• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMIKIRAN M. DIN SYAMSUDDIN MENGENAI HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMIKIRAN M. DIN SYAMSUDDIN MENGENAI HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

30

MENGENAI HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

A. Biografi M. Din Syamsuddin

M. Din Syamsuddin, nama aslinya adalah Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, lebih populer dengan nama M. Din Syamsuddin (selanjutnya disebut Din saja). Din dilahirkan di Sumbawa Besar, Mataram, NTB pada tanggal 31 Agustus 1958.

Masa kecil Din tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Ketika umurnya menginjak usia empat tahun, ia mulai diajarkan al-Qur’an oleh ayahnya. Selain itu, Din juga sudah mulai diajarkan mengenai ibadah seperti shalat, puasa, dll., dalam usia dini.

Jenjang pendidikan formal Din dimulai Sekolah Dasar di kampungnya, selesai tahun 1969. Tahun yang sama, Din melanjutkan pendidikan di Pondok Modern Gontor, Ponorogo Jawa Timur hingga tahun 1975. Setelah itu, Din hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studi di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) tamat 1982. Kemudian mendapat beasiswa dari Fullbright untuk melanjutkan studi di Universitas of

(2)

California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat hingga meraih gelar Doktor pada tahun 1991.1

Aktivitas sosial-politik Din diawali dengan aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) ketika masih nyantri di Gontor hingga hijrah ke Jakarta. Selanjutnya, Din aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari tingkat Komisariat hingga tingkat Pusat (DPP).

Din terus menekuni karier organisasinya di Muhammadiyah hingga ia terpilih menjadi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 1989-1992. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 2000 di Jakarta, Din terpilih sebagai formatur dengan suara terbanyak kedua setelah Ahmad Syafi’i Ma’arif. Puncak kariernya di Muhammadiyah pada Muktamar ke-44 tahun 2005 di Malang, Din terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk periode 2005-2010.

Selain di Muhammadiyah, Din juga pernah aktif di Golkar sebagai Ketua Departemen LITBANG DPP Golkar (1993-1998) dan Wakil Sekretaris Jenderal (1998-1999), Wakil Dewan Penasehat ICMI Pusat (1995-2000), anggota Dewan Riset Nasional, anggota Dewan Kehormatan PWI, dan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (BINAPENTA) Departemen Tenaga Kerja RI (1998-2000). Di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, setelah sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris, sekarang dipercaya sebagai salah satu ketua.2

1

M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hlm. 263.

(3)

Sedangkan karier akademik yang Din tekuni selain sebagai dosen Fakutlas Ushuluddin dan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga sebagai Ketua Program Pascasarjana Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Din juga mengajar sebagai dosen Program Pascasarjana di beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.

Din juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Selain tulisan-tulisannya telah diterbitkan dalam beberapa buku, Din juga pernah aktif menulis di

Jurnal Ulumul Qur’an, Suara Muhammadiyah, Tempo, Panji Masyarakat,

dan beberapa media nasional lainnya baik Jurnal, Majalah maupun surat kabar. Din juga aktif di seminar-seminar maupun simposium baik di tingkat nasional hingga tingkat internasional baik sebagai delegasi ataupun sebagai pembicara/penceramah.

B. Pemikiran Politik Islam M. Din Syamsuddin Secara Umum

Jika mengamati pemikiran Din mengenai politik Islam, baik dalam tulisan-tulisannya maupun komentar-komentarnya, maka dapat diketahui suatu rumsuan bahwa menurut Din negara merupakan lembaga politik sebagai manifestasi dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Eksistensi negara, dalam hal ini meniscayakan adanya perpaduan, meminjam istilah Hegel, antara ‘kebebasan subyektif’ (subyektif liberty), yaitu kesadaran dan kehendak individual untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan ‘kebebasan objektif’ (objektive liberty), yaitu kehendak umum yang bersifat mendasar.

(4)

Sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, negara memerlukan pemberlakuan hukum (law enforcement). Oleh karena itu, menurut Din dengan mengutip doktrin dasar negara sebagaimana yang diungkapkan Immanuel Kant, adalah negara berdasarkan hukum dan bertujuan untuk menciptakan perdamaian abadi.3

Konsepsi tentang negara dan pemerintahan sendiri telah menimbulkan diskusi panjang di kalangan pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup panjang dan tidak hanya berhenti pada dataran teoritis konsepsional, namun juga memasuki wilayah politik praktis. Karenanya, acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam.

Menurut Din, perbedaan pandangan selain disebabkan oleh faktor sosio-historis dan sosio-kultural yakni perbedaan latar belakang sejarah dan sosial-budaya umat Islam juga disebabkan oleh faktor yang bersifat teologis, yaitu tidak adanya keterangan tegas tentang negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam (al-Qur’an dan hadits).4

Din sendiri memandang bahwa terdapat beberapa istilah yang sering dihubungan dengan konsep negara Islam, seperti khilafah, dawlah, atau

hukumah. Namun menurut Din istilah-istilah tersebut berada dalam kategori

ayat dzaniyah yang memungkinkan penafsiran al-Qur’an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk negara, konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan dan ide tentang konstitusi.

3

M. Din Syamsuddin, op.cit., hlm. 57. 4

(5)

Menurut Din, perbedaan tentang negara dan pemerintahan dapat dilacak sejak Nabi Muhammad s.a.w. wafat. Terdapat perbedaan pandangan tentang masalah suksesi kepempinan yang terjadi di sekitar kewafatan Nabi Muhammad s.a.w. Walaupun sebagai umat Islam (kelompok Syi’ah) meyakini bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah mewariskan kepemimpinannya kepada Ali bin Abi Thalib melalui periswa Ghadir Khum, namun sebagian besar yang lain (kelompok Sunni) menganggap bahwa peristiwa tersebut tidak berhubungan dengan suksesi kepemimpinan, dan Nabi Muhammad s.a.w. tidak menentukan modus suksesi kepemimpinan.5

Perbedaan pandangan tentang negara dan pemerintahan di kalangan pemikir muslim, juga disebabkan oleh perbedaan persepsi mereka tentang esensi kedua konsep tersebut. Sebagian memandang bahwa keduanya; negara dan pemerintahan berbeda secara konseptual, pemerintahan adalah corak kepemimpinan dalam mengatur kepentingan orang banyak (berhubungan dengan bentuk atau format politik), sedangkan negara sebagai wadahnya.

Sebagai konsekuensinya, pembicaraan tentang negara dan pemerintahan dapat dilakukan secara terpisah seperti membicarakan strategi dan penyelenggaraan dan pengisian pemerintahan tanpa mempersoalkan bentuk negara. Sebagian yang lain memandang bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, sehingga pembicaraan tentang pemerintahan tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang negara.

5

(6)

Selanjutnya Din mengungkapkan bahwa permasalahan menjadi lebih rumit jika dikaitkan dengan suatu kenyataan bahwa konsep negara adalah konsep modern yang datang dari Barat, yang tidak ada presedennya dalam sejarah Islam. Menurut perspektif Barat, negara disebut negara bangsa (nation state), terbentuk atas dasar solidaritas kebangsaan. Negara adalah fenomena modern yang terbentuk sebagai manifestasi nasionalisme yang melanda dunia pada paruhan abad ke-20.

Menurut Din, kendati Islam mengakui eksistensi bangsa dan suku-bangsa, karenanya wawasan kebangsaan tidak bertentangan dengan wawasan keislaman, namun bentuk ekstrem dari rasa kebangsaan (nasionalisme) yang mendasari pelembagaan negara-bangsa dapat menjadi persoalan jika dihadapkan dengan universalisme Islam. Hal inilah yang menurut Din menjadi alasan bagi kalangan yang menolak konsep negara-bangsa, dan kemudian mencari bentuk negara dalam khasanah sejarah Islam.6

Din sendiri mengakui bahwa perdebatan tentang ada atau tidak adanya Negara Islam merupakan pengulangan dari polemik klasik di kalangan pemikir politik Islam. Walaupun konsep negara (dalam pengertian nation

state) baru berkembang belakang, bersamaan dengan masuknya ide dan

lembaga politik Barat melalui penjajahan di Dunia Islam, tetapi pembicaraan tentang bentuk pemerintahan Islam sudah menjadi wacana di kalangan para teoritis politik Islam sejak abad pertengahan. Pemikiran politik Islam itu

6

(7)

sendiri merupakan pencarian landasan intelektual bagi bentuk pemerintahan yang ideal bagi masyarakat Islam.7

Selanjutnya, Din berpendapat bahwa sistem khilafah yang selama ini dianggap pola ideal sistem pemerintahan/negara Islam sebagaimana yang disuarakan oleh kalangan yang menawarkan sistem pemerintahan Islam yang mandiri, sebenarnya bukanlah satu-satunya sistem pemerintahan yang ideal. Dari perspektif teologis, sistem khilafah menurut Din tidak memiliki akar yang kuat berdasarkan dalil naqli yang jelas. Sedangkan dari perspektif historis, sistem kekhilafahan mengalami transformasi konseptual. Konsep kekhalifahan yang dikaitkan dengan posisi khalifah sebagai banyangan Tuhan di muka bumi, sehingga kekhalifahan mengandung dimensi kedaulatan Ilahi, adalah legitimasi terhadap kekuasaan.8

Islam menurut Din tidak menetapkan bentuk tertentu tentang sistem kenegaraan atau pemerintahan, tetapi hanya membawa prinsip-prinsip dasar untuk kehidupan kenegaraan yang baik dan berwawasan etika dan moral. Dengan demikian, sistem kenegaraan modern republik dapat menjadi salah satu bentuk kenegaraan yang ideal bagi umat Islam, selama penyelengaraannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sebagai hal yang berada dalam bidang muamalat, kehidupan politik merupakan wilayah yang memerlukan ijtihad dan proses rasionalisasi bagi kemaslahatan kemanusiaan. Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh dalam bentuk ijtihad kolektif untuk menggali etika dan moralitas Islam

7

Ibid., 76. 8

(8)

sebagai bahan substansi agama ke dalam kehidupan politik. Fungsi pemikiran politik menurut Din, bukanlah untuk membuat spekulasi normatif ataupun deduksi empirik dengan melakukan idealisasi ataupun teoritisasi belaka, tetapi mengelaborasi nilai-nilai agama untuk pembangunan kehidupan politik yang lebih demokratis, berkeadilan, dan berkeadaban.9

Dengan demikian, sebenarnya Din hendak menunjukkan fakta yang menunjukkan bahwa tidak cukup kuat untuk menunjukkan adanya konsep negara dalam Islam yang baku, baik dengan merujuk sumber utama Islam ataupun melihat gagasan dari para pemikir politik Islam yang memberikan formula beragam. Istilah seperti khilafah, dawlah, atau hukumah yang disebutkan dalam al-Qur’an merupakan ayat dzaniyah yang memungkinkan penafsiran beragam.

C. Pemikiran M. Din Syamsuddin mengenai Hubungan Agama dan Negara Sebelum Din mengajukan gagasannya mengenai gambaran ideal hubungan negara dengan agama, Din mengawalinya dengan mengekplorasi bahwa dalam pemikiran politik Islam terdapat banyak paradigma tentang agama dan negara. Nuansa di antara paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut.

Menurut Din, bahwa dalam rujukan Islam sendiri terdapat istilah-istilah yang membedakan secara dikotomis antara urusan dunia dan akhirat. Din menyatakan:

9

(9)

“… Kendati Islam sebagai agama yang memiliki totalitas, dalam pengertian meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia, termasuk politik, namun sumber-sumber Islam juga mengajukan pasangan istilah seperti dunya-akhirat (dunia-akhirat), din-dawlah (agama-negara), atau umur al-dunya-umur al-din (urusan dunia-urusan agama). Pasangan istilah-istilah tersebut menunjukkan adanya perbedaan konseptual dan mengesankan adanya dikotomi….”10

Namun demikian Din, memandang perlunya pemerintahan merupakan sebuah keniscayaan, dan hampir semua ulama politik bersepakat bahwa hal demikian adalah kewajiban sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat baik dalam urusan keagamaan maupun keduniaan. Perdebatannya hanyalah apakah kewajiban itu berdasarkan syari’ah, yaitu bahwa syari’ah mewajibkan pembentukan pemerintahan, ataukah berdasarkan akal pikiran, yakni bahwa eksistensi pemerintahan merupakan hukum alam dan konsekuensi logis dari keberkelompokkan manusia. 11

Kedua pendapat tersebut menurut Din sama benarnya, karena menurut logika dan pertimbangan rasional umat manusia memerlukan institusi untuk mengatur kehidupan kolektif mereka, sehingga perlu ada ‘yang memerintah’ (the ruler atau al-rai) dan ‘yang diperintah’ (the ruled atau al-ra’iyyah). Din juga menyebutkan bahwa banyak ayat al-Qur’an yang mengisaratkan perlunya kepemimpinan atau kekuasaan politik, seperti yang disebutkan dalam surat al-Nisa’ (4) ayat 59:

ﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

ٍﺀﻲﺷ ﻲِﻓ ﻢﺘﻋﺯﺎﻨﺗ ﹾﻥِﺈﹶﻓ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ِﺮﻣﹶﺄﹾﻟﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃﻭ ﹶﻝﻮﺳﺮﻟﺍ ﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃ

ﺎﹰﻠﻳِﻭﹾﺄﺗ ﻦﺴﺣﹶﺃﻭ ﺮﻴﺧ ﻚِﻟﹶﺫ ِﺮِﺧﺂﹾﻟﺍ ِﻡﻮﻴﹾﻟﺍﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ ﹶﻥﻮﻨِﻣﺆﺗ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﹾﻥِﺇ ِﻝﻮﺳﺮﻟﺍﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﹶﻟِﺇ ﻩﻭﺩﺮﹶﻓ

.

10 Ibid., 57-58. 11

(10)

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 59).12

Kemudian surat al-An’am (60) ayat 165 yang menyatakan:

ﻢﹸﻛﺎﺗﺍَﺀ ﺎﻣ ﻲِﻓ ﻢﹸﻛﻮﹸﻠﺒﻴِﻟ ٍﺕﺎﺟﺭﺩ ٍﺾﻌﺑ ﻕﻮﹶﻓ ﻢﹸﻜﻀﻌﺑ ﻊﹶﻓﺭﻭ ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ ﻒِﺋﺎﹶﻠﺧ ﻢﹸﻜﹶﻠﻌﺟ ﻱِﺬﱠﻟﺍ ﻮﻫﻭ

ﻢﻴِﺣﺭ ﺭﻮﹸﻔﻐﹶﻟ ﻪﻧِﺇﻭ ِﺏﺎﹶﻘِﻌﹾﻟﺍ ﻊﻳِﺮﺳ ﻚﺑﺭ ﱠﻥِﺇ

.

“Dan Dialah yang Menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia Mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang Diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S. al-An’am [6]: 165).13 Mengenai bentuk pemerintahan yang ideal menurut Islam di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Beberapa konsep yang pernah dipraktekkan dalam sejarah dan dianggap memiliki landasan teologis ternyata tidak luput dari persoalan. Persoalan terletak pada derajat mewakili (representativeness) konsep-konsep tersebut akan nilai-nilai ideal Islam, baik pada dataran konseptual maupun dataran praksisnya. Selain itu, persoalan juga muncul mengenai apakah konsep-konsep itu memiliki sandaran naqliyah yang jelas dalam al-Qur’an maupun al-hadits. Din menyatakan:

“… Terdapat banyak istilah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang sering yang dapat dikaitkan dengan konsep negara dan pemerintahan, bahkan istilah-istilah tersebut menjadi dasar bagi bentuk negara atau pemerintahan bagi umat Islam. Istilah-istilah yang biasa digunakan

12

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Diponegoro, 2005, hlm 87.

(11)

untuk menyebut negara dalam Islam yaitu daulah, khilafah atau

imamah, dan hukumah….” 14

Selanjutnya, Din mengemukakan bahwa dalam membicarkan tentang negara dan pemerintahan hendaknya diarahkan pada dua tujuan. Pertama, menemukan idealitas Islam tentang negara atau pemerintahan (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan “apa bentuk negara menurut Islam”. Kedua, melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelengaraan negara atau pemerintahan (menekankan aspek praksis dan substansial), yaitu mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana isi negara menurut Islam”.15

Jika pendekatan pertama bertolak dari anggapan bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara dan pemerintahan, maka pendekatan kedua bertolak dari anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara dan pemerintahan, tapi hanya membawa prinsip-prinsip dasar berupa nilai etika dan moral. Menurut Din, dalam kaitan ini paling tidak terdapat tiga paradigma tentang pandangan Islam tentang negara.

Pertama, adalah paradigma integratif, yaitu adanya integrasi antara

Islam dan negara. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara didasarkan atas ‘kedaulatan Ilahi’ (divine suvereignth), karenanya memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.

14

M. Din Syamsuddin, op.cit.,, 77. 15

(12)

Paradigma ini meniscayakan adanya negara bagi umat Islam dalam corak negara teokratis, biasanya dengan menegaskan Islam (syari’ah) sebagai konstitusi negara dan modus suksesi kepemimpinan cenderung bersifat terbatas dan tertutup. Negara dalam hal ini dapat mengambil berbagai bentuk monarki maupun republik dan dalam prakteknya cenderung menisbatkan diri dengan Islam secara formal, yaitu dengan menyebut diri sebagai negara Islam.

Kedua, paradigma simbiotik, yang memandang bahwa agama dan

negara berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.

Paradigma ini juga meniscayakan adanya lembaga negara bagi umat tapi dengan corak yang demokratis melalui pendirian lembaga-lembaga demokrasi parleman dan dengan modus suksesi kepemimpinan yang memberi kesempatan pada partai politik rakyat. Negara dapat mengambil bentuk monarkhi (konstitusional) maupun republik dan lain-lain. Penisbatan Islam Islam dengan negara bersifat dapat bersifat formal maupun substansial, yaitu dengan memberi tempat bagi agama dalam konstitusi dan kehidupan bernegara.

Ketiga, paradigma sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan

integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara yang dalam konteks Islam paradigma sekularistik menolak pendasaran

(13)

negara kepada Islam, atau menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.

Paradigma ini juga menolak anggapan bahwa Islam membawa prinsip-prinsip dasar tentang kehidupan bernegara atau politik. Paradigma ini tidak terlalu peduli kepada bentuk negara konstitusi maupun modus suksesi, berdasarkan pada suatu anggapan bahwa Islam tidak menentukan format tunggal tentang. Paradigma ini juga memandang bahwa aktifitas umat Islam berada pada tataran kultural yaitu mengembangkan landasan budaya bagi terwujudnya masyarakat utama sesuai nilai-nilai Islam yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara.16

Setelah menegemukakan paradigma mengenai hubungan agama dan negara dalam Islam yang berkembang di kalangan ulama, selanjutnya Din mengajukan gagasan relasi yang ideal agama-negara dengan argumentasi-argumentasi dan mencari relevansi terhadap Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Secara tegas Din menyatakan:

“Secara subtantif negara Pancasila adalah negara Islami. Hal ini didasarkan tidak hanya pada kenyataan Pancasila itu sendiri mengandung substansi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti tauhid, kemanusiaan, persaudaraan, demokrasi, dan keadilan, tapi juga pada kenyataan lain bahwa dalam negara Pancasila agama memiliki tempat yang tinggi”.17

Walaupun sering dikemukakan bahwa Negara Pancasila bukan negara agama (dalam pengertian teokratis) tapi bukan pula negara sekular (dalam pengertian adanya pemisahan antara gatra agama dan gatra politik), namun

16

Ibid., 58-63. 17

(14)

Din menegaskan bahwa Negara Pancasila adalah negara demokrasi yang bersifat keagamaan. Menurut Din, di Indonesia, agama mempunyai tempat yang terhormat. Hal ini tidak hanya didasarkan pada adanya jaminan konstitusional bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk beragama dan memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama-agama untuk menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing, tapi juga pada pengakuan instrumental melalui asas pembangunan, dan agama merupakan landasan spiritual, etia moral bagi pembangunan itu sendiri.

Agama menurut Din sangat potensial untuk mendukung pembangunan. Din menyatakan:

“… Agama juga memiliki beberapa kemungkinan fungsi terhadap pembangunan. Pertama, agama merupakan sumber motivasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang dapat mendorong dan menggugah manusia dan masyarakat untuk membangun. Kedua, agama merupakan sumber inspirasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang dapat menyumbang nilai dan ide bagi pembangunan. Ketiga, agama merupakan sumber evaluasi bagi pembangunan, yaitu bahwa agama dapat dijadikan sebagai alat ukur dan bahkan alat kritik untuk kebaikan proses pembangunan.18

Aktualisasi fungsi-fungsi agama di atas menurut Din meniscayakan aktivisme politik yang menekankan substantifikasi etika, moralitas dan spiritualitas keagamaan ke dalam proses pembangunan merupakan pilihan dan alternatif terbaik terhadap kecenderungan penekanan lambang keagamaan secara berlebihan.

18

(15)

Agama sendiri menurut Din memiliki watak profetiknya yang universal. Misi profektik dan etika agama membawa beberapa konsekuensi logis tentang fungsi agama bagi kehidupan manusia, yang hendaknya menjadi ruh dalam pembangunan. Menurut Din ada tiga fungsi profetik agama yang universal:

“… Pertama, agama berfungsi mengarahkan kehidupan kepada suatu

paradigma etik dan moral yang ideal. Kedua, agama berfungsi mengawasi kehidupan dan penyelewengan dan penyimpangan nilai etika dan moral. Ketiga, agama berfungsi mengembangkan paradigma etik dan moral tersebut dalam berbagai gatra kehidupan manusia dan sesuai dinamika kebudayaan.”19

Menurut Din, pengaitan agama dan politik tidak dapat dielakkan. Sejarah agama-agama menunjukkan bahwa umat beragama tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan politik. Oleh karena itu, keterlibatan umat beragama dalam pembangunan sebuah negara memerlukan mekanisme proporsional yang menjamin keberadaan dan peran masing-masing dalam konfigurasi kemajemukan.

Selanjutnya, menurut Din bahwa relasi negara-agama seperti di Indonesia memberi tempat bagi demokrasi, walaupun dalam keterbatasan. Din menyatakan:

“… Lembaga demokrasi, dalam hal ini, mengambil bentuk perwakilan lewat apa yang disebut ahl hali wal aqdi yang mempunyai otoritas untuk memilih atau melegitimasi pemerintah. Salah satu tugas pokok dari lembaga ini adalah melakukan musyawarah (syura untuk mencapai kemufakatan/ijma)”.20

Kedaulatan rakyat lewat permusyawaratan dan perwakilan semacam itu menjadi kesepakatan di kalangan ulama politik Islam masa klasik, walupun di

19

Ibid., 45. 20

(16)

kalangan pemikir-pemikir modern terdapat perbedaan pendapat tentang bentuk lembaga perwakilan. Hanya saja mereka tidak bersepakat tentang modus dan mekanisme suksesi kepemipinan, antara pengangkatan dengan suara bulat (aclamation), penunjukkan (designation) ataukah pemilihan (selection).

Esensi demokrasi adanya kekuasaan di tangan rakyat yang diartikulasikan lewat lembaga musyawarah adalah sentral dalam dalam politik Islam. Pandangan ini menurut Din juga dapat dijelaskan dari perspektif prinsip tauhuid.

Menurut Din bahwa implementasi tauhid sebagai proses dari bawah. Setiap manusia perlu menyatakan eksistensi dirinya menjadi manusia yang mampu menginternalisasikan kekuatan-kekuatan Tuhan pada dirinya. Dari individu yang seperti inilah akan lahir masyarakat ideal. Manusia dan masyarakat dipandang sebagai yang mempunyai kekuatan untuk mewujudkan masyarakat ideal tersebut. Kemahakuasaan Tuhan tidak berarti bahwa kedaulatan di tangan-Nya, karena Dia telah mendelagasikan kekuasan kepada manusia untuk menentukan dan mengembangkan sistem kehidupan, termasuk sistem politik. Sistem politik tersebut tentu lebih bercorak demokratis ketimbang teokratis. Kecenderungan demokratis, dengan demikian merupakan hak asasi manusia. Karenanya, demokratisasi perlu ditegakkan, yang merupakan bagian dari amar makruf nahi munkar.21

21

(17)

Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa menurut Din hubungan ideal negara-agama adalah bagaimana agama dan negara saling melengkapi dan saling mendukung. Agama mendapat tempat dalam negara karena dapat berfungsi sebagai bingkai pembimbing moral dan etika. Sebaliknya, dengan negara agama akan lebih mudah berkembang di masyarakat. Negara Indonesia menurut Din merupakan contoh hubungan yang saling menguntungkan antara agama dan negara.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terbit sebagai dimaksud

Harga tentu saja salah satu unsur yang sangat menentukan kondisi berbelanja dan Sujarwo memperlihatkan gejala yang sangat khas bahwa di satu pihak sosok pembeli tidak

Metode yang didasarkan pada turunan parsial kedua dan ketiga dari energi bebas Helmholtz terhadap jumlah mol masing-masing komponen ini, sangat membantu untuk

Gambar 6.2 Bagan Struktur Organisasi Dinas Pekerjaan umum dan Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Mahakam Ulu... Susunan organisasi Dinas Lingkungan

Pengertian demokrasi menurut Charles Costello adalah sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum

Pulp yang dihasilkan memiliki karakter, antara lain: resistensi sobek yang tinggi, porositas tinggi, kandungan α selulotik tinggi, berdensitas tinggi, serta daya

o Guru memberikan tugas proyek kepada setiap peserta didik untuk mengerjakan tugas praktik cara menggunakan alat-alat servis engine (engine tune up tester) dengan