4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Skizofrenia 2.1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang mempengaruhi pikiran, perasaan atau suasana hati, dan perilaku individu. Skizofrenia merupakan bagian dari gangguaan psikosis yang ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas dan daya tilik diri. Pada gangguan psikosis seperti skizofrenia, akan tampak gejala gangguan jiwa berat seperti halusinasi, waham, perilaku yang kacau, berbicara tidak jelas, dan gajal negative yang menyimpang (Yudhantara &
Istiqomah, 2018). Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronis yang melibatkan banyak hal dan mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku indiviu serta ditandai dengan delusi, halusinasi, gangguan bicara, dan tingkah laku yang aneh (Yunita et al., 2020). Sedangkan menurut Novitayani (2017), skizofrenia merupakan penyakit kronik dari gangguan jiwa yang secara umum dapat terjadi akibat multiple faktor dan belum diketahui penyebab pastinya.
2.1.2 Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia disebabkan oleh beberaopa faktor. Menurut Yunita et al (2020) skizofrenia disebabkakan oleh faktor keturunan, endokrin, metabolisme, susunan saraf pusat, dan proses psikososial serta lingkungan. Namun, menurut Novitayani (2017), skizofrenia disebabkan oleh 3 faktor sebagai beriktu:
1. Faktor biologis
Pada faktor biologis, terdapat beberapa hal yang menyebabkan klien mengalami skizofrenia, seperti kurangnya perawatan kesehatan dimasa lalu, kerusakan otak, keturunan, penyalahgunaan obat-obatan, konsumsi alcohol, ketidakseimbangan zat kimia dalam otak, dan terpapar kuman atau virus.
2. Faktor psikologis
Faktor psikologis yang menyebabkan skizofrenia adalah depresi dan stres akibat kejadian yang tidak mengenakkan pada indvidu, kematian kerabat atau orang dekat, konflik dalam keluarga, tidak ada pekerjaan, kurang penghasilan, dan hidup sendirian.
3. Faktor spiritual
Penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh spiritual, dimana klien mendapatkan cobaan dari Tuhan akibat perbuatannya dimasa lalu.
2.1.3 Klasifikasi Skizofrenia
Menurut Stuart (2016), skizofrenia diklasifikasikan menjadi dua golongan dan klien mengalami campuran dari kedua jenis gejala sebagai berikut:
1. Gejala positif
Gejala positif ditandai dengan perubahan persepsi dan membuat penderita berperilaku tidak wajar. Penderita mengalami waham, halusinasi, asosiasi longgar, dan perilaku yang aneh.
2. Gejala negatif
Gejala negatif ditandai dengan kesulitan dalam bersosialisasi, cenderung menarik diri, dan tidak memikirkan penampilan.
Menurut Istichomah (2019), skizofrenia diklasifikasikan menjadi beberapa bagian diantaranya:
1. Skizofrenia paranoid
Pada tipe ini penderita mengalami waham dan halusinas yang tampak jelas.
Waham yang muncul adalah waham kejar, dimana penderita merasa dikejar-kejar oleh pihak tertentu yang ingin mencelakainya.
2. Skizofrenia hebefrenik
Pada tipe ini penderita tidak bertanggung jawab, cenderung menyendiri, merasa hampa, tersenyum atau tertawa sendiri, dan pembicaraan inkoheren.
3. Skizofrenia katatonik
Perilaku yang Nampak pada skizpfrenia katatonik adalah gelisah, gaduh, posisi tampak tidak wajar, menunjukkan sikap perlawanan, dan mengulangi kalimat yang tidak jelas.
4. Skizofrenia tak terinci
Penderita mengalami halusinasi , waham, dan gejala psikosis aktif yang menonjol seperti kebingungan dan inkoheren. Pada tipe ini penderita tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, dan derepsi pasca skizofrenia.
5. Skizofrenia residual
Perilaku yang menonjol adalag aktivitas turun, psikomotorik lambat, berbicara kacau, halusinasi dan waham, serta tidak ada gangguan mental organic.
6. Skizofrenia tipe simpleks
Gejala utama yang muncul adalah kurangnya perhatian atau penurunan empati pada sekitar, menarik diri, waham, halusinasi kadang terjadi dan munculnya perlahan-lahan.
2.1.4 Manifestasi Klinis Skizofrenia
Penderita skizofrenia mengalami gejala positif dan negatif. Pada gejala positif, penderita akan mengalami halusinasi, delusi, dan berperilaku serta berbicara kacau. Sedangkan gejala negatif penderita akan apatis, afek datar, dan penarikan social (Sari & Wijayanti, 2019). Menurut teori Eugene Blueler yang dikenal dengan 4A (Fours A’s), gejala utama skizofrenia yaitu:
1. Asosiasi 2. Afek 3. Autism
4. Ambivalensi (Yudhantara & Istiqomah, 2018) 2.1.5 Penatalaksanaan Skizofrenia
Menurut Aryani & Riyandry (2019) penatalaksanaan skizofrenia dapat dilakukan dengan psikofarmakologi, psikoterapi, dan rehabilitasi dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Terapi psikofarmakologi merupakan terapi utama dengan diberikan antipsikotik yang dikenal dapat mengurangi gejala psikotik. Obat-obatan ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia, tetapi dapat mengatasi gejala- gejala skizofrenia yang muncul. Antipsikotik yang biasanya diberikan terdiri dari dua kategori, yaitu atipikal dan tipikal. Jenis antipsikotik atipikal terdiri dari clozapine, risperidone, olanzapine, dan quetiapine.
Sedangkan jenis antipsikotik tipikal terdiri dari thiothixene, haloperidol, chlorpromazine, dan trifluoperazine.
2. Psikoterapi pada skiozfrenia dapat diberikan terapi individu, terapi kelompok atau TAK, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, Latihan keterampilan sossial, dan manajemen kasus.
2.2 Konsep Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi 2.2.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi merupakan istilah dari bahasa latin “hallucination” yang bermakna linglung. Halusinasi merupakan gejala gangguan jiwa dimana klien merasakan suatu stimulus yang tidak ada atau tidak nyata. Pada klien dengan halusinasi, mereka mengalami perubahan persepsi sensori dalam dirinya.
Perubahan tersebut seperti, seperti mendengar suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, dan penciuman (Sutejo, 2019). Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori yang dialami oleh penderita gangguan jiwa (Yanti et al., 2020). Menurut
Supinganto et al (2021), halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan yang sebenarnya tidak ada.
2.2.2 Klasifikasi Halusinasi
Terdapat berbagai jenis halusinasi pada klien dengan ganggua jiwa. Menurut Sutejo (2019), halusinasi diklasifikasikan menjadi 5 jenis yaitu halusinasi penglihatan, pendengaran, pengecapan, penghidu, dan perabaan. Berikut klasifikasi halusinasi berdasarkan data objektif dan subjektif:
1. Halusinasi Pendengaran a. Data Objektif
Pada halusinasi pendengaran, data objektif yang didapatkan adalah klien mengarahkan telinga pada sumber suara, marah-marah tanpa penyebab yang jelas, berbicara atau tertawa sendiri, dan menutup telinga.
b. Data Subjektif
Data subjektif yang dapat ditinjau dari penderita halusinasi pendengaran adalah klien mengatakan mendengar suara gaduh, mendengara suara perintah untuk melakukan sesuatu dan berbahaya, mendengar suara yang mengajak bercanda sehingga klien tertawa terbahak-bahak, dan mendengar suara orang yang sudah meninggal dalam hidup klien.
2. Halusinasi Penglihatan a. Data Objektif
Data objektif yang dapat ditinjau dari halusinasi penglihatan adalah klien tampak ketakutan terhadap sesuatu yang dilihat, tatapan mata menatap suatu objek atau tempat tertentu, dan menujuk kearah tertentu.
b. Data Subjektif
Data subjektif yang ditemukan oleh klien dengan halusinasi penglihatan adalah klien mengatakan melihat makhluk, bayangan, dan seseorang yang sudah meninggal dalam hidupnya. Terkadang klien mengatakan melihat sosok mengerika seperti hantu dan cahaya yang mengikuti klien secara terus-menerus.
3. Halusinasi Pengecapan a. Data Objektif
Data objektif yang muncul pada klien dengan halusinasi pengecapan adalah klien tampak mengecap sesuatu, tampak membuat gerakan mengunyah, terkadang meludah dan muntah.
b. Data Subjektif
Data subjektif yang dapat ditemukan pada klien halusinasi pengecapan adalah klien mengatakan merasakan suatu makanan atau mengunyah sesuatu.
4. Halusinasi Penghidu a. Data Objektif
Pada penderita halusinasi penghidu, klien tampak menggerakan cuping hidung seperti mengendus sesuatu dan mengarahkan hidungnya kesuatu tempat seperti mencari sumber aroma yang dicium oleh klien.
b. Data Subjektif
Pada penderita halusinasi penghidu, klien mengatakan mencium suatu aroma tertentu seperti mayat, feses, bayi, atau parfum.
5. Halusinasi Perabaan 1. Data Objektif
Pada halusinasi perabaan, data objektif yang ditemukan adalah klien tampak menggaruk permukaan kulit. Terkadang klien menatap tubuhnya dan tampak seperti merasakan sesuatu yang aneh pada sekitar tubuhnya.
2. Data Subjektif
pada penderita halusinasi perabaan, data subjektif yang dapat ditinjau adalah klien mengatakan terdapat sesuatu yang berada ditubuhnya, seperti serangga atau makhlus halus. Selain itu, klien mengeluh panas, dingin, atau terkadang merasa tersengat listrik pada tubuhnya.
Menurut Widodo et al (2022), halusinasi dibedakan menjadi 5 jenis berdasarkan pancaindera sebagai berikut:
1. Penglihatan
Penderita halusinasi penglihatan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak nyata. Objek yang dilihat dapat manusia, benda, dan cahaya. Penderita juga melihat bentuk benda yang salah atau tidak semestinya. Selain itu, melihat benda bergerak dengan cepat seperti kilatan cahaya.
2. Pendengaran
Penderita halusinasi pendengaran akan mendengar suara, perinath, dan ancaman yang sebenarnya tidak nyata. Penderita akan merasakan suara- suara tersebut berasal dari luar pikirannya secara terus-menerus. Terkadang suara tersebut terdengar berulang kali.
3. Penciuman
Penderita halusinasi penciuman akan mencium aroma harum dan aroma yang tidak sedap. Namun, jika diobservasi aroma tersebut tidak nyata.
4. Pengecapan
Penderita halusinasi pengecapan akan mengecap rasa yang aneh, seperti mengecap rasa logam pada makanan dan minumannya yang sedang dikonsumsi.
5. Sentuhan
Penderita akan merasa seakan-akan seseorang meraba atau menyentuhnya.
Terkadang merasa hewan sedang berjalan atau merayap pada bagian tubuhnya. Beberapa kasus klien merasakan semburan udara panas diwajahnya.
2.2.3 Etiologi Halusinasi
Terdapat beberapa penyebab yang dicurigai dapat menyebabkan seseorang memiliki halusinasi. Menurut Rohana (2019), penyebab seseorang mengalami halusinas adalah gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan penghiduan, gangguan perabaan, hipoksia serebral, usia lanjut, penyalahgunaan zat, dan terkena toksin lingkungan.
2.2.4 Tingkat Halusinasi
Menurut Sutejo (2019), halusinasi memiliki tingkatan berdasarkan perilaku klien yang terdiri dari tingkat 1 hingga tingkat 4 sebagai berikut:
Tingkat Karakteristik Perilaku Klien
Tingkat 1
Nyaman, ansietas sedang, dan halusinasi merupakan suatu kesenangan
1. Klien mengalami ansietas, kesepian, ketakutan, dan rasa bersalah
2. Klien mencoba untuk fokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
1. Klien tampak tersenyum
2. Klien menggerakkan bibir tanpa suara 3. Menggerakkan mata
dengan cepat 4. Respon verbal yang
lambat 5. Diam dan
konsentrasi
3. Pikiran dan sensori terkontrol jika ansietas terkontrol Tingkat 2
Menyalahkan, ansietas berat, halusinasi yang dialami menyebabkan rasa antipati
1. Riwayat pengalaman sensori yang
menakutkan 2. Kehilangan
kemampuan dalam mengontrol
3. Merasa dirugikan oleh pengalaman sensori tersebut 4. Menari diri dari
lingkungan
NON PSIKOTIK
1. Meningkatnya saraf otak dan tanda-tanda ansietas, seperti peningkatan tekanan darah, denyut
jantung, dan pernapasan.
2. Berfokus pada riwayat pengalaman sensori
3. Kurangnya perhatian pada lingkungan sekitar
4. Mulai kehilangan kemampuan membedakan
haluisnasi dan realita Tingkat 3
Mengontrol, tingkat ansietas berat, pengalaman sensori yang tidak dapat diabaikan
1. Klien mulai menyerah dan menerima sensori tersebut
2. Halusinasi semakin bervariasi
3. Merasa kesepian jika sensori berakhir atau tidak muncul lagi
PSIKOTIK
1. Mengikuti perintah halusinasi
2. Sulit dalam bersosialisasi 3. Hanya
memperhatikan beberapa detik dan menit
4. Memiliki gejala ansietas berat, seperti berkeringat, tremor, dan sulit mengikuti perintah dari orang lain
Tingkat 4
Menguasai, ansietas mengarah pada panik yang diatur dan dipengaruhi oleh waham
1. Riwayat pengalaman sensori menjadi ancaman
2. Halusinasi yang dirasakan dapat muncul lebih lama menjadi beberapa jam bahkan hari
PSIKOTIK
1. Klien tampak panik 2. Berpotensi melukai orang lain dan diri sendiir, seperti membunuh dan bunuh diri 3. Menarik diri 4. Menggunakan
kekerasan dalam interaksi
5. Tidak dapat merespon lawan interkasi lebih dari 1 orang
2.2.5 Rentang Respon Halusinasi
Menurut Sutejo (2019) halusinasi merupakan adanya gangguan pada persepsi dan sensori. Sehingga, halusinasi dapat dikaitkan dengan gangguan dari respon neurobiologi. Oleh karena itu, rentang respon halusinasi mengikuti rentang respon neurobiologi sebagai berikut:
Halusinasi merupakan respon maladaptif dari resntang respon neurologi.
Halusinasi menjadi respon paling maldaptif. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kelainan dalam mempersepsikan stimulus yang diterimanya atau disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika menginterprestasikan stimulus yang tidak nyata tersebut (Ruswadi, 2021).
2.2.6 Proses Terjadinya Halusinasi
Adaptif Maladaptif
Pikiran logis Persepsi yang akurat
Kestabilan emosi Perilaku sesuai Hubungan sosial yang baik
Pikiran yang terkadang menyimpang Ilusi
Emosi tidak stabil Berperilaku aneh Menarik diri
Gangguan proses pikir
Halusinasi Waham Isolasi sosial Perilaku tidak teratur dan tertata
Proses terjadinya halusinasi dapat dijelaskan dengan menggunakan sebuah konsep yang meliputi faktor predisopisis dan faktor presipitasi sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi
Faktor predispoisis merupakan faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang dapat mempengaruhi individu untuk menghadapi stress tersebut. Faktor predisposisi meliputi faktor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetik.
a. Faktor perkembangan
Apabila perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu tersebut akan mengalami stress dan kecemasan.
b. Faktor sociocultural
Jika individu mengalami kesepian dalam masyarakat, maka akan menimbulkan perasaan disingkirkan dalam diri individu tersebut.
c. Faktor biokimia
Dalam tubuh seseorang yang mengalami stress yang berlebih menghasilkan suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase (DMP)
d. Faktor psikologis
Seseorang yang memiliki hubungan interpersonal yang buruk dan sering mendapatkan pertentangan dalam hidupnya akan mengalami stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
e. Faktor genetik
Belum diketahui secara pasti terakit genetik yang berhubungan dengan halusinasi. Namun, kelurga memiliki pengaruh dan berkaitan dengan halusinasi dalam diri seseorang.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dapat mengancam individu.
Adanya pengaruh dari lingkungan seperti kurangnya interaksi antar masyarakat, diasingkan, terisolasi, suasana yang sepi akan menimbulkan halusinasi dalam diri seseorang (Widodo et al., 2022).
Menurut Stuart (2016), proses terjadinya halusinasi terdiri dari faktor presipitasi dan predisposisi. Faktor predisposisi meliputi faktor biologis, psikologis, sosibudaya dan lingkunga. Faktor biologis meliputi adanya turunan gangguan jiwa dalam keluarga, risiko bunuh diri, riwayat penyakit dan trauma kepala, serta riwayat penggunaan NAPZA. Faktor psikologis meliputi mengalami
kegagalan yang berulang, korban kekerasan, kurang mendapat kasih saying, dan overprotektif. Kemudian sosiobudaya dan lingkungan meliputi status ekonomi yang rendah, riwayat mengalami penolakan lingkungan, Pendidikan rendah, kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian dan hidup sendiri), dan tidak bekerja.
2.2.7 Manifestasi Klinis Halusinasi
Tanda dan gejala halusinasi dapat diklasifikan menjadi dua, yaitu gejala positif dan negative. Pada gejala positif klien mengalami halusinasi, waham, gangguan pola piker, berbicara kacau, dan berperilaki aneh. Sedangkan gejela negatif yang tampak pada penderita halusinasi adalah menarik diri, afek datar, tidak ada minat atau dorongan untuk melakukan sesuatu, apatis, dan kurang memperhatikan sekitar (Emulyani & Herlambang, 2020).
Menurut Stuart (2016), tanda dan gejala halusinasi dapat diketahui berdasarkan jenis halusinasi yang diderita kliensebagai berikut:
1. Pendengaran
a. Mendengar kegaduhan atau suara
b. Mendengara suara yang memerintah klien melakukan sesuatu dan terkadang berbahaya
2. Penglihatan
a. Rangsangan visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, tokoh kartun, atau adegan kompleks
b. Melihat bayangan yang menakutkan seperti monster, terkadang menyenangkan
3. Penciuman
Mencium aroma tidak sedap dan tengik, seperti darah, urin, feses, dan terkadang mencium aroma yang menyenangkan
4. Gustatory
Merasa tidak nyaman, kotor, dan busuk seperti darah, urin, atau feses 5. Perabaan
Merasa nyeri atau tidak nyaman akibat sesuatu tidak jelas dan nyata.
Merasa terkena sengatan listrik, serangga yang berjalan, atau merasa disentuh oleh orang lain
6. Kenestetik
Merasa fungsi tubuh seperti denyut darah mengalir ke pembuluh darah dan arteri
7. Kinestetik
Terdapat sensasi gerakan sambal berdiri tak bergerak
Menurut Sutejo (2019) tanda dan gejala halusinasi dapat diketahui dari hasil observasi secara langsung pada klien. Adapun tanda dan gejala penderita halusinasi sebagaii berikut:
a. Data Subjektif
1. Mendengar suara gaduh
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar suara perintah melakukan sesuatu yang berbahaya 4. Melihat bayangan sinar, kartun, hantu atau monster
5. Mencium bau atau aroma seperti darah, urin, feses, dan terkadang aroma yang menyenangkan
6. Merasakan rasa seperti urin, darah, atau feses
7. Merasa takut dan senang dengan halusinasi yang dialaminya b. Data Objektif
1. Berbicara dan tertawa sendiri 2. Marah tanpa sebaba
3. Mengarahkan telinganya ke suatu tempat 4. Menutup telinga
5. Menunjuk-nunjuk kearah suatu tempat
6. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas dan nyata
7. Mencium sesuatu seperti sedang mengedus aroma tertentu 8. Menutup hidung
9. Sering meludah 10. Muntah
11. Menggaruk permukaan kulit 2.2.8 Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah sebagai berikut (Sutejo, 2019):
1. Regresi
Regresi berhubungan dengan proses informasi dan usaha yang digunakan dalam mengatasi ansietas. Sehingga, energi yang tersisa hanya sedikit dan membuat klien menjadi malas melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Proteksi
Klien mencoba menjelaskan gangguan yang dialaminya dengan memberikan tanggung jawabnya kepada orang lain atau suatu benda.
3. Menarik diri
Kien halusinasi sulit mempercayai orang lain 4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien
2.3 Penatalaksanaan Halusinasi
Penatalaksanaan halusinasi dapat dilakukan dengan beberapa terapi, seperti terapi farmakoterapi, kejang listrik, psikoterapi, dan rehabilitas (terapi okupasi, terapi social, TAK, terapi lingkungan) (Prabowo & Eko, 2014). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa TAk atau Terapi Akitivtas Kelompok dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman penderita halusinasi dengan hasil post test 75% (Sutinah et al., 2020). Terapi lingkungan dapat membantu klien dalam mengatasi halusinasinya. Kondisi lingkungan seperti di rumah sakit dan perawatan rumahan sangat mendukung pengobatan penderita halusinasi dengan kelebihan menjadi tempat klien mengutarakan emosinya, lingkunggan yang tersetruktur, memudahkan dalam mendiagnosa konflik dan konsekuensi dari tindakan, serta dapat mengetahui perubhana adaptif dalam perilaku klien (Stuart, 2016).
Selain itu, terapi general menunjukkan keefektifan dalam mengontrol halusinasi dengan hasil berawal dari kemampuan sedang dan kurang menjadi kemampuan baik (Livana et al., 2020).
Menurut Stuart (2016), strategi yang dapat dilakukan untuk menangani klien dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Membangun hubungan saling percaya
2. Mengkaji gejala halusinasi, termasuk durasi, intensitas, dan frekuensi 3. Berfokus pada gejala yang muncul dan meminta klien menjelaskan apa
yang terjadi
4. Membantu klien dalam mengelola halusinasinya
5. Mengidentifikasi apakah klien mengkonsumsi obat-obatan dan alcohol 6. Menghindari hal-hal yang dapat merangsang klien untuk kambuh 7. Menyarankan klien untuk berinteraksi interpersonal jika kambuh
8. Membantu klien menjelaskan dan membandingkan masa lalu dan saat ini 9. Mengidentifikasi pemicu munculnya halusinasi klien
10. Mengidentifikasi dampak yang terjadi dalam kehidupan klien jika halusinasi muncul
Pemberian psikofarmakologi dapat menjadi bagian utama dari terapi pengobatan halusinasi. Pengebotan antipsikotik titpikal dan atipikal dapat memberikan respon yang lebih baik pada penderita halusinasi dengan sedikit efek samping