5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal
2.1.1 Gambar struktur ginjal
Gambar 2. 1 Struktur Ginjal (Callaghan et al., 2009)
Ginjal terletak di belakang peritoneum di bagian belakang perut, memanjang dari vertebra toraks kedua belas (T12) ke vertebra lumbar ketiga (L3). Ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena kehadiran hati. Selama inspirasi,
kedua ginjal didorong ke bawah saat kontrak diafragma. Setiap ginjal ditutupi oleh kapsul fibrous. Ini lebih jauh dikelilingi oleh lemak perinephric dan kemudian oleh fascia perinephric (perirenal), yang juga melingkupi kelenjar adrenal. korteks ginjal adalah zona luar ginjal dan medula ginjal adalah zona dalam yang terdiri dari piramida ginjal. Korteks berisi semua glomeruli, dan medula berisi loop Henle, vasa rect, dan bagian akhir dari saluran pengumpu.
Pembuluh darah dan ureter terhubung dengan ginjal di hilus ginjal. Arteri renal muncul dari aorta dan biasanya membelah menjadi tiga cabang. Dua lewat di depan ureter dan satu lewat di belakangnya. Lima atau enam vena kecil bergabung membentuk vena renal, yang meninggalkan ginjal di depan cabang anterior arter renalis dan memasuki vena cava inferior. Posisi limfatik dan saraf simpatis ginjal bervariasi. Limfatik mengalir ke kelenjar getah bening aorta lateral. Saraf simpatis menyediakan pembuluh darah ginjal dan alat juxtaglomerular, dan pada tingkat yang lebih rendah dari sisa nefron. Serat aferen memasuki sumsum tulang belakang di T10, T11, dan T12. (Callaghan et al., 2009). Nefron adalah unit fungsional dari ginjal yang terlibat dalam interaksi kritis fl homeostasis cairan dan
elektrolit oleh glomerulus filtrasi, reabsorpsi dan sekresi tubular selektif. Artikel ini akan membahas tentang struktur dan fungsi masing-masing segmen nefron, serta fisiologi yang berkaitan dengan pembentukan urin (Lawrence, 2018). Secara makroskopis, ginjal terbagi menjadi dua bagian: korteks ginjal, bagian luar ginjal, dan medula, bagian dalam. Keduanya mengandung struktur nefron yang berbeda, unit fungsional ginjal. Sangat penting untuk memahami struktur nefron untuk memahami fungsi ginjal. Nefron terdiri dari glomerulus dan sistem tubular yang kompleks. Glomerulus dan bagian pertama dari sistem tubular, yang dikenal sebagai proximal convoluted tubule (PCT), terletak di korteks ginjal. Setelah PCT, lengkung Henle, struktur seperti jepit rambut, menembus medula dan kembali ke korteks untuk terhubung dengan tubulus berbelit-belit distal (DCT). Akhirnya, nefron mengalir ke saluran pengumpul melalui tubulus penghubung (Ibarra, 2020). Nefron diklasifikasikan sebagai kortikal superfisial atau juxtamedullary nefron, dibedakan berdasarkan lokasi glomeruli mereka. Mayoritas adalah kortikal, glomeruli yang terletak di korteks ginjal. Kira-kira 15% dari nefron berada disandingkan dengan sel ginjal yang terletak di dekat persimpangan
kortikomeduler. Nefron juxtamedullary memiliki laju filtrasi glomerulus yang lebih tinggi, karena glomerulus yang terkait secara proporsional lebih besar daripada nefron kortikal. Selanjutnya, nefron dapat diklasifikasikan berdasarkan panjang lilitan Henle masing-masing. Nefron kortikal memiliki loop pendek Henle yang turun sebagian ke medula, sedangkan kebanyakan loop juxtamedullary meluas ke medula bagian dalam. Ini menghasilkan gradien osmotik di medula (Lawrence, 2018). Satuan unit fungsional terkecil ginjal adalah nefron, setiap ginjal terdiri dari 1-1,5 juta nefron. Nefron terdiri dari glomerulus, tubulus proksimalis, lengkung Henle, tubulus distalis dan tubulus koligentes. Fungsi nefron adalah membersihkan darah dari zat yang tidak dikehendaki oleh tubuh, antara lain produk akhir metabolisme seperti kreatinin, ureum dan asam urat. Proses yang terjadi di nefron adalah filtrasi di glomerulus, reabsorbsi dan sekresi di tubulus (Rahmawati, 2018). Pada ginjal, cairan yang menyerupai plasma disaring melalui kapiler glomerulus ke tubulus ginjal (filtrasi glomerulus). Saat filtrat glomerular ini melewati bawah tubulus, volumenya berkurang dan komposisinya diubah oleh proses reabsorpsi tubular (pembuangan air dan zat terlarut dari cairan tubular) dan sekresi tubular (sekresi zat terlarut ke dalam cairan tubular) untuk membentuk urin yang memasuki pelvis ginjal. Selanjutnya, komposisi urin dapat bervariasi untuk mempertahankan seluruh homeostasis cairan tubuh. Hal ini dicapai melalui banyak mekanisme regulasi homeostatis yang berfungsi untuk mengubah jumlah air dan zat terlarut dalam urin. Dari pelvis ginjal, urin menuju kandung kemih dan dikeluarkan dengan proses buang air kecil, atau berkemih. Ginjal juga merupakan organ endokrin, pembentukan kinin dan 1,25-dihidroksikolekalsiferol, serta membentuk dan sekresi renin (Barret et al., 2010). Setiap hari tidak kurang 180-liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urine sebanyak 1-2 180-liter. Urine yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2014). Pembuluh darah dan ureter berhubungan dengan ginjal pada hilus ginjal. Arteri renalis berasal dari aorta dan biasanya terbagi menjadi tiga cabang. Dua cabang berjalan di depan ureter dan satu dibelakangnya. Lima atau enam vena kecil menyatu membentuk vena renalis, yang meninggalkan ginjal di depan cabang arterior arteri renalis dan masuk pada vena kava inferior. Posisi syaraf simpatis
ginjal bervariasi, syaraf simpatis mempersyarati pembuluh darah ginjal dan apparatus jukstaglomerular (Callaghan et al., 2009).
2.1.2 Fungsi Ginjal
Ginjal berperan dalam berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian dibuang melalui urine (Purnomo, 2014). Ginjal memelihara lingkungan ekstraseluler yang stabil mendukung fungsi semua sel tubuh. Ginjal memelihara volume plasma, mengontrol keseimbangan air dan ion dengan mengatur ekskresi air, natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, fosfat, dan banyak zat lainnya, dan dengan mengelola status asam-basa (Callaghan et al., 2009).
2.1.2.1 Pembentukan Urine
Pembentukan urine adalah fungsi ginjal yang paling esensial dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Pada orang dewasa sehat, lebih kurang 1200 ml darah, atau 25% cardiac output, mengalir ke kedua ginjal. Pada keadaan tertentu aliran darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30% (pada saat latihan fisik), dan menurun hingga 12% dari cardiac output. Kapiler glomeruli berdinding porous (berlubang-lubang), yang memungkinkan terjadinya filtrasi cairan dalam jumlah besar (± 180 L/hari). Molekul yang berukuran kecil (air, elektrolit, dan sisa metabolisme tubuh, di antaranya kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari darah, sedangkan molekul berukuran lebih besar (protein dan sel darah) tetap tertahan di dalam darah. Oleh karena itu komposisi cairan filtrat yang berada di kapsul Bowman, mirip dengan yang ada di dalam plasma, cairan ini tidak mengandung protein dan sel darah. Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu disebut sebagai rerrata filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR). Selanjutnya cairan filtrat direabsorbsi dan elektrolit akan mengalami sekresi di tubulus kolegentes. Cairan urine tersebut disalurkan ke dalam sistem kalises hingga pelvis ginjal (Purnomo, 2014). Pembentukan urin dimulai dengan pengiriman darah ke glomerulus diikuti dengan filtrasi melewati penghalang glomerulus. Bagian plasma disaring melalui nefron dan bagian yang tidak disaring masuk ke kapiler peritubular. Saat bagian yang disaring, air dan zat terlarut tertentu diserap kembali ke dalam kapiler peritubular sementara zat terlarut lainnya
disekresikan dari kapiler peritubular ke dalam nefron. Cairan apa pun yang tersisa di ujung nefron akan dibuang sebagai urin (Tamang, 2020).
2.1.2.2 Filtrasi Glomerulus
Filtrasi glomerulus merupakan langkah awal pembentukan urin yang mana proses ini ialah keluarnya zat-zat terlarut dari kapiler yang disebabkan oleh tekanan darah mendorong plasma, serta protein kecil keluar dari glomeruli dan masuk ke kapsula bowman. Lapisan dalam kapsula bowman memiliki tekanan yang sangat rendah yaitu sekitar 20 % - 25 % darah yang keluar dari glomeruli dan masuk ke kapsula bowman sehingga menjadi filtrat ginjal di dalam kapsula bowman. Sel-sel darah dan protein yang berukuran besar tidak dapat keluar dari glpmeruli, sehingga tetap berada dalam plasma darah. Namun, zat-zat sisa dan bahan yang bermanfaat seperti nutrisi dan mineral dapat larut didalam plasma sehingga masuk ke filtrate ginjal. Perbedaan antara plasma darah dan filtrat ginjal yakni pada filtrate ginjal memiliki protein lebih sedikit dan tidak memiliki sel darah didalamnya. Glomerulus Filtrate Rate (GFR) merupakan jumlah filtrat ginjal yang dapat menghasilkan filtrate rata-rata 100-125 mL/menit. Jika aliran darah melalui ginjal berubah maka, GFR pun akan berubah mengikuti aliran darah. Saat aliran darah meningkat maka GFR meningkat dan menghasilkan filtrate yang lebih banyak begitupun sebaliknya (Scanlon & Sanders, 2015).
2.1.2.3 Fungsi tubular
Filtrat urin terbentuk dalam glomerulus dan masuk ke tubulus di mana volume dan kontennya diubah oleh reabsorpsi atau sekresi. Sebagian besar reabsorpsi zat terlarut terjadi di tubulus proksimal, dan penyesuaian halus untuk komposisi urin kemudian dibuat di tubulus distal dan mengumpulkan saluran. Lingkaran Henle berfungsi untuk memekatkan urin. Epitel tubular hanya setebal satu sel. Sel tubular memiliki persimpangan ketat pada tepi apikal atau lumen yang memisahkan cairan tubulus dari plasma peritubular, yang memungkinkan proses transportasi untuk membentuk gradien konsentrasi melintasi epitel tubular. Pergerakan molekul melalui persimpangan ketat ini disebut 'gerakan paracellular' dan dikendalikan oleh sifat-sifat protein yang disebut claudin, yang membentuk penghalang utama pergerakan, tetapi dapat membentuk pori-pori yang memiliki ukuran dan selektivitas pengisian. Dalam kapsul Bowman, sel-sel tersebut adalah
sel epitel skuamosa tipis, tetapi dalam tubulus, sel-sel tersebut terutama sel epitel kolumnar, yang khusus untuk proses transportasi. (at a Glance 3rd ed., 2009). 2.1.2.4 Keseimbangan Asam Basa
Keseimbangan asam basa tubuh dikontrol oleh kompleks sistem bufer pada tubulus proksimalis dan distalis, yang melibatkan pengaturan ion fosfat, bikarbonat, dan amonium; sedangkan sekresi ion hidrogen terutama terjadi di tubulus distalis (Purnomo, 2014). Keseimbangan asam-basa mempengaruhi keseimbangan konsentrasi kalium intraseluler dan ekstraseluler (Lehnhardt and Kemper, 2011). 2.1.2.5 Penghasil Hormon
Ginjal selain membuang zat-zat sisa dalam tubuh, organ vital ini juga dapat menyerap kembali zat-zat yang dibutuhkan tubuh, seperti asam amino, gula, natrium, kalium, dan nutrisi lainnya. Fungsi ginjal tersebut ternyata dipengaruhi oleh kelenjar adrenal yang terletak dibagian atas masing-masing ginjal. Kelenjar adrenal menghasilkan hormon aldosteron. Hormon ini berfungsi untuk menyerap kalium dari urin ke pembuluh darah agar bisa dimanfaatkan kembali oleh tubuh. Namun tidak hanya itu, ginjal juga berfungsi menghasilkan hormon-hormon yang bermanfaat bagi tubuh, diantaranya:
a. Hormon Renin
Pada saat darah mengalir ke ginjal, sensor di dalam ginjal menentukan jumlah kebutuhan cairan yang akan diekskresikan melalui urine, dengan mempertimbangkan konsentrasi elektrolit yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, jika pasien mengalami dehidrasi, ginjal akan menahan cairan tubuh tetap beredar melalui darah, sehingga urine sangat kental. Jika tubuh telah ter-rehidrasi, dan cairan yang beredar telah cukup, urine kembali encer dan warnanya menjadi lebih jernih. Sistem pengaturan tadi dikontrol oleh hormon renin, yakni hormon yang diproduksi di dalam ginjal, berperan dalam meregulasi cairan dan tekanan darah. Hormon ini diproduksi di dalam sel juxta-glomerulus sebagai respon dari penurunan perfusi jaringan. Renin merubah angiotensinogen (dari liver) menjadi angiotensin I, (AT I) yang dirubah oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE) menjadi angiotensin II (AT II), yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorbsi natrium, untuk mengembalikan fungsi perfusi jaringan (Purnomo, 2014).
b. Hormon Eritropoietin
Ginjal juga menghasilkan eritropoietin, yakni hormon yang merangsang jaringan hemopoietik (sumsum tulang) membuat sel darah merah. Terdapat sel khusus yang memantau konsentrasi oksigen di dalam darah, yaitu jika kadar oksigen turun, kadar eritropoietin meningkat dan tubuh memulai memproduksi sel darah merah (Purnomo, 2014).
2.2 Chronic Kidney Disease (CKD)
2.2.1 Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis merupakan kelainan pada struktur atau kerusakan fungsi ginjal, biasanya berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan implikasi bagi kesehatan dengan nilai GFR <60 ml/menit/1,73 m2, kelainan struktural termasuk Albuminuria lebih dari 30mg/hari, adanya hematuria atau gips sel darah merah dalam urin, elektrolit dan kelainan lain karena kelainan tubular, kelainan yang dideteksi secara histologi. CKD dapat digolongkan berdasarkan penyebab penyakit ginjal, kategori laju Filtrasi (GFR) dan tingkat albuminuria berdasarkan dari pedoman penyakit ginjal, meningkatkan hasil global (KDGIO) yang disebut sebagai penentuan peringkat CGA (Cause, GFR dan Albuminuria) (Dipiro et al., 2015).
2.2.2 Epidemilogi Chronic Kidney Disease (CKD)
Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 mengemukakan bahwa angka kejadian gagal ginjal kronik diseluruh dunia mencapai 10% dari populasi, sementara itu pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa mencapai 1,5 juta orang diseluruh dunia (Indonesian Renal Registry [IRR], 2014). The United States Renal Data System (ESRDS) atau gagal ginjal kronik Global diperkirakan 3.010.000 pada tahun 2012 dengan tingkat pertumbuhan 7%. Prevalensi gagal ginjal kronik akan terus mengalami peningkatan, di Taiwan 2.990/1.000.000 penduduk, Jepang 2.590/1.000.000 penduduk, dan Amerika Serikat 2.020/1.000.000 penduduk (ESRD, 2012). Di Amerika Serikat menurut The United States Renal Data System (USRDS) dengan menggunakan data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) memperkirakan bahwa prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika Serikat adalah 13,6% pada sekitar 44 juta penduduk. Gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada orang yang berusia
lebih dari 60 tahun pada orang Amerika dan Afrika (Schonder et al., 2016).
Indonesia menurut Riskesdas (2013) populasi usia ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronik sebesar 0,2%. Hasil riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur dengan peningkatan tajam pada kelompok usia 35-44 tahun dibandingkan kelompok 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%). Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5% diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Di Jawa Timur sendiri prevalensi gagal ginjal kronik pada usia ≥15 tahun sebesar 0,3%. Pengumpulan data oleh Riskesdas (2013) ini berdasarkan data responden yang didiagnosis dokter menderita penyakit ginjal kronik, juga beberapa faktor resiko penyakit ginjal yaitu hipertensi dan diabetes mellitus (Aisara et al., 2018).
Gambar 2. 2 Prevalensi Gagal Ginjal Kronik menurut karakteristik di Indonesia (Riskesdes, 2013)
Prevalensi Chronic Kidney Disease (CKD) dengan populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis Chronic Kidney Disease (CKD) sebesar 0,2%. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi
terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%) (Riskesdas, 2013). Sedangkan menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2014) Jumlah pasien baru terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah pasien hemodialisis baru terus meningkat dari tahun 2007 sampai 2012 dan sempat mengalami penurunan dari tahun 2012 ke 2013. Pasien hemodialisis baru pada tahun 2012 sebanyak 19.621 sedangkan pada tahun 2013 sebanyak 15.128. Namun pasien hemodialisis baru mengalami kenaikan kembali pada tahun 2014. Sehingga jumlah pasien hemodialisis baru pada tahun 2014 sebesar 17.193. Jumlah pasien baru dan pasien aktif gagal ginjal kronik tiap provinsi berbeda-beda. Jumlah pasien pasien gagal ginjal kronik tertinggi pada tahun 2014 ialah provinsi Jawa Barat, sedangkan Jawa Timur sendiri menempati posisi kedua.
2.2.3 Manifestasi Klinik Chronic Kidney Dieseas (CKD)
CKD memiliki manefestasi klinik yang sangat beragam. Pada pasien dengan kondisi CKD tahap 1 dan 2 umumnya tidak memiliki gejala. Kemudian gejala tau gangguan metabolic yang dialami CKD tahap 3 sampai 5, yaitu anemia, hipertiroid sekunder, gangguan kardiovaskular, malanutrisi, serta abnormalitas cairan dan elektrolit yang merupakan pertanda kerusakan fungsi ginjal (Sukandar., 2011). Berbagai macam gangguan dapat terjadi pada pasien CKD yang dikaitkan dengan beberapa komplikasi prevalensi dan intensitas yang lebih tinggi pada tingkat fungsi ginjal yang lebih rendah. (Bello et al., 2017).
a) Gangguan pada sistem gastrointestinal meliputi: anoreksia, nausea, vomitus, cegukan (hiccup) yang sebabnya belum diketahui, gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.
b) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuningan akibat penimbunan urokrom, ekimosis, urea frost, dan bekas garukan karena gatal.
c) Sistem hematologi meliputi: anemia, gangguan fungsi trombosit, trombositopenia, dan leukosit.
d) Sistem saraf dan otot, meliputi: Restless leg syndrome, Burning feet syndrome, ensefalopati metabolik, dan miopati.
e) Sistem kardiovaskular, meliputi: hipertensi, nyeri dada, sesak napas, penyakit jantung koroner, gagal jantung, gangguan irama jantung, dan edema akibat
penimbunan cairan.
f) Sistem endokrin, meliputi: gangguan seksual (libido, feritilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki), gangguan metabolisme gula, resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, gangguan metabolisme lemak, dan gangguan metabolisme vitamin D.
g) Gangguan sistem lain, meliputi: tulang (osteodistrofi renal), asidosis metabolik, elektrolit (hiperfosfatemia, hiperkalemia, dan hipokalsemia) (Joy et al., 2008).
2.2.4 Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD)
Perkembangan penyakit ginjal kronis (CKD) dan perkembangannya menjadi penyakit terminal ini tetap merupakan sumber penurunan kualitas hidup yang signifikan dan mortalitas prematur yang signifikan. Pedoman Yayasan Ginjal (KDIGO) mendefinisikan CKD menggunakan penanda kerusakan ginjal, khususnya penanda yang menentukan proteinuria dan laju filtrasi glomerulus. Menurut definisi, keberadaan kedua faktor ini (laju filtrasi glomerulus [GFR] kurang dari 60 mL / menit dan albumin lebih besar dari 30 mg per gram kreatinin bersama dengan kelainan struktur atau fungsi ginjal selama lebih dari tiga bulan menandakan ginjal kronis penyakit. Lebih lanjut, penyakit ginjal stadium akhir didefinisikan sebagai GFR kurang dari 15 mL / menit (Benjamin and Lappin., 2020). Penyebab CKD bervariasi secara global, dan penyakit primer yang paling umum menyebabkan CKD dan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) adalah Diabetes melitus tipe 2 (30% hingga 50%), Diabetes melitus tipe 1 (3,9%), Hipertensi (27,2%), Glomerulonefritis primer (8,2%), Nefritis tubulointerstitial kronis (3,6%), Penyakit keturunan atau kistik (3,1%), Glomerulonefritis sekunder atau vaskulitis (2,1%), Diskrasia atau neoplasma sel plasma (2.1%). CKD dapat terjadi akibat proses penyakit di salah satu dari tiga kategori: prerenal (penurunan tekanan perfusi ginjal), ginjal intrinsik (patologi pembuluh darah, glomeruli, atau tubulus-interstitium), atau postrenal (obstruktif) (Vaidya, 2020).
2.2.5 Faktor Resiko pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Perkembangan CKD dari kategori 1 hingga 5 terjadi selama beberapa dekade. Mekanisme kerusakan ginjal tergantung etiologi penyakit CKD. Berbagai
faktor kerusakan ginjal dapat disebabkan faktor penyebab seperti usia, rasa atau etnis, jenis kelamin, serta orang yang beresiko mengalami penyakit CKD riwayat penyakit yang sering dijumpai yaitu diabetes mellitus, hipertensi dan glomerulonefritis serta penyakit-penyakit ginjal lainnya.
2.2.5.1 Usia
Fungsi ginjal menurun seiring dengan bertambahnya usia dan berhubungan dengan penurunan kecepatan eksresi glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap manusia dengan bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas wajar yang dapat ditoleransi ginjal tubuh. Namun kelainan dapat muncul ketika penurunan fungsi ginjal secara progresif atau sangat cepat sehingga menimulkan berbagai keluhan mulai dari ringan sampai berat, kondisi ini yang disebut dengan Chronic Kidney Disease (CKD) (Pranandari & Supadmi., 2015). Menurut National Kidney Foundation (NKF) diantara populasi pasien lansia memiliki CKD stage 3-5 (Kazancioglu, 2013). Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney (NIDDK) insiden terjadinya Chronic Kidney Disease (CKD) pada pasien berusia 20-64 tahun meningkat dari tahun 2000-2008 dan masih dibawah 0,5%. Sebaliknya, insiden terjadinya CKD pada pasien dengan usia 65 tahun atau lebih meningkat dua kali lipat dari tahun 2003-2006 sebanyak 1,8% menjadi 4,3%. Prevalensi CKD di Amerika Serikat meningkat seiring dengan peningkatan usia (47% pada pasien >70%) (Arora, 2016).
2.2.5.2 Jenis Kelamin
Secara klinik laki-laki mempunyai resiko mengalami Chronic Kidney Disease (CKD) 2 kali lebih besar daripada perempuan. Pada jurnal hasil penelitian yang dilakukan oleh Pranandari dan Supadmi menujukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita CKD dibanding perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat dibanding laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena CKD dan juga perempuan lebih patuh dibandingkan laki-laki bisa mengatur tentang pemakaian obat (Pranandari & Supadmi, 2015).
2.2.5.3 Ras atau Etnis
Beberapa studi yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa terdapat peningkatan resiko End Stage Renal Disease (ESRD) di Afrika-Amerika. Selain itu terdapat peningkatan resiko hipertensi lima kali lebih tinggi di Afrika- Amerika. Dalam penelitian terbaru juga di dapatkan bahwa resiko End Stage Renal Disease (ESRD) sebanyak 7,8% pada perempuan berkulit hitam, 7,3% pada laki-laki berkulit hitam, 1,8% pada perempuan berkulit putih, dan 2,5% pada laki-laki- laki-laki berkulit putih (Kazancioglu, 2013).
2.2.5.4 Merokok
Gagal ginjal kronik disebabkan karena terjadi kerusakan pada nefron secara perlahan dan diam-diam sehingga ginjal kehilangan fungsinya untuk menjaga darah tetap bersih dan seimbang secara kimiawi. Berdasarkan berbagai penelitian, merokok merupakan salah satu faktor risiko kejadian gagal ginjal kronik. Berbagai bahan kimia yang terdapat dalam rokok dan terserap tubuh dapat menyebabkan penurunan laju GFR (Aisyah, 2015).
2.2.6 Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)
Stage pada Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan Glomerular Filtration Rate (GFR). Glomerular Filtration Rate (GFR) adalah total volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus pada kedua ginjal per satuan waktu (Silbernagl dan Despopoulos, 2008). Nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) dihitung berdasarkan nilai serum kreatinin (Mayers, 2015).
Gambar 2. 3 Stage Chronic Kidney Disease (CKD) berdasarkan kategori GFR (Dipiro et al., 2015).
2.2.6.1 Chronic Kidney Disease Stage 1
(NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 mengestimasi prevalensi Chronic Kidney Disease (CKD) pada stage 1 sebesar 5,7% (Arora, 2016). Selama stadium ini ginjal masih berfungsi secara normal tetapi ditemukan abnormalitas yang menunjukkan terjadinya gangguan ginjal (KDOQI, 2012). Biasanya tidak terdapat gejala yang timbul tetapi terjadi peningkatan tekanan darah bilang dibandingkan dengan pasien yang bukan menderita Chronic Kidney Disease (CKD). Pada pasien juga terjadi albuminuria (AIHW, 2014).
2.2.6.2 Chronic Kidney Disease Stage 2
Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 mengestimasi prevalensi Chronic Kidney Disease (CKD) pada stage 2 sebesar 5,4% (Arora, 2016). Pada stage ini, terjadi penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular Filtration Rate (GFR) sebesar 60-89 ml/menit/1,73 m2 (KDOQI, 2012). Terjadi peningkatan tekanan
darah pada stage 2 (Suwitra, 2014). Kebanyakan pasien tidak mengalami gejala tetapi terjadi peningkatan tekanan darah dan pasien juga terjadi albuminuria (AIHW, 2014).
2.2.6.3 Chronic Kidney Disease Stage 3
Menurut survey yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) prevalensi CKD stage 3 terjadi peningkatan dari tahun 1988-1994 sebanyak 18,8% menjadi 24,5% pada tahun 2003-2006 pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun. Pada periode yang sama, prevalensi CKD pada usia 20-39 tahun relatif sama yaitu dibawah 0,5%. Biasanya tidak terdapat gejala yang timbul atau biasanya terjadi peningkatan frekuensi buang air kecil pada malam hari (nokturia) dan kehilangan nafsu makan (AIHW, 2014). Pada stage 3 terjadi komplikasi diantaranya adalah hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia, hipertensi dan hiperparatiroid (Suwitra, 2014).
2.2.6.4 Chronic Kidney Disease Stage 4
Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 prevalensi Chronic Kidney Disease (CKD) pada stage 4 sebesar 0,4% (Arora, 2016). Pada stage 4 terjadi beberapa komplikasi yaitu diantaranya malnutrisi, asidosis metabolik, hiperkalemia dan dislipidemia (Suwitra, 2014). Gejala yang timbul seperti pada stage 3 disertai
mual, kulit gatal, dan sesak nafas (AIHW, 2014). 2.2.6.5 Chronic Kidney Disease Stage 5
Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 mengestimasi prevalensi Chronic Kidney Disease (CKD) pada stage 5 sebesar 0,4% (Arora, 2016). Pada stage 5 terjadi gagal ginjal dimana terjadi penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) >15 ml/menit/1,73 m2 (KDOQI, 2012). Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 menyebabkan komplikasi gagal jantung dan uremia (Suwitra, 2014). Gejala yang timbul seperti yang terjadi pada stage 5, tetapi terjadi komplikasi tambahan seperti peradangan lapisan jaringan pada jantung, perdarahan pada saluran pencernaan, perubahan fungsi dan struktur otak, gangguan atau perubahan struktural atau fungsional pada sistem saraf perifer (AIHW, 2014).
2.2.7 Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)
Gambar 2. 4 Patogenesis Chronic Kidney Disease (CKD) (Dipiro et al., 2017) Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan pada Struktur atau fungsi ginjal, biasanya berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan
implikasi bagi kesehatan, kelainan struktural termasuk Albuminuria lebih dari 30mg/hari, adanya hematuria atau gips sel darah merah dalam urin, elektrolit dan kelainan lain karena kelainan tubular, kelainan yang dideteksi secara histologi. CKD dapat digolongkan berdasarkan penyebab penyakit ginjal, kategori laju Filtrasi (GFR) dan tingkat albuminuria berdasarkan rekomendasi baru dari pedoman penyakit ginjal, meningkatkan hasil global (KDGIO) yang disebut sebagai penentuan peringkat CGA (Cause, GFR dan Albuminuria)(Dipiro et al., 2015). Beberapa susceptibility faktor dapat menigkatkan resiko terjadinya gangguan ginjal, namun tidak semua faktor tersebut menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor- faktor itu diantaranya usia lanjut, penurunan massa ginjal dan kelahiran dengan bobot rendah, ras dan etnis minoritas, riwayat keluarga, inflamasi sistemik, serta dislipidemia. Kemudian faktor inisiasi yang mengawali kerusakan pada ginjal dan dapat dimodifikasi melalui terapi obat diantaranya diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun, penyakit ginjal polycystic, dan toksistas obat. Faktor progresif dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah adanya inisiasi gagal ginjal diantaranya glikemia pada diabetes, hipertensi, proteinuria, dan merokok. Kebanyakan nefropati progresif berakhir pada jalur menuju kerusakan parenkimal renal ireversibel dan ESRD. Adapun elemen utamanya ialah kehilangan massa nefron, hipertensi kapilari glomerular, dan proteinuria (Sukandar, 2011).
Seringnya terjadi paparan terhadap salah satu faktor resiko inisiasi dapat menyebabkan hilangnya massa nefron. Penurunan fungsi nefron, sisa nefron mengkompensasi melalui proses autoregulasi. Dengan kehilangan massa nefron dan penurunan yang dihasilkan pada tekanan perfusi dan GFR, pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerulus meningkat dan mengubah angiotensin menjadi angiotensin I, yang kemudian dikonversi menjadi angiotensin II (AT II). AT II adalah vasokontriktor kuat dari kedua aferen dan arteriol aferen, tetapi biasanya mempengarui arteriol aferen, menyebabkan peningkatan tekanan dalam kapiler glomerulus dan mengakibatkan fraksi filtrasi meningkat. Pada awalnya tindakan ini merupakan kompensasi dan dapat bersifat adaptif namun, seiring waktu dapat menyebabkan pengembangan hipertensi dan hipertrofi intraglomerular dan penurunan lebih lanjut fungsi fisiologis nefron. Tekanan kapiler intraglomerular yang tinggi mengganggu fungsi selektif ukuran penghalang permeabilitas
glomerulus, sehingga menghasilkan peningkatan ekskresi albumin dan proteinuria. Perkembangan hipertensi intraglomerular biasanya bersifat paralel dengan perkembangan hipertensi sistemik. AT II dan aldosteron juga dapat memediasi perkembangan CKD efek non-hemodinamik dengan meningkatnya faktor pertumbuhan dan menyebabkan proliferasi sel dan hipertrofi sel endotel glomerulus, sel epitel, dan fibroblas akhirnya menyebabkan peradangan di fibrosis. Proteinuria saja dapat menyebabkan hilangnya masa nefron secara progresif sebagai akibat dari kerusakan jaringan selular secara langsung. Protein yang disaring seperti albumin, imunoglobulin, sitokin dan AT II beracun bagi sel tubular ginjal dan dapat menyebabkan peningkatan produksi inflamasi sitokin dan vasoaktif seperti endoteil dan monosit chemoatteactant protein (MCP-1). Proteinuria juga terkait dengan aktivasi komponen komplemen pada membran apikal proksimal tubulus. Aktivasi komplemen intratubular mungkin menjadi mekanisme kunci dari kerusakan progresif yang dapat menyebabkan proteinuria nephropathies. Persitiwa ini akan berkembang menyebabkan jaringan parut interstitium, hilangnya secara progresif unit struktural nefron dan mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) (Dipiro et al., 2017).
Ginjal normal mengandung kurang lebih 1 juta nefron, yang masing-masing berkontribusi pada laju filtrasi glomerulus total (GFR). Dalam menghadapi cedera ginjal (terlepas dari etiologinya), ginjal memiliki kemampuan bawaan untuk mempertahankan GFR, meskipun terjadi kerusakan nefron yang progresif, karena nefron sehat yang tersisa menunjukkan hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensasi. Kemampuan beradaptasi nefron ini memungkinkan pembersihan normal lanjutan dari larutan plasma. Kadar zat plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang dapat diukur hanya setelah GFR total menurun 50%. Nilai kreatinin plasma kira-kira akan berlipat ganda dengan penurunan GFR 50%. Misalnya, peningkatan kreatinin plasma dari nilai dasar 0,6 mg / dL menjadi 1,2 mg / dL pada pasien, meskipun masih dalam kisaran referensi orang dewasa, sebenarnya menunjukkan hilangnya 50% massa nefron yang berfungsi. Hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron residual, meskipun bermanfaat karena alasan-alasan yang disebutkan, telah dihipotesiskan sebagai penyebab utama disfungsi ginjal progresif. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus merusak kapiler, yang
awalnya menyebabkan glomerulosklerosis fokal dan segmental sekunder (FSGS) dan akhirnya menjadi glomerulosklerosis global. Hipotesis ini didukung oleh penelitian terhadap lima perenam dari tikus yang mengalami nefrektomi, yang mengembangkan lesi yang identik dengan yang diamati pada manusia dengan penyakit ginjal kronis (CKD) (Arora, 2020).
2.2.8 Diagnosa Chronic Kidney Disease (CKD) 2.2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit chronic kidney disease (CKD) meliputi: a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan GFR yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d) Kelainan urinalis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria (Suwitra, 2014). Untuk mengetahui mineral bone disease dapat dilakukan tes serum kalsium dan fosfat, 25- hydroxyvitamin D, alkaline fosfatase, dan serum PTH (Arora, 2016).
2.2.9 Komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD)
CKD sering dikatakan penyakit asimtomatik, dan sebaiknya dicurigai pada individu yang mende rita diabetes, hipertensi, abnormalitas genitourinari, dan penyakit autimune. Selain itu, individu dengan usia tua dan memiliki riwayat penyakit ginjal sebaiknya dilakukan skrining CKD. Skrining CKD yang direkomendasikan yaitu serum kreatinin dan GFR, serta urinalisis. Serum kreatinin yang abnormal merefleksikan penurunan GFR atau adanya urinari (Joy et al., 2008).
2.2.9.1 Asidosis Metabolik
Penurunan fungsi ginjal menyebabkan peningkatan retensi asam (Kovesdy, 2012). Pada diet normal, ginjal harus mengeluarkan 40 sampai 60 mEq ion hidrogen (H+) setiap harinya untuk mencegah asidosis. Pada gagal ginjal, gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan H+ mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan kadar bikarbonat (HCO3-) dan pH plasma. Kadar HCO3
-menurun karena digunakan untuk mendapat H+. Ekskresi ion amonium (NH4+) merupakan mekanisme utama ginjal dalam usahanya mengeluarkan H+ dan pembentukan kembali HCO3-. Pada Chronic Kidney Disease (CKD), ekskresi NH4+
total berkurang karena berkurangnya jumlah nefron (Price dan Wilson, 2006). Dengan perkembangan Chronic Kidney Disease (CKD), kapasitas ginjal untuk mengekskresikan amonium atau reabsorpsi bikarbonat sering terganggu. Secara umum, ekskresi amonium menurun ketika Glomerular Filtration Rate (GFR) sesuai dengan Chronic Kidney Disease (CKD) stage 3 dan 4. Penurunan ekskresi amonium merupakan penyebab utama dari asidosis dan mencerminkan pengurangan jumlah fungsi nefron karena ekskresi amonium per nefron secara substansial meningkat (Kraut dan Madias, 2015). Ketika fungsional masa ginjal berkurang, seperti yang terjadi pada pasien CKD, gangguan penanganan asam ginjal dapat terjadi, yang menyebabkan asidemia dan konsumsi bikarbonat untuk melindungi ginjal dari asam menjadi di tahan. Asidosis metabolik biasanya ringan hingga sedang, dengan kadar serum bikarbonat (HCO3) berkisar antara 12 dan 23mEq/l. Namun, meskipun tingkat keparahannya relatif rendah, hal ini dapat memiliki dampak buruk pada organ dan sistem yang berbeda, yang akan mengarah pada peningkatan morbiditas dan mortalitas. Asidosis metabolik dikaitkan dengan memburuknya fungsi ginjal dan perkembangan CKD. (Stancu et al., 2017).
2.2.9.2 Hiperurisemia
Peningkatan kadar asam urat serum dan pembentukan kristal-kristal yang menyumbat ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal akut atau kronik. Sebaliknya, pada stadium dini Chronic Kidney Disease (CKD), dapat timbul gangguan ekskresi ginjal sehingga kadar asam urat serum biasanya meningkat. Biasanya sekitar 75% dari total asam urat diekskresi oleh ginjal. Peningkatan kadar asam urat serum di atas normal yaitu 4 – 6 mg/100 ml dapat atau tidak disertai gejala- gejala. Namun, penderita uremia tidak jarang pula mengalami serangan artritis gout akibat endapan garam urat pada sendi dan jaringan lunak (Price dan Wilson, 2006). Hiperurisemia terjadi ketika serum asam urat >7,0 mg/dL pada laki-laki dan >6,0 g/dL pada perempuan. Prevalensi hiperurisemia berkorelasi dengan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) yang terjadi pada 40-60% pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) stage 1 hingga stage 3 dan 70% pada pasien Chronic Kidney
Disease (CKD) stage 4 (Sah dan Qing, 2015).
Pada ginjal, urat difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorpsi oleh tubulus proksimal. Ekskresi fraksional asam urat normal adalah 10% (Jalal et al., 2013). Peningkatan asam urat dapat menginduksi stress oksidatif dan disfungsi endotel sehingga mengakibatkan hipertensi sistemik dan glomerular sehingga menyebabkan resistensi vaskular ginjal dan penurunan aliran darah ke ginjal (Sah dan Qing, 2015). Peningkatan serum asam urat juga dapat menyebabkan aterosklerosis, hipertensi glomerular, glomerulosklerosis dan Acute Kidney Injury (AKI) (Johnson et al., 2013). Serum asam urat mengurangi aliran darah ginjal dan menyebabkan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) (Sah dan Qing, 2015). 2.2.9.3 Neuropati Perifer
Gejala nefropati perifer umumnya terjadi pada pasien dengan Glomerular Filtration Rate (GFR) dibawah 12-20 mL/min/1,73 m2 atau bila uremia telah terjadi
selama minimal enam bulan (Babu et al., 2015). Tanda-tanda dari neuropati perifer adalah perlambatan konduksi saraf. Stadium kedua dari perkembangan neuropati perifer adalah timbulnya perubahan sensorik dan ekstremitas. Pasien mengalami nyeri seperti terbakar, perasaan baal atau parestesia pada jari-jari kaki dan kaki, yang kemudian menjalar ke tungkai seperti kaos kaki panjang. Pada stadium selanjutnya, gejala parestesia terjadi pada jari- jari tangan dan tangan. Akhirnya, saraf motorik terserang. Hemodialisis dapat menghentikan perkembangan neuropati perifer, tetapi bila perubahan itu sudah terjadi maka sulit pulih kembali (sensorik) atau ireversibel (motorik). Oleh karena itu, hemodialisis (atau transpalantasi) harus mulai dilakukan sebelum timbulnya gejala-gejala atau tanda klinis (Price dan Wilson, 2006).
2.2.9.4 Osteodistrofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan (Walt, et al, 2015). Keseimbangan kalsium-fosfor dimediasi melalui hubungan yang kompleks antara hormon dan efeknya pada tulang, saluran cerna, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Ketika fungsi ginjal menurun, keseimbangan kalsium hanya dapat dipertahankan dengan meningkatkan resorpsi tulang yang secara langung mengakibatkan osteodistrofi ginjal (Renal Osteodystrophy) (Sukandar., 2011)
2.2.9.5 Diabetes
Diabetes merupakan faktor komorbiditas CKD yang tinggi dan sebesar 65% pasien CKD yang menjalani hemodialisis dan meninggal memiliki riwayat penyakit diabetes. Kadar gula dalam darah yang tinggi akan mempengaruhi struktur ginjal, merusak pembuluh darah halus di ginjal (glomerulosklerosis noduler dan difus). Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah. Dalam keadaan normal protein tidak melewati glomerulus karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-lubang glomerulus yang kecil. Namun karena kerusakan glomerulus, protein (albumin) dapat melewati glomerulus sehingga dapat ditemukan dalam urin yang disebut dengan mikroalbuminuria. Kondisi ini disebut juga sebagai penyakit ginjal diabetes. Apabila kondisi ini tidak dapat diatasi dan berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kematian (Arifa, 2017).
Secara klinik, riwayat penyakit diabetes melitus mempunyai pengaruh terhadap kejadian PGK 4,1 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat penyakit dan faktor resiko diabetes melitus (Pranandari, 2012).
2.2.9.5 Hemoglobin
Pasien dengan Chronic Kidney Disease (CKD) memiliki kadar hemoglobin yang rendah, yang merupakan indikasi terjadinya anemia. Anemia biasanya disebabkan oleh kurangnya erythropoietin (EPO), hormon yang dibuat oleh ginjal.
Pada penderita CKD terjadi hipoksia yang akan merangsang ginjal untuk meningkatkan produksi erythropoetin, namun karena berbagai faktor komplikasi dapat menyebabkan kerusakan tubulointerstitial sehingga terjadi penurunan produksi erythropoetin (O’Mara, 2008). Dalam kasus lain hal ini mungkin disebabkan oleh kadar besi yang rendah, yang mungkin disebabkan karena kehilangan darah (misalnya karena perdarahan ulkus lambung). Banyak orang dengan CKD diterapi dengan sintetis EPO untuk meningkatkan jumlah sel darah merah mereka (MHKH, 2014).
2.2.9.6 Anemia pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Anemia pada CKD mulai terjadi ketika laju filtrasi glomerulus (GFR) dibawah 60ml/menit, anemia jarang terjadi ketika GFR diatas 80ml/menit. Ketika GFR memburuk, Anemia menjadi semakin parah. Anemia pada CKD merupakan suatu kondisi multifaktorial, etiologi yang diterima secara luas adalah penurunan produksi eritropoietin ginjal, eritropoietin ginjal adalah hormon yang yang bertanggung jawab sebagai stimulator utama produksi sel darah merah (RBC) di sumsum tulang belakang. Defisiensi folat dan vitamin b12, defisiensi besi, perdarahan akibat trombosit yang tidak berfungsi, dan terjadi kehilangan cukup darah akibat hemodialisis juga mempengaruhi peningkatan terjadinya anemia. (Saikh., 2020).
2.2.9.7 Gangguan Kardiovaskular a. Dislipidemia
Beberapa faktor berkontribusi terhadap perkembangan dislipidemia yang terkait dengan penyakit ginjal kronis. Pasien dengan CKD memiliki penurunan aktivitas lipoprotein lipase dan lipase trigliserida hati. Hal ini mengganggu penyerapan trigliserida, apolipoproteinB yang mengandung lipoprotein oleh hati dan jaringan perifer, menghasilkan peningkatan sirkulasi lipoprotein aterogenik. Hiperkolesterolemia di sindrom nefrotik dianggap ada karena peningkatan produksi dan penurunan katabolisme lipoprotein. Tingkat abnormal lipoprotein kira-kira sebanding dengan jumlah proteinuria dan berbanding terbalik dengan tingkat serum albumin (Thomas et al., 2008).
b. Hipertensi
Sebagai penyebab utama atau konsekuensi dari hilangnya fungsi progresif ginjal, hipertensi lazim di sebagian besar pada pasien dengan CKD. Sekitar 50% sampai 60% dari pasien dialisis mengalami hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah predialisis lebih dari 150/90 mm Hg, dan hanya sebagian kecil pasien dialisis tidak membutuhkan terapi antihipertensi. Hipertensi disebabkan oleh ekspansi dan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik yang meningkatkan kerja miokard dan memberikan kontribusi untuk pengembangan hipertrofi ventrikel kiri. Patogenesis hipertensi pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) melibatkan faktor meliputi retensi cairan, peningkatan aktivitas simpatik, senyawa endogen menyerupai digitalis, peningkatan kadar entoletin-1, penggunaan eritropoietin, hiperparatiroid, dan perubahan struktural arteri (Sukandar dkk., 2011). RAAS memegang peran pada hipertensi dengan kelainan parenkim ginjal. Pembuluh darah ginjal peka terhadap kerja Angiotensin II. Angiotensin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah eferen lebih berat dari aferen, sehingga tekanan dalam glomerulus meningkat. Angiotensin II merangsang penyerapan garam pada tubulus proksimal yang berperan penting pada hipertensi pasien gagal ginjal menahun (Kapojos et al., 2001).
2.2.9.8 Gangguan Keseimbangan Elektrolit a. Natrium dan air
Pada orang dengan fungsi ginjal normal, keseimbangan natrium dipertahankan pada tingkat 120 hingga 150 mEq/ hari. Fraksi ekskresi natrium sekitar 1-3%. Keseimbangan air juga harus dipertahankan, rentang normal omolalitas urin yaitu 50 hingga 1200 mOsm/kg (rata-rata di antar 500 hingga 800 mOsm/kg). Osmotik diuresis terjadi ketika adanya peningkatan FeNa yang memnyebabkan kehilangan air dan kerusakan kemampuan ginjal untuk mempertahankan osmolalitas urin (Hudson, 2008).
b. Kalsium
Kalsium penting untuk kesehatan tulang pada pasien GGK terutama dalam mineralisasi tulang. Konsentrasi kalsium dalam darah dapat berubah dengan adanya GGK atau pengobatan dengan kalsium atau vitamin D tablet. Pada penyakit GGK dapat terjadi hipokalsemia maupun hiperkalsemia. Hipokalsemia adalah akibat
dari perburukan hiperfosfatemia sedangkan hiperkalsemia adalah akibat penyerapan kalsium diusus lebih besar dibanding eksresi kalsium pada ginjal atau karena terjadi penurunan ekresi kalsium pada ginjal (Langman dan Cannata-Andia, 2010).
c. Hiperfosfatemia
Peningkatan kadar asam urat serum dan pembentukan kristal-kristal yang menyumbat ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal akut atau kronik. Sebaliknya, pada stadium dini Chronic Kidney Disease (CKD), dapat timbul gangguan ekskresi ginjal sehingga kadar asam urat serum biasanya meningkat. Biasanya sekitar 75% dari total asam urat diekskresi oleh ginjal. Peningkatan kadar asam urat serum di atas normal yaitu 4 – 6 mg/100 ml dapat atau tidak disertai gejala- gejala. Namun, penderita uremia tidak jarang pula mengalami serangan artritis gout akibat endapan garam urat pada sendi dan jaringan lunak (Price dan Wilson, 2006). Hiperurisemia terjadi ketika serum asam urat >7,0 mg/dL pada laki-laki dan >6,0 g/dL pada perempuan. Prevalensi hiperurisemia berkorelasi dengan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) yang terjadi pada 40-60% pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) stage 1 hingga stage 3 dan 70% pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) stage 4 (Sah dan Qing, 2015).
Pada ginjal, urat difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorpsi oleh tubulus proksimal. Ekskresi fraksional asam urat normal adalah 10% (Jalal et al., 2013). Peningkatan asam urat dapat menginduksi stress oksidatif dan disfungsi endotel sehingga mengakibatkan hipertensi sistemik dan glomerular sehingga menyebabkan resistensi vaskular ginjal dan penurunan aliran darah ke ginjal (Sah dan Qing, 2015). Peningkatan serum asam urat juga dapat menyebabkan aterosklerosis, hipertensi glomerular, glomerulosklerosis dan Acute Kidney Injury (AKI) (Johnson et al., 2013). Serum asam urat mengurangi aliran darah ginjal dan menyebabkan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) (Sah dan Qing, 2015).
d. Ketidakseimbangan Kalium
Kalium (K+) adalah kation yang sebagian terdapat dalam cairan intraseluler; hanya sekitar 2% dari total tubuh K+ ditemukan dalam cairan ekstraseluler (an et al, 2012). Pada 70 kg orang dewasa memiliki 28 liter cairan intraseluler (40% dari berat badan) dan 14 liter cairan ekstraseluler (20% dari berat badan), dengan 3920
mEq kalium intraseluler dan hanya 59 mEq kalium ekstraseluler (Guyton dan Hall, 2006). Pada orang sehat, serum K+ atur dalam kisaran 3,5-5,0 mEq/L (an et al, 2012). Ketidakseimbangan kalium (K+) merupakan salah satu gangguam serius yang dapat terjadi pada Chronic Kidney Disease (CKD), karena kehidupan hanya dapat berjalan dalam rentang kadar kalium plasma yang sempit sekali (Price dan Wilson, 2006). Kalium ditemukan dalam banyak makanan terutama buah dan cokelat. Kelebihan kalium biasanya dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal. Namun pada pasien GGK kadar kalium dalam darah meningkat seiring dengan terjadinya penurunan LFG. Terlalu banyak kalium dapat mengganggu impuls listrik yang mengontrol detak jantung dan bahkan dapat menyebabkan jantung berhenti bekerja. Tes darah adalah satu- satunya cara untuk memeriksa kadar kalium dan masalah kalium sebaiknya dihindari dengan memperhatikan diet (MHKH< 2014).
Gambar 2. 5 Konsentrasi cairan elektrolit (Scanlon & Sanders, 2006) Hiperkalemia dihasilkan dari ketidakseimbangan dalam homeostasis K+, didefinisikan sebagai level serum K+ yang lebih besar dari 5.0 mEq/L (An et al., 2012). Hiperkalemia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu hiperkalemia ringan dengan kalium 5,5-6,0 mmol/L, hiperkalemia sedang dengan kalium 6,1-6,9 mmol/L, dan hiperkalemia berat dengan kalium 7,0 mmol/L atau lebih (Youssef, 2016). Hiperkalemia berat adalah gangguan yang dapat berpotensi mengancam jiwa yang dilaporkan terjadi pada 1% sampai 10% dari semua pasien rawat inap (An et al., 2012). Sekitar 90% asupan normal yaitu sebesar 50–150 mEq/hari
diekskresikan dalam urine. Hipokalemia dapat menyertai poliuria pada Chronic Kidney Disease (CKD) dini, terutama pada penyakit-penyakit tubulus seperti pielonefritis kronik. Akan tetapi hiperkalemia akan selalu timbul bila pasien mengalami oliguria pada Chronic Kidney Disease (CKD). Di samping itu, asidosis sistemik juga dapat menimbulkan hiperkalemia melalui pergeseran K+ dari dalam sel ke cairan ekstraseluler. Efek hiperkalemia yang sangat berbahaya adalah pengaruhnya pada hantaran listrik jantung. Bila kadar K+ serum mencapai 7–8 mEq/L, akan timbul disritmia yang fatal atau terhentinya denyut jantung (Price dan Wilson, 2006).
2.2.9.9 Penatalaksanaan Terapi Pada Pasien CKD
Identifikasi dan manajemen yang efektif diperlukan untuk mencegah perkembangan CKD lanjutan, mengurangi risiko yang terkait dengan cedera ginjal akut (AKI), dan meningkatkan keselamatan pasien dan manajemen obat-obatan. Berikut merupakan beberapa terapi terhadap pasien Chronic Kidney Disease (CKD):
2.2.10.1 Asidosis Metabolik
Penurunan kemampuan ekskresi beban asam (acid load) pada Chronic Kidney Disease menyebabkan terjadinya asidosis metabolik, umumnya manifestasi timbul apabila GFR <25 ml/menit. Diet rendah protein 0,6 g/hari membantu mengurangi kejadian asidosis. Bila bikarbonat serum turun sampai <15-17 mEq/L, harus diberikan subtitusi alkali (tablet natrium bikarbonat) (Suhardjono dkk., 2001). Asidosis metabolic pada pasien yang menjalani dialisis dapat dipantau dengan menggunakan bikarbonat atau asetat sebagai dialisat pada konsentrasi yang lebih tinggi (Sukandar dkk., 2011).
2.2.10.2 Hiperlipidemia
Meskipun beberapa obat telah tersedia untuk menurunkan lipid, seperti inhibitor reduktase β-hidroksi-β-metilglutaril koenzim A (HMG-CoA) dan gemfibrozil telah paling sering digunakan dalam dislipidemia pasien dengan CKD dengan dan tanpa proteinuria. Tujuan utama pengobatan adalah untuk mengobati hiperlipidemia sehingga mengurangi risiko penyakit kardiovaskular aterosklerotik progresif. Namun, meta-analisis dari 13 studi agen penurun lipid menunjukkan pengurangan di tingkat pengembangan CKD dengan hanya 0,156 mL/menit per bulan.
Mekanisme untuk efek ini tidak diketahui, tetapi HMGCoA dapat mengurangi monosit infiltrasi, proliferasi sel mesangial, ekspansi matriks mesangial, dan peradangan tubulointerstitial dan fibrosis. Akibatnya, tujuan sekunder pengobatan penurun lipid adalah untuk mengurangi proteinuria dan fungsi ginjal menurun. Tambahan terapi yang menunjukkan manfaat yang menguntungkan pada penurunan lipid yaitu karnitin, minyak ikan, low- molecular-weight heparin, dan olahraga (Joy et al., 2008).
2.2.10.3 Hipertensi
Patogenesis hipertensi pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) melibatkan banyak faktor meliputi retensi cairan, peningkatan aktivitas simpatik, senyawa endogen menyerupai digitalis, peningkatan kadar entoletin-1, penggunaan eritropoietin, hiperparatiroid, dan perubahan structural arteri. Kebanyakan pasien dengan ESRD membutuhkan tiga atau lebih obat-obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Obat-obat tersebut dintaranya golongan ACE inhibitor, ARB, dan bloker kanal kalsium dihidripiridin (Sukandar dkk., 2011).
2.2.10.4 Diabetes Militus
Diabetes mellitus adalah epidemi yang berkembang dan merupakan penyebab paling umum dari penyakit ginjal kronis (CKD) dan gagal ginjal. Nefropati diabetik mempengaruhi sekitar 20-40% orang yang menderita diabetes, menjadikannya salah satu komplikasi paling umum yang terkait dengan diabetes. Penatalaksanaan pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronis melibatkan karakteristik khusus yang mempengaruhi kontrol metabolik dan tindakan terapeutik. Target kendali glukosa darah harus dibedakan berdasarkan harapan hidup, fungsi ginjal, risiko hipoglikemia, dan komorbiditas. Metformin dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan obat anti-diabetes oral lainnya tetapi harus dihentikan bila laju filtrasi glomerulus kurang dari 30mL / menit. Gliclazide dan glipizide adalah sulfonylureas yang tidak memerlukan penyesuaian dosis pada penyakit ginjal kronis tetapi harus dihindari pada kasus penyakit ginjal lanjut karena adanya risiko hipoglikemia. Repaglinide adalah satu-satunya meglitinide yang direkomendasikan pada pasien ini. Penghambat alfa-glukosidase harus dihindari pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 25mL / menit atau mereka yang menjalani dialisis. Pioglitazone tidak memerlukan penyesuaian dosis tetapi berpotensi
memiliki efek merugikan pada populasi ini. Penghambat dipeptidyl peptidase-4 efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Yang terakhir, linagliptin tidak memerlukan penyesuaian dosis. Agonis reseptor peptida-1 seperti glukagon dan penghambat kotransporter 2 natrium-glukosa tidak dianjurkan pada pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal lanjut. Terakhir, terapi insulin, terutama dengan menggunakan analog insulin baru, memungkinkan penatalaksanaan hiperglikemia yang adekuat pada pasien ini, dengan regimen terapeutik berbeda yang harus disesuaikan dengan individu untuk menghindari hipoglikemia. Pioglitazone tidak memerlukan penyesuaian dosis tetapi berpotensi memiliki efek merugikan pada populasi ini. Penghambat dipeptidyl peptidase-4 efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Yang terakhir, linagliptin tidak memerlukan penyesuaian dosis. Agonis reseptor peptida-1 seperti glukagon dan penghambat kotransporter 2 natrium-glukosa tidak dianjurkan pada pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal lanjut. Terakhir, terapi insulin, terutama dengan menggunakan analog insulin baru, memungkinkan penatalaksanaan hiperglikemia yang adekuat pada pasien ini, dengan regimen terapeutik berbeda yang harus disesuaikan dengan individu untuk menghindari hipoglikemia. Pioglitazone tidak memerlukan penyesuaian dosis tetapi berpotensi memiliki efek merugikan pada populasi ini. Penghambat dipeptidyl peptidase-4 efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Yang terakhir, linagliptin tidak memerlukan penyesuaian dosis. Agonis reseptor peptida-1 seperti glukagon dan penghambat kotransporter 2 natrium-glukosa tidak dianjurkan pada pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal lanjut. Terakhir, terapi insulin, terutama dengan menggunakan analog insulin baru, memungkinkan penatalaksanaan hiperglikemia yang adekuat pada pasien ini, dengan regimen terapeutik berbeda yang harus disesuaikan dengan individu untuk menghindari hipoglikemia. Agonis reseptor peptida-1 seperti glukagon dan penghambat kotransporter 2 natrium-glukosa tidak dianjurkan pada pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal lanjut. Terakhir, terapi insulin, terutama dengan menggunakan analog insulin baru, memungkinkan penatalaksanaan hiperglikemia yang adekuat pada pasien ini, dengan regimen terapeutik berbeda yang harus disesuaikan dengan individu untuk menghindari hipoglikemia. Agonis reseptor peptida-1 seperti glukagon dan penghambat kotransporter 2 natrium-glukosa tidak dianjurkan pada pasien usia
lanjut dengan penyakit ginjal lanjut. Terakhir, terapi insulin, terutama dengan menggunakan analog insulin baru, memungkinkan penatalaksanaan hiperglikemia yang adekuat pada pasien ini, dengan regimen terapeutik berbeda yang harus disesuaikan dengan individu untuk menghindari hipoglikemia (Glesias, 2014). 2.2.10.5 Anemia
Penyebab utama anemia pada CKD adalah defisiensi sintesis hormon eritropoietin pada ginjal yang meyebabkan jumlah produksi sel darah merah berkurang. Pemberian erythropoesis stimulating agent (ESA) dan zat besi parenteral dapat dipertimbangkan, namun apabila kadar Hb telah mencapai <10g/dL maka harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan pada bagian nefrologi untuk pemberian terapi. Pemberian transfusi harus dihindari pada pasien GGK sensitasi dan menghalangi proses transplantasi ginjal (Lukela et al., 2014). Terapi ESA yang dapat digunakan adalah Epoeitin α 10.000-40.000 IU dan darbeoetin α 10-300 mcg. Epoetin bekerja sebagai biosintesis yang terjadi pada dua glikosilasi yang berbeda, yaitu dalam bentuk alfa dan beta. Sedangkan darbepoetin bekerja lebih dari glikolisis, darbepoetin memiliki dua rantai karbohidrat tambahan dan residu asam sialat yang lebih banyak dan mempunyai waktu paruh yang panjang serta aktifitas biologis yang lebih baik (Besarab, 2011).
2.2.10.6 Osteodistofi Ginjal
Prosedur preventif sebaiknya dilakukan pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) tahap awal untuk meningkatkan keluaran (outcome) pada saat pasien mencapai tahap 5 atau ESRD. Tatalaksana terapi K/DOQI mencantumkan rentang kalsium, fosfor, sediaan kalsium-fosfor, dan keseluruhan PTH berdasarkan tahap CKD. Pengukuran sebaiknya dilakukan atau diulangi tiap 12 bulan untuk tahap 3, tiap 3 bulan untuk tahap 4, dan lebih sering sering untuk tahap 5 (Sukandar dkk., 2011). Penatalaksanaan osteodistrfi ginjal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian Vitamin D oral/parenteral calcitriol, dosis 0,25 ug/hari(Pardee et al., 2009). Pembatasan asupan fosfor (800 sampai 100 mg/hari) sebaiknya dijadikan intervensi lini pertama untuk CKD tahap 3 atau lebih tinggi. Kemudian pada saat ESRD terbentuk, kebanyakan pasien memerlukan kombinasi terapi phosphate-binding agent, vitamin D, kalsimimetik untuk mencapai tujuan terapi K/DOQI.
2.2.10.7 Ketidakseimbangan Elektrolit 1. Hiperkalemia
Kalium sering meningkat pada pasien Chronic Kidney Disease. Hiperkalemia terjadi akibat ekskresi kalium melalui urin berkurang, keadaan katabolik, makanan dan pemakaian obat-obatan yang meningkatkan kalium seperti spironolakton. Hiperkalemia dapat menimbulkan kegawatan jantung dan kematian mendadak akibat aritmia yang fatal. Penatalaksanaan hiperkalemia dapat diberikan obat-obatan seperti, kalsium glukonas 10%, 10 ml dalam waktu 10 menit intravena; bikarbonas natrikus 50-150 mEq intravena dalam waktu 15-30 menit; insulin dan glukosa: 6 IU dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam; Kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 g oral atau rektal (Suhardjono dkk., 2001). Konsentrasi serum potassium biasanya dijaga pada rentang normal sampai GFR kurang dari 20 mL/menit per 1,73 m2, dimana hiperkalemi mulai berkembang. Terapi Utama untuk
mengatasi hiperkalemi pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) / End Stage Renal Disease yaitu melalui hemodialisis. Penanganan sementara dapat berupa kalsium glikonat, insulin dan glukosa, serta Sodium polistiren sulfonat (Sukandar dkk., 2011).
2.3 Hiperkalemia pada Chronic Kidney Disease (CKD) 2.3.1 Definisi Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah suatu kondisi yang berpotensi mengancam jiwa dengan tingkat kalium pada serum biasanya lebih besar dari 5.0 mEq/L. Pasien yang beresiko tinggi untuk hipekalemia adalah pasien dengan usia lebih dari 65 tahun dan merupakan pasien Chronic Kidney Disease (CKD) stage lanjut (stage 3-5), Congestive Heart Failure (CHF), dan/atau diabetes yang dapat meningkatkan kadar kalium serum, terutama penghambat Renin-Angiotensin-Aldosterone-System (RAAS). Hiperkalemia dapat disebabkan oleh pelepasan abnormal kalium dari sel, sering karena asidosis metabolik, keadaan hemolitik, atau degradasi sel lain biasanya dalam pengaturan suboptimal fungsi pada ginjal (Dunn et al., 2015). Hiperkalemia berkembang ketika asupan pottasium melebihi ekskresi atau ketika distribusi transelular pottasium terganggu. Penyebab utama hiperkalemia meliputi peningkatan asupan pottasium, penurunan ekskresi pottasium, tubular tidak responsif terhadap aldosteron, dan redistribusi pottasium ke ruang ekstraseluler.
Hiperkalemia dapat terjadi akibat adanya peningkatan kalium sekunder tubuh karena ketidakseimbangan asupan dan ekskresi atau distribusi yang tidak merata antara ruang intra dan ekstraseluler (Lehnhardt dan Kemper, 2010). Hiperkalemia adalah kondisi medis serius yang dapat mengancam jiwa karena adanya perubahan elektrofisiologi jantung parah, seperti aritmia jantung dan kematian mendadak (NKF, 2014).
2.3.2 Epidemiologi Hiperkalemia
Dalam sebuah studi berbasis populasi retrospektif di Kanada, 2,6% dari pasien usia 66 tahun atau lebih masuk ke Unit Gawat Darurat (UGD) karena hiperkalemia dengan tingkat serum kalium lebih besar dari 5,5 mEq/L. Beberapa analisis retrospektif di Amerika Serikat telah dilaporkan insiden antara 2,5% dan 3,2% pada populasi dengan faktor risiko beragam. Diantara faktor-faktor risiko, Chronic Kidney Disease (CKD) secara signifikan berhubungan dengan frekuensi yang lebih tinggi dari hiperkalemia, tergantung pada populasi yang diteliti pada definisi hiperkalemia (Dunn et al., 2015). Berdasarkan penelitian retrospektif dari 245.808 rumah sakit, pasien Chronic Kidney Disease (CKD) memiliki resiko hiperkalemia 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki Chronic Kidney Disease (CKD) (Tomey dan Winston, 2014). Insiden hiperkalemia cukup rendah pada pasien dengan fungsi ginjal normal yaitu >2% tetapi meningkat dari 2% menjadi 42% pada pasien dengan tetpenurunan nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) hingga 20 ml/menit/1,73 m2 (Espinel et al, 2013). Hasil penelitian sebuah studi melaporkan bahwa insiden hiperkalemia sebesar 26% pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) stage 3 – 5 dan presisten hiperkalemia sebesar 4% pada pasien Chronic Kidney Disease) stage 4 (Li et al., 2015).
2.3.3 Etiologi Hiperkalemia pada CKD
Hiperkalemia adalah suatu gangguan elektrolit pada umumnya diamati pada pasien dnegan diagnose CKD. Hiperkalemia dianggap sebagai resiko utama komplikasi pada aritmia yang berpotensi membahayakan jiwa. Hiperkalemia merupakan komplikasi yang sering ditermukan pada pasien CKD karena merupakan rute utama dari eksresi kalium dan terdapat efek disfungsi pada homeostasis kalium (K+). Eksresi kalium urin sesuai dengan menurunnya laju
filtrasi Glomerulus (GFR). GFR yang rendah merupkan salah satu pemicu peningkatan serum kalium (K+) lebih dari batas normal yaitu 3,5 – 5,3 mmol. Adapun penentu lain yaitu asidosis metabolik, Diabetes mellitus (DM), Heart Failure (HF), pasien dengan penggunaan RAASI, obat kardionefroprotektif yang dapat meningkatkan kalium (K+) (Stefano et al., 2019). Manajemen terapi pada hiperkalemia tergantung pada sejauh peningkatan kalium serta gejala yang ditimbulkan (Kim et al., 2019).
2.3.4 Patofisiologi Hiperkalemia pada CKD
Kalium biasanya merupakan kation intraseluler. Pompa natrium-kalium bertanggung jawab untuk mempertahankan kalium di dalam sel. Kebanyakan kalium diekskresikan dalam urin melalui ginjal dengan sekitar 10% berkeringat dan tinja. Di dalam ginjal, ekskresi kalium terjadi di saluran pengumpul yang berbelit-belit dan kortikal. Ekskresi kalium ginjal dipengaruhi oleh peningkatan kadar: Aldosteron, Diuretik (yang mengantarkan natrium ke tubulus distal), WNK1 dan WNK4, tingginya kadar kalium serum, aliran urin yang tinggi (osmotic diuresis), adanya ion negatif di tubulus distal (bikarbonat).
Gambar 2. 6 Patogenesis mekanisme di nefron distal (Hunter & Bailey, 2019) Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hiperkalemia ini mengganggu satu atau lebih dari lima variabel kunci: filtrasi glomerulus, aliran urin, pengiriman natrium ke nefron distal, ekspresi saluran ion aldosteronesensitif dan transporter dan pH urin. PHAI, pseudohypoaldosteronism tipe I; CNI, penghambat kalsineurin. Sebagian besar pasien relatif tanpa gejala dengan hiperkalemia ringan dan bahkan sedang. Peningkatan kalium sering ditemukan di laboratorium skrining yang dilakukan pada pasien dengan keluhan tidak spesifik atau mereka yang diduga memiliki kelainan elektrolit karena infeksi, dehidrasi, atau hipoperfusi. Petunjuk
sejarah termasuk sejarah penyakit ginjal, diabetes, kemoterapi, trauma besar, cedera remuk, atau nyeri otot yang menandakan rhabdomiolisis. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi perkembangan hiperkalemia termasuk digoksin, diuretik hemat kalium, obat antiinflamasi non-steroid, penghambat ACE atau kalium intravena (IV) baru-baru ini, nutrisi parenteral total, kalium penisilin atau suksinilkolin (Hunter & Bailey, 2019).
2.3.5 Manifestasi Klinik Hiperkalemia
Pada pasien hiperkalemia sering tanpa gejala, namun pasien mungkin mengeluh kelemahan, kelelahan, jantung berdebar, atau sinkop. Temuan pemeriksaan fisik mungkin termasuk hipertensi dan edema di pengaturan atau penyakit ginjal. Mungkin juga ada tanda-tanda hipoperfusi. Kelembutan otot mungkin ada pada pasien dengan rhabdomyolysis. Penyakit kuning mungkin terlihat pada pasien dengan kondisi hemolitik. Pasien mungkin memiliki kelemahan otot, kelumpuhan lembek, atau refleks tendon yang dalam (Hunter & Bailey, 2019)
2.3.6 Mekanisme Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah komplikasi penting penyakit ginjal kronis (CKD) karena ekskresi kalium urin secara bertahap menurun dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (GFR). Selain dari filtrasi glomerulus, sekresi tubulus kalium yang terjadi di saluran pengumpalan kortikal adalah penentu utama ekskresi kalium urin. Dengan demikian, hypoaldosteronism hyporeninemic dan terapi penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACEI) atau angiotensin II receptor blockade (ARB) meningkatkan resiko hiperkalemia pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD). Ini adalah hambatan utama untuk penggunaan pada ACEI dan ARB sebagai agen renoprotektif (Yu et al., 2017). Hiperkalemia berkontribusi menyebabkan mortalitas kardiovaskular pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) melalui efek langsung pada konduksi jantung (Tomey dan Winston, 2014). Kalium dan Natrium memiliki peran dalam fungsi miokardium, oleh karena itu, gradient konsentrasinya dipertahankan. Gradien konsentrasi dipertahankan oleh pompa natrium kalium ATPase yang terletak pada membrane sel yang aktif memompa natrium keluar dan kalium kedalaam sel (Musyhikh et al., 2012). Peningkatan kalium ekstraseluler mengurangi potensi kardiomikosit membrane istirahat, memperlambat konduksi impuls, memperpanjang depoarisasi membran, dan memperpendek waktu
repolarisasi (Tomey dan Winston, 2014).
Ginjal memiliki peran utama dalam menjaga keseimbangan kalium. Kalium disaring oleh glomerulus dan 90-95% diserap di tubulus proksimal dan lengkung henle. Ekskresi kalium dimulai di tubulus distal dan diregulasi lebih lanjut oleh nefron. Regulator utama dari proses ini adalah aldosteron dan tingkat kalium serum. Kenaikan tingkat kalium serum berkorelasi dengan memburuknya ginjal (NKF, 2014). Aldsteron berikatan dengan reseptornya pada duktus pengumpul. Proses ini akan mengaktifkan Na+, K+, -ATPase sehingga meningkatkan Na+ dan reabsorpsi air ke dalam darah dan sekresi K+ kedalam urin (Raebel, 2012). Keseimbangan asam-basa juga dapat mempengaruhi pada keseimbangan konsentrasi kalium intraseluler dan ekstraseluler (Lehnhardt and Kemper, 2011). Asidosis metabolik meningkatkan konsentrasi plasma K+ dengan menginduksi pergeseran K+ dari intraseluler ke kompartemenekstraseluler dalam pertukaran dengan H+ (Lehnhardt
and Kemper, 2011).
Gambar 2. 7 Aritmia jantung pada hiperkalemia (Hunter & Bailey, 2019) Pada normokalemia, membran sel kardiomiosit terpolarisasi (potensial istirahat sekitar 90 mV). Pada hiperkalemia moderat, membran sel menjadi sebagian terdepolarisasi, membawa potensi istirahat lebih dekat ke ambang potensial untuk inisiasi AP. Oleh karena itu saluran natrium cepat (Nav1.5)
diaktifkan lebih mudah, meningkatkan rangsangan dan kecepatan konduksi. Ini bermanifestasi sebagai gelombang T memuncak pada EKG sebagai massa kardiomiosit ventrikel menjalani repolarisasi awal (sinkron). Pada hiperkalemia berat, inaktivasi saluran Nav1.5 yang bergantung pada tegangan dan aktivasi saluran
kalium yang memperbaiki ke dalam (Kir) mengarah pada pengurangan kecepatan konduksi dan dapat membuat sel-sel refraktori menjadi eksitasi. Ini bermanifestasi