KOES BERSAUDARA DALAM PUSARAN POLITIK
1960-1967
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sejarah
Oleh
Rahmad Fauzan. H NIM 114314008
PROGRAM STUDI SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
MOTTO:
“It’s hard to hold the hand of anyone who is reaching for the sky just to surrender.”
PERSEMBAHAN
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul "Koes Bersaudara Dalam Pusaran Politik 1960-1967" ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama, menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketegangan antara Koes Bersaudara dan Pemerintah Demokrasi-Terpimpin pada periode 1960-1967. Kedua, menganalisa upaya Pemerintah Demokrasi-Terpimpin untuk memutus gelombang budaya pop Barat, terkait dengan Koes Bersaudara. Ketiga, menganalisa dampak dari ketegangan yang terjadi antara Pemerintah Demokrasi-Terpimpin dan Koes Bersaudara.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode heuristik (pengumpulan data), kritik sumber, analisis sumber hingga penulisan. Studi ini menggunakan pendekatan politik dan budaya untuk memahami penyebab terjadinya ketegangan antara Pemerintah Demokrasi-Terpimpin dan Koes Bersaudara. Konsep politik adalah panglima dan budaya populer pada masa Demokrasi-Terpimpin digunakan sebagai landasan teori untuk menggambarkan dinamika politik dan budaya pada masa itu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem politik yang absolut akan runtuh karena hegemoni budaya populer. Dalam prakteknya, ketegangan tidak hanya dipicu oleh permasalahan antara pemerintah dengan Koes Bersaudara, melainkan terdapat gejala lain yakni peran media. Pemerintah Demokrasi-Terpimpin menggunakan media untuk membuat propaganda sebagai upaya melawan budaya populer.
ABSTRACT
This study aims to address three issues. First, is to find out the factors of conflicts emergence beetwen Koes Bersaudara and Demokrasi-Terpimpin Government in period of 1960-1967. Second, is to analyze the effortof Government to stop the spread of pop culturestatements related to Koes Bersaudara. Third, is to analyze the impact of the turmoil of conflicts beetwen Demokrasi-Terpimpin Government and Koes Bersaudara.
This research is literature study. Analyses were performed using heuristic methods, criticism, thus analysis of sources to historiography. This study used political and cultural approaches to understand the causes of the conflicts beetwen Demokrasi-Terpimpin Government and Koes Bersaudara. The concept of politik adalah panglima and popular culture in Demokrasi-Terpimpin era is used as basically theoretical to obtain a picture of the political and cultural dynamics in that moment.
The results showed that the political system of absolutism would collapsed after the hegemony of popular culture. In practice, the conflict not only triggered by a problem beetwen a government and Koes Bersaudara, but there were other symptoms that occur such as role of media. Demokrasi-Terpimpin Goverment used the media to made propaganda as an effort to fought popular culture.
KATA PENGANTAR
Skripsi ini menyita banyak waktu dan pikiran dan sangat melelahkan. Namun, semua itu terbayar dengan terselesaikannya skripsi ini, meskipun agak terlambat. Tentu saja, banyak ucapan terima kasih yang harus disampaikan. Pertama, saya ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung dan mendoakan, serta perjuangan mereka yang tidak kenal lelah. Tanpa mereka skripsi ini akan menjadi lebih berat.
Kemudian, ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada kedua saudara; untuk Abang, Hervin Saputra, yang sering menjadi teman diskusi; juga kepada kakak, Fitri Novia Heryani, terima kasih karena sudah berjuang demi kuliah saya sepertihalnya kedua orang tua saya sendiri. Terimakasih juga saya ucapkan kepada Tante Tati tersayang. Tante Tati adalah tempat mengadu dan dengan baik hati membantu saya selama masa-masa sulit di tanah rantau.
Kemudian teman-teman, terutama teman-teman sejarah angkatan 2011. Untuk Riko "Ucok", yang berhasil menghibur selama masa-masa sulit di perkuliahan. Yasmine, yang sudah memberi bantuan dan dukungan yang sangat berpengaruh bagi terselesaikannya skripsi ini. Deslin, terimakasih untuk dukungannya yang membakar semangat. Juan, adalah teman yang selalu menyegarkan pikiran saya selama masa perkuliahan. Bito, terimakasih karena sudah menjadi pelipur di saat-saat saya harus melepaskan penat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERSETUJUAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 5
C. Perumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Manfaat Penelitian... 7
F. Kajian Pustaka ... 7
H. Metode Penelitian ... 14
I. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II SITUASI POLITIK-BUDAYA DI INDONESIA 1960-1965: PERANG MELAWAN IMPERIALISME BARAT 18 A. Situasi Politik dan Budaya ... 19
B. Perang Melawan Imperialisme Barat ... 28
C. Target Lekra ... 34
BAB III UPAYA PEMERINTAH UNTUK MEMUTUS GELOMBANG BUDAYA POP BARAT 38 A. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah ... 38
B. Pernyataan-Pernyataan Pemerintah... 43
C. Represi Pemerintah dan Hegemoni Amerika Serikat ... 48
BAB IV DAMPAK KEKUASAAN DEMOKRASI-TERPIMPIN TERHADAP KOES BERSAUDARA ... 55
A. Larangan Bagi Koes Bersaudara... 56
B. Lagu-Lagu Setelah Demokrasi Terpimpin: Kritik Terhadap Soekarno ... 62
1. Kritik Dalam Lirik ... 64
2. Hegemoni, Represi dan Koes Bersaudara ... 69
BAB V KESIMPULAN ... 72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Grup musik Koes Bersaudara didirikan pada tahun 1960 di Jakarta oleh lima bersaudara yakni Koesdjono (Jon), Koestono (Tonny), Koesnomo (Nomo), Koesyono
(Yon), dan Koesroyo (Yok).1 Saat pertama kali muncul di hadapan publik, grup musik ini bernama Kus Brothers atau Kus Bros. Musik mereka dipengaruhi oleh
musisi-musisi Barat seperti Everly Brothers dan KallinTwin2. Tidak hanya dalam hal musik, tetapi cara berpakaian dan nama yang mereka pakai juga berasal dari Barat, terutama Everly Brothers, grup musik beraliran rock n roll era 1950-an di Amerika
Serikat. Pada awal 1960-an, konsep grup musik bersaudara Everly Brothers
diadaptasi oleh Koes Bersaudara di Indonesia.
Dari silsilah keluarga, mereka merupakan keturunan bangsawan Tuban. Koeswoyo bersaudara merupakan generasi ke 7 keturunan (trah) Sunan Muria di Tuban. Ibu mereka adalah keponakan dari Bupati Tuban pada zaman penjajahan
Belanda. Koeswoyo bersaudara menghabiskan masa kecilnya di kota Tuban, Jawa Timur. Tahun 1952 Koeswoyo dan keluarga pindah ke Jakarta karena di mutasi dari
Tuban ke Jakarta. Koeswoyo bekerja sebagai pegawai negeri di Kementrian Dalam
1Steven Farram, 2007, “Koes Bersaudara”,
http://www.garagehangover.com/koesbersaudara/ . Diunduh pada tanggal 14 Desember 2016.
2
Negeri. Di Jakarta, mereka sekeluarga menempati rumah di jalan Mendawai III, No. 14, Blok C, Kebayoran baru, Jakarta Selatan.3
Kepindahan keluarga Koeswoyo ke Jakarta memberikan pengaruh yang cukup besar bagi ke lima bersaudara ini untuk bermain musik. Era 1960-an awal,
gelombang besar musik-musik populer dari Amerika Serikat-Inggris masuk ke Indonesia terutama di kota-kota besar. Salah satunya dan yang paling utama ialah Ibukota Jakarta. Musik-musik Amerika Serikat-Inggris tersebut masuk dan tersebar
luas di Indonesia melalui impor piringan hitam, majalah, film-film Hollywood, dan radio.
Di awal tahun 1960-an, terdapat dua radio lokal yakni, RRI, radio milik pemerintah yang pada waktu itu sedang berupaya melawan pengaruh imperialisme, dan radio milik Angkatan Udara. Ironisnya, secara politik, pemerintah pada saat itu
tidak suka terhadap hal-hal yang berbau imperialis, tetapi salah satu lagu dari album pertama Koes Bersaudara justru dirilis dan mengudara di RRI, radio yang dikenal
dengan lagu-lagu beraliran nasionalis.4
Koes Bersaudara merilis album pertama mereka antara tahun 1961-1962.5 Lagu-lagu dari album tersebut di antaranya adalah Dara Manisku, Bis Sekolah, dan
Telaga Sunyi. Lagu-lagu tersebut dipengaruhi oleh band-band Barat salah satunya
The Beatles.
3“Yon Koeswoyo”,
www.wikipedia.com. Diunduh pada tanggal 10 Desember 2016. 4
Steven Farram, 2007, Wage War Against Beatle Music, Sydney: hlm. 248.
5Steven Farram, 2007, “Koes Bersaudara”,
Di tahun-tahun awal karirnya, Koes Bersaudara hidup di tengah situasi bahwa musik tidak dapat dilepaskan dari politik. Seperti yang diungkapkan oleh Amir
Pasaribu,
“Seniman tidak berpolitik, itu benar, tidak berpolitik gerakan subversif. 1001 kali seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mentjampuri seni dan seniman. Seniman itu peserta. Ia pal di tengah2 kehidupan bangsa dan masjarakatnya. Ia bukanlah penonton., spectateur
... ia pemikir. Tiap masalah jang dihadapi harus didjawabnja. Dengan sungguh2. Dengan djudjur. Memikirkan nasib kemadjuan bangsanja dalam pemikiran semua segi hidupnja. Dan ia bergiat untuk menjelamatkan bangsanja dari kerugian. Ia akan bergiat....”6
. Kemudian Njoto, sebagai petinggi Lekra juga mengatakan bahwa,
“Djika kita menghindarinja [politik], kita akan digilas mati olehnja. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan sadjapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah panglima!”7
Njoto merupakan inisiator, pengurus, sekaligus anggota Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga kebudayaan yang punya pengaruh besar pada waktu itu. Lekra juga memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno dan PKI.
Menurut Ketua C.C. PKI D.N. Aidit dan dikutip oleh Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam bukunya Lekra Tidak Membakar Buku, Lekra merupakan “keluarga komunis”8
. Lekra berjalan di bawah komando “politik sebagai panglima”9
di mana Indonesia tengah melakukan Revolusi yang menolak keras segala sisa-sisa kolonialisme dan pengaruh yang datang dari negara imperialis Barat.
6
Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008, Lekra Tidak Membakar Buku, Jogjakarta: hlm. 26.
7
ibid. 8
Ibid., hlm. 63.
9Istilah ‘politik sebagai panglima’ pertama kali diucapkan oleh Njoto
Koes Bersaudara berada di sisi-sisi yang berlawanan dengan arus politik pada masa itu, sehingga, gaya bermusiknya kemudian dianggap ilegal. Kritik datang
dari berbagai pihak, mulai dari lembaga kebudayaan, pejabat tinggi negara, hingga Presiden Soekarno. Pada Konferensi Nasional I Lekra di Bali tanggal 25-27 Agustus
1962, persoalan musik ngak-ngik ngok tidak luput dari sorotan.10
Kemudian, sorotan juga datang dari Dr. Chairul Saleh, Wakil Perdana Menteri III/Menko Kompartemen Pembangunan, dalam sambutannya pada hari
terakhir Konferensi Sastra dan Seni Indonesia di Jakarta yang diselenggarakan oleh PKI dari tanggal 27 Agustus sampai 2 September 1964. Dr. Chairul Saleh menyorot
permasalahan budaya populer yang dianggap dapat melemahkan revolusi. 11
Puncaknya bulan Juni 1965, Koes Bersaudara dipaksa turun dari panggung ketika membawakan lagu The Beatles, I Saw Her Standing There, oleh sekelompok
massa. Sehari berikutnya, Koes Bersaudara dijebloskan ke penjara Glodok di Jakarta
10
Berikut ketetapan Lekra terkait musik ngak ngik ngok beserta produk-produk yang
mendukung persebarannya di Indonesia, “Dalam bidang musik dan tari, pekerja-pekerja kebudayaan Lekra memeras keringat untuk melakukan registrasi sedetail-detailnya karya tari dan musik daerah yang jumlahnya sangat kaya itu sebagai warisan kekayaan bangsa yang mesti dipelihara. Juga, mengikuti pidato-pidato Presiden Soekarno, Lekra juga berketetapan agar Lekra menghambat dan menghantam peredaran musik ngak ngik ngok dan piringan-piringan hitam impor dari negeri-negeri imperialis. Menjamurnya band-band juga turut disoroti Lekra. Menurut Lekra, sesudah larangan Manipol terhadap musik-musikan dan dansa-dansian jahat, timbul band-band yang nama dan kulit pemainnya saja buatan Indonesia, sedang isi, bentuk, dan gaya musik-musiknya dan dansa-dansian yang mereka sajikan justru
menurut Manipol ilegal”ibid., hlm. 44-45. 11
Berikut ungkapan Dr. Chairul Saleh terkait musik ngak ngik ngok, “...Karja2 jang
Pusat12 selama tiga bulan. Satu hari sebelum peristiwa 30 September 1965, Koes
Bersaudara dibebaskan tanpa adanya penjelasan.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Studi ini membatasi permasalahan pada ketegangan-ketegangan yang terjadi antara Koes Bersaudara dan pemerintah Demokrasi Terpimpin. Ketegangan tersebut
dilihat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah serta pernyataan-pernyataan yang menunjukkan adanya konflik di antara keduanya.
Penulisan skripsi ini dibatasi waktunya yakni tahun 1960-1967. Periode ini dipilih karena pencarian identitas bangsa yang diusung oleh Presiden Soekarno pada waktu itu terganggu oleh kehadiran Koes Bersaudara dengan musik Barat. Dalam
rentang tahun 1960-1965, dapat dilihat berbagai peristiwa yakni berdirinya Koes Bersaudara pada 1960, dirilisnya album perdana grup musik ini pada tahun
1961-1962, penyerangan terhadap Koes Bersaudara di sebuah acara di rumah Kolonel Koesno di Jakarta pada tahun 1965, penahanan Koes Bersaudara di tahun yang sama, hingga dirilisnya album To The So-Called The Guilties pada tahun 1967.
Ada tiga masalah yang dikaji, yakni:
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya ketegangan antara Koes Bersaudara dengan
pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
12
2. Upaya pemerintah untuk memutus gelombang budaya pop Barat, terkait dengan Koes Bersaudara.
3. Dampak kebijakan dan pernyataan pemerintah terhadap Koes Bersaudara.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut ini:
1. Mengapa terjadi ketegangan antara Koes Bersaudara dengan pemerintah
Demokrasi Terpimpin?
2. Apa saja cara yang ditempuh pemerintah untuk memutus gelombang budaya pop Barat, terkait dengan fenomena Koes Bersaudara?
3. Bagaimana dampak kebijakan dan pernyataan pemerintah bagi Koes Bersaudara?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan penyebab terjadinya ketegangan antara Koes Bersaudara dengan Pemerintah.
3. Menjelaskan dampak kebijakan dan pernyataan-pernyataan pemerintah bagi Koes
Bersaudara.
E. Manfaat Penelitian
1. Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah sejarah politik dan
kaitannya dengan seni musik pada tahun 1960-1967 di Indonesia.
2. Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat mendorong peneliti, pemerhati sejarah, sosial, dan budaya untuk mengkaji lebih jauh mengenai sejarah politik di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.
F. Kajian Pustaka
Ada sejumlah kajian tentang musik populer, antara lain yang dikerjakan oleh
Steven Farram13. Dalam kajiannya dijelaskan tenang sejarah hubungan politik-seni musik di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin yang menganggap bahwa musisi seperti The Beatles adalah perusak moral bangsa dan anti-revolusioner. Buku tersebut
membahas dinamika politik di Indonesia dalam kaitannya dengan musik populer, terutama mengenai ketegangan antara Pemerintah Demokrasi Terpimpin dan Koes
Bersaudara. Di dalam buku ini juga disebutkan musisi pop lainnya seperti Lilis
13
Suryani, yang mendapat teguran dari Presiden Soekarno karena lagunya dianggap kebarat-baratan.
Buku ini memiliki data-data tentang kebijakan-kebijakan yang terkait dengan musik-musik populer Amerika Serikat dan Inggris, khususnya Koes
Bersaudara. Menurut Steven Farram, Koes Bersaudara adalah kambing hitam atas kepentingan politik dan tidak dapat dilepaskan dari Perang Dingin, karena Koes Bersaudara adalah target yang paling mudah untuk ditangkap.14
Lekra juga dibahas dalam buku ini sebagai organisasi yang mendukung pemerintah. Organisasi tersebut menjadi senjata bagi pemerintah untuk memerangi
budaya imperialisme Barat, termasuk Koes Bersaudara. Dalam buku ini, peran Lekra dikatakan cukup besar, terutama karena ketentuan yang dibuat oleh lembaga ini terkait dengan musik-musik pop dari Amerika Serikat dan Inggris. Selain itu, buku ini
juga menjelaskan bahwa Lekra kecewa terhadap Koes Bersaudara karena grup musik ini menolak tawaran untuk bergabung dengan lembaga tersebut.
Buku ini juga memperlihatkan hubungan antara Koes Bersaudara dengan militer, yakni pada saat Kolonel Koesno mengundang grup musik ini untuk tampil di rumahnya pada suatu acara dan meminta Koes Bersaudara membawakan lagu-lagu
pop Barat. Pada saat itulah terjadi kerusuhan di luar rumah Kolonel Koesno. Sekelompok massa mendatangi rumah tersebut dan meminta Koes Bersaudara
berhenti membawakan lagu-lagu pop Barat.
14
Dengan demikian, buku ini dapat dikatakan cukup komprehensif. Namun, terdapat kontradiksi dalam buku ini terkait dengan hubungan pemerintah dan Koes
Bersaudara. Buku ini mengatakan ada dua versi tentang hubungan Koes Bersaudara dengan pemerintah terkait dengan rencana pengiriman mereka ke Malaysia, yakni
sebagai agen yang bekerja untuk pemerintah dan/atau sebagai agen untuk melawan pemerintah.15
Kontradiksi di atas, tidak dijelaskan lebih lanjut dalam buku ini dan
dibiarkan begitu saja. Studi ini memilih salah satu dari kontradiksi tersebut, yakni asumsi bahwa Koes Bersaudara dikirim ke Malaysia sebagai agen yang bekerja untuk
pemerintah. Dengan menggunakan teori hegemoni, pemenjaraan Koes Bersaudara bisa dipandang sebagai pengendalian kesadaran masyarakat agar tidak mengetahui rencana pemerintah yang sebenarnya. Dengan demikian, teori tersebut dapat
mendukung asumsi bahwa pemenjaraan Koes Bersaudara adalah upaya pemerintah menjadikan grup musik tersebut sebagai agen.
Dalam kajian Heirs To World Culture, Jennifer Lindsay, dkk.,16 menjelaskan hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat melalui perspektif budaya periodisasi 1950-1965. Kumpulan essei ini diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) tahun 2012 di Belanda.
15 ibid.,
16
Buku ini pada beberapa bagian menyoroti perkembangan masuknya musik populer dari Amerika Serikat dan Inggris beserta pengaruhnya terhadap kemunculan
Koes Bersaudara, meskipun tidak terlalu banyak disinggung. Namun, buku ini menjelaskan dengan sangat komprehensif situasi ketegangan poltik dan budaya yang
terjadi dalam kurun waktu 1950-1965.
Dalam kajian Postmodernisme Dan Budaya Pop,17 Angela Mc Robbie mengatakan bahwa,
“Postmodernisme telah masuk ke dalam berbagai perbendaharaan kata jauh lebih cepat daripada kategori-kategori intelektual lain. Dia menyebar ke ranah sejarah seni sampai dengan teori politik dan sampai pada halaman-halaman majalah budaya anak
muda, . . .”
Dalam buku ini, dijelaskan bagaimana budaya populer Amerika Serikat, termasuk musik, memengaruhi kehidupan sosio-budaya di negara lain. Secara
teoretis, Mc Robbie juga menyinggung bahwa pengaruh tersebut memiliki hubungan dengan upaya Amerika Serikat untuk menjadi negara yang berkuasa dunia dengan menjual budaya mereka ke negara Dunia ke-3.
Sarana yang digunakan oleh Amerika Serikat dalam upaya hegemoni tersebut juga dibahas dalam buku ini, seperti radio, piringan hitam, dan majalah, di
mana hal-hal tersebut mempengaruhi gaya bermusik Koes Bersaudara. Tulisan Angela Mc Robbie dapat membantu skripsi ini karena objek yang dikaji adalah anak muda, budaya populer, dan politik. Begitu pula dengan Koes Bersaudara, di mana
selama periode waktu 1960-1965 mereka adalah golongan anak muda,
17
mengkonsumsi budaya populer Amerika Serikat, dan direpresi oleh Pemerintah Demokrasi Terpimpin.
Buku ini bukanlah suatu kajian sejarah dan sama sekali tidak membahas masalah budaya populer dan politik di Indonesia, namun teori dalam buku tersebut
dapat diacu dengan permasalahan yang berbeda, yaitu, pelarangan musik di Indonesia periode 1960-1965 studi kasus Koes Bersaudara.
Philip Yampolsky18, dalam kajian Three Genres of Indonesian Music: Their
Trajectories in the Colonial Era and After menjelaskan persoalan perkembangan musik di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup panjang, yaitu 1700-sekarang.
Tiga genre yang dimaksud dalam buku ini adalah; kroncong, stambul, dan gambang kromong. Artikel ini menggambarkan dengan jelas bagaimana, misalnya, musik kroncong mengadaptasi gaya musik Amerika Serikat yang tengah marak di Indonesia
pada awal dekade 1950-an. Model adaptasi musik kroncong tersebut dalam skripsi ini akan dibandingkan dengan model Koes Bersaudara mengadaptasi musik populer
Barat dalam lagu-lagunya. Karena pengaruh musik populer Amerika Serikat bagi Koes Bersaudara maupun musik kroncong merupakan dampak dari media massa seperti radio dan piringan hitam.
Berbeda dengan sumber-sumber sebelumnya, yang memuat musik dalam skala kecil, artikel ini lebih menekankan pokok pembahasannya lebih mendalam
terhadap sejarah musik, terutama pada perubahan musik-musik lokal akibat pengaruh
18
budaya musik populer Barat ke Indonesia, khususnya Eropa-Amerika Serikat. Periodisasi yang membatasi setiap zaman dalam artikel ini, dibuat secara kronologis.
Ini cukup memudahkan peneliti dalam hal melacak permasalahan dan hubungan yang menentukan adaptasi atas musik populer Eropa-Amerika Serikat.
Hanya saja, perhatian yang terlalu terkonsentrasi pada perubahan musik mengurangi porsi peran media terkait masuknya musik Eropa-Amerika di Indonesia. Baik studi ini dan artikel karya Philip Yampolsky keduanya sama-sama membahas
tentang pengaruh musik populer di Indonesia. Perbedaannya adalah karya Philip Yampolsky ini melihat pengaruh budaya populer Barat terhadap musik lokal,
sedangkan skripsi Koes Bersaudara Dalam Pusaran Politik 1960-1967 melihat pengaruh tersebut terhadap musisi pop, yakni Koes Bersaudara. Artikel ini diterbitkan
pada tahun 2013 oleh University of Texas Press.
G. Kerangka Berpikir
Teori yang akan dipakai sebagai alat analitis dalam skripsi ini, yakni, teori budaya populer yang dijelaskan oleh Dominic Strinati dalam bukunya yang berjudul
Popular Culture: Pengantar Menuju Budaya Populer19. Teori tersebut dipilih karena hubungan antara budaya populer dan kekuasaan yang dijelaskan oleh Dominic
19
Strinati relevan dengan kasus Koes Bersaudara sebagai bagian dari budaya pop yang mendapat tekanan dari pihak penguasa pada era Demokrasi Terpimpin.
Seperti halnya Pemerintah Demokrasi Terpimpin, teori budaya populer menganggap bahwa produk budaya populer seperti musik, film, dan sebagainya, akan
mencerabut generasi muda dari autentisitas budayanya. Hal yang membedakan antara pemikiran Pemerintah Demokrasi Terpimpin dengan teori budaya populer ialah, tindakan represif yang dimiliki oleh pemerintah. Sementara, teori budaya populer
hanya berusaha menjelaskan budaya populer tersebut.
Pada dasarnya, antara teori dan praktik tersebut dapat dikatakan relevan. Ada
tiga hal yang menjadikannya relevan. Pertama, baik teori budaya populer ataupun Pemerintah Demokrasi Terpimpin, keduanya sama-sama menolak budaya populer yang berasal dari Amerika Serikat dan Inggris. Kedua, keduanya sama-sama
menganggap budaya populer sebagai sesuatu yang mencerabut generasi muda dari akar budayanya. Ketiga, budaya populer mengancam kebudayaan nasional, yang
sedang diusung sebagai tema Revolusi oleh Pemerintah Demokrasi Terpimpin.
Koes Bersaudara adalah objek yang tepat dalam penulisan skripsi ini. Ada empat alasan terkait dengan hal ini. Pertama, Koes Bersaudara adalah grup musik
yang dilarang pada masa Pemerintah Demokrasi Terpimpin. Kedua, Koes Bersaudara dianggap sebagai sekumpulan anak muda yang tercerabut dari akar budayanya.
dibalik pelarangan terhadap Koes Bersaudara. Dengan demikian, teori budaya populer dapat menghubungkan antara kekuasaan dan budaya populer, serta
menjelaskan hubungan tersebut dalam konteks sejarah.
Beberapa konsep dari hegemoni Gramsci20 juga dipakai dalam skripsi ini.
Khususnya dalam melihat permasalahan dalam konteks Perang Dingin. Aparatur-aparatur negara yang terbagi-bagi dan melakukan tugasnya sebagai alat represi negara sesuai dengan kenyataan yang terjadi selama periode Demokrasi Terpimpin. Sebagai
contoh, untuk menghapus pengaruh Koes Bersaudara, negara bersama-sama dengan kaum intelektual yang tergabung ke dalam Lekra, untuk melakukan tindakan represif.
Represi tersebut sangat jelas, kebijakan-kebijakan dan bahkan pemenjaraan dilakukan oleh negara sebagai upaya merebut hegemoni kekuasaan.
Dampak dari represi negara terhadap Koes Bersaudara juga dianalisa dari
kacamata hegemoni Gramsci untuk menjelaskan kecenderungan politiknya. Kecenderungan politik tersebut akan tampak pada karya-karya Koes Bersaudara
setelah dibebaskan dari penjara. Hegemoni Gramsci akan menunjukkan keterkaitan antara represi negara, sikap apolitis Koes Bersaudara, dan perubahan Koes Bersaudara dari apolitis menjadi politis setelah kekuasaan yang merepresi mereka
tumbang.
20
H. Metode Penelitian
Pada dasarnya, penelitian ini menggunakan empat tahap dalam metode
sejarah, yakni, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini menggunakan sumber-sumber pustaka. Data yang dikumpulkan terdiri dari sumber peristiwa dan sumber teroretis. Buku Wage War Against Beatles Music dan Lekra
Tidak Membakar Buku merupakan sumber utama dalam studi ini. Kesulitan utama dalam pengumpulan sumber ialah menemukan sumber-sumber tentang Koes
Bersaudara. Grup musik ini, meskipun terkenal, tidak tercatat dengan baik dalam sejarah Indonesia.
Kesulitan tersebut berakhir ketika Steven Farram, penulis Wage War Against
Beatles Music, merespon pesan elektronik penulis dan mau untuk berdiskusi via email sekaligus mengirimkan bukunya dalam bentuk soft copy. Kontak melalui email
tersebut berjalan kurang lebih selama 4-5 bulan dan memberikan bantuan yang sangat besar.
Proses pengumpulan sumber tidak selalu berjalan dengan lancar. Selain
menghubungi Steven Farram, juga dihubungi Felix Dass, seorang pengamat seni. Pencarian Felix Dass cukup sulit, setelah berhasil dihubungi ternyata Felix Dass tidak
paham tentang Koes Plus. Felix Dass dihubungi lewat berbagai macam media sosial. Setelah melewati proses mengumpulkan sumber, langkah selanjutnya ialah
draft. Terutama data yang berasal dari buku Lekra Tidak Membakar Buku. Pada awalnya, data yang tidak dipakai tersebut membantu dalam memahami situasi dunia
politik dalam kaitannya dengan seni pada masa Demokrasi Terpimpin, tetapi, ketika penelitian sudah mulai mengerucut, data-data tersebut akhirnya harus dibuang karena
tidak memiliki keterkaitan dengan Koes Bersaudara.
Tahap berikutnya adalah interpretasi. Pada tahap ini teori mulai digunakan untuk menganalisa data yang sudah melalui proses kritik sumber. Interpretasi adalah
proses yang paling menyenangkan dalam penelitian ini, meskipun tidak menghilangkan kesulitan-kesulitan. Salah satu cara yang paling ampuh dalam
melakukan interpretasi ialah dengan meyakinkan diri atas pemahaman yang didapat setelah menganalisa data menggunakan teori. Secara umum, interpretasi berjalan dengan lancar. Setelah melewati proses pengumpulan sumber, kritik sumber, dan
interpretasi di atas, penelitian ini sampai pada historiografi, yakni hasil akhir yang menjadi pokok bahasan studi ini.
I. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi ke dalam lima Bab,
BAB I, berisi pendahuluan yang membahas latar belakang, tujuan dan
Dalam BAB II, dijelaskan kondisi politik dan budaya tahun 1960-1965. Dalam Bab II juga dijelaskan mengenai Perang melawan imperialisme Barat, dan
Target Lekra, tentang keterlibatan Lekra dalam memberantas budaya Barat.
BAB III menjelaskan upaya pemerintah untuk memutus gelombang budaya
pop Barat terkait Koes Bersaudara. Dalam Bab III dibahas mengenai Kebijakan dan Pernyataan pemerintah, Represi Pemerintah, dan Hegemoni Amerika Serikat terkait dengan budaya populer.
Dalam BAB IV dibahas dampak ketegangan bagi Koes Bersaudara. Bab IV, juga berisi tentang Larangan Terhadap Koes Bersaudara, Lagu-Lagu Setelah
Demokrasi Terpimpin: Kritik Terhadap Soekarno, yang mencakup persoalan kritik di dalam lirik, juga mengenai hegemoni dan represi.
BAB V merupakan kesimpulan atas keseluruhan pembahasan penelitian ini.
BAB II
SITUASI POLITIK-BUDAYA DI INDONESIA 1960-1965:
PERANG MELAWAN IMPERIALISME BARAT
Bab ini menjelaskan peristiwa politik di Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin, yang melatarbelakangi ketegangan antara Koes Bersaudara dan pemerintah. Seperti yang telah diketahui, bahwa masa Demokrasi Terpimpin, akibat dorongan politik, semangat bermusik di Indonesia dipenuhi oleh upaya pencarian
identitas budaya nasional. Realitas ini kemudian bersinggungan langsung dengan peristiwa interaksi budaya serta ketegangan yang menyertainya; antara budaya
populer, pemerintahan Soekarno, dengan grup musik Koes Bersaudara.
Masa Demokrasi Terpimpin merupakan periode di mana musik begitu berdekatan dengan politik. Pemerintah menjaga wilayah kebudayaan dengan
prinsip-prinsipnya untuk mengukuhkan wujud asli budaya nasional. Sikap tersebut mengarahkan budaya agar berkesesuaian dengan arah politik Demokrasi Terpimpin.
Politisasi musik dilakukan dengan keseriusan yang melembaga; pada tanggal 17 Agustus 1950 berdiri sebuah lembaga yang menyandang tugas menemukan identitas budaya nasional, yang dikenal sebagai Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA).
Lekra sangat mempengaruhi situasi politik-budaya di Indonesia pada tahun 1960-1965. Kekuatan lembaga tersebut sangat besar, terutama bagi seniman-seniman
seperti Pramudya Ananta Tour yang merupakan pengagum negara-negara sosialis. Dipengaruhi oleh Perang Dingin, lembaga ini memihak kepada Uni Soviet dan
menganggap Barat sebagai musuh.
Dengan demikian, Koes Bersaudara menjadi musuh bagi Lekra. Hal itu
disebabkan oleh; pertama, grup musik Koes Bersaudara telah dikenal di Malaysia dan Singapura. Kedua, Koes Bersaudara tidak mengikuti haluan negara dalam berkarya, alih-alih menciptakan lagu-lagu yang identik dengan Barat. Ketiga, grup musik ini
berpotensi sebagai agen tidak langsung pihak Barat dalam menyebarkan budaya populer yang dianggap anti-revolusi oleh pemerintah pada masa Demokrasi
Terpimpin. Ketiga alasan tersebut sudah sangat cukup bagi Lekra untuk mengkategorikan Koes Bersaudara sebagai musuh mereka. Ditambah lagi dengan kepastian bahwa Soekarno memberikan dukungan.
A. Situasi Politik dan Budaya
“....dalam hal apapun dan kapan sadjapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita:
Politik adalah panglima!”21
Jargon tersebut diungkapkan oleh Njoto pada Kongres Nasional Lekra I yang diselenggarakan di Solo pada tanggal 24-27 Januari 1959, kira-kira setahun
sebelum berdirinya Koes Bersaudara, yakni tahun 1960. Pada periode tersebut, haluan politik Soekarno mulai membelok perlahan ke kiri, yakni dari liberal ke sosialis.22
21Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008, op.cit., hlm. 25.
22
Perubahan haluan politik Soekarno tersebut juga disertai dengan bangkitnya PKI sepanjang 1954-1955 yang berakhir dengan kembalinya PKI dalam poros utama
politik Indonesia dan menjadi empat besar pada Pemilu 1955.23
Pada masa Demokrasi Terpimpin, demokrasi hanya simbol yang diletakkan
pada slogan. Prinsip dari demokrasi ialah kedaulatan berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sikap anti terhadap budaya populer Amerika Serikat oleh Soekarno tidak bisa dikatakan berasal dari rakyat, oleh rakyat, maupun untuk rakyat. Sebab,
secara politik, Soekarno bersitegang dengan Amerika Serikat setelah dukungan bantuan negara adidaya tersebut kepada PRRI. Jadi, sikap anti terhadap budaya
populer yang dilakukan Soekarno adalah suatu kepentingan politik yang dilakukan untuk negara tanpa ada persetujuan dari rakyat.
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin dijalankan bersamaan dengan semakin
meluasnya pengaruh budaya populer Amerika di seluruh dunia. Di tengah-tengah Perang Dingin, budaya populer adalah senjata Amerika Serikat dalam merebut
hegemoni dunia. Namun, pihak komunis yakni PKI dan kemudian Lekra lebih mempengaruhi Soekarno daripada Amerika Serikat. Ditambah dengan hubungan buruk Soekarno-Amerika Serikat yang memanas sejak PRRI, maka semakin jelas,
tidak ada kompromi bagi siapapun yang membawa pengaruh Amerika Serikat ke Indonesia, termasuk Koes Bersaudara.
Keamanan nasional terancam di tahun pertama berdirinya Pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Beberapa tokoh melakukan pertemuan rahasia di daerah
23
Sumatra, yang hendak mengancam stabilitas nasional dengan mengganti struktur pemerintahan, mulai dari presiden, militer, dan pelarangan partai politik.24 Di tahun
yang sama, terjadi satu percobaan pembunuhan terhadap Soekarno.25 Ancaman-ancaman terus berlanjut melalui gelombang radikal hingga tahun 1958. Salah satu
gelombang radikal terbesar adalah diumumkannya pemerintahan PRRI di Bukittinggi pada tanggal 15 Februari 1958. Upaya pemberontakan ini mendapat dukungan dari Amerika Serikat yang waspada terhadap Soekarno dan PKI. Dukungan Amerika
Serikat terhadap PRRI merusak hubungan luar negeri Indonesia-Amerika Serikat.26 Hubungan yang rusak tersebut berlarut-larut selama era Demokrasi Terpimpin dan
meluas hingga ke ranah budaya.
Kerusakan tersebut menjadi penentu bagi sikap politik Pemerintah Demokrasi Terpimpin yang kemudian menjadi pro kiri. Pemerintah menganggap
hal-hal yang berbau Amerika Serikat sebagai hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat revolusi dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Situasi tersebut
menguntungkan bagi PKI. Tentu saja, perasaan anti-Amerika Serikat Soekarno, selain muncul karena rasa curiganya terhadap negara tersebut yang mendukung PRRI, juga
24 Ricklefs menuliskan bahwa “Pada bulan September dan
Oktober 1957, Kolonel Simbolon dan para pembangkang militer lainnya di Sumatera, Kolonel Sumual dari gerakan Permesta, dan Kolonel Lubis mengadakan beberapa pertemuan di Sumatera guna mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka. Mereka meringkas tujuan mereka menjadi tiga sasaran: diselenggarakannya pemilihan umum untuk memilih seorang presiden baru guna mengakhiri kegiatan-kegiatan pro-PKI Sukarno, digantinya Nasution dan stafnya di pusat,
dan dilarangnya PKI.” M.C. Ricklefs, 2005, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Jakarta: hlm. 515.
25
ibid.
26
dipengaruhi oleh PKI. Akibatnya, pada tahun 1960, PKI sudah memiliki wakilnya di setiap lembaga pemerintahan.
Jika melihat gambaran besar politik Soekarno yang juga merupakan politik negara pada waktu itu, disertai dengan kuatnya pengaruh PKI, jelas bahwa ideologi
yang dijunjung oleh pemerintah Demokrasi Terpimpin adalah ideologi komunis. Meskipun Soekarno menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara Non-Blok, namun konsep Nasionalis-Agama-Komunis (NASAKOM) merupakan bentuk
keberpihakan Indonesia pada Uni Soviet.
Pemikiran Soekarno tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Marx dalam
melihat perkembangan budaya kapitalisme. Seperti yang pernah dikatakan Marx mengenai gagasan penguasa dominan di dalam masyarakat bersama-sama dengan kekuatan intelektual, terwujud di Indonesia pada masa Pemerintah Demokrasi
Terpimpin yakni penguasa bersama-sama dengan para intelektual yang tergabung ke dalam Lekra mendominasi negara.27
Posisi Soekarno pada waktu itu adalah melawan negara imperialis yang juga merupakan negara kapitalis. Jika dilihat dari perspektif Marx, maka dapat dikatakan
27
Dominic Strinati mengutip Marx dari German Ideology dalam kaitannya dengan
bahwa Koes Bersaudara adalah manifestasi dari gagasan-gagasan dominan yang lazim dalam masyarakat kapitalis. Soekarno menolak untuk tunduk dan dikendalikan
oleh gagasan-gagasan kapitalis, maka sebagai Presiden Demokrasi Terpimpin, Soekarno harus menghentikan Koes Bersaudara. Kecurigaan yang muncul pada saat
itu mengenai Koes Bersaudara ialah adanya keterlibatan Amerika Serikat sebagai negara kapitalis di belakang grup musik tersebut.28 Hal yang sama juga tercatat di dalam biografi Yon Koeswoyo. Selama beberapa hari Yon Koeswoyo diinterogasi
terkait aktivitas bermusik mereka, petugas interogasi berulang-ulang kali bertanya kepada Yon, tentang “Siapa di belakang anda?”.29
Sebagai negara anti-kapitalis dan kuatnya pengaruh komunis dalam dunia politik Indonesia, sangat logis jika interogasi tersebut secara tidak langsung merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap Amerika Serikat sebagai negara
kapitalis yang memproduksi dan menyebarkan budaya populer di Indonesia. Ketakutan Soekarno ialah mendominasinya gagasan-gagasan kapitalis di kalangan
anak muda Indonesia yang dapat membunuh eksistensi budaya lokal, dan budaya nasional. Namun, pada tahun 1965, Koes Bersaudara telah menjadi grup musik yang sangat fenomenal di Indonesia. Bahkan, rekaman mereka juga dirilis di Malaysia dan
Singapura.30
28
Pada edisi 30 Juni 1965, Kompas memberitakan penahanan Koes Bersaudara dan mencatat bahwa selama menjalani hukuman akan dilakukan penyelidikan apakah grup musik
tersebut memiliki ‘elemen subversif’ di belakang aksinya. Kompas 30 Juni 1965 dalam Steven Farram, 2007, op.cit., hlm. 262.
29
ibid.
Pengaruh PKI yang semakin kuat, membuat hubungan antara Indonesia dengan Barat semakin memburuk. Ketika Indonesia memutuskan hubungan
diplomatik dengan Belanda pada bulan Agustus 1960 terkait dengan masalah pembebasan Irian Barat, Aidit dan Njoto menjadi anggota dari Front Nasional yang di
bentuk oleh Soekarno untuk membebaskan Irian Barat.
Dalam konteks Perang Dingin, Indonesia dan Uni Soviet dapat dikatakan sebagai dua negara yang serasi, karena memiliki persamaan-persamaan. Gramsci
mengatakan bahwa di Uni Soviet negara adalah segalanya di mana masyarakat sipilnya primordial dan cair.31 Negara adalah segalanya menemukan bentuknya di
Indonesia dalam slogan politik adalah panglima, ungkapan dari Njoto. Masyarakat sipil yang primordial dalam konteks Indonesia terwujud dalam upaya pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang menjunjung tinggi kebudayaan rakyat.
Dengan demikian, larangan terhadap Koes Bersaudara oleh Pemerintah Demokrasi Terpimpin saling berkaitan dengan politik internasional di mana Perang
Dingin sedang terjadi dan dua kekuatan besar dunia sedang berlomba-lomba menjadi penguasa.
Hubungan antara Indonesia dan Uni Soviet semakin kuat. Hubungan tersebut
tidak dapat dilepaskan dari upaya Uni Soviet untuk meningkatkan pengaruhnya di Indonesia dalam hubungannya dengan Perang Dingin.32 Hasilnya, pada awal dekade
31
Nezar Patria dan Andi Arief, 2009, op.cit., hlm. 141. 32
1960-an perlawanan dari PRRI menemui ajalnya. PKI menemukan momentumnya dalam keadaan yang cenderung lebih stabil dengan bersekutu dengan Soekarno.
Baru setelah tahun 1963, di mana anggota front intelektual PKI, yang juga tergabung di dalam Lekra mencapai 100.000 orang, serangan-serangan terhadap
budaya imperialis dan kesadaran kekuasaan akan bahaya budaya Amerika Serikat bagi bangsa Indonesia menguat. Kesadaran intelektual tersebut senada dengan pemikiran Hoggart, yang mengatakan bahwa budaya Amerika Serikat menjauhkan
anak-anak muda dari akar budayanya.33 Di Indonesia, Lekra berada di garis depan dalam menjaga kebudayaan rakyat.34 Lembaga tersebut bersama-sama dengan
pemerintah melawan budaya imperialisme.
Presiden Soekarno memberikan dukungan terhadap Lekra. Bahkan, Soekarno begitu akrab dengan para anggota Lekra, hal ini nampak pada acara Pekan
Kebudayaan Lekra pada tanggal 23 Januari 1959 di Solo Presiden Soekarno menari dengan anggota Lekra.35 Dukungan massa juga sangat besar terhadap Lekra, yang
dapat dilihat dari jumlah massa yang datang ke Solo untuk menghadiri acara
sebesar 450 juta dolar AS untuk membeli persenjataan dari Uni Soviet. M.C. Ricklefs, 2005,
op.cit., hlm. 531. 33
Berikut ungkapan Hoggart yang dikutip Dominic Strinati dalam bukunya, Popular Culture, “Impor budaya massa Amerika menjauhkan “anak-anak...” dari autentisitas latar belakang dan ke dalam suatu dunia fantasi kosong kesenangan-kesenangan yang
di-Amerikanisasi.” Dominic Srinati, 2010, op.cit., hlm. 62. 34
Pernah disinggung oleh Lekra dalam Konferensi Nasional I di Bali pada 25-27
Februari 1962, “Menurut Lekra, sesudah larangan Manipol terhadap musik-musikan dan dansa-dansian jahat, timbul band-band yang nama dan kulit pemainnya saja buatan Indonesia, sedang isi, bentuk, dan gaya musik-musiknya dan dansa-dansian yang mereka sajikan justru
menurut Manipol ilegal.” Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008, op.cit.,
hlm. 45.
35
tersebut.36Antusiasme masyarakat yang disertai dengan dukungan nyata dari Presiden Soekarno pada acara Pekan Kebudayaan dan Kongres Nasional tersebut,
menunjukkan pengaruh Lekra yang besar baik terhadap penguasa maupun terhadap rakyat.
Hubungan antara kebudayaan rakyat dan politik pada periode 1960-1965 dekat dan serasi37. Kebudayaan rakyat yang diusung oleh Lekra sesuai dengan kehadiran politik (kekuasaan) di dalam ideologinya. Hubungan tersebut menyamakan
wajah lembaga kebudayaan tersebut menjadi serupa dengan wajah kekuasaan. Lekra kemudian menjadi bagian dari kekuasaan Demokrasi Terpimpin dan bersama-sama
menjadi anti-imperialisme, khususnya dalam bidang kebudayaan dan seni.
Kembali ke tahun 1960, yakni setahun setelah Konferensi Nasional Lekra 1959, Koes Bersaudara muncul dengan isi dan bentuknya yang dipengaruhi oleh
musisi-musisi Barat seperti Everly Brothers, Kallin Twin, dan Beatles. Menurut Steven Farram, pengaruh Barat gaya bermusik Koes Bersaudara, menyebabkan grup
musik tersebut berada dalam sebuah posisi yang berbahaya38 karena pemerintah telah melarang musik-musik populer dari Amerika Serikat dan Inggris di Indonesia.
36
Selama pelaksanaan rangkaian acara Lekra pada 23-27 Januari di Solo, tercatat,“ Ada sekira 11 ribu pengunjung hadir di malam pembukaan dan di malam kedua lebih semarak lagi, yakni 17.400 pengunjung. Rata-rata pengunjung yang hadir berkisar antara 9
ribu sampai 15 ribu setiap malamnya.”ibid., hlm. 19. 37
Keserasian di dalam kerangka pemikiran Foucault mengacu pada sesuatu yang saling berdekatan. Kedekatan tersebut bersifat saling mempengaruhi satu sama lain. Foucault menggunakan hubungan yang saling mempengaruhi antara materi dan jiwa pada tubuh manusia. Dalam skripsi ini, keserasian mengacu pada kedetakan antara Lekra dan Pemerintah Demokrasi-Terpimpin, di mana keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.Michel Foucault, 2007, Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan (terjemahan), Yogyakarta: hlm. 21.
38
Ketegangan di antara kedua pihak, yakni Koes Bersaudara dan Pemerintah Demokrasi Terpimpin, kemudian tidak dapat dihindarkan, bahkan diisi dengan
kecaman-kecaman keras.39
Gambar1 Karikatur Koes Bersaudara di Harian Rakjat 14 Maret 1965. Sumber: Steven Farram, 2007, Wage War Againts Beatles, Sidney.
Ketegangan juga dipicu oleh media massa yang menjadi corong bagi Lekra dan dekat dengan pemerintah saat itu, Harian Rakjat. Pada terbitan 14 Maret 1965,
beberapa komentar negatif muncul di rubrik Harian Rakjat terkait dengan
39
Di dalam Lekra Tidak Membakar Buku, Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan menunjukkan kecaman terhadap Koes Bersaudara yang menandai ketegangannya
dengan pemerintah,“Mau tahu jenis musik yang harus dienyahkan itu? Ya, seperti The
Beatles itu....musik The Beatles digolongkan musik yang memiliki ekses yang tidak baik bagi revolusi kebangsaan. Itulah musababnya kenapa The Beatles ala Indonesia seperti grup Koes
Bersaudara pun harus dihantam.” Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008,
penampilan Koes Bersaudara di daerah Kemayoran.40 Harian Rakjat juga membuat karikatur Koes Bersaudara ketika grup musik tersebut tampil di Bandara Halim
Perdana Kusuma, penampilan yang banyak mengundang kecaman dari kalangan kiri. Dengan demikian, Koes Bersaudara berurusan dengan salah satu partai paling dekat
dengan Soekarno, PKI, yang berarti grup musik tersebut sudah terseret ke dalam arus politik di Indonesia.
B. Perang Melawan Imperialisme Barat
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin, musik Barat menjadi fenomena di Indonesia. Lagu-lagu rock’n’roll masuk dan mempengaruhi generasi muda. Musik-musik tersebut dikenal melalui media yang
pada saat itu menjadi pintu masuk bagi budaya Barat. Soekarno, menganggap musik Barat adalah lambang dari kerusakan moral dan dapat merusak semangat kerakyatan
bangsa Indonesia. Pemerintah memiliki pandangan bahwa musik Barat dapat menimbulkan kebiasaan buruk bagi generasi muda Indonesia. Tidak hanya
40
Berikut isi beberapa komentar dalam surat pembaca tersebut,
1. “...dengan pukulan drum jang berdentam-dentam dan teriakan histeris jang mengejutkan. Bukan drum band sembarang drum, bukan teriakan sembarang teriakan. Tapi
drum band dari ,,Koes Bersaudara’’ dan teriakan histeris dari putera-putera Indonesia jangtelah meninggalkan kepribadiannja, lalu bertelandjang bulat memamerkan kebandelan
dan ketidakatjuhan terhadap tanah air dengan Revolusi dan kepribadiannja jang tinggi.”
2. “Sungguh mati saja kaget musik Beatles bersaudara, “musik” lutut jang djahanam itu, kok muntjul dipintu gerbang Indonesia. Apakah kiranja kutukan dan
kemarahan Bung Karno terhadap “musik” brengsek ini tidak berlaku untuk teritorial international airport.”
pemerintah, bahkan Pramudya Ananta Toer, sastrawan Lekra yang paling berpengaruh, terang-terangan mengatakan bahwa musik Barat hanya bercerita tentang
seks.41
Pendapat Pramudya tersebut menunjukkan kekhawatiran akan potensi musik
Barat yang dapat merusak moral generasi muda Indonesia. Bukan hanya Pramudya, kerusakan moral juga menjadi kekhawatiran bagi pemerintah. Anggapan yang muncul pada saat itu adalah, budaya populer yang berasal dari Barat akan mencerabut
anak-anak bangsa dari budaya asli mereka. Kemudian pemerintah melarang dan membatasi distribusi produk-produk budaya Barat ke Indonesia. Larangan tersebut
merupakan upaya melindungi budaya rakyat dari pengaruh budaya populer Barat yang dianggap bersifat permukaan, sentimental, sesaat, menyesatkan, mengorbankan nilai-nilai keseriusan, intelektualitas, penghargaan atas waktu dan autentisitas.42
Penguasa Indonesia pada tahun 1960-1965 mendukung teori budaya massa yang mengkritisi tampilan budaya populer. Namun, ironis ketika radio milik
Angkatan Udara justru menjadi media yang identik dengan lagu-lagu Amerika Serikat dan RRI, radio milik pemerintah, justru merilis album pertama Koes
41
Steven Farram menuliskan dalam bukunya Wage War Againts Beatles Music, bahwa Pramudya menilai musik-musik Barat sebagai, “. . .were all about sex and suggested that as long as the male and female subjects of the songs kissed each other, or even better climbed into bed, all their problems would be solved.” Steven Farram, 2007,
op.cit., hlm. 253. 42
Bersaudara. Inilah yang dikatakan oleh Dominic Strinati sebagai kegagalan teori budaya massa dalam menjelaskan budaya massa43.
Kegagalan tesebut dapat dilihat pada pribadi Soekarno yang sangat keras terhadap budaya populer namun tidak menyadari bahwa di dalam lenso, tarian khas
Indonesia Timur yang sangat digemarinya, memiliki ritme yang sama dengan tarian yang dilarangnya, Cha Cha!44. Ketika Soekarno tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya dengan lenso hanyalah mengganti istilah dari cha-cha, tarian yang
dilarangnya, tidak satupun dari pemerintah yang mengkritisi. Padahal, jelas sekali bahwa permainan musik dengan irama yang sama selama berjam-jam juga
merupakan inti dari tarian cha-cha. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan bahwa Soekarno juga tidak menyadari bahwa sebenarnya musik rock’n’roll berasal dari musik blues yang merupakan musik perjuangan budak-budak Afrika di Amerika.
Sejarah mencatat, bahwa, pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung Soekarno memiliki perhatian yang besar terhadap negara-negara di Afrika.
43
Dominic Strinati menyatakan bahwa, “Teori budaya massa menunjukkan dan mengkritisi tampilan budaya massa tapi gagal menjelaskannya. Dalam pengertian ini, teori budaya massa membatasi diri untuk tidak sepenuhnya memahami sesuatu yang diserangnya....teori tersebut agaknya mengimplikasikan suatu kemarahan pada pihak kelompok-kelompok tertentu terhadap berbagai macam ancaman yang ditimbulkan oleh budaya massa dan demokrasi massa – budaya populer, pendidikan, kemahirwacaan, dan sebagainya –terhadap peran mereka sebagai pendidik budaya dan penilai selera.”ibid., hlm. 84.
44 Sesuai dengan yang ditulis oleh Steven Farram, “
Secara teoritis, budaya populer tidak dapat dipisahkan dari budaya massa. Keduanya saling berhubungan melalui kesamaan pada kecenderungannya,45 dan,
budaya populer dilahirkan oleh budaya massa.46 Budaya massa inilah yang bersama-sama dengan budaya populer mengancam eksistensi budaya rakyat. Ancaman
tersebut datang dari sebuah kekuatan revolusioner dinamis47.
Pada era pemerintah tengah bersitegang dengan Barat, Koes Bersaudara terang-terangan mengadopsi musik Barat ke dalam gaya bermusik mereka. Tidak
perlu dipertimbangkan lagi, bahwa Koes Bersaudara dianggap sebagai wakil dari budaya imperialis Barat karena dapat merusak, menjerumuskan, dan merusak moral
bangsa Indonesia.
Disadari atau tidak oleh Koes Bersaudara, pengaruh Barat dalam lagu-lagu mereka telah dianggap mengancam perjuangan pemerintah dalam membentuk suatu
kebudayaan nasional. Pemerintah bereaksi terhadap ancaman yang muncul dari Koes Bersaudara dan budaya populer pada umumnya. Reaksi keras dari pemerintah cukup
45
McDonald mengatakan bahwa budaya massa adalah “kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, lebih censerung pada pengembaraan fantasi
tanpa beban dan pelarian” McDonald dalam Dominic Strinati, 2010, op.cit., hlm. 41. 46
Graeme Burton mengatakan bahwa produksi massa telah menghasilkan budaya massa yang kemudian menjadi budaya populer. Graeme Burton, 2008, Media dan Budaya Populer, Yogyakarta.
47
Berikut adalah penjelasan Mc Donald tentang budaya massa sebagai kekuatan revolusioner dinamis yang dikutip oleh Dominic Strinati, “sebuah kekuatan
revolusioner dinamis, yang menghancurkan batasan kuno kelas, tradisi selera, dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut sebagai budaya homogen.... Dengan demikian, budaya massa menghancurkan segala nilai, karena penilaian mengimplikasikan adanya diskriminasi/pembedaan. Budaya massa teramat sangat demokratis: ia secara mutlak menolak
beralasan karena, memang, budaya populer yang kemudian menjadi budaya massa, merupakan suatu produksi massal komoditas kultural. Sementara itu, pemerintah
mengetahui bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang diidentifikasikan sebagai pusat dari budaya massa. Selain mengancam kebudayaan nasional, budaya populer
juga mengancam eksistensi kebudayaan rakyat.48
Soekarno, memiliki pemikiran yang sama dengan, Hoggart, yang menganggap bahwa budaya populer sebagai bahaya yang mengancam generasi
muda.49 Perbedaannya, menurut Soekarno budaya populer adalah budaya yang berpotensi melemahkan revolusi, sedangkan menurut Hoggart budaya populer ialah
proses Amerikanisasi yang dapat mencerabut kelas pekerja Inggris dari identitas asli mereka. Selain itu, tidak jelas juga, apakah Soekarno benar-benar ingin menciptakan suatu budaya nasional dengan menggiring masuk budaya rakyat ke dalam politik.
Jika Hoggart melawan budaya populer Amerika untuk melindungi kaum kelas pekerja secara khusus, sementara Soekarno melawan untuk melindungi
kebudayaan rakyat secara menyeluruh. Namun, baik Soekarno ataupun para pemikir
48
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Strinati,“. . .budaya massa dianggap muncul dari produksi massal dan konsumsi komoditas kultural, maka relatif mudah untuk mengidentifikasi Amerika sebagai pusat budaya massa karena masyarakat kapitalis yang sangat erat kaitannya dengan proses-proses tersebut. . .hal ini menggambarkan ancaman bukan hanya terhadap standar-standar estetis dan nilai-nilai kultural, melainkan juga terhadap
budaya nasional itu sendiri.” Dominic Strinati, 2010, op.cit., hlm. 51-52. 49
Pemikiran Soekarno mengenai budaya populer Amerika lebih serupa dengan Hoggart, yang menganggap bahwa, “ “seni-seni massa baru” seperti “novel-novel seks dan
kekerasan”, “majalah ‘cabul’”, “lagu-lagu pop komersial” dan “gramofon”, yang membuat
anti-Amerika Serikat lainnya, menurut Hebdige, sedang mengalami sebuah ketakutan atas Amerikanisasi pasca perang Dunia II.50
Potongan rambut a la Beatles dan lagu rock’n’roll yang merupakan ciri khas dari Koes Bersaudara merupakan contoh dari Amerikanisasi. Di Inggris, salah satu
ketakutan akan berkembangnya budaya populer ialah keseragaman dan homogenitas akan menggantikan budaya nasional yang dinilai sangat kaya. Untuk permasalahan yang terjadi di Indonesia, memang keseragaman dan homogenitas tidak mendapatkan
perhatian yang besar seperti halnya di Inggris. Namun, ketakutan akan tergantikannya budaya rakyat dengan budaya populer Amerika Serikat juga terjadi seperti halnya di
Inggris.
Ketakutan akan hilangnya eksistensi kebudayaan rakyat yang beragam oleh budaya populer, memberikan kesan budaya populer adalah budaya yang seragam dan
homogen. Kesan tersebut belum tentu benar karena beberapa pandangan menolak homogenitas yang disematkan kepada budaya populer.51
50 Berikut pendapat Hebdige tentang ketakutan terhadap Amerikanisasi, “. . .ketakutan atas terjadinya Amerikanisasi pada masca pasca perang ada kaitannya dengan rasa takut terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh para elite intelektual beserta penilaian mereka
mengenai selera melalui “proses penurunan”. Gagasan-gagasan tentang Amerika yang semakin populis dan demokratis . . .mengancam penilaian intelektual atas selera dan konsumsi kelas menengah sebagai bentuk-bentuk kekuatan simbolis dan posisional.” ibid.,
hlm. 68.
Di Inggris, para pemuda perkotaan kelas pekerja memanfaatkan budaya populer Amerika Serikat dengan cara-cara yang khas dan positif sebagai wujud
perlawanan radikal terhadap budaya kelas menengah dan kelas atas.52 Di Indonesia budaya populer yang berasal dari Amerika Serikat berpotensi mengancam kekuasaan.
Soekarno yang menyadari hal ini dan mulai membuat batasan dalam sistem demokrasi di Indonesia, yaitu suatu sistem demokrasi yang tunduk di bawah kekuasaan Soekarno.
C. Target Lekra
Pemerintah berusaha menghentikan pengaruh budaya populer yang datang dari Koes Bersaudara. Pemerintah menyadari hal tersebut dan menjadikan Lekra
sebagai benteng untuk melindungi kebudayaan rakyat serta melarang keras segala bentuk kebudayaan yang mewakili imperialisme, termasuk musik. Keterlibatan
Lekra, yang memiliki peran sebagai intelektual, telah melebihi batas, karena intelektual tidak berfungsi sebagai hakim ataupun berhak untuk menghakimi.53
Berdasarkan sentimen-sentimen dan kepentingan-kepentingan politik di atas,
pemerintah memberikan reaksi negatif terhadap budaya populer. Upaya Pemerintah melalui Lekra, berakibat fatal bagi musisi-musisi pop karena pemerintah
menggunakan hukum dan pernyataan-pernyataan resminya untuk membangun
soal apakah Amerika mereka bersifat khayal karena memang itulah intinya –memiliki “daya
sihir” karena “sifat khayalnya”.”ibid.,hlm 69.
52ibid.
53
anggapan publik. Bahkan, untuk Koes Bersaudara, pemerintah menggunakan penjara sebagai reaksi mereka atas ketenaran grup musik tersebut. Koes Bersaudara dipenjara
tanpa melalui proses hukum.54 Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa Soekarno adalah seorang presiden yang memimpin pemerintahan secara diktator.
Lekra sebagai suatu organisasi seni non-pemerintah yang mendukung Soekarno, melalui Lembaga Musik Indonesia (LMI), salah satu anak lembaga Lekra, mengambil sikap tegas terhadap musik yang dianggap ilegal oleh Manipol karena
dianggap mewakili semangat imperialis. Menurut LMI55, Koes Bersaudara adalah salah satu yang harus dilarang.56 Lekra kemudian menjadi sebuah lembaga
intelektual, yang di dalam beberapa kesempatan mengecam Koes Bersaudara.
54
Steven Farram, 2007, op.cit., hlm. 262. 55
LMI adalah salah satu dari enam lembaga di dalam Lekra. Lembaga ini dibentuk kemudian setelah Lembaga Seni Rupa (Lesrupa), Lembaga Sastra (Lestra), Lembaga Film Indonesia (LFI), dan Senidrama. Selengkapnya lihat, Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008, op.cit., hlm. 38.
56
Lebih spesifik lagi, yaitu pernyataan Sudharnoto, salah seorang petinggi Lembaga Musik Indonesia (LMI), pada Konferensi LMI tahun 1964 yang menganggap music
populer Amerika sebagai ‘musuh’, “We must be more vigilant, more tenacious, and more persevering in opposing imperialist culture, especially US imperialist culture, which in reality continues to threaten us in every shape and way. Crazy songs and whiny songs have appeared these days as a result of the vicious attacks of American imperialist culture in the form of reproducing the ‘dive-rhythm-music’ ala Elvys Presley and ‘sex dream’ songs ala Tommy Sands. They spread this decadent musical bait in step with their attacks on our People in politics, the economy, and in step as well with their press that immorally desires to tarnish the good name/character of our Great Leader of the Revolution, Bung Karno […]”
Lekra mengambil tindakan dengan menolak musik ngak-ngik-ngok melalui kampanye yang di dalamnya Koes Bersaudara masuk daftar pengganyangan.
Kampanye tersebut dimuat dalam Harian Rakjat 11 Juli 1965, dengan judul ‘Ambil tindakan hukum terhadap penjebar musik kontra-revolusioner’.57
Di dalam Harian Rakjat edisi hari itu, Pimpinan Pusat Lekra menyerukan langkah kulturil, politik, adminstratif untuk mencegah berkembangnya musik ngak-ngik-ngok dan rock’n’roll. Langkah-langkah tersebut pertama; Menjetop pemasukan
piringan hitam, pita rekaman serta alat-alat penjebaran musik ngak-ngik-ngok, rokenrol, twist, beatles, dan sebangsanja, produk kebudajaan imperialis AS. Kedua;
Melarang memperdjualbelikan, memperbanyak rekaman-rekaman musik-musik dekaden tersebut; Dan mengandjurkan toko-toko pendjual piringan dan pita rekaman untuk sukarela dan secara sadar membantu menjetop bojongan musik-musik dekaden
tersebut. Ketiga; Kepada pemimpin-pemimpin dan pemain band-band jang biasanja
57 Jennifer Lindsay dkk., mengungkapkannya sebagai berikut, “
In reaction to what it saw as the increasing dissemination of imperialist songs, the Central Secretariat (Pimpinan Pusat) of LEKRA joined the call for cultural, political, and administrative steps to prevent the spread of ‘ngak-ngik-ngok’ music, rock ‘n’ roll (including Indonesian rock ‘n’ roll like the group Koes Plus), the twist and the Beatles, along with Indian songs regarded as whiny romanticism. LEKRA’s central leadership joined in the campaign against the sale, reproduction of recordings, as well as the imitation of types of music considered decadent.”
(Dalam reaksi terhadap apa yang dilihat sebagai meningkatnya penyebaran lagu-lagu imperialis, Pimpinan Pusat Lekra ikut mengambi langkah kultural, politik, dan administratif, untuk mencegah menyebarnya musik ngak-ngik ngok, rock’n’roll (termasuk grup musik
rock’n’roll Indonesia, Koes Plus), musik twist dan Beatles, bersama dengan lagu-lagu India ditolak karena dianggap sebagai lagu romantis cengeng. Pimpinan Pusat Lekra mendukung kampanye yang melarang penjualan, reproduksi rekaman, dan hal-hal yang meniru musik dekaden.)Perlu ditambahkan bahwa, semasa Lekra, Koes Plus masih bernama Koes Bersaudara. Nama Koes Plus baru digunakan setelah dirilisnya album To The So Called The Guilties pada tahun 1967. Kemudian benar-benar familiar setelah memasuki tahun 1970-an.
memainkan musik sebangsa ngak-ngik-ngok, beatles, dan twist, selekasnja meninggalkan musik-musik demikian dan merobah orientasinja kepada musik jang
bersifat nasional dan kerakjatan. Keempat; tinggalkan sikap dan cara-cara menjiplak dari musik-musik imperialis jang dekaden, termasuk menjiplak musik dan lagu-lagu India jang defaitis dan romantisme cengeng.”58
Kedekatan antara Lekra dengan Pemerintah menjauhkan lembaga tersebut dari kenyataan yang terjadi di masyarakat umum. Ketika kedua pihak tersebut sibuk
dengan rencana besar mereka di dunia politik, budaya populer menyebar di masyarakat melalui media massa yang tidak pernah menutup pintunya bagi Amerika
Serikat dan Inggris. Inilah yang menjadi titik lemah pemerintah sehingga mereka tidak pernah berhasil membendung arus budaya populer.
58
BAB III
UPAYA PEMERINTAH UNTUK MEMUTUS GELOMBANG
BUDAYA POP BARAT
A. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah
“In 1959, Soekarno called on all artists to stand in the ranks of the anti-colonial and anti-imperialist front. In the field of cul-ture, Soekarno campaigned to develop a culture with a national character that rejected
imperialist culture. As LEKRA’s creative institute in the field of music, LMI followed the Soekarno govern-ment’s position. At that time, both the government and LEKRA (including LMI within LEKRA) regarded pop
culture, especially American pop culture, as imperialist and ‘decadent’
culture.”59
(Pada tahun 1965, Soekarno menghimbau seluruh seniman untuk berada di barisan yang anti terhadap kolonial dan imperialis. Dalam bidang kebudayaan, Soekarno mengkampanyekan agar apara seniman mengembangkan sebuah kebudayaan yang memiliki karakter nasional dan menolak budaya imperialis. LMI, sebagai institut kreatif dalam bidang musik di bawah payung Lekra, berada di posisi yang sama dengan Soekarno. Pada waktu itu, baik pemerintah atau pun Lekra (termasuk LMI) meolak budaya pop, khususnya budaya pop yang berasal dari Amerika Serikat, karena dianggap sebagai budaya imperialis dan budaya 'dekaden'.)
Berdasarkan situasi politik saat itu, sistem demokrasi pada masa Demokrasi
Terpimpin lebih tepat jika diartikan sebagai sebuah slogan daripada suatu sistem. Bahkan, lebih tepat jika sistem politik di era Demokrasi Terpimpin dikatakan
menyerupai sistem politik di Uni Soviet. Slogan politik adalah panglima lebih cocok
59
dengan slogan negara adalah segalanya Lenin. Sistem politik yang dibentuk pada masa Demokrasi Terpimpin, justru menjauhkan Indonesia dari demokrasi itu sendiri.
Sesuai dengan kenyataannya, pada saat itu Indonesia bersitegang dengan Barat, terutama Amerika Serikat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan dan
pernyataan-pernyataan politik pada masa itu akan dipakai untuk melawan Amerika Serikat dan imperialisme Barat. Termasuk kebijakan-kebijakan dan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan budaya.
Kebijakan-kebijakan dan pernyataan-pernyataan politik dalam hubungannya dengan kebudayaan pada masa Demokrasi Terpimpin, terfokus pada dua hal, yakni
kepada musik rakyat, dan musik populer Amerika Serikat. Di satu sisi, pemerintahan Soekarno, melalui Lekra dan LMI, berusaha mengukuhkan sikapnya atas identitas budaya nasional yang berlandaskan budaya rakyat. Di sisi lain, pemerintah berupaya
menghapus pengaruh budaya imperialis demi kebudayaan nasional.
Kebijakan pemerintah merupakan suatu langkah politik yang dikeluarkan
untuk menanggapi situasi dan kondisi tertentu atas hal yang mempengaruhi negara. Demikian juga dengan pernyataan-pernyataan pemerintah. Dengan kebijakan dan pernyataan politis yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat mengetahui hal
yang dilarang dan hal yang tidak dilarang. Di dalam sebuah negara demokratis, kebijakan dan pernyataan politik, seharusnya, dikeluarkan dengan pertimbangan yang