BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
2.1.1. Defenisi
Pengetahuan adalah hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali
suatu kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja
dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu
objek tertentu (Mubarak, 2009).
Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab
pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan melibatkan indra
penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecap. Pengetahuan akan
memberikan penguatan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dan
dalam berperilaku (Setiawati, 2008).
2.1.2. Tingkat Pengetahuan
Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu:
A.Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah
tomat banyak mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang
Aedes Agepti, dan sebagainya. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan, misalnya:
apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab penyakit TBC,
bagaimana cara melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), dan
sebagainya.
B.Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
Misalnya, orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam
berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3M (mengubur, menutup,
dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup,
menguras, dan sebagainya tempat-tempat penampungan air tersebut.
C.Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah
paham tentang proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan
program kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja. Orang yang
telah paham metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal
D.Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi
bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis
adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau
memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap
pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara
nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram
(flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya. E. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum
atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya, dapat membuat atau meringkas
dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca
atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah
dibaca.
F. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini
atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, seorang ibu
dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau
tidak, seseorang dapat menilai manfaat ikut keluarga berencana, dan
sebagainya (Notoadmodjo, 2005).
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan:
A.Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang
lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat
dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin
mudah pula mereka menerima informasi. Pada akhirnya, makin banyak
pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang memiliki
tingkat pendidikan yang rendah, maka akan menghambat perkembangan
sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi, dan nilai-nilai yang
baru diperkenalkan.
B.Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak
langsung.
C.Usia
Dengan bertambahnya usia seseorang maka akan terjadi perubahan pada
aspek fisik dan psikologis (mental). Petumbuhan fisik secara garis besar
proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Hal ini
terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau
mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa.
D.Minat
Minat adalah suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap
sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni
suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam.
E. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman
yang kurang baik akan berusaha untuk dilupakan oleh seseorang. Namun,
jika pengalaman terhadap objek tersebut menyenangkan, maka secara
psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam dan membekas
dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula membentuk sikap
positif dalam kehidupannya.
F. Kebudayaan dan Lingkungan Sekitar
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah
mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan, maka sangat
mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga
kebersihan lingkungan karena lingkungan sangat berpengaruh dalam
G.Informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu
mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan (Mubarak,
2009).
2.1.4. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2005) dari berbagai cara yang telah digunakan untuk
memperoleh pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu:
1. Cara Tradisional untuk Memperoleh Pengetahuan
Cara kuno atau tradisional dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan antara lain:
A. Cara Coba Salah (Trial and Error)
Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam
mencegah masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil dicoba
kemungkinan yang lain.
B. Cara Kekuasaan (Otoriter)
Sumber pengetahuan dapat berupa pemimpin masyarakat baik formal
maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintah, dan sebagainya.
C. Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan.
Hasil ini dilakukan dengan cara mengulangi kembali pengalaman yang
D. Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir
manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu
menggunakan penalaran dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata
lain dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah
menggunakan jalan pemikirannya.
2. Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih
sintesis, logis dan alamiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih
popular disebut metode penelitian.
2.2. Keluarga
2.2.1. Definisi
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul serta tinggal di suatu tempat di
bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Dep.Kes RI, 1988 dalam
Mubarak, 2011).
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu
ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama
dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam
Keluarga selaku unit dasar memiliki pengaruh yang begitu kuat tehadap
perkembangan seorang individu yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya
kehidupan individu tersebut. Keluarga memiliki pengaruh yang penting sekali
terhadap pembentukan identitas seorang individu dan perasaan harga diri.
Prioritas tertinggi keluarga biasanya adalah kesejahteraan anggota keluarganya
(Tamher & Ekasari, 2009).
2.2.2. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1986) adalah:
1. Fungsi Afektif
Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan
keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung
dan saling menghargai antar anggota keluarga.
2. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembangkan proses interaksi
dalam keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan
tempat individu untuk belajar bersosialisasi.
3. Fungsi Reproduksi
Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh
5. Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi keluarga untuk mencegah
terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang
mengalami masalah kesehatan (setiawati & Dermawan, 2008).
Perawatan dapat dilakukan apabila keluarga memiliki kemampuan yang
berkaitan dengan 5 tugas kesehatan keluarga yaitu; mengenal masalah
kesehatan, mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah
kesehatan, merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan,
memodifikasi lingkungan dan mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan secara tepat (Rasmun, 2009).
2.2.3. Interaksi Keluarga dalam Rentang Sehat Sakit
Interaksi antar anggota keluarga dalam kondisi sehat dan sakit juga
mempengaruhi tingkat berfungsinya keluarga. Penyakit yang diderita salah satu
anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga yang lainnya.
Friedmen dengan mengadaptasi Doherti dan Sussman (1998) memberikan
gambaran bahwa terdapat interaksi keluarga dengan rentang sehat sakit dalam
bentuk upaya-upaya sebagai berikut:
1. Upaya keluarga dalam peningkatan (promosi) kesehatan
Kegiatan peningkatan kesehatan atau lebih dikenal dengan promosi
kesehatan bisa dimulai dalam keluarga, seperti halnya seorang ayah yang
memberikan contoh dengan tidak merokok, minum-minuman keras tentunya
gaya hidup tersebut akan diikuti oleh anak-anaknya, tetapi jika kondisi
2. Penaksiran keluarga terhadap gejala-gejala sakit
Tahapan ini dimulai saat anggota keluarga mengeluhkan gejala-gejala
penurunan kesadaran yang dialami, mencari tahu penyebabnya, dan ada
tidaknya pengaruh bagi anggota keluarga yang lain.
Sosial ekonomi juga sangat berpengaruh pada penaksiran gejala-gejala yang
muncul. Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lemah akan merespon
lambat mengingat kemampuan ekonominya.
3. Pencarian perawatan
Tahapan ini dimulai pada saat anggota keluarga merasakan sakit dan
anggota keluarga lainnya mengetahui, maka dimulailah upaya mencari tahu
kemana akan dirawat. Upaya ini dilakukan dengan mencari informasi
kepada orang terdekat. Pada tahapan ini juga keluarga dituntut untuk
mengambil keputusan dengan cepat kemana akan merawat anggota keluarga
yang sakit. Kecepatan pengambilan keputusan ini ditentukan oleh respon
keluarga terhadap kondisi sakit.
4. Perolehan perawatan dan rujukan ke pelayanan kesehatan
Tahapan ini dimulai saat kontak pertama anggota keluarga dengan
pelayanan kesehatan atau pengobatan alternatif. Penentuan jenis pelayanan
yang didatangi dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga, pengalaman masa
lalu dan sering kali ibu memberikan kontribusi yang banyak terhadap
5. Respon akut terhadap penyakit oleh klien dan keluarga
Tahapan ini ditandai dengan terjadinya perubahan peran pada anggota
keluarga yang sakit, misalnya saja peran ibu yang sedang sakit akan
digantikan oleh ayah terutama saat anak-anaknya masih kecil. Contoh lain
jika ayah sakit maka dengan langsung ibu mengambil alih peran dan
tanggung jawabnya.
6. Adaptasi terhadap penyakit dan penyembuhan
Tahap adaptasi adalah tahapan dimana keluarga memerlukan bantuan dari
tenaga kesehatan dalam menentukan koping keluarga terhadap sakitnya
(Setiawati & Dermawan, 2008).
2.2.4. Keterlibatan Keluarga dalam Mencegah Klien Kambuh
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan
“perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau
asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat dirumah sakit dapat
sia-sia jika tidak diteruskan di rumah karena dapat mengakibatkan klien harus
dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan
meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga
kemungkinan dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang
dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai
hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi”
pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai,
keluarga, dan umpan balik keluarga memengaruhi individu dalam mengadopsi
perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di
masyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang
terjadi pada salah satu anggota dapat memengaruhi seluruh sistem, sebaliknya
disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota.
Pelayanan kesehatan jiwa yang ada merupakan fasilitas yang membantu klien dan
keluarga dalam mengembangkan kemampuan mencegah terjadinya masalah,
menanggulangi berbagai masalah, dan mempertahankan keadaan adaptif. Salah
satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara
menangani perilaku klien di rumah. Menurut Sullinger (1988), klien dengan
diagnosis skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70%
pada tahun kedua, dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit
karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat (Nasir &
Muhith, 2011).
2.2.5. Manfaat Peran Keluarga
1. Bagi klien:
a. Mempercepat proses penyembuhan melalui dinamika kelompok
b. Memperbaiki hubungan interpersonal klien dengan setiap anggota
keluarga
c. Menurunkan angka kekambuhan
2. Bagi keluarga
b. Keluarga mampu meningkatkan pengertian terhadap klien sehingga
keluarga lebih dapat menerima, toleran, dan menghargai klien sebagai
manusia
c. Keluarga dapat meningkatkan kemampuan dalam membantu klien dalam
proses rehabilitasi (Shalehuddin, 2013).
2.3. Halusinasi
2.3.1. Defenisi
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang
yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Misalnya, merasa melihat ada orang
yang akan memukul, padahal tidak ada seorang pun disekitarnya. Sekalipun tidak
nyata, tetapi bagi penderita gangguan jiwa, halusinasi dirasakan sebagai sesuatu
yang sungguh-sungguh (Baihaqi, Sunardi, Akhlan, Heryati, 2007).
Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau pengalaman
persepsi yang tidak terjadi dalam realitas (Videbeck, 2008).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan
stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat & Akemat, 2009).
2.3.2. Klasifikasi Halusinasi
Tabel 2.1 Klasifikasi Halusinasi Jenis
Halusinasi
Data Subjektif Data Objektif
Halusinasi dengar
(Auditory-hearing voices or sounds)
a. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya b. Mendengar suara atau bunyi c. Mendengar suara yang mengajak
bercakap-cakap
d. Mendengar seseorang yang sudah meninggal
e. Mendengar suara yang mengancam diri klien atau orang lain atau suara lain yang membahayakan.
a. Mengarahkan telinga pada sumber suara
b. Bicara atau tertawa sendiri
c. Marah-marah tanpa sebab
d. Menutup telinga e. Mulut komat-kamit f. Ada gerakan tangan
a. Melihat seseorang yang sudah meninggal, melihat makhluk tertentu, melihat bayangan, hantu atau sesuatu yang menakutkan, cahaya. Monster yang memasuki perawat
a. Tatapan mata pada tempat tertentu
b. Menunjuk kearah tertentu
c. Ketakutan pada objek yang dilihat
Halusinasi penghidu (olfactory-smeeling odors)
a. Mencium sesuatu seperti bau mayat, darah, bayi, feses, atau bau masakan, farfum yang menyenangkan
b. Klien sering mengatakan mencium bau sesuatu
c. Tipe halusinasi ini sering menyertai klien demensia, kejang atau penyakit serebrovaskular
a. Ekspresi wajah seperti mencium sesuatu dengan gerakan cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu.
a. Klien mengatakan ada sesuatu yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil, makhluk halus.
b. Merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat panas atau dingin, merasakan tersengat aliran listrik.
a. Mengusap, menggaruk-garuk meraba-raba permukaan kulit. Terlihat
Jenis Halusinasi
Data Subjektif Data Objektif
Halusinasi
a. Klien seperti sedang merasakan makanan tertentu, rasa tertentu atau mengunyah sesuatu.
a. Klien dapat melaporkan bahwa fungsi tubuhnya tidak dapat terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan di otak, atau sensasi pembentukan urine dalam tubuhnya, perasaan tubuhnya melayang di atas bumi.
a. Seperti mengecap
sesuatu. Gerakan menguyah, meludah atau muntah
a. Klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.
(Yosep, 2011).
2.3.3.Proses Terjadinya Halusinasi
Bentuk gangguan persepsi sensori yang paling sering terjadi pada klien
dengan gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan. Bentuk
halusinasi ini dapat berupa suara-suara dan gambaran-gambaran. Tetapi paling
sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi
tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti: bicara
sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan. Bisa juga klien
bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh
perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati.
Halusinasi pendengaran dan penglihatan merupakan suatu tanda mayor dari
gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik (Purba, Wahyuni,
2.3.4.Faktor Penyebab Halusinasi
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentan terhadap stress.
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini (Yosep, 2011).
Kebanyakan penelitian genetika berfokus pada keluarga terdekat,
seperti orang tua, saudara kandung, dan anak cucu untuk melihat
apakah skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetik. Hanya
sedikit penelitian yang memfokuskan pada kerabat yang lebih jauh.
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak
kembar yang menunjukkan bahwa kembar identik berisiko mengalami
gangguan ini sebesar 50%, sedangkan kembar praternal berisiko
hanya 15%. Penelitian penting lain menunjukkan bahwa anak-anak
yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki
risiko 15% dan angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua
biologis menderita skizofrenia. Anak-anak yang memiliki orang tua
biologis dengan riwayat skizofrenia tetapi diadopsi pada saat lahir
oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia masih memiliki risiko genetik
dari orang tua biologis mereka. Semua penelitian ini menunjukkan
bahwa ada risiko genetik atau kecenderungan skizofrenia, tetapi ini
walaupun gen mereka identik 100% (Cancro & Lehman, 2000 dalam
Videbeck, 2008).
6. Faktor Ekonomi dan Pendidikan
Menurut penelitian Erlina, Soewadi, Pramono (2010), status
ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami
gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Pada
analisis multivariabel, status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk
menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan status ekonomi
tinggi dengan OR=7,482 (95%IK;2,852-19,657) dengan p=0,000.
Artinya kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko
7,48 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan
kelompok ekonomi tinggi. Menurut Werner et al. dalam Erlina,
Soewadi, Pramono (2010), yang melakukan penelitian di Israel
mengatakan orang yang dilahirkan mempunyai orangtua yang
berstatus sosio ekonomi dan didaerah miskin berhubungan dengan
dengan peningkatan risiko skizofrenia (OR1.39 (95%CI;1.10–
1.78),p<0,00.
Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan kemiskinan (status
ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang
menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan.
Menurut Graham dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), keluarga
keluarga dipengaruhi oleh penyebab lingkungan (rumah yang kecil,
tidak adanya waktu dan rasa aman) maka hal ini merupakan beban
bagi orangtua yang akibatnya akan mempengaruhi kesehatan anak.
Kemiskinan ditandai dengan oleh sedikitnya dukungan, sedikitnya
keselamatan, tidak adanya ruang sehingga terlalu sesak, tidak adanya
kebebasan pribadi, ketidakpastian dalam masalah ekonomi yang
akhirnya mungkin menimbulkan risiko kesehatan bagi keluarga.
Sementara dari segi pendidikan menurut penelitian Fakhari et al
dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010),dengan hasil yang ditemukan
ada hubungan yang bermakna antara tidak punya pendidikan atau
tidak tamat SD dengan timbulnya gangguan jiwa (p<0,001).
b. Faktor Presipitasi
1. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologik
yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak
yang mengatur proses informasi dan adanya abnormalitas pada
mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
2. Pemicu Gejala
Pemicu atau stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu
penyakit yang biasanya terdapat pada respons neurobiologis yang
maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan
a. Kesehatan, seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi, obat
Sistem Saraf Pusat, gangguan proses informasi, kurang olahraga,
alam perasaan abnormal dan cemas.
b. Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam
hubungan interpersonal, masalah perumahan, stress, kemiskinan,
tekanan terhadap penampilan, perubahan dalam kehidupan dan
pola aktivitas sehari-hari, kesepian (kurang dukungan) dan tekanan
pekerjaan (Trimeilia, 2011)
3. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins
dan Heacock (1993) memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang
dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
halusinasi dalam dilihat dari lima dimensi yaitu:
a) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur
b) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan
kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu
hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua
perilaku klien.
d) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di
dunia nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
akan interaksi sosial, kontrol diri dan haga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem
kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi
itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi
yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan,
serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak
berlangsung.
e) Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bemakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama
sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan
bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak
jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam
upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain
yang menyebabkan takdirnya memburuk (Yosep, 2011).
2.3.5. Tahapan Halusinasi
Gangguan persepsi yang utama pada pasien skizoprenia adalah halusinasi,
sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh
kecemasan, gangguan harga diri, kritis diri, atau mengingkari rangsangan terhadap
kenyataan. Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada pasien skizoprenia,
Ada empat tahapan halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan.
Tabel 2.2
Tahapan, Karakteristik dan Perilaku Klien
Tahap Karakteristik Perilaku Klien
Tahap I
- Memberi rasa
nyaman, tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi
merupakan suatu kesenangan.
- Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas - Fikiran dan pengalaman
sensori masih ada dalam
kontol kesadaran, nonpsikotik.
- Tersenyum, tertawa sendiri - Menggerakkan bibir tanpa
suara
- Pergerakkan mata yang cepat
- Respon verbal yang lambat - Diam dan berkonsentrasi
Tahap II perasaan antipati
- Pengalaman sensori
menakutkan
- Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
- Mulai merasa kehilangan kontrol
- Menarik diri dari orang lain non psikotik
- Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
- Perhatian dengan
lingkungan berkurang
- Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
- Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas
Tahap III - Mengontrol - Tingkat
kecemasan berat - Pengalaman
halusinasi tidak dapat ditolak lagi
- Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi)
- Isi halusinasi menjadi atraktif
- Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik
- Perintah halusinasi ditaati - Sulit berhubungan dengan
orang lain
- Perhatian terhadap
lingkungan berkurang hanya beberapa detik
- Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat
Tahap IV
- Klien sudah
dikuasai oleh halusinasi
- Klien panik
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik.
- Perilaku panik
- Resiko tinggi mencederai - Agitasi atau kataton
2.3.6. Penatalaksanaan Medis pada Halusinasi
Penatalaksanaan klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat-obatan
dan tindakan lain, yaitu :
a. Psikofarmakologis
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/skizofrenia biasanya
diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain golongan
butirofenon: Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer.
Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg via im.
Pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien biasanya
diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5 mg. Golongan fenotiazine: Chlorpromazine/Largactile/Promactile. Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil
dosis dapat dikurangi 1 x 100 mg pada malam hari saja (Yosep, 2011).
b. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT)
Menurut Riyadi & Purwanto (2009), ECT adalah suatu tindakan terapi
dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita
baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien
dengan mengalirkan alur listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada
pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall. Indikasi terapi kejang
listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien skizofrenia
super katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari
antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid
selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan
tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT,
terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan
waktu 6-12 kali terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania
dan katatonik membutuhkan waktu lebih lama yaitu antara 10-20 kali terapi
secara rutin. Terapi ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika
efektif, perubahan perilaku mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.
2.3.7. Penatalaksanaan Keperawatan pada Halusinasi
1. Terapi Generalis pada Klien Halusinasi
Menurut Keliat & Akemat (2009), tindakan keperawatan pada klien
halusinasi adalah sebagai berikut:
1) Mengkaji isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, dan respons klien
terhadap halusinasi (mengenal halusinasi)
Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku
klien dan menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh
klien. Kemudian perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan
situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh klien. Hal ini dilakukan
untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi,
menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasinya.
Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan
frekuensi tindakan untuk pencegahan terjadinya halusinasi. Kemudian
ketika halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal
yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul.
2) Melatih klien mengontrol halusinasi
Untuk membantu klien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat
dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi pada klien.
Keempat cara tersebut meliputi:
a. Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap
halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. klien dilatih
untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak
memedulikan halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, klien akan
mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang
muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan
ini klien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam
halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi:
1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi.
2) Memperagakan cara menghardik.
3) Meminta klien memperagakan ulang.
4) Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien.
b. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap
dengan orang lain. Bercakap-cakap dengan orang lain dapat
dengan orang lain maka terjadi distraksi; fokus perhatian klien akan
beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang
lain tersebut. Sehingga salah satu cara yang efektif untuk mengontrol
halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.
c. Melatih klien beraktivitas secara terjadwal
Libatkan klien dengan terapi modalitas. Untuk mengurangi risiko
halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan
aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien
tidak akan mengalami banyak waktu luang yang sering kali
mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu halusinasi dapat dikontrol
dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur
malam. Tahapan intervensi sebagai berikut:
1) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi
halusinasi
2) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh klien
3) Melatih klien melakukan aktivitas
4) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas
yang telah dilatih. Upayakan klien mempunyai aktivitas dari
bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu.
5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan
d. Melatih klien menggunakan obat secara teratur
Agar klien mampu mengontrol halusinasi maka perlu dilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Klien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat
sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan
terjadi, untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Oleh
karena itu klien dilatih minum obat sesuai program dan
berkelanjutan.
Berikut ini tindakan yang perlu dilakukan perawat agar klien patuh
menggunakan obat:
1) Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa
2) Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program
3) Jelaskan akibat bila putus obat
4) Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar
obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis).
3) Memantau efek samping obat
Menurut Yosep (2011), perawat perlu memahami efek samping yang
sering ditimbulkan oleh obat-obat psikotik seperti: mengantuk, tremor,
mata melihat ke atas, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah,
hipersaliva, pergerakan otot tak terkendali. Untuk mengatasi ini
biasanya dokter memberikan obat anti parkinsonisme yaitu
oleh klien tidak berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul
diminum atau tidak.
2. Terapi Generalis pada Keluarga
Menurut Kelliat, Helena, Farida (2011), cara keluarga dalam merawat klien
halusinasi yaitu:
a. Mengatakan, “saya percaya kamu mendengar suara itu, tapi saya sendiri
tidak mendengarnya”.
b. Tidak membantah halusinasi klien.
Sementara menurut Purba, Wahyuni, Daulay, Nasution (2012) tindakan
perawatan pasien halusinasi yang harus diketahui oleh keluarga yaitu:
1) Mengetahui pengertian, tanda dan gejala halusinasi, dan jenis halusinasi
yang dialami klien beserta proses terjadinya.
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada
rangsang yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Misalnya,
merasa melihat ada orang yang akan memukul, padahal tidak ada
seorang pun disekitarnya. Sekalipun tidak nyata, tetapi bagi penderita
gangguan jiwa, halusinasi dirasakan sebagai sesuatu yang
sungguh-sungguh (Baihaqi, Sunardi, Akhlan, Heryati, 2007).
Adapun jenis halusinasi beserta tanda dan gejalanya halusinasi yang
harus diketahui oleh keluarga yaitu sebagai berikut:
a. Halusinasi dengar (Auditory-hearing voices or sounds)
Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu mengarahkan
tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit serta ada gerakan
tangan yang tidak wajar.
b. Halusinasi penglihatan (visual-seeing persons or things)
Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu tatapan mata pada
tempat tertentu, menunjuk kearah tertentu, ketakutan pada objek
yang dilihatnya sendiri.
c. Halusinasi penghidu (olfactory-smeeling odors)
Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu ekspresi wajah
seperti mencium sesuatu dengan gerakan cuping hidung,
mengarahkan hidung pada tempat tertentu.
d. Halusinasi perabaan (tactile-feeling bodily sensations)
Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu mengusap,
menggaruk-garuk meraba-raba permukaan kulit. Terlihat
menggerak-gerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.
e. Halusinasi pengecapan (gustatory-experiencing tastes)
Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu seperti mengecap
sesuatu. Gerakan mengunyah, meludah atau muntah.
f. Cenesthetic & Kinestetic hallucinations
Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu klien terlihat
menatap tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan sesuatu yang aneh
2) Merawat klien halusinasi
Menurut Yosep (2011), ada beberapa tindakan perawatan pasien
halusinasi yang harus diketahui yaitu:
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membina hubungan
saling percaya dengan klien. Tunjukkan sikap empati dengan:
mendengarkan keluhan klien dengan penuh perhatian; tidak
membantah dan tidak menyokong halusinasi klien; segera
menolong klien jika pasien membutuhkan perawatan.
Menurut Nasir & Muhith (2011), ada beberapa sikap untuk
menunjukkan cara mendengarkan penuh perhatian, antara lain
sebagai berikut.
a. Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan nonverbal
bahwa keluarga perhatian terhadap kebutuhan dan masalah
klien.
b. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya
untuk mengerti seluruh pesan verbal dan nonverbal yang
sedang dikomunikasikan.
c. Keterampilan mendengarkan penuh perhatian adalah dengan
memandang klien ketika sedang bicara.
d. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk
e. Sikap tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak
menyilangkan kaki atau tangan.
f. Hindarkan gerakan yang tidak perlu.
g. Anggukkan kepala jika klien membicarakan hal penting atau
memerlukan umpan balik.
h. Condongkan tubuh kearah lawan bicara, bila perlu duduk atau
minimal sejajar dengan klien.
i. Meninggalkan emosi dan perasaan kita dengan cara
menyisihkan perhatian, ketakutan atau masalah yang sedang
kita hadapi.
j. Mendengarkan dan memperhatikan intonasi kata yang
diucapkan yang menggambarkan sesuatu yang berlebihan.
k. Memperhatikan dan mendengarkan apa-apa yang tidak terucap
oleh klien yang menggambarkan sesuatu yang sulit dan
menyakitkan klien.
2. Mengkaji isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, dan respons klien
terhadap halusinasi (mengenal halusinasi)
Sama seperti tindakan perawat yang sudah diuraikan diatas,
mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi
perilaku klien dan menanyakan secara verbal apa yang sedang
dialami oleh klien. Kemudian keluarga juga perlu mengkaji waktu,
frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh
waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang
menyebabkan munculnya halusinasinya. Dengan mengetahui
frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi
tindakan untuk pencegahan terjadinya halusinasi. Kemudian untuk
mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respons klien
ketika halusinasi itu muncul keluarga dapat menanyakan pada
pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul.
3. Melatih klien mengontrol halusinasi
Untuk membantu klien agar mampu mengontrol halusinasi,
keluarga dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi
pada klien. Keempat cara tersebut meliputi:
a. Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri
terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang
muncul. klien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap
halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya.
Kalau ini bisa dilakukan, klien akan mampu mengendalikan
diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin
halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan ini klien tidak
akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya.
Tahapan tindakan meliputi:
a) Menjelaskan cara menghardik halusinasi.
c) Meminta klien memperagakan ulang.
d) Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien.
b. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan
bercakap-cakap dengan orang lain. Berbercakap-cakap-bercakap-cakap dengan orang lain
dapat membantu mengontrol halusinasi. Ketika klien
bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi; fokus perhatian
klien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang
dilakukan dengan orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara
yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan
bercakap-cakap dengan orang lain.
c. Melatih klien beraktivitas secara terjadwal
Libatkan klien dengan terapi modalitas. Untuk mengurangi
risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri
melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara
terjadwal, klien tidak akan mengalami banyak waktu luang
yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu
halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara
teratur dari bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan
intervensi sebagai berikut:
a) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk
mengatasi halusinasi
c) Melatih klien melakukan aktivitas
d) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan
aktivitas yang telah dilatih. Upayakan klien mempunyai
aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari
dalam seminggu.
e) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi
penguatan terhadap perilaku klien yang positif
d. Melatih klien menggunakan obat secara teratur
Agar klien mampu mengontrol halusinasi maka perlu dilatih
untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan
program. Klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering
mengalami putus obat sehingga akibatnya klien mengalami
kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai
kondisi seperti semula akan lebih sulit. Oleh karena itu klien
dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan.
Berikut ini tindakan yang perlu dilakukan keluarga agar klien
patuh menggunakan obat:
a) Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa
b) Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program
c) Jelaskan akibat bila putus obat
d) Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
(benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan
4. Memantau efek samping obat
Keluarga perlu memahami efek samping yang sering ditimbulkan
oleh obat-obat psikotik seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke
atas, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah, hipersaliva,
pergerakan otot tak terkendali. Untuk mengatasi ini biasanya dokter
memberikan obat anti parkinsonisme yaitu Trihexyphenidile 3 x 2 mg. Apabila terjadi gejala-gejala yang dialami oleh klien tidak
berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul diminum atau
tidak.
3) Mengetahui follow up dan rujukan untuk klien halusinasi
Peran keluarga dibutuhkan dalam mengawasi klien dirumah. Penting
bagi keluarga untuk mengetahui tanda dan gejala yang menunjukkan
klien kambuh atau tidak. Keluarga diharapkan mengetahui kondisi klien
24 jam agar tingkat kesembuhan klien dapat terkontrol. Keluarga harus
rutin secara berkala membawa klien ke rumah sakit jiwa atau fasilitas
kesehatan lain yang mendukung untuk kontrol ulang dan mendapat
pengobatan serta mengetahui perkembangan kesehatan klien. Jika
perilaku klien tidak terkendali seperti mengamuk, tidak mau minum
obat, maka segera bawa ke rumah sakit jiwa atau fasilitas kesehatan lain
yang mendukung agar mendapat penanganan yang terbaik.
3. Terapi Generalis Kelompok
Menurut Yosep (2011), Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang
sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih.
Adapun tujuan dari aktivitas kelompok menurut Riyadi & Purwanto
(2009) adalah untuk memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien
pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan
interpersonal antar anggota.
Jumlah anggota kelompok dan komposisi dalam terapi kelompok harus
ditentukan terlebih dahulu. Menurut wartono, 1976 dalam Yosep, 2011,
kelompok dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 anggota merupakan jumlah
yang ideal, sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Menurut
Caplan, 1971 dalam Yosep, 2011, besarnya anggota kelompok terdiri dari
7-9 anggota (pria dan wanita) memungkinkan anggota berada dalam rasa tau
suku, latar belakang sosial dan pendidikan sehingga mirip dengan
kehidupan nyata. Sementara menurut Johnson, 1963 dalam Yosep, 2011,
terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan
reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumah
sebanyak itu. Apabila keanggotaan lebih dari 10, maka komunikasi sulit
untuk difokuskan, sedangkan jika anggota kurang dari 4, maka akan terlalu
banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih
terekspos, lebih cemas, dan seringkali bertingkah laku irasional.
Menurut Dalami (2010), terapi aktivitas kelompok untuk klien
a. Terapi aktivitas kelompok: stimulasi persepsi
Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman
dan/atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi
kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian
masalah. Tujuan umum TAK stimulasi persepsi adalah klien mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh
paparan stimulus kepadanya.
Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan yaitu
baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini merupakan
stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu yang
menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptif atau destruktif
misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negatif
pada orang lain, dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap
stimulus.
b. Terapi aktivitas kelompok: stimulasi sensosi
Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi sensosi adalah upaya
menstimulasi semua panca indera (sensori) agar memberi respons yang
adekuat. Tujuan umum TAK stimulasi sensori agar klien dapat berespons
terhadap stimulus panca indera yang diberikan yaitu terhadap suara,
gambar dan mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar.
Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah musik, seni, menyanyi,
stimulus, misalnya lagu kesukaan klien dapat digunakan sebagai