• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

2.1. Identifikasi Iklan Layanan Masyarakat 2.1.1. Pengertian Iklan

Iklan adalah teknik komunikasi pemasaran yang digunakan seorang penjual untuk menjangkau dan menyampaikan pesan pada konsumen. Tidak sekadar menjual produk, bentuk iklan berubah dari masa ke masa. Di masa lalu, iklan dikatakan berkomunikasi dengan efektif jika mengidentifikasi atau menampilkan pembuat produk, produk, dan lokasi. Kemudian, setelah masa renaisans, pada tahun 1455 ditemukanlah mesin cetak. Industri cetak memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan periklanan. Praktis dan cepatnya pembuatan iklan di tahun ini, iklan mulai memberikan banyak informasi yang bersifat komersial. Pada era kolonial, iklan muncul sebagai iklan kecil yang mengumumkan penjualan tanah, persediaan budak, jadwal kedatangan atau keberangkatan transportasi umum, dan penjualan barang (Moriarty, Mitchell, &

Wells, 2011).

Datangnya revolusi industri pada akhir tahun 1700, pendistribusian produk semakin efisien. Bersamaan dengan itu, arah iklan diubah dari pemberian informasi dengan bahasa yang formal menuju hiperbola untuk menarik perhatian.

Pada awal abad ke 20, iklan mulai dibuat dengan lebih profesional. Orang mulai memperhatikan efektifitas sebuah iklan, tujuan iklan, dan bagaimana pengaruh iklan terhadap loyalitas konsumen kepada sebuah brand (Moriarty, Mitchell, &

Wells, 2011).

2.1.2. Komponen Iklan Modern

Iklan adalah komunikasi massa berbayar yang menghubungkan penjual dan pembeli dengan informasi tentang produk (Moriarty, Mitchell, & Wells, 2011). Periklanan modern merupakan komunikasi strategis yang berorientasi pada dampak, yakni respons konsumen melalui persuasi, apapun pesan atau ajakan

(2)

yang diberikan. Untuk itu, iklan perlu memiliki tujuan yang dapat diukur untuk mengetahui efektifitasnya.

Ada empat area yang menjadi dasar untuk menganalisa efektivitas sebuah iklan. Berikut adalah empat area tersebut:

Strategi Advertising: Konsep yang memberikan tujuan dan fokus. Iklan diarahkan untuk memberikan pesan yang relevan dan efektif untuk menjangkau penikmatnya.

Ide kreatif: Merupakan strategi yang membuat iklan menarik dan diingat. Tidak hanya melalui segi pemecahan masalah. Tapi juga ide, pembelian, dan penempatan iklan tersebut di media tertentu

Pelaksanaan kreatif: Iklan perlu dieksekusi dengan baik. Detail visual, lokasi, dan citra harus menggambarkan nilai produk.

Perencanaan dan pembelian media: Pengiklan umumnya mengambil media yang dapat menjangkau massa yang luas. Namun, penempatan iklan tersebut perlu disertai pemikiran kreatif agar efektif (Moriarty, Mitchell, & Wells, 2011).

2.1.3. Peran Iklan

Peran iklan ada 4, yaitu peran pemasaran, komunikasi, ekonomi, dan masyarakat. Peran pemasaran iklan adalah sebagai alat promosi dalam bauran pemasaran (marketing mix). Melalui iklan, penjual menanamkan pembedaan antara produknya dengan pesaing dalam benak konsumen. Tak hanya itu, iklan juga mengembangkan nilai identitas dari merk-merk tertentu. Dalam peran komunikasinya, iklan menyampaikan pesan untuk mendapatkan sebuah respons dari audiensi. Kemampuan iklan sebagai alat komunikasi massa adalah banyaknya jumlah audiensi yang dapat dijangkau, menyampaikan informasi yang menarik pembeli di pasar, bahkan mengubah sebuah produk dengan pencitraan.

Dalam peran ekonominya, iklan membantu konsumen dalam menilai sebuah produk melalui informasi yang bersifat objektif dan emosional. Sehingga, konsumen tidak hanya membuat keputusan berdasarkan harga, kualitas, reputasi produk, dan penilaian objektif saja. Melalui kesan dan daya tarik psikologis

(3)

produk, konsumen dapat membuat keputusan diluar penilaian objektifnya. Dalam peran kemasyarakatannya, masih menjadi perdebatan apakah iklan membentuk atau mencerminkan tren dan perilaku masyarakat. Paparan iklan dalam masyarakat dipercaya memiliki pengaruh membentuk cara berpikir dan bertindak, ataupun menciptakan kebutuhan baru. Di sisi lain, ada yang mempercayai iklan hanyalah menunjukkan pola pikiran dan perhatian masyarakat. Perdebatan ini merupakan isu dalam peran iklan dalam masyarakat (Moriarty, Mitchell, & Wells, 2011).

2.1.4. Tipe Iklan

Iklan layanan publik/ iklan layanan masyarakat. Iklan ini memiliki pesan yang tujuannya untuk kebaikan publik. Biasanya merupakan ajakan, informasi, atau larangan. Media ini biasanya dibuat tanpa biaya, dan media biasanya memberikan tempat khusus untuk iklan sejenis ini (Moriarty, Mitchell, & Wells, 2011).

2.1.5. Kriteria Iklan Layanan Masyarakat

Menurut Ad Council, kriteria yang dipakai untuk menentukan kampanye pelayanan masyarakat adalah non komersial, tidak berisi muatan keagamaan dan politik, dapat dikonsumsi seluruh lapisan masyarakat, berwawasan nasional, diajukan oleh organisasi yang diakui, dapat diiklankan, kemudian memiliki dampak dan kepentingan tinggi yang menyebabkan dukungan media lokal ataupun nasional. Yang tidak termasuk Iklan Layanan Masyarakat adalah informasi waktu via telepon, perkiraan cuaca, dan pengumuman promosi (Kasali, 1992).

2.1.6. AISAS

Informasi di era digital sangatlah mudah didapat dan banyak. Kemampuan untuk mengolah tidak sepadan dengan banyak dan cepatnya informasi yang diterima. Maka muncullah fenomena information barrier, dimana orang mulai

(4)

mengabaikan informasi yag tidak ada sangkut paut dengan dirinya. Hal tersebut berlanjut pada kecenderungan orang untuk lebih suka mencari informasi sendiri secara aktif. Information barrier juga akan terjadi ketika konsumen melihat semua produk pada dasarnya sama dan tidak merasa perlu memberikan perhatiannya.

Konsumen pun cenderung mengabaikan informasi massal yang ditawarkan secara aktif oleh produsen yang tidak sesuai kebutuhan mereka. Perilaku konsumen tradisional dengan pola AIDMA dirasa terlalu linear untuk jaman sekarang.

AIDMA memiliki tahap di mana konsumen memperhatikan sebuah produk hingga pembelian.

Attention > Interest > Desire > Memory > Action

AIDMA merupakan model yang efektif untuk iklan tradisional, yang bertujuan membuat konsumen memilih sebuah brand diantara yang lain. Untuk menghadapi perilaku konsumen yang aktif dalam mencari dan berbagi informasi, dibuatlah model tahapan baru. AISAS menjadikan pencarian dan pembagian informasi sebagai faktor penting dalam keputusan pembelian.

Attention > Interest > Search > Action > Share

Tahapan dalam proses ini tidak bersifat linear. Dapat terjadi adanya tahap yang terlewatkan atau terulang hingga mencapai keputusan pembelian. Dengan AISAS, diharapkan pengiklan membuat jalan yang jelas untuk pembelian, dan hubungan timbal balik dengan konsumen (Sugiyama et al., 2011).

Dalam perancangan yang akan dibuat, menggunakan teori AISAS, iklan akan lebih difokuskan pada memicu perbincangan dengan cara memberikan pola pandang baru melalui topik yang relevan terhadap wawasan target audience.

Maka, unsur share adalah hal yang krusial dalam perancangan ini. Selebihnya, action bukanlah variabel yang diutamakan, karena memang tujuan dari iklan ini bukan difokuskan untuk melakukan sesuatu. Namun, mengajak audience memahami pola pandang dan akibat dari stereotip gender yang terkadang tidak

(5)

disadari pada wilayah profesi. Tahap action disarankan dilakukan dalam perancangan yang akan dilakukan untuk mendukung perancangan ini.

2.1.7. Media Online

Media daring sebagai bentuk media massa yang baru, berdaya jangkau luas, dan terhubung, merupakan wilayah media yang digunakan oleh perancang.

Alasannya adalah karena tahap share merupakan variabel utama, maka sebisa mungkin, perancang memudahkan audience agar tidak berpindah – pindah media.

Sehingga proses komunikasi, pencarian, dan penyebaran menjadi lebih cepat.

Informasi yang diberikan tidak keluar dari yang telah direncanakan (Romeltea, 2014).

2.1.8. Media Sosial

Media sosial sebagai sarana untuk menciptakan citra diri dan berbagi pandangan satu orang dengan yang lainnya merupakan lahan yang baik bagi perancang untuk memaksimalkan variabel share dan perbincangan yang telah direncanakan (Romeltea, 2014).

2.1.9. Poster

Poster yang akan dibuat dalam perancangan ini berbentuk digital. Fungsi dari dibuatnya media poster ini adalah sebagai media pendukung. Karena karakteristiknya yang bersifat cepat, mudah dilihat, dan konten yang kuat, poster digital ini berperan untuk menarik perhatian secara singkat, membawa isu dengan cepat ke media sosial dan daring. Tujuannya adalah untuk menarik simpati, perhatian, dan menggiring audience kepada media utama (Pengertian Poster:

Arti, Ciri-Ciri, Tujuan, Fungsi, dan Jenis Poster, n.d.).

2.1.10. Audio Visual

Media audio visual yang digunakan berbentuk video. Video memang merupakan media yang membutuhkan durasi dan atensi dalam penyampaian

(6)

pesannya. Namun, video dapat menyajikan pesan secara mendalam dan menarik simpati lebih jika dipadukan dengan teknik storytelling yang baik. Melalui video dengan perannya sebagai penarik simpati dan pemahaman yang dalam terhadap permasalahan, audience akan dibawa untuk melihat pola pandang yang baru terhadap stereotip gender dalam profesi (Pengertian Audio Visual: Pengertian, Jenis, Ciri, Fungsi, Kelebihan, Kekurangan dan Manfaat, 2018).

2.2. Tinjauan Permasalahan Stereotip Gender dalam Profesi 2.2.1. Stereotip Gender

Stereotype is a widely held but fixed and oversimplified image or idea of a particular type of person or thing (Oxford Dictionaries, n.d.). Stereotip merupakan pandangan atau gambaran, tentang jenis orang atau hal tertentu, yang bersifat kaku dan terlalu disederhanakan. Dalam ilmu kemasyarakatan, terdapat tiga pendekatan luas terhadap stereotip.

 Menurut Phelps (1972) dan Arrow (1973), pendekatan ekonomi melihat stereotip sebagai hasil dari diskriminasi statistik, yaitu pemahaman rasional yang terbentuk terhadap suatu golongan berdasarkan asumsi yang terkumpul mengenai kelompok tersebut (dalam Bordalo, Coffman, Gennaioli, Shleifer, 2015).

 Pendekatan sosiologis berhubungan hanya dengan kelompok tertentu.

Pendekatan ini memandang stereotip sebagai hal yang secara dasar salah dan menggeneralisasikan sifat suatu kelompok secara semena – mena atau diskriminatif. Pendekatan ini mungkin sesuai untuk beberapa golongan.

Namun, tidak semua stereotip, sekalipun sama – sama tidak benar, sifatnya negatif atau merendahkan (Bordalo, Coffman, Gennaioli, Shleifer, 2015).

 Kognisi sosial adalah pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.

Pendekatan ini mendefinisikan stereotip sebagai penggolongan suatu kelompok berdasarkan sifat kelompok yang paling menonjol diantara banyak kelompok. Seteotip bersifat selektif, dibatasi dengan karakteristik yang paling menonjol diantara kelompok – kelompok lainnya, dan yang

(7)

merupakan mayoritas dalam kelompok tersebut (Bordalo, Coffman, Gennaioli, Shleifer, 2015).

Hal utama yang memicu terjadinya stereotip adalah perbedaan antar kelompok. Ketika kita membayangkan sebuah kelompok, kita fokus pada faktor yang paling membedakan dan mengabaikan faktor sisanya (Bordalo, Coffman, Gennaioli, Shleifer, 2015).

Kata seks mengacu pada kondisi biologis seseorang, pria atau wanita.

Gender mengacu pada aspek non-fisik dari seks. Yaitu, ekspektasi budaya tentang maskulinitas dan femininitas (Lips, 1988). Kata gender yang digunakan dalam perancangan ini tidak berkaitan dengan isu kesetaraan gender yang sedang terjadi di masyarakat. Tidak ada usaha untuk menyetarakan gender dalam perancangan ini. Apa yang berusaha dicapai dalam perancangan ini adalah mereduksi stereotip gender dalam profesi. Profesi mana yang merupakan profesi pria dan profesi wanita. Tugas apa yang lebih sesuai dikerjakan pria dan dikerjakan wanita. Karena adanya stereotip keahlian dan pembedaan terhadap mana yang wilayah pria dan wanita, muncullah kesenjangan dan pola pikir bahwa memang pekerjaan berkaitan dengan sifat maskulin dan feminin. Sifat – sifat yang terbentuk di masyarakat tentang pria dan wanita secara tidak sadar dikaitkan dengan keahlian seperti ilmu matematis/eksak, atau keahlian atletis.

Ketika kata sifat yang merujuk kepada gender dikaitkan dengan seks.

Terjadinya bias antara sifat gender maskulin dan feminin dengan citra seks pria dan wanita. Berikut adalah big five personality yang akan digunakan dalam sebuah riset untuk menganalisa kata sifat yang paling sering digunakan untuk menggambarkan sosok pria dan wanita dalam penulisan buku atau novel fiksi.

Agreeableness.

Kecenderungan memuaskan keinginan orang dan membangun hubungan baik.

Extraversion.

Merujuk pada kecenderungan orang untuk mengikuti dan menikmati

(8)

perhatian sosial, peka terhadap potensi mendapat penghargaan, dan kecenderungan untuk memimpin dan memiliki kuasa.

Conscientiousness.

Menggambarkan pengendalian diri terhadap perilaku dan kesadaran, usaha dalam mengerjakan tugas, sifat dapat dipercaya dan diandalkan, dan komitmen.

Openness.

Menggambarkan keterbukaan seseorang terhadap pengalaman dan pengetahuan, kemampuan beradaptasi, pemecahan masalah, dan kreativitas.

Neuroticism / emotional stability.

Menggambarkan kemudahan seseorang untuk dipengaruhi emosi negatif dan kesulitan untuk mengatasi stres/tekanan.

Penelitian ini mempelajari bagaimana pria dan wanita digambarkan dalam Big Five Personality adjective dalam Google American Books dan English Fiction Books. Dibawah adalah tabel data 10 terbanyak penggunaan kata sifat untuk menggambarkan pria dan wanita berdasarkan 5 kategori diatas (Ye, Cai, Chen, Wan, & Qian, 2018).

Tabel 2.1. 10 Kata Sifat yang Menunjukkan Perbedaan Gender Terbesar dalam Dua Periode. Sumber: Ye, S., Cai, S., Chen, C., Wan, Q., & Qian, X. (2018, p. 10)

(telah diolah kembali)

Faktor Periode Kata Sifat

Pria Wanita

Agreeableness 1890 - 1900 Honest, thoughtful, reasonable,

religious, moral, merry,

conscientious.

Amiable, kind, sensitive.

1990 - 2000 Honest, reasonable, religious, kind, -

(9)

generous, patient, thoughtful, abusive, moral, sensitive.

Extraversion 1890 - 1900 Brave, active, bold, merry, serious, social, cautious, dull, vigorous, daring.

-

1990 - 2000 Brave, quiet, active, serious, cautious, assertive, merry, social, silent, shy.

-

Conscientiousness 1890 - 1900 Wise, practical, conscientious, rational, serious, reliable,

conservative, cautious, careful.

Frivolous.

1990 - 2000 Wise, practical, rational, ambitious, serious, cautious, lazy, reliable.

Mature, organized.

Neuroticism 1890 - 1900 Brave, selfish, peaceful.

Nervous, jealous, sensitive, anxious, masculine,

sentimental, courageous.

1990 - 2000 Brave, patient, sensitive, selfish, peaceful, impatient, restless, defensive, courageous.

Feminine.

Openness 1890 - 1900 Intellectual,

rational, ingenious, genial,

contemplative.

Clever, bright, simple, intellectual, conventional.

1990 - 2000 Rational, simple, intelligent, clever, complex, shrewd, genial.

Independent, traditional, intellectual.

(10)

Kata sifat yang digunakan tersebut menggambarkan bagaimana perempuan dan pria dipandang dalam 200 tahun dalam karya tulis berupa buku. Kita melihat bahwa ada pembedaan gender pria dan wanita berdasarkan persepsi sifatnya. Pria lebih tergambarkan sebagai sosok yang memiliki kepribadian atau sifat mudah membangun hubungan dengan orang lain, cenderung memimpin, stabil, rasional dan komitmen dalam tugas. Sedangkan wanita digambarkan sebagai sosok berkepribadian atau sifat ramah, baik, peka, terbuka, mampu beradaptasi, kreatif, lembut, mudah terpengaruh emosi negatif atau tekanan. Dengan adanya perbedaan persepsi sifat yang menonjol antara golongan pria dan wanita, maka rawan dan dapat terjadi stereotip sifat gender berdasarkan kriteria ini.

2.2.2. Dampak Stereotip Gender

Di Republik Czech, partisipasi pelajar perempuan di bidang ilmu alam, matematik, dan teknik hanya 35% dibanding pria. Kemudian hanya 25% wanita sebagai pelajar di bidang teknik mesin, industri, dan konstruksi. Berdasarkan berbagai penelitian, anak-anak sejak usia awal masa sekolah menganggap matematik sebagai wilayah pria dan pria lebih mengarahkan dirinya ke bidang matematis dibanding wanita (Cvencek et al., 2011) (dalam Smetackova, 2014, p.

212). Sekalipun adanya kesenjangan dan perbedaan pemikiran terhadap kemampuan masing – masing gender di bidang matematis, hal tersebut tidak mempengaruhi kualitas kerja di bidang tersebut.

Untuk membuktikan kualitas kinerja matematik antara pria dan wanita, dibuatlah eksperimen dengan menggunakan soal – soal dari Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS) yang telah disesuaikan dengan kurikulum sekolah yang diteliti. 10 soal untuk pelajar muda dan 12 untuk yang lebih dewasa. Penilaian diukur dengan bobot 1 poin untuk setiap soal dan 10 poin untuk total nilai tertinggi. Hasil menunjukkan perbedaan nilai subjek tidak terlalu jauh. Untuk subjek lebih muda, nilai rata – rata pria adalah 5,7 dan wanita 5,6. Untuk subjek yang lebih dewasa, nilai rata – rata pria 6,6 dan wanita 6,8.

(11)

dapat terlihat dalam hasil eksperimen ini bahwa gender sama sekali tidak mempengaruhi kinerja manusia di bidang matematis (Smetackova, 2014).

Kemudian untuk kinerja atau keterampilan fisik, penelitian menunjukkan dampak dari stereotyping terhadap kemampuan dan kualitas kerja di bidang atletik. Sebuah fenomena bernama stereotyping threat adalah sebuah kondisi dimana seseorang memberikan hasil kerja di bawah rata – rata, ketika dalam pemikiran mereka, golongan mereka diekspektasikan untuk gagal (Steele, 1997, 1998) (dalam Hively, & El-Alayli, 2013).

Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 61 atlit dan siswa Northwestern University, fenomena ini akan dibuktikan melalui sebuah eksperimen. Subjek dibagi dalam tim berisi 17 pemain basket dengan komposisi 10 pria dan 7 wanita, dan 13 pemain tenis dengan koomposisi 6 pria dan 7 wanita seluruhnya dari National Collegiate Athletic Association (NCAA). Kemudian 15 pria dan 16 wanita yang tidak tergabung dalam asosiasi tersebut mengisi kekosongan seluruh tim hingga jumlahnya seimbang.

Setelah tim terbentuk, mereka diberi kartu arahan untuk melakukan 2 tugas. Tugas tim basket yang pertama, mereka diminta untuk melempar bola basket ke ring dari 4 titik yang berbeda untuk mengukur akurasi. Kemudian tugas ke dua adalah melakukan free throw sebanyak mungkin dalam waktu yang ditentukan untuk mengukur kecepatan. Kemudian, untuk tim tenis, tugas pertama mereka adalah mendaratkan servis dengan 2 bola tenis di 4 titik berdiameter 16 inci di area lawan untuk mengukur akurasi. Tugas ke dua adalah melakukan servis inbound sebanyak mungkin dalam 30 detik.

Tanpa disadari pemain, kartu arahan yang diberikan tersebut terbagi menjadi dua. Kartu arahan yang mengandung stereotyping threat dan yang tidak.

Subjek penelitian tidak mengetahuinya karena mereka diminta untuk membaca kartu tersebut tanpa suara dan tidak saling menunjukkan kartu satu sama lain.

Contoh tulisan dalam kartu yang mengandung stereotyping threat adalah sebagai berikut:

(12)

Asumsi tentang peneliti dan subjek:

"You will be asked to complete two difficult [basketball] shooting tasks. These two tasks have been shown to provide a good assessment of people’s natural athletic ability. Research finds that there is a gender difference in performance on these tasks. Men and women perform at different levels on the specific basketball tasks you are about to complete. Task 1: Shooting baskets from different locations. Task 2: Shooting free throws within a time limit. Let the experimenter know when you are ready to begin" (Hively, & El-Alayli, 2013, p. 51).

Hasilnya, untuk tugas pertama, tim yang mengalami stereotyping threat menghasilkan nilai yang hampir setara. Untuk pria -0,06 dan untuk wanita 0,17.

Sedangkan, tim yang mengalami stereotyping threat menghasilkan nilai yang selisihnya jauh. Untuk pria 0,38 dan untuk wanita -0,41. Sama dengan tugas kedua, tim yang tidak mengalami stereotyping threat menghasilkan nilai yang hampir setara. Untuk pria 0,04 dan untuk wanita 0,13. Sedangkan, tim yang mengalami stereotyping threat menghasilkan nilai yang selisihnya jauh. Untuk pria 0,08 dan untuk wanita -0,54 (Hively, & El-Alayli, 2013).

Penelitian di atas menunjukkan bahwa tanpa adanya tekanan stereotip, secara fisik terutapa di bidang atletis, pria dan wanita tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Sehingga, dalam hal ini, selain stereotip tersebut terbukti ketidak benarannya, namun juga merupakan faktor pembuat kesenjangan atau perbedaan yang sebelumnya tidak ada. Sekalipun sampel yang digunakan adalah hasil eksperimen di luar negeri, namun sampel ini memberikan gambaran kondisi hasil stereotip gender. Yaitu, pembedaan peran secara tak sadar, terbentuknya budaya, dan terpengaruhnya kemampuan seseorang karena adanya stereotyping threat.

2.2.3. Kondisi Profesi di Indonesia

Melalui data yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2016, dapat terlihat presentase partisipasi ekonomi dalam berbagai sektor pekerjaan.

(13)

Tabel 2.2. Statistik Tenaga Kerja (Pegawai/Buruh/Karyawan) Indonesia 2016 Sumber: Islahuddin (2017, para. 8) (telah diolah kembali)

Nama sektor industri

Jumlah pegawai/

buruh/ karyawan menurut sektor

industri (juta orang)

Presentase jumlah wanita (%)

Presentase jumlah pria (%)

Industri Pengolahan 9,65 37% 63%

Angkutan, Pergudangan dan

Komunikasi

6,22 34,7% 65,3%

Jasa Pendidikan 5,91 61,1% 38,9%

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan

Jaminan Sosial Wajib

4,99 28,2% 71,8%

Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan

Perikanan

3,23 18,6% 81,4%

Jasa Lainnya 3,07 62,4% 37,6%

Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel

2,87 3,4% 96,6%

Keuangan, Asuransi, Usaha

Persewaan Bangunan, Tanah,

dan Jasa Perusahaan

1,96 6,9% 93,1%

Jasa Kemasyarakatan,

Sosial dan Perorangan

1,80 42,5% 57,5%

Jasa Keuangan dan Asuransi

1,69 32,8% 67,2%

(14)

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

1,64 67,6% 32,4%

Jasa Perusahaan 0,95 26,1% 73,9%

Pertambangan dan Penggalian

0,75 6,7% 93,3%

Informasi dan Komunikasi

0,47 28,9% 71,1%

Real Estate 0,28 30,1% 69,9%

Listrik, Gas, dan

Air 0,22 6,7% 93,3%

Bangunan 0,15 21,8% 78,2%

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di Indonesia memang terjadi kesenjangan gender dalam profesi. Sekalipun tidak diketahui pasti penyebabnya, berdasarkan sample yang telah disebutkan dalam sub bab sebelumnya, perancang mengaitkan kesenjangan profesi di Indonesia dengan stereotyping threat yang terjadi saat awal masa pendidikan atau saat seseorang sedang dalam pertimbangan untuk menentukan pilihan profesi mana yang akan dipilihnya. Karena adanya stereotip tersebut, entah benar atau tidak pada kenyataannya, muncullah kesenjangan dalam partisipasi ekonomi di berbagai sektor pekerjaan. Sekalipun masih banyak faktor lain selain faktor stereotip peluang ekonomi, wawasan, dan budaya, namun perancangan ini tidak menyentuh ke ranah tersebut.

2.2.4. Stereotip Gender dalam Profesi

Karakter/sifat yang dikandung suatu pekerjaan/profesi dinilai berdasarkan karakter gender yang terbentuk dalam masyarakat. Seharusnya, kita menilai berdasarkan kompetensi dan keinginan mereka yang mengerjakannya (Ünal, Tarhan, & Köksal, 2018).

Bagaimana sebuah kata sifat yang biasa digunakan untuk menggambarkan sosok pria dan wanita menggambarkan citra dan stereotip dalam masyarakat.

Diikuti dengan karakteristik yang paling menonjol untuk setiap profesi

(15)

menghasilkan stereotip karakter orang yang bekerja di sektor tersebut. Hasil kedua stereotip tersebut berpengaruh terhadap fenomena yang kita lihat bagaimana sebuah pekerjaan dilihat sebagai pekerjaan pria dan pekerjaan wanita.

Contoh kesesuaian kata sifat dan pengaruhnya dalam profesi. Profesi di bidang pendidikan banyak diambil wanita sebanyak 61,1% (Islahuddin, 2017) dan sifat yang dominan menggambarkan wanita pada tahun 1890 – 2000 adalah openness. Keterbukaan seseorang terhadap pengalaman, pengetahuan, kemampuan beradaptasi, memecahkan masalah, dan kreatifitas. Karakter tersebut cocok dengan profesi guru.

Sedangkan, partisipasi pria di sektor politik sangat besar sebanyak 83%.

(Bomantama, 2017) Terlihat dari cara pandang terhadap politik mirip dengan sifat – sifat seperti yang digunakan pada pria seperti pemberani, tegas, serius, rasional, dan kompleks (sifat extraversion, neuroticism, dan conscientiousness). Kemudian role model pun memiliki pengaruh dalam stereotip sebagai faktor yang menonjol di sektor tersebut. Wanita Indonesia yang menonjol di sektor politik hari pun memenuhi kriteria tersebut, seperti Tri Rismaharini, Sri Mulyani Indrawati. Maka dari itu, muncullah sebuah stereotip gender dalam profesi, pembedaan profesi untuk pria dan profesi untuk wanita.

2.3. Analisis Akar Masalah 2.3.1. Wawancara

 Wawancara pertama bersama Inge, nama yang telah disamarkan, seorang mahasiswi arsitektur tahun angkatan 2016 Universitas Kristen Petra. Dalam wawancara ini didapati bahwa stereotip gender dalam profesi benar terjadi di wilayah perancangan. Inge berpendapat bahwa perempuan yang berada di teknik sipil terlihat mengagumkan karena dianggap mampu bersaing dengan laki-laki di bidang yang memiliki sifat gender maskulin.

Inge berpendapat bahwa pekerjaan teknik sipil terkesan pekerjaan pria karena adanya kemungkinan bekerja di lapangan, dan membutuhkan logika tinggi. Sama seperti teknik mesin, elektro dan informatika.

(16)

Kemudian ketika ditanya kasus sebaliknya, tentang pria yang memasuki wilayah fashion design dengan sifat gender wanita, Inge memandang pria yang memasuki wilayah tersebut jadi terlihat kurang jantan karena fisik kurang dibutuhkan disana dan dianggap lebih banyak membutuhkan perasaan, sifat estetik dan mengikuti jaman. Bagi Inge, pembedaan pekerjaan pria dan wanita adalah wajar. Sekalipun Inge mengetahui wanita yang bekerja di arsitek bukanlah hal umum di pandangan lingkungannya, namun Inge mengabaikannya sehingga dampak stereotip yang ia rasakan jadi sedikit. Bagi Inge, yang penting setiap orang melakukan apa yang mereka inginkan, asal tidak sampai mengejek atau mengolok – olok orang lain.

 Kemudian, wawancara kedua dilakukan kepada Sandra. Nama yang telah disamarkan. Seorang alumni mahasiswi UK Petra Pogram Studi Teknik Mesin yang sekarang sedang melanjutkan studi S2. Waktu itu, Sandra masuk teknik mesin karena diminta oleh orang tuanya untuk melanjutkan bisnis keluarga. Sandra sebenarnya ingin memasuki jurusan fashion design. Namun, apa daya karena tuntutan keluarga, akhirnya Sandra menghormati keputusan keluarganya. Pada semester awal, Sandra tidak nyaman berada di teknik mesin dan berencana dengan sengaja membuat nilainya jelek. Semua itu agar dia diijinkan untuk pindah ke program studi yang dia inginkan. Namun, setelah pemikiran panjang, Sandra memutuskan untuk melakukan yang terbaik. Baginya, melakukan hal tersebut artinya memburukkan namanya juga, dan dia tidak suka jika perbuatannya menyebabkan namanya dipandang buruk oleh orang. Bisa karena terbiasa. Sandra mau atau tidak, harus mengajari dirinya sendiri untuk menikmati proses belajar di teknik mesin.

Ketika menjalani program orientasi mahasiswa baru di UK Petra, Sandra dipandang aneh. Ketika dia berbaris di barisan untuk program studinya, mahasiswa di depannya memandangnya seolah dia salah memilih barisan. Tapi Sandra berusaha tenang, bersama satu teman sesama

(17)

jenisnya yang berdiri di belakangnya. Ketika program studinya diminta berdiri untuk absensi, dua mahasiswi teknik mesin ini dipandang dengan penuh kekaguman oleh seluruh mahasiswa program studi lain. Bahkan, ketika berkenalan dengan mereka yang berbeda program studi, mereka selalu bertanya apakah dia salah satu dari dua mahasiswi teknik mesin itu.

Seolah – olah mereka ingin mengkonfirmasi kabar yang mereka dengar.

Sebagai gender minoritas di teknik mesin, Sandra tidak ingin memanfaatkan hal tersebut untuk memperoleh nilai yang baik. Dia memperoleh nilainya dengan adil. Bagi Sandra, memang penting untuk mengejar apa yang kamu inginkan. Karena, ketika seseorang menginginkan sesuatu, ia lebih mudah berkembang disana. Sandra juga menemui keterbatasan misalnya ketika ada career fair, perusahaan memang mencari pekerja dari teknik mesin, tapi dalam kriteria, hanya dituliskan pria. Hal ini dianggap wajar oleh Sandra. Mungkin perusahaan memang mengkondisikan demikian dan meragukan keamanan dan kenyamanan jika ada pekerja perempuan disana. Banyak temannya perempuan yang dilihat berpotensi, namun kurang ambisi dan minat.

Menurutnya, hal tersebut dibentuk karena apa yang dipelajari oleh mereka sejak kecil. Bahwa wanita memang tidak dituntut untuk mengejar karir.

Bahkan malah karir terambil alih oleh pria dan mereka dituntut untuk menjaga rumah. Hal tersebut berakibat pada ketekunan dan minat mereka ketika mengerjakan sesuatu. Kecenderungan yang terjadi adalah pasrah dan berpikir bahwa pada akhirnya semua akan dikerjakan oleh suaminya.

Secara pembedaan kemampuan, Sandra mengakui memang dia akan lebih membedakan pekerjaan yang menuntut fisik kepada pria. Sedangkan, ketekunan dan ketelitian kepada wanita.

2.3.2. Faktor Penghambat dan Faktor Pendukung

Faktor penghambat perancangan untuk mereduksi stereotip gender dalam profesi ini adalah:

(18)

Gender adalah sifat yang sudah terbentuk sejak lama dan bagian dari pandangan budaya.

 Stereotip dilakukan dan terjadi tanpa sadar.

Stereotip gender dalam profesi dianggap wajar karena terjadi bias antara sifat (seperti kelemah lembutan, ketegasan, kepedulian, dan apatisme), keahlian kognitif (seperti ketelitian, kepandaian mengatur uang, kepandaian berbicara), keahlian fisik (seperti kemampuan mengangkat benda berat, kemampuan atletis, stamina), dengan kodrat seks (seperti kemampuan untuk melahirkan, menyusui, hal yang tidak dapat dirubah secara biologis).

 Hal ini cenderung kompleks dan rumit untuk diperbincangkan.

 Stereotip menjadi kenyataan ketika ditanamkan dalam diri seseorang.

Faktor pendukung perancangan untuk mereduksi stereotip gender dalam profesi ini adalah:

 Stereotip tidak mempengaruhi kualitas kerja.

 Tanpa pengaruh pandangan stereotip, setiap orang mampu mengerjakan bidang yang diminatinya dengan kompetensi yang dimilikinya.

2.3.3. Analisis Akar Masalah (5W + 1H) What

Apa penyebab terjadinya stereotip gender dalam profesi?

Stereotip gender dalam profesi terjadi akibat tercampurnya sifat gender yang terbentuk di masyarakat dengan kemampuan atau kompetensi seseorang.

Sebagai contoh, desain fashion adalah profesi yang membutuhkan perasaan dan kepekaan estetik. Hal tersebut identik dengan gender feminin wanita yang terbangun di masyarakat. Dengan demikian, muncullah pemikiran bahwa fashion design adalah pekerjaan wanita. Contoh lainnya, teknik sipil adalah profesi yang mengandalkan kalkulasi dan rasional yang tinggi. Hal tersebut identik dengan gender maskulin yang terbangun di masyarakat. Maka, muncullah pemikiran bahwa teknik sipil adalah pekerjaan pria.

(19)

Apa dampak dari stereotip gender dalam profesi?

Dampaknya adalah dalam pengambilan keputusan dan persepsi.

Pengambilan keputusan seseorang dalam menentukan profesi dapat terpengaruh melalui lingkungan yang mengandung pandangan stereotip gender dalam profesi.

Melalui pendapat lingkungan dan social/family pressure yang memiliki pemikiran tersebut, pengambilan keputusan seseorang dapat terpengaruhi. Kemudian, persepsi terhadap mereka yang merupakan gender minoritas di sektor pekerjaannya. Sifat gender orang tersebut dapat tercampur atau tergantikan dengan sifat profesi yang dijalaninya.

Where

Di ranah mana paling sering terjadi stereotip gender dalam profesi?

Ranah paling banyak terjadi stereotip gender dalam profesi adalah dalam profesi yang menunjukkan sifat gender atau ekspektasi gender yang paling kontras. Misalkan teknik mesin yang sangat kontras memiliki sifat gender maskulin, kemudian keperawatan yang sangat kontras memiliki sifat gender feminin.

Who

Siapa yang berpengaruh dalam membentuk pandangan stereotip gender dalam profesi?

Media, lingkungan, dan mereka yang membentuk pemahaman anak saat usia dini seperti guru dan orang tua. Media membentuk melalui penggambaran peran wanita dan pria dalam tayangannya. Sifat gender pun terbentuk melalui apa yang kita lihat di media. Orang tua dan guru sebagai pembentuk pemahaman anak saat usia dini berperan melalui opini dan tindakan mereka. Melalui lingkungan, anak belajar dengan mengadopsi persepsi lingkungan mereka terhadap sifat gender dan profesi.

(20)

Siapa yang dirugikan lewat pandangan stereotip gender dalam profesi?

Kerugian adalah bagi mereka yang terpengaruh stereotype threat. Seperti yang telah terbahas dalam kajian teori sebelumnya, hal tersebut dapat menurunkan kualitas kerja ataupun pengambilan keputusan seseorang. Sekalipun pada kenyataannya, wanita dianggap hebat bila mengambil bidang profesi yang diindentifikasikan sebagai wilayah gender maskulin. Sebaliknya, kesan maskulin seorang pria dianggap berkurang apabila mengambil bidang profesi yang diidentifikasikan sebagai wilayah gender feminin.

When

Kapan terbentuknya pemikiran stereotip gender dalam profesi?

Pemikiran ini terbentuk tanpa sadar melalui dampak stereotip gender yang telah berlangsung. Anak melihat pembagian peran yang telah terjadi di masyarakat dan nilai yang telah ditanamkan sejak lama. Sejak saat itulah dimulai adanya stereotip. Sehingga, dalam perkembangan anak tersebut, terjadi banyak faktor yang akan mempengaruhi pertimbangan dan pengambilan keputusannya.

Kapan momen stereotyping gender dalam profesi yang memiliki pengaruh paling besar?

Dalam momen pertimbangan sebelum pengambilan keputusan, entah itu untuk memilih profesi atau menentukan orang untuk mengisi sebuah profesi.

Kapan momen stereotip gender dalam profesi terjadi?

Hal tersebut sulit untuk diidentifikasikan karena merupakan pertimbangan dan respon seseorang yang dilakukan tanpa sadar. Namun, hal tersebut dapat terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan fakta yang berlawanan dengan ekspektasi gender yang mereka pahami. Lalu dapat terjadi juga secara tidak sadar melalui respon mereka terhadap sesuatu yang sedang mereka lakukan atau terjadi pada mereka.

(21)

Why

Mengapa penting untuk tidak menilai profesi berdasarkan gender namun kompetensi?

Agar mengurangi terjadinya stereotyping threat, ekspektasi gender dan preferensi gender dalam profesi tertentu. Stereotyping threat akan berpengaruh terhadap kinerja seseorang dan pengambilan keputusan seseorang, sebagaimana terjelaskan dalam kajian teori sebelumnya. Ekspektasi gender yang dimaksud adalah harapan tentang hal yang seharusnya lebih dapat dilakukan oleh gender maskulin dan feminin. Misalkan, gender feminin diharapkan dapat memasak dan merawat lebih baik daripada gender maskulin. Gender maskulin diharapkan dapat berpikir sistematis daripada gender feminin. Hal tersebut berpengaruh terhadap kenyataannya ketika didapati seseorang dengan gender maskulin yang lebih terlatih dalam merawat daripada berpikir sistematis, atau gender feminin yang lebih terlatih untuk berpikir sistematik dan memimpin daripada merawat dan peka terhadap keindahan. Ekspektasi gender dapat menjadi pengaruh terhadap pilihan seseorang untuk mengikuti atau tidak mengikuti social pressure yang diciptakannya. Preferensi gender yang dimaksud adalah kecenderungan seseorang untuk memilih gender yang satu daripada yang lain, karena dianggap sesuai dan lebih meyakinkan berperan di bidang tersebut, atas dasar sifat gender yang sesuai dengan pekerjaannya. Misalkan dalam pekerjaan yang lebih tertata, pekerjaan sekretariat sebagai contoh, lowongan pekerjaan akan lebih terbuka terhadap wanita yang memiliki gender feminin daripada pria karena persepsi gender yang telah terbentuk di masyarakat.

How

Bagaimana langkah untuk memulai perubahan pandangan stereotip gender dalam profesi?

Budaya, sebagaimana adanya, tidak tertulis, dilakukan tanpa pertimbangan, dan tanpa sadar. Nilai tersebut ada sebagai usaha untuk mengatur sebuah peradaban. Melawan budaya adalah melawan tatanan peradaban itu

(22)

sendiri, sehingga sesuatu yang melawan budaya cenderung ditolak tanpa pertimbangan objektif. Sehingga, untuk menilai sebuah budaya, perlu untuk melihat bagaimana dampak dari budaya tersebut. Berdasarkan hasil kajian teori yang telah dijabarkan, didapati bahwa khalayak masih menganggap stereotip gender dalam profesi adalah hal yang wajar. Maka dari itu, langkah awal untuk memulai perubahan pandangan budaya adalah menunjukkan dampak dari budaya tersebut kepada khalayak. Tidak hanya itu, dampak yang ditunjukkan haruslah relevan dengan apa yang mereka alami atau pernah dengan. Sehingga, terjadilah penilaian ulang terhadap budaya yang telah terbentuk ini. Setelah ada penilaian dan terbukti budaya tersebut salah, barulah ada penanaman nilai budaya yang baru, yang berdasar, untuk mengatur kembali peradaban tersebut. Maka, langkah awal untuk memulai perubahan adalah melihat dampak budaya tersebut.

Bagaimana mereduksi stereotip gender dalam profesi?

Mereduksi stereotip gender tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat sebagaimana telah dikaji dalam pertanyaan sebelumnya. Sehingga, solusi yang ditawarkan adalah langkah awal dari proses yang panjang, yaitu kesadaran.

Melalui kesadaran, diharapkan khalayak mulai menanamkan nilai pada diri sendiri terlebih dahulu untuk tidak memandang profesi dengan stereotip gender.

2.4. Simpulan Analisa

Stereotip gender terjadi secara tidak sadar. Secara sederhana, hal tersebut terjadi melalui pembentukan dan pemisahan sifat – sifat golongan. Penilaian tersebut dilahirkan melalui apa yang ditunjukkan oleh lingkungan sejak kecil.

Maka, terjadilah respon – respon yang dilakukan secara tak sadar, dan hal tersebut membentuk lingkungan sesuai dengan nilai yang telah tertanam. Sekalipun demikian, penilaian stereotip gender dalam profesi ini sangat mungkin untuk salah. Sebagaimana diperlihatkan melalui berbagai riset dan penelitian jurnal yanng telah dikaji.

Di luar kajian pustaka, hal tersebut telah dipastikan terjadi di negara Indonesia melalui wawancara. Kisah yang diberikan oleh narasumber

(23)

membuktikan adanya stereotip gender dalam profesi melalui respon yang diberikan oleh lingkungan mereka. Stereotip gender dianggap wajar. Dilihat sebagai sebuah pandangan yang biasa dan tidak berdampak besar bagi seseorang.

Sekalipun pada kenyataannya, kita memahami dampak stereotyping threat pada diri dan kinerja seseorang. Budaya dan lingkungan adalah faktor terbesar yang membentuk pandangan tersebut. Budaya tidak dapat dilawan. Namun, dampak budaya dapat ditunjukkan kepada mereka yang menerapkannya.

2.5. Usulan Pemecahan Masalah

Budaya merupakan faktor penghambat utama perancangan ini. Budaya sudah tertanam dan terjadi secara tidak sadar. Faktor penghambat tersebut merupakan kekuatan utama dalam perancangan ini. Karena, langkah awal solusi yang diambil oleh perancangan ini adalah kesadaran terhadap stereotip gender.

Solusi ini tidak akan menuntaskan atau mereduksi secara langsung. Namun, dengan kesadaran bahwa stereotip gender adalah permasalahan, terciptalah kebutuhan untuk menyikapinya. Budaya tidak dapat diubah secara instan. Atas dasar segala penelitian yang telah dikaji, perancangan ini berfokus untuk memperlihatkan permasalahan budaya. Jika berusaha memenuhi seluruh variabel atau faktor, maka pemecahan masalah tidak akan efektif dan berjalan dengan baik.

Gambar

Tabel 2.1. 10 Kata Sifat yang Menunjukkan Perbedaan Gender Terbesar dalam Dua Periode
Tabel 2.2. Statistik Tenaga Kerja (Pegawai/Buruh/Karyawan) Indonesia 2016 Sumber: Islahuddin (2017, para

Referensi

Dokumen terkait

untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil pantai dengan studi kasus unit perikanan pancing ulur di perairan Pelabuhanratu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

Berdasarkan data pada ranah psikomotor diperoleh kesimpulan bahwa nilai pada kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol, hasil tersebut sama dengan

Hasil penelitian Seotjiningsih (2006), menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja adalah hubungan orangtua remaja, tekanan negatif

kerja, sedangkan dimensi absorption tidak menunjukkan kontribusi yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian dan verfikasi terhadap penelitian terdahulu dapat dinyatakan

Harto (1993) mengemukakan suatu metode untuk mendapatkan Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) dari suatu DAS yang tidak mempunyai alat ukur hidrometri dan kurangnya data-data DAS

Berdasarkan analisa pada penelitian ini didapatkan bahwa rasio prevalensi variabel kadar albumin darah adalah 1,3, sedangkan rentang kepercayaannya adalah 1,09 s/d 1,7 (melebihi

Berdasarkan tabel simbol di atas, akan dibuat flowchart alur pengerjaan yang dimulai dengan simbol lingkaran, kemudian simbol kotak untuk menandakan adanya

Komunikasi yang berlangsung pada saat sosialisasi dalam pelaksanaan Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) non formal di Kabupaten Purworejo kurang