HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Contoh
Usia contoh. Perbedaan usia mengakibatkan perbedaan selera dan tingkat kesukaan terhadap merek (Sumarwan 2004). Contoh yang diambil adalah mahasiswa yang tergolong kepada tahapan usia remaja akhir dan dewasa awal. Masa usia remaja akhir yaitu antara 14 sampai dengan 18 tahun, sedangkan dewasa awal adalah antara 19 sampai dengan 24 tahun. Tabel 6 menunjukkan sebaran usia contoh berkisar antara 18 sampai 24 tahun dengan rata-rata 20,62 tahun. Hampir seluruh contoh (99,1%) tergolong pada usia dewasa awal.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia
Usia contoh (tahun) n %
Remaja akhir (14-18) 3 0,9
Dewasa awal (19-24) 347 99,1
Total 350 100,0
Min-max (tahun) 18-24
Rataan±SD (tahun) 20,62±1,01
Jenis kelamin. Pada penelitian ini contoh paling banyak berjenis kelamin perempuan, hal ini dibuktikan dari Tabel 7,dimana jenis kelamin perempuan sebesar 59,1 persen dan laki-laki 40,9 persen. Hal ini terkait dengan proporsi mahasiswa IPB, dimana lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin n %
Laki-laki 143 40,9
Perempuan 207 59,1
Total 350 100,0
Uang saku. Sebaran jumlah uang saku contoh berkisar antara Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 3.500.000,00/bulan dengan rataan Rp 770.928,57. Lebih dari separuh contoh (58,3%) memiliki uang saku antara Rp 660.000/bulan sampai dengan Rp1.319.999/bulan. Hanya 0,6 persen contoh memiliki uang saku > Rp 2.640.000,00/bulan.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan uang saku per bulan
Uang saku (rupiah) n %
<Rp 660.000,00 133 38 Rp 660.000,00-Rp 1.319.999,99 204 58,3 Rp 1.320.000-Rp 1.979.999,99 8 2,3 Rp 1.980.000,00-Rp 2.639.999,99 3 0,9 >Rp 2.640.000,00 2 0,6 Total 350 100,0 Min-max (rupiah) Rp 200.000,00 - Rp 3.500.000,00 rataan±SD(rupiah) Rp 770.928,57±330742,51
Asal daerah. Asal daerah termasuk dalam lokasi geografik contoh. Lokasi geografik ini juga mempengaruhi terhadap pola konsumsinya. Orang yang berada di daerah perdesaan akan mengalami akses yang kurang dalam perilaku pembelian, tetapi orang yang berada di daerah perkotaan akan lebih mudah memperoleh akses dan memiliki banyak pilihan terhadap barang/jasa yang akan mereka gunakan.
Adapun sebaran daerah asal contoh dapat dilihat pada Tabel 9. Sebanyak tiga daerah asal contoh dengan proporsi yang paling banyak, yaitu Bogor dan Depok (26,9%), Jawa Barat (selain Bogor dan Depok) dan Banten (19,1%), dan Jakarta (18,9%).
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan asal daerah
Asal daerah n %
Jakarta 66 18,9
Bogor dan Depok 94 26,9
Jawa Barat (selain Bogor dan Depok) dan Banten 67 19,1
Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur 46 13,1
Sumatera 56 16,0
Kalimantan dan Sulawesi 15 4,3
Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua 6 1,7
Total 350 100
Karakteristik Keluarga
Pekerjaan orangtua. Tabel 10 menunjukkan sebaran pekerjaan orangtua contoh yang tergolong tinggi, dimana lebih dari seperempat ayah contoh (35,1%) memiliki pekerjaan utama sebagai PNS dan lebih dari separuh ibu contoh (51,7%) tidak bekerja. Pekerjaan ayah contoh yang termasuk lainnya adalah BUMN, buruh, pedagang, psikolog, buruh, dan sopir angkot. Pekerjaan ibu contoh yang termasuk lainnya adalah notaris.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua
Jenis pekerjaan Ayah Ibu
n % n % Tentara/polisi 12 3,4 0 0 PNS 123 35,1 75 21,4 Wiraswasta/pengusaha 79 22,6 39 11,1 Perusahaan/swasta 62 17,7 18 5,1 Dosen/guru 13 3,7 26 7,4 Tidak bekerja 14 4 179 51,1 Pensiunan 19 5,4 3 0,9 Petani 8 2,3 6 1,7 Lainnya2 20 5,7 4 1,1 Total 350 100,0 350 100,0
Keterangan: 2 BUMN, buruh, pedagang, psikolog, buruh, dan sopir angkot untuk pekerjaan ayah, meninggal sedangkannotaris untuk pekerjaan ibu
Pendapatan orangtua. Pendapatan juga mempengaruhi seseorang dalam membelanjakan uangnya. Konsumen yang memiliki pendapatan yang tinggi akan membelanjakan barang berdasarkan kualitas barang tersebut sekaligus dengan harga yang begitu mahal. Lain halnya dengan konsumen yang memiliki pendapatan rendah, mereka membeli barang berdasarkan kuantitasnya dan dengan harga yang terjangkau.
Tabel 11 menggambarkan lebih dari separuh contoh (60.9%) pendapatan orangtua berada pada kisaran Rp 1.000.000,00/bulan - Rp 4.999.999,00/bulan. Adapun terdapat 2,6 persen orangtua contoh memiliki pendapatan tergolong tinggi, yaitu berada pada kisaran ≥Rp 10.000.000,00.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua per bulan
Pendapatan n % <Rp 1.000.000,00 23 6,6 Rp 1.000.000,00-Rp 4.999.999,00 213 60,9 Rp 5.000.000,00-Rp 9.999.999,00 105 30,0 ≥Rp 10.000.000,00 9 2,6 Total 350 100
Besar Keluarga. Menurut BKKBN besar keluarga digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang). Tabel 12 menjelaskan bahwa hampir separuh contoh (46,3%) tergolong kepada keluarga sedang (5-6orang) dan keluarga kecil (≤4 orang) sebanyak 46 persen. Hanya sebagian kecil contoh yang tergolong ke dalam
keluarga besar. Besar keluarga contoh berkisar antara 2 sampai 10 orang dengan rataan 4,75.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga
Besar keluarga n %
Keluarga kecil (≤4 orang) 161 46
Keluarga sedang (5-6 orang) 162 46,3
Keluarga besar (≥7 orang) 27 7,7
Total 350 100
Min-max (orang) 2-10
Rataan±SD (orang) 4,75±1,31
Suku Bangsa. Suku adalah bagian dari kebudayaan, hal ini mempengaruhi pada perilaku pembelian konsumen. Tabel 13 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (40,3%) tergolong ke dalam suku Jawa, dilanjutkan pada suku Sunda (23,4%), dan suku Minang (10,3%). Suku yang tergolong lainnya adalah Bima, Banjar, Lampung, Cina, Maluku, Dan Tionghoa.
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan suku keluarga
Suku keluarga N % Jawa 141 40,3 Sunda 82 23,4 Melayu 20 5,7 Betawi 22 6,3 Minang 36 10,3 Batak 19 5,4 Bugis 6 1,7 Kutai 4 1,1 Bali 3 0,9 Lainnya3 17 4,9 Total 350 100
Keterangan:3Bima, Banjar, Lampung, Cina, Maluku, Dan Tionghoa .
Perilaku Pembelian Pakaian batik
Tempat membeli pakaian batik. Perilaku pembelian menurut Sumarwan (2004) adalah keputusan konsumen mengenai apa yang dibeli, membeli atau tidak, kapan membeli, dimana membeli, dan bagaimana cara membayarnya.
Menurut Sumarwan (2004) dalam pembelian, keinginan konsumen akan mendorong mereka untuk mencari toko dan pusat perbelanjaan. Hampir separuh contoh (42,9%) melakukan pembelian batik di toko. Selain toko, contoh membeli pakaian batik di pasar dan mall/pusat perbelanjaan/departement store, yaitu
masing-masing sebanyak 30,9 persen dan 25,1 persen. Hanya sebagian kecil contoh yang membeli pakaian batik di pusat batik.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tempat pembelian batik
Tempat Pembelian Batik n %
Tidak tahu 9 2,6 Toko 150 42,9 Butik 43 12,3 Pasar 108 30,9 Mall/pusat perbelanjaan,dept.store 88 25,1 Online 6 1,7 Tidak tentu 7 2,0
Pemberian orang lain 24 6,9
Pusat batik 3 0,9
Pameran/bazaar 7 2,0
Waktu terakhir kali membeli pakaian batik. Pada penelitian ini lebih dari seperempat (28,3%) contoh membeli pakaian batik terakhir kalinya dalam rentang waktu kurang dari tiga bulan. Sebagian lain, sebanyak 26,0 persen contoh, menyatakan waktu terakhir membeli batik antara 10 hingga 12 bulan. Selain itu waktu terakhir pembelian batik tidak menentu. Hal ini diduga karena pembelian batik yang dilakukan bersifat kondisional.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan waktu terakhir pembelian pakaian batik
Waktu Terakhir Pembelian Pakaian Batik n %
0-3 99 28,3 4-6 bln 72 20,6 7-9 bln 9 2,6 10-12 bln 91 26,0 >12 bln 38 10,9 Tidak tentu 37 10,6 Belum pernah 4 1,1 Total 350 100,0
Jumlah pakaian batik yang dibeli dalam sekali pembelian. Tabel 16 menunjukkan tiga perempat (74,6%) contoh membeli pakaian batik sebanyak satu potong dalam sekali pembelian. Selain itu sebanyak 21,1 persen contoh membeli dua potong pakaian batik dalam sekali pembelian. Bahkan satu contoh membeli enam potong pakaian batik dalam sekali pembelian.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jumlah pakaian batik yang dibeli dalam sekali pembelian.
Jumlah Pakaian Batik yang Dibeli (potong) n %
1 261 74,6 2 74 21,1 3 8 2,3 4 4 1,1 5 2 0,6 6 1 0,3 Total 350 100,0
Frekuensi pembelian pakaian batik. Dalam hal frekuensi pembelian yang dilakukan terhadap pakaian batik, contoh lebih banyak menjawab tidak tentu, yaitu lebih dari seperempat (38,0%) contoh. Hal ini diduga karena contoh membeli pakaian batik tidak membatasi waktu dalam pembelian tersebut. Alasan yang dikemukakan contoh lebih banyak menyebutkan pembelian batik bergantung pada kondisi, kebutuhan, dan ketika adanya acara-acara tertentu yang mengharuskan contoh menggunakan pakaian batik.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi pembelian pakaian batik
Frekuensi Pembelian Batik N %
tidak tentu 133 38,0 1 bulan sekali 5 1,4 3 bln sekali 10 2,9 6 bln sekali 68 19,4 1tahun sekali 117 33,4 >1tahun sekali 17 4,9 Total 350 100,0
Alokasi uang untuk pembelian pakaian batik. Tabel 18 menunjukkan lebih dari separuh contoh (56,9%) mengalokasikan uangnya dalam pembelian batik ini dengan rentang kurang dari Rp 136.000,00. Sebanyak 20,3 persen contoh mengalokasikan uangnya untuk pembelian batik antara Rp 136.001,00 sampai dengan Rp 272.000,00. Lebih dari seperdelapan (13,4%) contoh tidak mengetahui alokasi dana yang dikeluarkan dalam pembelian batik, alasan mereka, yaitu lupa dan tidak mengalokasikannya secara khusus. Hanya sebagian kecil contoh mengalokasikan uangnya dalam pembelian pakaian batik antara Rp 544.001,00 hingga Rp 680.000,00.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan alokasi dana per sekali pembelian pakaianbatik Alokasi dana n % <Rp 136.000,00 199 56,9 Rp 136.001,00 – Rp 272.000,00 71 20,3 Rp 272.001,00 – Rp 408.000,00 20 5,7 Rp 408.001,00 – Rp 544.000,00 11 3,1 Rp 544. 001,00 – Rp 680.000,00 2 0,6 Tidak tahu 47 13,4 Total 350 100,0 Perilaku Pemakaian
Jumlah pakaian batik yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan hampir tiga perempat contoh (72,0%) memiliki pakaian batik kurang dan sama dengan lima potong, sebanyak 20,6 persen contoh memiliki enam hingga sepuluh potong pakaian batik, sisanya menjawab lupa.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jumlah pakaian batik yang dimiliki
Jumlah pakaian batik yang dimiliki (potong) n %
≤5 252 72,0
6-10 72 20,6
11-15 10 2,9
Lupa 6 1,7
Total 350 100,0
Waktu menggunakan pakaian batik. Contoh menggunakan pakaian batik dibedakan atas tiga pengelompokkan waktu, yaitu digunakan pada saat perkuliahan, acara formal, dan acara non formal. Contoh yang menggunakan pakaian batik pada saat kuliah, meliputi penggunakan pada saat mengikuti perkuliahan, menghadiri seminar, wisuda, dan acara-acara selama di lingkungan kampus. Pakaian batik yang digunakan pada acara formal adalah pada acara pernikahan, acara keluarga, dan keagamaan. Selain itu pakaian batik juga digunakan pada saat non formal, yaitu pada saat jalan-jalan dan kumpul-kumpul dengan teman. Lebih dari separuh contoh (68,0%) contoh masih menggunakan pakaian batik pada acara formal.
Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan waktu menggunakan batik (n=350)
Pola pakaian batik yang disukai. Pakaian batik yang digunakan contoh dilihat dari pakaian jadi dan kain. Gambar 5 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat contoh (85,1%) memilih batik dalam bentuk pakaian jadi. Alasan dari mereka memilih pakaian jadi adalah praktis, bisa langsung dipakai, model dan motif beragam, mudah ditemukan, harganya murah daripada menjahitkan kepada orang lain. Contoh yang menyukai batik berupa kain hanya 12,6 persen. Alasan mereka karena dapat dijadikan baju sesuai dengan keinginan dan ukurannya bisa disesuaikan dengan tubuh.
Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan pola pakaian batik yang disukai (n=350)
Jenis batik yang disukai dan dibeli. Jenis batik dibedakan atas tiga macam berdasarkan bentuknya, yaitu batik tulis, cap, dan print. Tabel 20 menunjukkan lebih dari tiga perempat (82,0%) contoh memilih batik tulis sebagai jenis batik yang mereka sukai, selanjutnya cap (6,6%), dan print (3,4%). Sebanyak 5,4 persen contoh tidak mengetahui perbedaan dari ketiga batik tersebut dan
41,4% 68,0% 18,0% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Kuliah Formal Non Formal 85,1% 12,6% 0,6% 1,7% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jadi Kain Suka keduanya Tidak tahu 85,1% 12,6% 0,6% 1,7% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jadi Kain Suka keduanya Tidak tahu 85,1% 12,6% 0,6% 1,7% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jadi Kain Suka keduanya Tidak tahu 85,1% 12,6% 0,6% 1,7% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jadi Kain Suka keduanya Tidak tahu 85,1% 12,6% 0,6% 1,7% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jadi Kain Suka keduanya Tidak tahu 85,1% 12,6% 0,6% 1,7% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Jadi Kain Suka keduanya Tidak tahu
mereka bingung dalam menjawab batik yang mereka sukai. Jenis batik yang sering dibeli. Tabel 20 memperlihatkan jenis batik yang disukai contoh. Lebih dari seperempat contoh (36,3%) membeli batik tulis. Batik cap (30,0%) berada pada urutan kedua dalam pembelian pakaian batik dan batik print (20,6%) berada pada urutan terakhir.
Kesukaan contoh akan batik sama dengan pembelian mereka terhadap batik, yaitu contoh menyukai batik tulis dan membeli batik tulis. Hal ini berarti citra (image) batik tulis lebih bagus dan lebih terkenal dikalangan masyarakat dibandingkan batik cap dan print. Selain itu terdapat 13,1 persen contoh tidak mengetahui jenis batik apa yang mereka beli.
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jenis batik yang disukai dan batik yang dibeli Jenis batik Batik yang disukai Batik yang dibeli
n % n % Tulis 287 82,0 127 36,3 Cap 23 6,6 105 30,0 Print 12 3,4 72 20,6 Tidak tahu 19 5,4 46 13,1 Suka semuanya 9 2,6 0,0 0,0 Total 350 100,0 350 100,0
Perilaku pembelian dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu berdasarkan atribut produk dan citra dari produk itu sendiri. Contoh yang menyukai batik tulis berdasarkan atribut produk, meliputi keterjangkauan harga, corak dan motif, serta kualitas bahan; batik cap,yaitu keterjangkauan harga, motif yang menarik, dan kemudahan memperoleh; sedangkan untuk batik print, dilihat dari harga yang terjangkau, motif rapi, dan kemudahan memperolehnya. Berdasarkan citra produk, meliputi artistik, prestisius, cinta produk dalam negeri, rapi dan tradisional, serta sederhana.
Alasan contoh menyukai batik tulis, cap, dan print dapat dilihat pada Tabel 21. Alasan contoh menyukai batik tulis sebanyak 40,5 persen berdasarkan citra dari produk batik tulis tersebut, sedangkan 36,2 persen berdasarkan atribut produk. Contoh lebih cenderung menyukai batik cap dan print berdasarkan atribut produk batik tersebut, karena harga dan motif yang beragam. Selain itu, contoh banyak tidak memberikan alasan kenapa mereka menyukai ketiga jenis batik
tersebut. Sehingga sebanyak 67,2 persen contoh tidak memberikan alasan karena tidak bisa membedakan ketiga jenis batik dan bingung dengan alasan apa yang mereka berikan.
Alasan contoh dalam membeli batik tulis lebih cenderung kepada atirbut produk dibandingkan citra produk. Sama halnya dengan pembelian yang dilakukan oleh contoh pada batik cap dan print, yaitu cenderung melihat dari atribut produk batik tersebut.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan alasan menyukai dan membeli jenis batik Jenis batik Batik yang disukai (%) Batik yang dibeli (%)
Atribut produk Citra produk Atribut produk Citra produk
Tulis 36,2 40,5 32,2 15,8
Cap 65,2 8,6 70,4 1,9
Print 83,4 0,0 58,3 2,8
Asal batik yang disukai dan dibeli. Batik lokal adalah batik asli yang berasal dari Indonesia, sedangkan batik impor adalah batik yang berasal dari negara lain seperti Cina dan India. Batik lokal ini terdiri atas batik tulis dan batik cap, sedangkan batik impor adalah batik print. Tabel 22 memperlihatkan contoh dalam menyukai dan membeli pakaian batik berdasarkan asal batik yaitu batik lokal.
Tabel 22Sebaran contoh berdasarkan asal batik yang disukai dan dibeli
Asal batik Batik yang disukai Batik yang dibeli
n % N %
Lokal 320 91,4 311 88,9
Impor 7 2,0 7 2,0
Tidak tahu 23 6,6 32 9,1
Total 350 100,0 350 100,0
Alasan contoh dalam menyukai batik lokal berdasarkan atribut produk sama halnya dengan alasan contoh menyukai batik berdasarkan citra produk (22,5%). Batik yang dibeli contoh berdasarkan asal batik (batik lokal) cenderung dilihat dari atribut produk tersebut terlebih dahulu. Atribut produk, meliputi motif dan corak, kemudahan memperolehnya, keterjangkauan harga, dan kesukaan. Citra produk terdiri atas cinta produk Indonesia dan memiliki seni tinggi.
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan alasan menyukai dan membeli asal batik Asal batik Batik yang disukai (%) Batik yang dibeli (%)
Atribut produk Citra produk Atribut produk Citra produk
Lokal 22,5 22,5 31,9 30,9
Impor 71,5 0,0 71,5 0,0
Kepribadian
Menurut Setiadi (2008), kepribadian adalah organisasi yang dinamis pada individu yang menentukan penyesuaian dirinya dengan lingkungan secara unik. Adapun dimensi kepribadian yang diteliti adalah extraversion, aggreablensess,
consciousness, sophistication, dan ruggedness.
Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari separuh contoh (52,3%) memiliki ciri kepribadian extraversion, yaitu mudah bergaul dan bersosialisasi. Lebih dari separuh contoh (60,0%) tergolong aggreableness yaitu kadang-kadang bisa bersikap tidak sopan kepada orang lain. Lebih dari separuh contoh (60,9%) termasuk pada consciousness yaitu mudah bekerja sama. Kurang dari separuh contoh (46,9%) pada sophistication, yaitu selalu up date baik dari segi fashion maupun teknologi. Lebih dari separuh contoh (50,3% ) pada ruggedness termasuk orang yang tabah. Tabel 24 memperlihatkan, bahwa lebih dari tiga perempat (84,3%) contoh memiliki kepribadian extraversion, yaitu dimensi kepribadian manusia yang mudah bersosialisasi.
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori kepribadian
Kategori N % Extraversion 295 84,3 Consciouness 15 4,3 Aggreableness 1 0,3 Ruggedness 19 5,4 Sophistication 20 5,7 Total 350 100,0 Konsep diri
Konsep diri adalah cerminan dari dirinya, dimana ia memandang dan mempersepsikan dirinya sendiri. Menurut Sutisna (2001), konsep diri dibedakan menjadi tiga bagian yaitu actual self, ideal self, dan extended self. Actual self adalah bagaimana mereka memandang dirinya sendiri, ideal self adalah
bagaimana dia seharusnya dimata orang lain, dan extended self merupakan citra diri dari lingkungan luar.
Konsep diri contoh yang termasuk pada ciri actual self sebanyak 53,7 persen adalah mudah bergaul dengan sesama. Lebih dari separuh contoh memiliki
Ideal self lebih peduli antar sesama, dan lebih dari separuh contoh (50,3%) ingin
dinilai oleh orang lain sebagai pribadi yang bersahaja
Hasil penelitian ini menunjukkan, sebanyak 38,9 persen tergolong pada konsep diri extended self , yaitu bagaimana orang lain memandang dirinya dan menjadikan citra pribadi bagi individu tersebut. Hal ini, berarti contoh selain dipengaruhi oleh orang lain dalam perilaku pembelian juga menjadikan penilaian orang lain tersebut pada konsep diri individu itu.
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan tipe konsep diri
Konsep diri n % Actual self 80 22,8 Extended self 134 38,3 Ideal self 136 38,9 Total 350 100,0 Gaya hidup
Menurut Sumarwan (2002), gaya hidup merupakan suatu pola konsumsi yang menggambarkan pilihan seseorang dalam menggunakan waktu dan uang. Gaya hidup dibedakan atas tiga, yaitu aktivitas, minat, dan opini. Lampiran 7 menunjukkan, persentase terbesar dalam dimensi aktivitas menyebar dari setuju, cukup setuju dan kurang setuju. Contoh setuju aktif dalam organisasi (36,0%), contoh kurang setuju dalam menghabiskan waktu untuk membaca majalah fashion (38,6%), contoh cukup setuju menghabiskan waktu untuk jejaring sosial (32,3%), sering terjebak kepada kesenangan (36,0%), dan kurang setuju bahwa setiap hari harus mengupdate status di facebook/twitter/blog (28,3%).
Pada dimensi minat persentase terbesar berada pada jawaban setuju dan cukup setuju. Jawaban setuju yaitu menabung untuk membeli keperluan (42,6%), melihat harga terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian (44,3%), suka menonton (52,0%), suka berolahraga (31,7%), masuk kepanitiaan di kampus (41,1%), suka berlama-lama di depan komputer/laptop (33,7%), suka tantangan untuk melakukan hal-hal yang baru (48,3%), dan suka memimpin orang lain
(35,4%). Persentase terbesar menjawab cukup setuju yaitu suka mengahadiri seminar dan pelatihan yang ada di kampus (41,7%), suka belajar seni, budaya, dan sejarah (30,0%).
Pada dimensi opini menyebar pada semua jawaban, sangat tidak setuju, sangat setuju, dan setuju. Lebih dari separuh contoh (56,3%) berpendapat sangat tidak setuju dalam pembuatan gedung DPR baru yang mengeluarkan dana banyak demi kinerja para dewan rakyat. Lebih dari separuh contoh (56,6%) sangat setuju pada gaji dari anggota dewan dialokasikan untuk rakyat dalam hal pendidikan, pemukiman, dan usaha kecil menengah. Sebanyak 58,6 persen contoh setuju bahwa masyarakat Indonesia bersama-sama melestarikan kebudayaan sendiri sebelum adanya klaim dari negara lain. Persentase jawaban contoh yang setuju, yaitu peka terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar (57,7%) dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi sebanyak 40,6 persen.
Variabel gaya hidup menggunakan analisis K Means Cluster, yaitu teknik multivariat yang mempunyai tujuan untuk mengalokasikan sekelompok individu pada suatu kelompok-kelompok yang saling bebas sehingga individu-individu tersebut sama satu dengan yang lain. Penilaian kategori gaya hidup terdiri atas tiga kluster.
Kluster pertama merupakan contoh dengan gaya hidup individualis, kluster dua untuk contoh dengan gaya hidup kolektivis dan kluster tiga untuk contoh dengan gaya hidup indivisualis dan kolektivis. Berdasarkanuji K Means
Cluster menunjukkan hampir separuh contoh (47,4%) tergolong pada kluster
pertama (individualis), dan lebih dari seperempat contoh (34,3%) tergolong pada kluster tiga (individualis dan kolektivis). Hal ini berarti, mahasiswa lebih dominan membpunyai sifat individualis dalam dirinya.
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kluster gaya hidup
Kategori n %
Individualis 166 47,4
Kolektivis 64 18,3
Individualis dan kolektivis 120 34,3
Hubungan antar variabel
Hubungan kepribadian dengan pembelian pakaian berdasarkan jenis batik Salah satu cara dalam melihat segmen pasar konsumen adalah melihat kepribadian konsumen tersebut. Tabel 27 memperlihatkan bahwa kepribadian
extraversion paling dominan dalam pembelian berdasarkan jenis batik. Hal ini
dilihat dari total kepribadian extraversion (84,3%) lebih tinggi dibandingkan total dimensi kepribadian lainnya. Kepribadian extraversion, consciouness, dan
sophistication lebih cenderung membeli jenis batik tulis. Kepribadian aggreableness lebih cenderung membeli jenis batik print, sedangkan kepribadian ruggedness membeli batik jenis cap. Tetapi, sebanyak 13,4 persen contoh tidak
mengetahui jenis batik yang dibelinya.
Tabel 27 Hubungan kepribadian dengan pembelian berdasarkan jenis batik Kepribadian Pembelian contoh pada jenis batik (%) Total
Tidak tahu Tulis Cap Print
Extraversion 11,7 31,4 24,0 17,1 84,3 Consciouness 0,9 1,4 0,9 1,1 4,3 Aggreableness 0,0 0,0 0,0 0,3 0,3 Ruggedness 0,3 1,1 2,3 1,7 5,4 Sophistication 0,6 2,6 2,3 0,3 5,7 Total 13,4 36,6 29,4 20,6 100,0 P value 0,481
Hubungan kepribadian dengan pembelian pakaian berdasarkan asal batik Kepribadian dengan tingkat pembelian berdasarkan asal batik dapat dilihat pada Tabel 28. Semua dimensi kepribadian lebih cenderung membeli pakaian batik lokal dibandingkan impor, dilihat dari persentase setiap dimensi kepribadian paling tinggi pada pakaian asal batik lokal. Hanya 6,6 persen contoh tidak mengetahui asal batik yang ia beli.
Tabel 28 Hubungan kepribadian dengan pembelian berdasarkan asal batik Kepribadian Pembelian contoh pada asal batik (%) Total
Tidak tahu Lokal Impor
Extraversion 5,4 77,7 1,1 84,3 Consciouness 0,6 3,7 0,0 4,3 Aggreableness 0,0 0,3 0,0 0,3 Ruggedness 0,0 4,9 0,6 5,4 Sophistication 0,6 4,9 0,3 5,7 Total 6,6 91,4 2,0 100,0 P value 0,163
Hubungan konsep diri dengan pembelian pakaian berdasarkan jenis batik Komponen konsep diri adalah hubungan seseorang dengan kepemilikin bendanya. Menurut mowen dan minor (2001), konsep diri itu apa yang dimiliki, sesungguhnya merupakan bagaian darinya sendiri. Hasil crosstab menunjukkan terdapat hubungan antara konsep diri dengan pembelian pakaian berdasarkan jenis batik dengan p value 0,012. Hal ini berarti, adanya kecenderungan tipe konsep diri dengan pembelian pakaian batik. Tipe kecenderungan contoh yang mempunyai konsep diri actual self dan ideal self lebih membeli batik tulis dibandingkan batik lainnya, sedangkan untuk konsep diri extended self lebih cenderung membeli pakaian batik jenis print.
Tabel 29 Hubungan konsep diri dengan pembelian pakaian berdasarkan jenis batik Konsep diri Pembelian contoh pada jenis batik (%) Total
Tidak tahu Tulis Cap Print
Actual self 3,1 12,3 7,7 4,3 27,4
Ideal self 8,3 16,9 15,7 8,3 49,1
Extended self 2,0 7,4 6,0 8,0 23,4
Total 13,4 36,6 29,4 20,6 100,0
P value 0,012*
Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 95%
Hubungan konsep diri dengan pembelian pakaian berdasarkan asal batik Tabel 30 menunjukkan hampir seluruh contoh dengan konsep diri actual
self, ideal self, dan extended self lebih cenderung membeli batik lokal
dibandingkan batik impor. Konsep diri ideal self lebih tinggi persentase dalam pembelian batik lokal dibandingkan tipe konsep diri lainnya.
Tabel 30 Hubungan konsep diri dengan pembelian pakaian berdasarkan asal batik Konsep diri Pembelian contoh pada asal batik (%) Total
Tidak tahu Lokal Impor
Actual self 1,7 25,4 0,3 27,4
Ideal self 3,7 44,6 0,9 49,1
Extended self 1,1 21,4 0,9 23,4
Total 6,6 91,4 2,0 100,0
Hubungan gaya hidup dengan pembelian pakaian berdasarkan jenis batik Gaya hidup menggambarkan bagaiamana orang hidup, membelanjakan uangnya, dan mengalokasikan waktunya (Mowen & Minor 2001). Tabel 31 memaparkan bahwa gaya hidup kolektivis dan gaya hidup gabungan (inidivualis dan kolektivis) memiliki kecenderungan dalam membeli jenis batik berupa cap dibandingkan jenis batik lainnya, sedangkan gaya hidup individualis lebih cenderung membeli jenis batik tulis.
Tabel 31 Hubungan gaya hidup dengan pembelian pakaian berdasarkan jenis batik Gaya hidup Pembelian contoh pada jenis batik (%) Total
Tidak tahu Tulis Cap Print
Kolektivis 0,3 0,3 1,1 0,6 2,3
Individualis 10,9 30,3 21,4 16,3 78,9
Gabungan 2,3 6,0 6,9 3,7 18,9
Total 13,4 36,6 29,4 20,6 100,0
P value 0,105
Hubungan gaya hidup dengan pembelian pakaian berdasarkan asal batik Gaya hidup yang diidentifikasi pada pembelian pakaian contoh berdasarkan asal batik adalah kolektivis, individualis, dan gabungan antara individualis dan kolektivis. Tabel 32 menunjukkan, semua kategori gaya hidup ini dalam pembelian pakaian asal batik adalah cenderung membeli batik lokal daripada batik impor.
Tabel 32 Hubungan konsep diri dengan pembelian pakaian berdasarkan asal batik Gaya hidup Pembelian contoh pada asal batik (%) Total
Tidak tahu Lokal Impor
Kolektivis 0 2,3 0 2,3
Individualis 4 73,4 1,4 78,9
Gabungan 2,6 15,7 0,6 18,9
Total 6,6 91,4 2 100,0
P value 0,563
Hubungan karakteristik contoh dengan kesukaan dan perilaku pembelian pakaian batik
Berdasarkan uji Chi-Square (Tabel 33) menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan tingkat kesukaan contoh pada jenis pakaian batik (batik tulis, cap, dan print). Uang saku berhubungan dengan tingkat kesukaan contoh
berdasarkan pola pakaian dan asal batik (batik lokal dan batik impor). Kepribadian berhubungan signifikan dengan kesukaan contoh pada pakaian batik berdasarkan pattern batik (batik pakaian jadi atau yang berupa kain).
Tabel 33 Koefisien korelasi antara karakteristik contoh, kepribadian, konsep diri, dan gaya hidup dengan preferensi pembelian pakaian batik
Variabel Tingkat kesukaan Pakaian Batik Pembelian Pakaian Batik
Pola Jenis Asal Jenis Asal
Jenis kelamin 0,846 0,031* 0,809 0,332 0,447
Uang saku 0,000** 0,997 0,026* 0,609 0,785
Kepribadian 0,004** 0,435 0,169 0,345 0,169
Konsep diri 0,712 0,089 0,836 0,563 0,105
Gaya hidup 0,712 0,089 0,836 0,563 0,105
Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 95% **=signifikan pada selang kepercayaan 99%
Pembahasan
Contoh dalam penelitian ini merupakan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang diambil secara proporsional dari sembilan departemen yang tersebar di IPB. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perilaku konsumen salah satunya adalah faktor pribadi. Faktor pribadi ini meliputi usia, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, kepribadian, dan konsep diri (Setiadi 2008). Hasil penelitian menunjukkan hampir seluruh contoh termasuk pada kategori dewasa awal yaitu antara 19 tahun sampai dengan 24 tahun dengan proporsional jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Menurut (Setiadi 2008), usia dewasa biasanya mengalami perubahan atau transformasi tertentu pada saat mereka menjalani kehidupannya. Salah satu objek yang diteliti adalah tingkat kesukaan dan perilaku pembelian pada pakaian.
Perilaku pembelian terdiri atas dua bagian, yaitu perilaku pembelian dan perilaku pemakaian. Perilaku pembelian pakaian batik pada contoh meliputi tempat membeli, waktu terakhir membeli, jumlah pakaian dalam sekali pembelian, frekuensi pembelian, dan alokasi uang dalam membeli pakaian batik. Selain itu dalam perilaku pemakaian konsumen, meliputi jumlah pakaian yang dimiliki dan kapan menggunakan pakaian batik. Tingkat kesukaan contoh pada batik dapat dilihat dari pattern, jenis, dan asal batik tersebut. Pembelian pakaian batik dilihat dari jenis dan asal dari batik. Alasan contoh menyukai dan membeli pakaian batik dibedakan atas dua kriteria, yaitu berdasarkan atribut produk dan
citra dari produk itu sendiri. Atribut produk mencakup keterjangkauan harga, corak dan motif, serta kualitas bahan, dan kemudahan memperoleh; sedangkan berdasarkan citra produk, mencakup lebih artistik, prestisius, cinta produk dalam negeri, rapi dan tradisional, serta sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan hampir separuh contoh melakukan pembelian batik di toko. Hal ini terkait dengan pembelian contoh yang tergolong kepada perilaku pembelian tidak terencana. Sumarwan (2004), konsumen yang membeli tanpa terencana seringkali membeli di toko dan mall. Menurut Sumarwan (2004), keinginan konsumen dalam pembelian mendorong mereka untuk mencari toko dan pusat perbelanjaan. Adanya faktor-faktor para penjual toko dalam hal menarik konsumen adalah sebagai berikut yaitu, lokasi yang strategis supaya konsumen dengan mudah menemukannya, banyaknya pilihan barang yang tersedia, daya tarik promosi dari produk, kenyamanan dalam transaksi yang dilakukan.
Frekuensi pembelian yang dilakukan contoh terhadap pakaian batik lebih banyak menjawab tidak tentu. Hal ini menandakan contoh membeli pakaian batik tergantung situasi dan kondisi yaitu saat acara tertentu yang mengharuskan contoh menggunakan batik. Hal ini juga terkait dengan pembelian batik yang dilakukan contoh satu tahun sekali. Jumlah pakaian batik yang dimiliki pun tergolong sedikit yaitu kurang dan sama dengan lima potong. Hal ini berarti contoh yang merupakan mahasiswa kurang memiliki pakaian batik. Hal ini diduga karena mahasiswa banyak yang masih menganggap batik hanya digunakan saat acara pernikahan. Hal ini ditandai dengan hasil penelitian lebih dari separuh contoh menggunakan batik pada acara pernikahan dan selain itu digunkaan pada saat perkuliahan.
Berdasarkan jenis cara pembuatannya, batik dibedakan menjadi tiga, yaitu batik tulis, batik, cap, dan batik print. Berdasarkan hasil penelitian, batik yang disukai oleh contoh, yaitu lebih dari tiga perempat contoh memilih batik tulis dengan alasan atribut produk batik tersebut, karena harga dan motif yang beragam. Batik lokal lebih disukai dibandingkan batik impor. Hampir seluruh contoh menyukai batik lokal dengan alasan cinta produk dalam negeri, mempunyai seni yang bagus, motif/corak/dan pattern yang bagus, harga yang
murah dan berkelas. Sisanya contoh menyukai batik impor, mereka beralasan batik impor itu harga yang terjangkau dan kemudahan dalam memperolehnya. Sumarwan (2004) mengatakan masyarakat Indonesia cenderung memilih produk impor, tetapi pada pakaian batik yang merupakan warisan budaya Indonesia sendiri, contoh lebih memilih batik lokal dalam pembelian dibandingkan impor. Hal ini diduga karena pakaian batik yang merupakan warisan Indonesia yang telah diakui oleh dunia dan mempunyai kekhasan tersendiri membuat contoh tertarik memilih batik lokal dibandingkan batik impor.
Setiadi (2008) mengatakan bahwa preferensi pembelian dipengaruhi oleh faktor pribadi, yaitu usia, pekerjaa, situasi ekonomi, kepribadian, konsep diri, dan gaya hidup. Kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian. Kepribadian lebih mengacu kepada pola-pola normal dari perilaku yang ditunjukkan individu, seperti atribut-atribut, sifat-sifat, dan kebiasaan yang membedakan individu dengan individu lainnya (Churchill Jr, Gilbert A 2005). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2007), menganalisis hubungan citra iklan, citra merek, dan kepribadian merek sabun mandi. Penelitian yang dilakukan Hadi (2007), membedakan kepribadian manusia atas lima bagian yang dimodifikasi dari big five personality traits Mc Crae (1997), yaitu extraversion, aggreableness, consciousness, sophistication, dan ruggedness. Berdasarkan hasil uji K Means Cluster pada kepribadian, konsep diri, dan gaya hidup memperlihatkan bahwa hampir seluruh contoh memiliki kepribadian
extraversion yaitu mudah bersosialisasi dengan orang lain. Menurut Kristanto
(2011) orang yang mudah bersosialisasi cukup berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Orang yang memiliki kepribadian extraversion ini dalam pencarian informasi didorong oleh motivasi dari lingkungan eksternalnya. Sikap yang easy
going oleh orang-orang extraversion ini biasanya tidak mengakses informasi
secara mendalam, mereka hanya cukup atau sekedar puas atas informasi yang diperolehnya. Pada konsep diri contoh termasuk pada ideal self, yaitu konsep diri ingin dipandang ideal di mata orang lain, ia akan bertindak seperti ia ideal di mata orang meskipun itu buka konsep diri sesungguhnya. Konsep diri merupakan identitas diri sebagai skema dasar yang terdiri atas kumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri yang terorganisir (Baron Robert A & Byrne Donn, 2004).
Menurut Sutisna (2001), konsep diri terdiri atas tiga bagian, yaitu diri yang sebenarnya (actual self), diri yang ideal (ideal self), dan diri yang diperluas (extended self). Gaya hidup menunjukkan hampir separuh contoh tergolong pada kluster pertama, yaitu mahasiswa yang individualis. Individualis adalah gaya hidup yang lebih peduli akan kepentingan dirinya sendiri baik berkaitan dengan aktivitas dan minat contoh. Menurut Schwartz dan Bilsky (1987, 1990), gaya hidup individualis memiliki nilai-nilai yang dianut oleh individu seperti bersenang-senang, berprestasi, dan mengatur diri sendiri. Hal ini dapat dikaitkan dengan contoh yang menganut nilai mengatur diri sendiri, karena contoh yang banyak berasal dari daerah, secara tidak langsung dapat mengatur dirinya sendiri selama menuntut ilmu di IPB. Gaya hidup merupakan suatu pola konsumsi yang menggambarkan pilihan seseorang dalam menggunakan waktu dan uang. Pola hidup seseorang yang tergambarkan pada activities, interest, dan opinions yang dikenal dengan proses psikografi atau AIO. Gaya hidup contoh termasuk pada opini, yaitu contoh yang merupakan mahasiswa kritis dalam masalah politik, ekonomi, dan budaya.
Hasil tabulasi silang (crosstab) antara kepribadian, konsep diri, dan gaya hidup dengan perilaku pembelian pakaian batik memperlihatkan, contoh yang memiliki kepribadian (extraversion, consciouness, dan sophistication). Hal ini diduga karena perilaku pembelian pakaian batik yang didasarkan pada tipe kepribadian contoh yang cenderung mudah dekat dengan orang lain, perfeksionis, dan mengerti akan fashion lebih memilih pakaian dilihat dari kualitasnya terlebih dahulu. Salah satunya dalam pembelian batik tulis, karena batik tulis merupakan jenis batik yang memiliki corak dan motif yang khas, mahal, dan elegant.
Konsep diri (actual self dan ideal self) memiliki kecenderungan dalam membeli batik tulis. Hal ini diduga karena contoh yang membeli batik tulis merupakan orang yang memiliki konsep diri sebenanarnya, seperti elegant dan suka akan sesuatu yang unik dan khas, sehingga batik tulis dapat menggambarkan dirinya sebenarnya, yang disebut dengan konsep diri actual self. Selain itu merupakan gambaran dirinya, contoh juga ingin orang lain melihat ia sebagai orang yang elegant, kaya, dan berkelas, ini disebut dengan orang yang tergolong pada konsep diri ideal self. Gaya hidup individualis cenderung membeli batik tulis
dibandingkan batik cap dan print. Menurut Bilsky (1980) dalam Kasali (2005), gaya hidup individualis itu mencakup bersenang-senang, berprestasi, dan mengatur diri sendiri. Semua dimensi kepribadian, konsep diri, dan gaya hidup lebih cenderung membeli pakaian batik lokal dibandingkan impor. Hal ini diduga karena contoh telah menanamkan cinta produk lokal, yaitu dengan ditandai contoh lebih membeli produk lokal dibandingkan produk impor meskipun harga di pasar bersaing. Selain itu batik juga sudah dikukuhkan sebagai warisan budaya asli Indonesia. Hampir di setiap acara dikhususkan untuk menggunakan pakaian batik, sehingga secara tidak langsung konsumen telah mengenal batik.
Hasil uji K Mean Cluster, menunjukkan kepribadian contoh paling dominan yaitu extraversion, yaitu orang yang mudah dekat dengan orang lain; konsep diri adalah ideal self, yaitu ingin dipandang ideal di mata orang; dan gaya hidup adalah gaya hidup individualis.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan, terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kesukaan contoh pada jenis pakaian batik (batik tulis, cap, dan print). Uang saku berhubungan dengan tingkat kesukaan contoh berdasarkan pattern pakaian dan asal batik (batik lokal dan batik impor). Kepribadian berhubungan signifikan dengan kesukaan contoh pada pakaian batik berdasarkan pattern batik (batik pakaian jadi atau yang berupa kain).
Keterbatasan Penelitian
Metode pengambilan contoh yang kurang bisa mengeneralisir proporsional contoh menjadi kendala dalam penelitian ini. Untuk itu, penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan metode random sampling agar dapat digeneralisasi. Selain itu kuesioner yang menjadi alat ukur penelitian ini disesuaikan dengan acuan teori atau penelitian terdahulu dan disesuaikan dengan variabel yang akan diteliti.
Pengkategorian variabel gaya hidup masih dirasakan kurang menggeneralisasi gaya hidup contoh. Banyaknya contoh tidak mengetahui perbedaan batik sehingga hasil yang diperoleh pun banyak tidak memberikan alasan terhadap penilaian pakaian batik. Hal ini diduga karena dalam melakukan
pengambilan data, peneliti sebaiknya menggunakan wawancara langsung kepada contoh untuk dapat mengetahui permasalahan secara mendasar.
Selain itu, referensi atau bahan yang menunjang teori dalam kepribadian, konsep diri, dan gaya hidup contoh terhadap preferensi pembelian dirasakan sedikit sulit ditemukan, sehingga penulis terbatas untuk menyimpul dan mengaitkan hasil dengan hasil penelitian terdahulu ataupun teori yang bersangkutan.