atau kekerapan ijime ini terjadi. Semakin tak bisa menghindar atau
melawan maka semakin besar intensitas ijime itu berlangsung.
2.2 Faktor Penyebab
Ijime
di Jepang
Ada beberapa penyebab sehingga muncul ijime di Jepang. Adapun faktor –
faktor tersebut adalah :
1. Budaya
Jepang memiliki struktur masyarakat yang unik yaitu struktur masyarakat
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan struktur masyarakat kelompok adalah
sebuah struktur yang lebih mengutamakan individu sebagai bagian dari satu
kelompok masyarakat dibandingkan individu sebagai seorang personal.
Masyarakat Jepang mengelompokkan diri mereka dengan orang – orang di
sekitarnya sesuai dengan kriteria tertentu seperti tingkat pendidikan, pekerjaan,
dan sebagainya. Oleh sebab itu, diakui ke dalam satu kelompok masyarakat
tertentu menjadi prioritas utama bagi individu mendapatkan suatu identitas diri.
Ketika seseorang diakui oleh satu kelompok masyarakat maka pada saat itulah dia
menjadi manusia seutuhnya.
Sejak masa kanak – kanak, individu Jepang telah diajarkan sebuah prinsip
sosial yang disebut shuudan ishiki (集団意識)atau dengan kata lain kesadaran untuk hidup berkelompok (Nakane Chie, 1984 : 8). Misalnya saja, ketika duduk di
bangku TK mereka akan membentuk kelompok bermain yang disebut ~kumi/gumi.
Jika seorang anak sudah bergabung dengan salah satu kumi maka dia tidak bisa
seenaknya bergabung dalam permainan yang dilakukan oleh kumi yang lain. Bagi
mereka, anggota dari kumi di luar kelompok bermain adalah orang asing .
Menginjak usia SD, pertemanan kelompok ini mulai memperluas
wilayahnya selain sebagai kelompok bermain. Anak – anak yang berasal dari TK
yang sama cenderung akan bergabung menjadi satu kelompok. Mereka kemudian
akan membentuk kelompok makan siang, kelompok belajar, atau kelompok
tamasya dan sebagainya, yang terbentuk sejak mereka pertama kali menginjak
bangku pendidikan sekolah dasar. Hanya bersama kelompok – kelompok inilah
Pertemanan kelompok semacam ini akan terus berlanjut hingga ke tingkat
SMP, SMA, bahkan universitas dan tempat kerja. Semakin tinggi jenjang
kehidupan yang dimasuki maka semakin ketat dan beragam pula kriteria yang
dituntut agar bisa bergabung dengan satu kelompok tertentu terutama ketika
seseorang menginjak usia remaja. Hal in terlihat jelas di kelompok – kelompok
yang terbentuk semasa SMA, misalnya kelompok murid populer, kelompok murid
murid pandai, kelompok OSIS, bahkan kelompok yang terbentuk karena
anggotanya tergabung dalam satu ekstrakurikuler yang sama.
Akan tetapi tidak semua individu sanggup memenuhi kriteria yang diminta
oleh satu kelompok tertentu supaya dapat menjadi bagian dari kelompok mereka.
Individu – individu inilah yang biasanya akan menjadi korban tindakan ijime.
Ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kriteria kelompok dapat disebabkan
oleh berbagai macam hal, misalnya cacat fisik, prestasi belajar yang standar,
orang yang lemah secara fisik maupun mental, dan sebagainya. Atau dengan kata
lain, korban ijime adalah orang – orang yang berbeda dengan orang – orang di
sekeliling mereka. Terkadang perbedaan itu tidak selalu buruk, ada pula orang
yang dijadikan sasaran ijime karena mereka memiliki kelebihan dalam bakat atau
kepintaran.
Pernyataan di atas diperkuat oleh Merry White dalam Valentina (2008 : 30)
yang merumuskan tiga tipe anak – anak yang umumnya menjadi ijimerakekko
(korban ijime) seperti diuraikan di bawah ini :
1. Anak – anak yang tidak populer bukanlah bagian dari grup manapun;
mereka diasingkan atau ditolak oleh grup – grup yanga ada di dalam
bergaul, selalu terlihat oleh yang lain, atau dengan jelas memaksa untuk
diterima (deshabari). Sebagian lainnya menarik diri dari pergaulan.
Mereka diasingkan karena berbagai macam alasan misalnya karena dicap
sebagai “orang yang sangat menggangu” atau “orang yang lambat”,
“orang yang jorok dan berantakan”, “pembohong”, “bermuka dua”. Akan
tetapi, umumnya mereka menjadi korban karena mereka “berbeda”.
2. Anak – anak ini mungkin memiliki kualitas yang menimbulkan rasa
ccemburu atau persaingan di dalam grup, terutama karena mereka
majime (serius).
3. Anak – anak yang tidak populer adalah mereka dikatakan memiliki
“mental korban (higaisha ishiki)” yang menyebabkan terjadinya ijime.
Menurut Jhon Clammer dalam Valentina (2008 : 31) berpendapat bahwa
bagi masyarakat Jepang yang mementingkan kebersamaan dalam kelompok,
homogenitas individu menjadi sebuah keharusan supaya dapat bertahan hidup
dalam sistem tersebut. Hal ini menyebabkan memiliki perbedaan dengan orang
lain menjadi semacam momok yang manakutkan bagi masyarakat Jepang karena
mereka akan dipaksa untuk menjadi sama atau dikucilkan. Sesuai dengan
peribahasa yang mengatakan deru kugi wa utareru yang berarti paku yang
menonjol harus dipalu. Peribahasa tersebut mengibaratkan orang – orang yang
memiliki perbedaan sebagai sebuah paku yang menonjol. Paku tersebut harus
dibuat sama kedudukannya dengan paku – paku lain dengan cara dipalu. Maka
apabila seseorang berbeda dengan orang lain disekitarnya, dengan cara halus atau
2. Berita yang Dimuat di Media Massa
Munculnya berita – berita mengenai masalah ijime yang serius melalui
media massa seperti berita dengan judul : “Ijime Peristiwa Bunuh diri’ atau
“Peristiwa Pembunuhan Balas Dendam Akibat di Ijime” dan lain – lain ini
memberi kesan kepada para orang tua dan masyarakat lainnya di Jepang bahwa
pendidikan di Jepang sedang mengalami kekacauan. Dengan meluasnya berita
tentang ijime, kata ijime muncul sebagai istilah yang popular. Bukan populer
terhadap kata itu saja, tetapi juga populer di dalam dunia anak – anak karena
melalui acara – acara televisi atau buku cerita bergambar anak, membuat mereka
mengenal apa yang disebut ijime. Banyak acara televisi yang dianggap tidak baik
dan dapat mempengaruhi dunia anak salah satunya adalah acara yang menyangkut
tentang ijime.
Morita Yoji dari sebuah universitas swasta di Osaka, adalah seorang yang
meneliti tentang ijime. Ia mengatakan bahwa berita – berita di media massa
tentang ijime menyebabkan timbulnya masalah masyarakat. Pandangan mengenai
baik buruknya media massa memuat berita ijime dikatakannya bahwa ijime
sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Walaupun ijime itu bukanlah sebuah
tindakan yang baik, tetapi bisa ditemui atau bisa ada di dalam segala lapisan
masyarakat apa saja.
Kalau diibaratkan sebagai sebuah warna, segala perbuatan baik berwarna
putih dan perbuatan yang buruk berwarna hitam sedangkan ijime berwarna abu –
abu. Tetapi karena semakin meluas dan berkembangnya konsep tentang ijime ini,
lama – kelamaan ijime ini cenderung dikelompokkan ke dalam perbuatan buruk
Walaupun ijime itu dikatakan bukan suatu perbuatan yang baik, tetapi sebenarnya
di dalam dunia anak ijime merupakan proses liku – liku kehidupan anak dalam
masyarakat. Misalnya, dengan cara berkelahi anak – anak ingin menunjukkan apa
yang ada pada dirinya. Ada kalanya ia diijime dan ada kalanya ia mengijime. Bagi
anaka itu sendiri, melalui ijime ia belajar menyesuaikan diri di dalam
lingkungannya.
3. Pendidikan Sekolah
Sekolah mempunyai fungsi yang amat dan sangat khusus untuk
menciptakan makhluk baru yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat
karena sekolah merupakan asosiasi yang lebih luas dari keluarga atau teman –
teman. Selain itu sekolah tidak berasal dari hubungan darah, bukan juga dari
pilihan bebas, tetapi dari pertemuan secara kebutuhan dan tidak dapat dielakkan di
antara para murid yang dikumpulkan berdasarkan umur dan berbagai kondisi
sosial yang hampir sama ( Nojuu, 1989 : 20 ).
Selain itu sekolah merupakan tempat untuk anak bertindak secara moral,
yaitu bertindak dengan cara – cara tertentu yang meliputi konsistensi keteraturan
tingkah laku dan wewenang. Yang disebut moral pada dasarnya adalah sesuatu
yang bersifat tetap, sejauh kita berbicara mengenai jangka waktu yang tidak
terlalu panjang, moral itu akan tetap sama dan tidak berubah ( Madubrangti,
1994 : 17 ).
Terdapat jarak yang besar antara moral ketika anak masih berada bersama
keluarga, ketika anak menemukan dirinya dan ketika ia meninggalkan keluarga itu,
pembentukan moral anak. Ada tiga unsur dalam moral, yaitu disiplin, keterikatan
pada kelompok dan otonomi si pelaku. Berarti pembentukan moral anak sekolah
dapat dilihat dalam situasi di dalam kelas, karena kelas adalah suatu kelompok
kecil, berarti tidak satupun dari anggota kecil ini akan bertindak sebagaimana jika
mereka bertindak sendiri – sendiri karena akan mempengaruhi kelompoknya.
Di kelas ada cukup banyak hal – hal yang dapat dilihat dipelihara bersama
dalam kehidupan kolektif kelas, hal ini untuk membangkitkan rasa solidaritas
anak seperti memiliki ide – ide bersama, perasaan besama dan tanggung jawab
bersama.
Sikap anak sekolah di Jepang akhir – akhir ini cenderung untuk tidak
menyukai segala sesuatu bentuk – bentuk aturan yang bersifat keharusan, seperti
disiplin atau aturan – aturan yang diwajibkan oleh guru kelas atau kelompok resmi
di sekolah. Sehingga anak – anak sekolah di Jepang sekarang dengan adanya
semacam tuntutan masyarakat sebagai Gakurekishakai ‘masyarakat beriwayat
pendidikan’ yaitu masyarakat yang menuntut adanya riwayat pendidikan , dimana
anak – anak sekolah dituntut untuk mengejar kemampuan ilmu pengetahuannya
melalui persaingan belajar. Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan oleh guru
maupun orang tua antara lain dengan memberikan pelajaran tambahan atau
menyuruh anaknya mengambil pelajaran tambahan untuk menghadapi ujian
masuk Sekolah Menengah Atas atau Perguruan Tinggi favorit dalam bentuk
persaingan belajar dalam usaha mencapai hensachi ( peringkat prestasi belajar ).
Kemudian karena sangat banyak peraturan serta tuntutan sekolah yang
diberikan kepada murid – muridnya, sehingga apabila murid tidak melakukannya
fisik yang dilakukan oleh gurunya di sekolah maupun oleh orang tuanya di rumah
( Madubrangti, 1994 : 18 ).
Masalah anak sekolah yang sedang hangat dibicarakan orang pada waktu
lalu yaitu masalah Konaiboryoku (kebrutalan anak di sekolah), yang pada saat itu
sedang menjadi pembicaraan hangat di Jepang menjadi tidak begitu menonjol.
Tetapi sebenarnya dengan meradanya masalah konaiboryoku di mata masyarakat
bukan berarti masalah anak dapat diatasi sepenuhnya. Konaiboryoku dilakukan
oleh anak sekolah sebagai salah satu wujud protes anak terhadap aturan – aturan
sekolah yang begitu banyak. Walaupun demikian kebrutalan anak – anak sekolah
di Jepang yang akhir – akhir ini kelihatannya sudah semakin berkurang bukan
berarti mereka sudah sadar untuk tidak melakukan kebrutalan lagi. Tetapi
sebenarnya berkurangnya jumlah kebrutalan anak di sekolah itu karena anak
cemas akan semakin bertambah banyak dan kerasnya peraturan – peraturan
sekolah apabila ia melakukan kebrutalan di sekolah. Selain itu peraturan –
peraturan kecil tentang kehidupan anakpun sudah ditekankan pada anak – anak
dengan memberikan hukuman fisik jika aturan itu tidak dipatuhi.
Akibatnya, cara lain yang dilakukan oleh anak untuk menghindari hukuman
fisik yang diberikan oleh guru maupun orang tuanya ini, memunculkan tindakan
lain yang dilakukan oleh anak sebagai ungkapan protes di dalam dirinya yaitu
dengan melakukan tindakan tokokyohi (tidak mau pergi ke sekolah). Selain itu
mereka cenderung membentuk semacam kelompok yang bersifat protes dengan
cara mengijime seorang teman dari kelompoknya yang dianggap memiliki di
kelasnya. Oleh karena itu anak yang dijadikan sasaran ijime itu mempunyai
sekelasnya atau anak itu adalah anak yang lemah fisiknya. Ijime semacam ini
dilakukan oleh kelompok mayoritas anak – anak sekolah di sekolah yang sama.
4. Lingkungan Keluarga
Cara pendidikan anak tradisional di Jepang dimana ibu secara langsung
memeluk dan mengasuh anaknya sendiri semakin tidak terlihat akibat adanya
perkembangan sarana mendidik anak yang tidak menunjukkan kehadiran ibu turun
tangan secara langsung. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang
mengakibatkan hilangnya hubungan ibu dan anak secara langsung ( Nojuu, 1989 :
68-70 ).
Yamamura Takeaki dari Universitas Rikkyo menjelaskan bahwa anak lahir
dari sebuah keluarga yang merupakan kelompok paling inti di dalam masyarakat
manusia. Di dalam kelompok itulah anak dibesarkan sesuai dengan keberadaan
kelompok itu di dalam masyarakat sebagai satu unit kelompok yang lebih besar
lagi. Ditekankan bahwa perkembangan anak di dalam keluarga sudah
menunjukkan sifat bermasyarakat dan sifat bermasyarakat yang ada pada anak itu
bukan dimulai dari adanya tahap – tahap perkembangan setelah anak itu lahir
tetapi perkembangan itu sudah ada dengan sendirinys sejak bagitu anak dilahirkan
oleh ibunya.
Ciri ideal kehidupan keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi
kehangatan, kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Tetapi kenyataan
memperlihatkan bahwa berbagai macam bentuk kekerasan serius terjadi dalam
konteks keluarga. Seperti dikemukakan Gelles dalam Annisa (2005 : 34) pada
dibinuh, diserang secara fisik, dipukul, dihajar, ditampar, atau ditempeleng oleh
anggota keluarganya sendiri daripada oleh orang lain di tampat lain”.
Anak – anak yang dianiaya oleh anggota keluarganya mungkin tidak
mengungkapkan pengalamannya kepada orang lain karena tidak ingin dianggap
sebagai pendusta atau pembuat masalah. Karena statusnya sebagai anggota yang
relatif tak berdaya dalam sistem keluarga, anak paling beresiko menjadi sasaran
perilaku agresif orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua. Seperti
dikemukakan Tedechi, dkk dalam Annisa (2005 : 34) “orang – orang yang amat
jarang menggunakan paksaan terhadap orang lain menganggap anaknya sebagai
pengecualian.
Orang tua tunggal dan ibu – ibu remaja juga lebih berkemungkinan
menganiaya anak – anaknya secara fisik. Begitu juga orang tua yang memiliki
masalah penggunaan alkohol dan obat terlarang ( Wiehe dalam Annisa, 2005 : 35).
Selain itu juga ditemukan bahwa orang tua yang menganiaya anak – anak secara
fisik memiliki harapan tidak realistis terhadap kemampuan kontrol diri dan
kemandirian anaknya. Kekurangan sumber keuangan dan dukungan sosial juga
menjadi pemicu dari kekerasan terhadap anak.
Akibat menderita kekerasan fisik yang tentunya menderita sakit badaniah
akibat tindakan yang dilakukan orang tua merupakan pengalaman yang sangat
buruk bagi anak. Dengan demikian tidak mengejutkan bila banyak diantara anak
– anak itu mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang
pada kesehatan psikologis, fungsi dalam hubungan sosial, dan perilaku sosial
mereka secara umum. Penilaian diri yang rendah, kecemasan, perilaku merusak
orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa anak – anak yang
lazim dilaporkan (Miller, dkk 1999 : 65). Pengalaman penganiayaan fisik ini
berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan perilaku menyimpang pada
anak yang bersangkutan dan meningkat sampai beranjak dewasa, terutama pada
remaja laki – laki (Englander, 1997 : 27). Karena tekanan dari orang tua, remaja
tersebut meluapkannya kepada teman – temannya yang secara fisik berbeda dari
yang lain. Ia akan terus melakoni tindak ijime secara terus – menerus.
Sejumlah anak yang diabaikan diperkirakan akan tumbuh menjadi pelaku
ijime yang agresif. Ketiaadaan akan perhatian dan kehangatan terhadap anak,
bersamaan dengan contoh perilaku menyimpang di rumah dan pengawasan yang
kurang terhadap anak, menyediakan kesempatan yang sempurna akan terjadinya
perilaku ijime (Loeber, dkk, 1998 : 53). Contoh perilaku menyimpang seperti
kekerasan fisik dan kekerasan secara lisan orang tua terhadap anaknya atau
menggunakaan kekerasan fisik terhadap satu sama lain. Karena anak sering
melihat kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya dapat dipastikan bahwa
perilaku penyimpangan oleh anak ketika ia beranjak remaja maka sebagian akan
ditirunya dari yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut (Jaffe, dkk dalam Annisa,
2005 : 36).
Orang tua yang berpura – pura tidak melihat tabiat buruk anaknya mungkin
memanjakan anak dengan cara lain. Orang tua memberikan terlalu banyak kasih
sayang yang salah. Anak – anak menjadi terhambat perkembangannya. Anak
seperti ini lalu terlalu banyak bergantung pada “pengabdian” yang diterimanya di
rumah sehingga tidak memiliki kepercayaan pada dirinya. Agar diterima dan
terhadap apapun yang dikatakan kepadanya. Tetapi dia tidak pernah yakin apakah
berbuat benar atau salah akibatnya lalu menjadi cemas, yaitu merasa takut dan
tegang. Baginya dunia merupakan tempat yang menakutkan dan manusia
merupakan makhluk hidup yang tidak dapat dipercaya.
Keluarga Jepang saat ini, yang populer di kalangan pekerja kota biasanya
mereka hidup dan tinggal di flat kecil terdiri dari dua kamar tidur dan satu dapur.
Tetapi meskipun demikian, perabotan rumah tangganya lengkap dan berupa
perabotan listrik. Pada tahun 1960-an mereka hanya menginginkan kulkas, mesin
cuci, dan alat penyedot debu. Tetapi lama – kelamaan, keinginannya itu
meningkat seperti AC, TV berwarna dan mobil. Untuk memenuhi keinginannya
ini, biasanya suami istri bekerja. Dalam bahasa Jepang, suami istri yang bekerja
disebut Tomokasegi.
Di lain pihak karen terlalu banyak menggunakan perabotan elektronik di
dalam rumah tangga membuat jam kerja berkurang (terutama untuk istri). Dengan
berkurangnya jam kerja, banyak istri yang menganggur. Biasanya para istri yang
menganggur menghabiskan waktu senggangnya dengan memusatkan perhatian
kepada pendidikan anak. Hal ini dikenal dengan istilah Kyooiku Mama.
Dalam Kyooiku Mama ini, ibu memiliki peranan yang sangat penting
terhadap pendidikan anak. Anak – anak dididik dengan keras dan disiplin yang
kuat. Tentu saja hal ini dilakukan demi kebahagiaan anak di masa mendatang
tetapi di lain pihak tanpa disadari mempunyai dampak buruk yang timbul dalam
diri si anak yang bersangkutan.
Karena disiplin dan ketatnya jam pelajaran, membuat waktu bermain hampir
hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya atau juga karena ia merasa takut
dimarahi orang tuanya. Perasaan tertekan ini tertimbun dalam diri si anak,
meskipun ia melakukan tugas – tugasnya dengan baik. Di dalam rumah anak –
anak memang patuh terhadap orang tua tetapi jika berada di luar rumah, mereka
berontak dan melampiaskan kkketegangan mereka dengan melakukan tindakan
kekerasan di sekolah (booryoku).
Dampak lain dari Kyooiku Mama adalah timbulnya rasa bersaing dalam diri
anak karena selama ia dididik ibunya selalu menekankan agar anaknya masuk
pergurungan tinggi no. 1. Perasaan bersaing ini akan terbawa terus. Hal inilah
yang membuat orang Jepang ddijuluki sebagai masyarakat yang tidak bisa lepas
dari rasa bersaing (Kyoosho Shakai). Karena memang orang Jepang selalu
menerima status orang lain melalui pendidikannya yang dalam istilah Jepang
disebut Gakurei Shakai.
Banyak suami istri yang bekeeerja di luar yang berarti meninggalkan anak –
anaknya di rumah. Maka timbullah masalah yang disebut Kagikko (anak pembawa
kunci). Maksudnya adalah anak diberi tugas membawa kunci rumah dan
membukakan pintu jika orang tuanya pulang dari bekerja. Setelah sekolah seorang
anak pulang dengan perasaan hampa karena tidak ada seorang pun yang akan
menyambut kedatangannya. Ia hanya ditemani oleh acara – acara TV saja
sehingga tidak ada pengawasan dari orang tua khususnya ibu. Sehingga acara TV
yang ia tonton terkadang membawa pengaruh yang buruk terhadap anak. Hal ini
juga dapat dianggap sebagai hal – hal yang berkaitan dengan tindakan
2.3
Bentuk – Bentuk
Ijime
di Jepang
Tujuan utama dari tindakan ijime adalah menganiaya secara mental. Akan
tetapi sering pula tindakan ijime juga melibatkan penyiksaan fisik yang mengarah
pada tindakan kriminal. Menurut Murakami (1993:149-150) membagi
bentuk-bentuk ijime ke dalam dua kelompok yaitu:
1. Penganiayaan mental dalam bentuk perbuatan mengancam,
memberikan nama julukan dengan tujuan mengolok-olok
korban, tidak mengikutsertakan korban dalam kegiatan
kelompok serta menjadikan korban sebagai objek
bulan-bulanan secara terus menerus di hadapan khalayak ramai yang
menyebabkan korban ijime merasa dipermalukan dan kemudian
timbul perasaan ,rendah diri. Beberepa nama julukan yang
umum digunakan antara lain baikin ( kuman ), shine ( mati lo! )
dan kusai ( dasar bau ).
2. Penganiayaan fisik dalam bentuk menjambak rambut,
menyiram air kotor ke sekujur tubuh korban, menampar,
melakukan pelecehan seksual, dan sebagainya.
Sedangkan Barbara Coloroso (2006:47-50) memaparkan bentuk-bentuk
ijime ke dalam 4 kelompok, yaitu:
1. Ijime verbal berupa julukan nama seperti antara lain baikin
(kuman), shine (mati lo!), celaan, fitnah, kritik kejam, makian,
penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial),
pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi,
tuduhan-tuduhan yang tidak benar, gossip dan lain sebagainya.
2. Ijime secara fisik berupa memukuli, mencekik, menyikut,
meninju, menendang, menggigit, mencakar serta meludahi
korban yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan,
merusak serta menghancurkan barang-barang milik korban
yang tertindas.
3. Ijime secara relasional (pengabaian) yaitu pelemahan harga diri
si korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan,
pengecualian atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup
sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan agresif,
lirikan mata, helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa
yang meengejek dan bahasa tubuh yang kasar.
4. Ijime elektronik yaitu perilaku ijime yang dilakukan melalui
sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet,
website, chattingroom, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya
digunakan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan,
animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya
mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan.
2.4
Contoh Kasus yang Berkaitan dengan
Ijime
Kasus I
Di Jepang tepatnya di Fukuoka seorang siswa murid SMP berusia 13 tahun
teman sekelasnya. Dia meninggalkan catatan yang membuktikan dan
mengklarifikasi fakta bahwa dia merasa putus asa dari kekejaman ijime. Sebab dia
selalu dipaksa untuk merendamkan wajahnya ke dalam air sungai yang kotor,
bahkan sepedanya rusak berulang kali dan teman sekelasnya menuntut agar ia
selalu memberikan uang kepada mereka sebesar 1000 yen setiap harinya. Karena
tindakan ijime ini terus menerus dilakukan oleh temannya sehingga ia melakukan
bunuh diri sebagai bentuk penyelesaiannya (Fredman : 1995).
Kasus II
Pada tanggal 2 November 1984, diketemukan mayat seorang pelajar yang
berusia 18 tahun, bernama Yoshiaki Kamazawa di sebuah sungai di area Tenma.
Kepala korban telah dipukuli berkali – kali dengan palu dan kedua matanya telah
dicungkil keluar. Dari penyelidikan yang dilakukan, diketahui bahwa yang
membunuh Yoshiaki adalah 2 teman sekelasnya. Mereka ditangkap dan mengaku
bahwa mereka membunuh Yoshiaki karena mereka ingin membalas dendam. Apa
yang melatar belakangi hingga timbul balas dendam, dari data yang diperoleh
menunjukkan bahwa mereka berdua selama berbulan – bulan telah diperdayai
oleh Yoshiaki.
Mereka dijadikan pesuruh dan sering diperintahkan untuk menyerang
pelajar lain. Jika hal ini tidak dilakukan, mereka mendapat siksaan dari Yoshiaki
dengan bertubi – tubi. Pernah suatu hari Yoshiaki mengendarai sepeda
menyusulnya. Kalau tidak berhasil mereka akan dipukuli.
Mereka berdua telah beberapa kali mengadukan perbuatan Yoshiaki kepada
guru – guru mereka tersebut. Bahkan guru mereka bersikap pura – pura tidak tahu
kejadian tersebut sewaktu ditanya.
Peristiwa yang menyakitkan mereka hingga mereka timbul perasaan ingin
membunuhnya adalah peristiwa dimana Yoshiaki memaksa mereka melakukan
maasturbasi di depan teman – teman sekelas lainnya.
Tidak tahan dengan perlakuan yang dilakukan Yoshiaki, maka mereka
sepakat untuh membunuh Yoshiaki demi mengakhiri penderitaan mereka sebagai
korban ijime. Mereka memanggil Yoshiaki ke taman, setelah berhasi mengajak
Yoshiaki ke taman, keduanya bergantian memukul kepala Yoshiaki dengan palu.
Seolah takut Yoshiaki akan bangun kembali, salah satu dari mereka mencungkil
keluar bola mata Yoshiaki dengan menggunakan ujung palu yang sama dan