• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Sekolah"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Sekolah

Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Malang terletak di jalan Bandung No. 7 Malang. MTsN 1 berdiri di atas areal tanah seluas 3135 m2 dengan luas bangunan 2272 m2. Berdasarkan letak sekolah, MTsN 1 Malang terletak di tengah-tengah kota dan di pinggir jalan utama. Secara struktural MTsN 1 Malang berada di bawah pengawasan Departemen Agama Kota Malang.

Dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, MTsN 1 Malang dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan dibantu oleh lima orang wakil kepala sekolah yaitu wakil kepala sekolah yang membidangi kurikulum, hubungan masyarakat, kesiswaan, pengembangan mutu serta sarana dan prasarana. Staf pengajar pada MTsN 1 Malang berjumlah 55 orang dan murid sebanyak 840 orang dengan jumlah kelas dari kelas 1 sampai 3 sebanyak 24 kelas. Selain itu juga dibantu oleh Tata usaha (TU) dan pesuruh yang berjumlah 16 orang dan tenaga dokter 1 orang. Untuk pengembangan kualitas tenaga pengajar, kedua sekolah terus

mengupayakan pelatihan dan pengembangan akademik baik ditingkat nasional maupun internasional.

Sebagai sekolah favorit, pada awal penerimaan murid baru MTsN 1 Malang melakukan serangkaian tes akademik diantaranya adalah tes IQ, tes potensi akademik dan baca tulis Al Qur’an. Siswa yang mengikuti program akselerasi adalah siswa yang memiliki skor IQ minimal 125 menurut skala Wechsler, memiliki nilai NEM sekolah rata-rata di atas 7, dengan nilai rata-rata raport tidak kurang dari 7, serta ditambah surat keterangan sehat dari dokter, kesediaan calon siswa, dan persetujuan orang tua mengikuti program akselerasi. Sedangkan untuk kelas unggulan, penjaringannya dengan nilai rata-rata raport semester genap, apabila nilai rata-ratanya ≥ 85,0 siswa tersebut dimasukkan kelas unggulan.

MTsN 1 Malang juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar. Fasilitas tersebut adalah ruang kelas, ruang guru, ruang tata usaha, ruang administrasi, lobby (ruang tamu), ruang kepala sekolah, ruang laboratorium, ruang perpustakaan, ruang UKS, masjid, aula, ruang

(2)

Selain kegiatan belajar mengajar, MTsN 1 Malang juga menyediakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler guna mewadahi dan mengembangkan bakat, kreativitas serta minat siswa. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut antara lain adalah pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), Kader Kesehatan Remaja (KKR), serta Kelompok Ilmiyah Remaja (KIR).

Karakteristik Keluarga Pendidikan

Tingkat pendidikan orang tua contoh cukup bervariasi mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Bila dilihat secara umum, sebagian besar pendidikan ayah dan ibu contoh adalah D3/S1 dengan persentase 59,1% dan 68,8%.

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa persentase terbesar pendidikan ayah dan ibu contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler adalah D3/S1. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu

Variabel Akselerasi Unggulan Regular Total

n % n % n % n % Pendidikan Ayah SMP/SMA D3/S1 S2/S3 1 12 7 5,0 60,0 35,0 4 12 5 19,0 57,1 23,8 10 31 11 19,2 59,6 21,2 15 55 23 16,1 59,1 24,7 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Pendidikan Ibu SD SMP/SMA D3/S1 S2/S3 0 1 15 4 0,0 5,0 75,0 20,0 2 3 12 4 9,5 14,3 57,1 19,0 0 15 37 0 0,0 28,8 71,2 0,0 2 19 64 8 2,2 20,4 68,8 8,6 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0

Tingkat pendidikan orangtua dapat mempengaruhi usaha meningkatkan prestasi belajar anak, semakin tinggi pengetahuan orang tua, maka akan semakin banyak pula pengetahuan orangtua yang diberikan kepada anaknya (Nasution dan Nasution 1986). Suatu penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa adanya pengaruh pendidikan orang tua disamping faktor kemampuan anak dan kualitas sekolah terhadap keberhasilan anak belajar.

(3)

Pekerjaan

Pekerjaan ayah dan ibu contoh bervariasi dari menjadi petani, PNS/ABRI, swasta, wiraswasta dan ibu rumah tangga. Secara umum, proporsi terbesar pekerjaan ayah contoh 40,9% bekerja sebagai PNS sedangkan proporsi terbesar pekerjaan ibu contoh 37,6% adalah sebagai ibu rumah tangga.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu

Variabel Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Pekerjaan Ayah Petani PNS/ABRI Swasta Wiraswasta 0 9 6 5 0,0 45,0 30,0 25,0 2 7 9 3 9,5 33,3 42,9 14,3 0 22 20 10 0,0 42,3 38,5 19,2 2 38 35 18 2,2 40,9 37,6 19,3 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Pekerjaan Ibu PNS/ABRI Swasta IRT Wiraswasta 9 3 5 3 45,0 15,0 25,0 15,0 11 2 8 0 52,4 9,5 38,1 0,0 12 8 22 10 23,1 15,4 42,3 19,2 32 13 35 13 34,4 14,0 37,6 14,0 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0

Dari Tabel 6 dapat diketahui sebaran pekerjaan ayah pada kelas akselerasi dan reguler proporsi terbesar bekerja sebagai PNS, sedangkan pada kelas

unggulan proporsi terbesar ayah contoh bekerja sebagai karyawan swasta.

Proporsi terbesar pekerjaan ibu contoh pada kelas akselerasi dan unggulan sebagai PNS, sedangkan pada kelas reguler proporsi terbesar ibu contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003) jenis pekerjaan orangtua merupakan salah satu indikator besarnya penghasilan keluarga. Diharapkan dengan semakin besarnya penghasilan, maka konsumsi keluarga pun menjadi semakin baik dalam hal gizi makanan yang dikonsumsi baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

(4)

Pendapatan

Pendapatan perkapita keluarga contoh dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu miskin dan tidak miskin. Kategori miskin apabila pendapatan per kapita per bulan, < Rp 128.282,- dan tidak miskin jika pendapatan per kapita per bulan ≥ Rp 128.282,- (BPS 2005). Pendapatan per kapita keluarga contoh berkisar dari Rp 300.000,- sampai Rp 1.833.333,-. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga adalah Rp 920.942,- dengan standar deviasi Rp 313.463,-. Berdasarkan kategori tersebut pendapatan per kapita keluarga contoh masuk dalam kategori tidak miskin 100%. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori kemiskinan

Pendapatan Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Miskin Tidak miskin 0 20 0,0 100,0 0 21 0,0 100,0 0 52 0,0 100,0 0 93 0,0 100,0 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min – Max 1.067.142±316.750 625.000 – 1.833.333 913.151±303.629 300.000 – 1.375.000 860.588±302.624 300.000 – 1.375.000 920.942±313.463 300.000 – 1.833.333 Hasil uji statistik menunjukkan pendapatan perkapita tidak berhubungan dengan prestasi belajar, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara pendapatan perkapita dengan prestasi belajar. Dimana semakin tinggi pendapatan perkapita maka prestasi belajar akan semakin baik.

Menurut Sajogyo (1978) pendapatan berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku manusia dalam mengkonsumsi pangan. Dengan demikian pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan jumlah dan macam pangan yang tersedia dalam keluarga. Apabila pendapatan cukup, maka jumlah dan macam pangan yang ada di rumah tangga akan tercukupi, sebaliknya pendapatan yang rendah akan menjadi kendala dalam penyediaan pangan keluarga yang akan berakibat buruk terhadap status gizi keluarga (Berg & Sajogyo 1986).

Hardinsyah dan Drajat (1992) menyatakan dengan pendapatan yang tinggi maka pemenuhan kebutuhan primer seperti pangan dapat terpenuhi dengan baik. Dengan konsumsi pangan yang baik maka daya tahan tubuh terhadap penyakit akan meningkat. Konsumsi pangan diperlukan untuk mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh akan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya.

(5)

Besar keluarga

Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga contoh. Besar

keluarga contoh dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu keluarga kecil, sedang dan besar. Keluarga kecil jika jumlah anggota keluarganya (≤ 4 orang), keluarga sedang jika jumlah anggota keluarganya (5 – 7 orang), dan besar jika jumlah anggota keluarganya ( > 7 orang) (BPS 2001).

Secara umum, dari Tabel 8 diketahui berdasarkan skor total bahwa sebagian besar contoh 78,5% termasuk dalam kategori keluarga kecil yang terdiri dari kurang dari atau sama dengan 4 orang anggota keluarga.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga Besar

Keluarga

Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Kecil Sedang Besar 17 3 0 85,0 15,0 0,0 17 2 2 81,0 9,5 9,5 39 10 3 75,0 19,2 5,8 73 15 5 78,5 16,1 5,4 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min – Max 4,0 ± 1,0 3,0 – 7,0 5,0 ± 1,7 4,0 – 11,0 5,1 ± 1,4 3,0 – 10,0 4,9 ± 1,4 3,0 – 11,0 Menurut sanjur (1982), jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya besar jumlah anggota keluarga.

Karakteristik Contoh Umur dan Jenis kelamin

Berdasarkan data yang diperoleh, umur contoh berkisar antara 13 sampai 15 tahun, dengan rata-rata 14 ± 0,6 tahun. Pada kelas akselerasi sebagian besar contoh laki-laki dan perempuan berumur 13 tahun, sedangkan pada kelas

ungggulan dan reguler sebagian besar contoh laki-laki dan perempuan berumur 14 tahun. Selanjutnya sebaran umur dan jenis kelamin contoh ditampilkan pada Tabel 9.

(6)

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin Umur

Akselerasi Unggulan Regular Total

LK (%) PR (%) LK (%) PR (%) LK (%) PR (%) LK (%) PR (%) 13 14 15 25,0 5,0 0,0 55,0 15,0 0,0 0,0 28,6 9,5 4,8 47,6 9,5 0,0 28,8 7,7 1,9 48,1 13,5 5,4 23,6 6,4 14,0 40,9 9,7 Total 30,0 70,0 38,1 61,9 36,5 63,5 35,4 64,6 ± SD Min–Max 13,2 ± 0,4 13,0 – 14,0 14,1 ± 0,5 13,0 – 15,0 14,2 ± 0,4 13,0 – 15,0 14,0 ± 0,6 13,0 – 15,0 Helms dan Turner (1991) mengelompokkan usia remaja antara 13 – 19 tahun. Monks (1992) melakukan pembagian perkembangan remaja adalah pra remaja (10-12 tahun), remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) dan remaja

pertengahan usia (15-18 tahun) serta remaja akhir usia (18-21 tahun). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa contoh dalam penelitian ini termasuk dalam masa remaja awal atau pubertas.

Uang saku

Uang saku contoh per hari berkisar antara Rp. 3.000,- sampai Rp. 20.000,- dengan rata-rata Rp. 8.156 ± 2.761. Uang saku contoh dikategorikan menjadi rendah (< Rp 5.395), sedang ( Rp 5.395 – 10.917) dan tinggi (> Rp 10.917). Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar uang saku contoh ketiga kelas masuk dalam kategori sedang dengan kisaran Rp 5.395 sampai Rp 10.917. Hasil uji anova menunjukkan uang saku pada ketiga kelas tidak berbeda nyata. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori uang saku

Uang Saku Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Rendah Sedang Tinggi 9 11 0 45,0 55,0 0,0 2 16 3 9,5 76,2 14,3 6 43 3 11,5 82,7 5,8 17 70 6 18,3 75,3 6,5 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min–Max 6.475± 1.983 3.000 ±10.000 9.238 ± 3.520 5.000±20.000 8.365 ± 2.407 3.000±15.000 8.156 ± 2.761 3.000±20.000

(7)

Napitu (1994) menyatakan bahwa uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimiliki.

Pengetahuan Gizi

Untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan gizi contoh, dilakukan analisis kuantitatif yaitu dengan memberi skor atas semua jawaban yang diberikan contoh. Pengetahuan tentang gizi ini terdiri dari 20 item pertanyaan, dengan skor total 20 jika jawaban benar atas semua pertanyaan. Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan jawaban benar dari pertanyaan pengetahuan

gizi

Pertanyaan Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n %

Pengertian makanan sehat Zat gizi yang diperlukan tubuh Zat gizi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan Konsumsi energi berlebih disimpan dalam bentuk Fungsi protein

Pangan sumber karbohidrat Vitamin larut lemak

Buah yang mengandung vitamin C

Pangan sumber protein nabati Makanan hewani sumber vitamin A

Makanan sumber kalsium Makanan sumber serat Tahu, tempe, ikan, daging dan telur sumber

Makanan sumber zat besi Buah dan sayur sumber Pangan sumber protein Akibat kekurangan zat besi Sayuran sumber vitamin A Akibat kekurangan vitamin C Ciri-ciri orang yang anemia adalah, kecuali 20 19 20 20 18 20 20 12 19 17 20 20 20 18 19 19 20 17 20 15 100,0 95,0 100,0 100,0 90,0 100,0 100,0 60,0 95,0 85,0 100,0 100,0 100,0 90,0 95,0 95,0 100,0 85,0 100,0 75,0 21 20 18 20 17 20 21 12 19 9 20 21 21 17 21 20 16 15 19 13 100,0 95,2 85,7 95,2 81,0 95,2 100,0 57,1 90,5 42,9 95,2 100,0 100,0 81,0 100,0 95,2 76,2 71,4 90,5 61,9 51 52 42 48 45 52 48 20 40 26 52 52 51 26 51 48 28 38 50 19 98,1 100,0 80,8 92,3 86,5 100,0 92,3 38,5 76,9 50,0 100,0 100,0 98,1 50,0 98,1 92,3 53,8 73,1 96,2 36,5 92 91 80 88 60 92 89 44 78 52 92 93 92 61 91 87 64 70 89 47 98,9 97,8 86,0 94,6 86,0 98,9 95,7 47,3 83,9 55,9 98,9 100,0 98,9 65,6 97,8 93,5 68,8 75,3 95,7 50,5

Dari Tabel 11 diketahui proporsi terkecil contoh memberikan jawaban benar terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan buah-buahan yang

(8)

besi, penyakit yang diakibatkan kekurangan zat besi, serta yang bukan merupakan ciri-ciri orang yang anemia.

Ketidaktahuan contoh terhadap buah-buahan yang mengandung vitamin C ini sejalan dengan fakta rendahnya tingkat konsumsi vitamin C pada contoh ketiga kelas. Masih besarnya proporsi contoh yang tidak tahu makanan sumber zat besi juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat konsumsi zat besi (Fe). Dan banyaknya contoh yang menjawab salah pada pertanyaan tentang ciri-ciri orang yang anemia kemungkinan karena kurang teliti dalam membaca soal, karena dibagian akhir soal ada kata kecuali yang menunjukkan untuk mencari jawaban yang sebaliknya. Ketelitian dalam menjawab soal-soal dalam tes atau ulangan perlu ditekankan pada contoh, karena apabila tidak teliti pertanyaan yang harusnya bisa dijawab dengan benar menjadi salah.

Penilaian terhadap ketepatan jawaban pengetahuan gizi dibuat dalam bentuk persentase, yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu rendah (< 60%); sedang ( 60% - 80%); dan baik (> 80%). Secara umum, berdasarkan skor total diketahui bahwa sebagian besar contoh 61,3% memiliki pengetahuan gizi baik. Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler sebagian besar contoh memiliki pengetahuan gizi baik, khusus untuk kelas reguler contoh yang memiliki pengetahuan gizi baik dan sedang mencapai

persentase yang sama yaitu 46,2%.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kategori pengetahuan gizi Pengetahuan

Gizi

Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Rendah Sedang Baik 0 1 19 0,0 5,0 95,0 1 6 14 4,8 28,6 66,7 4 24 24 7,7 46,2 46,2 5 31 57 5,4 33,3 61,3 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min–Max 92,7 ± 5,7 80,0 ± 100,0 85,9 ± 9,7 60,0 ± 100,0 80,7 ± 9,4 60,0 ± 95,0 84,4 ± 10,0 60,0 ± 100,0 Pengetahuan gizi yang baik diharapkan dapat menunjang di dalam pemilihan atau penyusunan menu yang akan dikonsumsi guna mencapai status gizi baik. Hasil uji anova menunjukkan bahwa pengetahuan gizi berbeda sangat

(9)

nyata pada ketiga kelompok kelas. Hasil analisa statistik diketahui bahwa

pengetahuan gizi berhubungan nyata dengan status kesehatan dan prestasi belajar.

Perilaku Konsumsi Pangan Kebiasaan Makan

Hal yang diteliti mengenai kebiasaan makan contoh adalah frekuensi makan, kebiasaan sarapan pagi, jenis bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi konsumsi makanan jajanan, kebiasaan minum susu dan frekuensi minum susu, konsumsi sayur dan buah serta konsumsi food suplement.

Secara umum, berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 63,4% memiliki kebiasaan makan dalam sehari 3 kali. Sebanyak 75,3% contoh memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Sebanyak 45,2% contoh memiliki kebiasaan makan makanan jajanan lebih dari tiga kali sehari. Sebanyak 100% contoh mengkonsumsi makanan jajanan sebagai makanan selingan/tambahan, dan sebanyak 53,8% contoh mengkonsumsi makanan jajanan karena rasa lapar.

Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler memiliki kebiasaan makan dalam sehari 3 kali dengan persentase masing-masing 85,0%; 71,4% dan 51,9%. Sebagian besar contoh baik pada kelas

akselerasi, unggulan maupun reguler memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah dengan kisaran persentase antara 69,2% sampai 90,0%. Frekuensi konsumsi makanan jajanan contoh antara kelas akselerasi dengan dua kelas lainnya berbeda, dimana pada kelas akselerasi proporsi terbesar contoh yang mengkonsumsi makanan jajanan adalah 2 kali (40,0%). Sedangkan pada kelas unggulan dan reguler 48,4% contoh mengkonsumsi makanan jajanan lebih dari 3 kali dalam sehari. Sebanyak 100% contoh pada ketiga kelas mengkonsumsi makanan jajanan sebagai makanan selingan/tambahan dan sebagian besar alasan contoh mengkonsumsi makanan jajanan pada ketiga kelas karena rasa lapar (53,8%).

(10)

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan Kebiasaan

Makan Kriteria

Akselerasi Unggulan Regular Total

n % n % n % n % Frekuensi makan dalam sehari 2 kali 3 kali >3 kali Tidak tentu 1 17 1 1 5,0 85,0 5,0 5,0 2 15 0 4 9,5 71,4 0,0 19,0 1 27 5 19 1,9 51,9 9,6 36,5 4 59 6 24 4,3 63,4 6,5 25,8 Sarapan pagi Ya Kadang-kadang 18 2 90,0 10,0 16 5 76,2 23,8 36 15 69,2 30,7 70 23 75,2 24,8 Frekuensi konsumsi makanan jajanan 1 kali 2 kali 3 kali >3 kali 5 8 2 5 25,0 40,0 10,0 25,0 2 8 2 9 9,5 38,1 9,5 42,9 5 14 5 28 9,6 26,9 9,6 53,8 12 30 9 42 12,9 32,3 9,7 45,2 Minum susu Ya Kadang-kadang Tidak 12 7 1 60,0 35,0 5,0 10 8 3 47,6 38,1 14,3 32 17 3 61,5 32,7 5,8 54 32 7 58,1 34,4 7,5 Frekuensi dalam seminggu >4 gelas 3-4 gelas 1-2 gelas 0 gelas 12 2 5 1 60,0 10,0 25,0 5,0 10 4 4 3 47,6 19,0 19,0 14,3 22 13 14 3 42,3 25,0 26,9 5,8 44 19 23 7 47,3 20,4 24,7 7,5 Konsumsi sayur Ya Kadang-kadang 15 5 75,0 25,0 14 7 66,7 33,3 34 18 65,4 34,6 63 30 67,7 32,3 Konsumsi buah Ya Kadang-kadang 15 5 75,0 25,0 11 10 52,4 47,6 37 15 71,2 28,8 63 30 67,7 32,3 Konsumsi suplemen Ya Tidak 6 14 30,0 70,0 9 12 42,9 57,1 19 33 36,5 63,5 34 59 36,6 63,4 Secara umum, berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa 63,4% contoh memiliki kebiasaan makan dalam sehari 3 kali. Persentase tersebut sama dengan hasil penelitian Astuti (2002) yang menunjukkan bahwa 63,3% murid SMU di Trenggalek memiliki frekuensi makan tiga kali sehari. Kebiasaan makan tiga kali sehari atau lebih merupakan kebiasaan makan yang baik, karena dengan frekuensi konsumsi yang makin sering diharapkan akan semakin besar kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan gizinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasoetion dan Khomsan (1995) bahwa peluang untuk

mencukupi kebutuhan gizi akan lebih besar jika frekuensi makan tiga kali sehari. Sebanyak 75,3% contoh memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Astuti (2002) yang menunjukkan 41,7% murid SMU di Trenggalek terbiasa sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Namun, hasil penelitian ini sedikit lebih rendah dibandingkan penelitian Kustiyah (2005) yang melaporkan sebanyak 76,1% murid SD di Bogor terbiasa sarapan pagi. Sarapan pagi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi contoh untuk beraktifitas dan

(11)

belajar. Apabila anak tidak sarapan maka kemampuan berpikir dan konsentrasi akan sangat berkurang, sehingga kegiatan belajar anak akan terganggu. Cukup tingginya contoh yang sarapan pagi akan berdampak terhadap performans contoh di sekolah. Disamping itu, menurut hasil penelitian di AS dan Indonesia, ternyata dampak sarapan pagi sebelum berangkat sekolah adalah amat besar. Rata-rata anak yang sempat sarapan pagi mempunyai prestasi yang lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak sarapan. Selain itu, sarapan dapat merangsang gerakan belahan otak kanan si anak untuk menciptakan kegiatan kreatif dan mengurangi keinginan untuk jajan. Hal ini terjadi karena anak sudah puas dan kenyang, sehingga keinginan untuk jajan pun berkurang atau bahkan hilang (Kustiyah 2005).

Selanjutnya dalam Food Facts Asia (2004) juga disebutkan bahwa sarapan pagi berhubungan dengan peningkatan performans mental, khususnya berdampak positif terhadap kewaspadaan, konsentrasi dan membantu menjaga sikap positif terhadap proses belajar di sekolah, tugas-tugas dan aktifitas lainnya. Selain itu, terdapat bukti yang kuat bahwa anak-anak dan remaja yang sarapan dan

sarapannya banyak mengandung karbohidrat kompleks, maka secara nyata lebih mampu berkonsentrasi dan memecahkan permasalahan daripada yang tidak sarapan.

Hasil penelitian yang menunjukkan masih terdapatnya sekitar 24,8% contoh yang kadang-kadang sarapan perlu mendapat perhatian dari orang tua dan guru, karena berbagai penelitian membuktikan bahwa sarapan berpengaruh pada prestasi belajar anak. Riyadi (1995) mengemukakan bahwa pada anak-anak sekolah yang tidak sarapan, ternyata daya tangkap terhadap pelajarannya tidak sebaik mereka yang melakukan sarapan. Selain itu, anak yang tidak sarapan umumnya kurang kreatif dan agak lamban dalam berpikir. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh rendahnya kadar glukosa darah. Apabila kadar glukosa darah berada di bawah normal, maka akan timbul gejala hipoglikemia. Berat ringannya hipoglikemia tergantung pada tingkat seberapa rendah kadar glukosa darahnya.

Sebanyak 45,2% contoh memiliki frekuensi makan makanan jajanan lebih dari 3 kali dalam sehari. Persentase tersebut lebih rendah dibandingkan penelitian Astuti (2002) yang menunjukkan sebanyak 81,7% siswa SMA mengkonsumsi

(12)

makanan jajanan dengan frekuensi satu sampai tiga kali dalam seminggu. Martoatmodjo et al. (1973) menyatakan bahwa kebiasaan jajan pada anak-anak sekolah memiliki kebaikan dan keburukannya. Kebaikannya diantaranya, jika makanan yang dibeli tersebut sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, maka bisa melengkapi atau menambah kebutuhan gizi anak, serta untuk mengisi kekosongan lambung karena setiap tiga sampai empat jam sesudah makan maka lambung mulai kosong. Sedangkan kerugiannya antara lain dapat memboroskan keuangan rumah tangga, dapat mengurangi nafsu makan di rumah serta adanya

kekhawatiran berpengaruh negatif terhadap kesehatan anak. Sebagaimana

dinyatakan oleh Villavieja et al. (1998) bahwa kebiasaan jajan dapat berpengaruh negatif terhadap berkurangnya selera makan dan kesehatan gigi.

Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh 58,1% memiliki kebiasaan minum susu, dengan frekuensi minum susu lebih dari 4 gelas seminggu sebanyak 47,3%. Sebagian besar contoh pada ketiga kelas memiliki kebiasaan mengkonsumsi sayur dan buah (67,7%). Sedangkan sebagian besar contoh pada ketiga kelas 63,4% tidak mengkonsumsi suplemen selama seminggu terakhir pada saat pengambilan data. Besarnya persentase contoh yang tidak mengkonsumsi suplemen pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Astuti (2002) yang melaporkan sebanyak 95% murid SMU di Trenggalek tidak mengkonsumsi suplemen. Jadi persentase contoh yang mengkonsumsi suplemen dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan contoh pada penelitian Astuti (2002). Hal ini dikarenakan orangtua contoh sudah menyediakan suplemen yang dikonsumsi contoh dan menyuruh contoh untuk mengkonsumsinya.

Dari contoh yang mengkonsumsi suplemen (Tabel 13), sebagian besar contoh 43,2% mengkonsumsi multivitamin untuk pertumbuhan dan

perkembangan (curcuma plus, minyak ikan, HD pollenergy, marine organic calcium, nutrilite daily supplement, scott emulsion, biolysin, stimuno dan zevith grow). Alasan mengkonsumsi suplemen adalah untuk meningkatkan/menjaga daya tahan tubuh, meningkatkan daya ingat, memacu pertumbuhan, dan untuk memenuhi kebutuhan vitamin C serta zat besi. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi suplemen dalam seminggu terakhir disajikan pada Tabel 14.

(13)

Tabel 14 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Suplemen yang Dikonsumsi Seminggu Terakhir

Suplemen yang Dikonsumsi Jumlah (n) Persentase (%) Tablet vitamin C effervescent

Tablet hisap vitamin C Multivitamin pertumbuhan Multivitamin untuk otak Herba

Tablet tambah darah

10 5 19 3 5 2 22,7 11,4 43,2 6,8 11,4 4,5 Untuk menyimpulkan bagaimana perilaku konsumsi pangan contoh, pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan makan diskor. Skor yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi kurang (< 19,4); sedang (19,4 – 29,6); dan baik (>29,6). Dari hasil pengkategorian tersebut ternyata sebagian besar contoh 57% mempunyai perilaku konsumsi pangan tergolong sedang (Tabel 15).

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori perilaku konsumsi pangan Perilaku

Konsumsi pangan

Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Sedang Baik 8 12 40,0 60,0 14 7 66,7 33,3 31 21 59,6 40,4 53 40 57,0 43,0 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min–Max 29,5 ± 2,3 26,0 – 33,0 28,3 ± 2,9 23,0 – 33,0 28,3 ± 2,7 24,0 – 34,0 28,6 ± 2,7 23,0 – 34,0 Dari Tabel 15 dapat diketahui bahwa perilaku konsumsi pangan contoh pada kelas akselerasi sebagian besar tergolong baik (60%), sedangkan pada kelas unggulan dan reguler sebagian besar contoh memiliki perilaku konsumsi pangan tergolong sedang dengan persentase 66,7% dan 59,6%. Hasil uji anova

menunjukkan bahwa perilaku konsumsi pangan tidak berbeda nyata pada ketiga kelas. Hasil uji statistik menunjukkan perilaku konsumsi pangan berhubungan dengan prestasi belajar, hal ini senada dengan penelitian Thoha (2006) yang melaporkan bahwa pola konsumsi pangan berhubungan dengan prestasi belajar (IPK).

(14)

Analisis Konsumsi Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi. Konsumsi pangan yang cukup dapat membuat keadaan kesehatan seseorang menjadi lebih baik. Remaja dalam kehidupannya sangat aktif dan sedang dalam masa pertumbuhan yang cepat sehingga harus mendapatkan makanan yang bergizi. Konsumsi energi dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, pola dan kebiasaan makan, serta pendapatan (Kartasapoetra & Marsetyo 2005). Data konsumsi energi dan zat gizi contoh disajikan pada Tabel 16.

Secara umum, dari hasil penelitian diketahui bahwa ada kecenderungan rata-rata konsumsi energi, protein dan zat besi (Fe) contoh laki-laki kelas akselerasi lebih tinggi daripada kelas unggulan dan reguler. Sedangkan rata-rata konsumsi vitamin C contoh laki-laki kelas reguler lebih tinggi daripada akselerasi dan unggulan. Dan rata-rata konsumsi vitamin B contoh laki-laki pada kelas unggulan lebih tinggi daripada dua kelas lainnya. Secara keseluruhan, rata-rata konsumsi energi, protein, zat besi (Fe), vitamin C dan vitamin B contoh

perempuan pada kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan unggulan. Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisik (Almatsier 2002). Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan. Dari Tabel 16 dapat diketahui bahwa rata-rata konsumsi energi contoh laki-laki pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler masing-masing mencapai 2757 kkal; 2146 kkal; dan 2094 kkal. Sedangkan contoh perempuan pada ketiga kelas rata-rata konsumsi energi masing-masing adalah 1785 kkal; 1938 kkal dan 2054 kkal. Rata-rata konsumsi energi contoh laki-laki pada kelas akselerasi lebih tinggi dibandingkan dengan kelas unggulan dan reguler. Sebaliknya, rata-rata konsumsi energi contoh

perempuan dari kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan unggulan. Rata-rata konsumsi protein contoh laki-laki pada kelas akselerasi,

unggulan dan reguler masing-masing adalah 78,8 g; 61,2 g; dan 65,5 g.

Sedangkan pada contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing 71,7 g; 58,9 g; dan 81,0 g. Rata-rata konsumsi protein contoh laki-laki pada kelas akselerasi lebih tinggi daripada kelas unggulan dan reguler, sedangkan rata-rata konsumsi

(15)

protein contoh perempuan kelas reguler lebih tinggi daripada dua kelas lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan konsumsi protein berhubungan dengan konsumsi zat besi dan vitamin B1. Protein bagi tubuh berfungsi untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Winarno 1997). protein merupakan pembentuk

hemoglobin. Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi dan mempunyai afinitas (daya gabung) terhadap oksigen. Hemoglobin dengan oksigen membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah untuk selanjutnya dibawa dari paru-paru ke jaringan (Ramakhrisnan 2001). Selain itu, sel darah merah bertugas

mengangkut oksigen dan zat-zat makanan ke seluruh tubuh serta membantu proses metabolisme tubuh untuk menghasilkan energi (Almatsier 2002).

Salah satu zat gizi mikro yang diperlukan tubuh yaitu besi. Sunarti (1990) menyatakan zat besi sangat diperlukan bagi pembentukan hemoglobin yaitu zat warna yang terdapat di dalam sel-sel darah merah yang memungkinkan sel-sel darah merah tersebut mengangkut oksigen (O2) ke jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan. Di dalam tiap sel, besi bekerja sama dengan rantai protein-pengangkut-elektron berperan dalam metabolisme energi. Protein pengangkut memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen, sehingga membentuk air. Dalam proses tersebut dihasilkan ATP.

Rata-rata konsumsi zat besi (Fe) contoh laki-laki pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler masing-masing adalah 20,7 mg; 19,6 mg; dan 19,8 mg. Sedangkan pada contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing adalah 20,9 mg; 17,8 mg; dan 28,4 mg. Rata-rata konsumsi zat besi (Fe) contoh laki-laki kelas akselerasi lebih tinggi daripada kedua kelas lainnya, sedangkan pada contoh perempuan rata-rata konsumsi zat besi (Fe) kelas reguler lebih tinggi daripada akselerasi dan unggulan.

Rata-rata konsumsi vitamin C contoh laki-laki pada ketiga kelas aadalah 18,4 mg; 13,5 mg; dan 26,0 mg. Sedangkan rata-rata konsumsi vitamin C contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing 13,3 mg; 19,3 mg; dan 22,2 mg. Rata-rata konsumsi vitamin C contoh laki-laki kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan unggulan. Sama halnya dengan rata-rata konsumsi vitamin C

(16)

contoh perempuan pada kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan unggulan.

Rata-rata konsumsi Vitamin B1 contoh laki-laki kelas akselerasi, unggulan dan reguler masing-masing 2,4 mg; 11,4 mg; dan 1,1 mg. Rata-rata konsumsi vitamin B1 contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing adalah 1,2 mg; 1,1 mg; dan 2,4 mg. Rata-rata konsumsi vitamin B1 contoh laki-laki kelas unggulan lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan reguler. Sedangkan rata-rata konsumsi vitamin B1 contoh perempuan kelas reguler lebih tinggi daripada dua kelas lainnya.

Tabel 16 Rata-rata konsumsi, kecukupan gizi yang dianjurkan dan tingkat konsumsi energi dan zat gizi contoh

Variabel Akselerasi Unggulan Reguler Total

LK PR LK PR LK PR LK PR Energi Konsumsi (kkal) Kecukupan (kkal) Tk konsumsi (%) Protein Konsumsi (g) Kecukupan (g) Tk konsumsi (%) Zat Besi (Fe)

Konsumsi (mg) Kecukupan (mg) Tk konsumsi (%) Vitamin C Konsumsi (mg) Kecukupan (mg) Tk konsumsi (%) Vitamin B1 Konsumsi (mg) Kecukupan (mg) Tk konsumsi (%) 2757 2533 108,8 78,8 63,4 124,3 20,7 20,1 102,9 18,4 79,2 23,2 2,4 2,6 92,3 1785 2167 82,4 71,7 52,6 136,3 20,9 24,0 87,1 13,3 59,9 22,2 1,2 2,2 54,5 2146 2503 85,7 61,2 62,6 97,8 19,6 19,8 99,0 13,5 78,2 17,3 1,4 2,5 56,0 1938 2193 88,4 58,9 53,2 110,7 17,8 24,3 73,3 19,3 60,7 31,8 1,1 2,3 47,8 2094 2647 79,1 65,5 66,2 98,9 19,8 21,0 94,3 26,0 82,7 31,4 1,1 2,7 40,7 2054 2144 95,8 81,0 52,0 155,8 28,4 23,7 119,8 22,2 59,3 37,4 2,4 2,2 109,1 2332 2561 91,2 68,5 64,1 107,0 20,0 20,3 98,8 19,3 80,0 24,0 1,6 2,6 63,0 1926 2168 88,8 70,5 52,6 134,3 22,4 24,0 93,4 18,3 60,0 30,5 1,6 2,2 70,5

Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Tingkat konsumsi energi dan zat gizi dihitung dengan cara

membandingkan rata-rata konsumsi energi dan zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan, yang hasilnya disajikan pada Tabel 16.

Dari Tabel 16 diketahui bahwa tingkat konsumsi energi contoh laki-laki pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler masing-masing 108,8%; 85,7%; dan 79,1%. Tingkat konsumsi energi contoh perempuan pada ketiga kelas adalah 82,4%; 88,4%; dan 95,8%. Tingkat konsumsi energi contoh laki-laki pada kelas

(17)

akselerasi lebih tinggi daripada unggulan dan reguler. Tingkat konsumsi energi contoh laki-laki kelas akselerasi dan unggulan sudah melebihi dari angka kecukupan yang dianjurkan, sedangkan pada kelas reguler tingkat konsumsi energinya perlu ditingkatkan lagi agar mencapai angka kecukupan yang

dianjurkan. Tingkat konsumsi energi contoh perempuan pada kelas reguler lebih tinggi daripada akselerasi dan unggulan. Secara umum, tingkat konsumsi energi contoh laki-laki dan perempuan pada ketiga kelas masih di bawah angka

kecukupan yang dianjurkan yaitu 91,2% dan 88,8% sehingga konsumsinya perlu ditingkatkan lagi. Apabila konsumsi pangan tidak segera ditingkatkan

dikhawatirkan contoh akan rentan terserang penyakit infeksi dan kemampuan kognitifnya juga akan ikut terpengaruh. Dari hasil uji anova menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata konsumsi energi pada ketiga kelompok kelas.

Tingkat konsumsi protein contoh laki-laki pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler adalah 124,3%; 97,8%; dan 98,9%. Sedangkan tingkat konsumsi protein contoh perempuan pada ketiga kelas berturut-turut adalah 136,3%; 110,7%; dan 155,8%. Tingkat konsumsi protein contoh laki-laki kelas akselerasi sudah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan sedangkan pada dua kelas yang lain masih belum memenuhi angka kecukupan yang diajurkan. Tingkat konsumsi contoh perempuan pada kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan unggulan. Secara keseluruhan, tingkat konsumsi protein contoh laki-laki dan perempuan pada ketiga kelas sudah melebihi dari angka kecukupan yang dianjurkan yaitu 107,0% dan 134,3%. Hal ini dikarenakan konsumsi pangan sumber protein hewani cukup tinggi misalnya ayam, telor dan daging, ditambah dengan sumber protein nabati yaitu tahu dan tempe yang juga dikonsumsi oleh contoh. Hasil uji anova diketahui bahwa tingkat konsumsi protein tidak berbeda nyata pada ketiga kelompok kelas.

Tingkat konsumsi zat besi (Fe) contoh laki-laki pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler masing-masing 102,9%; 99,0%; dan 94,3%. Sedangkan tingkat konsumsi zat besi (Fe) contoh perempuan pada ketiga kelas adalah 87,1%; 73,3%; dan 119,8%. Tingkat konsumsi zat besi contoh laki-laki kelas akselerasi lebih tinggi dari dua kelas lainnya dan sudah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan. Tingkat konsumsi contoh perempuan kelas reguler lebih tinggi dari

(18)

dua kelas lainnya serta sudah melebihi dari angka kecukupan yang dianjurkan. Secara keseluruhan, tingkat konsumsi zat besi contoh laki-laki maupun

perempuan tergolong cukup yaitu 98,8% dan 93,4% dari angka kecukupan. Namun, untuk mengantisipasi defisit besi dalam jangka waktu yang lama konsumsinya perlu ditingkatkan. Hasil uji anova diketahui bahwa tingkat konsumsi zat besi pada ketiga kelas tidak berbeda nyata.

Intake zat besi akan mempengaruhi keseimbangan zat besi di dalam tubuh. Intake zat besi yang kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan akan

meningkatkan risiko terjadinya defisiensi besi (Suhardjo 1989). Komposisi makanan merupakan salah satu faktor dari luar tubuh atau lingkungan yang dapat mempengaruhi persediaan besi di dalam makanan itu. Ketersediaan biologis dari besi pada beragam makanan berbeda satu dengan lainnya. Jika dibandingkan dengan protein hewani, besi yang terdapat di dalam biji-bijian sedikit yang dapat diserap oleh usus (Piliang & Djojosoewondo 2006).

Tingkat konsumsi Vitamin C contoh laki-laki pada ketiga kelas berturut-turut adalah 23,28%; 17,3%; dan 31,4%. Sedangkan tingkat konsumsi vitamin C contoh perempuan masing-masing adalah 22,2%; 31,8% dan 37,4%. Secara umum, Tingkat konsumsi vitamin C pada ketiga kelas baik pada contoh laki-laki maupun perempuan tergolong kurang yaitu 24,0% dan 30,5% dari angka

kecukupan sehingga konsumsi perlu ditingkatkan lagi. Rendahnya tingkat

kecukupan vitamin C ini diakibatkan oleh sedikitnya konsumsi buah dan sayuran. Hasil uji anova menunjukkan tingkat konsumsi vitamin C pada ketiga kelas tidak berbeda nyata.

Konsumsi Vitamin C dapat membantu penyerapan besi. Besi dalam makanan berada dalam ikatan ferri maupun ferro. Ikatan ferro yang umumnya terdapat dalam pangan hewani lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus (Suhardjo & Kusharrto 1988). Dan dinyatakan oleh Winarno (1997) penyerapan besi di dalam saluran pencernaan yang direduksi dari bentuk ferri (Fe3+) menjadi ferro (Fe2+) akan lebih mudah dengan kehadiran Vitamin C dan asam amino. Almatsier (2002) menyatakan kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan tubuh mudah lelah, lemah dan perdarahan gusi. Selain itu kekurangan vitamin C juga dapat menyebabkan anemia.

(19)

Tingkat konsumsi vitamin B1 contoh laki-laki kelas akselerasi, unggulan dan reguler masing-masing 92,3%; 56,0%; dan 40,7%. Sedangkan pada contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing adalah 54,5%; 47,8%; dan 109,1%. Secara keseluruhan tingkat konsumsi vitamin B1 contoh laki-laki dan perempuan pada ketiga kelas tergolong kurang yaitu 63,0% dan 70,5% dari angka kecukupan yang dianjurkan, sehingga konsumsinya masih perlu ditambah. Hasil uji anova diketahui tingkat konsumsi vitamin B1 contoh pada ketiga kelas tidak berbeda nyata.

Vitamin B1 (tiamin) berperan sebagai koenzim dalam reaksi-reaksi yang menghasilkan energi dari karbohidrat dan memindahkan energi membentuk senyawa kaya energi yang disebut ATP (Winarno 1997). Lebih lanjut, Winarno (1997) menjelaskan tiamin tidak dapat disimpan banyak oleh tubuh, tetapi dalam jumlah terbatas dapat disimpan dalam hati, ginjal, jantung, otak dan otot. Bila tiamin terlalu banyak dikonsumsi, kelebihannya akan dibuang melalui air kemih.

Pola Aktivitas

Pola aktivitas contoh diperoleh dari recall 2 x 24 jam yaitu pada hari sekolah dan hari libur. Pada Tabel 17 dapat diketahui bahwa alokasi waktu terbesar contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler adalah untuk tidur, dengan rata-rata 8,5 jam dari seluruh waktu contoh. Selanjutnya aktivitas contoh yang juga memakan waktu yang cukup banyak pada ketiga kelas adalah untuk kegiatan sekolah yaitu 7,2 jam dari keseluruhan aktivitas. Sedangkan aktivitas contoh yang paling kecil alokasi waktunya adalah untuk kegiatan olah raga 0,2 jam.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Thoha (2006) yang

menunjukkan bahwa alokasi waktu terbesar mahasiswa D3 Kebidanan digunakan untuk tidur dan aktivitas yang paling kecil alokasi waktunya adalah untuk

kegiatan olahraga.

Pada hari sekolah rata-rata waktu tidur contoh kelas akselerasi enam sampai tujuh jam, tetapi pada hari libur rata-rata waktu tidur mereka meningkat yaitu sembilan sampai sepuluh jam sehari. Selanjutnya, rata-rata penggunaan waktu contoh untuk berbagai aktivitas disajikan pada Tabel 17.

(20)

Tabel 17 Rata-rata penggunaan waktu contoh untuk berbagai aktivitas Aktivitas

Akselerasi Unggulan Reguler Total

(Jam) % (Jam) % (Jam) % (Jam) %

Belajar Bermain Nonton tv Tidur Olah raga Pribadi Sekolah 2,8 1,3 2,1 8,3 0,3 2,2 7,0 11,7 5,4 8,8 34,6 1,2 9,1 29,2 2,6 2,3 2,0 7,9 0,2 1,9 7,1 10,8 9,6 8,3 32,9 0,8 7,9 29,6 1,9 1,8 2,3 8,8 0,2 1,8 7,2 7,9 7,5 9,6 36,7 0,8 7,5 30 2,2 1,8 2,2 8,5 0,2 1,9 7,2 9,2 7,5 9,2 35,4 0,8 7,9 30,0 Total 24,0 100,0 24,0 100,0 24,0 100,0 24,0 100,0

Hasil uji anova menunjukkan bahwa aktivitas belajar, aktivitas bermain, dan aktivitas tidur berbeda nyata diantara ketiga kelas. Hasil analisa statistik menunjukkan aktivitas belajar berhubungan negatif dengan aktivitas nonton tv dan tidur dan berhubungan positif dengan prestasi belajar. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak alokasi waktu yang digunakan contoh untuk belajar, akan semakin sedikit alokasi waktu yang digunakan untuk nonton tv dan tidur, dan semakin banyak alokasi waktu yang digunakan untuk belajar secara signifikan akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.

Hasil uji statistik juga menunjukkan aktivitas bermain berhubungan negatif dengan aktivitas nonton tv, aktivitas tidur, aktivitas pribadi dan sekolah serta tingkat stres, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak waktu yang digunakan untuk bermain semakin rendah tingkat stres yang dialami contoh. Aktivitas nonton tv berhubungan negatif dengan motivasi, hal ini

mengindikasikan bahwa contoh yang memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar menggunakan sedikit waktunya untuk nonton tv sehingga dia bisa memanfaatkan lebih banyak waktunya untuk belajar.

Status Gizi

Gambaran tentang status gizi contoh diketahui berdasarkan pengukuran secara antropometri yang dinilai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) serta diukur secara biokimia (kadar hemoglobin darah) yang disajikan pada Tabel 18, 19 dan 20.

(21)

Status Gizi Antropometri

Indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah tersedia (Riyadi 2003).

Status gizi remaja diukur dengan menilai Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan mengukur bobot tubuh (berat badan) dalam satuan kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam satuan meter. Kemudian status gizi remaja

dikelompokkan menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT < 17,0); kurus (IMT 17,0 – 18,5); normal (IMT 18,5 – 25,0); gemuk (IMT 25,0 – 27,0) dan obesitas (IMT > 27,0) (Depkes 1996).

Secara umum, rata-rata umur contoh adalah 14 ± 0,6 tahun dengan kisaran 13 hingga 15 tahun. Sementara, rata-rata berat badan contoh secara keseluruhan adalah 47,4 ± 8,6 kg dan tinggi badan rata-rata adalah 157,9 ± 7,3 cm. Rata-rata nilai IMT contoh adalah 18,9 ± 2,5 dan tergolong dalam status gizi normal. Tabel 18 Berat badan dan IMT contoh

Antropometri Akselerasi Unggulan Regular Total ± SD ± SD ± SD ± SD Berat Badan (BB)

Indeks Massa Tubuh (IMT) 46,8 ± 6,9 18,6 ± 2,3 47,3 ± 9,9 19,0 ± 3,1 47,7 ± 8,7 19,0 ± 2,3 47,4 ± 8,6 18,9 ± 2,5 Min – Max BB

Min– Max IMT

34,0-62,0 15,6-23,1 33,0-70,0 14,7-28,8 34,0-80,0 15,6-28,3 33,0-80,0 14,7-28,8 Hasil uji anova menunjukkan IMT pada ketiga kelompok kelas tidak berbeda nyata. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa IMT berhubungan positif dengan kadar hemoglobin (Hb).

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau

sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan (Riyadi 1995). Pencapaian status gizi baik diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, aktivitas fisik, berat dan tinggi badan,

(22)

keadaan fisiologis dan keadaan kesehatan (Hermina 1993). Sebaran contoh berdasarkan status gizi antropometri disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kategori status gizi antropometri Status Gizi Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Kurus sekali Kurus Normal Obess 7 4 9 0 35,0 20,0 45,0 0,0 7 5 8 1 33,3 23,8 38,1 4,8 7 17 27 1 13,5 32,7 51,9 1,9 21 26 44 2 22,6 28,0 47,3 2,1 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0

Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa status gizi contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler sebagian besar berstatus gizi normal. Hasil uji anova menunjukkan status gizi tidak berbeda nyata pada ketiga kelas. Hasil analisa statistik menunjukkan status gizi berhubungan sangat nyata dengan prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan hubungan yang nyata antara status gizi dengan prestasi belajar, dan penelitian Hanum (1993) menunjukkan status gizi berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Prestasi yang semakin meningkat dapat terjadi karena dengan status gizi yang baik maka anak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam mengikuti pelajaran sehingga semua yang dipelajari dapat diterima dengan baik. Siswa yang kurang sehat atau kurang gizi daya tangkapnya terhadap pelajaran dan kemampuan belajarnya akan lebih rendah (Grossman 1997 dalam Kusumaningrum 2006).

Masalah gizi yang dialami contoh dapat berdampak negatif terhadap penurunan konsentrasi belajar dan penurunan kesegaran jasmani. Banyak

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kelompok remaja mengalami banyak masalah gizi. Bahkan menurut Obaid (2004) dalam Thoha (2006) saat ini terdapat sekitar 1,2 juta remaja di dunia atau 1 dari 5 orang menghadapi masalah gizi yang serius yang tidak hanya akan mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan mereka, namun juga setelah mereka dewasa.

Menurut Suhardjo (1989) status gizi yang baik dapat dicapai dengan cara mengkonsumsi pangan yang mengandung cukup zat gizi dan aman serta

(23)

lain umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, kegiatan fisik, keadaan fisiologi dan kesehatan.

Status Anemia

Status anemia contoh dinilai dari hasil pengukuran hemoglobin (Hb) dalam darah. Kadar Hb contoh berkisar antara 11,7 sampai 17,5 g/dl, dengan rata-rata kadar Hb adalah 14,1 ± 1,15 g/dl. Penilaian status anemia contoh dibedakan menjadi anemia jika kadar Hb < 12 g/dl pada contoh perempuan dan Hb < 13,5 g/dl pada contoh laki-laki, serta tidak anemia jika kadar Hb ≥ 12 g/dl (perempuan) dan Hb ≥ 13,5 (laki-laki).

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan kategori status anemia

Status Anemia Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Anemia Tidak anemia 0 20 0 100,0 1 20 4,8 95,2 0 52 0 100,0 1 92 1,1 98,9 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min–Max 13,8 ± 1,2 12,1 - 15,5 13,9 ± 1,1 11,7 – 15,9 14,3 ± 1,2 12,3 – 17,5 14,1 ± 1,1 11,7 – 17,5 Dari Tabel 20 dapat diketahui secara umum, sebagian besar contoh 98,9% tidak anemia dan proporsi contoh yang anemia 1,1% yaitu contoh pada kelas unggulan. Hasil uji anova menunjukkan status anemia tidak berbeda nyata pada ketiga kelas. Hasil analisa statistik menunjukkan status anemia tidak berhubungan dengan prestasi belajar. Hal ini senada dengan penelitian Thoha (2006) yang menunjukkan status anemia tidak berhubungan dengan nilai IPK, dan penelitian Astuti (2002) menunjukkan tidak ada hubungan antara status anemia dengan prestasi belajar siswa, serta penelitian Atasasih (2001) yang menunjukkan status anemia tidak berhubungan nyata dengan prestasi belajar.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan proporsi anemia sebesar 1,1% disebabkan contoh menderita penyakit maag kronis dan saat pengambilan darah berlangsung kondisi kesehatan contoh masih dalam tahap recovery dan contoh belum bisa mengkonsumsi makanan secara maksimal, karena masih terbatas pada jenis makanan tertentu saja selain itu juga karena padatnya aktivitas contoh karena

(24)

contoh sebagai da’i cilik yang sering diundang untuk mengisi acara-acara baik di dalam maupun di luar kota.

Rendahnya prevalensi anemia contoh pada penelitian ini diduga karena tingkat konsumsi zat besi (Fe) yang tergolong cukup dari angka kecukupan yang dianjurkan (Tabel 16), selain itu tingginya rata-rata kadar Hb contoh yaitu 14,1 ±1,2 g/dl. Rendahnya prevalensi anemia pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Suharto (2008) yang menunjukkan prevalensi anemia pada siswa SMP sebanyak 67%, serta penelitian Thoha (2006) menunjukkan prevalensi anemia pada mahasiswa D3 kebidanan sebesar 25%.

Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi. Bila belum juga dipenuhi dengan masukan zat besi, lama-kelamaan timbul gejala anemia disertai penurunan Hb. Sebenarnya tubuh mempunyai mekanisme menjaga keseimbangan zat besi dan mencegah berkembangnya kekurangan zat besi. Tubuh mampu mengatur penyerapan zat besi sesuai kebutuhan tubuh dengan meningkatkan penyerapan pada kondisi kekurangan dan menurunkan penyerapan saat kelebihan zat besi (Anonim 2005). Menurut Dillon (2007) jika kadar hemoglobin dalam darah pada anak berada di kisaran 9 sampai 10 g/dl, bisa dipastikan penyebabnya adalah asupan gizi. Tetapi jika kadar hemoglobinnya dibawah 8 g/dl, bisa

dipastikan ada penyakit penyertanya. Salah satu kemungkinannya adalah

cacingan. Sehingga penggunaan tablet besi harus dipadukan dengan obat cacing.

Status Kesehatan

Keadaan fisik yang sehat merupakan kondisi yang memungkinkan seseorang untuk dapat belajar secara efektif. Seorang siswa yang sering sakit biasanya mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam belajar, misalnya cepat lelah, tidak bisa berkonsentrasi karena penglihatan dan pendengaran terganggu (Kalpen 1997).

Untuk mengetahui status kesehatan contoh dilakukan analisis kuantitatif yaitu dengan memberi skor atas faktor jenis penyakit, frekuensi sakit, lama hari sakit dan cara pengobatan ketika sakit. Skoring atas jenis penyakit lebih

(25)

dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu kurang (>71); sedang (44 – 71); dan baik (< 44) (Slamet 1993).

Dari Tabel 21 diketahui bahwa secara umum status kesehatan contoh pada ketiga kelas dalam satu bulan terakhir tergolong baik dengan persentase 74,2%. Hasil uji anova menunjukkan bahwa status kesehatan berbeda nyata pada ketiga kelas.

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kategori status kesehatan Status

Kesehatan

Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n % Kurang Sedang Baik 0 7 13 0,0 35,0 65,0 0 1 20 0,0 4,8 95,2 5 11 36 9,6 21,2 69,2 5 19 69 5,4 20,4 74,2 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min–Max 35,3 ± 22,5 1,0 – 64,0 18,5 ± 14,8 1,0 – 53,0 35,4 ± 28,2 1,0 – 94,0 31,6 ± 25,3 1,0 – 94,0 Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa status kesehatan berhubungan nyata dengan konsumsi zat besi dan prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan terdapatnya hubungan antara status kesehatan dengan prestasi belajar. Juga penelitian Maryam (2001) yang menunjukkan status kesehatan mempengaruhi prestasi belajar.

Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang sakit akibat penyakit atau akibat kelelahan tidak dapat belajar dengan efektif dan hal tersebut akan mempengaruhi hasil belajar (Soemanto 1990). Suryabrata (1995) mengemukakan bahwa kesehatan jasmani pada umumnya dapat dikatakan

melatarbelakangi aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya kesehatan jasmani yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah, dan sebagainya. Sedangkan beberapa penyakit yang kronis juga sangat mengganggu aktivitas belajar seperti pilek, influenza, sakit gigi, dan lain-lain.

(26)

Tingkat Kelelahan

Secara umum, dari Tabel 22 diketahui bahwa sebagian besar contoh kelas akselerasi, unggulan dan reguler merasa lelah dengan persentase 81,7%. Keluhan lemah, letih, lesu karena kurang darah menjadi keluhan fisik yang nyata dan dirasakan oleh penderita anemia gizi besi (Soekirman 2000).

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kelelahan Tingkat

Kelelahan

Akselerasi Unggulan Regular Total

n % n % n % n % Tidak lelah Lelah Sangat lelah 0 19 1 0,0 95,0 5,0 0 17 4 0,0 81,0 19,0 2 40 10 3,8 76,9 19,2 2 76 15 2,2 81,7 16,1 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min – Max 18,4 ± 2,1 15,0 – 24,0 18,0 ± 2,4 13,0 – 22,0 18,4 ± 2,9 10,0 – 24,0 18,3 ± 2,6 10,0 – 24,0 Hasil uji anova menunjukkan bahwa tingkat kelelahan pada ketiga kelas tidak berbeda nyata. Hasil analisa statistik menunjukkan tingkat kelelahan berhubungan sangat nyata (negatif) dengan perilaku konsumsi pangan. Hal ini berarti tingginya tingkat kelelahan contoh karena perilaku konsumsi pangan contoh yang rendah, sehingga perilaku konsumsi pangan contoh perlu ditingkatkan/diperbaiki agar tingkat kelelahan contoh rendah.

Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh, sedangkan kelelahan rohani (psikis) ditandai dengan adanya kelesuan, kebosanan dan sulit berkonsentrasi. Kelelahan jasmani dan rohani (psikis) di atas, salah satunya dapat disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang dialami anak sekolah. Hasil penelitian Mardapi (2005) mengenai pelaksanaan UAN yang dilakukan di enam propinsi pada siswa SMP/MTS dan SMA/MA/SMK mengungkapkan terdapat 13% guru menyatakan bahwa UAN dapat menimbulkan kelelahan fisik bagi siswa.

Secara umum, dari Tabel 23 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh pada ketiga kelas 96,8% merasa lelah pada seminggu terakhir waktu pengambilan data dan tingkat kelelahan ini cukup berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari (50,5%), mood (45,2%), pekerjaan biasa (40,9%) dan kenikmatan hidup (43%), tetapi tingkat kelelahan tersebut tidak berpengaruh terhadap kemampuan berjalan (49,5%) dan hubungan dengan orang lain (52,7%).

(27)

Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan tingkat kelelahan

Pertanyaan Akselerasi Unggulan Regular Total

n % n % n % n %

Perasaan lelah pada seminggu terakhir • Ya • Tidak 20 0 100,0 0,0 20 1 95,2 4,8 50 2 96,2 3,8 90 3 96,8 3,2 Tingkat kelelahan hari ini

• Tidak lelah • Cukup lelah • Lelah • Sangat lelah 3 15 1 1 15,0 75,0 5,0 5,0 6 11 4 0 28,6 52,4 19,0 0,0 9 34 6 3 17,3 65,4 11,5 5,8 18 60 11 4 19,4 64,5 11,8 4,3 Rata-rata tingkat kelelahan seminggu yang lalu

• Tidak lelah • Cukup lelah • Lelah • Sangat lelah 0 14 5 1 0,0 70,0 25,0 5,0 3 8 10 0 14,3 38,1 47,6 0,0 5 27 14 6 9,6 51,9 26,9 11,5 8 49 29 7 8,6 52,7 31,2 7,5 Tingkat kelelahan terburuk seminggu yang lalu

• Tidak lelah • Cukup lelah • Lelah • Sangat lelah 0 7 8 5 0,0 35,0 40,0 25,0 2 3 12 4 9,5 14,3 57,1 19,0 2 7 26 17 3,8 13,5 50,0 32,7 4 17 46 26 4,3 18,3 49,5 28,0 Pengaruh tingkat kelelahan terhadap aktivitas sehari-hari

• Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh 1 14 3 2 5,0 70,0 15,0 10,0 3 5 9 4 14,3 23,8 42,9 19,0 12 28 7 5 23,1 53,8 13,5 9,6 16 47 19 11 17,2 50,5 20,4 11,8 Pengaruh tingkat kelelahan terhadap mood

• Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh 3 11 4 2 15,0 55,0 20,0 10,0 6 7 5 3 28,3 33,3 23,8 14,3 7 24 17 4 13,5 46,2 32,7 7,7 16 42 26 9 17,2 45,2 28,0 9,7 Pengaruh tingkat kelelahan terhadap kemampuan berjalan

• Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh 11 8 1 0 55,0 40,0 5,0 0,0 11 10 0 0 52,4 47,6 0,0 0,0 24 15 13 0 46,2 28,8 25,0 0,0 46 33 14 0 49,5 35,5 15,1 0,0 Pengaruh tingkat kelelahan terhadap pekerjaan biasa

• Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh 8 8 3 1 40,0 40,0 15,0 5,0 4 9 6 2 19,0 42,9 28,6 9,5 15 21 14 2 28,8 40,4 26,9 3,8 27 38 23 5 29,0 40,9 24,7 5,4 Pengaruh tingkat kelelahan terhadap hubungan dengan orang lain

• Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh 12 6 1 1 60,0 30,0 5,0 5,0 13 4 4 0 61,9 19,0 19,0 0,0 24 18 9 1 46,2 34,6 17,3 1,9 49 28 14 2 52,7 30,1 15,1 2,2 Pengaruh tingkat kelelahan terhadap kenikmatan hidup

• Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh 7 12 1 0 35,0 60,0 5,0 0,0 9 8 1 3 42,9 38,1 4,8 14,3 21 20 10 1 40,4 38,5 19,2 1,9 37 40 12 4 39,8 43,0 12,9 4,3

(28)

Tingkat Stres

Dari hasil penelitian diketahui secara umum tingkat stres contoh kelas akselerasi, unggulan dan reguler sebagian besar masuk dalam kategori sedang dengan persentase 81,7%. Hasil uji anova menunjukkan tingkat stres tidak berbeda nyata pada ketiga kelas. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat stres berhubungan dengan tingkat kelelahan dan aktivitas nonton tv, serta berhubungan negatif dengan aktivitas bermain.

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat stres

Tingkat Stres Akselerasi Unggulan Regular Total

n % n % n % n % Rendah Sedang Tinggi 3 16 1 15,0 80,0 5,0 5 16 0 23,8 76,2 0,0 7 44 1 13,5 84,6 1,9 15 76 2 16,1 81,7 2,2 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min – Max 23,5 ± 5,6 16,0 – 38,0 21,0 ± 4,2 16,0 – 31,0 22,0 ± 4,1 16,0 – 34,0 22,1 ± 4,5 16,0 – 38,0 Besarnya persentase tingkat stres dengan kategori sedang pada contoh mengindikasikan bahwa contoh dituntut melakukan berbagai kegiatan, berbagai aktivitas ekstrakurikuler yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan akademik, sehingga contoh mendapat tekanan untuk berkembang lebih cepat dan tertekan karena diharapkan memperoleh ketrampilan sempurna, akibatnya contoh merasa stres karena ketakutan menemui kegagalan yaitu kurang cepat atau kurang tingginya kemampuan yang dicapai. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Asshat (2003) yang menunjukkan tingkat stres siswa akselerasi di bidang

akademis tergolong sedang.

Salah satu temuan yang menarik adalah bahwa hanya persentase sebesar 2,2% dari 93 contoh penelitian yang memiliki stres yang tinggi berasal dari kelas akselerasi dan reguler. Sebagian besar contoh 81,7% memiliki tingkat stres yang sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program akselerasi dan unggulan bisa menyebabkan stres, kenyataannya persentase contoh kelas akselerasi yang mengalami stres tinggi hanya satu orang sedangkan pada kelas unggulan didapat tidak ada satupun contoh yang mengalami stres tinggi.

(29)

Menurut Matlin (1995) dalam Asshat (2003) individu menggunakan proses kognitif yang dimilikinya untuk menilai apakah suatu situasi dapat menyebabkan stres. Jadi, situasi yang sama dapat menimbulkan reaksi yang berbeda pada individu yang berbeda. Pada kelas akselerasi, mungkin sebagian siswa tidak merasa pelaksanaan program akselerasi menimbulkan stres, sementara bagi sebagian lainnya pelaksanaan program akselerasi yang dialaminya

membuatnya stres. Demikian juga pada kelas unggulan maupun pada siswa di kelas reguler.

Dari Tabel 25 dapat diketahui bahwa contoh jarang merasa letih dan lesu yang luar biasa, merasa sedih sekali dan ingin menangis, merasa tegang, tidak tenang, cemas dan terancam, merasa kurang bersemangat pergi ke sekolah, merasa kurang berkonsentrasi dalam belajar dan beraktivitas, merasa tertekan dengan tugas / PR di sekolah, mengalami perubahan nafsu makan, mengalami kehilangan minat melakukan aktivitas, merasa pegal pada punggung, leher dan bahu, merasa tertekan dengan jadwal sekolah yang padat, dan merasa bosan karena tidak punya waktu bermain.

Sebagian besar contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler tidak pernah mengalami tidur tidak nyenyak atau sukar tidur, merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas, lepas kontrol / temperamen dan merasa dingin dan berkeringat lebih banyak dari biasanya. Sedangkan sebanyak 46,2% contoh tidak pernah dan jarang mengalami perut terasa kembung, mulas, mual dan diare saat akan melakukan sesuatu.

(30)

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres

Gejala Stres Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n %

Merasa letih dan lesu yang luar biasa Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 5 6 7 2 0 25,0 30,0 35,0 10,0 0,0 5 12 2 2 0 23,8 57,1 9,5 9,5 0,0 10 27 8 6 1 19,2 51,9 15,4 11,5 1,9 20 45 17 10 1 21,5 48,4 18,3 10,8 1,1 Merasa sedih sekali dan ingin menangis

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 6 9 4 0 1 30,0 45,0 20,0 0,0 5,0 12 8 1 0 0 57,1 38,1 4,8 0,0 0,0 17 20 11 3 1 32,7 35,8 21,2 5,8 1,9 35 37 16 3 2 37,6 39,8 17,2 3,2 2,2 Merasa tegang, tidak tenang, cemas dan terancam

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 4 11 2 2 1 20,0 55,0 10,0 10,0 5,0 7 7 4 2 1 33,3 33,3 19,0 9,5 4,8 14 28 6 3 1 26,9 53,8 11,5 5,8 1,9 25 46 12 7 3 26,9 49,5 12,9 7,5 3,2 Merasa kurang bersemangat pergi ke sekolah

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 9 8 2 1 0 45,0 40,0 10,0 5,0 0,0 8 9 4 0 0 38,1 42,9 19,0 0,0 0,0 18 24 7 0 3 34,6 46,2 13,5 0,0 5,8 35 41 13 1 3 37,6 44,1 14,0 1,1 3,2 Merasa sukar berkonsentrasi dalam belajar dan beraktivitas

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 5 9 4 2 0 25,0 45,0 20,0 10,0 0,0 3 12 3 2 1 14,3 57,1 14,3 9,5 4,8 4 16 23 6 3 7,7 30,8 44,2 11,5 5,8 12 37 30 10 4 12,9 39,8 32,3 10,8 4,3 Mengalami sukar tidur atau tidur tidak nyenyak

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 12 4 1 2 1 60,0 20,0 5,0 10,0 5,0 14 6 1 0 0 66,7 28,6 4,8 0,0 0,0 16 25 8 3 0 30,8 48,1 15,4 5,8 0,0 42 35 10 5 1 45,2 37,6 10,8 5,4 1,1 Merasa tertekan dengan tugas-tugas/PR di sekolah

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 2 3 5 8 2 10,0 15,0 25,0 40,0 10,0 10 8 1 2 0 47,6 38,1 4,8 9,5 0,0 1 16 20 5 10 1,9 30,8 38,5 9,6 19,2 13 27 26 15 12 14,0 29,0 28,0 16,1 12,9 Mengalami perubahan nafsu makan

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 8 9 3 0 0 40,0 45,0 15,0 0,0 0,0 13 2 4 2 0 61,9 9,5 19,0 9,5 0,0 13 33 3 3 0 25,0 63,5 5,8 5,8 0,0 34 44 10 5 0 36,6 47,8 10,8 5,4 0,0

(31)

Tabel 25 (Lanjutan) Sebaran contoh berdasarkan gejala stres

Gejala Stres Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n %

Mengalami kehilangan minat melakukan aktivitas Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 5 10 3 1 1 25,0 50,0 15,0 5,0 5,0 11 6 4 0 0 52,4 28,6 19,0 0,0 0,0 16 23 13 0 0 30,8 44,2 25,0 0,0 0,0 32 39 20 1 1 34,4 41,9 21,5 1,1 1,1 Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 6 6 2 4 2 30,0 30,0 10,0 20,0 10,0 8 5 2 6 0 38,1 23,8 9,5 28,6 0,0 17 17 9 7 2 32,7 32,7 17,3 13,5 3,8 31 28 13 17 4 33,3 30,1 14,0 18,3 4,3 Merasa pegal-pegal pada leher, punggung dan bahu

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 4 6 4 4 2 20,0 30,0 20,0 20,0 10,0 4 7 5 5 0 19,0 33,3 23,8 23,8 0,0 2 20 17 10 3 3,8 38,5 32,7 19,2 5,8 10 33 26 19 5 10,8 35,5 28,0 20,4 5,4 Merasa tertekan dengan jadwal sekolah yang padat

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 4 7 4 3 2 20,0 35,0 20,0 15,0 10,0 9 7 4 1 0 42,9 33,3 19,0 1,1 0,0 11 26 10 3 2 21,2 50,0 19,2 5,8 3,8 24 40 18 7 4 25,8 43,0 19,4 7,5 4,3 Merasa bosan karena tidak punya waktu bermain

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 6 9 3 1 1 30,0 45,0 15,0 5,0 5,0 7 9 4 1 0 33,3 42,9 19,0 4,8 0,0 19 23 5 5 0 36,5 44,2 9,6 9,6 0,0 32 41 12 7 1 34,4 44,1 12,9 7,5 1,1 Lepas kontrol / temperamen

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 8 4 6 1 1 40,0 20,0 30,0 5,0 5,0 11 6 4 0 0 52,4 28,6 19,0 0,0 0,0 23 21 7 1 0 44,2 40,4 13,5 1,9 0,0 42 31 17 2 1 45,2 33,3 18,3 2,2 1,1 Perut terasa kembung, mulas, mual dan diare saat akan

melakukan sesuatu Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 10 7 3 0 0 50,0 35,0 15,0 0,0 0,0 12 7 2 0 0 57,1 33,3 9,5 0,0 0,0 21 29 1 0 1 40,4 55,8 1,9 0,0 1,9 43 43 6 0 1 46,2 46,2 6,5 0,0 1,1 Merasa dingin dan berkeringat lebih banyak dari biasanya

Tidak pernah Jarang Cukup Sering Sering sekali 10 6 2 2 0 50,0 30,0 10,0 10,0 0,0 11 5 1 3 1 52,4 23,8 4,8 14,3 4,8 23 27 0 1 1 44,2 51,9 0,0 1,9 1,9 44 38 3 6 2 47,3 40,9 3,2 6,5 2,2

(32)

Tingkat Kepuasan

Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan contoh, dilakukan analisis kuantitatif yaitu dengan memberi skor atas semua jawaban yang diberikan contoh. Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan tentang tingkat kepuasan

disajikan pada Tabel 26. Pertanyaan tingkat kepuasan terdiri dari 10 item, dengan skor total maksimum adalah 30. Penilaian terhadap jawaban yang diberikan contoh dibuat dalam bentuk persentase yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu tidak puas < 11, puas 11 – 20, dan sangat puas > 20.

Secara umum dari Tabel 26 diketahui bahwa sebagian besar contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler sangat puas terhadap keadaan diri dan prestasi belajar dengan persentase sebesar 69,9%. Hasil uji anova menunjukkan tingkat kepuasan pada ketiga kelas tidak berbeda nyata. Hasil uji statistik menunjukkan tingkat kepuasan berhubungan sangat nyata dengan motivasi, lingkungan keluarga dan prestasi belajar.

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kepuasan Tingkat

Kepuasan

Akselerasi Unggulan Regular Total

n % n % n % n % Tidak puas Puas Sangat puas 0 5 15 0,0 25,0 75,0 0 4 17 0,0 19,0 81,0 1 18 33 1,9 34,6 63,5 1 27 65 1,1 29,0 69,9 Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD Min – Max 23,8 ± 5,0 13,0 – 30,0 23,9 ± 4,1 15,0 – 30,0 22,2 ± 3,7 11,0 – 30,0 22,9 ± 4,1 11,0 – 30,0 Tingginya persentase contoh pada ketiga kelas yang sangat puas

berhubungan dengan prestasi belajarnya, dimana sebagian besar contoh pada ketiga kelas memiliki prestasi belajar yang baik dengan rata-rata nilai raport ≥ 80,0. Ini menumbuhkan perasaan puas terhadap diri contoh tersebut setelah membandingkan antara harapan untuk memperoleh nilai bagus dengan kinerja yang dilakukan yaitu dengan belajar sungguh-sungguh, ini dibuktikan dengan besarnya alokasi waktu untuk belajar sebanyak 2,2 jam dari seluruh kegiatan contoh dibandingkan alokasi waktu untuk bermain atau untuk kegiatan pribadi.

Selain itu contoh pada ketiga kelas merasa puas dengan kemampuan mengikuti pelajaran di kelas dan dengan proses belajar mengajar di kelas. Hasil

(33)

penelitian ini sejalan dengan penelitian Asmoro (2007) yang menunjukkan siswa merasa sangat puas dengan cara guru mengajar dan dengan sikap guru mengajar.

Dari Tabel 27 diketahui bahwa sebagian besar contoh pada kelas

akselerasi, unggulan dan reguler 55,9% merasa puas terhadap kualitas kesehatan fisik, terhadap kualitas kesehatan mental (49,5%), terhadap kelas yang dipilih (50,5%); terhadap pembagian waktu antara di sekolah dan di rumah (58,1%); kemampuan mengikuti kegiatan belajar di kelas (48,4%); proses belajar mengajar di kelas (44,1%); dan prestasi yang sudah dicapai (60,2%). Dan proporsi contoh pada ketiga kelas merasa sangat puas terhadap sikap optimis berhasil dengan prestasi baik di sekolah sebanyak 45,2%; kemampuan beradaptasi dengan lingkungan di sekolah dan di luar sekolah sebanyak 47,3% dan 39,8%. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kepuasan

Tingkat kepuasan Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n %

Kualitas kesehatan fisik • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 1 10 8 1 0 5,0 50,0 40,0 5,0 0,0 0 10 9 2 0 0,0 47,6 42,9 9,5 0,0 1 12 35 3 1 1,9 23,1 67,3 5,8 1,9 2 32 52 6 1 2,2 34,4 55,9 6,5 1,1 Kualitas kesehatan mental

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 2 9 7 2 0 10,0 45,0 35,0 10,0 0,0 1 10 10 0 0 4,8 47,6 47,6 0,0 0,0 1 19 29 3 0 1,9 36,5 55,8 5,8 0,0 4 38 46 5 0 4,3 40,9 49,5 5,4 0,0 Tingkat kepuasan di kelas yang dipilih

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 3 4 11 2 0 15,0 20,0 55,0 10,0 0,0 2 8 9 2 0 9,5 38,1 42,9 9,5 0,0 3 11 27 10 1 5,8 21,2 51,9 19,2 1,9 8 23 47 14 1 8,6 24,7 50,5 15,1 1,1 Pembagian waktu antara di sekolah dengan di rumah

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 0 6 10 4 0 0,0 30,0 50,0 20,0 0,0 0 7 13 0 1 0,0 33,3 61,9 0,0 4,8 3 12 31 6 0 5,8 23,1 59,6 11,5 0,0 3 25 54 10 1 3,2 26,9 58,1 10,8 1,1 Kemampuan mengikuti kegiatan belajar di kelas

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 0 10 8 2 0 0,0 50,0 40,0 10,0 0,0 0 9 9 3 0 0,0 42,9 42,9 14,3 0,0 2 16 28 6 0 3,8 30,8 53,8 11,5 0,0 2 35 45 11 0 2,2 37,6 48,4 11,8 0,0

(34)

Tabel 27 (Lanjutan) Sebaran contoh berdasarkan tingkat kepuasan

Tingkat kepuasan Akselerasi Unggulan Reguler Total

n % n % n % n %

Proses belajar mengajar di kelas • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 0 12 6 2 0 0,0 60,0 30,0 10,0 0,0 3 9 7 2 0 14,3 42,9 33,3 9,5 0,0 1 16 28 7 0 1,9 30,8 53,8 13,5 0,0 4 37 41 11 0 4,3 39,8 44,1 11,8 0,0 Prestasi yang sudah dicapai

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 1 5 10 4 0 5,0 25,0 50,0 20,0 0,0 0 6 11 2 2 0,0 28,6 52,4 9,5 9,5 1 7 35 8 1 1,9 13,5 67,3 15,4 1,9 2 18 56 14 3 2,2 19,4 60,2 15,1 3,2 Keoptimisan berhasil dengan prestasi baik di sekolah

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 2 9 6 3 0 10,0 45,0 30,0 15,0 0,0 3 12 6 0 0 14,3 57,1 28,6 0,0 0,0 3 21 22 6 0 5,8 40,4 42,3 11,5 0,0 8 42 34 9 0 8,6 45,2 36,6 9,7 0,0 Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan sekolah

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 2 12 5 1 0 10,0 60,0 25,0 5,0 0,0 2 9 7 3 0 9,5 42,9 33,3 14,3 0,0 5 23 19 4 1 9,6 44,2 36,5 7,7 1,9 9 44 31 8 1 9,7 47,3 33,3 8,6 1,1 Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan di luar sekolah

• Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk 1 9 8 2 0 5,0 45,0 40,0 10,0 0,0 0 10 8 3 0 0,0 47,6 38,1 14,3 0,0 5 18 20 8 1 9,6 34,6 38,5 15,4 1,9 6 37 36 13 1 6,5 39,8 38,7 14,0 1,1 Kepuasan contoh sangat bergantung pada harapan contoh. Dalam hal ini menurut Sumardjan (1991) sekolah dapat memberikan kepuasan hati dan

pegangan hidup kepada remaja apabila ada seorang atau beberapa guru yang dapat memikat rasa hormatnya atau apabila anak itu merasa bangga karena unggul hasil studinya dibandingkan dengan rekan-rekannya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kotler dan Susanto (1999) bahwa kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Tjiptono (2002) menyatakan bahwa harapan merupakan perkiraan atau keyakinan seseorang tentang apa yang akan diterimanya.

Gambar

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga   Besar
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan jawaban benar dari pertanyaan pengetahuan  gizi
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan  Kebiasaan
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori perilaku konsumsi pangan  Perilaku
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENYEDIAAN JASA PERBAIKAN PERALATAN KERJA JASA PEMELIHARAAN GENSET JB: Barang/jasa JP: Jasa Lainnya.. 1

maupun saham LQ45 yang tidak termasuk dalam Sri-Kehati mempunyai kinerja. saham yang sama-sama baik namun dengan risiko

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYA.. JALAN MANYAR

Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi dan akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham sehingga meningkatkan kepercayaan pasar

Pada aplikasi control alat elektronik menggunakan virtual keypad ini memiliki kelebihan dalam hal keakuratan pendeteksian obyek sesuai dengan range warna yang

Dalam merancang bangunan tahan gempa, sebaiknya perlu diketahui periode natural dari tanah setempat untuk menghindari adanya fenomena resonansi yang dapat

Identitas merek adalah variabel yag berpengaruh terhadap keputusan pembelian sehingga batik sari kenongo harus lebih gencar melakukan promosi atau membuka outlet di

[r]