BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Chronic Kidney Disease (CKD).
2.1.1 Definisi Chronic Kidney Disease (CKD).
Chronic Kidney Disease (CKD) menjadi masalah utama yang menyebabkan menurunya fungsi ginjal secara bertahap dan tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala (irreversible) dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih, sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia(Fitrianasari et al., 2017).
2.1.2 Gambaran Struktur Ginjal
Ginjal merupakan suatu organ dengan bentuk menyerupai seperti kacang berwarna merah tua, ginjal terletak dibelakang rongga perut atau dibelakang peritoneum, dan melekat langsung pada dinding perut. Jumlah ginjal terdapat dua meliputi ginjal kiri dan ginjal kanan. Ukuran berat ginjal seseorang pria berkisaran antara 125 gram – 175 gram, sedangkan seorang perempuan memiliki berat sekitar 115 gram - 155 gram(Chalik, 2017).
Secara anatomi fisiologi ginjal dibagi menjadi bagian korteks dan medulla. Korteks tersusun dari semua kapiler glomerulus, sebagai segmen tubulus kontortus, tubulus kolektivusm ductus kolektivus. Sedangkan pada bagian medulla meliputi tubulus lurus dan ductus pengumpul yang memanjang ke korteks dari medulla. Gabungan yang terdiri dari glomerulus, tubulus, ductus kolektivus disebut dengan nefron, jadi pada setiap ginjal memiliki 1 juta nefron(Floris et al., 2021).
Gambar 1. Anatomi Fisiologis Ginjal (Chalik, 2017).
Ginjal ini berfungsi sebagai alat untuk mengatur volume air atau cairan di dalam tubuh. Jika terjadi kelebihan air di dalam tubuh makan akan disekresikan oleh ginjal sebagai urin yang dikeluarkan melalui saluran kemih dengan jumlah yang cukup besar, apabila kekurangan air menyebabkan produksi urin berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat di pertahankan relatife normal(Arianti et al., 2020).
2.1.3 Etiologi
Secara umum penyebab yang sering terjadi pada pasien dengan Chronic Kidney Disease (CKD) ialah faktor usia ≥50 tahun, ginjal mengalami penurunan fungsi yang mengakibatkan berkurangnya jumlah nefron secara signifikan ±20%, Hal itu terjadi karena arteri menjadi kaku, kemudian darah dipompa dan dipaksa melalui pembuluh darah yang sempit sehingga menyebabkan tekanan darah, bila dalam waktu lama dapat menyebabkan sclerosis pada pembuluh darah ginjal dan mengakibatkan pembuluh darah mengalami vasokontriksi dan obstruksi sehingga dapat terjadinya kerusakan pada glomerulus dan atrofi tubulus, mengakibatkan nefron ginjal rusak dan terjadi gagal ginjal(Rahman et al., 2021). Penyebab lainnya pasien CKD karena komplikasi penyakit diabetes mellitus yang dapat mengakibatkan abnormalitas fungsi ginjal sehingga terjadinya peningkatan serum kreatinin, hal tersebut dihintung dengan menggunakan laju filtrasi glomelurus(Floris et al., 2021).
Merokok dapat menyebabkan terjadinya penyakit CKD, karena adanya stimulus ujung saraf simpatis postganglionic oleh nikotin yang dihasilkan pada rokok dapat meningkatkan kadar epinefrin dan norepinefrin dengan begitu dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi, aktivasi Renin- Angiotensin-Aldosterone System (RAAS), peningkatan laju filtrasi glomerulus dan tekanan intraglomerulus dapat memperburuk fungsi ginjal(Zasra et al., 2018).
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemia, dan faktor lain.
Tingginya tekanan darah membuat pembuluh darah rusak. Akibatnya fungsi ginjal menurun hingga mengalami gagal ginjal. Seseorang yang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistol ≥140 mmHg dan diastole >90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/
tenang. Manifestasi klinis dari hipertensi meliputi sakit kepala, terdapat rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar, mudah lelah, penurunan kemampuan penglihatan, serta mimisan, adapun faktor risiko hipertensi yaitu usia, jenis kelamin, genetic, merokok, konsumsi garam dan lemak jenuh, konsumsi alkohol, obesitas, kurang aktivitas fisik, stress, dan penggunaan estrogen(Lewis & Jackson,
2012). Berikut merupakan kategori hipertensi menurut American Heart Association (AHA),(Unger et al., 2020).
Gambar 2. Klasifikasi Tekanan darah
Peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah yang jika terjadi pada arteriol dan glomeruli dapat menyebabkan nefrosklerosis. Obstruksi yang terjadi pada arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus hingga atrofi tubulus, sehingga membuat nefron mengalami kerusakan yang menyebabkan gagal ginjal kronik.
2.1.4 Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)
Menurut(Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO), 2020).
Penyakit ginjal kronis dikelompokkan menjadi 5 stadium yaitu:
a. Stadium 1: kerusakan ginjal dengan nilai GFR normal nilai >90 ml/menit/1,73 m2.
b. Stadium 2: kerusakan ginjal ringan dengan penurunan nilai GFR, belum kerasa gejala yang mengganggu ginjal berfungsi yaitu 60-89%. Nilai GFR 60-89 ml/menit/1,73 m2.
c. Stadium 3: kerusakan sedang dan masih bisa dipertahankan. Ginjal berfungsi 30-59%. Nilai GFR 30-59 ml/menit/1,73 m2.
d. Stadium 4: kerusakan berat dan berbahaya. Ginjal 15-29%. Nilai GFR 15- 29 ml/menit/1,73 m2.
e. Stadium 5: kerusakan parah dan harus melakukan cuci darah (menggantikan fungsi ginjal). Fungsi ginjal <15% dan nilai GFR <15 ml/menit/1,73 m2.
Tabel 1. Klasifikasi CKD berdasarkan eGFR
Kategori GFR eGFR (ml/min 1,73m²)
Deskripsi
Grade 1 ≥90 eGRF normal dengan
proteinuria
Grade 2 60-89 Sedikit penurunan eGRF
disertai dengan proteinuria Grade 3a
Grade 3b
45-59
30-44
Penurunan eGFR skala ringan hingga sedang Penurunan sedang hingga
berat
Grade 4 15-29 Penurunan eGFR skala berat Grade 5 <15 atau Dialisis Gagal ginjal
2.1.5 Patofisiologis Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Hipovolemia Vaidya & Aeddula (2021) menyebutkan bahwa penyakit ginjal kronis dapat terjadi akibat proses penyakit dalam salah satu dari tiga kategori: prerenal, renal, dan postrenal. Patofisiologi terjadinya penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab salah satunya pada kelebihan cairan atau hipervolemia, rongga intravaskuler dan interstisial mengalami peningkatan kandungan air dan natrium. Kelebihan cairan interstisial dikenal sebagai edema.
Pada penyakit CKD sekitar 90% dari massa nefron telah hancur mengakibatkan laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun. Menurunnya GFR menyebabkan retensi natrium. Adanya perbedaan tekanan osmotik karena natrium tertahan menyebabkan terjadinya proses osmosis yaitu air berdifusi menembus membrane sel sehingga tercapai keseimbangan osmotic. Oleh karena itu, menyebabkan cairan ekstraseluler (ECF) meningkat hingga terjadi edema(Kalantar-Zadeh, Jafar, Nitsch, Neuen, & Perkovic, 2021).
Edema dapat terlokalisir atau generalisata (seluruh tubuh). Edema terlokalisir terjadi seperti inflamasi setempat dan obstruktif. Edema generalisata atau anasarca menimbulkan pembengkakan yang berat pada jaringan bawah kulit.
Proses terbentuknya edema anasarca terjadi akibat tekanan osmotic di plasma menurun, menyebabkan cairan berpindah dari vaskuler ke ruang interstisial.
Berpindahnya cairan menyebabkan penurunan sirkulasi volume darah yang mengakibatkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut ke seluruh tubuh(Palupi & Jayaningsih, 2021).
2.1.6 Komplikasi Choric Kidney Disease (CKD) Komplikasi CKD diuraikan sebagai berikut:
1. Hipertensi
CKD berhubungan dengan peningkatan aktivitas Renin Angiotensi Aldosteron System (RAAS), terjadi penurunan aliran darah di kapiler peritubular di bagian hilir glomerulus yang mengalami sklerosis. Akibat terjadinya penurunan aliran darah, glomerulus di daerah ini menghipersekresi renin sehingga terjadinya peningkatan pada kadar angiotensin II yang bersirkulasi. Angiotensin II ini memiliki efek vasokonstriktor secara langsung yang dapar meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah.
Angiotensin II dapat meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan duktus pengumpul atau bisa disebut dengan duktus kolektivus. Selain itu, kehilangan GFR secara keseluruhan dapat mengganggu ekskresi natrium, serta menyebabkan retensi natrium.
Retensi natrium menyebabkan terjadinya hipertensi melalui sistem mekanisme volume-dependent dan volume-independent. Kelebihan volume pada ekstraseluler dapat menyebabkan peningkatan perfusi jaringan perifer yang merangsang vasokonstriksi, serta meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, oleh karena itu dapat meningkatkan tekanan darah(Hargono, 2021).
2. Cardiovaskular disease (CVD)
CVD penyebab utamanya ialah kematian pada pasien CKD, prevalensi serta komplikasinya dapat meningkat dan menurunnya
fungsi ginjal. Risiko pada kematian akibat dari CVD lebih besar terjadi pada pasien dengan penyakit CKD stadium akhir atau G5 A3 (eGFR
<15 ml/menit per 1,73 m2, dan rasio albuminkreatinin urin > 300 mg/g) dibandingkan dengan pasien CVD tanpa penyakit ginjal. Saat ini risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik konvensional meningkat dengan adanya CKD, sebagian besar peningkatan risiko disebabkan oleh kondisi patologi non-aterosklerotik, seperti hipertrofi pada ventrikel kiri dengan adanya disfungsi diastolik dan sistolik, penyakit katup, dan kalsifikasi arteri. Patologi bermanifestasi sebagai disritmia atrium dan ventrikel, gagal jantung, dan kematian mendadak serta Ada faktor risiko tambahan yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan CKD, dimana sebagian besar dianggap sebagai komplikasi dari penyakit CKD. Misalnya, seperti retensi fosfat, peningkatan kadar faktor pertumbuhan fibroblas, dan gangguan dalam metabolisme Klotho, sehingga dapat berkontribusi pada kardiomiopati dan vaskulopati,(Arman et al., 2019).
3. Anemia
Besi didaur ulang dalam tubuh karena sel darah merah tua difagositosis oleh makrofag retikuloendotelial dan kandungan besi digunakan untuk hematopoiesis jika diperlukan atau disimpan untuk penggunaan lebih lanjut. Regulasi metabolisme besi dimediasi, terutama oleh hepsidin, hormon peptida kecil (25 asam amino) yang disintesis dan disekresikan oleh hati. Hepsidin mencegah transpor besi dengan mengikat ferroportin pengangkut besi yang terletak di membran basal enterosit, sel retikuloendotelial, dan hepatosit.
Pengikatan hepsidin menyebabkan internalisasi ferroportin dari membran plasma ke dalam sel dan degradasi utamanya, hipoksia, inflamasi, dan eritropoiesis. Karena hepcidin adalah hormon peptida kecil, ia disaring dan didegradasi oleh ginjal. Tingkat hepcidin meningkat pada penyakit ginjal kronis (CKD) dan berkorelasi negatif dengan laju filtrasi glomerulus (GFR). Mekanisme yang bertanggung
jawab atas fenomena ini pada CKD termasuk penurunan klirens ginjal, peningkatan sitokin inflamasi, dan penurunan kadar eritropoietin.
4. Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD) Sebelum ditemukannya faktor pertumbuhan fibroblas 23 (FGF23), retensi fosfat akibat penurunan fungsi ginjal dianggap sebagai pemicu utama hiperparatiroidisme sekunder. Retensi fosfat menyebabkan trias hiperfosfatemia, rendanya [1,25(OH)2D3 dan hipokalsemia merupakan stimulus untuk sekresi PTH, sehingga ekskresi fosfat pada CKD progresif. Dan insiden hiperfosfatemia sekunder meningkat(Waziri et al., 2019).
5. Retensi garam dan air
Pada CKD stadium 4 sampai 5 dan mungkin terjadi pada CKD stadium 3, kehilangan dalam mempertahanan terhadap kelebihan natrium dan deplesi natrium. Kelebihan natrium dengan retensi cairan sejauh ini yang paling umum. Sementara volume cairan ekstraselular mungkin meningkat, keseimbangan natrium tampaknya relatif terpelihara dengan baik sampai penyakit ginjal stadium akhir.
Kelebihan natrium dan cairan tidak hanya berkontribusi pada edema yang dapat berdampak negatif pada kualitas hidup, tetapi juga hipertensi dan CVD (terutama hipertrofi ventrikel kiri konsentris, yang dapat menyebabkan disfungsi diastolik), (Isakova et al., 2017).
2.1.7 Penatalaksanaan terapi pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) Penatalaksanan pada penyakit CKD menurut Colvy, (2014) merupakan tindakan konservatif untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
1. Pembatasan protein, tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur. Rasional:
Untuk membatasi produk akhir metabolisme protein yang tidak
dapat di ekskresi oleh ginjal. Menurunkan kadar ureum dan kreatinin dalam darah, mencegah/mengurangi penimbunan garam/air dalam tubuh.
2. Diet rendah kalium, Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari.
3. Diet rendah kalium, Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari
4. Pengaturan cairan, merupakan tindakan untuk mengobservasi intake dan output cairan pada klien. Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama.
Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema.Sedangkan asupan yang terlalu rendah, mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.
b. Transplantasi ginjal, Suatu metode terapi dengan cara mencangkong sebuah ginjal sehat yang diperoleh dari donor ginjal. Ginjal yang dicangkok ini selanjutnya akan mengambil alih fungsi ginjal yang sudah rusak. Orang yang melakukan donor harus memiliki kriteria ginjal yang sama dengan penderita.
c. Hemodialis (cuci darah dengan mesin dialise), adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai “ginjal buatan”.
Pada proses ini darah dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.
2.2 Pendekatan di Unit Perawatan Intensif 2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
1. Identitas pasien
Mencakup nama lengkap pasien, tempat tinggal, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, usia, dan asal suku bangsa.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan klien saat pengkajian, nyeri biasanya merupakan keluhan utama.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode PQRST atau CPOT dalam bentuk narasi.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit sebelumnya seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif dan konsumsi alkohol.
5. Riwayat penyakit keluarga
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi penyakit keturunan dan menular.
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik selain mencari tanda-tanda fisik yang mendukung diagnosis dan kemungkinan adanya penyakit lain, berguna juga untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai penyakit tersebut. Pola pemeriksaan fisik menurut Wardani et al., (2018) yaitu sebagai berikut.
a. B1 (Breathing/pernapasan): pergerakan dada simetris atau tidak, reaksi intercostae ada atau tidak, penggunaan otot bantu napas ada atau tidak, suara napas: vesikuler/wheezing/ronchi/rales, batuk:
produktif/tidak produktif, apabila ada sputum bagaimana warnanya,
terpasang alat bantu napas atau tidak. Jika pasien dengan kesadaran / koma (GCS <8) dipertimbangkan dilakukan intubasi dan ventilasi.
b. B2 (Bleeding/cardiovascular): Periksa denyut nadi, suara dan irama jantung, tekanan darah, dan CRT. Pasang EKG jika perlu dan pulseoximetry untuk monitoring, JVP normal/ tidak, adakah edema diekstremitas.
c. B3 (Brain/persyarafan): Pada klien yang terpasang ventilator berat sering terjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer bila gangguan perfusi jaringan sudah parah. Pada pemeriksaan obyektif, wajah tampak meringis, menangis, merintih, dan meregang.
d. B4 (Bladder/perkemihan): Pengukuran volume haluaran urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan asupan cairan. Pada pasien yang menggunakan ventilator, perlu dilakukan pemantauan adanya oliguria karena merupakan tanda awal syok.
e. B5 (Bowel): kondisi mukosa bibir apakah kering atau lembab, kondisi lidah kotor atau bersih, terdapat nyeri telan atau tidak, abdomen distensi atau tidak, peristaltic usus normal/meningkat/menurun dan berapa nilainya, ada mual dan muntah atau tidak, hematemesis ada atau tidak dan berapa jumlah atau frekuensi, melena ada atau tidak dan berapa jumlah atau frekuensi, terpasang NGT atau tidak, diare atau konstipasi terdapat atau tidak.
f. B6 (Bone/musculoskeletal): Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menimbulkan ketergantungan pada bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada pasien CKD pola ADL terganggu karena tirah baring.
2.2.3 Diagnosa Keperawatan (SDKI)
Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Chronic Kidney Disease (CKD) dengan penurunan kesadaran adalah sebagai berikut :
No Diagnosa Kep Luaran
1. Gangguan pertukaran gas (D.0003) Pertukaran Gas
(L.01003) 2. Hipervolemia (D.0022) Keseimbangan cairan
(L.03020) 3. Pola napas tidak efektif (D.0005) Pola napas
(L.01003) 4. Risiko perfusi serebral tidak efektif
(D.0017)
Perfusi Serebral (L.02014) 5. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) Perfusi perifer
(L.02011) 6. Intoleransi aktivitas (D.0056) Toleransi aktivitas
(L.05047) 7. Defisi nutrisi (D.0019) Status nutrisi
(L.03030) (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)
2.2.3 Rencana Intervensi Keperawatan (SIKI)
Diagnosa Keperawatan Intervensi Keperawatan (SIKI) Gangguan pertukaran gas
(D.0003)
Pemantauan Respirasi (1.01014) Observasi:
- Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas - Monitor adanya sumbatan jalan nafas
Terapeutik
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai dengan kondisi pasien
Edukasi
- Jelaskan tujuan serta prosedur pemantauan - Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Terapi Oksigen (I.01026) Observasi:
- Monitor kecepatan aliran oksigen - Monitor posisi alat terapi oksigen
- Monitor aliran oksigen secara periodik serta pastikan fraksi yang diberikan cukup
- Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. oksimetri, analisa gas darah), jika perlu
- Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan - Monitor tanda-tanda terjadinya hipoventilasi
- Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelektasis
- Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen - Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
oksigen Terapeutik:
- Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen - Berikan oksigen, jika perlu
- Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
- Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas pasien
Edukasi
- Ajarkan keluarga cara menggunakan oksigen di rumah Kolaborasi
- Kolaborasi penentuan dosis oksigen
- Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur
Pola napas tidak efektif (D.0005)
Manajemen Jalan Napas (1.01011) Observasi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas) - Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering) Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
- Posisikan semi-Fowler atau Fowler - Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik - Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forcep McGill - Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi
- Kolabroasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
Pemantauan Respirasi (1.01014) Observasi
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas - Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik) - Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum - Monitor adanya sumbatan jalan napas - Palpasi kesimetrisan ekspansi paru - Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen - Monitor nilai AGD - Monitor hasil x-ray toraks Terapeutik
- Atur interval pemantaun respirasi sesuai kondisi pasien - Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan - Informasikan hasil pemantauan, jika perlu Hipervolemia (D.0022) Manajemen Hipervolemia (1.03114)
Observasi
- Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis. ortopnea, dispnea, edema, JVP/CVP meningkat, reflek
hepatojugular positif, suara napas tambahan) - Identifikasi penyebab hypervolemia
- Monitor status hemodinamik (mis. frekuensi jantung, tekanan darah, MAP, CVP, PAP, POMP, CO, CI), jika tersedia
- Monitor kecepatan infus secara ketat
- Monitor efek samping diuretik (mis. hipotensi ortostatik, hypovolemia, hipokalemia, hyponatremia)
Terapeutik
- Batasi asupan cairan garam
- Tinggikan kepala tempat tidur 30-40o Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian diuretic
- Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy (CRRT), jika perlu
Risiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial (I.06194)
Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK - Monitor tanda/gejala peningkatan TIK - Monitor MAP
- Monitor CVP - Monitor PAWP - Monitor PAP - Monitor ICP
- Monitor CPP
- Monitor gelombang ICP - Monitor status pernapasan
- Monitor intake dan output cairan - Monitor cairan serebro-spinalis Terapeutik
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
- Berikan posisi semi fowler - Hindari posisi maneuver valsave - Cegah terjadinya kejang
- Hindari penggunaan PEEP
- Hindari pemberian cairan IV hipotonik - Atur ventilator agar PaCO2 optimal - Pertahankan suhu tubuh normal Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan - Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja Defisi nutrisi (D.0019) Manajemen Nutrisi (1.03119)
Observasi:
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
- Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric - Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan Terapeutik:
- Lakukan oral hygiene sebelum makan, Jika perlu - Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai - Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogastrik
jika asupan oral dapat ditoleransi Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu - Ajarkan diet yang diprogramkan Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan
Promosi Berat Badan (1.03136) Observasi
- Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang - Monitor adanya mual dan muntah
Terapeutik
- Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien - Berikan pujian kepada pasien untuk peningkatan yang
dicapai Edukasi
- Jelaskan jenis makanan yg bergizi tinggi, terjangkau Perfusi perifer tidak
efektif (D.0009)
Perawatan Sirkulasi (1.02079) Observasi:
- Periksa sirkulasi perifer
- Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
- Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
Terapeutik
- Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan perfusi
- Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
- Hindari penekanan dan pemasangan torniquet pada area yang cedera
- Lakukan pencegahan infeksi - Lakukan hidrasi
Edukasi
- Anjurkan berhenti merokok - Anjurkan berolahraga rutin
- Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun kolestrol, jika perlu
- Anjurkan untuk melakukan perawatan kulit yang tepat - Anjurkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi - Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus
dilaporkan Intoleransi aktivitas
(D.0056)
Manajemen Energi (1.05178) Observasi:
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
- Monitor pola dan jam tidur
- Monitor kelelahan fisik dan emosional Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap Terapeutik:
- Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus - Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif - Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan - Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan